Dampak Skema Common Effective Preferential Tariff For Asean Free Trade Area (Cept-Afta) Terhadap Kerja Sama Perdagangan Republik Indonesia Dengan Kerajaan Thailand

(1)

113

4.3 Langkah-langkah Untuk Menyelesaikan Kendala Dalam Penerapan Skema CEPT-AFTA Terhadap Kerja Sama Perdagangan Indonesia-Thailand

Di dalam sebuah kerjasama suatu kendala ataupun hambatan pasti akan terjadi, namun tetap saja kendala dan hambatan tersebut harus diselesaikan sebaik mungkin dengan solusi yang ada agar tujuan dari kerjasama tersebut dapat tercapai. Begitupun halnya di dalam penerapan skema CEPT-AFTA dan dalam kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand terdapat kendala-kendala, namun bagaimana Indonesia dan Thailand selaku anggota ASEAN dan pembuat kesepakatan tersebut menyelesaikan kendala-kendala yang mungkin timbul di dalam penerapan dan kerjasama kedua negara tersebut. Berikut merupakan langkah-langkah untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi oleh kedua negara Indonesia dan Thailand, yaitu:

1. Terkait mengenai kesamaan produk yang dihasilkan di negara-negara anggota ASEAN, melalui meningkatkan kualitas dan nilai tambah bagi produk ekspor sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas, mutu dan karakteristik yang tinggi dan berbeda dengan produk dari negara-negara-negara ASEAN lainnya khususnya produk karet dan elektronik diantara Indonesia dengan Thailand. Selain meningkatkan kualitas produk, meningkatkan daya saing melalui efisiensi usaha juga diperlukan agar para pengusaha tidak saja dapat bertahan, tetapi juga akan berkembang di pasar yang lebih besar tidak di pasar regional saja tetapi hingga dapat menembus pasar internasional (http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/


(2)

Setditjen/Buku%2Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNI TY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

Sedangkan upaya dalam menyelesaikan kendala produk otomotif yang cenderung berkaitan dengan masalah domestik negara seperti mengenai kondisi perpolitikan di Thailand dan program pemerintah Indonesia terkait membuat mobil murah ramah lingkungan LCGC seperti yang lebih dulu dibuat oleh Thailand. Upaya yang dilakukannya ialah dengan memperbaiki kondisi perpolitikan di Thailand hingga kembali kondusif dan Thailand mulai menciptakan LCGC generasi kedua yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga walaupun Indonesia membuat program LCGC, Thailand tidak akan kehilangan peminat LCGC buatan Thailand di Indonesia (http://m.tribunnews.com/otomotif/2013/10/22/ Thailand-siapkan-jurus-saingi-program-lcgc-indonesia Diakses pada 26 Agustus 2014).

2. Masih adanya masalah-masalah atau kasus-kasus domestik di dalam negeri para anggota ASEAN khususnya Indonesia dan Thailand terutama dalam hal politik dan ekonomi, keduanya harus terlebih dahulu memperbaiki sistem politiknya karena apabila perpolitikan di negara tersebut dapat berjalan dengan baik, aman tidak bergejolak tentu akan berdampak pada ekonomi negara yang baik pula. Karena pada dasarnya politik dan ekonomi saling mempengaruhi. Seperti yang terjadi pada Thailand saat ini yang sedang bergejolak karena perubahan sistem pemerintahannya sehingga berdampak kepada kegiatan dan perekonomian di Thailand.


(3)

115

Sehingga diharapkan untuk masing-masing negara menjaga stabilitas politik dan ekonomi di masing-masing negara anggota ASEAN khususnya Indonesia-Thailand supaya tidak bergejolak apalagi hingga menimbulkan konflik agar kegiatan perdagangan ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan di dalam perjanjian perdagangan tersebut yaitu agar kedua negara dapat lebih mempromosikan dan memperkuat perdagangan dan ekonomi berdasarkan kesetaraan dan keuntungan bersama (http://jdih.kalselprov.go. id/peraturan/PERPRES%20No.63%20TH%202012.pdf Diakses pada 26 Agustus 2014).

3. Kurang maksimalnya dalam pemanfaatan skema CEPT-AFTA yaitu dengan memberikan sosialisasi maupun edukasi publik kepada para pelaku usaha ekspor-impor agar dapat memanfaatkan segala fasilitas perdagangan yang ada di dalam skema CEPT-AFTA tersebut. Melalui edukasi publik dan sosialisasi-sosialisasi ke daerah-daerah dan pelosok-pelosok semoga dapat membantu untuk para pengusaha ataupun produsen yang sebenarnya telah memiliki produk yang layak ekspor dan layak bersaing di pasar ASEAN untuk mau memanfaatkan dan menerapkan fasilitas-fasilitas yang ada dan aturan-aturan didalam skema CEPT-AFTA. Dengan memanfataakan skema CEPT-AFTA tersebut diharapkan dapat membantu para pengusaha-pengusaha tersebut untuk mengekpor produk-produknya ke negara ASEAN lainnya sehingga dapat meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dengan meningkatnya penjualan produk-produk yang telah siap ekspor tersebut. Sehingga tidak hanya para


(4)

produsen atau pengusaha saja yang diuntungkan dengan menjual produk-produknya ke pasar regional ASEAN yang memiliki 500 juta penduduk sebagai potensi pasar yang cukup menjanjikan bagi para pengusaha, tetapi negara juga dapat mengambil keuntungan dari liberalisasi perdagangan tersebut dengan peningkatan Gross Domestic Product (GDP).

