Penyiapan SSOP dan SOP Proses Produksi Minuman Ready To Drink (RTD) Berasam Tinggi Skala Industri

(1)

SKALA INDUSTRI

ANDRI CAMUS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul : “Penyiapan SSOP dan SOP Proses Produksi Minuman Ready To Drink (RTD) Berasam Tinggi Skala Industri” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.

Bogor, Agustus 2008

Andri Camus


(3)

Ready To Drink-Industry Scale. Supervised by NURI ANDARWULAN and DEDE R. ADAWIYAH.

Consumer need for convenient products, especially ready to drink (RTD), is increasing. Many companies have been developing this kind of product to answer this need. RTD process production could be done with aseptically processing and packaging system or thermal processing using retort (conventional method). The aim of this study is to prepare Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) and Standard Operating Procedure (SOP) for High Acid RTD production.

From preliminary study it was concluded that SSOP for water safety, prevention of cross contamination and cleanliness of surface that contact with product should be defined. SOP for thermal process also should be defined.

SSOP for water treatment starting from hydrofor storage tank, filtration sand and carbon filter then water softening. Chlorination with dose 1.5 ppm and contact time 30 minutes was sufficient for desinfection process of the treated water. SSOP for aseptic packaging process was designed with air desinfection using sanitizing agent. Chlorine at concentration 300 ppm and contact time 1 hour was effective to make packaging room becoming aseptic. SSOP for sanitation of aseptic packaging room was started from fogging preparation (fogger and the sanitizer 300 ppm), then fogging process toward packaging machine androom. SSOP for pre-treatment packaging was started from sanitizer preparation (0.4%) and pump setting for rinsing process. While SSOP for cleaning in place (CIP) was started from liquid preparation for pre-wash, base circulation, acid circulation and ended with sanitizing circulation.

SOP for thermal process starts from ingredients mixing, pasteuriastion, filling, printing, labelling and packing. From calculation, two combination of temperature and holding time were determined (86.8°C and 95 second; 87.4°C and 81 second). From incubation data (15 days at 35°C; product analysed at 5, 10 and 15 days) shows that there’s no microbiology growth that significantly effect the quality and safety of product. These two combinations of temperature and holding time have achieved the commercial sterility.

Keywords: sanitation standard operating procedure (SSOP), standard operating procedure (SOP), ready to drink, aseptic


(4)

To Drink (RTD) Berasam Tinggi Skala Industri. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan DEDE R. ADAWIYAH.

Kebutuhan konsumen akan produk convenient semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya aktivitas atau kesibukan sehari-hari, waktu penyajian menjadi unsur yang penting bagi konsumen dalam menentukan pilihannya. Hingga saat ini telah banyak produk makanan atau minuman siap saji yang dapat kita temui di pasar. Menanggapi permintaan pasar yang cukup besar, industri berupaya untuk dapat memasarkan produk siap minum (RTD).

Dari kajian yang dilakukan disimpulkan perlu adanya SSOP dalam memproduksi minuman RTD berasam tinggi mulai dari SSOP keamanan air, SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan dan SSOP pencegahan kontaminasi. Selain itu diperlukan juga SOP untuk pengendalian proses dan produk akhir. SSOP untuk kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan pada kajian ini adalah proses CIP mesin proses. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa proses CIP sudah berjalan efektif sehingga dihasilkan kondisi yang aseptik.

SSOP untuk keamanan air mulai dari penampungan air hidrofor (dari 3 titik air sumur), filtrasi dengan sand filter, carbon filter kemudian melalui proses pelunakan air. Klorinasi dilakukan pada air hasil water treatment ini dengan dosis 1.5 ppm dengan waktu kontak 30 menit. SSOP untuk pencegahan kontaminasi terdiri dari sanitasi ruangan pengemas dan juga sanitasi bahan kemas. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa proses sanitasi mesin dan ruang pengemas dengan sanitaiser konsentrasi 300 ppm dan waktu kontak 1 jam sudah sudah cukup untuk membuat ruang pengemas tetap terjaga kondisinya. Dari hasil pengujian proses perlakuan awal kemasan dapat dilihat bahwa konsentrasi sanitaiser 0.4% sudah cukup untuk membuat bahan kemas tetap terjaga kondisinya.

Dari data hasil mixing dan pasteurisasi dapat dilihat bahwa kadar vitamin C menurun karena proses pasteurisasi sebanyak 40.7% pada kecepatan mesin filling 5900 botol/jam dan 32.9% pada kecepatan 6900 botol/jam. Parameter mikrobiologi juga menunjukkan hasil yang masih sesuai dengan spesifikasi produk jadi. Dari data hasil inkubasi proses produksi RTD dapat dilihat bahwa selama inkubasi tidak ada pertumbuhan mikroba secara signifikan yang dapat mempengaruhi mutu dan keamanan produk. Secara keseluruhan, pada kecepatan 6900 botol/jam (suhu pasteurisasi 87.4°C dan holding time 81 detik) dihasilkan produk dengan stabilitas nilai gizi yang lebih baik dan telah dicapai kondisi steril komersial.

Kata kunci : sanitation standard operating procedure (SSOP), standard operating procedure (SOP), ready to drink, aseptik


(5)

To Drink (RTD) Berasam Tinggi Skala Industri. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan DEDE R. ADAWIYAH.

Kebutuhan konsumen akan produk convenient semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya aktivitas atau kesibukan sehari-hari, waktu penyajian menjadi unsur yang penting bagi konsumen dalam menentukan pilihannya. Hingga saat ini telah banyak produk makanan atau minuman siap saji yang dapat kita temui di pasar. Menanggapi permintaan pasar yang cukup besar, industri berupaya untuk dapat memasarkan produk siap minum (RTD).

Setiap industri pangan perlu menerapkan suatu sistem jaminan mutu keamanan pangan yang mencakup seluruh tahap proses produksi mulai dari persiapan, pengolahan, pengemasan dan distribusi atau bahkan sampai konsumen akhir. Sistem jaminan mutu keamanan pangan yang telah dikembangkan dan diakui dunia internasional diantaranya Good Manufacturing Practices (GMP), Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).

Penelitian ini bertujuan untuk menyiapkan prosedur operasi standar sanitasi (SSOP) dan prosedur operasi standar (SOP) dalam memproduksi minuman RTD berasam tinggi skala industri. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melakukan uji coba dalam rangka pengujian sebagian tahapan yang akan dijadikan prosedur baku.

Dari kajian yang dilakukan telah diperoleh draft SSOP dalam memproduksi minuman RTD berasam tinggi mulai dari SSOP keamanan air, SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan dan SSOP pencegahan kontaminasi. Selain draft SSOP di atas, dari kajian ini juga telah diperoleh draft SOP pengendalian proses dan produk jadi.

Draft SSOP untuk keamanan air mulai dari penampungan air hidrofor (dari 3 titik air sumur), filtrasi dengan sand filter, carbon filter kemudian melalui proses pelunakan air. Klorinasi dilakukan pada air hasil water treatment ini dengan dosis 1.5 ppm dengan waktu kontak 30 menit. Proses treatment yang dilakukan tiap hari meliputi proses rinsing dari tiap tangki hingga diperoleh pH air 6.5-8.5. Sedangkan proses treatment mingguan berupa proses backwash pada tiap tangki dan diakhiri dengan proses rinsing. Dan treatment bulanan berupa pembersihan dan penggantian resin diakhiri dengan proses rinsing pada tangki softener.

Air yang sudah diberi perlakuan di atas kemudian diklorinasi dengan penambahan klorin sebanyak 1.5 ppm dengan waktu kontak 30 menit. Air proses ini disampling seminggu sekali oleh inspektor QC untuk kemudian dianalisa diuji secara kimia dan mikrobiologi. Parameter mikrobiologi yang diujikan adalah TPC, MPN Coliform, Salmonella dan Pseudomonas. Parameter yang digunakan untuk pengujian kimia adalah zat terlarut, Fe dan klorin. Larutan stok klorin yang digunakan juga diambil sampelnya untuk dianalisa kadar klorinnya. Monitoring pengujian kimia dan mikrobiologi dilakukan oleh inspektor QC.

Draft SSOP untuk kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan pada kajian ini adalah proses CIP mesin proses. Sistem CIP sangat penting untuk desain proses produksi RTD dengan sistem pengolahan tertutup (closed system). Dari hasil pengujian terhadap metode umum yang digunakan dalam melakukan proses pembersihan dan sanitasi peralatan dengan metode CIP dapat dilihat bahwa proses CIP sudah berjalan efektif sehingga dihasilkan kondisi


(6)

Draft SSOP untuk pencegahan kontaminasi terdiri dari sanitasi ruangan pengemas dan juga sanitasi bahan kemas. Untuk menjaga proses pengemasan aseptik dirancang dengan desinfeksi udara dengan sanitaiser. Sanitaiser yang digunakan adalah campuran amonium kwartener dengan senayawa turunan klorin dan konsentrasi yang digunakan adalah 300 ppm. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa proses sanitasi mesin dan ruang pengemas dengan sanitaiser konsentrasi 300 ppm dan waktu kontak 1 jam sudah cukup untuk membuat ruang pengemas tetap terjaga kondisinya

Dari hasil pengujian proses perlakuan awal kemasan dapat bahwa konsentrasi sanitaiser 0.4% sudah cukup untuk membuat bahan kemas tetap terjaga kondisinya. Untuk data pengujian sterilisasi tutup botol belum ada karena hingga penelitian ini dilaporkan, lampu UV belum terpasang pada mesin pengemas.

Untuk proses pengolahan dengan proses thermal, suhu referensi yang digunakan 85°C dengan nilai z 8.9°C dan nilai D = 0.5 menit. Untuk menghitung kecukupan proses pasteurisasi digunakan konsep 5D. Dari perhitungan diperoleh dua kombinasi suhu pasteurisasi dan holding time yang dicoba pada penelitian ini (86.8°C dan 95 detik; 87.4°C dan 81 detik). Dari data penelitian diperoleh data hasil mixing dan hasil pasteurisasi pada dua kombinasi suhu dan holding time dengan nilai pH produk hasil mixing dan hasil pasteurisasi masih di bawah 4.5 sehingga masuk kategori produk berasam tinggi. Kadar vitamin C menurun karena proses pasteurisasi sebanyak 40.7% pada kecepatan mesin filling 5900 botol/jam dan 32.9% pada kecepatan 6900 botol/jam. Parameter mikrobiologi yang diteliti juga menunjukkan hasil yang baik yang masih sesuai dengan spesifikasi produk jadi.

Dari data hasil inkubasi proses produksi RTD dapat dilihat bahwa selama inkubasi tidak ada pertumbuhan mikroba secara signifikan yang dapat mempengaruhi mutu dan keamanan produk. Secara keseluruhan, pada kecepatan 6900 botol/jam (suhu pasteurisasi 87.4°C dan holding time 81 detik) dihasilkan produk dengan stabilitas nilai gizi yang lebih baik sedangkan untuk parameter mikrobiologinya tidak berbeda nyata. Prosedur operasi standar (SOP) untuk proses pengolahan dengan panas (thermal process) mulai dari mixing bahan, pasteurisasi, proses filling, printing, labelling, packing dan terakhir proses inkubasi produk jadi.

