Yurisprudensi WTO dan HAM
2.1 Yurisprudensi WTO dan HAM
Sejauh ini, lembaga-lembaga penyelesai sengketa dalam WTO tidak secara langsung berhadap-hadapan dengan hukum HAM internasional. Namun lembaga tersebut harus menghadapi permasalahan yang mungkin terjadi menyangkut konflik hukum antara hukum WTO dan bidang hukum lainnya dalam tatanan hukum internasional seperti hukum lingkungan, serta berhadapan dengan kasus-kasus yang dilitigasikan ke WTO yang mengandung isu-isu berkaitan HAM, seperti isu kesehatan masyarakat dan terjaminnya pangan.
<http://www.wto .org/english/news_e/sppl_e/sppl26_e.htm> diakses pada 19 September 2010.
Misalnya, negara mungkin saja gagal untuk menerapkan langkah-langkah yang memihak kalangan miskin dalam menyediakan layanan tertentu karena takut melanggar GATS: Lihat Bagian 5, teks dalam tulisan 46 –57.
Pasal 3.2 traktat Kesepahaman WTO tentang Aturan-Aturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa menetapkan bahwa setiap Persetujuan dalam WTO akan ditafsirkan sesuai dengan mekanisme kebiasaan penafsiran , sebagaimana tertuang dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969. Pasal 31 (1) Konvensi Wina menyatakan bahwa suatu perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan tujuan dan maksudnya. Oleh karena itu, McBeth berpendapat bahwa Perjanjian WTO harus ditafsirkan sesuai preambule Perjanjian Marrakesh tanpa perlu ada keraguan sedikitpun , termasuk referensi untuk meningkatkan standar hidup , memastikan pemenuhan lapangan kerja penuh , dan
pembangunan yang berkelanjutan'. 111 Lembaga Panel dan Appellate Body secara umum belum mengambil pendekatan seperti ini, dan sedikit sekali hasil
keputusannya merujuk pada preambule Perjanjian Marakesh. 112 Tampaknya promosi perdagangan bebas per se lebih sering dianggap sebagai objek dan
tujuan bagi Perjanjian itu sendiri. Pasal 31 3 c Konvensi Wina menyatakan bahwa setiap peraturan terkait dalam hukum internasional berlaku dalam hubungan antara para pihak , yang
mana harus dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penyelesai sengketa dalam menafsirkan perjanjian. Panel WTO di lain waktu telah mengkonfirmasi bahwa hukum kebiasaan internasional memiliki relevansi dengan penerapan
norma-norma dalam WTO. 113 Appellate Body dan Panel telah menggunakan hukum kebiasaan internasional untuk menafsirkan kata-kata tertentu dalam
traktat WTO, serta dalam membahas isu-isu yang berkaitan dengan tanggung jawab negara, kedudukannya, perwakilan dari penasehat non kelembagaan (private counsel), beban pembuktian dan penerapannya dalam hukum
domestik. 114 Maka dari itu, sejauh dimungkinkan, Appelate Body dan Panel seharusnya menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam WTO sesuai dengan
hukum kebiasaan internasional, termasuk mempertimbangkan nilai-nilai HAM
McBeth, Loc. Cit, n 38, 108 –9; lihat juga Joe W Chip Pitts III, Corporate Social Responsibility: Current Status and Future Evolution
Rutgers Journal of Law and Public Policy 334, 355 –6, dan Joe W Chip Pitts III, The First U.N. Social Forum: History and Analysis
Denver Journal of International Law 297, 303. 112 Bagaimanapun bisa dilihat dalam kasus sengketa United States —Import Prohibition of
Certain Shrimp and Shrimp Products, dok WTO. WT/DS58/AB/R, AB- 1998 –4 (12 Oktober 1998) (Laporan Appellate Body) paragraf 12, 17, dan 129.
113 Korea —Measures Affecting Government Procurement, dok WTO. WT/DS163/R (19 Juni 2000) (Laporan Panel) para 7.96.
Peter Van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization (Cambridge University Press, Cambridge, 2005) 57.