4.4 Prospek Kerjasama Perdagangan Indonesia-Thailand dengan Adanya Skema CEPT-AFTA

Melihat dari potensi yang dimiliki oleh Indonesia dan Thailand yang berada didalam nauangan ASEAN dalam hal ini melalui kesepakatan ASEAN berupa skema Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) sebagai mekanisme utama dalam pelaksanaan AFTA yang saat ini telah digantikan menjadi ASEAN Economic Community yang merupakan langkah lebih maju dan komprehensif dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN melalui ATIGA sebagai pengganti CEPT Agreement serta penyempurnaan perjanjian ASEAN dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif, diperkirakan kerjasama perdagangan diantara kedua negara cenderung akan bersifat fluktuatif seperti yang tercantum dalam tabel 4.2 dan 4.3 mengenai kegiatan ekspor-impor produk karet, elektronik dan otomotif dikedua negara Indonesia dan Thailand. Di dalam tabel tersebut terlihat naik turunnya ekspor impor kedua negara, namun untuk ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke Thailand khususnya untuk produk elektronik cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahunnya dan ini merupakan prospek yang baik bagi Indonesia jika terus


(5)

117

dapat meningkatkan nilai ekspornya ke Thailand dan mengurangi nilai impor dari Thailand agar nilai perdagangan Indonesia dengan Thailand tidak selalu defisit melainkan menjadi surplus dan Indonesia dapat menjadi salah satu pengganti Thailand, terlebih Indonesia dan Thailand mempunyai kondisi pasar dan geografis yang sama dan Indonesia memiliki produk elektronik yang tidak kalah dengan produk elektronik Thailand.

Sedangkan bagi produk karet mengingat Indonesia dan Thailand merupakan pengekspor terbesar untuk produk karet ke dunia, maka kedua negara saling bersaing untuk menghasilkan produk karet dengan harga yang lebih rendah namun dengan kualitas dan mutu yang terbaik. Dengan adanya aturan-aturan mengenai liberalisasi perdagangan melalui skema CEPT-AFTA yang telah disempurnakan oleh ATIGA dapat memberikan keuntungan ketika salah satu negara kekurangan cadangan karet, maka keduanya dapat saling melengkapi melalui kegiatan perdagangan ekspor-impor karet tersebut dengan dilengkapi oleh komitmen-komitmen perdagangan yang disediakan didalam aturan CEPT-AFTA maupun ATIGA yang dapat mempermudah serta mempercepat kegiatan proses perdagangan tersebut seperti salah satunya melalui komitmen penurunan tarif, pengaturan standar, teknis dan prosedur penilaian kesesuaian sehingga produk karet yang dibeli harganya menjadi lebih murah dengan mutu yang baik sesuai dengan standar dan kesesuaian yang ada. Dan yang terakhir mengenai produk otomotif, Indonesia dan Thailand akan terus menguasai pasar otomotif di Asia Tenggara. Sebab dua negara ini mampu memasok 88 persen kebutuhan mobil ASEAN. Jika dibandingkan, porsi penguasaan Thailand jauh lebih besar karena


(6)

produksinya berbasis ekspor. Thailand banyak memproduksi sedan yang memiliki tingkat penjualan global tertinggi. Sedangkan Indonesia banyak memproduksi kendaraan niaga seperti truk, bus dan minibus (http://www.tempo.co/read/news/ 2013/10/22/123523775/Indonesia-Thailand-Kuasai-Pasar-Otomotif-ASEAN Diakses 25 Agustus 2014).

Thailand memang lebih unggul dalam produk ini mengingat mobil-mobil sedan seperti Honda jazz yang di impor dari Thailand sangat digemari di Indonesia, tentunya dengan adanya liberalisasi perdagangan melalui skema CEPT-AFTA maupun ATIGA menjadi semakin menguntungkan karena dengan segala aturan dan fasilitas di dalamnya dapat mempermudah dan mempercepat kegiatan ekspor-impor. Dengan begitu akan meningkatkan nilai penjualan produk otomotif tersebut baik dari Indonesia ke Thailand maupun Thailand ke Indonesia.

Indonesia dan Thailand memiliki potensinya masing-masing, Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah yang luas, sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk yang besar, sebagian besar penduduk ASEAN merupakan penduduk Indonesia. Sedangkan Thailand merupakan negara dengan peringkat kedua ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan potensi-potensi tersebut tentunya akan memberikan keuntungan yang besar bagi kerjasama diantara kedua negara didukung dengan adanya liberalisasi perdagangan melalui skema CEPT-AFTA maupun ATIGA yang memberikan fasilitas dan memudahkan kegiatan ekspor-impor di antara negara-negara anggota ASEAN, karena melalui skema CEPT-AFTA sebagai mekanisme utama dalam melakukan


(7)

119

penurunan tarif sehingga tarif impor ketiga produk tersebut telah diturunkan menjadi 0-5%.

Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya skema CEPT-AFTA justru akan lebih meningkatkan kerjasama perdagangan diantara Indonesia dengan Thailand, sesuai dengan tujuan dari CEPT-AFTA untuk meningkatkan kerjasama perdagangan intra-ASEAN dan mewujudkan suatu kawasan perdagangan yang bebas di wilayah ASEAN. Dengan begitu, bukanlah hal yang tidak mungkin apabila nantinya perdagangan Indonesia dengan Thailand, jika Indonesia dapat meningkatkan mutu dan kualitas produk-produknya yang akan diekspor menjadi lebih baik lagi, maka akan dapat menghasilkan nilai perdagangan Indonesia yang lebih besar sehingga perdagangan Indonesia dengan Thailand, Indonesia akan memperoleh nilai perdagangan yang lebih baik tidak terus menerus mengalami defisit. Disamping peningkatan terhadap mutu dan kualitas, peningkatan dalam pemahaman dan pemanfaatan fasilitas perdagangan yang disediakan oleh CEPT-AFTA juga diperlukan sehingga kedepannya untuk menyambut ASEAN Economic Community lebih mudah dan dapat memberikan keuntungan bagi tiap-tiap anggota ASEAN, khususnya bagi kerjasama perdagangan Indonesia-Thailand.

4.5 Analisa Dampak Skema CEPT-AFTA terhadap Kerjasama Perdagangan Republik Indonesia-Kerajaan Thailand

Dengan adanya Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) yang merupakan mekanisme utama dalam penurunan dan penghapusan tarif juga dalam rangka mewujudkan suatu kawasan perdagangan


(8)

bebas di wilayah ASEAN, memberikan dampak terhadap kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand.

Sesuai dengan yang dituliskan oleh K.J. Holsti dalam buku International Politics: A Framework For Analysis, ada beberapa alasan mengapa negara melakukan kerjasama dengan negara lainnya. Pertama, demi meningkatkan kesejahteraan ekonominya, dimana melalui kerjasama dengan negara lainnya, negara tersebut dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung dalam memproduksi suatu produk kebutuhan bagi rakyatnya karena keterbatasan yang dimiliki negara tersebut. Dalam hal ini kerjasama perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia dengan Thailand bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi diantara kedua negara yang dapat dibuktikan dengan meningkatnya nilai ekspor Indonesia ke Thailand khususnya dalam produk elektronik, dan ekspor Thailand ke Indonesia yang sama-sama bersifat fluktuatif namun Thailand memiliki nilai perdagangan yang lebih besar dari pada ekspor Indonesia ke Thailand. Kedua, untuk meningkatkan efisiensi yang berkaitan dengan pengurangan biaya, seperti yang dilakukan oleh Indonesia dengan Thailand melalui naskah kerjasama perdagangan yang mengadopsi salah satu komitmen di dalam ATIGA yaitu mengenai penurunan dan penghapusan biaya tarif yang berdasarkan jadwal penuruunan tarif skema CEPT-AFTA untuk kegiatan ekspor dan impor. Ketiga, karena adanya masalah-masalah yang mengancam keamanan bersama, seperti pada saat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997 yang pertama kali melanda Thailand hingga akhirnya menyebar kepada negara-negara di kawasan Asia khususnya Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan. Oleh karena


(9)

121

itu demi keamanan bersama di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara, negara-negara di Asia Tenggara melalui ASEAN sebagai organisasi di kawasan tersebut giat untuk meningkatkan kerjasama antar negara Asia Tenggara atau intra-ASEAN, seperti yang dilakukan oleh Indonesia dan Thailand melalui kerjasama perdagangan. Keempat, dalam rangka mengurangi kerugian negatif yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan individual negara yang memberi dampak terhadap negara lain, seperti yang dilakukan Indonesia dengan Thailand melalui perjanjian kerjasama perdagangan dengan berdasarkan aturan-aturan di dalam CEPT-AFTA yang telah disempurnakan oleh ATIGA mengenai perdagangan bebas barang yang mana dengan aturan tersebut dapat mempermudah dan mempercepat kegiatan perdagangan dengan kemudahan-kemudahan dan fasilitas yang disediakan tersebut, sehingga akan meminimalisir kegiatan perdagangan illegal yang mungkin akan terjadi dan berakibat kerugian negatif terhadap kedua negara.

Dengan adanya skema Common Effective Preferntial Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) dalam kerjasama perdagangan antara Indonesia dengan Thailand yang semenjak 2009 telah digantikan dan disempurnakan oleh

ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) memberikan kemudahan di dalam melakukan kegiatan kerjasama perdagangan, karena di dalam CEPT-AFTA maupun ATIGA terdapat aturan-aturan salah satunya aturan mengenai penurunan dan penghapusan tarif, serta mengenai fasilitasi perdagangan. Yang dengan aturan tersebut akan meningkatkan kerjasama diantara kedua negara, terbukti dengan meningkatnya nilai perdagangan khususnya dalam produk elektronik Indonesia


(10)

yang dari tahun 2011 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan, karena produk tersebut juga telah diturunkan tarifnya menjadi 0-5% berdasarkan jadwal penurunan tarif CEPT-AFTA, sehingga produk yang telah diturunkan tarif impornya tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih murah karena tidak dikenakan tarif bea masuk impor dan telah diberikan fasilitasi perdagangan sehingga produk yang diperjualbelikan menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Sedangkan bagi kedua produk lainnya seperti karet dan otomotif nilai perdagangannya tetap bersifat fluktuatif, karena kesamaan produk diantara kedua negara khususnya karet dan otomotif yang keduanya merupakan spesialisasi di kedua produk tersebut.


