Gerakan Masyarakat Adat Menguat dalam Wa
Gerakan Masyarakat Adat:
Menguat dalam Wacana dan Aksi, Melemah dalam Konstitusi 1
R. Yando Zakaria 2
Pengantar
Sekitar sepuluh tahun lalu, tepatnya pada tahun 1993, badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) mencanangkan Indigenous People Decade. Mudah diduga, dengan inisiatif-inisiatif semacam ini, PBB ingin mendorong sebuah proses bagi perbaikan-perbaikan situasi, entah itu kebijakan (internasional, regional, nasional, atau dalam cakupan wilayah yang lebih kecil), maupun program-program aksi lapangan, bagi subjek yang bersangkuran. Ini adalah puncak dari suatu proses diplomasi politik atas kejadian-kejadian buruk yang diderita oleh banyak
masyarakat adat di seantero dunia. Termasuk Indonesia tentunya 3 . Apa yang telah dicapai dalam ‘gerakan masyarakat adat’ dalam kurun waktu yang
demikian itu? Berikut adalah beberapa catatan atasnya. Catatan ini hanya akan menyoroti, pada derajat tertentu pula, perkembangan di dalam negeri. Diharapkan ada pihak lain yang memberikan tinjauan pada tataran global.
Menguatnya Wacana dan Agenda Aksi
Jauh sebelum Indigenous People Decade dicanangkan, seperti juga di belahan dunia lain, masalah derita masyarakat adat di negeri ini, utamanya sebagai akibat dari agenda pembangunan yang diterapkan, telah mendapat perhatian berbagai pihak. Utamanya dari kalangan akademisi, 4 dan terlebih lagi dari kalangan aktivis organisasi non-pemerintah
(ORNOP). Terlepas dari prespektif dan atau paradigma yang beragam di dalamnya. Mulai dari yang beranggapan itu merupakan akibat dari kekeliruan penerapan program pembangunan di lapangan pada satu ekstrim, hingga yang mempertanyakan secara mendasar paradigma pembangunan itu sendiri di ekstrim yang lain. Mudah di duga, umumnya, ekstrim pertama berkembang di kalangan birokrasi yang didukung oleh kalangan akademisi yang terkooptasi (baik secara birokrasi maupun pemikiran/ilmu pengetahuan mainstream) dan ORNOP ‘plat merah’.
1 Sebuah catatan berdasarkan personal memory untuk memperingati berakhirnya Indigenous People Decade, 1993 – 2003 , dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Nusantara, 17 Maret 2004. Dipresentasikan di hadapan publik
untuk pertama kalinya pada Seminar Sehari “Menuju Kemandirian Masyarakat dan Wilayah Adat Dukuh di Era Otonomi Daerah”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial, Garut,
24 Agustus 2004. 2 Senior Advisor pada Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Kritik dan saran harap
dialamatkan pada [email protected] .
3 Saya menggunakan idiom masyarakat adat sebagai terjemahan untuk kata indegenous dengan alasan dan pengertian tertentu yang tidak akan saya ulangi di sini. Silahkan periksa R. Yando Zakaria, “Isu Masyarakat
Adat: Relevankah Bagi Indonesia?”, dalam Buletin Jaring, media komunikasi intern INPI (Indonesian NGOs Partnership Inisiatives) - Pact, Edisi Perdana, Maret 1998. Lihat juga R. Yando Zakaria, 2000. Abieh Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru . Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan PT. Pustaka Pelajar. Khususnya pada Bab 228 – 240.
4 Antara lain terlihat dari berbagai literatur dalam bidang kajian antropologi. Bahkan, pada Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia misalnya, ada mata kuliah dengan judul Antropologi Pembangunan.
Bagi kalangan ORNOP yang dapat tidak digolongkan pada kelompok arus utama itu, kesaksian-kesaksian mereka atas penderitaan masyarakat adat telah mengantarkan mereka pada sebuah gagasan untuk melaksanakan sebuah pertemuan yang memang secara sengaja dimaksudkan untuk merumuskan hal-hal yang terkait pada strategi perjuangan bagi perbaikan situasi yang amat-sangat merugikan masyarakat adat. Pertemuan dimaksud akhirnya terselenggara di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 – 29 Mei 1993. Pertemuan itu bertajuk “Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di dalam Kawasan Hutan” 5 . Setidaknya ada 3 hasil penting
dari pertemuan di Tana Toraja ini. Masing-masing adalah sebagai berikut: Pertama, disepakati bersama penyebutan ‘masyarakat adat’ sebagai ‘pengganti’ dari berbagai sebutan yang ada, seperti ‘masyarakat terasing’, ‘masyarakat rentan’, dan lain sebagainya, yang pada hakekatnya dianggap sebagai melecehkan keberadaan masyarakat adat. Kedua, dirumuskan pula apa yang dimaksudkan dengan masyarakat adat itu sendiri, yaitu “kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-menurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”. 6 Ketiga, disepakati pula pembentukan Jaringan Pembela Hak-hak
Masyarakat Adat (JAPHAMA), sebuah jaringan kerja ORNOP yang berbasis di Jakarta maupun daerah, dan beberapa organisasi masyarakat adat sendiri, yang diharapkan dapat mendukung gerakan masyarakat pada masa-masa berikutnya. 7 Gagasan dan agenda kerja
yang muncul di Tana Toraja ini kemudian diperkuat dan dipertajam lagi pada pertemuan berikutnya di Desa Tabanan, Bali, tanggal 19 – 21 Desember 1993 8 .
Semenjak itu praktis ‘isu hak masyarakat adat’ mewarnai berbagai inisiatif perlawanan kelompok-kelompok tertindas. Baik dalam kerangka kerja penguatan organsisasi rakyat, maupun dalam kerangka kerja advokasi kebijakan publik bagi perbaikan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Prespektif ‘penegakan hak masyarakat adat’ kemudian
5 Menurut salah seorang aktor kunci pertemuan itu, Arimbi Heru Putri, komunikasi pribadi pada tahun 1995, judul ini memang dikemas sedemikian rupa agar tidak ‘mendapat halangan dari pihak yang berwajib’ (catatan:
ketika itu rezim Orde Baru tengah ‘represif-represif’-nya). Sebab itu pula, pertemuan itu diselenggarakan pula di tempat yang relatif terpencil di satu pihak, dan dapat dilindungi oleh ‘tokoh berpengaruh’ di pihak lain. Pertemuan ini digagas dan didukung oleh berbagai ORNOP, kelompo masyarakat adat sendiri, dan individu- individu yang peduli terhadap penderitaan masyarakat adat ketika itu. Antara lain, LBH (Medan, Jakarta, Surabaya, Papua), KSPPM (Sumatera Utara), WALHI, LATIN (Bogor), Manikaya Kauci (Bali), Lembaga Bela Puti Jaji (Kaltim), WALDA (Tana Toraja), Yayasan Tanah Merdeka (Sulteng), Lembaga Bela Benua Talino (Kalbar), LBBP (Kaltim), Yayasan Rumsram (Biak, Papua), Yayasan Lorenz (Papua), Keuskupan Soorong (Papua), Yayasan Sosial Faumair Lestari (Papua), perwakilan-perwakilan masyarakat dari Sugapa (Sumut), Sumber Klampok (Bali), Nenggala (Tana Toraja), Kasimbar ( Sulawesi tengah), dan Bentian (Kaltim). Lihat JAPHAMA, 1993a, Laporan Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di Dalam Kawasan Hutan di Luar Pulau Jawa.