Dalam kajian ini masih banyak beberapa hal yang harus dipengujian dari draft SSOP maupun SOP ini. Untuk SSOP keamanan air perlu dilakukan pengujian untuk penentuan setting dosing pump untuk proses klorinasi dan juga pengukuran residu klorin bebas. Untuk SSOP pencegahan kontaminasi silang perlu dilakukan pengujian sanitasi tutup botol dengan sinar UV. SOP pengendalian proses produksi juga masih bisa diperbaiki karena proses thermal yang dikaji masih menyebabkan nutrition lost (terutama vitamin C) yang masih tinggi.

Beberapa hal yang mungkin dapat menyempurnakan kondisi aseptik proses produksi produk ini antara lain pemasangan High Efficiency Particulate Arresting

(HEPA) filter pada mesin atau ruang pengemas sehingga kondisi aseptik akan selalu terjaga. Dalam hal ini berarti perlu pengujian kembali proses monitoring SSOP pencegahan kontaminasi silang. Instalasi aseptic storage tank juga akan sangat membantu dalam mendesain proses thermal dengan waktu kontak yang lebih singkat dan suhu lebih tinggi untuk meminimalkan kerusakan gizi produk yang tidak tahan panas khususnya vitamin C.


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

SKALA INDUSTRI

ANDRI CAMUS

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan

pada Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

(10)

Skala Industri Nama Mahasiswa : Andri Camus

Nomor Pokok : F252060135

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Nuri Andarwulan. M.Si. Dr.Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si.

(Ketua) (Anggota)

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr.Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aala atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam tugas akhir yang dilaksanakan sejak bulan November 2007 ini adalah “Penyiapan SSOP dan SOP Proses Produksi Minuman Ready To Drink (RTD) Berasam Tinggi Skala Industri”.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Dr.Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu

Dr.Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, atas saran, masukan serta bimbingannya selama penulis mengerjakan karya ilmiah ini.

2. Ibu Dr.Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. sebagai dosen penguji luar komisi pembimbing atas masukannya.

3. Manajemen PT. Nutrifood Indonesia yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi di Magister Profesi Teknologi Pangan IPB. 4. Orang tuaku, istriku Nia Farida Kurniasih dan bidadari kecilku Keisha Aqila

Camus atas segala doa dan dukungannya.

5. Mba Tika, Mba Mar dan Mba Dewi atas segala bantuannya selama perkuliahan.

6. Teman-teman MPTP IPB Angkatan 3 atas kebersamaannya selama perkuliahan. Semoga segera selesai tugas akhirnya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, sehingga pada kesempatan ini penulis juga mengharapkan saran dan kritik membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Jauh dari lubuk hati yang paling dalam, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang menggunakannya.

Bogor, Agustus 2008


(12)

Penulis dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 1 Agustus 1978 dengan Ayah Ismail Camus dan Ibu Endang Pamisetyaningsih. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Setelah lulus dari SMAN 1 Bogor, pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1996 dan lulus pada tahun 2000.

Penulis bekerja di PT. Nutrifood Indonesia dari tahun 2000 hingga sekarang. Pada saat bekerja di PT. Nutrifood Indonesia, penulis mendapatkan kesempatan mempelajari ilmu manajemen melalui program Management Development Program (MDP) dari tahun 2003 hingga tahun 2004 yang diselenggarakan oleh PT. Nutrifood Indonesia.


(13)

i

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ……... 4

Minuman Ready to Drink Berasam Tinggi ... 4

Proses Produksi Minuman Ready to Drink Secara Aseptik ……..… 5

Sistem Pengolahan secara Aseptik ... 6

Proses Thermal dalam Pengolahan Pangan ……..…… 7

Pasteurisasi ……….. 8

Ketahanan Panas Mikroorganisme ……….. 9

Ketahanan Panas Zat Gizi ………. 10

Kecukupan Proses Panas ………..……… 10

Sistem Pengemasan secara Aseptik ... 11

Sistem Pengendalian Keamanan Pangan ... 12

Good Manufacturing Practices (GMP) ... 14

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ... 15

Sanitasi dalam Pengolahan Pangan ... 16

Sanitasi Air ... 17

Penyaringan awal dan sedimentasi ... 18

Penyaringan ... 19

Disinfeksi Air ... 20

Penghilangan Mineral Terlarut dalam Air ... 22

Pengawasan terhadap Karat, Rasa dan Bau ... 23

Sanitasi Peralatan dan Ruangan ... 24

Pembersihan dan Metode Pembersihan ………….….. 24

Sanitasi dan Jenis Sanitaiser ………….……….. 26


(14)

ii

Yodium ... 28

Peracetic acid ... 28

Amonium kuartener ... 28

Sanitasi Pekerja ... 29

BAHAN DAN METODE ………..……….. 31

Tempat dan Waktu ... 31

Tahapan Kajian ... 31

Kajian Awal Penyiapan Prosedur ... 31

Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Keamanan Air ... 33

Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Makanan ……… 34

Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Pencegahan Kontaminasi Silang ………. 35

Penyiapan Standard Operating Procedure (SOP)Pengendalian Proses dan Produk Akhir ... 36

Metode Pengamatan ... 37

Penetapan kadar sisa klorin (klorin bebas) metode Spektofotometri (SNI 01-3554-2006; Cara Uji Air Minum Dalam Kemasan) (BSN 2006b) …..………... 37

Perhitungan kebutuhan klorin (chlorine demand) (American Water Works Association; Greenberg et al. 2005) ………. 37

Perhitungan Total Mikroba APC (Bacteriological Analytical Manual Online; USFDA 2001) ………. 38

Perhitungan Total Mikroba Metode Permukaan (Surface Plate) 39 Perhitungan Total Mikroba Metode Bilas ………... 39

Perhitungan Total Mikroba Metode Oles (Swab) ………... 39

Perhitungan Bakteri Coliform Metode APM (Angka Paling Mungkin) (SNI 01-2897-1992, Cara Uji Cemaran Mikroba) (BSN 1992) ……… 40

Perhitungan Bakteri Staphylococcus aureus Metode Plate Count (SNI 01-2897-1992, Cara Uji Cemaran Mikroba) (BSN 1992) ……… 40


(15)

iii

Perhitungan Pseudomonas aeruginosa (SNI 01-6241-2000, Air

Demineral) (BSN 2000) ……… 42

Perhitungan Kapang dan Khamir(SNI 01-2897-1992, Cara Uji Cemaran Mikroba) (BSN 1992) ………. 43

Pengukuran pH dengan pH meter ……….. 43

Pengukuran Kadar Vitamin C Metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ……….. 43

HASIL DAN PEMBAHASAN ………..……….. 45

Kajian Awal Penyiapan Prosedur ... 45

Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Keamanan Air ... 48

Pembuatan Draft SSOP Keamanan Air ... 49

Pengujian dan Evaluasi Prosedur Disinfeksi Air ... 50

Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Makanan ……….…… 54

Pembuatan Draft SSOP Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Makanan ... 55

Pengujian dan Evaluasi Proses Clean in Place (CIP) ... 56

Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Pencegahan Kontaminasi Silang ………. 58

Pembuatan Draft SSOP Pencegahan Kontaminasi Silang ….. 59

Pengujian dan Evaluasi Sanitasi Ruangan dan Bahan Kemas 61

Penyiapan Standard Operating Procedure (SOP) Pengendalian Proses dan Produk Akhir ... 63

Pembuatan Draft SOP Pengendalian Proses dan Produk Akhir 64

Pengujian dan Evaluasi Prosedur Pengendalian Proses dan Produk Akhir ... 65

SIMPULAN DAN SARAN ... 69

Simpulan ……… 69

Saran ……….. 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(16)

iv

No. Halaman

1. Tabel 1. Persyaratan mutu air minum dalam kemasan (SNI 01-3553

-2006) ... 18 2. Tabel 2. Tahapan reaksi penambahan klorin dalam air ……… 21 3. Tabel 3. Siklus operasional CIP ... 26 4. Tabel 4. Tahapan proses dan uraian dari produksi minuman RTD

berasam tinggi ……… 46 5. Tabel 5. Draft SSOP keamanan air ... 49 6. Tabel 6. Parameter mutu fisik, kimia dan mikrobiologi air hidrofor,

campuran dan proses sebelum klorinasi ... 51 7. Tabel 7. Parameter mikrobiologi air hasil WTP setelah klorinasi

beberapa dosis klorin dan pengujian klorinasi ... 53 8. Tabel 8. Draft SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan

makanan ………... 55 9. Tabel 9. Parameter mikrobiologi hasil pengujian proses CIP pada

mesin proses hingga mesin pengemasan ………. 57 10. Tabel 10. Draft SSOP pencegahan kontaminasi silang …………..… 59 11. Tabel 11. Parameter mikrobilogi (TPC) hasil sanitasi ruang

pengemasan dan ruang mesin pengemasan ….………… 61 12. Tabel 12. Parameter mikrobiologi kemasan awal dan hasil pengujian 63 13. Tabel 13. SOP pengendalian proses dan produk akhir ……….. 65 14. Tabel 14. Data variabel penelitian kecukupan panas berdasarkan

kecepatan mesin filling ……….. 67 15. Tabel 15. Parameter kimia dan mikrobiologi hasil mixing, pasteurisasi


(17)

v

No. Halaman

1. Gambar 1. Piramida hubungan GMP, SSOP dan manajemen mutu atau keamanan pangan ... 13 2. Gambar 2. Diagram alir proses produksi minuman RTD ……… 38 3. Gambar 3. Grafik penentuan titik balik klorinasi pada air hasil WTP .. 52 4. Gambar 4. Diagram alir proses water treatment ... 55 5. Gambar 5. Diagram alir proses CIP pada mesin proses hingga

pengemasan ... 58 6. Gambar 6. Diagram alir proses sanitasi ruang pengemas aseptik ... 61 7. Gambar 7. Diagram alir proses persiapan sanitasi kemasan botol ... 62


(18)

vi

No. Halaman

1. Lampiran 1. Lay-out proses WTP ……….. 74

2. Lampiran 2. Lay-out ruang proses dan pengemasan RTD ….…… 75 3. Lampiran 3. Data parameter mutu fisik, kimia dan mikrobiologi air

hidrofor, campuran dan proses sebelum klorinasi …. 77 4. Lampiran 4. Data analisa penentuan titik balik klorinasi pada air

hasil WTP ………..……….. 77 5. Lampiran 5. Data parameter mikrobiologi air hasil WTP setelah

klorinasi beberapa dosis klorin ... 78 6. Lampiran 6. Data parameter mikrobiologi air hasil WTP dari

pengujian proses klorinasi ... 78 7. Lampiran 7. Data parameter mikrobiologi hasil pengujian proses

CIP pada mesin proses hingga mesin pengemasan 79 8. Lampiran 8. Data parameter mikrobilogi (TPC) hasil sanitasi ruang

pengemasan dan ruang mesin pengemasan …..….. 79

9. Lampiran 9. Data parameter mikrobiologi kemasan sebelum perlakuan sanitasi ... 80

10. Lampiran 10. Data parameter mikrobiologi kemasan botol hasil pengujian proses sanitasi pada berbagai kecepatan mesin pengemasan ... 80 11. Lampiran 11. Data parameter kimia dan mikrobiologi hasil mixing

dan pasteurisasi dua kombinasi suhu dan holding time ... 81 12. Lampiran 12. Data parameter mikrobiologi hasil inkubasi proses

produksi RTD selama 15 hari pada suhu 35°C ... 82 13. Lampiran 13. Draft SSOP RTD ……… 83 14. Lampiran 14. Draft SOP produksi ……… 88 15. Lampiran 15. Instruksi Kerja QC untuk Pengambilan Sampel Air .. 96 16. Lampiran 16. Instruksi Kerja QC untuk Pengambilan Sampel Bahan


(19)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebutuhan konsumen akan produk convenient semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya aktivitas atau kesibukan sehari-hari, waktu penyajian menjadi salah satu unsur yang penting bagi konsumen dalam menentukan pilihannya. Hingga saat ini telah banyak produk makanan atau minuman siap saji yang dapat kita temui di pasar. Menanggapi permintaan pasar yang cukup besar akan produk ini, industri minuman berupaya untuk dapat memasarkan produk siap minum atau dikenal juga dengan nama ready to drink (RTD).