(11)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan Indonesia-Thailand

Agreement On The Common Effective Preferential Tariff Scheme For The

ASEAN Free Trade Area yang lebih dikenal dengan CEPT-AFTA adalah kesepakatan yang dibuat oleh negara anggota ASEAN yang mengatur mengenai pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai sebuah mekanisme utama dalam pembentukan AFTA. Oleh karenanya CEPT-AFTA menjadi sebuah panduan bagi penerapan atau pengimplementasian dalam kesepakatan pembentukan AFTA tersebut. Di dalam skema CEPT-AFTA tersebut ada 4 (empat) ketentuan pokok yang merupakan inti dari pengimplementasian kesepakatan AFTA, keempat ketentuan pokok tersebut adalah:

1. Ketentuan tentang penggunaan skema CEPT sebagai mekanisme utama dalam upaya penurunan tarif terhadap barang-barang yang berasal dari sesama negara ASEAN,

2. Ketentuan tentang kewajiban untuk menghapuskan berbagai hambatan non-tarif dalam aktifitas perdagangan intra-ASEAN,

3. Ketentuan mengenai asal barang (rules of origin) yang berhak mendapat keistimewaan perlakuan seperti yang diatur dalam kesepakatan AFTA.


(12)

4. Ketentuan tentang safeguard policy, yaitu langkah-langkah darurat yang boleh diambil oleh suatu negara guna mengatasi kegawatan yang terjadi sebagai akibat dari pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) ini (Asykur, 2010:18-19).

Tujuan pelaksanaan skema CEPT dalam rangka AFTA adalah untuk meningkatkan arus atau kegiatan perdagangan dan investasi di wilayah ASEAN secara lebih cepat dan adil melalui pemberian preferensi tarif untuk produk-produk orisinal (yaitu produk-produk dengan kandungan lokal minimum 40%) yang sama sehingga mempunyai tarif efektif yang sama di pasar ASEAN. Melalui pelaksanaan skema CEPT ini, dalam waktu 10 tahun diharapkan dapat diwujudkan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN/ ASEAN Free Trade Area

(AFTA) terhitung sejak 1 Januari 1993 dengan sasaran tarif menjadi 0-5% pada tahun 2003.

Atas dasar tujuan dari pelaksanaan skema CEPT di kawasan ASEAN, maka negara-negara yang tergabung di ASEAN, termasuk Indonesia dan Thailand akan memperoleh berbagai manfaat, terutama di dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing negara. Dalam skala mikro pertumbuhan ekonomi suatu negara, antara lain tercermin dari pertumbuhan industri-industri yang ada di negara tersebut. Sejauh mana penerapan skema CEPT telah dan akan memberikan dampak positif atau negatif bagi pertumbuhan industri nasional, antara lain dapat dikaji dari perubahan-perubahan yang terjadi pada penciptaan nilai tambah (added value), penyerapan tenaga kerja, dan perkembangan teknologi. Selain itu, kajian


(13)

96

dilakukan dengan menggunakan analisis terhadap indeks RCA (Ratio of Comparative Adventage) 184 komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan oleh beberapa negara ASEAN. Pemberlakuan penurunan tarif bea masuk skema CEPT-AFTA, menimbulkan dampak positif paling tidak pada dua hal berikut:

1. Produk-produk yang diimpor menjadi lebih murah yang berakibat pada mendorong efisiensi industri-industri sejenis di dalam negeri, dan

2. Mengurangi biaya ekspor yang berarti mendorong naiknya perolehan nilai tambah (Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, 1999:1-4). Agar dapat melakukan perdagangan internasional (yaitu kegiatan ekspor dan impor), pada dasarnya suatu negara haruslah memiliki beberapa faktor keunggulan komparatif (comparative advantage), sehingga dapat bersaing di pasar internasional.

Indonesia dan Thailand keduanya merupakan negara anggota ASEAN, kerjasama yang dilakukan antar negara anggota ASEAN ini sebagai salah satu contoh bentuk kerjasama intra-ASEAN yang merupakan salah satu tujuan dari pelaksanaan skema CEPT untuk AFTA yaitu melalui pemberian preferensi tarif yang sama juga penurunan tarif bea masuk yang dapat meningkatkan kerjasama intra-ASEAN. Oleh karena skema CEPT-AFTA ini merupakan mekanisme utama dalam pembentukan tarif yang mengatur mengenai pemberian tarif bea masuk yang sama yaitu 0-5% untuk negara-negara anggota ASEAN sebagai bentuk pelaksanaan kawasan perdagangan bebas ASEAN, namun untuk saat ini masanya telah lewat dan digantikan oleh ASEAN Economic Community (AEC) yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 mendatang.


(14)

Selama perjalanan panjang ASEAN khususnya dalam bidang ekonomi, ASEAN telah melakukan banyak kesepakatan-kesepakatan ekonomi di antara negara-negara anggotanya. Khususnya untuk kerjasama Indonesia dengan Thailand sendiri kedua negara telah mengganti skema CEPT-AFTA dengan

ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), karena ATIGA merupakan kodifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang. Oleh karenanya ATIGA merupakan pengganti CEPT

Agreement serta penyempurnaan perjanjian ASEAN dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif yang disesuaikan dengan kesepakatan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint terkait dengan pergerakan arus barang (free flow of goods) sebagai salah satu elemen pembentuk pasar tunggal dan basis produksi regional. ATIGA terdiri dari 11 Bab, 98 Pasal dan 10 Lampiran, yang antara lain mencakup prinsip-prinsip umum perdagangan internasional ( non-discrimination, Most Favoured Nations-MFN treatment, national treatment), liberalisasi tarif, pengaturan non-tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, kepabeanan, standar, regulasi teknis dan prosedur pemeriksaan penyesuaian, SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), dan kebijakan pemulihan perdagangan (safeguards, anti-dumping, countervailing measures). Di dalam ATIGA sendiri terdapat komitmen-komitmen yang sama seperti didalam skema CEPT-AFTA yaitu berupa penurunan dan penghapusan tarif sesuai dengan jadwal dan komitmen yang telah ditetapkan dalam persetujuan CEPT-AFTA. Selain itu adapun komitmen mengenai Rules of Origin (ROO), penghapusan Non-Tariff Barriers (NTBs) dan Trade Facilitation. Namun didalam komitmen