6 Sebagai perumusan yang relatif bersifat umum, perumusan ini tentu rentan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pengoperasionalisasiannya di lapangan. Lihat misalnya kritik Tania Murray Li, 2002.
“Keterpinggiran, kekuasaan, dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah Pedelaman”, dalam Tania Murray Li, 2002, ed., Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sebab itu saya coba membatasi wilayah pemberlakuannya pada kategori sosial yang disebut community (persekutuan hidup setempat). Lihat Zakaria, 2000., op.cit., hal. 241 – 249. Oleh sebab itu kebutuhan akan sebuah defenisi kerja yang lebih operasional memrupaka satu keniscayaan.
7 . Lihat JAPHAMAa, 1993. ibid., Lihat juga Zakaria, 2000., op.cit., 241.
8 Pertemuan Bali ini, dengan jumlah peserta yang lebih kecil, pada dasarnya adalah pertemuan untuk mematangkan ide-ide dan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai pada Pertemuan Tana Toraja
sebelumnya. Pada ini dihasilkan kesepakatan-kesepakatan tentang (a) Strategi Jaringan; (b) Penentuan Isu (perjuangan) bersama; dan (c) (Strategi) Konsolidasi Gerakan Pembelaan Masyarakat Adat. Lebih lanjut lihat JAPHAMA, 1993b, Laporan Pertemuan Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat.
juga mewarnai gerakan rakyat yang didorong ORNOP melalui isu-isu gerakan yang lain, seperti dalam gerakan petani, reforma agraria, pengelolaan dan pengusahaan lingkungan, konservasi, perempuan, ekonomi, politik dan gerakan yang memperjuangkan keadilan lainnya 9 .
Semula, ‘alas hak’ bagi perjuangan pengembalian, pengakuan, dan perlindungan hak- hak masyarakat adat ini berpijak pada ketentuan-ketentuan yang ada pada Undang-undang Pokok Agraria 1960, yang betapapun lemahnya, telah mengatur hak-hak yang bersumber dari aturan-aturan hukum adat yang dikenal oleh suatu masyarakat adat. Belakangan kegiatan advokasi hak-hak masyarakat adat itu mulai pula didasarkan -- atau mengacu -- pada pengakuan Negara atas hak partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan kegiatan pembangunan. Seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (1982); Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (1990); Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman (1992); Undang-Undang Perekembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (1992); Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman (1992); Undang-Undang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (1992); serta Undang-Undang Penataan Ruang (1992) 10 .
Sejauh yang dapat diamati, tuntutan-tuntutan itu seringkali mendapat kendala, serta mudah ditolak -- atau dimentahkan -- oleh pihak-pihak yang merasa akan dirugikan dengan adanya pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Boleh jadi, seperti yang dikemukakan Zakaria
9 Dalam konteks perlawan rakyat atas penindasan oleh negara di Indonesia, ‘prespektif penegakan hak masyarakat adat’ inilah yang akhirnya dapat memepertemukan berbagai inisiatif perlawan dari kubu ‘gerakan
petani dan reforma agraria’, ‘gerakan lingkungan’, dan ‘gerakan masyarakat adat’ sendiri, beserta gerakan dari ‘sektor lainnya’, yang praktis berakar dari ‘prespektif pemikiran’, bahkan ideologi, yang berbeda, sebagaimana yang tergambarkan dalam keterlibatan begitu banyak pihak yang ‘berbeda aliran’ itu dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999. Saya sendiri pernah ‘berdebat’ dengan beberapa aktivis ‘gerakan petani dan reforma agraria’ dalam lingkaran Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam sebuah pertemuan KPA di Jatinangor 199?. Perdebatan muncul karena ‘kata’ adat – dan pada akhirnya masyarakat adat -- mengandung penafsiran yang beragam, termasuk kaitannya dengan kenyataan adanya sistem sosial yang feodalistis dalam berbagai masyarakat adat itu sendiri. Namun, dengan ‘menurunkan’ daya cakup pengertian masyarakat adat ini pada skala komunitas (lihat uraian dalam bagian berikut), barulah perdebatan itu mendapatkan ‘titik temunya’. Perdebatan itu kemudian bermuara pada perlunya gerakan reforma agraria ini juga membicarakan soal ‘masalah tanah adat’, dan dengan sendirinya terlibat dalam ‘gerakan masyarakat adat’ itu sendiri. Pada masa berikutnya bahkan KPA menerbitkan Jurnal Masyarakat Adat (Bandung: BP KPA dan INPI Pact, 1998 - dst), yang sempat terbit dalam beberapa edisi. Karenanya pula dapat dimaklumi jika kemudian KPA menjadi unsur yang cukup penting dalam proses KMAN I itu. Betappun, kenyataan ini, bertemunya berbagai ‘jalur gerakan’ yang boleh jadi memiliki latar-belakang pemikiran yang relatif berbeda, menarik perhatian dan perlu dikaji lebih jauh. Hal ini pernah menjadi pertanyaan serius seorang aktivis yang lama ‘ngendon’ di WALHI, Suraya Affif, ketika hendak menulis disertasinya. Namun masalah itu bukan maksud dari tulisan ini.