Produk yang dikaji dalam penelitian ini adalah minuman RTD berasam tinggi. Produk ini tergolong ke dalam produk yang diasamkan, yaitu produk berasam rendah yang ditambah dengan asam atau bahan berasam tinggi sehingga memiliki pH < 4.5. Dengan kondisi pH yang rendah ini, maka proses thermal yang akan digunakan dalam proses pengolahan produk cukup pasteurisasi. Produk ini juga merupakan jenis fluida Newtonian, bersifat seperti air minum biasa (near water) tanpa partikel dengan jenis aliran laminar sehingga dalam proses produksinya nanti dapat menggunakan pemanas tipe plate heat exchanger (PHE).

Proses produksi minuman RTD dapat dilakukan dengan metode konvensional menggunakan sistem pemanasan retort atau dapat juga dengan menggunakan sistem pengolahan dan pengemasan secara aseptik. Kedua sistem ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh produk dalam kondisi steril komersial. Pada tugas akhir ini akan lebih banyak dikaji mengenai sistem pengolahan dan pengemasan secara aseptik yang akan digunakan perusahaan dalam produksi minuman RTD berasam tinggi.

Pengolahan secara aseptik merupakan suatu proses yang berlangsung kontinyu, sehingga masing-masing bagian dari sistem tersebut akan berpengaruh pada wujud dari keseluruhan sistem tersebut. Dengan demikian, proses baku dalam sistem aseptik tidak hanya meliputi sterilisasi produk maupun sterilisasi peralatan jaringan pipa penyalurnya, tetapi juga menyangkut sterilisasi bahan


(20)

kemasan berikut lingkungan tempat pengisian produk ke dalam kemasan yang harus juga steril.

Mutu dan keamanan produk yang dihasilkan dapat dijaga jika perusahaan mempunyai sistem yang dapat menjaga agar produk tersebut memenuhi standar yang telah ditetapkan. Perusahaan telah menerapkan sistem pengendalian keamanan pangan yang terdiri dari GMP (Good Manufacturing Practices), SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points).

GMP mencakup keseluruhan aspek yang mendukung dilakukannya proses pengolahan yang baik. Aspek-aspek tersebut diantaranya meliputi aspek lingkungan dan bangunan, fasilitas sanitasi peralatan dan higiene karyawan. Pada pelaksanaannya, penerapan GMP perlu ditunjang dengan adanya suatu prosedur standar operasi sanitasi (SSOP). Dengan adanya prosedur sanitasi ini diharapkan kondisi ruang, alat, personil serta lingkungan selalu berada dalam keadaan bersih dan higienis sehingga menunjang untuk dilakukannya proses pengolahan pangan yang baik. Penerapan HACCP lebih merupakan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan pada bahan baku, proses produksi sampai pada pemasaran dan distribusi. Dengan mengimplementasikan ketiga substansi tersebut, diharapkan mutu dan keamanan produk yang dihasilkan dapat terjaga.

Sistem pengendalian keamanan pangan yang telah diterapkan perusahaan baru mencakup produk yang sudah ada, sehingga untuk produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu penyesuaian. Penyesuaian, pengujian dan evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini hanya meliputi substansi Good Manufacturing Practices (GMP) dalam bentuk prosedur operasi standar (SOP) serta prosedur operasi standar sanitasi (SSOP) dalam memproduksi minuman RTD berasam tinggi skala industri. Jadi, dalam laporan tugas akhir ini tidak melaporkan sistem HACCP dari proses produksi minuman RTD berasam tinggi skala industri.

Perusahaan telah menerapkan GMP sesuai Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM Depkes RI. CPMB yang dikeluarkan pemerintah ini memang bersifat umum, tidak spesifik untuk jenis produk tertentu. Current Good Manufacturing Practices (CGMP) yang tercantum dalam Codes of Federal Regulation (CFR), Titel 21, Vol. 2, bagian 110 berisi antara lain tentang persyaratan untuk personalia, bangunan dan fasilitas pabrik,


(21)

operasi sanitasi, pengendalian hama, fasilitas sanitasi, peralatan dan perlengkapan, produksi dan pengendalian proses serta penyimpanan dan distribusi (USFDA 2008a). Sedangkan CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 114 mencantumkan beberapa penambahan yang berkaitan dengan persyaratan CGMP di pabrik yang menghasilkan makanan yang diasamkan, antara lain untuk personalia, proses pengolahan dan pengendalian, penjadwalan proses, tindakan koreksi, metode pengukuran pH, serta rekaman dan laporan (USFDA 2008b). Dari keseluruhan persyaratan yang tertuang dalam semua pedoman ini, pengendalian proses dan produk akhir dari produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu dibuatkan prosedur operasi standar (SOP)-nya.

SSOP yang dijabarkan dalam CFR Titel 21, Sub-Bagian 120.6 yang telah diimplementasikan perusahaan mencakup 8 Kunci Persyaratan Sanitasi, yaitu : (1) keamanan air, (2) kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3) pencegahan kontaminasi silang, (4) menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, (5) proteksi dari bahan-bahan kontaminan, (6) pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, (7) pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dan (8) menghilangkan hama dari unit pengolahan (USFDA 2008 c). Dari kedelapan SSOP ini akan dikaji 3 SSOP yang perlu disiapkan terkait dengan produksi produk baru minuman RTD berasam tinggi. Ketiga SSOP ini adalah (1) SSOP keamanan air, (2) SSOP kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dan (3) SSOP pencegahan kontaminasi silang.

Tujuan

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :

1. Menyiapkan draft prosedur operasi standar sanitasi (SSOP) untuk keamanan air, kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan serta pencegahan kontaminasi silang; dan membuat prosedur operasi standar (SOP) pengendalian proses dan produk akhir dalam memproduksi minuman RTD berasam tinggi skala industri di perusahaan

2. Melakukan pengujian terhadap SSOP dan SOP yang telah dibuat

3. Melakukan evaluasi hasil pengujian SSOP dan SOP untuk dapat diimplementasikan di perusahaan


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Minuman Ready to Drink Berasam Tinggi

Ready to drink (RTD) adalah istilah yang digunakan untuk produk minuman dalam kemasan yang dijual dalam bentuk siap minum. Tergantung proses produksi dan jenis produknya, kemasan produk RTD ini bermacam-macam. Kemasan yang biasa dijumpai di pasar untuk produk RTD antara lain botol kaca, botol plastik, pouch, kaleng dan lain-lain. Proses produksi minuman RTD dapat dilakukan dengan metode konvensional menggunakan sistem pemanasan retort atau dapat juga dengan menggunakan sistem pengolahan dan pengemasan secara aseptik. Kedua sistem ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh produk dalam kondisi steril komersial sehingga aman untuk dikonsumsi (Hariyadi P 2000).

Berdasarkan situs resmi USFDA (United States Food and Drugs Administration) (www.cfsan.fda.gov), Codes of Federal Regulations (CFR) Titel 21, Vol. 2, bagian 114 produk yang dikaji dalam penelitian ini tergolong makanan yang diasamkan (acidified foods). Pengertian makanan yang diasamkan (acidified foods) sendiri adalah makanan berasam rendah yang ditambah dengan asam atau makanan bersaman tinggi (acid foods). Makanan berasam tinggi (acid foods) adalah makanan yang memiliki pH alami 4.6 atau kurang (USFDA 2008b). Minuman atau makanan berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan karena bakteri patogen pada umumnya tidak tumbuh pada pH tersebut. Demikian pula spora bakteri tidak menimbulkan masalah pada minuman atau makanan semacam ini karena spora tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH di bawah 4.6 (Fardiaz 1992). Holdsworth (1997) menyatakan bahwa derajat keasaman suatu bahan dimana mikroorganisme mungkin tumbuh adalah faktor penting dalam menentukan proses thermal yang akan digunakan.

Mikroorganisme menjadi lebih sensitif terhadap proses pemanasan dengan semakin rendahnya pH medium pemanasan. Dengan kata lain sterilisasi komersial dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih pendek jika pH produk semakin rendah. Sebagai perbandingan, jika sterilisasi komersial terhadap makanan berasam rendah harus dilakukan pada suhu 135-150°C selama beberapa detik, maka pada makanan berasam tinggi hanya


(23)

dibutuhkan suhu 85-95°C selama 15-30 detik untuk mencapai keadaan steril komersial (Fardiaz 1992).

Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH < 4.5), proses pasteurisasi sudah cukup untuk memperpanjang umur simpan. Proses pasteurisasi juga bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Fellow 1992).

Proses Produksi Minuman Ready to Drink Secara Aseptik

Meskipun pengolahan aseptik bukan merupakan konsep baru, namun hal ini menjadi hal yang sangat menarik pihak industri beberapa tahun terakhir. Setelah sukses di Eropa dan Jepang selama beberapa tahun, pengemasan aseptik bertambah populer di Amerika Utara sejak 1981 ketika hidrogen peroksida disetujui penggunaannya sebagai sterilan kemasan. Proses aseptik telah menjadi kisah sukses untuk produk minuman buah, konsentrat dan jus yang mengandung partikel kecil. Dalam proses aseptik, produk dan bahan kemas disterilkan terpisah kemudian produk dikemas dalam kondisi steril (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Untuk mempermudah pengertian tentang sistem pengolahan dan pengemasan secara aseptik, maka diperlukan beberapa definisi, terutama yang berhubungan dengan sistem-sistem aseptik (Anjaya 2000).

