ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Perkara Nomor 35/Pid.B/2011/PN.M)

Oleh

Riani Purwaningsih

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Pelaku penyalahgunaan narkotika banyak yang hanya merupakan korban dari pengedar narkotika yang hanya ingin memperoleh keuntungan. Seperti terdakwa dalam perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M mengaku hanya disuruh menghisap narkotika jenis ganja oleh temannya yang bernama Jumli dan pemilik narkotika jenis ganja tersebut adalah Febrizal, jadi bisa disimpulkan bahwa dia hanyalah korban. Berdasarkan uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Populasi dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum dan dosen fakultas hukum. Sampel yang dianggap dapat mewakili penulisan skripsi ini adalah hakim yang memeriksa dan mengadili dan jaksa penuntut umum pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M, dosen bagian hukum pidana fakultas hukum universitas lampung.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M dikenakan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”. Namun peran dari terdakwa dalam perkara ini hanya sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika yang disuruh memakai narkotika jenis ganja oleh saksi Jumli dan narkotika jenis ganja tersebut adalah milik saksi Febrizal. Saksi Jumli


(2)

dan saksi Febrizal harusnya dipidana seberat mungkin, karena melihat peran masing-masing dalam tindak pidana narkotika yaitu saksi Febrizal sebagai pemilik narkotika jenis ganja tersebut dan saksi Jumli sebagai penyuruh memakai narkotika jenis ganja kepada terdakwa. Namun dalam putusan hakim masing-masing perkara tersebut adalah sama yaitu pidana penjara 10 (sepuluh) bulan. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku penyalahggunaan narkotika sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M yaitu majelis hakim memepertimbangkan hal-hal yuridis dan non yuridis yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M adalah unsur delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf a, alat bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa, dan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M adalah hal yang memberatkan dan hal yang meringankan dan juga berpedoman pada Pasal 183 KUHAP.

Setelah penulis melakukan penelitian tentang pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika (studi perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M) maka penulis berpendapat bahwa majelis hakim dalam memutus suatu perkara harus dengan seadil-adilnya sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Dalam menjatuhkan putusan semata-mata berdasarkan hukum dengan tidak membeda-bedakan individu satu dengan lainnya. Penjatuhan pidana hendaknya berjenjang sesuai dengan peran dari masing-masing terdakwa, baik sebagai pemakai, penyuruh memakai tanpa kewenangan, ataupun pemilik narkotika. Majelis hakim sebaiknya memperhatikan proses administrasi berperkara agar tidak terdapat kesalahan dalam penulisan suatu putusan hakim.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan narkotika paling banyak berusia produktif antara 20-34 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda (Badan Narkotika Provinsi Lampung, 2011).

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Kalau kita amati dari pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik yang hampir setiap hari memberitakan tentang penangkapan para pelaku penyalahgunaan narkotika oleh aparat keamanan. Maraknya penyalahgunaan narkotika jelas berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya manusia yang menjadi salah satu modal pembangunan nasional (Badan Narkotika Provinsi Lampung, 2011).


(4)

Penyalahgunaan narkotika dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan peningkatan yang sangat pesat, baik kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan data yang bersumber dari Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. jumlah penyalahguna narkotika sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau sekitar 1,5% dari total seluruh penduduk Indonesia di tahun 2011. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan 7% pecandu suntik. Penyalahgunaan narkotika pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa (60%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (40%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). Estimasi kerugian biaya ekonomi akibat narkotika tahun 2011 lebih tinggi sekitar 37% di bandingkan tahun 2008 (http://dunia-narkotika.blogspot.com/, di akses jam 21.00 WIB, 17 Oktober 2011).

Penyalahgunaan narkotika tidak terlepas dari sistem hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, dapat dilihat dari efektifnya pelaksanaan sanksi pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa sanksi, seperti sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, maupun sanksi pidana denda yang penerapannya dilakukan secara kumulatif.

Semakin meningkatnya penyalahgunaan narkotika dalam hal ini perlu dilakukan upaya pencegahan dan mengurangi tindak kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut, dan hal ini tidak terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa. Menurut Pasal


(5)

10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Meskipun hakim itu bersikap menunggu atau pasif dalam arti tidak mencari perkara, namun sekali diajukan perkara kepadanya ia wajib memeriksa dan mengadilinya sampai selesai (Sudikno Mertokusumo, 2002: 129).