10 Z a k a r i a , 2 0 0 0 , o p . c i t . , 2 0 0 – 2 0 1 . L i h a t j u g a Stevanus Djuweng dan Sandara Moniaga, “Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk: Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia?”, dalam ELSAM dan
LBBT, Konvensi ILO 169: Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka (Jakarta: ELSAM & LBBT, tanpa tahun); Maria Rita Ruwiastuti, “An Indigenous People Cultural Right, Some Issues on Natural Resources Tenur Disputes between the State Versus Indogenous People, an East Indonesia Case”, makalah yang dipresentasikan pada VSO Indonesia Conference, Bali, 1994; Arimbi HP dan Mas Achmad Santosa, Peranserta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan. (Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI, 1993); Arimbi HP dan Emmy Hafild, “Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45”, Kertas Posisi WALHI, No. 01, 1996; dan Lili Hasanuddin, (ed.), “ Mitos-Mitos Pengelolaan Hutan di Indonesia”, Kertas Posisi WALHI, No. 02, 1996, sekedar menyebut beberapa sumber saja. Saat ini, berbagai peraturan- perundangan yang disebutkan ini umumnya telah direvisi dan/atau digantikan dengan perangkat peraturan- perundangan yang baru.
11 12 dan Soehendera, (1995) 13 ; Savitri (1995) ; dan P3AE UI (1996) , sekedar menyebut beberapa sumber saja, hal ini dapat terjadi baik karena pengakuan hak adat itu belum begitu
jelas pengaturannya di lapangan; maupun karena sumber (dasar) hukum yang digunakan untuk memperjuangkannya masih bersifat sangat sektoral. Artinya, sumber-sumber hukum yang digunakan itu tidak langsung bicara tentang ‘kedudukan hak masyarakat adat’ itu sendiri di dalam tatanan peraturan-perundangan Nasional yang berlaku. Dengan kata lain, advokasi yang telah berjalan itu kurang didasari oleh peraturan-perundangan yang mengatur keberadaan hak-hak masyarakat dalam tatanan negara itu sendiri. Malah, seperti yang sering dikemukakan kalangan aktivis ORNOP, salah satu pasal yang ada dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 yang menimbulkan Hak Menguasai Negara, justru disebut sebagai sumber malapetaka penyingkiran hak-hak masyarakat adat. Khususnya yang menyangkut penguasaan sumber-sumber agraria. 14
Situasi mulai berubah ketika muncul sebuah memeograf bertajuk “Dasar Hukum Pengakuan dan Pengukuhan Hak-hak Adat dalam Peraturan-perundangan Nasional Republik Indonesia” pada pertengahan tahun 1995, yang pada intinya menunjukkan ‘alas hak’ yang lebih meyakinkan. Dalam memeograf dimaksud saya menunjukkan bahwa ‘hak-hak masyarakat adat’ pada dasarnya telah diakui dalam konstitusi, sebagaimana yang diatur pada
Pasal 18 UUD 1945 15 . Tak terlalu berlebihan jika dikemukakan di sini bahwa ‘temuan’ atas keberadaan Pasal
18 dalam UUD 1945, khususnya dalam kaitannya dengan pembelaan hak-hak masyarakat adat, berawal dari rasa penasaran saya. Ketika itu saya mempertanyakan; “Apa iya para pendiri Negara ini tidak pernah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat ketika menyusun konstitusi?”. Pertanyaan ini muncul karena ‘kegemasan’ saya atas ‘alas hak’ yang digunakan dalam gerakan pembelaan hak masyarakat adat yang relatif lemah di satu pihak; dan di pihak lain, rasa penasaran tentang apa wujud sumbangan berbagai disiplin ilmu
11 R. Yando Zakaria & Djaka Soehendera “Pengaturan Hukum Adat Tanah dalam Perundang-undangan Nasional dan Rasa Keadilan”, dalam Benny K. Harman, Paskah Irianto, Noer Fauzi, et.al., eds., Pluraliasme
Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah (Jakarta: YLBHI, 1995). 12 Myrna Safitri, “Hak dan Akses Masyarakat Lokal pada Sumberdaya Hutan: Kajian Peraturan Perundang-
undangan Indonesia”, dalam Ekonesia, No. 3 September 1995 (Jakarta: Forum Penelitian dan Pengembangan Antropologi Ekologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia: 1995).
13 P3AE Program Studi Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, “Hak Penduduk Lokal Atas Sumberdaya Lahan dan Hutan: Kendala dan Peluangnya dalam Peraturan-Perundangan di Indonesia” dalam
Naskah Akademis Penyempurnaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 (Tim Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967: tanpa tahun).
14 Zakaria, 2000, op.cit. Lihat pula kembali beberapa sumber yang telah diacu terdahulu. Periksa pula publikasi- publikasi yang diterbitkan Konsorsium Pembaruan Agraria. Antara lain, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan
Bonnie Setiawan, 1997. Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI & Konsorsium Pembaruan Agraria; Noer Fauzi & Dianto Bachriadi, 1998. “Hak Menguasai dari Negara (HMN)”, Kertas Posisi KPA No.004/1998, Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria; Benny K. Harman, et.al., 1995. Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; dan Noer Fauzi, 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST Press, Pustaka Pelajar, dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
15 Memeograf ini kemudian ‘dibakukan’ ke dalam sebuah kertas kerja Indonesia Institute for Social and Cultural Analysis (INDISCA). Lihat R. Yando Zakaria, 1996. “Dasar Hukum Pengakuan dan Pengukuhan Hak-hak
Adat dalam Peraturan-perundangan Nasional Republik Indonesia”, INDISCA Working Paper, No. 2, Vol. III, Tahun 1996 (Jakarta: Indonesia Institute for Social and Cultural Analysis/INDISCA). Ketika masih berupa memeograf , pertama kali dipresentasikan ‘secara formal di depan publik’ pada sebuah acara lokakarya tentang tata ruang di Pontianak, yang diselenggarakan oleh PPSDAK – Pancur Kasih, 1995. Tak lama kemudian juga menjadi handout dalam sebuah diskusi informal bersama aktivis ORNOP di Palu, Sulawesi Tengah. Zakaria sendiri kemudian mengintegrasikan kertas kerjanya ini ke dalam berbagai publikasi yang terbit kemudian.
pengetahuan seperti Hukum Adat, Indologi, Etnologi, dan sejenisnya, dalam permasalahan ini. Apakah benar hal ini sama sekali tidak disinggung dan dipertimbangkan ketika para founding mother 16 menyusun dasar-dasar negara ini?
