2 Hubungan Antara Hukum WTO dan Hukum H

1. Nilai-nilai yang mendasari

Meski bisa dibilang keduanya diperkirakan memiliki sumber akar lintas- budaya pada konsep awal hukum, pengertian modern HAM sering kali bisa ditelusuri kembali kepada filsafat liberal Barat pada abad ketujuhbelas hingga

kesembilanbelas. 1 Khususnya, dalam Second Treatise of Government’ karya John Locke yang secara spekulatif menyatakan bahwa lelaki (men) berdasar

'kodrat alam memiliki hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak

* Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy. Tulisan ini adalah bagian dari sepuluh Bagian dalam buku Blame It on WTO: A Human Critique karya Sarah Joseph, yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Ini masih dalam bentuk belum final, dan hanya untuk tujuan pemenuhan hak terhadap ilmu pengetahuan. Untuk keperluan komersialisasi penerbitan buku terjemah ini dalam bentuk versi penuh, silahkan hubungi mazkuri.agung@gmail.com dan mengurus lisensi hak ciptanya kepada penerbit hak cipta.

1 Tulisan setelahnya diadaptasi dari Sarah Joseph, Civil and political rights in Mashood Baderin and Manisuli Ssenyonjo, International Human Rights Law: Six Decades after the UDHR

(Ashgate, Surrey, 2010) 89 –106.

kepemilikan. 2 Diskursus serupa juga muncul di Abad Pencerahan di Perancis dengan munculnya gagasan-gagasan Rousseau, Montesquieu dan Voltaire,

meski diskursus yang berkembang di daratan Eropa memberi batasan-batasan kualifikatif hak-hak secara lebih banyak, berupa adanya kewajiban di sisi lain dan munculnya gagasan-gagasan rasa persaudaraan dan kesetaraan bersamaan

dengan adanya kebebasan tersebut. 3 Teori hak menurut hukum alam dikatakan bahwa hak tersebut berakar pada martabat yang melekat (inherent) dan

berdasar pada rasionalitas manusia (atau lebih tepatnya, kaum laki-laki ), yang dikembangkan dari doktrin keagamaan yang dominan saat itu tetapi

irasional/berpaham theistik. 4 Menurut teori Lockean (penganut pendekatan John Locke), masyarakat d ibentuk di bawah kontrak sosial , di mana kaum

lelaki tetap memiliki hak-hak alamiahnya yang tunduk pada kualifikasi- kualifikasi yang dibuat agar tidak saling mengancam atau membahayakan hak masing-masing. Peran pemerintah sangat minim, dan pada dasarnya terbatas pada penegakan kontrak sosial saja. Oleh karena itu, konsep HAM telah diartikan secara sempit, yang hanya berkaitan masalah kebebasan sipil dan politik dari adanya tindakan represif pemerintah dan adanya perlindungan dari tindakan yang mengancam dari pihak lain, ketimbang diartikan adanya hak atas komoditas atau jasa yang harus disediakan oleh pihak pemerintah. Konsepsi awal hukum HAM seperti ini, metode pendekatannya merupakan yang mempengaruhi corak Bills of Rights di Amerika Serikat dan Perancis, hanya berkutat pada hak-hak kebebasan negatif (libertarian negative rights) ketimbang adanya klaim atas hak secara positif.

Meskipun banyak kritik dialamatkan terhadap para penganut teori hak

5 alamiah, seperti Karl Marx 6 dan Jeremy Bentham, teori hak alamiah tetap

2 John Locke, The Second Treatise of Government , cetak ulang dalam Peter Laslett (ed), Locke, Two Treatises of Government, ed. Ke-22 (Cambridge University Press, Cambridge,

1988) 265ff. 3 Mary Ann Glendon, A World Made New: Eleanor Roosevelt and the Universal Declaration

of Human Rights (Random House, New York, 2001) xvii. 4 Lihat Burns Weston, Human Rights

Human Rights Quarterly 257, 259. 5 Marx tidak mengakui hak-hak natural/alamiah karena menganggapnya sebagai bentuk

egoisme dan berangkat dari premis anti sosial yang mengadu domba manusia dan melawan kemanusian itu sendiri: lihat, misalnya , Karl Marx, On the Jewish question , cetak ulang dalam David McClellan (ed), Marx: Selected Writings (Oxford University Press, Oxford, 1977)

51 –7 6 Bentham yang angat terkenal tersebut tidak mengakui teori berdasar hak-hak alamiah

dan menganggapnya sebagai kesalahan berlogika/anarchical fallacies dan omong kosong di atas panggung : lihat Jeremy Bentham, Anarchical Fallacies , cetak ulang dalam Jeremy dan menganggapnya sebagai kesalahan berlogika/anarchical fallacies dan omong kosong di atas panggung : lihat Jeremy Bentham, Anarchical Fallacies , cetak ulang dalam Jeremy

berkembang lebih jauh meninggalkan akar konsepsi libertarian awal demi menjangkau hak-hak perempuan dan minoritas, hak-hak pekerja, dan

beberapa batasan minimum hak-hak dalam bentuk welfare rights, 8 dan kebutuhan orang-perorang dalam perannya sebagai bagian dari anggota

masyarakat, bukan individual belaka. 9 Nilai-nilai di atas kemudian diartikulasikan dalam UDHR dan merangkum

semua nilai-nilai yang mendasari sistem HAM internasional modern: universalitas, martabat, kemerdekaan (atau kebebasan), keadilan, kesetaraan (atau fairness, juga termasuk keadilan distributif), akuntabilitas (pemerintah), partisipasi, pemberdayaan, dan rasa persaudaraan (atau solidaritas) antara

orang-perorang. 10 Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, menyatakan bahwa aturan-aturan

dalam perdagangan, juga termasuk aturan-aturan dalam WTO, didasarkan pada nilai-nilai ya ng sama dengan HAM: kebebasan dan tanggung jawab individu, non-diskriminasi, penegakan hukum, dan kesejahteraan melalui

kerjasama yang damai antar individu . 11 Seorang sarjana pakar WTO berpengaruh Ernst-Ulrich Petersmann juga menyatakan bahwa rezim WTO

mempromosikan kebebasan (dalam menghilangkan pembatasan perdagangan), perlakuan diskriminasi (dalam bentuk Most Favoured Nation/MFN dan National Treatment/NT), rule of law (dalam kaitan negara anggota WTO untuk bersikap transparan dengan kewajiban dan pelaksanaannya menurut sistem yang berbasis perdagangan internasional), dan efisiensi ekonomi dalam

Waldron (ed), Nonsense upon Stilts: Bentham, Burke and Marx on the Rights of Man (Methuen, London, 1987) 46ff.