1. Aseptik : menggambarkan suatu kondisi dimana tidak terdapat mikroorganisme termasuk spora hidup pada tempat tersebut.

2. Sistem aseptik : menunjukkan keseluruhan sistem yang diperlukan untuk menghasilkan produk yang steril komersial dalam suatu wadah yang ditutup secara hermetis

3. Sistem pengolahan aseptik : menunjukkan suatu sistem hanya pada tingkat pengolahan produk secara aseptik dan mengirimkan produk tersebut pada suatu sistem pengemasan

4. Sistem pengemasan aseptik : menunjukkan suatu sistem pengemasan, yaitu kemasan steril diisi dengan produk steril kemudian dilakukan penutupan wadah secara hermetis dalam kondisi atau ruang steril. Pada sistem ini dapat pula dilakukan pembentukan kemasan sekaligus proses sterilisasi kemasannya


(24)

Sistem Pengolahan secara Aseptik

Pada proses pengolahan aseptik, produk dipanaskan dengan melewatkan pada alat pemindah panas dan ditahan untuk beberapa waktu pada holding tube sesuai dengan proses panas yang didesain. Setelah melalui proses pemanasan, produk dilewatkan kembali melalui alat pemindah panas untuk didinginkan. Proses pengisian produk ke dalam kemasan yang sudah disterilkan sebelumnya kemudia di tutup dilakukan dalam kondisi aseptik (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Pada alat pemindah panas tipe pelat terdiri dari piringan atau pelat baja tahan karat yang tipis dan dirangkai secara ketat dalam kerangka. Jumlah piringan dapat diatur sesuai dengan keperluan. Produk mengalir pada satu sisi dan medium pemanas mengalir pada sisi sebelahnya secara berselang-seling. Alat pemanas ini digunakan untuk produk cair yang homogen (misalnya susu, sari buah).

Setiap kali produk dialirkan ke alat pemanas untuk mencapai suhu sterilisasi maka produk segera dialirkan ke tabung penampung (holding tube) dengan tetap mempertahankan suhu produk tersebut. Waktu yang diperlukan oleh produk oleh produk panas untuk mengalir dalam waktu tersebut diasumsikan sebagai waktu tinggal (holding time), yang harus dispesifikasikan dalam jadwal proses. Besarnya volume tabung penampung (tercermin dalam ukuran panjang dan diameter tabung) dikombinasikan dengan karakteristik dan laju aliran produk menunjukkan waktu tinggal produk yang sebenarnya dalam tabung penampung (Anjaya 2000).

Pendinginan produk bertujuan untuk mengurangi atau menurunkan suhu produk sebelum dilakukan proses pengisian. Dalam sistem yang menggunakan pemanasan tidak langsung seperti alat pemindah panas tipe pelat, maka alat pendingin akan mendinginkan produk steril dan sebaliknya memanaskan bahan baku atau bahan yang akan disterilkan.

Suatu hal yang penting diingat bahwa sebelum dilakukan proses sterilisasi produk, maka seluruh peralatan, bahan kemas dan lingkungan yang berhubungan dengan proses tersebut harus dibersihkan dan disterilkan terlebih dahulu (Sandeep et al. 2004).

Sterilisasi peralatan dapat dilakukan dengan menggunakan uap jenuh ataupun air panas. Pada umumnya peralatan tersebut disterilkan dengan air


(25)

panas yang disirkulasikan sercara bersinambung ke seluruh permukaan bagian dalamnya dengan waktu kontak yang cukup sehingga tercapai kondisi steril. Untuk tangki penampungan biasanya disterilkan dengan uap panas jenuh, bukannya menggunakan air panas karena ukuran tangki yang cukup besar. Walaupun tangki penampungan produk disterilkan secara terpisah, yaitu dengan uap panas, namun pelaksanaannya dilakukan secara simultan dengan sterilisasi peralatan yang menggunakan air panas (Anjaya 2000).

Proses Thermal dalam Pengolahan Pangan

Pengolahan pangan dengan suhu tinggi merupakan metode pengolahan yang telah lama digunakan orang dan sampai saat ini masih merupakan metode pengolahan pangan yang paling popular digunakan di industri pangan. Penggunaan panas pada pangan dimulai sejak manusia memasak makanannya. Meskipun sudah lama cara pemasakan dengan api digunakan, baru pada tahun 1804 panas digunakan untuk pengawetan. Pada waktu itu Nicholas Apert berhasil mengawetkan makanan dengan cara memanaskan makanan dengan tahapan yang sangat sederhana. Pada saat itu belum dapat dijelaskan mekanisme pengawetan yang terjadi yang menyebabkan makanan tersebut dapat menjadi awet (Hariyadi P 2000).

Lima puluh tahun kemudian, seorang ahli mikrobiologi yang bernama Louis Pasteur dapat memberikan jawaban tentang mekanisme pengawetan dengan menggunakan panas ini. Menurut hasil penelitiannya, proses pemananasan dapat mengawetkan makanan karena panas dapat membunuh atau memusnahkan mikroba pembusuk. Sejak saat itu teknologi pengawetan dengan panas berkembang dengan pesat, fokus penelitian 5 dekade setelah itu adalah mikrobiologi dan dekomposisi atau kerusakan produk (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Penggunaan panas dalam pengolahan makanan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pemanasan itu. Beberapa bentuk pemanasan antara lain pemasakan, blansir, pasteurisasi, sterilisasi, evaporasi, ekstrusi, pemanggangan, pengeringan, penggorengan, energi iradiasi (microwave, radiasi inframerah) dan lain-lain (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Beberapa keuntungan dari pengolahan dengan panas antara lain :


(26)

- rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor tripsin pada produk leguminosa)

- peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat

- terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan

- menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan

Sedangkan beberapa kerugiannya antara lain : adanya kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik seperti warna, tekstur, rasa dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik (Fellow 1997).

Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu yang relatif rendah yaitu suhu di bawah 100°C akan tetapi dengan waktu yang bervariasi dari mulai beberapa detik sampai beberapa menit tergantung dari tingginya suhu tersebut. Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat proses pemanasannya. Pasteurisasi umumnya dikombinasikan dengan proses pengawetan lainnya seperti fermentasi atau penyimpanan pada suhu rendah. Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH < 4.5), pasteurisasi bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Fellow 1992).

Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu yang relatif lama, yaitu suhu 65°C selama 30 menit atau pada suhu tinggi dalam waktu singkat yaitu suhu 72°C selama 15 detik. Semain tinggi suhu pasteurisasi, semakin singkat proses pemanasannya. Beberapa bakteri vegetatif yang tahan panas (termofilik) dan spora tahan terhadap proses fermentasi. Setelah pasteurisasi, produk harus didinginkan dengan cepat untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1992). Dalam pasteurisasi, konsep yang umum digunakan adalah konsep 5D. Menurut Fellow (1992) konsep ini cukup memadai dari segi kualitas dan keamanan pangan.

Keberhasilan penuh dari pengolahan dengan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang


(27)

menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas hingga proses dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997).

Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.5 - 4.6 bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora seperti C. botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira ph 3.7 seperti B. thermoacidurans atau B. coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak dirusak oleh bakteri berspora (Fardiaz 1992).

Tinggi suhu dan lama pemanasan dalam pasteurisasi tergantung pada ketahanan panas mikroba yang akan dibunuh dan sensitivitas mutu makanan terhadap pemanasan. Penggunaan metode HTST (High Temperature Short Time) biasanya menghasilkan produk dengan mutu yang lebih baik dibanding metode LTLT (Low Temperature Low Time) (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Ketahanan Panas Mikroorganisme

Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah waktu reduksi desimal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sebesar satu siklus log, atau waktu yang diperlukan pada suhu tertentu untuk membinasakan organisme atau sporanya yang disebut nilai D. Sedangkan nilai z suatu organisme atau spora adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh 2001).

Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang dan khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar antara 0.5 sampai 3 menit pada suhu 65°C. Sedangkan nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang dan khamir berkisar antara 6 sampai 16°C dan biasanya adalah 10°C (Garbutt 1997).

Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain : (a) umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, (b) komposisi medium bagi suatu organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat pengawet, lemak dan minyak dan bahan penghambat lainnya serta adanya spora yang masih terdapat setelah pemanasan, (c) pH dan Aw medium waktu pemanasan dan (d) suhu pemanasan.


(28)

Menurut Hadgson dan Hodgson (1993) sejumlah kapang dan khamir terdapat pada sari buah nanas yang dibuat dari konsentrat (aw rendah). Kapang lebih dominan pada jenis konsentrat, tetapi pada buah dan sayuran dengan Aw tinggi, bakteri umumnya memegang peran pertama merusak dalam fermentasi, kemudian diikuti kapang dan khamir (Gilliland 1986). Khamir beserta sporanya dapat dieliminasi dengan mudah pada proses pasteurisasi tetapi kapang yang berspora perlu pemanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat (Frazier dan Westhoff 1978).

Ketahanan Panas Zat Gizi

Proses thermal tidak hanya menginaktifkan organisme perusak makanan, namun juga mengolah bahan mentah menjadi produk jadi. Proses ini akan sedikit mempengaruhi karakteristik sensori dan gizi dari produk. Umur simpan produk sangat dipengaruhi oleh kondisi kemasan setelah proses thermal dan juga kondisi penyimpanan produk. (Ramaswamy dan Marcotte 2006).

Ramaswamy dan Marcotte (2006) menyatakan bahwa vitamin larut lemak seperti vitamin A, D, E dan K relatif tidak sensitif terhadap panas dan pada umumya tidak ada loss selama proses pasteurisasi. Untuk vitamin B1, B6, B12 dan asam folat berkurang maksimum 10%, sedangkan untuk vitamin C berkurang hingga 25%.

Kecukupan Proses Panas

Kemampuan sterilisasi dan proses pemanasan bergantung pada karakteristik nilai z mikroorganisme dan suhu sterilisasi. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan nilai sterilisasi. Nilai F dengan z = 18°F biasa disebut Fo, karena nilai z = 18°F sangat umum digunakan untuk spora khususnya C. botulinum. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaan :

F = ∫ Lr. dt Dimana :

Lr = ∫ 10 (T-Tr)/z

Suhu makanan (To) dapat ditentukan melalui eksperimen, empiris dan teori (Heldman dan Singh 2001).

Sama halnya dengan pasteurisasi, Tucker et al. (2003) menyatakan bahwa nilai pasteurisasi dinyatakan dengan simbol P. Nilai P dapat dihitung dengan


(29)

integral kekuatan membunuh melalui percobaan antara waktu dan suhu sebagai berikut :

t

P = ∫ 10 (T(t) –Tref)/z. dt

0 Dimana :

T(t) : suhu produk (°C)

Tref : suhu referen pada nilai DT (menit)

z : faktor kinetic

Selain itu ditambahkan bahwa untuk menghitung kecukupan proses pasteurisasi yang disebut nilai P adalah dengan persamaan berikut :

P = DT. log (Ninitial/Nfinal) Dimana :

P : nilai pasteurisasi (menit)

Ninitial : jumlah mikroba awal sebelum dipasteurisasi (CFU/ml) pada suhu tertentu

Nfinal : jumlah mikroba akhir setelah dipasteurisasi (CFU/ml)

DT : decimal reduction time pada suhu tertentu untuk mereduksi jumlah

mikroba dengan faktor 10 menit

Sistem Pengemasan secara Aseptik

Proses pengemasan aseptik dari sistem aseptik merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses. Namun, bagian ini juga merupakan bagian yang paling lemah. Dalam beberapa kasus, penyebab kontaminasi produk umumnya disebabkan karena kurang baiknya proses pengemasan aseptic ini sehingga menyebabkan kontaminasi (Reuter 1988).