Belakangan saya baru memperoleh sebuah tulisan Prof. Matulada, seorang antropolog senior dari Universitas Hasanuddin, Makassar, di sebuah jurnal yang juga menyinggung keberadaan Pasal 18 ini ketika menunjukkan adanya pengakuan keberadaan kemajemukan budaya di Indonesia dalam konstitusi. Tulisan Matulada ini, seingat saya, membahas soal Kebudayaan Nasional dan eksistensi budaya lokal di dalamnya. Sayang, saat ini saya tak dapat menemukan lagi arsip tulisan yang dimaksudkan, sehingga tak dapat merinci judul, sumber, dan tahun terbitnya. Terlebih lagi soal pokok-pokok pikirannya tentang hak masyarakat adat (kalaupun ada tentunya). Sekitar satu tahun kemudian, baru saya mengetahui bahwa keberadaan Pasal 18 telah pula disebut-sebut dalam disertasi Sardjono
Jatiman. 17 Namun, uraian Jatiman tentang Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya tak lebih dari dua alenia (satu panjang dan satu pendek), yang pada intinya adalah ‘ringkasan’ dari Pasal
18 dan Penjelasannya, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam selang waktu yang tidak terlalu lama, saya memperoleh 3 dokumen penting secara sekaligus. 18 Dua dokumen pertama merupakan hasil studi yang cukup luas tentang
pemberlakukan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, yang diselenggarakan atas kekuatiran atas dampak yang akan ditimbulkannya. Laporan dua jilid itu menghabiskan 600 halaman lebih dengan naskah ketik 1,5 spasi! Konon, menurut Noer Fauzi, seorang karib saya yang aktif dalam gerakan petani dan reforma agraria, menurut sumber yang tidak disebutnya atau saya yang lupa, hasil studi ini sebenarnya memberikan kritik yang tajam atas kebijakan pemberlakukan UU No. 5/1979 yang menyeragamkan berbagai unsur desa itu. Konon, kritik ini tidak diterima oleh pihak Departemen Dalam Negeri sebagai ‘pemesan’ penelitian itu. Kritik itu berbeda sama sekali dengan kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasi yang tercantum pada naskah laporan yang disusun Soemardjan dan Tim Peneliti (1988). Karenanya, dalam memahami masalah dampak pemberlakukan UU. No.5/1979, kita tidak boleh menerima dokumen laporan itu begitu saja. Info yang demikian menemukan titik kebenarannya ketika Prof. Taufik Abdullah, salah seorang anggota Tim Penelitian YIIS ketika itu, bersuara miring soal pemberlakukan UU. No. 5/1979. Dalam suatu kesempatan pada sebuah seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2002 lalu, Sejarawan senior yang tengah menjabat Ketua LIPI ketika itu secara meyakinkan mengatakan bahwa pemberlakuan UU No. 5/1979, yang telah menimbulkan dampak negatif yang tidak terhingga itu, merupakan kesalahan sejarah Nasional terbesar yang pernah terjadi selama ini.
16 Pertanyaan-pertanyaan tentang sumbangan Ilmu Hukum Adat dan Indologi/Etnologi ini muncul, harap dipahami, karena latar-belakang pendidikan formal saya yang menempuh pendidikan S1.
17 Sardjono Jatiman, 1995. Dari Kampung Menjadi Desa, Studi Sosiologi Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat . Disertasi S3 Ilmu Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, tidak
diterbitkan. 18 Masing-masing adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri & Yayasan Ilmu-
ilmu Sosial, 1988. Pemerintahan Desa, Laporan penelitian yang terdiri dari 2 (dua) Jilid, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri & Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, tidak diterbitkan; Selo Sumardjan dan Team Peneliti, 1988. “Pemerintahan Desa: Laporan Penelitian, Masalah-masalah, Rekomendasi”, Laporan Penelitian, Kerjasama YIIS dan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri, 1988; dan Selo Soemardjan, 1991. “Otonomi Desa: Adakah Itu?”, Karangan untuk memenuhi permintaan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depertemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 1991.
Boleh jadi, kritik tajam dari penelitian yang dilakukan Soemardjan dan kawan-kawan tadi terekspresikan dalam Soemardjan (1991). Berbeda dengan dokumen-dokumen laporan penelitian sebelumnya, Soemardjan cukup luas mengelaborasi Pasal 18 UUD 1945, khususnya berkaitan dengan pengertian otonomi desa, sebagaimana yang dimandatkan oleh Pasal 18 UUD 1945. Meski kesimpulan Soemardjan dibungkus dalam rumusan kalimat tanya, sebagaimana yang dapat dilihat pada judul tulisan dimaksud, hemat saya, jelas sekali bahwa Soemardjan hendak mengatakan bahwa UU. No.5/1979 tidak sesuai – saya pribadi lebih memilih kata bertentangan -- dengan jiwa Pasal 18 UUD 1945. 19 Dalam bagian Kesimpulan
Soemardjan antara lain menulis: “Menurut UU No. 5/1979 desa de jure (menurut hukum formal) tidak otonom, tetapi dianggap mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Namun, de facto (dalam kenyataannya) desa dianggap memiliki status badan hukum yang berhak memilih kepala desa, memiliki kekayaan, maju di muka pengadilan, melakukan pungutan-pungutan dan mempunyai sumber penghasilan lain”. Dan di bagian Saran-saran ditulis: “Disarankan agar kedudukan desa di dalam pemerintahan diselaraskan antara kedudukannya de jure dan de facto”.
Sekitar satu tahun berikutnya, saya baru pula memperoleh disertasi Bhenyamin Hoessein. 20 Berbeda dengan Jatiman (1995); Zakaria (1996), dan Soemardjan (1991),
penyebutan dan pembahasan keberadaan Pasal 18 dalam kajian Hoessein lebih terkait pada soal pemerintahan daerah. Pembahasan Pasal 18 dengan perhatian yang lebih besar pada keberadaan komunitas baru muncul pada Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di Universitas
Indonesia, yang kemudian diterbitkan utuh dalam sebuah jurnal. 21 Praktis, seingat saya, setelah memeograf itu muncul, mulai banyak publikasi, terutama
dari kalangan ORNOP sendiri, yang menyebut-nyebut keberadaan Pasal 18, khususnya yang berkaitan dengan adanya pengakuan konstitusi atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, sebagai wujud pembelaan hak-hak masyarakat adat, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa sumber yang dirujuk dalam tulisan ini. Salah satu yang terawal dalam perkembangan ini adalah Arianto Sangaji (1997). 22 Sejak itu, dalam berbagai pertemuan yang
dimaksudkan sebagai arena advokasi pembelaan hak-hak masyarakat adat, para warga masyarakat adat atau pemimpin organisasi-organisasi masyrakat adat dengan fasih dan lantang mengutip Pasal 18 sebagai ‘alas hak’ bagi keharusan negara mengakui,
19 Lihat beberapa sumber dari Zakaria yang telah disebutkan dalam tulisan ini. Menurut hemat saya, hal ini bukannya sekedar ‘tidak sesuai’, melainkan merupakan suatu ‘pelanggaran’ (lihat juga R. Yando Zakaria,
“Penegasian Hak-Hak Masyarakat Adat Sebagai Sumber Krisis Integrasi Nasional di Masa Depan”, makalah yang disampaikan pada “Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan DEPDIKBUD dan Panitia Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia, 26 - 27 Agustus 1997, sebuah tulisan yang dipublikasikan jauh sebelum UU No. 22/1999 muncul). Lihat juga dokumentasi-dokumentasi penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan tahun 1998. Hemat saya, frasa ‘tidak sesuai’ membangun citra adanya ‘ketidaksengajaan’, meminjam kata-kata Noer Fauzi, hasil dari suatu ‘sesat pikir’. Sedangkan frasa ‘pelanggaran’ justru akan bercitra sebaliknya (lihat juga Zakaria, 2000, op.cit., khususnya Bab III). Karenanya kejadian itu layak pula ditindaklanjuti secara hukum dan politik.