7 J ohannes Morsink, The Philosophy of the Universal Declaration Human Rights Quarterly 391. 8 Lihat Henry Shue, Basic Rights (Princeton University Press, Princeton, 1980) 24 –5;

Matthew Craven, The International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Oxford University Press, Oxford, 1995) 13. Tentu saja, Morsink telah menelusuri hal-hal pendukung untuk hak-hak Ekosob dalam mendukung teori hak alamial awal, Thomas Paine, dalam Morsink, Loc. Cit, n 7, 326.

9 Morsink, Loc. Cit, n 7, 334. 10 Lihat Universal Declaration of Human Rights, khususnya dalam Preambule dan Pasal 1. 11 Pascal Lamy, Towards shared responsibility and greater coherence: human rights,

trade and macroeconomic policy (Pidato dalam seminar HAM dalam Ekonomi Global, diselenggarakan oleh Dewan HAM Internasional dan Upaya Mewujudkannya, Jenewa, 13

Januari 2010) <http://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl146_e.htm> diakses pada 18 September 2010.

meningkatkan kesejahteraan. 12 Keseluruhan nilai-nilai di atas, sebagaimana diproklamirkan oleh Lamy dan Petersmann, tampaknya kongruen/sebangun

dengan promosi prinsip-prinsip HAM sejauh titik sebelum adanya kajian lebih mendalam lagi.

1.1 Kebebasan dan hak menurut hukum perdagangan dan hukum HAM

Kebebasan yang digemborkam WTO secara eksklusif telah melakukan pengingkaran di bidang ekonomi internasional, seperti adanya hak negara eksportir untuk menikmati propertinya secara damai dan menikmati prinsip kebebasan berkontrak, non-diskriminasi sehubungan dengan hal lainnya, seperti bidang industri (akan dibahas di bawah nanti), dan kebebasan pergerakan komoditas dan jasa lintas tapal batas. Ruang lingkup kebebasan di sini sangatlah sempit dibandingkan kebebasan yang dipromosikan di bawah HAM. Selanjutnya, munculnya hukum WTO sendiri untuk mendukung hak, hak dagang pihak asing, sementara hukum HAM mengakui hak untuk semua. Sempitnya ruang lingkup asas kemanfaatan di bawah hukum WTO menimbulkan bahaya, mengingat Asing sebagai pihak yang diuntungkan dan terlalu diistimewakan ketika kepentingannya berbenturan dengan pihak lain, misalnya, terhadap kompetitor lokal atau konsumen, dengan cara yang justru melanggar HAM pihak yang disebut terakhir (baca: kompetiror lokal dan konsumen).

Sebagaimana telah disinggung di atas, teori hak alamiah John Locke begitu mempengaruhi perkembangan hukum HAM. Locke juga salah satu filsuf modern pertama yang meletakan dasar pembenaran hak atas kepemilikan pribadi. Namun demikian, dalam hukum HAM internasional modern, hak atas kepemilikan pribadi terdapat kualifikasi-kualifikasi yang dipersyaratkan. Misalnya, Pasal 1 (1) Konvensi HAM Eropa (European Convention on Human Rights/ECHR) menguraikan hak sebagai berikut:

Setiap hak alamiah ataupun hak hukum bagi seseorang menjamin setiap orang untuk menikmati hak miliknya tanpa ada rasa takut. Tidak seorangpun bisa dirampas harta miliknya kecuali untuk kepentingan umum yang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.

12 Ersnt- Ulrich Petersmann, Time for a United Nations Global Compact for integrating human rights into the law of worldwide institutions: lessons from European integration

(2002) 13 European Journal of International Law 621, 636.

Ketentuan-ketentuan sebelumnya, bagaimanapun, dan dengan cara apapun suatu negara dilarang melanggar hak dalam penegakan hukum. Pengakuan hak kepemilikan ini dianggap perlu guna mengontrol perampasan hak milik yang mengatasnamakan kepentingan umum atau untuk menjamin pembayaran pajak atau konstribusi-konstribusi lainnya, atau denda.

Hak atas properti ini batasan kualifikatifnya disinggung secara mendalam di dalam paragraf kedua, dan fakta bahwa seseorang dapat saja dirampas salah satu hak milik nya atas nama kepentingan umum melalui ketentuan hukum

domestik maupun internasional. 13 Hak atas kepemilikan dalam UDHR sebenarnya tidak bisa ditransformasikan

ke ranah global melalui salah satu Kovenan, sebagian besar disebabkan penolakan blok Sosialis selama penyusunannya. 14 Tspi, hal ini juga bukan

dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hak milik benar-benar tak terlindungi di bawah ketentuan Kovenan-Kovenan tadi. Misalnya, hak atas kepemilikan harus bisa dinikmati secara non-diskriminatif. Dalam kasus menggugat Republik Ceko di bawah ketentuan Kovenan Sipol, HRC menemukan fakta bahwa pemberian ganti rugi hak kekayaan yang disita oleh rezim komunis sebelumnya hanya diberikan kepada pada warga negaranya saja, ini merupakan

bentuk pelanggaran prinsip non-diskriminasi berdasar kebangsaan. 15 Hak atas properti di sini per se tidak terlindungi: tidak akan ada pelanggaran Kovenan

Sipol mengapung dalam kasus Ceko jika saja tidak ada tindakan restitusi terhadap orang-perorang. 16

Promosi hak atas kepemilikan dalam konteks globalisasi ekonomi (telah bergerak di luar ranah tujuan WTO) cenderung terfokus pada keamanan transaksi dan perlindungan bagi investor Asing, bukan bertitik anjak pada prinsip hak atas kepemilikan sesuai dalam HAM, yang mensyaratkan hak harus

13 Terkait kasus hukum yang memiliki relevansi terhadap Mahkamah HAM Eropa, lihat Pieter van Dijk, Fried van Hoof, Arjen van Rijn, dan Leo Zwaak (ed), Theory and Practice of the

European Convention on Human Rights, 4th edn (Intersentia, Antwerp, 2006) Bab 17. 14 Lihat Audrey Chapman, Approaching intellectual property as a human right obligasi

memiliki relevansi Pasal c XXXV Copyright Bulletin 4, 12. 15 Lihat, misalnya, Simunek v Czech Republic, dokumen PBB. CCPR/C/54/D/516/1992 (19

July 1995) and Adam v Czech Republic, dokumen PBB. CCPR/C/57/D/586/1994 (25 Juli 1996) (dikeluarkan oleh kedua Komite HAM).