(15)

98

ATIGA ada penambahan komitmen-komitmen lainnya yang menyempurnakan komitmen-komitmen di dalam CEPT-AFTA tersebut (http://ditjenkpi.kemendag. go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOM IC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

Dengan dibuatnya perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Thailand pada tahun 2011 merupakan hasil dari dibentuknya ATIGA pada tahun 2009 yang memberikan kemudahan dalam melakukan kerjasama perdagangan di antara negara-negara anggota ASEAN. Sehingga mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan kerjasama khususnya dengan sesama anggota ASEAN. Indonesia sendiri telah meratifikasi ATIGA melalui Peraturan Presiden Nomor (Perpres) 2 Tahun 2010 pada tanggal 5 Januari 2010. ATIGA mulai berlaku efektif pada tanggal 17 Mei 2010 dan dilaksanakan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2010 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor dalam Rangka ASEAN Trade in Goods Agreement (http://www .sjdih.depkeu.go.id/fullText/2010/128~PMK.011~2010Per. HTM Diakses pada 18 Agustus 2014).

Sedangkan Thailand meratifikasi ASEAN Trade in Goods Agreement

(ATIGA) pada tanggal 14 Mei 2011. Selanjutnya, ATIGA mulai berlaku dan menggantikan Perjanjian Common Effective Preferential Tariff (CEPT) untuk

ASEAN Free Trade Area (AFTA). Semua komitmen untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif di bawah skema CEPT yang semuanya sudah terkandung dan tercakup dalam ATIGA (http://www.wto.org/ english/tratop_e/tpr_e/ g255_e.doc Diunduh pada 18 Agustus 2014).


(16)

Dalam kerjasama tersebut Indonesia dan Thailand telah menerapkan aturan-aturan dan komitmen-komitmen ATIGA yaitu penurunan dan penghapusan tarif berdasarkan jadwal penurunan tarif CEPT-AFTA khususnya dalam produk-produk karet, otomotif dan elektronik dimana pada tahun 2010 semua produk-produk tersebut telah mencapai tarif impor 0% di kedua negara. Sehingga pada saat naskah perjanjian perdagangan dibuat, ketiga produk tersebut tarif bea masuknya telah di hapuskan. Adapun data-data mengenai ekspor-impor ketiga produk tersebut berdasarkan periode waktu dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.

Tabel 4.1

Ekspor Karet, Elektronik dan Otomotif Indonesia Ke Thailand Periode 2011-2013

Nilai: US$

Produk 2011 2012 2013

Karet 60,661,379 63,921,711 43,802,336

Elektronik 481,974,056 607,845,834 733,861,449 Otomotif 466,071,124 945,979,538 784,651,380 Sumber: Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementerian Perdagangan RI

Berdasarkan tabel tersebut terlihat ekspor karet, elektronik dan otomotif dari Indonesia ke Thailand dari tahun ke tahun bersifat fluktuatif, kadang terjadi kenaikan dan kadang terjadi penurunan. Seperti produk karet yang mengalami kenaikan di tahun 2012, namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kembali, berbeda untuk produk elektronik yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, namun terjadi fluktuatif kembali pada produk otomotif dari tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami kenaikan, namun penurunan kembali terjadi di tahun 2013. Hal tersebut terjadi juga pada impor karet, elektronik dan otomotif dari Thailand ke


(17)

100

Indonesia seperti yang tercantum dalam tabel impor karet, elektronik dan otomotif Indonesia dari Thailand berikut ini:

Tabel 4.2

Impor Karet, Elektronik dan Otomotif Indonesia Dari Thailand Periode 2011-2013

Nilai: US$

Produk 2011 2012 2013

Karet 218,475,736 193,615,303 205,155,491 Elektronik 1,843,645,671 2,016,335,594 1,976,101,019

Otomotif 2,412,530,702 3,277,131,563 2,846,233,228 Sumber: Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementerian Perdagangan RI.

Berdasarkan tabel tersebut terlihat impor karet, elektronik dan otomotif Indonesia dari Thailand dari tahun ke tahun bersifat fluktuatif juga sama seperti ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke Thailand, kadang terjadi kenaikan dan kadang terjadi penurunan. Seperti produk karet yang mengalami penurunan di tahun 2012, namun pada tahun 2013 terjadi kenaikan, begitu juga untuk produk elektronik dari tahun 2011 hingga tahun 2012 terjadi kenaikan, namun di tahun 2013 terjadi penurunan juga. Hal serupa juga terjadi pada produk otomotif yang mana di tahun 2012 mengalami kenaikan, tetapi penurunan kembali terjadi di tahun 2013. Salah satu faktor yang memicu nilai perdagangan yang fluktuatif tersebut adalah kebijakan pemerintah Indonesia mengenai kegiatan impor, yaitu impor baru akan dilakukan apabila memang kebutuhan akan ketiga produk tersebut tidak mencukupi di dalam negeri, namun apabila surplus dan mencukupi kebutuhan dalam negeri maka pemerintah Indonesia tidak mengijinkan kegiatan impor dilakukan. Oleh karena itu dari tahun ke tahun diharapkan nilai impor


(18)

Indonesia bisa berkurang berarti yang menandakan Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Dan meningkatkan produk ekspor Indonesia untuk terus berkembang baik di dalam cakupan regional maupun internasional.

