Ambang Batas Parlemen Parliamentary Threshold dalam

ambang batas parlemen parliamentary threshold bagi pemilihan anggota DPR infra Sub-judul B. Ketiga, memaparkan mengenai pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mempertahankan konstitusionalitas ambang batas parlemen parliamentary threshold infra Sub-judul C. Keempat, mengemukakan argumen untuk mengkritisi penerapan ambang batas parlemen yang bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.

A. Ambang Batas Parlemen Parliamentary Threshold dalam

Undang-Undang Pemilu Legislatif Penerapan ambang batas parlemen parliamentary threshold di Indonesia mengalami beberapa peningkatan sejalan dengan perubahan terhadap Undang- Undang Pemilu Legislatif. Ketentuan mengenai ambang batas parlemen parliamentary threshold dan ruang lingkup pemberlakuannya pertama kali tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif pada Pasal 202 Ayat 1 dan 2 yang manyatakan bahwa: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 dua koma lima persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupatenkota. 91 Kemudian implikasi dari ditetapkannya ambang batas parlemen tersebut parliamentary threshold tertuang dalam Pasal 203 Ayat 1 menyatakan bahwa; 91 Lihat Pasal 202 Ayat 1 dan 2Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836. “Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat 1, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan. ” 92 Lebih lanjut lagi dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008, menjelaskan fungsi dari ambang batas parlemen parliamentary threshold sebagai unsur penetapan angka BPP dalam Pasal 203 Ayat 2 dan 3 menyatakan bahwa: Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat 1. 93 Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan. 94 Perkembangan partai politik yang begitu pesat menyebabkan perubahan terhadap besarnya ambang batas parlemen parliamentary threshold tersebut menjadi 3,5 dari jumlah suara nasional dalam pasal 208 UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5 tiga koma lima persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota. 95 92 Pasal 203 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 93 Pasal 203 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 94 Pasal 203 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 95 Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Kemudian ketentuan lain yang menjadi konsekuensi adanya ambang batas parlemen parliamentary threshold adalah pasal 209 Ayat 1 yang mengatakan bahwa: Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota di setiap daerah pemilihan. 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan BPP Bilangan Pembagi Pemilih yang menggunakan ambang batas parlemen sebagai unsur pengitungan BPP terdapat dalam pasal 209 Ayat 2 dan 3 UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa: Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD, provinsi, dan DPRD kabupatenkota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan sebagaimana dimaksud dalam pasal 208. 97 Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. 98 Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316. Dalam penjelasan pasal demi pasal, yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan suara DPR, sehingga dengan demikian ketentuan pasal 208 tidak berlaku untuk DPRD. 96 Lihat Pasal 209 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 97 Pasal 209 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 98 Pasal 209 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

B. Alasan Penerapan Ambang Batas Parlemen Parliamentary