16 Asal mulanya, Kovenan Sipol tidak mengakui diperbolehkannya penyitaan secara didiskriminatif bagi orang perorang atas dasar pilihan politiknya, kasus Rep. Ceko sendiri

lebih dulu ada ketimbang berlakunya Kovenan Sipol.

bisa dinikmati oleh semuanya terlepas dari utilitas ekonomi pihak tertentu. 17 Ujungnya, keberadaan hak atas hak milik dalam hukum WTO tersebut

menjadi berat sebelah dan perlindungan hak milik dalam lingkup globalisasi ekonomi ini bisa memicu pengalihan penguasaan tanah secara korup dan upaya paksa yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang bisa membayar lebih untuk itu, dan/atau bagi mereka yang bisa memberdayakan tanah secara lebih menguntungkan, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat adat dan masyarakat miskin. Di sisi lain, pengalihan penguasaan tersebut mungkin

secara ekonomis menguntungkan, setidaknya dalam jangka pendek, 18 yang nyata-nyat hal ini tidak sesuai dengan norma-norma HAM internasional yang

ada. Contohnya, sistem pendaftaran tanah yang umumnya dirancang untuk kepastian hak atas kepemilikan, dan pengenalan sistem ini sendiri telah didanai oleh Bank Dunia di beberapa negara berkembang. Sayangnya, sistem tersebut memiliki celah akan adanya kesempatan tindak korupsi dan pelanggaran HAM, dimana pemilik tanah secara tradisional seperti masyarakat adat bisa digusur secara sewenang-wenang, lalu tanah mereka dialihkan ke

para spekulan dan pengembang bermodal. 19 Hak kebebasan berkontrak dalam hukum HAM internasional tidak bisa

diberlakukan sekenanya, terlepas dari Pasal 15 (2) dan 16 Piagam Hak Fundamental Uni Eropa (the Charter of Fundamental Rights of the European

Union). Tujuan awal komersialisasi Uni Eropa sendiri sudah tidak diragukan lagi memiliki pengaruh dalam menghasilkan ketentuan-ketentuan provisional, yang mulai diberlakukan di sebagian besar negara Uni Eropa per 1 Desember

2009. 20 Di lingkup domestik, kebebasan berkontrak memiliki sejarah yang selalu berubah ketika terjadi Amandemen keempatbelas Bill of Rights Amerika

17 Lihat misalnya James Harrison, The Human Rights Impact of the World Trade Organisation (Hart, Oxford, 2007) 47.

18 Lihat, misalnya, Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (Anthem Press, London, 2003) 82 –3.

19 Lihat Natalie Bugalski dan David Pred, Land Titling in Cambodia: Formalizing Inequality

Housing and ESC Rights Law Quarterly 1. Lihat juga Nicola Colbran, Indigenous Peoples in Indonesia: at risk of disappearing as distinct peoples in the rush for biofuel?

International Journal for Minority and Group Rights, segera rilis, makalah ada pada penerbit, membahas penggusuran masyarakat adat di Indonesia demi memberi jalan

bagi perkebunan kelapa sawit dan pemberdayaan tanaman genus Jatropha yang termasuk

keluarga Euphorbiaceae (diantaranya untuk bahan baku biodisel), khususnya dibahas dalam 11 –15.

20 Piagam mulai berlaku bersamaan disahkanya Traktat Lisbon, yang mereformasi Uni Eropa. Piagam tersebut tidak berlaku secara penuh di Inggris, Polandia, atau Republik Ceko.

Serikat. Terkenal, sebagai Lochner v New York, 21 Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan Putusan Hukum Pengadilan New York yang membatasi

jumlah jam kerja tukang roti dalam satu hari (10 jam) dan dalam satu minggu (60 jam). Ini merupakan bentuk kasus hukum yang dialamatkan untuk mempromosikan hak-hak buruh, tetapi juga bisa dikatakan untuk melemahkan prinsip kebebasan berkontrak yang diteken oleh individu. Kasus Lochner jelas mendemonstrasikan ketegangan yang muncul antara regulasi terkait perburuhan dan regulasi yang tentu saja berhubungan dengan ekonomi, dan

prinsip kebebasan berkontrak dalam doktrin laissez-faire. 22 Kebebasan berkontrak dan kebebasan ekonomi lainnya juga dapat disalahgunakan

mengingat pihak-pihak tertentu memiliki daya tawar yang tidak sama. Hak atas kebebasan pergerakan barang dan jasa per se cocok dengan prinsip

kebebasan HAM, dengan cara menyamakannya pada hak kebebasan bergerak seseorang, prinsip hak atas kebebasan pergerakan barang dan jasa baru saja

muncul di bawah hukum WTO. 23 HAM itu melekat kepada individu dan kadang-kadang kepada kelompok, 24 tidak melekat pada komoditas ekonomi. Ada perdebatan sengit terkait prinsip kemanfaatan hak atas perdagangan , sebagaimana dicontohkan oleh jual-beli pandangan antara Petersmann dan

Philip Alston pada tahun 2002. 25 Hak kebebasan pergerakan barang dan jasa tentu saja kehadirannya difasilitasi oleh hukum WTO dalam ranah

internasional. Perlu dicatat pula, Panel WTO juga telah menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pendirian GATT/WTO secara keseluruhan adalah untuk menciptakan kondisi tertentu pasar yang akan memungkinkan kegiatan

21 198 US 45 (1905) (Mahkamah Agung Amerika Serikat). 22 Secara eksplisit, Lochner tidak melanggar peraturan, tetapi kasusnya dipersamakan dengan kasus West Coast Hotel Co v Parrish 300 US 379 (1937) (Mahakamah Agung Amerika Serikat).

23 Philip Alston, Resisting the Merger and Acquisition of Human Rights by Trade Law: A Reply to Petersmann

European Journal of International Law 815, 825. GATS meramalkan terjadi liberalisasi pergerakan tenaga kerja di sektor perakitan ponsel di bawah Mode IV GATS, tetapi nyatanya sedikit sekali komitmen yang telah dibuat oleh GATS. Perlu digarisbawahi bahwa hukum HAM internasional jarang sekali menyinggung hak bagi seseorang untuk memasuki suatu negara asing, kecuali di bawah ketentuan hukum pengungsi internasional dan sistem perlindungannya yang saling melengkapi.

24 Kebanyakan masyarakat internasional mengakui bahwa HAM melekat terhadap individu, meski kadang hak-hak secara kolektif juga diakui, contohnya hak untuk

menentukan nasib sendiri dalam Pasal 1 dalam Kovenan Sipol dan Ekosob. 25 Lihat Petersmann, Loc. Cit, n 12, dan Alston, Loc. Cit, n 23; lihat juga Robert Howse,

Human Rights in the WTO: Whose Rights, What Humanity? Comment on Petersmann 13 European Journal of International Law 651.

oleh individu agar bisa berkembang. 26 Ironisnya, tidak ada ketentuan hak atas perdagangan yang diakui dalam HAM.