Setiap pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut peraturan yang berlaku di negara Indonesia. Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan penawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika, karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. Peraturan tersebut di atur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Obat terlarang ini, mampu menyentuh dan merambah seluruh lapisan masyarakat mulai pelajar, mahasiswa, kalangan profesional, selebritis, akademisi, birokrat, bahkan aparat penegak hukum (oknum) , serta atlet olahraga. Seperti dalam kasus Khalil Gibran bin Haryanto, seorang mahasiswa berumur 22 tahun, warga jalan Pala, kelurahan Iringmulyo, kecamatan Metro Timur, Kota Metro yang merupakan pelaku penyalahgunaan narkotika golongan I jenis ganja, yang pada


(6)

hari kamis tanggal 24 maret 2011, majelis hakim pemeriksa perkaranya menjatuhkan pidana penjara selama 10 bulan. Dia di dakwakan dengan bentuk dakwaan alternatif, yaitu kesatu Pasal 116 Ayat (1), kedua Pasal 111 Ayat (1), ketiga Pasal 132 Ayat (1) dan keempat Pasal 127 Ayat (1) huruf a. Namun yang terbukti dalam persidangan adalah Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menentukan setiap penyalah guna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Terdakwa dalam perkara ini mengaku hanya disuruh menghisap narkotika jenis ganja oleh temannya yang bernama Jumli dan pemilik narkotika jenis ganja tersebut adalah Febrizal, jadi bisa disimpulkan bahwa dia hanyalah korban. Sehingga putusan hakim pada masing-masing pelaku tersebut seharusnya berjenjang sesuai peran dari masing-masing pelaku namun dalam kenyataan putusan hakimnya adalah sama yaitu pidana penjara selama 10 bulan (Pra Research di Pengadilan Negeri Metro, 2011).

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika putusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan refrensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ditingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun


(7)

materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya (Lilik Mulyadi, 2010: 155).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat skripsi dengan judul : “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika (studi perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan (studi perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian bidang ilmu hukum pidana yaitu huukum pidana formil dan hukum pidana materiil yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M di Pengadilan Negeri Metro.


(8)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika (studi perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M).

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan (studi perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M).

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah :

a. Kegunaan Teoritis, di harapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengkajian ilmu hukum mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.

b. Kegunaan Praktis, di harapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan memperluas pengetahuan bagi para aparat penegak hukum dan masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.


(9)

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori merupakan acuan dalam penelitian dengan maksud agar lebih jelas untuk membahas pokok permasalahan dengan mendasarkan pada suatu teori. Relevansi sebagai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kerangka Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstrak dan hasil pemikiran dan kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1984: 132).

Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Indonesia hanya ada satu, yaitu pertanggungjawaban. Sedangkan didalam bahasa Belanda ada 3 kata yang sinonim menurut Pompe, aansprakelijk, verantwoordelijk dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada orang (Andi Hamzah, 2010: 139).

Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana (Moeljatno, 2009: 167).

Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”. Didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut:


(10)

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kessalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

(Tri Andrisman, 2009: 95)

Seorang aparat penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana pada setiap pelaku tindak pidana. Perlu ada dasar pertimbangan oleh hakim dalam segala putusannya. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan (Lihat Pasal 183 KUHAP).

Selain itu, dalam penjatuhan pidana, jika terdakwa tidak dilakukan penahanan, dapat di perintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut di tahan, apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang di atur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Lihat Pasal 193 ayat (2) KUHAP).

Lamanya pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan. Walaupun pembentuk undang-undang memberi kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus


(11)

dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap (Lilik Mulyadi, 2010:195).

Penjatuhan pidana tersebut harus cukup di pertimbangkan dan putusan hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Adanya kesalahan terdakwa di buktikan dengan minimal dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi (Lihat Pasal 183 KUHAP).

Pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal ini memang sudah ditentukan dalam KUHAP yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa (Lihat Pasal 197 ayat (1) KUHAP).

2. Konseptual

Beberapa batasan mengenai konsep yang bertujuan untuk menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya; proses pemecahan masalah yang di mulai dengan dugaan akan kebenarannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 36).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan seseorang wajib menanggung segala sesuatu yang ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability


(12)

based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tndak pidana atau akibat perbuatannya dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan seagainya (Tolib Setiady, 2010: 146).

c. Pelaku adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (Andi hamzah, 2009: 95).

d. Penyalahgunaan adalah proses, cara perbuatan menyalahgunakan tanpa hak dan melawan hukum (Andi Hamzah, 2009: 97).