norma WTO yang tidak konsisten itu. 116 Appellate Body dalam kasus yang dilitigasikan AS —kasus Larangan Impor
Jenis Udang Tertentu dan Produk Udang menyatakan bahwa Panel dapat mempertimbangkan perjanjian non-WTO sebagai pertimbangan dalam
menafsirkan Perjanjian-Perjanjian WTO. 117 Kasus ini sendiri berkaitan dengan sejumlah prinsip dalam perjanjian lingkungan hidup yang perlu dijadikan
pertimbangan dalam melakukan interpretasi Perjanjian secara dinamis (bukan secara kaku) dalam memutus masalah terkait. Namun, menurut Panel WTO
dalam kasus yang dilitigasikan Komunitas Eropa —dalam kasus Langkah- Langkah Mempengaruhi Persetujuan dan Pemasaran Produk Biotech, Panel dan Appelate Body lebih memilih menetapkan putusannya hanya mengacu pada Perjanjian WTO dalam penafsiran hukumnya. Logikanya, seharusnya lembaga-lembaga WTO tidak membuat keputusan seperti itu kecuali para
pihak yang bersengketa merupakan pihak-pihak yang ada dalam Perjanjian. 118 Panel dalam kasus Biotech ini menunjukkan bahwa peraturan non
perdagangan dapat diminimalisir sekecil mungkin dalam mengambil keputusan, atau bahkan diabaikan dalam penyelesaian sengketa, dengan tidak mempedulikan dampak non-perdagangan yang akan ditimbulkan oleh
sengketa. 119 Joost Pauwelyn menyarankan bahwa kewajiban dalam semua traktak
multilateral WTO seharusnya berada di bawah traktat HAM dan perjanjian lingkungan secara hirarkis, ini demi menjaga proses penyelesaian sengketa dalam WTO tersebut jika sewaktu-waktu ada klaim pelanggaran traktat WTO diajukan. Pauwelyn beralasan bahwa kewajiban WTO pada dasarnya bersifat
115 McBeth, Loc. Cit, n 38, 110 –12.
Contohnya, dalam kasus EC —Measures concerning Meat and Meat Products EC— Hormones , WTO doc. WT/DS48/AB/R (16 Januari 1998) (Laporan Appellate Body), Appellate Body memutuskan bahwa hukum lingkungan adalah prinsip pencegahan , tidak akan mengesampingkan Perjanjian SPS, walau norma-norma dalam hukum lingkungan adalah norma kebiasaan internasional sekalipun, terdapat dalam paragraf 120 –5. Appellate Body tidak bisa memastikan bahwa prinsip pencegahan (precautionary) sebenarnya norma adat internasional atau bukan, karena didapati statusnya yang tidak jelas.
117 Ibid, n 118, paragraf 126 –34. 118 Dok WTO. WT/DS291-2 93/R (29 September 2006) (Laporan Panel) para 7.68. 119
Lihat juga, secara umum , Margaret A Young, The WTO s use of relevant rules of international law: an analysis of the Biotech case
ICLQ 907. Biotech sendiri telah diritik oleh Komisi Hukum Internasional, Loc. Cit, n 90, at para 471.
resiprosal, jadi pihak ketiga yang tidak terlibat sengketa tidak seharusnya menerima dampak dari kewajiban resiprosal dari negara penggugat dan tergugat yang terlibat sengketa, putusan yang dibuat juga harus mengindahkan kewajiban multilateral, dimana kedudukan kedua negara yang bersengketa juga terikat kewajiban itu. Dengan begitu, negara dimungkinkan bisa membela diri dari klaim pelanggaran Perjanjian WTO dengan mendasarkan pembelaannya pada kewajiban HAM yang diemban selama negara penuntut
juga memiliki tanggung jawab yang sama terhadap HAM. 120 Teori Pauwelyn dianggap sangat baik tetapi juga kontroversial. 121 Teori ini sendiri belum mendapat respon dukungan dari lembaga-lembaga penyelesai WTO. 122
Pauwelyn juga menyatakan bahwa Panel WTO tidak akan mampu menegakkan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam traktat-traktat lain: kewajiban atas HAM sendiri menurut pandangannya hanya dapat digunakan sebagai perisai ketimbang sebagai pedang . Appelate Body telah membenarkan pernyataan Pauwelyn tersebut dalam kasus yang diajukan Meksiko —kasus Pajak Minuman Ringan dan Minuman Lainnya, yang mana Appelate Body tidak dapat memetakan dengan jelas antara hak dan kewajiban di bawah traktat-traktat
internasional. 123 Tampaknya lembaga-lembaga penyelesai sengketa WTO menggunakan
salah satu pendekatan berikut ini jika dihadapkan dengan adanya potensi konflik antara hukum HAM dan kewajiban-kewajiban dalam WTO. Pertama, jika traktat HAM diratifikasi oleh negara yang juga menjadi negara anggota WTO, lembaga penyelesai sengketa akan mempertimbangkan traktat HAM juga dalam menafsirkan kewajiban-kewajiban WTO tersebut dalam melahirkan keputusan kepada masing-masing negara yang bersengketa. Perlu dicatat, seharusnya pihak non negara untuk menjadi partisipan suatu traktat sepenuhnya tidak diperbolehkan, akan tapi nyatanya WTO memperbolehkan anggota yang bersifat non negara, seperti Hong Kong, Cina Taipei, dan Komunitas Eropa: anggota non negara tidak memenuhi kualifikasi sebagai
120 Joost Pauwelyn, Conflict of Norms in Public International Law: how WTO law relates to other norms of International Law (Cambridge University Press, Cambridge, 2003) contohnya,
52ff dan 491.
Van den Bossche, Loc. Cit, n 120, 63. 122 Harrison, Loc. Cit, n 17, 190 –1.