Terlepas pernyataan dalam keputusan Panel WTO yang dikutip di atas, WTO tidak memberi akses hak atas kebebasan berkontrak atau hak atas perdagangan sebagai hak yang melekat pada individu. Individu tidak memiliki hak ini secara langsung di bawah hukum WTO, hanya negara anggota yang memiliki hak (dan kewajiban) tersebut. Perlu diingat lagi, hak tersebut tidak secara langsung bisa digunakan oleh pihak-pihak pelaku ekonomi: pada dasarnya hanya negara saja yang bisa mengajukan klaim atas nama pelaku ekonomi mereka. Klaim seperti ini biasanya diajukan oleh perusahaan besar, cukup diragukan suatu negara akan mengorbankan waktu dan biaya untuk melakukan litigasi ke WTO atas nama pelaku ekonomi kecil yang tidak

memiliki dampak signifikan bagi sektor ekonomi domestik. 27 Korporasi secara umum tidak diakui sebagai subyek pemilik HAM menurut hukum HAM

internasional. 28 Perbedaan nilai-nilai yang diusung WTO dan yang diusung HAM lebih jauh

digambarkan oleh perbedaan arah tujuan yang ingin dicapai, yang mendasari pengakuan hak-hak di dalam keduanya. Alston secara meyakinkan berpendapat bahwa hak-hak yang diakui dalam WTO tidak bisa disamakan dengan hak-hak dalam HAM karena keduanya memiliki dasar alasan yang berbeda secara fundamental:

Hak Asasi Manusia mengakui hak semua orang berdasar martabatnya yang melekat (inherent) pada semua orang. Sedangkan hak terkait dengan perdagangan diberikan kepada orang-perorangan atas dasar alasan-lasan yang instrumental. Individu dianggap sebagai objek bukan sebagai pemegang hak. Individu diberdayakan sebagai pelaku ekonomi untuk tujuan tertentu dan dalam rangka mempromosikan pendekatan spesifik dalam kebijakan ekonomi, bukan sebagai pelaku politik dalam arti penuh dan juga sebagai pemilik seperangkat hak-hak individual secara komprehensif dan berimbang. Bukan

26 United States —Sections 301–310 of the Trade Act of 1974, dokumen WTO. WT/DS152/R (22 Desember 1999) (Laporan Panel) para 7.73.

27 Lihat juga Caroline Dommen, Raising Human Rights Concerns in the World Trade Organization: Actors, Processes and Possible Strategies

Human Rights Quarterly 1, 47. 28 Akan sangat mengherankan, entitas buatan seperti perusahaan dapat membawa klaim

pelanggaran HAM ke meja hijau Pengadilan HAM Eropa. Lihat secara umum, Marius Emberland, The Human Rights of Companies: Exploring the Structure of ECHR Protection (Oxford University Press, New York, 2006). Korporasi sendiri diakui pihak yang memiliki hak-hak di bawah ketentuan Bills of Rights di beberapa negara, sebagaimana yang terjadi Kanada atau Amerika Serikat.

berarti ada yang salah dengan pendekatan instrumentalis tersebut, tetapi janganlah sampai tertukar dengan pendekatan hak dalam HAM. 29

Alston membenarkan bahwa sikap keberatan proposisinya terletak pada hak (secara dimiliki secara tidak langsung) dalam konsep kekayaan intelektual yang berdasar ketentuan TRIPS, yang bisa dikatakan berhubungan dengan hak-hak yang diakui dalam Pasal 15 (1) (c) Kovenan Ekosob. Bagaimanapun hal ini sangat ironis, TRIPS telah mengundang kritik yang berkepanjangan karena dampaknya terhadap aspek HAM, sebagaimana akan dibahas dalam Bagian 7.

Titik tekan konsep kebebasan dalam hukum WTO secara umum bertujuan untuk membebaskan perdagangan dari hambatan-hambatan yang dibuat pemerintahan suatu negara. Tentu saja, banyak dari hukum HAM juga bertujuan untuk membebaskan orang-perorang dari pembatasan yang tidak masuk akal/dipertanggungjawabkan yang dibuat oleh suatu pemerintahan. Namun perlu diingat, sebagaimana tertulis dalam Bagian 1, tanggung jawab akan pelaksanaan HAM juga mewajibkan negara untuk bertindak (positive duties) dalam melindungi dan memenuhi HAM yang membutuhkan tindakan nyata, pencipataan payung hukum dan campur tangan negara. Munculnya hambatan (atau adanya anggapan adanya hambatan) berhubungan kemampuan suatu negara untuk melaksanakan tugas positifnya dalam penegakan HAM, salah satu penghambat terbesar yang dirasakan, ditimbulkan oleh aturan WTO terhadap kelangsungan penegakan HAM. Sebagaimana diutarakan Dr. Andrew Lang:

Rezim perdagangan internasional, bisa dibilang, telah memunculkan hambatan baru bagi kebijakan yang bisa diambil oleh suatu negara, sehingga negara sekarang ini tidak bisa mencampuri urusan perekonomian dalam memenuhi kewajiban hak asasi manusia yang diembannya. Negara merupakan mekanisme utama bagi sistem hak asasi manusia agar dapat mencapai tujuan-tujuannya, ceritanya, negara kehilangan efektivitasnya dalam menghadapi tatanan ekonomi neo-liberal internasional yang berpengaruh dan begitu mendominasi

akhir-akhir ini 30 .