Unit-unit pengemasan aseptik didesain untuk menggabungkan produk steril dalam kemasan yang sudah steril sehingga dihasilkan produk yang telah dikemas secara hermetis. Menurut Anjaya (2000) dalam sistem pengemasan secara aseptik dituntut hal-hal penting berikut ini :

1. Lingkungan steril yang akan digunakan untuk proses pengemasan produk steril dalam kemasan steril

2. Sterilisasi kemasan yang kontak langsung dengan produk

3. Pengisian produk steril ke dalam kemasan steril harus dilakukan secara aseptik


(30)

5. Memonitor dan mengawasi faktor-faktor kritis selama proses pengemasan Sterilan (sterilizing agents) digunakan di dalam unit pengemasan secara aseptik untuk mensterilkan bahan-bahan kemasan dan juga permukaan dalam peralatan pengemasan sehingga diperoleh kondisi pengemasan yang steril. Dalam pengemasan aseptik, sterilisasi terhadap wadah pengemas mungkin dapat dicapai tanpa keharusan untuk menghilangkan semua spora bakteri, karena spora bakteri tersebut tidak dapat bergerminasi dan tumbuh pada pH rendah. Tetapi jika produk tergolong pada minuman berasam rendah (pH > 4.5), maka sterilisasi terhadap wadah pengemas harus dapat menghilangkan sel vegetatif maupun spora (Fardiaz 1992).

Zona aseptik adalah daerah tempat mesin pengemasan aseptik telah disterilkan dan kondisinya dijaga tetap steril selama proses produksi. Di daerah atau lingkungan inilah produk steril diisikan dalam kondisi aseptik ke dalam kemasan steril dan selanjutnya ditutup secara hermetis. Sehubungan dengan proses produksi, maka zona aseptik diterapkan dalam kondisi steril komersial. Pada daerah ini mungkin terdapat berbagai macam permukaan alat atau lingkungan. Maka sterilan yang digunakan pada peralatan harus seragam efektivitasnya dan penerapannya dapat diawasi sepanjang zona aseptik, serta tetap dapat terjaga kondisinya dengan baik (Anjaya 2000).

Tingkat sterilitas dari zona aseptik dapat dicegah dari kemungkinan sterilisasi yaitu dengan menyemprotkan udara steril atau gas lainnya. Pada tahap akhir dimana kemasan meninggalkan area steril maka dapat juga disemprotkan udara steril ke arah kemasan tersebut untuk mencegah terjadinya rekontaminasi (Anjaya 2000).

Sistem Pengendalian Keamanan Pangan

Berbagai metode serta sistem pengendalian keamanan pangan sebagai jaminan mutu dan keamanan pangan (food safely assurance) telah banyak digunakan dan dikembangkan oleh industri pengolahan makanan. Salah satu metode yang banyak dikembangkan dewasa ini adalah penerapan sistem HACCP yang merupakan suatu sistem manajemen yang menjamin mutu dan keamanan pangan berdasarkan konsep pendekatan yang rasional, sistematis dan komprehensif dalam mengidentifikasi dan mengontrol setiap bahaya yang berisiko terhadap mutu dan keamanan produk pangan.


(31)

Hal ini senada dengan yang dikemukakan Thaheer (2005) bahwa sistem HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang mungkin bekontribusi terhadap suatu kondisi bahaya, baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung oleh pengguna ataupun kondisi penyimpanan. Beberapa program prasyarat yang harus dilakukan sebelum mengaplikasikan HACCP adalah diterapkannya GMP (Good Manufacturing Practice) dan SSOP (Sanitation Standard Operation Procedure).

Gambar 1. Piramida hubungan GMP, SSOP dan manajemen mutu atau keamanan pangan

Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa sistem HACCP harus dibangun di atas dasar landasan yang kokoh untuk melaksanakan dan tertibnya Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Dua aspek tersebut merupakan pondasi terbentuknya rencana HACCP yang baik. Secara umum perbedaan GMP dan SSOP adalah sebagai berikut, GMP secara luas terfokus dan berakibat pada banyak aspek baik aspek operasi pelaksanaan tugas yang terjadi di dalam pabrik serta operasi personel. SSOP merupakan prosedur atau tata cara yang digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau sasaran keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi makanan yang bermutu


(32)

tinggi aman, dan tertib. Piramida hubungan antara HACCP, SSOP dan GMP dapat dilihat pada Gambar 1.

Good Manufacturing Practices(GMP)

Good Manufacturing Practices (GMP) didefinisikan sebagai suatu prosedur dalam industri pangan dimana konsistensi produk akhir dari kualitas keamanan mikrobiologi dimonitor dengan tes laboratorium atau saat proses berlangsung (Adams dan Moss 1995). United States Food and Drug Administration (USFDA) telah mengeluarkan peraturan dan pedoman yang berkenaan dengan penerapan GMP di dalam industri pangan. Pengembangan peraturan dan pedoman tersebut dilakukan berdasarkan jenis makanan yang diolah oleh suatu industri pangan, diantaranya acidified foods (makanan yang diasamkan), low acid canned foods (makanan kaleng berasam rendah) dan bottled water (air minum dalam kemasan).

Produk minuman RTD berasam tinggi yang akan diproduksi perusahaan, tergolong ke dalam produk yang diasamkan, yaitu makanan berasam rendah yang ditambah dengan asam atau makanan berasam tinggi serta memiliki aw

lebih besar dari 0.85 dan pH produk akhir 4.6 atau kurang. Berdasarkan situs resmi United States Food and Drugs Administration (USFDA), peraturan dan penerapan GMP untuk makanan yang diasamkan (acidified foods) tercantum di dalam Codes of Federal Regulations (CFR) yaitu Titel 21, Bagian 110 (untuk CGMP, Current Good Manufacturing Practices) dan TItel 21, Bagian 114 (untuk makanan yang diasamkan, acidified foods) (USFDA 2008a, 2008b).

CGMP yang tercantum dalam CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 110 berisi antara lain tentang persyaratan untuk personalia, bangunan dan fasilitas pabrik, operasi sanitasi, pengendalian hama, fasilitas sanitasi, peralatan dan perlengkapan, produksi dan pengendalian proses serta penyimpanan dan distribusi (USFDA 2008a). Sedangkan CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 114 mencantumkan beberapa penambahan yang berkaitan dengan persyaratan CGMP di pabrik yang menghasilkan makanan yang diasamkan, antara lain persyaratan untuk personalia (114.10), proses pengolahan dan pengendalian (114.80), penjadwalan proses (114.83), tindakan koreksi (114.89), metode pengukuran pH (114.90), serta rekaman dan laporan (114.100) (USFDA 2008b).


(33)

GMP yang telah dikenal luas dan dikembangkan oleh USFDA juga dikenal di Indonesia, yang tertuang dalam buku ‘Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik CPMB)’ tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini memberikan penjelasan mengenai cara produksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, menekankan pengawasan terhadap higiene pada setiap tahap dan menyarankan pendekatan HACCP bilamana memungkinkan untuk meningkatkan keamanan pangan (Depkes 1996).

Perusahaan telah menerapkan GMP sesuai Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM Depkes RI. CPMB yang dikeluarkan pemerintah ini memang bersifat umum, tidak spesifik untuk jenis produk tertentu. USFDA telah mengeluarkan pedoman CFR Titel 21, Bagian 110 untuk CGMP dan Bagian 114 untuk makanan yang diasamkan. Dari keseluruhan persyaratan yang tertuang dalam semua pedoman ini, pengendalian proses dan produk akhir dari produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu dibuatkan prosedur operasi standar (SOP)-nya.

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)

Peran GMP dalam menjaga keamanan pangan sangat selaras dengan pre-requisite (persyaratan dasar) penerapan HACCP. Secara umum persyaratan dasar adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan suatu proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal juga dengan GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan lain-lain. Penerapan program persyaratan dasar ini harus didokumentasikan dalam Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPO Sanitasi) atau Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Sedangkan dalam rangka monitoring dilakukan khusus audit terhadap persyaratan dasar ini baik internal maupun eksternal (Winarno dan Surono 2002).

Berdasarkan situs resmi USFDA, kondisi dan penerapan sanitasi sebelum, selama dan setelah proses dalam penerapan SSOP tercantum di dalam United States Food and Drugs Administration (USFDA) Codes of Federal Regulations


(34)

(CFR) Titel 21, Bagian 120 (Hazard Analysis and Critical Control Point) Sub-Bagian 120.6 (Sanitation Standard Operating Procedures) (USFDA 2008c).

SSOP yang dijabarkan dalam CFR Titel 21, Sub-Bagian 120.6 dikelompokan menjadi 8 Kunci Persyaratan Sanitasi, yaitu : (1) keamanan air, (2) kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3) pencegahan kontaminasi silang, (4) menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, (5) proteksi dari bahan-bahan kontaminan, (6) pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, (7) pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dan (8) menghilangkan hama dari unit pengolahan. Dalam dokumentasinya, kunci-kunci sanitasi tersebut seharusnya mencakup masalah monitoring yang mampu menjawab apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukan, dimana melakukan, kapan dan siapa yang melakukan serta koreksi dan rekaman (USFDA 2008c).

Sistem pengendalian keamanan pangan yang telah diterapkan perusahaan baru mencakup produk yang sudah ada, sehingga untuk produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu penyesuaian. Dari kedelapan SSOP yang telah disebutkan di atas dan telah diterapkan perusahaan, akan dikaji 3 SSOP yang perlu disiapkan terkait dengan produksi produk baru minuman RTD berasam tinggi. Ketiga SSOP ini adalah (1) SSOP keamanan air, (2) SSOP kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dan (3) SSOP pencegahan kontaminasi silang.

SSOP akan memberikan beberapa manfaat bagi unit usaha dalam menjamin sistem keamanan produksi pangannya, antara lain : (1) memberikan jadwal berkesinambungan, (2) mendorong perencanaan yang menjamin dilakukan koreksi bila diperlukan, (3) mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya masalah, (4) menjamin setiap personil mengerti sanitasi, (5) memberikan sarana pelatihan yang konsisten bagi personil, (6) mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor dan (7) meningkatkan praktek sanitasi di unit usaha (Winarno dan Surono 2002).

Sanitasi dalam Pengolahan Pangan

Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa sanitasi adalah aspek penting yang harus diperhatikan selama proses pengolahan pangan. Sanitasi didefinisikan sebagai pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur


(35)

faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja (Jenie 1998).

Tujuan utama penerapan sanitasi pada industri pangan adalah untuk menjamin agar makanan olahan yang dihasilkan, layak dikonsumsi oleh manusia sehingga terhindar dari terjadinya kecelakaan atau penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan olahan tersebut (Hariyadi R 2000).

Dari delapan Kunci Persyaratan Sanitasi yang ditetapkan USFDA (2008c), yang harus menjadi prioritas utama dalam memproduksi minuman RTD berasam tinggi adalah (1) sanitasi air, (2) sanitasi peralatan dan ruangan dan (3) sanitasi pekerja.

Sanitasi Air

Air merupakan salah satu bahan yang paling penting dalam industri pangan, karena air digunakan dalam berbagai kegiatan, baik untuk sanitasi, boiler dan medium penghantar panas maupun proses pengolahannya sendiri. Air juga dapat menjadi bagian yang terpadu dari produk akhir, seperti pada soft drink dan bir, berbagai sari buah, sirup dan minuman-minuman tradisional serta jenis minuman yang baru. Mutu makanan yang diolah sangat dipengaruhi oleh mutu air yang digunakan dalam pengolahan. Air yang digunakan dalam pengolahan harus bebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan makanan.