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, 2010: 4).

E. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab yang isinya mencermunkan susunan dari materi yang perinciannya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan tentang penguraian hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual serta di akhiri dengan sistematika penulisan.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar dalam memahami pertanggungjawaban pidana, pengertian narkotika, sanksi penyalahgunaan narkotika, dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan yang menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika (studi perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M) dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan (studi perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M).

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan mengenai hal-hal yang telah diuraikan dan kemudian dilengkapi dengan saran serta alternatif pemecahan masalah.


(14)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009.Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana (edisi revisi 2008). Jakarta:

Rineka Cipta.

____________. 2009.Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Moeljatno. 2009.Asas-Asas Hukum Pidana (edisi revisi).Jakarta: Rineka Cipta. Moeljatno. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi

Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana : Teori Praktik, Tekhnik Penyusunan, dan Permasalahannya. Bandung : PT: Citra Aditya Bakti.

Redaksi Sinar Grafika. 2007.KUHAP Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika.

___________. 2010. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

___________. 2010. Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sinar Grafika.

Setiyadi, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Badan Narkotika Provinsi Lampung. http://dunia-narkotika.blogspot.com/


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian Pidana adalah: “penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu”. Berdasarkan pengertian hukum pidana yang diuraikan diatas, maka menurut penulis pengertian hukum pidana dapat dirumuskan sebagai: Kesuluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang:

1. Perbuatan yang dilarang.

2. Orang yang melanggar larangan tersebut. 3. Pidana.

Penjabaran lebih lanjut dari kesimpulan pengertian hukum pidana diatas dapat dijelaskan bahwa “perbuatan yang dilarang” itu berkaitan dengan tindak pidana; “orang yang melanggar larangan” itu berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, yaitu syarat-syarat pengenaan pidana. Maksudnya sampai sejauhmana seseorang yang melakukan tindak pidana mempunyai kesadaran dan kemampuan menilai baik buruk perbuatannya tersebut; serta “pidana” itu berkaitan dengan sanksi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana, yaitu hanya melalui putusan hakim yang telah bersifat tetap dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan telah ditentukan dalam undang-undang. Dengan


(16)

demikian dapat pula hukum pidana itu diartikan sebagai “keseluruhan peraturan yang mengatur tentang: 1) Tindak Pidana; 2) Pertanggungjawaban pidana; dan 3) Pidana”(Tri Andrisman, 2009: 8).

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatanannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya (Yulies Tiena Masriani, 2006: 63).

Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Indonesia hanya ada satu, yaitu pertanggungjawaban. Sedangkan didalam bahasa Belanda ada 3 kata yang sinonim menurut Pompe, aansprakelijk, verantwoordelijk dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada orang (Andi Hamzah, 2010: 139).


(17)

Menurut KUHP kita tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Kalau tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal tersebut tidak dapat dipakai (Moeljatno, 2009: 178).

Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, juka memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggungjawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat (Tolib Setiady, 2010: 152).

Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan, apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :


(18)

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Oleh karena kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html, diakses jam 21.00 WIB, 17 Oktober 2011).

Menurut Van Bemmelen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi: 1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.


(19)

2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya.

3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat (Andi Hamzah, 2010: 157)

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang terkandung maka dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kessalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2009: 16-17).

Kalau ketiga unsur tersebut ada, maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempuntai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana. Disamping itu harus diingat pula bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dulu bahwaperbuatannya bersifat melawan hukum.Oleh karena itu sangat penting untuk selalu menyadari akan dua hal dalam syarat-syarat pemidanaan, yaitu:

a. Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit).


(20)

Meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada pada si pembuat, tetapi ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misal: dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (2) KUHP). Berkaitan dengan dapat dipidananya perbuatan, maka harus dibuktikan bahwa: (1) perbuatan itu harus memenuhi rumusan undang-undang; (2) perbuatan itu harus bersifat melawan hukum; dan (3) tidak ada alasan pembenar. Sedangkan berkaitan dengan dapat dipidananya orang, maka terhadap orang tersebut harus dibuktikan adanya 3 (tiga) hal sebagai berikut: (1) Adanya Kemampuan Bertanggungjawab; (2) Sengaja atau Alpa; dan (3) Tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2009: 17).

Untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya (atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan) yang menimbulkan celaan tadi harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan (schuldvormen). Diluar dua bentuk ini, KUHP kita (dan kiranya juga lain-lain negara) tidak mengenal macam kesalahan lain (Moeljatno, 2009: 174).

Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hukum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara obyektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri tidak melawan hukum berarti pembuatnya tidak bersalah. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan


(21)

atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan etis, tetapi celaan hukum. Beberapa perbuatan yang dibenarkan secara etis dapat dipidana. Peraturan hukum dapat memaksa keyakinan etis pribadi kita disingkirkan (Andi Hamzah, 2010: 138).

B. Pengertian Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, 2010: 4).

Narkotika terbagi menjadi tiga golongan, antara lain: 1. Narkotika golongan I, berasal dari alam

2. Narkotika golongan II, narkotika Semi Sintesis 3. Narkotika Golongan III, Sintesis

Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari tanaman, anatar lain: ganja, opium,dan kokain. Disamping itu, ada juga narkotika yang merupakan hasil dari proses kimia dimana proses kimia tersebut menghasilkanzat baru yang memiliki sifat narkotika. Narkotika jenis ini dinamakan narkotika sintesis atau buatan. Sementara yang dimaksud dengan Narkotika semisintesis adalah narkotika yang diproses secara kimia. Dimana senyawa alkaloid yang dihasilkan dari suatu tumbuhan ditambahkan yang zat kimia lain sehingga berpotensi menjadi semacam


(22)

zat yang bersifat narkotika. Senyawa alkoloid adalah kelompok senyawa organik bersifat basa yang mengandung nitrogen, dan Alkoloid berasal dari tumbuhan dan hewan (Prini Utami-Ahmad Senjaya-Nazlatunihayah, 2006: 9).

Faktor penyebab alasan memakai narkotika, diantaranya:

1. Anticipatory beliefs, yaitu anggapan bahwa jika memakai narkotika, orang menilai dirinya hebat, dewasa, mengikuti mode, dan sebagainya.

2. Relieving beliefs, yaitu keyakinan bahwa narkotika dapat digunakan untuk mengatasi ketegangan, cemas, dan depresi akibat stressor psikososial. 3. Facilitative atau permissive beliefs, yaitu keyakinan bahwa penggunaan

narkotika merupakan gaya hidup atau kebiasaan karena pengaruh zaman atau perubahan nilai sehingga dapat diterima (Lydia Harlina Martono, 2005: 17).

C. Sanksi Penyalahgunaan Narkotika

Sanksi adalah tanggungan (tindakan hukuman,dsb) untuk memaksa orang menempati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang, anggaran dasar, perkumpulan,dsb (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 996).

Menurut Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setiap penyalah guna:

1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan


(23)

3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Setelah pemeriksaan dalam sidang pengadialan selesai, hakim memutuskan perkara yang diperiksanya. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menentukan “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Putusan pengadilan atau putusan hakim dapat berupa hal-hal berikut :

1. Putusan bebas bagi terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Putusan bebas ini diambil oleh hakim apabila peristiwa yang disebut dalam surat tuduhan, baik sebagian maupun seluruhnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.


(24)

2. Putusan terdakwa dari segala tuntutan (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum ditetapkan oleh hakim karena meskipun peristiwa yang dimuat dalam tuduhan terbukti, tetapi tidak merupakan kejahatan atau pelanggaran (ontslag van alle rechtsvervolging). Putusan demikian dapat pula diambil oleh hakim dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHAP.

3. Penghukuman terdakwa (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Apabila hakim berkeyakinan bahwa semua tuduhan terbukti merupakan kejahatan atau pelanggaran dan terdakwa sebagai pelakunya, hakim memutuskan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, kecuali bila terdakwa belum berumur 16 tahun.

Menurut Pasal 197 ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara baik itu menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain :

1. Tak mampu bertanggungjawab, sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 Ayat (1): “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkigeontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”.

2. Daya paksa atau (overmacht). Dalam pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan: “Barang siapa melakukan perbuatan pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.


(25)

3. Pembelaan terpaksa. Dalam pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa: “Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri atau orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Ayat (2) melanjutkan penjelasan sebagai berikut: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.