Sebagai contoh, suatu negara umpamanya ingin menerapkan skema harga terkait kebutuhan vital, seperti penyediaan air bersih atau listrik, yang tentu

29 Alston, Loc. Cit, n 23, 826. 30 Andrew Lang, Inter-regime Encounters dalam Sarah Joseph, David Kinley, dan Jeff

Waincymer, The World Trade Organization and Human Rights: Interdisciplinary Perspectives (Edward Elgar, Cheltenham, 2009) 184. Ironisnya, perlindungan kekayaan intelektual membutuhkan peran serta negara yang cukup besar: lihat juga hlm. 293.

saja negara harus membatasi kebebasan ekonomi transaksional terkait air dan listrik oleh perusahaan penyedia dalam rangka menjamin terwujudnya hak atas standar hidup yang layak bagi warga miskin sebagaimana ketentuan Pasal 11 Kovenan Ekosob. Muncul anggapan adanya superioritas aturan WTO, yang mana akan dibahas dalam Bagian-Bagian berikutnya, bahwasanya aturan- aturannya terlalu melemahkan kemampuan negara dalam mengambil

semacam langkah-langkah tertentu. 31 Tentu saja, Petersmann melemparkan kritik terhadap Kovenan Ekosob

karena mengabaikan hak-hak kebebasan ekonomi dan hak atas hak milik dengan menyebutnya sebagai cerminan anti-pasar yang bias. 32 Sepertinya,

Petersman mungkin terjebak ke dalam perangkap yang jamak terjadi karena argumennya berangkat dari asumsi bahwa Kovenan Ekosob semata-mata didasarkan pada kontrol pemerintah terhadap sarana-prasarana demi mewujudkan hak-hak Ekosob sebagaimana tercantum dalam Bagian 1, artinya pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak dalam Kovenan Ekosob. Dengan demikian, pemerintah harus menahan diri dari tindakan yang merugikan pemenuhan hak-hak dalam Kovenan Ekosob, termasuk menciptakan gangguan yang tidak beralasan bagi mata pencaharian dan wajib menghormati kemampuan orang-perorang dalam memperbaiki kondisi

ekonominya sendiri. 33 Sebagai contoh kasus terkait diberlakukannya perdagangan bebas, Oxfam

dikenai tarif bea masuk barang tinggi oleh beberapa negara kawasan Afrika terkait bantuan selambu yang didatangkan ke negara-negara tersebut, dengan dalih karena melambungnya biaya hidup di negera-negara tersebut karena meningkatnya eksposur kemiskinan yang disebabkan wabah malaria, ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas kesehatan dalam Kovenan Ekosob

(dan mungkin juga hak untuk hidup dalam Kovenan Sipol). 34 Dari sudut pandang HAM , kuncinya ada pada bagian terkait bagaimana memastikan

adanya keseimbangan antara regulasi yang ada dan non-interferensi. Juga dari sudut pandang HAM lagi, bagaimana mungkin WTO bisa membuat aturan yang tidak seimbang (sub-optimal), yang terlalu mengedepankan strategi yang terakhir (baca: kepentingan ekonomi pihak Asing).

31 Lihat juga Andrew Lang, The GATS and regulatory autonomy: a case study of social regulation of the water industry

Journal of International Economic Law 801–38. 32 Petersmann, Loc. Cit, n 12, 628 –9.

33 Lihat juga bagian 1, teks dalam catatan 64 –5. 34 Oxfam, Rigged Rules and Double Standards (Oxfam, London, 2002) 62

Kebebasan dalam konteks WTO tidaklah berimbang dan kadang kontra- produkitf dari sudut pandang HAM. Pertama, sebagaimana sudah ditulis di atas, yang menjadi proritas kebebasan dalam hukum WTO tidak secara jelas dan tegas diakui di bawah hukum HAM. Kedua, menurut hukum HAM, telah diakui bahwa dalam banyak hal kebebasan seseorang bisa dibatasi oleh hak pihak lain karena kebebasan dan hak acapkali berbenturan. Kebebasan dalam hukum HAM jarang sekali berlaku absolut dan biasanya selalu dibatasi dengan tujuan untuk melindungi hak pihak/orang lain. Sebagai contoh, kebebasan berekspresi dibatasi oleh aturan yang melarang pencemaran nama baik, yang secara bersamaan dimaksudkan untuk melindungi hak atas privasi dan nama baik pihak/orang lain. Menurut hukum WTO, prinsip kebebasan bagi pelaku perdagangan Asing menjadi prioritas dengan jalan mengorbankan hak-hak pelaku perdagangan domestik suatu negara. Sebagaimana dijelaskan oleh James Gathii:

[S}etiap aturan dalam perdagangan internasional yang membuka jalan adanya perdagangan seharusnya sebanding dengan tindakan untuk membatasi atau mengontrol hak stakeholder lain. . . . Jadi, tidak ada liberty (berkaitan paham yang dianut) atau freedom (berkaitan kebebasan individu itu sendiri) dalam perdagangan yang tidak bisa tidak harus diberlakukan adanya pembatasan

secara simultan atau pembatasan kebebasan lainnya. 35

Tapi nyatanya, adanya kebebasan dalam WTO merupakan bentuk countervailing, yang sebagian besar hak atas kebebasan juga tidak diakui oleh

WTO. Tindakan countervailing terhadap hak-hak ini sendiri, sebagai misal, juga tidak mengenal pengecualian provisional sebagaimana dalam ketentuan Pasal XX dari GATT. Selanjutnya, tidak ada kompensasi bagi yang kalah dalam perdagangan bebas diamanatkan, dan bisa dibilang (sebagaimana akan dieksplorasi dalam Bagian-Bagian berikutnya), kapasitas negara untuk memenuhi kompensasi tersebut juga telah dibatasi.

1.2 Prinsip non diskriminasi

Hak atas perlakuan non diskriminasi dalam WTO dipahami sangat sempit, hanya terbatas pada ranah ekonomi internasional saja, yang keberadaannya begitu efektif dalam melindungi korporasi Asing dari adanya perlakuan diskriminatif dengan bercermin pada perlakuan terhadap korporasi Asing

35 James Th uo Gathii, Re- Characterizing the Social in the Constitutionalization of the WTO: A Preliminary Analysis

Widener Law Symposium Journal 137, 148.

lainnya (di bawah prinsip Most Favoured Nation/MFN) atau pelaku bisnis domestik (di bawah ketentuan National Treatment/NT) oleh suatu negara. Sebaliknya, hukum HAM internasional mengakui hak atas perlakuan non- diskriminatif pada sejumlah besar alasannya (dan bersifat terbuka) yang mejadi

dasar pengakuan semua hak. 36 Tentu saja, sangat penting adanya perlindungan bagi keberadaan Asing [di

suatu negara] tidak boleh dianggap sepele, mengingat hal yang bisa saja terjadi yang dilakukan oleh suatu pemerintahan dalam tindak diskriminasi terhadap pihak non warga negaranya, mungkin dengan motif untuk mendulang suara konstituen ketika Pemilu. Perlu diingat, ketentuan non-diskriminasi dalam hukum WTO hanya terfok us pada kesetaraan dalam regulasi dari perlakuan barang dan jasa antara negara yang berbeda , bukan terfokus pada diskriminasi terhadap non warga negara per se. 37