Sebagian besar dari penggunaan-penggunaan air tersebut memerlukan persyaratan atau standar mutu tersendiri. Pada umumnya, air yang memenuhi persyaratan standar air minum, cukup baik memenuhi persyaratan untuk industri. Beberapa jenis industri pangan tertentu bahkan memerlukan persyaratan mutu yang lebih berat dan mendetil daripada standar air minum. Persyaratan mutu air minum dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 1.

Dalam industri minuman ringan, mutu air harus dikendalikan dengan memperhatikan faktor-faktor berikut dalam proses produksinya. Kesadahan karbonat atau alkalinitas akan meningkatkan pH dari minuman yang seharusnya asam. Hal ini akan menimbulkan perubahan rasa. Jika air bahan sudah mengandung bau dan rasa tersendiri, maka hal ini sudah tentu akan mengubah


(36)

rasa dan bau produk minuman. Kekeruhan air juga akan mempengaruhi penampilan produk. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan termasuk total padatan, besi, mangan, sisa klorin dan jumlah mikroorganisme.

Tabel 1. Persyaratan mutu air minum dalam kemasan (SNI 01-3553-2006, BSN 2006a)

No. Kriteria Mutu Satuan Persyaratan 1. Keadaan :

a. bau b. rasa c. warna - - Unit PtCo Tidak berbau Normal Maks. 5

2. pH - 6.0 - 8.5

3. Kekeruhan NTU Maks 1.5

4. Zat yang terlarut mg/l Maks 500

5. Zat organik (sebagai KMnO4) mg/l Maks 1.0

6. Total organik karbon mg/l -

7. Nitrat (sebagai NO3) mg/l Maks 45

8. Nitrit (sebagai NO2) mg/l Maks 0.005

9. Amonium (NH4) mg/l Mkas 0.15

10. Sulfat (SO4) mg/l Maks 200

11. Klorida (Cl) mg/l Maks 250 12. Fluorida (F) mg/l Maks 1.0 13. Sianida (CN) mg/l Maks 0.05

14. Besi (Fe) mg/l Maks 0.1

15. Mangan (Mn) mg/l Maks 0.05 16. Klor bebas (Cl2) mg/l Maks 0.1

17. Kromium (Cr) mg/l Maks 0.05 18. Barium (B) mg/l Maks 0.7 19. Boron (Bo) mg/l Maks. 0.3 20. Selenium (Se) mg/l Maks 0.01 21. Cemaran logam

a. Timbal (Pb) b. Tembaga (Cu) c. Cadmium (Cd) d. Raksa (Hg) e. Perak (Ag) f. Kobalt (Co)

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Maks 0.005 Maks 0.5 Maks 0.003 Maks 0.01 - - 22. Cemaran arsen (As) mg/l Maks 0.01 23. Cemaran mikroba

a. Angka lempeng total awal*) b. Angka lempeng total akhir**) c. Bakteri bentuk koli d. Salmonella

e. Pseudomonas aeruginosa

Koloni/ml Koloni/ml APM/100 ml

- Koloni/ml

Maks 1 x 102 Maks 1 x 105

< 2 negatif/100 ml

Nol Keterangan : *) Di pabrik; **)Di Pasaran

Salah satu uji yang biasa dilakukan untuk menganalisa kebutuhan kebersihan air adalah uji koliform. Koliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran di dalam air, karena salah satu jenis bakteri koliform, yaitu Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal


(37)

dari kotoran hewan maupun manusia. Adanya bakteri koliform dalam air menunjukkan adanya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan.

Air umumnya mendapatkan perlakuan sanitasi secara bertahap agar dapat digunakan dalam proses produksi. Tahap-tahap tersebut meliputi filtrasi awal dan pengendapan, penyaringan, penghilangan mikroba/disinfeksi, penghilangan mineral terlarut dan control terhadap karat, bau dan rasa (Hariyadi R 2000).

Penyaringan awal dan Sedimentasi

Tujuannya adalah untuk menghilangkan benda-benda tersuspensi dengan ukuran yang berbeda-beda termasuk tangkai, cabang, daun, padatan lain yang besar dan mudah mengendap, serta partikel-partikel halus (koloidal) yang tidak mengendap dan menyebabkan kekeruhan (Hariyadi R 2000).

Cara penghilangan benda-benda tersuspensi ini dapat dilakukan dengan dua tahap, yaitu : tahap pertama adalah memisahkan padatan-padatan berukuran besar dengan menggunakan saringan (kasar maupun halus). Saringan terbuat dari bahan tahan karat, didesain dengan pengambilan yang tepat untuk menarik air dari danau atau sungai. Luas areal yang terbuka biasanya sekitar 150-200% luas pipa atau saluran yang dilindungi oleh saringan. Kecepatan melalui saringan tidak melebihi 2 fps (feet per second).

Selanjutnya pada tahap kedua dengan menggumpalkan atau sedimentasi partikel-partikel yang belum terendapkan dengan bantuan koagulan. Bahan-bahan kimia yang banyak digunakan sebagai koagulan antara lain alumunium sulfat, ferro sulfat, ferri klorida, ferri sulfat (copperas) dan copperas terklorinasi. Kapur dalam bentuk Ca(OH)2 kadang-kadang dicampur dengan ferro sulfat atau

tidak dicampur, juga dibutuhkan dalam air yang kurang kesadahannya untuk bereaksi dengan alumunium sulfat (Jenie 1998).

Penyaringan

Setelah proses penyaringan awal dan sedimentasi, air sudah tidak mengandung benda-benda padatan tersuspensi ukuran besar, tetapi masih ada partikel-partikel flok halus yang tertinggal dan dan benda-benda tersuspensi lain yang berukuran sangat halus. Untuk menghilangkannya digunakan filter (Hariyadi P 2000).

Filter terdiri dari suatu alas penyangga dari benda-benda granular untuk menghilangkan benda-benda padatan tersuspensi dari air, dan dilengkapi


(38)

dengan alat untuk mempertahankan kecepatan aliran yang seragam melalui alas tersebut, serta pembalikan arah aliran air secara periodik untuk mencuci padatan-padatan yang terakumulasi dari medium filter. Sebagai filter umumnya digunakan filter pasir atau arang aktif, dan filter multimedia menggunakan pasir, granit, antrasit atau resin (Jenie 1998).

Filter pasir menggunakan butiran-butiran berukuran 0.3 dan 0.5 mm, sehingga persentase bakteri dan virus dalam air yang terpisahkan cukup banyak. Pasir untuk filter cepat harus mempunyai ukuran efektif 0.35-0.55 mm, sedangkan filter lambat 0.20-0.40 mm. Dalam filter cepat ada kecenderungan menggunakan klorinasi untuk penghilangan bakteri tahap terakhir (Jenie 1998).

Filter arang aktif menggunakan arang yang sudah diaktifkan atau dibersihkan dari bahan-bahan organik yang terabsobsi. Filter arang aktif dapat digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, klorin dan warna dari air (Hariyadi R 2000).

Filter ini pada dasarnya merupakan multimedia yang terdiri dari lapisan karbon aktif, silika, hancuran kerikil dan kerikil. Ukuran efektif arang adalah 0.4-1.6 mm dengan koefisien keragaman 1.4-0.4-1.6. Karbon biasanya diregenerasi dengan pemanasan hingga 800°C (Jenie 1998).

Disinfeksi Air

Tujuan dari disinfeksi air adalah untuk menginaktifkan bakteri dan virus patogenik yang dapat dipindahkan melalui air. (Hariyadi R 2000). Patogen utama dalam air adalah yang berasal dari kotoran manusia seperti Salmonella typhii, Salmonella paratyphii, Shigella dan Vibrio cholerae. Organisme lain yang lebih resisten adalah E. hystolytica yang dapat dihilangkan dengan filtrasi diatomoe (Jenie 1998).

Klorin telah digunakan sebagai desinfektan untuk air sejak tahun 1896. Oleh karena itu proses disinfeksi air disebut klorinasi. Jumlah klorin yang digunakan tidak boleh terlalu sedikit karena tidak efektif, sedangkan jika terlalu banyak akan timbul rasa atau bau yang tidak disukai. Waktu kontak dengan klorin : 20-30 menit sebelum dikonsumsi. Fungsi klorin dalam penanganan air tidak hanya untuk disinfeksi, tetapi juga untuk tujuan lain seperti : kontrol terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk lendir pengikat besi (Jenie 1998).


(39)

Berbagai jenis senyawa yang ada di dalam air yang bereaksi dengan klorin akan dapat menginaktifkan klorin. Selama masih banyak terkandung senyawa-senyawa tersebut, klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya sebagai desinfektan terhadap mikroorganisme. Hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa organik lainnya tidak dikehendaki keberadaannya di dalam air. Hanya setelah kebutuhan klorin (chlorine demand) telah cukup banyak untuk bereaksi dengan senyawa-senyawa tersebut, baru penambahan klorin selebihnya dapat berfungsi dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroba. Dari sifat ini muncul konsep Break Point Chlorination (Winarno 1986).

Bila air tidak mengandung senyawa yang dapat bereaksi dengan klorin, maka semua klorin yang ditambahkan akan menjadi klorin bebas, berbanding lurus dengan konsentrasi yang ditambahkan. Air tersebut dinamakan memiliki chlorine demand nol (zero). Jika air mengandung bahan organik atau amonia atau senyawa pengganggu lain dalam jumlah tinggi, residu klorin akan efektif setelah chlorine demand tercukupi. Air ini memiliki chlorine demand yang tinggi (Winarno 1986). Tahap-tahap reaksi yang terjadi bila klorin ditambahkan dalam air dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan reaksi penambahan klorin dalam air Tahapan Reaksi Deskripsi

Reaksi 1 terjadi destruksi senyawa-senyawa pereduksi klorin, tidak ada disinfeksi

Reaksi 2

bila klorin ditambahkan lagi, terbentuk senyawa-senyawa klorin organik dan ammonia-klorin yang mempunyai disinfeksi lambat

Reaksi 3 penambahan klorin lebih lanjut, menyebabkan senyawa-senyawa di atas dihancurkan

Reaksi 4

klorin bebas terdapat dalam rasio tertentu dengan kelebihan klorin yang ditambahkan, klorin bebas ini mempunyai kerja disinfeksi yang cepat

Sumber : Jenie (1998)

Disinfeksi efektif membutuhkan residu klorin bebas : 0.2 mg/l pada kondisi-kondisi yang paling cocok atau 0.4-0.8 mg/l. Air dengan pH tidak lebih dari 7.0 residu bebas 0.2 mg/l setelah 10 menit, atau residu terikat 1.0-1.5 mg/l, 60 menit. Air dengan pH = 8 residu klorin bebas 0.4 mg/l, residu terikat 1.8 mg/l. Air dengan pH 9.0 residu klorin bebas 0.8 mg/l, agar residu klorin bebas efektif maka pH harus lebih kecil dari 9.0 (Jenie 1998).