4.1.1 Skema CEPT-AFTA Sebagai Mekanisme Utama Penurunan Tarif Terkait pilar single market dan production base yang merupakan pilar inti dari kerjasama ekonomi ASEAN, pencapaian ASEAN cukup signifikan dalam bidang arus perdagangan barang bebas yaitu penurunan rata-rata tarif dalam kerangka CEPT-AFTA pada tahun 2010 sekitar 99,11% dari produk yang masuk dalam Inclusion List (IL) sudah dihapuskan. Dengan ketentuan ini, maka tarif rata-rata Indonesia untuk CEPT-AFTA sudah mencapai 0,9% jauh lebih rendah dari pembebanan tarif bea masuk yang berlaku umum atau tarif Most-Favoured Nation (MFN) Indonesia yang tercatat rata-rata sebesar 7,49%. Sejak implementasi penuh CEPT-AFTA pada tahun 2002, perdagangan intra-ASEAN meningkat cukup pesat. AFTA telah mulai berlaku penuh sejak tanggal 1 Januari 2010 dengan dihapuskannya seluruh tarif atas produk-produk dalam Inclusion List

(IL) yang mana setahun sebelum AFTA mulai berlaku yaitu pada tahun 2009 dibuatlah suatu kesepakatan yang mengatur mengenai perdagangan barang secara bebas di kawasan ASEAN yaitu ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) yang merupakan kodifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang. Dengan demikian, ATIGA merupakan pengganti CEPT agreement serta penyempurnaan perjanjian ASEAN


(19)

102

dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif (Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, 2010:72).

4.1.2 Fasilitas Bagi Kegiatan Perdagangan Intra-ASEAN Melalui Penghapusan Hambatan Non-Tarif

Hambatan non-tarif didefinisikan sebagai hambatan yang bukan berupa tarif dan juga tidak secara langsung melarang ataupun membatasi kegiatan perdagangan dengan negara lain, namun keberadaannya secara tidak langsung telah menghambat ataupun membatasi kelancaran kegiatan perdagangan antar negara. Hambatan non-tarif ini antara lain berupa pemberlakuan ketentuan yang rumit bagi kegiatan ekspor maupun impor, pemberlakuan prosedur dan sistem kepabeanan yang berbelit-belit, serta pemberlakuan standar/persyaratan teknis, kesehatan, dan keselamatan yang sukar untuk dipenuhi oleh suatu produk. Dalam artikel yang mengatur tentang upaya penghapusan hambatan non-tarif ini disebutkan bahwa negara-negara anggota AFTA harus menghapuskan secara bertahap segala hambatan non-tarif yang dikenakannya terhadap produk-produk yang masuk dalam skema CEPT, dengan jangka waktu maksimal 5 tahun setelah produk tersebut menikmati konsesi yang didapat berdasarkan skema CEPT tersebut. Sebagai langkah awalnya adalah dengan mulai menghapuskan berbagai bea masuk tambahan (custom surcharge) yang ada, serta melakukan harmonisasi standar produk, yang dimulai pada 1 Januari 1996. Selanjutnya dalam sidang AFTA Council ke-9, bulan April 1996 di Singapura, negara-negara anggota AFTA sepakat untuk menghapus semua bea masuk tambahan yang dikenakan ke


(20)

dalam produk-produk CEPT pada akhir tahun 1996, dan mulai menyusun daftar produk-produk yang akan diharmonisasikan standarnya. Selain itu, pada 1 Maret 1997 para Menteri Keuangan ASEAN juga menandatangani ASEAN Agreement on Customs, sebagai bagian dari upaya fasilitasi dan harmonisasi sistem kepabeanan yang ada di kawasan ASEAN. Upaya fasilitasi dan harmonisasi tersebut antara lain berupa simplifikasi dan harmonisasi prosedur kepabeanan,

pelaksanaan sistem “Jalur Hijau” (Green Lane harmonisasi sistem nilai pabean, dan harmonisasi di bidang tarif nomerclature/ ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN). Namun demikian, upaya penghapusan hambatan non-tarif ini tidaklah mudah. Sebab setelah lebih dari 5 tahun sejak berlaku penuhnya AFTA tersebut pada tahun 2002, nyatanya masih banyak terdapat hambatan non-tarif yang menghambat kelancaran kegiatan perdagangan intra-ASEAN. Karena itu dalam AEM ke-38 di Kuala Lumpur, Malaysia, Negara-negara ASEAN sepakat untuk memulai kembali proses penghapusan hambatan non-tarif tersebut paling lambat Januari 2008. (Asykur, 2010:30-31).

Melalui ATIGA sebagai penyempurna kesepakatan ekonomi di ASEAN dan pengganti CEPT agreement, ATIGA tetap beracuan terhadap aturan-aturan di dalam CEPT-AFTA seperti salah satunya penghapusan hambatan non-tarif yang mana di dalam komitmen ATIGA aturan tersebut diberlakukan, didalam naskah perjanjian kerjasama perdagangan antara Indonesia dengan Thailand pun aturan tersebut di terapkan seperti pada Pasal 7 yang salah satu point di dalamnya berisi bahwa setiap pihak wajib, tunduk pada hukum-hukumnya, aturan, dan regulasi yang berlaku, membebaskan pihak lainnya dari bea cukai atau biaya fiskal


(21)

104

lainnya. Selain itu aturan mengenai harmonisasi standar produk dan harmonisasi sistem kepabeanan pun diatur didalam ATIGA melalui komitmen Standard, Technical Regulation and Conformity Assessment Procedures pada Pasal 6 mengenai promosi dan fasilitasi untuk meningkatkan perdagangan dan terkait masalah perdagangan.