Selain itu, tujuan dari ketentuan prinsip non-diskriminasi dalam hukum WTO dan hukum HAM yang sangatlah berbeda. Diskriminasi dalam hukum HAM berkaitan dengan diskursus kesetaraan orang-perorang secara substantif. Misalnya, langkah-langkah positif seperti apa yang harus diambil pihak negara

untuk memperbaiki bias struktural yang telah menimbulkan diskriminasi . 38 Maka dari itu, tindakan bersifat afirmatif guna membantu pihak yang kurang

beruntung diperbolehkan dan kadang-kadang diharuskan di bawah ketentuan hukum HAM internasional. 39 Berkebalikannya, larangan tindak diskriminasi

dalam hukum WTO ditujukan untuk menghilangkan proteksionisme terhadap barang/komoditas dan jasa yang diperdagangkan. Faktanya, WTO tidak melarang adanya diskriminasi terhadap industri lokal, tampaknya WTO juga

36 Misalnya, Pasal 26 Kovenan Ekosob menjamin adanya persamaan dan perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum sehubungan hal untuk menikmati semua hak tanpa ada

diskriminasi melalui sejumlah alasan dibuat, serta status lainnya . 37 Lihat Adam McBeth, International Economic Actors and Human Rights (Routledge,

Oxford, 2010) 96. Lihat juga 3, teks dalam catatan 69, terkait bagaimana salah satu sengketa di WTO yang melawan Amerika Serikat begitu efektif diselesaikan, yang dilitigasikan untuk mewakili kepentingan investor Amerika Serikat.

38 Komisi HAM , Analytical study of the High Commissioner for Human Rights on the Fundamental Principle of Non- Discrimination in the Context of Globalization , dokumen PBB. E/CN.4/2004/40 (15 Januari 2004) para 26.

39 Komisi HAM , General Comment No : Non-discrimination , dokumen PBB. HRI/GEN/1/Rev.1 (10 November 1989) para 10; Komisi HAM , General Comment No :

Equality of rights

, dokumen PBB. CCPR/C/21/Rev.1/Add.10 (29 Maret 2000) para 3; Stalla Costa v Uruguay, UN doc.

between

men and

women (artikel

CCPR/C/30/D/198/1985 (9 Juli 1987) (Human Rights Committee). Lihat juga CERD, Pasal 1(4) dan 2(2); CEDAW, Pasal 4 dan 12(2).

tidak memberi pengecualian dalam kasus di mana industri lokal tertentu mungkin dirugikan oleh hadirnya kompetitor Asing. 40 Memang, bagian titik

penekanan WTO adalah untuk mengarahkan kurang adanya efisiensi produksi ke arah mendapatkan keuntungan yang lebih. Etos semacam ini tampaknya mengabaikan, misalnya, langkah-langkah yang lebih memihak petani kecil ketika berhadapan dengan konglomerasi agrobisnis, atau memihak badan amal yang bergerak di bidang pendidikan non profit ketimbang penyedia pendidikan

komersil. 41 Jadi, pelaksanaan kerangka prinsip non-diskriminasi dalam WTO memiliki potensi yang besar dalam menciptakan ketidakadilan dengan cara

merongrong prinsip non-diskriminasi HAM. Harrison menjelaskan perbedaan antara prinsip non-diskriminasi di bawah dua rezim ini dengan: bisa jadi yang paling bermasalah adalah perbedaan metodologi perumusan antara dua sistemnya mengingat kedua prinsip menggunakan istilah yang sama dalam

mendasari kedua sistem hukumnya . 42

1.3 Supremasi hukum (rule of law)

WTO menerapkan supremasi hukum dalam konteks perdagangan internasional sangat sempit: peran penting yang dimainkan supremasi hukum utamanya hanya untuk membatasi penggunaan kekuatan dagang sebagai senjata oleh negara yang kuat secara ekonomi, dan yang memiliki sedikit hambatan dalam penggunaanya. Selanjutnya, dengan dibuatnya proses penyelesaian sengketa secara damai yang ditempuh melalui WTO akan membantu untuk mengeliminir ketegangan yang membahayakan, yang mungkin saja kemunculanya diakibatkan adanya sengketa dagang.

Penerapan supremasi hukum dalam WTO hanya concerns dalam hal bagaimana membentuk kondisi yang lebih transparan dan prediktabel dalam perdagangan. 43 Bagaimanapun, concerns semacam ini sekali lagi berat sebelah.

Suatu konsep aturan hukum yang mungkin diciptakan dalam bentuk

40 UNHCR, Loc. Cit, n 39, para 26. Sebagai contoh dari adanya kelemahan tersebut adalah apa yang mungkin dialami oleh petani skala kecil di tingkat lokal terkait adanya kasus

perdagangan komoditas agrikultural, lihat paragraf 35 dan lihat juga Bagian 6. Lihat juga McBeth, Loc. Cit, n 38, 96 –8. Lihat juga Joseph E Stiglitz dan Andrew Charlton, Fair Trade for All (Oxford University Press, New York, 2005) 79.

41 Lihat Harrison, Loc. Cit, n 17, 141. 42 Ibid, 141.

43 Lihat, misalnya, Pasal X of GATT menyangkut publikasi dan administrasi regulasi perdagangan. Lihat juga Anne Orford, Beyond Harmonization: Trade, Human Rights and the

Economy of Sacrifice Leiden Journal of International Law 179, 208.

penghambaan diri demi memberi dukungan korporasi Asing ketimbang pengusaha domestik, contohnya telah terbukti dalam proyek sertifikasi tanah

yang terjadi Kamboja. 44 Sedang prinsip supremasi hukum diterapkan dalam cara berbeda dan lebih

luas di bawah hukum HAM, yaitu melalui adanya berbagai larangan adanya tindak sewenang-wenang dan penguasaan semena-mena oleh pihak pemerintah, dan adanya kualifikasi pembatasan hak-hak yang dirumuskan dan pembatasan oleh perundang-undangan secara tegas. Sebagaimana dinyatakan David Kinley, adanya pelaku global yang berbeda, seperti pelaku ekonomi komersial/dan aktor HAM, menegaskan aspek yang berbeda pula dari rule of

law. 45

1.4 Efisiensi ekonomi dan peningkatan kesejahteraan

Penciptaan konsep Penambahan Nilai Kekayaan Bersih yang lebih besar dalam pendapatan negara sebagaimana diatur WTO bagi negara-negara adalah hal yang cukup beralasan dalam mempromosikan kamampuan negara dalam upaya melindungi dan memenuhi kewajiban HAM, dan dalam kapasitasnya sebagai penerima manfaat dari dana tersebut dalam menciptakan akses pemenuhan HAM. Namun, peningkatan netto kekayaan global tidak selalu sebanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan orang-perorang. Aturan dalam WTO sendiri tidak ada yang menyatakan tentang bagaimana cara

mendistribusikan kekayaan itu, entah antar, atau dalam lingkup negara. 46 Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa penghapusan hambatan

perdagangan akan bermanfaat bagi semua negara yang akan meningkatkan agregasi kekayaan, tetapi sedikit sekali penjelasan yang menyinggung tentang bagaimana pendistribusiannya. Dari sudut pandang HAM, dampak adanya perdagangan bebas bagi eksistensi umat manusia sangatlah krusial. Proses liberalisasi perdagangan jelas menciptakan pemenang dan pecundang di dalam/antar negara, yaitu bagi orang-orang yang bekerja di industri yang efisien dan tidak efisien. Komite tentang Hak-hak Ekosob telah membuat