20 Bhenyamin Hoessein, , 1993. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
21 Bhenyamin Hoessein,1996. “ Memutar Roda Desentralisasi: Dari Efisiensi Ke Demokrasi”, dalam PRISMA, No.4, April 1996. Jakarta: LP3ES.
22 Arianto Sangaji, “Negara, Masyarakat Adat dan Kapitalisme: Bagaimana Advokasi Ornop?”, makalah yang disampaikan pada “Workshop Advokasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam” (diselenggarakan bersama
oleh LATIN, WALHI, JKPP, KP SHK, Jaringan Advokasi Tambang, dan Program Kemala – BSP).
mengembalikan, memulihkan, dan melindungi hak-hak mereka yang telah dirampas selama ini.
Sejauh yang saya pahami, klaim berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 ini kemudian menjadi ‘alas hak’ baru dalam advokasi hak-hak masyarakat adat pada masa-masa berikutnya, dan mendapatkan dukungan politik yang lebih luas pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN), yang berlangsung di Jakarta, pada bulan Maret 1999. Ketika itu angin reformasi baru saja mulai berhembus, mengiringi turunnya Soeharto, seorang (pensiunan) jenderal, yang telah berkuasa sekitar 32 tahun terakhir, dari kursi kepresidenan setahun sebelumnya.
‘Komunitas epistemis’ yang gigih menyuarakan berbagai pandangan tentang perlunya mengakui, mengembalikan, memulihkan, dan melindungan hak-hak masyarakat adat pun
dapat dikatakan terbentuk. 23 Saya sengaja agak berpanjang-panjang soal perjalanan yang berkaitan dengan gagasan dalam gerakan masyarakat adat ini, termasuk perkembangannya.
Sebab “untuk mempelajari proses perubahan kebijakan kita perlu memahami kekuatan gagasan dan bagaimana ia diterapkan oleh para pelaku yang berada dan bertindak dalam
konteks kelembagaan tertentu”. 24 Gagasan “ ... berperan untuk menunjukkan kepada para pelalu (di arena publik) ... tujuan mereka yang semestinya, mengapa tujuan ini lebih penting
ketimbang tujuan lainnya, bagaimana ia dicapai, serta siapa yang menjadi kawan dan lawan dalam proses pencapaiannya.” 25 Dalam promosi gagasan tertentu, keberadaan ‘komunitas
epistemis’ menjadi variabel kelembagaan yang penting 26 , ia berperan menjembatani gagasan dan publik yang ingin dipengaruhinya. 27
Pada saat KMAN 1999 berlangsung, RUU tentang ‘Otonomi Daerah’, yang kemudian diundangkan sebagai UU No. 22/1999, sedang memasuki tahap-tahap akhirnya. Sebagaimana telah diketahui bersama, entah terkait langsung dengan gerakan advokasi
pembelaan hak-hak masyarakat adat atau tidak 28 , jiwa Pasal 18 UUD 1945 kembali menjadi
23 Yang dimaksudkan dengan komunitas espistemis adalah jaringan individu yang muncul dan berkembang untuk menyuarakan gagasan tertentu. Hubungan mereka bersifat formal maupun informal. Yang
mempersatukan mereka adalah ‘keyakinan atau kepercayaan bersama atas kebenaran serta perlunya penerapan bentuk pengetahuan tertentu itu’ (Haas, 1992, dalam Rizal Malarangeng, 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986 – 1992. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation. Hal. 24 - 25.
24 Malarangeng, 2002, ibid, hal.14. 25 Adler, 1986, dalam Malarangeng, ibid., 2002. Hal. 14. 26 Lihat juga Malarangeng, 2002, ibid., hal. 24.
27 Dalam kaitan pentingnya mengenali peran gagasan dalam gerakan masyarakat adat, sebenarnya, menarik untuk mengidentifikasi siapa-siapa saja yang menjadi warga ‘komunitas epistemis’ dimaksud, termasuk pokok-
pokok gagasan yang gigih diwacanakannya, dan basis gerakannya, di luar beberapa orang yang telah disebut- sebut dalam tulisan ini. Namun, untuk menghindari kemungkinan ‘pendakuan yang berlebihan’, uraian yang demikian perlu didukung data yang memadai, suatu kebutuhan yang belum bisa saya lakukan dalam kesempatan ini. Mudah-mudahan bisa dalam kesempatan yang lain. Satu hal yang jelas di sini adalah, kebutuhan yang demikian itu bukanlah suatu yang mudah dilakukan. Di satu pihak, terutama karena pengembangan wacana tentang masyarakat adat praktis tidak mendapat tempat yang memadai dalam media massa yang umum. Wacana ini lebih berkembang melalui tulisan-tulisan yang beredar melalui berbagai pertemuan, yang relatif terakses publik dalam jumlah yang relatif terbatas. Daya jangkau pribadi kemudian menjadi saluran pengumpulan sumber-sumber data, suatu yang secara metodologis sangat dapat dipertanyakan tingkat kesahihannya. Di pihak lain, dalam kenyataannya, audience subjek pembicaraan tentang masyarakat adat ini lebih akrab dengan media komunikasi secara lisan ketimbang tulisan. Sehingga terlalu banyak moment penyampaian gagasan – dimana wacana itu dikembangkan -- tidak terdokumentasi dalam wahana yang dapat dipelajari pada waktu-waktu setelah moment itu berlalu.