4.1.3 Ketentuan Aturan Asal Barang (Rules of origin) Melalui Pengeluaran Surat Keterangan Asal (SKA)

Surat Keterangan Asal (SKA) barang, didefinisikan sebagai sebuah dokumen yang berisi penjelasan tentang dari mana suatu produk itu berasal, yang berdasarkan kesepakatan yang ada dalam suatu perjanjian perdagangan ataupun secara sepihak ditetapkan oleh negara pengekspor atau oleh negara tujuan ekspor wajib untuk disertakan setiap kali barang tersebut memasuki wilayah pabean negara tujuan ekspor. SKA ini sendiri merupakan instrumen yang penting bagi pemberlakuan perdagangan bebas seperti skema CEPT-AFTA maupun ATIGA, yaitu dalam kaitannya dengan ketentuan tentang kandungan ASEAN. Dalam hal ini SKA tersebut berfungsi sebagai pernyataan jaminan dari pihak eksportir bahwa barang-barang yang diekspornya tersebut benar-benar diproduksi di negara ASEAN dan telah memenuhi syarat kandungan ASEAN minimal 40%. Maka keberadaan SKA ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar suatu produk bisa memperoleh kemudahan yang terdapat dalam skema CEPT-AFTA tersebut yaitu berupa penurunan dan penghapusan tarif maupun non tarif. SKA yang digunakan dalam AFTA adalah SKA preferensi jenis D atau biasa dikenal


(22)

dengan Form D yang berfungsi sebagai pernyataan jaminan dari pihak eksportir bahwa produk-produk yang diekspornya diproduksi di negara ASEAN sehingga telah memenuhi syarat kandungan lokal ASEAN minimum 40%. Apabila bukti Form D telah ada maka importir dapat meminta agar produk yang diimpornya dapat memperoleh kemudahan yang terdapat didalam skema CEPT-AFTA maupun di dalam ATIGA. Karena keduanya sama-sama menggunakan SKA Form D. Dengan adanya Rules of origin dapat memberikan manfaat untuk:

1. Implementasi kebijakan “anti-dumping” dan “safeguard”; 2. Statistik perdagangan;

3. Penerapan persyaratan “labeling”dan “marking”;

4. Pengadaan barang oleh pemerintah (http://ditjenkpi.kemendag. go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20 ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

Karena kerjasama perdagangan yang dijalin oleh Indonesia adalah dengan sesama anggota negara ASEAN yaitu Thailand maka dapat dipastikan bahwa produk-produk yang diekspor maupun yang diimpor oleh kedua negara memiliki kandungan lokal ASEAN minimum 40%.

Di Indonesia, kewenangan untuk mengeluarkan SKA tersebut saat ini telah didesentralisasikan ke banyak instansi. Dalam hal ini instansi-instansi yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan SKA tersebut adalah:

1. Dinas Perdagangan Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang telah ditetapkan oleh Menteri Perdagangan setelah memenuhi persyaratan tertentu.


(23)

106

2. P.T. (Persero) Kawasan Berikat Nusantara dan kantor cabangnya di Jakarta, yaitu untuk barang-barang yang diproduksi di kawasan berikat tersebut.

3. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS), yaitu untuk barang-barang yang diekspor melalui Pelabuhan Bebas Sabang tersebut.

4. Otoritas Pengembangan Daerah Industri (OPDI) Batam, yaitu untuk barang-barang yang diproduksi di Kawasan Pengembangan Daerah Industri Batam tersebut.

5. Lembaga Tembakau cabang Medan dan Surakarta, serta Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) dan Lembaga Tembakau Surabaya dan Jember, yaitu untuk ekspor produk tembakau dan produk-produk turunannya.

Terdesentralisasinya kewenangan untuk mengeluarkan SKA ini sangat memudahkan produsen/ eksportir yang ingin memperoleh SKA tersebut, sebagai syarat untuk bisa memperoleh kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam kesepakatan perdagangan bebas di wilayah ASEAN. Selain itu, terdesentralisasinya kewenangan mengeluarkan SKA ini juga mendorong semakin berkembangnya kegiatan ekspor ke daerah-daerah sehingga tidak terpusat hanya di satu kawasan tertentu saja (Asykur, 2010:39-41).


(24)

4.1.4 Ketentuan Tentang Safeguard Policy

Safeguard policy didefinisikan sebagai suatu ketentuan yang terdapat dalam suatu kesepakatan liberalisasi perdagangan yang memungkinkan negara-negara yang ikut serta dalam kesepakatan tersebut untuk melakukan langkah-langkah guna memulihkan ataupun melindungi industri dalam negerinya dari terjadinya ancaman kerugian serius, sebagai akibat dari keikutsertaan dalam kegiatan perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Karena itu dalam kesepakatan AFTA ini ketentuan tentang safeguard policy tersebut diatur secara eksplisit dalam CEPT-AFTA Agreement pada artikel VI tentang Emergency Measures. Dan didalam ATIGA juga diatur pada komitmen trade remedies yang di dalam naskah perjanjian perdagangan Indonesia dengan Thailand di atur pada Pasal 9 mengenai pengecualian umum dan pembatasan untuk menjaga neraca pembayaran.

