Penutup: Beberapa Agenda Perjuangan ke Depan

Penutup: Beberapa Agenda Perjuangan ke Depan

Meski begitu, hemat saya, ada dua ‘kekuatan baru’ yang dapat digunakan dalam menjernihkan masalah ini. Masing-masing adalah, pertama, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18B ayat (2), masalah ini harus diatur oleh undang-undang; dan kedua, telah dimasukkannya masalah pengakuan hak masyarakat hukum adat ini ke dalam bab yang mengatur masalah hak azazi manusia. Berdasarkan prinsip pengkuan HAM yang universal, untuk kekuatan yang kedua ini, terbuka ruang bagi pengakomodasian auran-aturan tentang HAM yang berlaku universal dalam penyusunan undang-undang itu nantinya.

Hanya saja harus segera disadari bahwa pasal-pasal yang mengamanatkan pembuatan undang-undang ini telah diperlemah maknanya, dari hak asal-usul menjadi hak tradisional, sebagaimana telah diuraian dalam bagian terdahulu Tapi, dengan terbukanya ruang untuk menggunakan pula aturan-aturan (HAM) yang lebih universal (karena ada Bab ttg HAM dalam UUD 1945 hasil amandemen), diharapkan pengaturan dalam undang-undang tak semata-mata tunduk pada pasal yang telah diperlemah itu. Justru diharapkan sebaliknya, ruang pembuatan undang-undang ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pengakuan hak masyarakat hukum adat itu kembali.

Pada dasarnya, ‘siasat’ yang demikian ini telah ada preseden hukumnya, yakni kasus Mahkamah Konstitusi yang mengabaikan pasal yang mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh melakukan judicial review atas undang-undang yang telah ada sebelum Mahkamah Konstitusi itu ada. 42 Ini berarti siapa-siapa pihak yang terlibat dalam proses penyusunan UU

tentang keberadaan masyarakat adat itu, serta proses pengawalan pembentukan UU itu nantinya, menjadi agenda penting yang harus diceramati oleh para pihak pendukung gerakan masyarakat adat!

Jika amandemen UUD 1945 (lagi?) merupakan hal teramat susah untuk diusahakan maka dirasa perlu untuk memperjuangkan sebuah undang-undang yang mengatur masalah masyarakat adat ini. Sebab, ia tidak cukup diatur dalam undang-undang sektoral, sebagaimana yang terjadi selama ini. Jika tidak begitu, maka political will UUD 1945 untuk mengakui keberadaan ‘susunan asli’ yang memiliki ‘hak asal-asul’ yang ‘bersifat istimewa’, dan karenanya memiliki ‘otonomi asli’ itu, tidak akan pernah terwujud menjadi kebijakan politik yang nyata, demi kelangsungan hidup satuan-satuan masyarakat hukum adat. Ia akan tetap saja sebagai pemanis bibir dalam hubungan negara dan komunitas. Ketegangan antara Negara dan komunitas pun akan terus berlanjut. Sudah saatnya kita masuk mencari titik penyelesai ketegangan yang nyaris abadi itu. Jika tidak, kita memang sedang menggali sumur bunuh diri negara dan bangsa ini.

Masalahnya, apakah masyarakat adat dan para pendukungnya siap mengusung agenda yang ‘maha besar’ ini? Sejauh mana pengorganisasian-pengorganisasian masyarakat adat selama ini telah mampu menciptakan organisasi-organisasi masyarakat adat yang tangguh,

42 Lihat Harian KOMPAS, tanggal 2 Januari 2004.

yang dapat berfungsi sebagai ‘blok politik’ yang pantas diperhitungkan oleh kekuatan- kekuatan politik (formal) yang ada?

Jauh lebih penting lagi untuk dijawab adalah, apakah masyarakat adat telah mampu menegakkan ‘kedaulatan’ -- sebagaimana yang diinginkannya selama ini -- tanpa adanya perlindungan hukum formal sekalipun? Pada dasarnya, bagi saya, hal yang terakhir ini jauh lebih penting. Sebab, kalaupun UU itu dapat dilahirkan nanti, tetapi masyarakat adat sendiri tercerai-berai karena memang ‘tak relevan’ dengan masanya lagi, maka peluang untuk menegakkan kedaulatan itu (secara formal) akan kehilangan momentum untuk selamanya!

Untuk itu, salah satu alat kerja terpenting yang harus segera dirumuskan adalah semacam definisi kerja tentang konsep-konsep yang menyangkut masyarakat adat itu sendiri. Sebab, ini menyangkut hal-hal dan topik-topik yang hakeketnya adalah kompleks, multiinterpretatif, dan dalam beberapa hal dan/atau derajat tertentu sangat mudah menjadi distortif dan simplisistis. 43 Hal ini mendesak dilakukan demi menghadapi berbagai keraguan

dari berbagai pihak yang memiliki ‘pandangan miring’ terhadap berbagai agenda gerakan masyarakat adat. Menghadapi ‘tantangan’ yang demikian saya sering mengatakan bahwa gerakan masyarakat adat memang rentan bagi penumpang gelap, utamanya oleh kaum ‘otokrasi adat’ dan dominasi sistem patriarchi, beberapa isu yang saya tahu persis menjadi pokok perhatian – dan harus dihindari -- para pembela hak masyarakat jauh sebelum AMAN lahir.