28 Hal ini perlu pula ditelusuri lebih jauh, khususnya jika kita hendak memahami efektivitas kegiatan advokasi pembelaan hak-hak masyarakat adat yang telah terjadi selama dua puluh tahun terakhir ini. Saya pribadi dalam 28 Hal ini perlu pula ditelusuri lebih jauh, khususnya jika kita hendak memahami efektivitas kegiatan advokasi pembelaan hak-hak masyarakat adat yang telah terjadi selama dua puluh tahun terakhir ini. Saya pribadi dalam
Seiring perkembangan zamannya, dipicu pula oleh kekecewaan pada kinerja parlemen hasil Pemilu 1999, gerakan pembelaan hak-hak masyarakat adat mulai pula melangkah pada perumusan agenda politik dalam jalur ‘politik formal’, khususnya berkenaan dengan posisi dan eksistensi masyarakat adat sebagai blok politik di parlemen. Meski isunya telah bergulir pada waktu-waktu sebelumnya, agenda ini baru secara resmi disuarkan pada Seminar dan Lokakarya bertajuk “Penataan Politik Nasional menuju Kedaulatan masyarakat di Era Otonomi Daerah”, yang diselenggarakan bersamaan dengan Rapat Kerja Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang berlangsung di Liwa, Lampung Barat, pada tanggal
10 – 12 Januari 2002. Rangkaian kegiatan di Liwa ini kemudian melahirkan dokumen bertajuk Keharusan Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Agenda Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Strategi dan rencana Aksi penguatan Posisi Politik Masyarakat Adat Nusantara, 2002 – 2003 , yang pada hakekatnya adalah Lampiran Salinan Keputusan rapat
Kerja Dewan Nasional AMAN No. 10/SDDAMAN/1/2002. 30 Dalam dokumen ini antara lain disebutkan bahwa “Perluasan Partisipasi Politik masyarakat adat dilakukan dengan
satu kesempatan pernah menyerahkan Working Paper INDISCA yang memuat gagasan tentang diakui dan dihormatinya hak-hak masyarakat adat itu, berikut satu berkas Laporan Penelitian yang tengah saya kerjakan atas sponsor Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), yang kemudian diterbitkan sebagai buku (Zakaria, 2000, op.cit.).
29 Informasi lebih jauh tentang ‘serba-serbi’ penyelenggaan KMAN I ini lihat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Catatan Hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara. 1999.
30 Sejak sekitar pertengahan tahun 2001, saya telah mengedarkan sebuah ‘catatan seperempat jadi’ yang bertajuk “Perluasan Partisipasi Politik Rakyat, Sebuah Ajakan Menuju Tatanan Negara Indonesia yang Membumi”.
Termasuk mengedarkannya di mailing list [email protected] . Dalam bentuknya yang ‘setengah jadi’ dokumen ini kemudian bertajuk “Mendudukan Utusan Rakyat”, tulisan yang dipersiapkan untuk berbagai pertemuan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Konsorsium Pembaruan Agraria (BP KPA) dan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) sepenjang tahun 2001-2002. Di antaranya diedarkan pula pada Raker DAMAN di Liwa, Januari 2002. Beberapa pokok pikiran di dalamnya dikutip pers setempat. Sejauh komunikasi pribadi saya dengan Abdon Nababan, Sekretaris Pelaksana AMAN ketika itu, tema Seminar dan Lokakarya pada Rapat Kerja di Liwa itu sedikit banyaknya dipengaruhi oleh dokumen dimaksud. Kebetulan AMAN memang tengah mencari ‘isu kerja yang lebih konkrit’, setelah upaya-upaya penguatan wacana pendakuan (claiming) hak dianggap sudah cukup matang. Versi ‘tiga perempat jadi’ kemudian bertajuk “ Mendudukan Utusan Rakyat: Sebuah Usul Alternatif Agar Konsolidasi Demokrasi dalam Masa Transisi Tak Berkembang Jadi Sekedar Teori”, dipresentasikan pada beberapa kesempatan. Antara lain (a) pada diskusi “Mempertautkan Gerakan Massa dan Gerakan Ideologis: Refleksi dan Reposisi Gerakan Rakyat di Masa Transisi”, yang diselenggarakan dalam rangka Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta. Yogyakarta, tgl. 26 – 29 April 2002 lalu; (b) Pertemuan Forum V FPPM, 3 – 6 Juni 2002, di Bukittinggi, Sumatera Barat; dan (c) Seminar Sehari “Penguatan Masyarakat Madani: Prasyarat Bagi Mulusnya Konsolidasi Demokrasi Indonesia Kontemporer”. Diselenggarakan oleh Indonesian Institute for Democracy Education (IDE) dan Jendela Budaya, Yogyakarta, 1 Juli 2002. Versi ringkasannya, dengan judul “Mendudukkan Utusan Rakyat”, terbit pula di Harian Umum REPUBLIKA, 10 Agustus 2002. Setelah juga digunakan dalam beberapa kegiatan pelatihan dan lokakarya lain, akhirnya dokumen ini, setelah direvisi di sana-sini, diterbitkan dengan judul “Mendudukkan Utusan Rakyat, Pilihan ORNOP Demi Memperluas Partisipasi Politik Rakyat” (dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 11, Tahun III, 2002, Yogyakarta: Institute for Social Transformation). Sejauh yang saya tahu, sebagaimana yang dilaporakan oleh piha yang bersangkutan, dokumen ini kemudian ‘diolah’ menjadi proposal kegiatan penguatan dan atau pendidikan politik, termasuk dalam rangka mempersiapkan kelompok- kelompok masyarakat adap dalam menyongsong Pemilu 2004.