(40)

Dengan residu klorin bebas, warna air menjadi lebih bersih; besi, mangan serta bahan organik lainnya digumpalkan dan diendapkan oleh klorin. Terutama jika air tersebut disimpan dalam tangki penyimpanan minimal 2 jam. Sebagian besar dari senyawa-senyawa penyebab rasa dan bau dihancurkan atau dirusak. Rasa yang timbul dari reduksi sulfat menjadi sulfida juga tercegah oleh klorin. Pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak dikehendaki juga dapat dihindarkan, asalkan jumlah residu klorin yang bebas selalu dijaga agar konsentrasinya dalam air selalu cukup.

Disamping klorin, ozon juga sering digunakan dalam tahap disinfeksi karena senyawa ini dapat membunuh bakteri, virus, sekaligus parasit. Sinar ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 240-280 nm juga digunakan untuk disinfeksi air. Namun penggunaan sinar UV ini tidak efektif untuk spora, memerlukan dosis tinggi untuk virus dan tidak efektif untuk protozoa. Senyawa yodium juga dapat digunakan dalam proses disinfeksi, akan tetapi kurang reaktif dan biayanya jauh lebih mahal dibandingkan dengan klorin (Hariyadi R 2000).

Penghilangan Mineral Terlarut dalam Air

Mineral-mineral yang terdapat dalam air seperti garam-garam Ca, Mg, F, Fe dan Mn menyebabkan air menjadi sadah. Dalam air juga terdapat garam-garam Na dan K serta limbah radioaktif. Kesadahan sulfat disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa Ca dan Mg karbonat, sulfat dan lain-lain. Kesadahan dapat digolongkan menjadi kesadahan karbonat dan non-karbonat. Pelunakan air dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu ; (1) proses kapur-soda, menggunakan kapur dan soda abu dan (2) proses pertukaran kation (cation-exchanger) atau zeolit (Hariyadi R 2000).

Bila Flourin (F) terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada gigi anak-anak. Jumlah F sebanyak lebih dari 1.5 mg/l umumnya ditolak. Pada konsentrasi 1 mg/l NaF akan mencegah pengapuran gigi (dental caries). Cara penghilangan flourin sulit, tetapi dapat dilakukan dengan beberapa cara : (1) air kontak dengan Ca3(PO4)2; (2) pelunakan air dengan kapur dan soda abu

ditambah Mg; (3) pertukaran ion dan (4) penggunaan hidroksi apatat 3Ca3(PO)4

dan Ca(OH)2 (Jenie 1998).

Kandungan Fe dan Mn lebih dari 0.2-0.3 mg/l umumnya ditolak karena menyebabkan timbulnya rasa, karat, warna dan deposit pada pipa. Kedua mineral ini terdapat dalam benntuk Fe(HCO3)2, Mn(HCO3)2. Cara penghilangan


(41)

dengan kapur dan koagulan atau pertukaran kation pada pH 8.0-8.5 (Jenie 1998).

Zat radioaktif dalam air berasal dari instalasi energi atom dari industri, lembaga-lembaga penelitian atau industri obat-obatan. Untuk menghilangkannya dapat dilakukan dengan resin penukar kation, resin penukar anion, koagulasi fosfat dan dengan penyulingan (mahal) (Jenie 1998).

Pengawasan terhadap Karat, Rasa dan Bau

Karat atau korosi dari air terutama tergantung pada hubungan kandungan CO2 bebas dan alkalinitas, serta hubungan antara pH dan alkalinitas. Hubungan

antara pH dan alkalinitas air harus dipertahankan sedemikian rupa agar terbentuk lapisan kalsium karbonat pada bagian dalam pipa saluran air, sehingga karat tidak terjadi. Demikian pula hubungan antara kandungan CO2 dan

alkalinitas perlu diatur agar lapisan tersebut tidak terlarut (Jenie 1998).

Hariyadi R (2000) menyatakan bahwa korosi dapat dicegah antara lain dengan aerasi atau penambahan kapur (soda abu). Kadar CO2 bebas

dihilangkan, sedangkan alkalinitas dan pH ditingkatkan. Bila dilakukan aerasi, CO2 bebas sebanyak 3-5 mg/l tetap ada. Air dengan CO2 bebas 3 mg/l bersifat

korosif kecuali bila alkalinitas tinggi lebih dari 85 mg/l. Bila CO2 bebas 5 mg/l,

alkalinitas harus 105 mg/l agar tidak terjadi korosi.

Penambahan kapur (soda abu) diperlukan untuk meningkatkan alkalinitas. Bila kesadahan kurang dari 3.5 mg/l, air defisien dalam garam-garam Ca, oleh karena itu perlu ditambah kapur. Bila kesadahan lebih besar dari 35 mg/l, lebih baik ditambah soda abu. Cara kontrol lain adalah dengan deaerasi dan penambahan natrium metafosfat kira-kira 0.5-2.0 mg/l akan mengurangi korosi oleh Fe (Jenie 1998).

Biasanya air yang rasanya tidak enak, baunya juga tidak enak karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Mineral-mineral seperti Fe, Mg, sulfat, Na Sulfat dan NaCl secara normal hanya menimbukan rasa. Timbulnya bau dan rasa dapat disebabkan oleh penghancuran tanaman dari jenis ganggang, senyawa-senyawa klorofenol, limbah industri (pengalengan, pabrik susu), bahan organik dan gas. Menurut Hariyadi R (2000) beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan rasa dan bau diantaranya penambahan CuSO4,


(42)

Sanitasi Peralatan dan Ruangan

Menurut Jenie dan Fardiaz (1989) salah satu sumber kontaminasi utama dalam pengolahan pangan berasal dari penggunaan wadah dan alat-alat pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah cukup tinggi. Udara di dalam suatu ruangan juga dapat merupakan sumber kontaminasi dalam pengolahan pangan. Udara tidak mengandung mikroflora secara alami, tetapi kontaminasi dari lingkungan di sekitarnya mengakibatkan udara mengandung berbagai mikroorganisme, misalnya dari debu, air, proses aerasi, dari penderita yang mengalami infeksi saluran pencernaan, dari ruangan yang digunakan dalam proses fermentasi dan sebagainya (Jenie dan Fardiaz 1989).

Meskipun kesehatan masyarakat adalah alasan utama dilakukannya sanitasi, sesungguhnya bagi industri sanitasi dapat mengurangi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kebusukan atau keluhan konsumen. Pada umumnya sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan dengan cara pembersihan (cleaning) yang dilanjutkan dengan sanitasi (sanitizing) (Hariyadi R 2000).

Pembersihan dan Metode Pembersihan

Proses pembersihan bertujuan untuk menghilangkan kotoran baik berupa sisa-sisa bahan pangan ataupun mikroorganisme pada peralatan atau ruangan pengolahan agar tidak menjadi sumber gizi bagi pertumbuhan mikroba. Untuk pembersihan diperlukan air dan bahan pembersih. Bahan-bahan pembersih yang umum digunakan meliputi bahan pembersih alkali, asam dan deterjen sintetis. Menurut Hariyadi R (2000) pemilihan jenis pembersih akan sangat tergantung pada jenis dan tingkat cemaran pada peralatan atau ruangan, sifat permukaan yang akan dibersihkan sifat fisik dan kimia pembersih yang diinginkan, metode pembersihan yang akan diaplikasikan, mutu air dan ketersediaan biaya.

Menurut Holah (2003), allkali merupakan bahan pembersih yang berguna karena murah, mampu memecah protein karena kandungan ion hidroksil, safonifikasi lemak, dan pada konsentrasi tinggi dapat berfungsi sebagai bakterisidal. Pembersih alkali meliputi alkali kuat, sedang dan sabun. Pembersih asam digunakan untuk melarutkan karbonat, deposit mineral (termasuk garam air sadah) dan juga deposit protein dari permukaan alat (Holah 2003). Pembersih ini umumnya mengandung 0.5% asam dan pH < 2.5 (Hariyadi R 2000).


(43)

Deterjen sintetis, seperti halnya sabun, memiliki gugus polar yang dapat berikatan dengan air dan gugus non polar yang berikatan dengan senyawa non polar seperti lemak dan protein, yang dalam hal ini merupakan kotoran. Pembersih ini biasa dikenal juga dengan nama surfaktan (surfactant, surface active agent), yang dapat digolongkan menjadi deterjen anionik, nonionik dan kationik tergantung muatan ion yang terkandung dalam larutan (Holah 2003).

Menurut Hariyadi R (2000), beberapa metode pembersihan yang biasa digunakan meliputi pembersihan manual, pembersihan dengan busa, pembersihan dengan jel, pembersihan dengan ultrasonic dan pembersihan di tempat (cleaning in place : CIP).

Pembersihan manual dapat dilakukan untuk alat-alat kecil dan umumnya memerlukan bantuan seperti bahan penggosok mekanis, selang air, sikat, spons dan alat penggosok. Pembersihan dengan busa dilakukan dengan cara menyebarkan busa yang berasal dari deterjen pada permukaan alat atau area yang akan dibersihkan. Pembersihan dengan jel dilakukan dengan mengaplikasikan pembersih bentuk jel dan banyak digunakan untuk pembersihan alat pengemasan makanan. Pembersihan dengan ultrasonik memerlukan generator ultrasonik yang menghasilkan gelombang ultrasonik yang menghasilkan vibrasi. Vibrasi ini diteruskan kebagian wadah yang diisi dengan air dengan alat-alat yang dibersihkan direndam di dalamnya (Hariyadi R 2000).

Pembersihan di tempat (clean in place : CIP) dilakukan untuk alat-alat yang sukar atau tidak bisa dipindahkan. Berbagai peralatan industri pangan dibersihkan dengan cara ini antara lain saluran pipa, heat exchanger (alat penukar panas), mesin sentrifugasi dan homogenaiser. Prinsip pembersihan ini adalah sirkulasi air secara bertahap, diikuti dengan sirkulasi deterjen, sanitaiser dan pembilas melalui saluran pipa peralatan yang tetap terpasang di tempatnya.

Beberapa keuntungan sistem CIP antara lain : (1) menghemat biaya operasional, (2) meningkatkan utilisasi pabrik, (3) meminimalkan proses manual, (3) meningkatkan faktor keselamatan dan (4) meningkatkan higienitas. Sedangkan kerugiannya antara lain : (1) biaya investasi tinggi, (2) biaya perawatan bertambah dan (3) tidak fleksibel (Majoor 2003).

Prinsip sistem CIP adalah mengkombinasikan kelebihan dari aktivitas kimia bahan pembersih dengan efek mekanis pembersihan kotoran. Larutan pembersih dikeluarkan untuk kontak dengan permukaan kotoran, dan pada waktu, suhu


(44)

yang tepat. Pada Tabel 3 dijabarkan siklus operasional yang umum untuk sistem CIP.