4. Ketentuan Undang-Undang. Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menerangkan sebagai berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dipidana”.

5. Perintah jabatan. Pasal 51 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Pasal 51 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. 6. Pemberatan karena jabatan/ bendera kebangsaan. Pasal 52 kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Bilamana seseorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,


(26)

kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.

Pasal 52a: “Bilamana pada waktu melakukan kejahatan, digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga”.

7. Pasal 53 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga”.

Pasal 53 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

8. Pasal 55 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”.

9. Pasal 57 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga”.

Pasal 57 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

10. Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Dalam hal-hal diaman karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota-anggota


(27)

badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana”.

11. Tentang perbarengan (concursus). Pasal 63 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.

Pasal 63 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”.

12. Perbuatan berlanjut, Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya dengan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling). Maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. Pasal 64 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang palsu atau yang dirusak itu”.

13. Perbarengan perbuatan, Pasal 65 Ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yangg berdiri sendiri-sendiri, sehingga


(28)

merupakan beberapa kejahatann, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis , maka hanya dijatuhkan satu pidana”.

Pasal 65 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Maksimum pidana yang diijatuhka ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga”.

14. Pasal 66 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga”.

15. Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, disamping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yangg telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan Hakim”.

Faktor yang memperberat penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar KUHP, yaitu:

1. Terdakwa berbelit-belit dalam menjalani proses persidangan. 2. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya.

3. Terdakwa tidak menunjukan rasa hormat dan sopan dalam menjalani proses persidangan.


(29)

5. Tidak menyesali perbuatannya.

6. Merugikan keuangan negara dalam keadaan yang sedang krisis keuanggan. 7. Menentang program kebijaksanaan pemerintah.

8. Menimbulkan keadaan kacau atau keresahan pada masyarakat secara luas.

Faktor yang memperingan penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar KUHP, yaitu:

1. Terdakwa tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan dimuka sidang. 2. Mengakui perbuatan pidana yang telah dilakukan.

3. Menyesali telah melakukan tindak pidana.

4. Sopan dan bekerja sama dalam mengikuti persidangan. 5. Memiliki perilaku yang baik dalam kesehariannya. 6. Masih berusia relatif muda.

7. Mempunyai banyak tanggungan keluarga/ sebagai tulang punggung kehidupan keluarga.

Putusan yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan kriteria dasar penyataan (the 4 way test), berupa : (Lilik Mulyadi, 2010 : 158).

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?


(30)

Apabila diperinci lebih dalam, intens, dan detail, aspek-aspek yang kerap muncul dan kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan pada praktik peradilan, lazimnya dapat berupa :

1. Kelalaian, kekuranghati-hatian, dan kekeliruan/kekhilafan hakim dalam lingkup hukum acara pidana yang tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, tetapi hanya sekedar “diperbaiki” oleh pengadilan tinggi/Mahkamah Agung. Apabila diuraikan lebih jauh, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain yudex facti tidak secara teliti dan intens mengindahkan beberapa ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yudex facti tidak mengindahkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terhadap rumusan atau kualifikasi dari tindak pidana, yudex facti dalam menjatuhkan pidana dirasakan tidak adil dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa, dan sebagainya.

2. Kelalaian, kekuranghati-hatian dan kekeliruan/kehilafan hakim dalam lingkup hukum acara pidana/formeel strafrecht yang mengakibatkan batal demi hukum (van rechtswege neitig atau null and void). Apabila sampai demikian, dalam artian jika putusan pengadilan negeri dibatalkan oleh pengadilan tinggi atau putusan yudex facti (pengadilan negeri/pengadilan tinggi) dibatalkan oleh Mahkamah Agung, pengadilan tinggi/Mahkamah Agung akan “mengadili sendiri” perkara tersebut.

3. Kekeliruan/kekhilafan, kesalahan penerapan hukum, dan kesalahan penafsiran unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu tindak pidana, baik tindak pidana umum (ius commune) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(31)

(KUHP) maupun diluar KUHP sebagai hukum pidana khusus (ius singulare, ius speciale, ataubijzonder strafrecht).

(Lilik Mulyadi, 2010 : 158-167)

Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visulaisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2010 : 129).