44 Lihat ibid, teks dalam catatan 19. Lihat juga, secara umum, Dewan HAM PBB , Report of the Special Rapporteur on the Right to Food, Olivier De Schutter: Large-scale land

acquisitions and leases: A set of minimum principles and measures to address the human rights challenge , dokumen PBB. A/HRC/13/33/Add.2, 28 Desember 2009.

45 David Kinley, Civilising Globalisation (Cambridge University Press, Cambridge, 2009) 131.

46 Lihat Bagian 10, Sub-Bagian 3.

semuanya jelas bahwa dampak kebijakann yang paling mungkin terjadi adalah penyediaan kenikmat 47 an tertentu di bawah ketentuan Kovenan Ekosob.

Makanya, hukum HAM akan sangat concerns dengan nasib pihak yang kalah dalam arena perdagangan bebas. 48

Tentu saja, tak perlu banyak berharap kepada pecundang dengan adanya liberalisasi perdagangan demi mengubah prospek karir mereka dan mengarahkannya ke sektor produksi yang lebih efisien. Karena, pilihan tersebut tidak selamanya dimungkinkan. Sebagaimana Profesor Joel R Paul katakan:

Anda tidak dapat mengubah pabrik otomotif menjadi peternakan sapi perah; seorang pekerja pabrik berusia 50 tahun tidak akan mungkin berubah menjadi insinyur komputer yang mahir; dan kota pabrik di Maine tidak mungkin dirubah menjadi kebun jeruk 49 .

Pengkondisian tentu akan membutuhkan biaya-sosial yang lumayan, seperti adanya beban tagihan bagi wajib pajak untuk menyisihkan sebagian pendapatannya demi menyediakan tunjangan kesejahteraan bagi para pengangguran, terjadinya kemunduran di seluruh lapisan masyarakat (umpamanya, mereka mungkin akan mendirikan industri di sekitar tempat tinggalnya yang tidak efisien), dan akibatnya akan muncul keguncangan sosial

dalam masyarakat. 50 Tentu saja, biaya untuk menciptakan pengkondisian tersebut mencakup anggaran pemenuhan HAM yang relevan, seperti adanya

anggaran bagi kerugian berkaitan hak untuk memperoleh pekerjaan dan hak atas standar hidup yang layak. Namun, biaya-biaya ini bisa dibilang di luar tanggungan pihak pemenang [yang berada di negara lain] yang menikmati akses lebih baik terhadap HAM karena faktor adanya globalisasi, mereka yang mendapatkan pekerjaan di industri-industri terbarukan yang terus berkembang menjadi lebih efisien dari industri yang kurang efisien sebelumnya. Selanjutnya, output ekonomi yang berskala lebih besar dalam suatu negara

47 Lihat, umpamanya , CESCR, General Comment : Right to adequate food Ps. , dokumen PBB. E/C.12/1999/5 (12 Mei 1999) para 13. Lihat juga UNECOSOC, Report of the

United Nations High Commissioner for Human Rights , dok PBB. E/2007/82 (25 Juni 2007) para 43(c).

48 Lihat juga Dewan HAM PBB , Report of the Special Rapporteur on the right to food, Olivier De Schutter: Mission to the World Trade Organization , dok PBB. A/HRC/10/5/Add.2

(25 Juni 2008) para 8. 49 Joel R Paul, Do International Trade Institutions Contribute to Economic Growth and

Development? Virginia Journal of International Law 285, 300; lihat juga Gathii, Loc. Cit, n 35, 146. 50 Paul, Loc, cit, n 52, 300.

tentu akan memberikan pemasukan yang lebih besar pula, ini akan meningkatkan

kemampuan negara untuk memenuhi biaya-biaya pengkondisian tersebut di wilayah/ negara lain. Namun perlu diingat, menciptakan kemanfaatan seperti ini dapat memakan waktu yang cukup, di sisi lain kewajiban pemenuhan terhadap HAM tidak membenarkan adanya bentuk pengorbanan jangka pendek (bisa jadi juga dalam bentuk spekulatif)

demi meraih keuntungan dan kemanfaatan jangka panjang. 51 Secara khusus, seseorang sebagai kesatuan masyarakat tidak bisa dibiarkan

berjuang sendiri setelah terjadinya pengkondisian ini guna menuju medan perdagangan bebas: dampak merugikan dari adanya liberalisasi bagi

pecundang adalah harus ada perlindungan yang berpihak, berupa langkah- langkah kompensasional yang memadai. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Stiglitz dan Charlton:

Standar argumen ekonomi menyatakan bahwa laba bersih dari adanya liberalisasi perdagangan itu positif sehingga pihak-pihak yang menang dapat memberi kompensasi kepada pihak yang kalah dan [seharusnya] mengesampingkan identitas nasional itu lebih baik bagi semua. Sayangnya,

kompensasi seperti ini jarang terjadi 52 .

Pascal Lamy sendiri mengakui bahwa adanya jaring pengaman sosial yang kuat sangat diperlukan untuk mengkondisikan. . . ketidakseimbangan antara pemenang dan pecundang di lingkup setiap negara , dan negara yang memiliki kapasitas lemah perlu dibantu oleh masyarakat internasional jikalau adanya memang perdagangan 53 diharapkan menghasilkan kesejahteraan kolektif .

Perlu ditegaskan sekali lagi, fokus hukum WTO adalah menciptakan agregasi kesejahteraan ketimbang kesejahteraan individual, dan mungkin memerlukan

kapasitas negara secara lebih untuk, negara-negara berkembang, melakukan redistribusi keuntungan'. 54

Konteks perdagangan bebas secara eksplisit bisa dijumpai dalam pembukaan Agreement pendirian WTO, yaitu sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan, khususnya pembangunan berkelanjutan, outcomes yang adil bagi

51 Margot Salomon, Global Responsibility for Human Rights (Oxford University Press, Oxford, 2007) 129 –30. 52 Stiglitz dan Charlton, Loc. Cit, n 41, 28. Lihat juga Ha-Joon Chang, Bad Samaritans: the Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism (Bloomsbury Press, New York, 2008)

72 –3. 53 Lamy, Loc. Cit, n 11.