123 Mexico —Tax Measures on Soft Drinks and Other Beverages, WTO doc. WT/DS308/AB/R, AB-2005-10 (6 Maret 2006) (Laporan Akhir Appellate Body) para 78. Meksiko sendiri
berpendapat bahwa tribunal NAFTA adalah forum yang lebih tepat untuk memutuskan sengketa ini.
peratifikasi atas kebanyakan traktat tersebut. 124 Adanya kelonggaran dalam pilihan pertama ini seharusnya memberi jalan dalam upaya mengikat semua
anggota WTO terhadap traktat HAM yang relevan, atau semua negara yang telah meratifikasi ataupun yang baru menandatangani traktat. 125 Kedua,
interpretasi alternatif Pasal 31 (3) (c) Konvensi Wina yang digunakan dalam kasus Komunitas Eropa —Biotech, sepatutnya keputusan yang dibuat berangkat dari titik anjak bahwa kewajiban HAM seharusnya ikut dipertimbangkan apabila pihak yang bersengketa juga pihak dari perjanjian tersebut. Namun, metode penafsirannya, lebih cenderung menggunakan pendekatan sempit dalam kasus sengketa Komunitas Eropa —Biotech, tidak memuaskan jika dinilai dari sudut pandang HAM karena lembaga penyelesai sengketa dalam putusan mengabaikan norma-norma HAM, norma-norma HAM dalam kasus ini sendiri tidak mengikat semua pihak yang bersengketa. Contoh lain, AS bukanlah pihak dalam Kovenan Ekosob sehingga traktat dalam WTO tidak akan relevan dengan HAM dalam (banyak) sengketa yang melibatkan raksasa perdagangan ini. Fakta, AS bukan negara peratifikasi Kovenan Ekosob (atau sebagai contoh lain, Cina adalah negara yang tidak meratifikasi Kovenan Sipol) yang tentu saja tidak memiliki kewajiban terkait di bawah hukum HAM, adalah keliru ketika menjadikannya gambar pembanding bagi kewajiban negara lain di
bawah ketentuan Kovenan Ekosob (atau Kovenan Sipol). 126 Fakta hukum seperti ini dapat menyebabkan masing-masing negara memiliki kewajiban yang
berbeda-beda di bawah WTO, terlepas dari kewajiban MFN yang ada. 127 Pilihan ketiga bagi lembaga-lembaga penyelesai sengketa WTO adalah
mencoba untuk menafsirkan hukum WTO sesuai dengan, dan melihatnya dari sudut pandang, norma-norma HAM yang relevan, terlepas apakah para pihak yang bersengketa sebagai pihak dalam perjanjian yang telah meratifisikasi norma-norma dalam traktat HAM atau tidak. Seperti telah dikemukakan di atas, Appelate Body juga telah menggunakan traktat lingkungan hidup sebagai pertimbangan interpretasinya dalam kasus Udang, meski masing-masing pihak
124 Harrison, Loc. Cit, n 17, 201.
Hanya ikut menandatangani traktat tertentu tentu saja tidak menimbulkan beban kewajiban sebagaimana ketika meratifikasi, tidak juga menimbulkan beban kewajiban berdasarkan Pasal 18 (a)Konvensi Wina, tetapi juga tidak menggugurkan objek dan tujuan dari adanya traktat terkait.
126 Lihat Harrison, Loc. Cit, n 17, 202 –3.
Tampak begitu nyata di sini bahwa perumusan keputusan dipengaruhi penggunaan pendekatan yang ketat dalam kasus Komunitas Eropa —Biotech, Loc. Cit, n 124, lihat juga paragraf 7.71.
ketika bergabung dengan PBB, maka norma-norma yang pada dasarnya tercermin dalam dua Kovenan dengan sendirinya memenuhi dasar perbandingan yang diutarakan Pauwelyn. Selain itu, semua negara anggota PBB terikat oleh Piagam PBB dan tanggung jawab provisional HAM, yang
sepertinya terinkorporasi dalam UDHR. 129 Penafsiran norma-norma dalam WTO harus dilihat dari sudut pandang UDHR dan semua traktat HAM utama
yang berlaku secara global, khususnya yang mengandung perintah ketimbang kebijakan yang dikeluarkan oleh Panel dan Appelate Body. Tentu saja metode terakhir ini paling baik diantara ketiganya dari sudut pandang pendekatan HAM. Pendekatan ini juga bisa dibilang yang paling baik dari sudut pandang hukum perdagangan, karena menghilangkan kemungkinan terjadinya pengkotak-kotakan kewajiban dan memperkuat legitimasi rezim perdagangan itu sendiri dengan meminimalkan konflik dengan rezim hukum internasional lainnya.
Dari tiga skenario yang ada, tampaknya lembaga-lembaga penyelesai sengketa WTO, keputusannya akan terus bertumpu pada kewajiban-kewajiban dalam WTO sendiri, mengungguli kewajiban-kewajiban HAM dalam kasus yang tidak bisa diselesaikan melalui jalan interpretasi, kecuali dalam contoh
kasus yang langka sekali dimana HAM ditemui sebagai kewajiban jus cogens. 130 Interprtasi aturan WTO oleh Panel and Appellate Body akan dijelaskan lebih
lanjut dalam Bagian 4.