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Delik khusus dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

____________. 2009. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana (edisi revisi 2008). Jakarta: Rineka Cipta.

Harlina Martono, Lydia. 2006.Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Balai Pustaka.

Masriani,Yulies Tiena. 2006.Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 2009.Asas-Asas Hukum Pidana (edisi revisi).Jakarta: Rineka Cipta. Moeljatno. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi

Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana : Teori Praktik, Tekhnik Penyusunan, dan Permasalahannya. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Redaksi Sinar Grafika. 2007.KUHAP Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika.

___________. 2010. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

Setiyadi, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Utami, Prini. Senjaya Ahmad & Nazlatunihayah. 2006. Katakan Tidak Pada Narkoba, Mengenal Narkoba dan Bahayanya. Bandung: CV.Sarana Penunjang Pendidikan.


(33)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pembahasan skripsi ini, dilakukan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang ada dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara melihat kenyataan yang ada dalam praktek di lapangan sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, yang kaitannya dengan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M), dalam menjalankan fungsi yang seharusnya, maka penulis menitikberatkan yuridis empiris.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya. Dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dan masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1984: 11), data tersebut yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara atau koesioner dengan majelis hakim dan penuntut umum yang memeriksa dan mengadili perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M. Adapun sumber data


(34)

yang penulis peroleh berupa keterangan-keterangan tentang pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer adalah berupa perundang-undangan yang terdiri dari:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-Undang RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer, dalam hal ini terdiri dari:

1. Rancangan Undang-Undang KUHP 2008.

2. Perpres Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. 3. Putusan Hakim Pada Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa pendapat para sarjana, kamus, literature hukum dan serta hasil seminar.


(35)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu didalam suatu penelitian (Hadai Nawawi, 1997:141). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah aparat penegak hukum dan dosen fakultas hukum. Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode Purposive Sample, yang berarti sampel yang di sesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap yang hendak di gambarkan dan di capai.

Sampel yang dianggap dapat mewakili penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim yang memeriksa dan mengadili pada perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M berjumlah 2 orang.

2. Jaksa penuntut umum pada perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M berjumlah 1 orang.

3. Dosen bagian hukum pidana fakultas hukum universitas lampung berjumlah 2 orang.

Sample yang dianggap dapat mewakili penulisan skripsi ini berjumlah 5 orang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data


(36)

a. Data Primer, yaitu melakukan wawancara secara langsung dengan hakim, jaksa penuntut umum, dosen bagian hukum pidana.

b. Data Sekunder, dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan ini serta studi kepustakaan, yakni membaca buku-buku dan laporan hasil diklat-diklat tentang narkotika dan kekuasaan kehakiman, kemudian mengutip hal-hal yang diperlukan dalam penulisan.

2. Pengolahan Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengelola data adalah, sebagai berikut: a. Editing,yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah

data yang diperoleh itu relavan dan sesuai dengan bahasan. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.

b. Evaluasi, yaitu kegiatan memeriksa kelengkapan, kejelasan, konsistensi, dan relevansi data terhadap topik penulisan skripsi ini.

c. Sistematisasi,yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasan sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Analisis data dimaksudkan untuk menyederhanakan data agar mudah dibaca dan dipahami. Pada penelitian ini data yang diperoleh penulis kemudian di analisis secara kualitatif dengan menguraikan data-data yang diperoleh dilapangan dalam bentuk penjelasan kalimat, guna mendapatkan pengertian-pengertian tertentu


(37)

dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Menguraikan data secara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan dan menggambarkan data ke dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis sehingga memudahkan interpretasi data dan penarikan suatu kesimpulan (Muhammad Abdulkadir, 2004:127). Berdasarkan hasil analisis data tersebut akan ditarik suatu kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dan hal-hal yang bersifat khusus kearah sifat yang lebih umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nawawi, Hadai. 1997.Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.