54 Report of the Special Rapporteur on the right to food, Mission to the World Trade Organization, Loc. Cit, n 51, para 8.

negara berkembang, pengangguran, dan peningkatan standar hidup untuk semua. Perdagangan adalah sarana untuk tujuan yang diinginkan, bukan tujuan itu sendiri. Tujuan akhir dari semua yang dipaparkan di atas adalah meningkatkan kualitas pemenuhan HAM yang telah diakui sebelumnya. Hingga sekarang keberadaan aturan WTO secara umum tidak diarahkan untuk hasil akhir seperti itu: bisa ditebak sebagian besar aturan perdagangan bebas

itu hanya untuk membuat orang-perorang meraih apa yang diinginkan, 55 atau agar mereka tidak menemui hambatan yang memperlambat dalam mencapai

hasil yang dinginkan. Pada 1982, Profesor John Ruggie yang begitu terkenal mengusulkan terkait

rezim GATT yang seharusnya didasarkan pada premis liberalisme bersyarat (embedded liberalism , dimana setiap anggota GATT harus sepakat untuk mengurangi langkah-langkah proteksionis, sementara secara bersamaan juga diperbolehkan mengambil kebijakan untuk menciptakan kesejahteraan dalam negerinya dalam menyediakan jaring pengaman bagi yang tersisih. Misalnya bagi pihak-pihak yang terkena dampak dari adanya persaingan yang muncul

secara mendadak dari kehadiran komoditas impor. 56 Penting bagi suatu negara memahami daya tawarnya: negara harus

mengurus keperluannya sendiri dengan melakukan intervensi melalui regulasi dengan maksud untuk mempertahankan pengaruh politisnya dalam melakukan liberalisasi'. 57 Di sisi lain, aturan GATT secara eksplisit

dimaksudkan untuk melakukan penghilangan hambatan-hambatan tertentu perdagangan, aturan WTO tidak secara eksplisit mengharuskan pemberian tunjangan kesejahteraan bagi individu-individu. Juga tidak memberi mandat penciptaan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan saat pendiriannya.

Dalam beberapa kasus etos kerja GATT, dengan berdirinya WTO, telah ber- evolusi agar dapat menjangkau komitmen perdagangan bebas yang neo liberal dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Hal ini menyimpang dari tujuan yang dibuat paska Perang Dunia Kedua terkait perlunya intervensi pemerintah dalam mengurangi dampak-dampak dari adanya perdagangan bagi

55 Lihat juga Kinley, Loc. Cit, n 47, 43. 56 John Ruggie, International Regimes, Transactions and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order

International Organization 379, 393–8. See also Jeffrey L Dunoff , The Death of the Trade Regime

European Journal of International Law 733, 738 –9, dan Gathii, Loc. cit, n 35, 148–50. 57 Joel Trachtman, Legal Aspects of a Poverty Agenda at the WTO: Trade Law and Global Apartheid

Journal of International Economic Law 3, 8.

pihak yang kurang beruntung. Sejak 1980-an, dasar filosofi ekonomi neoliberal' telah mempromosikan perlunya efisiensi ekonomi dengan cara adanya campur tangan pemerintah dilakukan secara tak terlihat baca: pemerintah harus bertindak pasif) dalam era perdagangan bebas. 58 Agenda semacam ini akan

membantu kebijakan-kebijakan lembaga ekonomi internasional lainnya, seperti Bank Dunia dan IMF, dalam melakukan penghapusan hambatan- hambatan perdagangan bersamaan dengan dilakukannya reformasi leberalisasi sektor lainnya, seperti privatisasi dan pengurangan anggaran belanja

pemerintah dengan program pengetatan suku bunga pinjaman. 59 Aturan yang lebih longgar untuk pasar dan adanya belanja negara yang lebih rendah, bisa

dipahami sebagai bentuk tindakan redistribusi yang lebih sempit yang harus dilakukan oleh pemerintah: ironisnya, pasar tidak akan mampu mendistribusikannya sendiri. Sementara liberalisme bersyarat mungkin yang melatarbelakangi semangat pendirian GATT secara teoritis waktu itu, fokus perhatian terhadap kesejahteraan orang-perorang bukanlah semangat yang

diusung WTO saat ini. 60 Adanya agenda WTO menekankan terhadap adanya efisiensi ekonomi yang

pada ujungnya untuk menjangkau tujuan yang bersifat kemanfaatan (utilitarian) atau moral (konsekuensialisme), yaitu tujuan untuk meningkatkan

kemanfaatan secara agregatif. 61 Pendekatan sanksi WTO mensubordinasi beberapa hak yang seharusnya bisa dinikmati, dan mentolerir rasa sakit jangka

pendek demi keuntungan jangka panjang. Fokus ini tidak searah-sebangun dengan fokus deontologis dalam hukum HAM dan kebijakan tentang hak-hak

setiap individu, terlepas dari adanya utilitas. 62 Sebagai contoh, teori ekonomi utilitarian/rasional secara teoritis membenarkan adanya penyiksaan atau

perbudakan atas dasar bahwa hal tersebut secara ekonomi memang bisa

58 Lihat Yong-Shik Lee, Reclaiming Development in the World Trading System (Cambridge University Press, Cambridge,

; Andrew TF Lang, Reflecting on Linkage : Cognitive and Institutional Change in the International Trading System

Modern Law Review ,

; Robert Howse, From Politics to Technocracy and back again: the Fate of the Multilateral Trading Regime

American Journal of International Law 94, 98–103; Dunoff , above n 60, 736 –7. Lihat juga Gathii, Loc. Cit, n 35, 151.

59 Lihat secara umum, Bank Dunia, Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform (World Bank, Washington DC,

2005) <http://www1.worldbank.org/ prem/lessons1990s/> diakses pada 19 September 2010.

60 Lihat juga Dunoff , Loc. Cit, n 60, 746 –7; Gathii, Loc. Cit, n 35, 152. 61 Frank Garcia, The Global Market and Human Rights: Trading away the Human Rights Principle

Brooklyn Journal of International Law 51, 67–9. 62 Ibid, 62 –73.

dibenarkan. 63 Hukum HAM menyatakan bahwa restorasi atau menjaga martabat manusia adalah tujuan itu sendiri, yang secara inheren tidak bisa

dikompromikan/diganggu

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2