menciptakan, memanfaatkan dan mengembangkan ruang politik yang berada di tingkat lokal/komunitas masyarakat adat, kabupaten dan tingkat Nasional”. 31
Setelah melalui pengunduran jadwal penyelenggaraan beberapa kali, pada akkhirnya, Kongres Masyarakat Adat Nusantara II pun akhirnya terlaksana. Berbeda kontras dengan penyelenggaraan KMAN I, yang diselenggarakan di jantung ibukota Jakarta, di sebuah hotel
berbintang empat 32 , KMAN II diselenggarakan di sebuah desa, yakni Tanjung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 19 – 26 September 2003 lalu. Sedikitnya-
banyaknya, dengan diselenggarakannya KMAN II ini, AMAN berhasil survive, ditengah segala keterbatasannya, dan juga kritik yang makin sistimatis, seiring dengan pelembagaan gerakan
pembelaan hak-hak masyarakat adat ini. 33 Dalam kongres kedua ini topik-topik pembicaraan dan penyataan-pernyataan sehubungan dengan upaya penegakan hak-hak masyarakat adat
terlihat makin spesifik, dan untuk beberapa hal juga semakin teknis. Ini menunjukkan gerakan masyarakat tidak lagi hanya berkutat dengan pendakuan-pendakuan (claiming) dan tuntutan-tuntuan yang bersifat simbolik dan relatif etis, tetapi telah menapak pada langkah- langkah operasional dari pendakuan dan tuntutan itu. Dengan begitu, gerakan masyarakat tidak lagi hanya berpusat pada ‘pekerjaan-pekerjaan bongkar’, tetapi juga sadar pada
keharusan untuk melakukan ‘pekerjaan-pekerjaan pasang’. 34 Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa, gerakan masyarakat dalam artian sebagai
wacana maupun agenda aksi, mengalami kencenderungan menguat dari waktu ke waktu, terlepas dari ada-tidaknya pengaruh baiknya secara langsung terhadap kehidupan masyarakat adat sehari-hari. Hampir tidak ada pertemuan yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan publik dan/atau kegiatan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh ORNOP, kalangan pemerintahan, bahkan juga dunia usaha, yang merasa nyaman jika tidak dihadiri oleh ‘utusan’
31 Masing-masing sasaran, yaitu Tingkat Lokal, Tingkat Daerah, dan Tingkat Nasional, memiliki tujuan dan syarat yang diperlukan yang berbeda satu sama lainnya. Lebih lanjut kemudian dirumuskan susun syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Lebih lanjut lihat Keharusan Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Agenda Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Strategi dan rencana Aksi penguatan Posisi Politik Masyarakat Adat Nusantara, 2002 – 2003 , yang pada hakekatnya adalah Lampiran Salinan Keputusan rapat Kerja Dewan Nasional AMAN No. 10/SDDAMAN/1/2002, hal. 13 – 18.
32 Pemilihan tempat ‘bergengsi’ yang demikian itu bukanlah sekedar untuk ‘bermewah ria’, melainkan secara sadar dimaksudkan sebagai show of` force, bahwa masyarakat adat juga mampu menyelenggarakan pertemuan
sebagaimana yang kerap diselenggarakan oleh institusi-institusi yang selama ini menggilas hak-hak mereka. Kesimpulan ini diambil dalam rapat yang melibatkan seluruh unsur yang mendukung kongres. Termasuk dari kalangan masyarakat adat sendiri. Keputusan pun diambil setelah perdebatan yang cukup alot.
33 Ini suatu yang wajar terjadi dan tak harus membuat surut semangat AMAN. Betapun kritik-kritik itu harus ‘ditanggapi secara proporsional’, mengingat beberapa kerentanan yang menyatu pada berbagai sebutan, istilah,
konsep-konsep yang muncul dalam gerakan masyarakat adat ini. Kritik yang sistemmatis juga merupakan konsekwensi logis dari pelembagaan gerakan ini. Sebab, seiring dengan pelembagaan itu, gerakan masarakat juga dituntut merumuskan berbeagai gagasannya secara formal (yang digunakan dalam aksi/gerakan), suatu hal yang tak begitu penting dalam masa-masa sebelumnya. Formalisasi gagasan inilah yang kemudian menjadi alas dari kritik dimaksud. Dengan kenyataan ini AMAN kemudian ditutut untuk lebih mampu lagi melahirkan rumusan- rumusan yang dapat melencengkan semangat gerakan yang sesungguhnya (pembelaan pada kelompok- kelompok yang dimarginalkan/oppressed groups), sekaligus mudah ditunggangi oleh ‘penumpang gelap’ (atas nama adat kemudian melakukan penindasan terhadap kelompok-kelompok tertindas lainnya, seperti perempuan, atau bangkitnya kaum ‘feodal’, yang potensial menjadi kelompok penindas yang baru).
34 Hal ini tergambarkan, antara lain, sebagaimana yang diperbincangkan dalam berbagai panel selama kegiatan sarasehan berlangsung., yang antara lain juga ‘mengevaluasi’ capaian atas beberapa tuntutan yang relatif ‘telah
dikabulkan’. Misalnya soal merealisasikan ketentuan-ketenuan yang ada dalam Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan ‘otonomi desa’ dalam UU No. 22 Thn 1999 tentang Otonomi Daerah, misalnya. Juga terganbarkan pada acara kongres itu sendiri, yang begitu alot membahas aspek-aspek keorganisasian dan keanggotaan misalnya.
masyarakat adat atau yang dianggap mewakilinya (baca: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN). 35 Sebutan ‘masyarakat adat’ – meski dalam beberapa kesempatan
kehidupan keseharian masih ada gerutuan soal ini -- kemudian menjadi sebutan yang digunakan oleh berbagai kalangan di berbagai pertemuan formal dan informal, atau interkasi harian sekalipun. Berbagai literatur yang ‘menjelaskan’ maupun yang ‘mengkritisi’ – bahkan ada yang menolak -- konsep masyarakat adat pun makin kerap muncul. Baik berupa makalah- makalah yang dipresentasikan pada seminar dan lokakarya, laporan proyek, jurnal ilmiah, buku, dan sebagainya. Berbagai program untuk ‘penguatan masyarakat adat’ yang disponsori negara, badan-badan pembangunan seperti Bank Dunia, PBB, dan juga ‘lembaga donor swasta asing’ (umumnya dari negara-negara Utara) bukan sesuatu yang aneh lagi. Berbagai kajian tentang keberadaan dan segala dinamika kehidupan masyarakat pun makin banyak pula dilakukan. Sejauh yang saya tahu, soal-soal seputar masalah masyarakat adat ini kemudian menjadi bahan kajian penyusunan skripsi S1, bahkan tesis/disertasi S2 dan S3.
Berkaca pada beberapa kasus advokasi yang terjadi, paling tidak dalam 5 – 7 tahun terakhir ini, untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa posisi tawar masyarakat cenderung menguat. Namun, harus segera ditambahkan di sini, itu bukan berarti bahwa tak ada lagi penggusuran atas keberadaan masyarakat adat dalam beberapa tahun bnelakangan ini. Hanya saja, berbeda dengan keadaan pada tahun-tahun sebelumnya, dalam kasus-kasus baru itu, masyarakat adat – sedikit banyaknya – telah memiliki kendaraan perjuangannya. Berbagai surat protes dari berbagai ORNOP maupun dari oragnisasi-organisasi yang berbasis pada masyarakat adat sendiri bukan sesuatu yang susah lagi diupayakan. Masalahnya kemudian adalah apakah kecenderungan itu memiliki dukungan peraturan-perundangan yang lebih kuat dari masa sebelumnya; dan juga, apakah didukung oleh pengorganisasian masyarakat adat yang lebih kuat pula dari masa-masa sebelumnya di tingkat lapangan?