Tabel 3. Siklus operasional CIP

No Operasional Fungsi

1 Pembilasan awal (air panas/dingin) Menghilangkan kotoran kasar 2 Pembersihan dengan deterjen Menghilangkan kotoran yang

masih tertinggal

3 Pembilasan Menghilangkan bahan pembersih 4 Sanitasi Membunuh mikroorganisme 5 Pembilasan terakhir (pilihan,

tergantung sanitaiser yang digunakan)

Menghilangkan bahan CIP dan sanitaiser

Sumber : Majoor (2003)

Sanitasi dan Jenis Sanitaiser

Menurut Hariyadi R (2000), tahap sanitasi peralatan dan ruangan dilakukan setelah pembersihan selesai diaplikasikan untuk membunuh mikroba berbahaya yang masih tertinggal pada peralatan atau ruangan. Menurut Sandeep et al. (2004), untuk sterilisasi udara dapat menggunakan filter High Efficiency Particulate Arresting (HEPA) atau udara panas. Sedangkan senyawa yang digunakan dalam proses sanitasi atau sanitaiser meliputi panas, ultraviolet, serta senyawa kimia dari golongan halogen (klorin, yodium), peracetic acid, dan ammonium kuartener. Jika senyawa kimia digunakan pada sanitasi peralatan maka waktu kontak sedikitnya adalah 2 menit dan ada selang waktu 1 menit antara pemberian sanitaiser dan penggunaan peralatan tersebut.

Beberapa syarat sanitaiser yang ideal diantaranya : mampu membunuh mikroba dengan cepat, aman dan tidak menimbulkan iritasi pada pekerja, aman untuk konsumen dan tidak melanggar peraturan perundangan, dapat dibilas tidak berpengaruh buruk pada makanan yang sedang diolah, ekonomis, stabil, compatible dengan senyawa lain yang digunakan dan mudah larut dalam air (Hariyadi R 2000).

Menurut Winarno (1994) keefektifan sanitaiser tergantung pada jenis dan konsentrasi sanitaiser, waktu kontak antara zat kimia dan bahan yang disanitasi, suhu dan mutu air (pH dan kesadahan). Adanya kotoran tanah, residu zat pembersih pada permukaan air atau di dalam air akan mengurangi keefektifan daya bunuh sanitaiser terhadap mikroba. Pada prakteknya tidak ada gunanya menggunakan sanitaiser pada permukaan peralatan yang kotor oleh tanah.


(45)

Panas

Menurut Hariyadi R (2000), panas adalah sanitaiser yang baik karena menembus celah, tidak korosif, tidak menimbulkan residu, membunuh mikroorganisme dan relatif ekonomis. Air panas dapat diaplikasikan pada peralatan sehingga suhu permukaan mencapai 82°C atau lebih selama beberapa menit. Selain itu dapat juga digunakan uap air panas dengan suhu 76.6°C selama 15 menit atau 93.3°C selama 5 menit.

Ultraviolet

Mikroba mati dengan cepat jika terpapar sinar ultraviolet yang memiliki panjang 2537 amstrong. Akan tetapi gelas, bahkan lapisan film dari cairan yang keruh dapat melindungi mikroba dari sinar ultraviolet. Oleh karena itu, penggunaan sinar ultraviolet dalam industri pangan terbatas untuk sanitasi udara di atas ruang pengemasan, di dalam ruang pendingin dan pada headspace tangki penyimpanan sirup gula. Sinar ini juga jarang digunakan dalam sanitasi air karena daya bunuhnya terhadap mikroba sangat dipengaruhi oleh kekeruhan (Hariyadi R 2000).

Klorin

Menurut Holah (2003) klorin adalah disinfektan paling murah dan tersedia sebagai hipoklorit (atau gas klorin) atau dalam bentuk slow release (seperti kloramin). Senyawa klorin yang umum adalah hipoklorit dan kloramin. Senyawa ini memiliki aktivitas dengan kisaran yang luas termasuk spora, dan relatif tidak mahal. Namun, aktivitas klorin ini dapat dihambat oleh senyawa organic dan berpotensi memiliki efek samping pada lingkungan. Senyawa klorin dalam bentuk tidak terlarut sangat korosif terhadap peralatan, dapat membayakan kesehatan dan harus selalu ditangani hati-hati dan digunakan pada konsentrasi yang benar.

Pemilihan senyawa klorin bagi tiap-tiap penggunaan sebaiknya dilakukan dengan baik, disamping peraturan yang harus diikuti, faktor penting dalam pemilihan klorin adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh 99% dari mikroba yang ada. Faktor lainnya seperti ph air dan jumlah senyawa organik dan anorganik yang ada dalam air harus pula diperhitungnkan. Percobaan-percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa gas klorin sama efektifnya dengan hipoklorit, sedangkan kloramin memerlukan waktu 12-15 kali lebih lama untuk memusnahkan 99% spora bakteri (Hariyadi R 2000).


(1)

PB-03-IK-01 PROSES SANITASI PERALATAN DAN

RUANGAN

Proses sanitasi meliputi proses pembersihan ruang proses (mixing dan filling), ruang packing, mesin produksi dan peralatan produksi.

1. Pembersihan ruang proses dan pengemasan menjelang akhir shift kerja :

- Lantai ruangan di semprot dengan menggunakan air. - Air yang menggenang ditarik dengan pel karet.

- Bersihkan saluran air sampai bersih dan pastikan saluran air tidak mampat

2. Sanitasi ruang packing

- Ambil larutan sanitaiser sebanyak 5.6 ml, tambahkan dengan air hingga volume 1.5 liter untuk mendapatkan konsentrasi bahan aktif 300 ppm

- Gunakan fogger untuk mengembunkan ruangan dengan sanitaiser hingga habis

- Diamkan selama 1 jam - Ruangan siap digunakan

3. Pembersihan ruang packing menjelang akhir shift kerja :

- Lantai ruangan disapu hingga bersih dan sampah dibuang ke tempat pembuangan sampah di luar ruang produksi.

4. Pembersihan mesin dengan proses CIP: - Isi tangki mayor dengan 1800 liter air

- Alirkan 300 liter untuk pre-wash, nyalakan PHE pada suhu 95°C - Sirkulasikan air panas ini hingga mesin filling sampai air habis

- Alirkan 400 liter air dari tangki mayor ke tangki minor, tambahkan 8 liter larutan alkali, mixing hingga homogen

- Sirkulasikan larutan alkali ini hingga mesin filling sampai larutan habis (sebelum sampai PHE, nyalakan PHE pada suhu 95°C, kemudian tahan dalam holding tube selama 15 menit)

- Alirkan 400 liter air dari tangki mayor ke tangki minor, tambahkan 5 liter larutan asam, mixing hingga homogen

- Sirkulasikan larutan asam ini hingga mesin filling sampai larutan habis (sebelum sampai PHE, nyalakan PHE pada suhu 95°C, kemudian tahan dalam holding tube selama 15 menit)

- Alirkan 700 liter air dari tangki mayor ke tangki minor, tambahkan 1.25 liter larutan sanitaiser, mixing hingga homogen

- Sirkulasikan larutan sanitaiser ini hingga mesin filling sampai larutan habis (tahan dalam holding tube selama 10 menit)

- Bersihkan air pencucian yang ada di lantai mixing maupun filling dengan karet pel

- Bersihkan saluran air sampai bersih dan pastikan saluran air tidak mampat


(2)

5. Pembersihan peralatan produksi :

- Semua alat yang berhubungan dengan produksi dicuci menggunakan air hangat suhu + 40 °C sampai semua alat terbebas dari sisa produk. - Keringkan alat-alat tersebut

- Simpan pada tempat yang telah disediakan dalam kondisi tertutup. - Jika alat tidak digunakan simpan dalam tempat yang disediakan dalam

kondisi tertutup.

Diberlakukan Oleh

Production Manager


(3)

PB-04-IK-01 PENGENDALIAN PROSES PRODUKSI

A. PERSIAPAN BAHAN

Bahan-bahan yang akan digunakan untuk produksi RTD disiapkan berdasarkan checklist / formula yang ada.

B. PERSIAPAN RINSER

Ambil peracetic acid sebanyak 2 liter ke dalam tangki mayor, masukkan air sebanyak 500 liter. Larutan rinser siap digunakan

C. PROSES PRODUKSI

Proses produksi, pengontrolan proses, pengecekan produk selama proses serta produk jadi RTD dilakukan oleh operator produksi dengan mekanisme standar proses dan GMP yang berlaku.


(4)

Pengontrolan proses dan pengecekan produk didasarkan pada Tabel Spesifikasi yang sudah ditentukan.

Tabel Spesifikasi Proses dan Produk RTD : No. Proses /

Bahan Pemeriksaan Spesifikasi

pH 3.8-4.1 1. Proses

mixing Rasa Sesuai standar

Suhu ( T ) 85 (ref) 2. Pasteurisasi

Waktu ( t ) 2.5 menit (ref) pH 3.8-4.1

Rasa Sesuai standar

3. Filling

Volume botol Sesuai standar 4. Penutupan Kondisi tutup Kuat, tidak bocor

5. Packing

24 botol / box, Identitas …………..

Diambil ref. sample setiap batch.

Diambil sampel untuk proses inkubasi

C. PENCATATAN PROSES PRODUKSI

Aktifitas selama proses mulai dari persiapan sampai penyerahan barang jadi selalu dicatat dalam form Catatan Kegiatan Proses.


(5)

Lampiran 15. Instruksi Kerja QC untuk Pengambilan Sampel Air

QC-01-IK- 14 METODE PENGAMBILAN SAMPEL AIR

1. UNTUK ANALISA RUTIN DI LAB QC & KIMIA

- Dilakukan setiap hari sebelum produksi dimulai - Siapkan 1 botol sampel dan tutupnya

- Tampung air secukupnya

- QC melakukan pengecekan: warna, rasa, bau, pH dan konduktivitas - Kirim sampel dan PAK ke Lab. Kimia

2. UNTUK ANALISA MIKROBIOLOGI

- Dilakukan 1 minggu sekali di luar proses sanitasi berkala - Siapkan 2 botol PET dan tutupnya

- Sterilisasi botol: semprot botol & tutupnya dengan alkohol 96%, lalu keringkan dengan dryer & ditutup rapat

- Tutup botol yang sudah berisi air

- Kirim sampel dan PAM ke Lab. Mikrobiologi

DIBERLAKUKAN OLEH :

Quality Control Manager


(6)

Lampiran 16. Instruksi Kerja QC untuk Pengambilan Sampel Bahan Kimia

QC-05-IK-03

PENGAMBILAN SAMPEL BAHAN KIMIA

1. Pastikan kondisi kendaraan dan bahan dalam kondisi baik, tidak kotor atau sobek dan tidak ada benda asing yang ditemukan pada bahan.

2. Pastikan berapa lot dan jumlah bahan yang datang serta kesesuaian kehalalan bahan baku

3. Tetapkan tingkatan penerimaan mutu untuk barang tersebut sesuai dengan history kedatangan bahan tersebut.

4. Tentukan jumlah sampel yang harus diambil sesuai dengan rencana sampling ganda pada tingkat penerimaan mutu yang akan digunakan, dan pastikan kriteria penerimaan dan penolakannya.

5. Ambillah sampel sedemikian acak yang dapat mewakili keseluruhan bahan yang diperiksa.

6. Bawa sampel ke lab QC dan rekam semua bahan yang disampling pada buku sampel.

7. Kirim sampel yang memerlukan analisa Kimia disertai form Catatan Serah Terima Sampel dan Analisa Mikrobiologi

8. Teliti seluruh sampel sesuai standar dan spesifikasi, hasilnya bandingkan dengan kriteria penerimaan dan penolakannya.

Diberlakukan Oleh :

Quality Control Manager