Karenanya, melihat gerakan masyarakat adat pada hari ini tak bisa melihatnya tanpa mempelajari sejarah tumbuhnya gerakan ini sendiri. Tanpa itu, saya katakan, para pengkritik akan misleading, dan menutup pintu bagi kehadirannya, sesuatu yang saya yakin juga tak diinginkan para pengkritik itu. Situasi yang demikian sama sekali tidak produktif bagi

kepentingan perjuangan bagi perbaikan penderitaan masyarakat adat di seantero negeri ini. 44 Sayangnya, sejauh yang dapat saya pahami, banyak upaya ke arah itu, belum sampai

pada kebutuhan perumusan yang demikian itu. Betul bahwa banyak studi telah menyinggung soal prinsip self identification sebagai titik tolaknya, yang sering disebut sebagai kriteria

fundamental 45 . Namun, penggunaan kriteria fundamental inipun harus dan perlu dielaborasi lebih jauh lagi. Elaborasi tentang hal itu pasti akan jauh lebih bermanfaat jika dapat sampai

pada definisi kerja yang saya maksudkan tadi. Memang, ini tantangan bagi kita bersama. Terutama bagi masyarakat adat dan para pembela hak-hak masyarakat adat itu sendiri. Soalnya, jangan sampai kewajiban memenuhi hak-hak pihak yang bersangkutan itu dimentahkan oleh kerumitan-kerumitan metodologis semata, sebagaimana yang tergambarkan dari beberapa komentar yang ada di lapangan selama ini.

43 Tania Murray Li, 2002, op.cit., Salah satu kesimpulan yang menggelitik dari Li adalah, menurutnya, baik para penggusur (istilah saya) maupun pembela hak-hak masyarakat adat (juga istilah saya), keduanya terperangkap

dalam pandangan-pandangan yang bersumber dari simplifikasi dari gejala yang sebenarnya rumit dan kompleks itu.

44 Seperti telah saya kemukakan di atas, penyebutan ‘masyarakat adat’ bukannya tanpa masalah. Namun, saya sampaikan pada para pengeritik, nyatanya, itulah istilah yang dapat menyatukan berbagai komponen gerakan

masyarakat adat. Maka, menurut saya, ketimbang mempersoalkan sebutan itu, yang kemudian melahirkan sikap anti pati kepada para pengkritik yang dimaksudkan, lebih baik kita bertarung dan berkontribusi dalam memberikan makna yang seharusnya, sebagai wacana tanding, pada wacana ‘masyarakat adat’ itu sendiri. Bagi saya cara ini jauh lebih produktif, jika memang kita concern dengan masalah-masalah penderitaan masyarakat adat ini.

45 Misalnya lihat Marcus Colhester, Martua Sirait, dan Boedi Wijardjo, 2003. “Penerapan Prinsip-Prinsip FSC No. 2 dan 3 di Indonesia: Hambatan dan Kemungkinan”, Laporan Penelitian . Jakarta: Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia/WALHI & Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN.

Kebutuhan akan definisi operasional ini penting bagi terwujudnya pengakuan hak- hak masyarakat adat dalam jalur pergerakan yang lebih luas; demi terwujudnya tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya nasional maupun global yang lebih adil bagi kelompok- kelompok yang dikategorikan sebagai ‘masyarakat adat’ itu. Sebagai patokan awal, bagi saya subjek hukum dari ‘hak-hak adat’, di antaranya adalah hak ulayat (yang saya maknai sebagai kedaulatan atas suatu satuan wilayah terrtentu), adalah apa yang saya sebut sebagai komuniti. Dengan demikian ia tidak harus selalu berhubungan dengan satuan-satuan dan atau kategori suku bangsa, sebagaimana yang dipahami selama ini. Bagi saya, konsep wilayah hukum adat yang dikemukakan van Vollenhoven tidak lebih sebagai apa yang disebut wilayah budaya (culture area) belaka, dan tidak ada hubungannya dengan subjek hukum dari ‘hak-hak adat’ itu sendiri. 46

Menurut beberapa pihak, antara lain Tania Murray Li, seorang antropolog senior, pembatasan yang demikian itu pun tetap saja problematis. 47 Namun, dugaan saya sementara

ini, dengan pembatasan cakupan yang demikian itu, dan ditunjang oleh penerapan kriteria fundamental self identification, dapat mengantarkan kita pada suatu defenisi kerja yang bermanfaat.***

46 Lebih jauh lihat Zakaria, 2000, op.cit. 47 K omunikasi pribadi, 2001.