Melemahnya Pengakuan dalam Konstitusi
Sayangnya, berbeda dengan kecenderungan pada tingkat wacana dan aksi, eksistensi masyarakat adat dalam konstitusi dan berbagai peraturan-perundangan yang ada justru terlihat cenderung melemah dari keadaan sebelumnya. Banyak pengaturan yang muncul kemudian menimbulkan pertanyaan di lapangan. Tak tersedia jawaban atas permasalahan itu. Misalnya, pada Bab 1, Ketentuan Umum, butir h UU No. 22/1999 dikatakan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesusai degan peraturan-perundangan”. Pertanyaan yang muncul segera adalah: apakah dalam
35 Antara lain tergambarkan dalam begitu banyaknya ‘Pernyataan Sikap’ yang dikeluarkan oleh AMAN sepanang tahun 1999 – 2002 lalu. Sepanjang 4 tahun ituLihat Sekretariat Nasional AMAN, Kumpulan Pernyataan Sikap
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara 1999 – 2002. Setidaknya ada 12 ‘Penyataan Sikap’ tentan gkebijakan publik, baik dari tingkat Wilayah maupun untuk tingkat Nasional. Ini diluar pernyataan-pernyataan sikap terhadap ratusan kasus yang dihadapi oleh berbagai kelompok masyarakat adat di seantero negeri. Beberapa pernyataan sikap ini kemudian menjadi pedoman yang penting dalam penyusunan kebijakan yang dimaksud. Dokumen ini sekaligus juga menunjukkan kecenderungan penguatan yang lain. Yaitu, mulai ada organisasi yang mengorganisasikan pernyataan-pernyataan dimaksud, termasuk untuk mendokumentasikannya, agar dapat dipelajari pada masa-masa berikutnya. Relatif tingginya posisi tawar masyarakat adat dapat pula dilihat dalam kasus ‘macetnya’ Pertemuan Nasional II Program Kehutanan Multipihak yang disponsori oleh DFID dan Departemen Kehutanan, yang dielenggarkan tengah tahun 2003 lalu (lihat Erwin Fahmi & R. Yando Zakaria, “Multi-Stakeholder Processes dan Good Governance: Minus Malum dalam Wacana Neoliberal?”, tulisan yang dipersiapkan untuk Lokakarya “Civil Society, Citizenship and Democratic Consolidation in Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Indonesian Forum of Local Politcs and Democartization, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, tgl. 9 – 11 Maret 2004).
pengertian ‘otonomi daerah’ termasuk pula ‘otonomi desa’ (baca: ‘otonomi masyarakat adat’ atau ‘otonomi komunitas adat’), sebagaimana yang diinginkan oleh gerakan masyarakat adat selama ini? 36
Begitu pula, masih pada bagian yang sama, butir i, hanya dikatakan bahwa “ Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pertanyaannya adalah apakah pengertian ini berlaku pula bagi Desa? Padahal, dalam Bab 1, Ketetuan Umum ini tidak ada butir yang menyebut adanya ‘otonomi desa ’. Hanya secara implisit disebutkan dalam butir e (perhatikan frasa ‘kesatuan masyarakat hukum’). Pertanyaannya, apakah rumusan pada butir e. ini dapat disamakan dengan ‘otonomi desa ’?
Masalahnya lagi, dalam rumusan butir e ini, kata hak yang ada pada pasal 18 UUD 1945 yang diacu oleh UU ini -- lihat Penjelasan, Umum, Nomor 9, Pemerintahan Desa, butir (1) – dihilangkan. Hal yang sama juga terjadi pada Pasal 93 UU No. 22/1999. Kalaupun kata hak asal-usul disebutkan utuh dalam Penjelasan, umum, nomor 9, butir (1), kedudukannya menjadi lemah. Ini terkait dengan masalah kedudukan Penjelasan dalam UU dan UUD, di mana dikatakan bahwa Penjelasan atas UU dan UUD adalah tidak mengikat karena tidak ada dasar hukumnya, sebagaimana pendapat Prof. Dr. Harun Al Rasjid, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. 37
Karenanya, status Pemerintahan Desa menjadi tidak jelas: apakah bersifat otonom ataukah bersifat administratif belaka? 38 Pada Bab II, Pembagian Daerah, Pasal 2, ayat (1)
menurut UU No. 22/1999, desa tidak termasuk dalam macam satuan bagian wilayah. Pada pasal ini hanya disebutkan bahwa “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom”. Pada ayat 2-nya disebutkan bahwa “Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administrasi”.
Begitu pula, desa tidak disebut-sebut dalam Bab III yang mengatur soal Pembentukan dan Susunan Daerah. Di mana letak desa? Padahal, jika mengacu pada Pasal 18 UUD 1945, pembagian wilayah itu juga mengacu hingga desa (tersirat pada Penjelasan Pasal 18 butir II, UUD 1945). Apakah, dengan pengaturan yang demikian itu, yang dimaksudkan dengan ‘otonomi desa’ itu adalah bagian dari ‘otonomi daerah’-nya Kabupaten, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Kententuan Umum, Pasal 1, butir o? Jika memang begitu adanya maka wajar saja jika ‘otonomi desa’ adalah sisa-sisa dari otonomi daerah kabupaten!
Buruknya lagi, posisi ‘otonomi desa’ dan/atau ‘otonomi asli’ yang pada hakekatnya adalah ‘hak bawaan’ akan melemah menjadi sekedar ‘hak berian’. Sebagai ‘hak berian’, dengan sendirinya, sewaktu-waktu bisa kuat dan sewaktu-waktu bisa lemah, tergantung corak
36 Soal adanya tuntutan atas ‘otonomi desa’ atau ‘otonomi masyarakat adat’ silahkan periksa berbagai sumber yang telah saya acu di atas.
37 Lihat Majalah Detektif dan Romantika (D&R), No. 52/XXVIII/16 Agustus 1997 (Jakarta: PT. Analisa Kita), hal. 72 – 73. Menurut Prof. Dr. Harun Alrasyid, bagian “Penjelasan” UUD 1945 tidak dirumuskan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, melainkan dirumuskan sendiri oleh Soepomo. Bahkan, setahun kemudian, tahun 1946, selaku Menteri Kehakiman, Soepomo melampirkannya sebagai penjelasan resmi UUD 1945, yang menurut Alrasjid, tidak ada dasar hukumnya.