(39)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan narkotika perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M dikenakan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”. Terdakwa dalam perkara ini seharusnya tidak di pidana namun hanya diberikan tindakan ataupun putusannya disesuaikan dengan perbuatannya, walaupun dia telah terbukti mengkonsumsi narkotika jenis ganja, tetapi fakta hukum yang muncul di persidangan adalah terdakwa hanya disuruh mengkonsumsi narkotika jenis ganja tersebut oleh saksi Jumli dan narkotika jenis ganja tersebut telah diakui juga di persidangan oleh saksi Febrizal adalah miliknya, yang dia beli dari saudara Redi. Peran dari terdakwa dalam perkara ini hanya sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika yang disuruh memakai narkotika jenis ganja. Saksi Jumli dan saksi Febrizal harusnya dipidana seberat mungkin, karena melihat peran masing-masing dalm tindak pidana narkotika yaitu saksi Febrizal sebagai pemilik narkotika


(40)

jenis ganja tersebut dan Saksi Jumli sebagai penyuruh memakai narkotika jenis ganja kepada Terdakwa. Namun dalam putusan hakim masing-masing perkara tersebut adalah sama yaitu pidana penjara 10 (sepuluh) bulan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku penyalahggunaan narkotika sebagaimana yang di maksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M yaitu majelis hakim memepertimbangkan hal-hal yuridis dan non yuridis yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M adalah unsur delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf a, alat bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa, dan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M adalah hal yang memberatkan dan hal yang meringankan dan juga berpedoman pada Pasal 183 KUHAP.

Putusan hakim pada perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M dengan terdakwa Khalil Gibran tidak memenuhi suatu unsur keadilan substantif, karena hakim dalam memutus perkara ini tidak menggali dan menemukan nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat seperti tidak diungkapkannya peran dari terdakwa dalam perkara nomor 35/Pid.B/2011/PN.M hanyalah sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika, sedangkan peran dari saksi Jumli adalah sebagai


(41)

penyuruh memakai dan saksi Febrizal adalah sebagai pemilik narkotika yang pemidanaannya seharusnya berbeda sesuai dengan peran masing-masing, namun pada putusan pengadilan di pengadilan negeri metro, majelis hakim memberikan putusan yang sama yaitu pidana penjara 10 bulan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Majelis hakim dalam memutus suatu perkara harus dengan seadil-adilnya sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Dalam menjatuhkan putusan semata-mata berdasarkan hukum dengan tidak membeda-bedakan individu satu dengan lainnya. Penjatuhan pidana hendaknya berjenjang sesuai dengan peran dari masing-masing terdakwa, baik sebagai pemakai, penyuruh memakai tanpa kewenangan, ataupun pemilik narkotika.

2. Setiap putusan seorang hakim harus menyampaikan dasar-dasar pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hal itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu putusan hakim sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Majelis hakim sebaiknya memperhatikan proses administrasi berperkara agar tidak terdapat kesalahan dalam penulisan suatu putusan hakim.


(42)

(Skripsi)

Oleh

Riani Purwaningsih

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(43)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 13

B. Pengertian Narkotika ... 19

C. Sanksi Penyalahgunaan Narkotika ... 20

D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana ... 21

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33

E. Analisis Data ... 34 DAFTAR PUSTAKA


(44)

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Kelas 1B Metro

(Studi Perkara Nomor 35/Pid.B/2011/PN.M) ... 39 C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Peenyalahgunaan Narkotika

(Studi Perkara Nomor 35/Pid.B/2011/PN.M) ... 41 D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

(Studi Perkara Nomor 35/Pid.B/2011/PN.M) ... 49 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67


(45)

Oleh

RIANI PURWANINGSIH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(46)

(Studi Perkara Nomor 35/Pid.B/2011/PN.M)

Nama Mahasiswa :Riani Purwaningsih

NPM : 0812011265

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Maroni, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.

NIP 19600310 198703 1 002 NIP 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(47)

1. Tim Penguji

Ketua :Maroni S.H., M.H. ...

Sekertaris/Anggota :Maya Shafira S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan pembimbing :Gunawan Jatmiko S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(48)

(49)

(50)

(51)

(52)

(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Maroni S.H., M.H. ...

Sekertaris/Anggota :Maya Shafira S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan pembimbing :Gunawan Jatmiko S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKU ANAK DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Putusan Nomor : 3/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Dps)

1 6 66

ANALISIS PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 892/Pid.SUS (A)/2011/ PN.TK)

0 9 60

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor : 43 / Pid / Sus / 2011 / PN.TK)

1 11 23

ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN 1 (Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS)

0 16 58

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)

0 2 52

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

1 19 58

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

0 8 37

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN SEBAGAI PENYEBAB MATINYA PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Perkara Nomor 166/Pid./2012/PT TK)

1 17 51

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENDUDUKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH (Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.)

1 10 73

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU)

0 4 53