4.2 Kendala Dalam Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan Indonesia-Thailand

Dalam kegiatan kerja sama perdagangan tentunya akan mengalami beberapa kendala dan hambatan didalam pelaksanaannya, baik itu kerjasama yang dilakukan secara bilateral, trilateral, multilateral, regional, maupun internasional. Begitupun dengan yang dialami oleh Indonesia dengan Thailand, didalam penerapan skema Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) dalam kerja sama perdagangan kedua negara menemui beberapa kendala, seperti berikut:


(25)

108

1. Kesamaan keunggulan produk ekspor

Dengan banyaknya kesamaan yang dimiliki oleh Indonesia dan Thailand seperti kesamaan geografis yang berada di kawasan Asia Tenggara dan juga kesamaan keunggulan komparatif kawasan ASEAN, khususnya di sektor pertanian, perikanan, produk karet, produk berbasis kayu, dan elektronik. Kesamaan jenis produk ekspor unggulan ini merupakan salah satu penyebab pangsa perdagangan intra-ASEAN yang hanya berkisar 20-25% dari total perdagangan ASEAN (http://ditjenkpi.kemendag.go.id/ website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%2Menuju%20ASEAN%20ECONOM IC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

Sedangkan untuk produk otomotif, produk tersebut juga merupakan komoditas utama ekspor bagi keduanya, keduanya pun merupakan eksportir otomotif terbesar di Asia Tenggara. Hampir 88 persen pasokan mobil di ASEAN berasal dari kedua negara tersebut Indonesia dan Thailand. Namun terdapat kendala didalam melakukan kerjasama perdagangan khususnya dalam produk otomotif yaitu dengan adanya kondisi darurat militer yang tengah terjadi di Thailand memberikan dampak terhadap ekspor mobil Indonesia ke Thailand akan terganggu dengan adanya kondisi tersebut. Indonesia terhambat untuk mengekspor otomotif berupa mobil-mobil niaga seperti bus dan truk ke Thailand, sedangkan Thailand terkendala dengan program LCGC (Low Cost Green Car) Indonesia yang akan menghambat masuknya mobil-mobil murah ramah lingkungan (LCGC) Thailand ke Indonesia (http://www.tempo.co/


(26)

read/news/2014/05/26/092580328/Thailand-Krisis-Politik-Ekspor-Mobil-RI-Terganggu & http://www.kemenperin.go.id/artikel/6149/Mobil-Murah-Thailand-Siap-Masuk Diakses pada 26 Agustus 2014).

Oleh karena faktor kesamaan tersebutlah yang menimbulkan hambatan di dalam kerjasama perdagangan intra-ASEAN khususnya Indonesia dengan Thailand. Hal tersebut juga mempengaruhi perdagangan Indonesia dengan Thailand yang membuat Indonesia selalu mengalami defisit dengan Thailand. Sehingga kerjasama yang tercipta di kawasan ASEAN lebih bersifat kompetitif atau persaingan.

2. Masalah Dalam Negeri Kedua Negara

Masalah dalam negeri kedua negara yang masih sering terjadi dan memberikan pengaruh terhadap sistem perekonomian dikedua negara, menjadi kendala dalam penerapan skema CEPT-AFTA dan terhadap kerjasama perdagangan diantara kedua negara. Indonesia dan Thailand merupakan negara-negara yang sedang berkembang dan cenderung masih memiliki banyak masalah yang sifatnya internal yang timbul dari dalam negeri tersebut yang menjadi kendala dalam kerjasama perdagangan karena kegiatan ekspor dan impor terganggu seperti pada saat ini di Thailand sedang terjadi perubahan sistem politik pemerintahan oleh para kelompok anti-pemerintah yang berusaha unntuk menggulingkan pemerintahan Yingluck yang telah berlangsung di negeri gajah putih itu selama lebih dari 6 bulan, terhitung dari akhir tahun 2013. Demonstrasi kubu anti-pemerintah telah mengusir para investor dan turis, sekaligus


(27)

110

merontokkan perekonomian negara yang sebelumnya ada di peringkat kedua ekonomi terbesar di Asia Tenggara (http://internasional.kompas. com/read/2014/05/10/1316577/Bara.Perseteruan.Politik.Thailand.yang. Tak.Kunjung.Padam Diakses pada 2 Juli 2014).

Situasi dan kondisi di Thailand memiliki kesamaan seperti Indonesia mengenai perubahan sistem pemerintahan, namun bedanya apabila di Indonesia sejauh ini masih terkendali, sedangkan di Thailand situasinya bergejolak. Mengingat adanya saling keterkaitan dan saling mempengaruhi yang kuat diantara politik dan ekonomi tersebutlah yang membuat terhambatnya ekonomi di suatu negara. Beberapa ekspor dari Thailand juga mengalami penurunan karena kondisi politik mempengaruhi dari ekspor Thailand baik dari konsumsi dan lain sebagainya.

3. Kurang maksimalnya dalam pemanfaatan skema CEPT-AFTA

Indonesia dan Thailand merupakan negara-negara anggota ASEAN sehingga secara umum kendala yang dihadapinya relatif sama, yaitu masih banyak pengusaha-pengusaha di ASEAN khususnya Indonesia dan Thailand yang masih belum memanfaatkan semaksimal mungkin fasilitas di dalam perdagangan bebas di kawasan ASEAN ini. Secara umum rata-rata negara ASEAN mengalami hal yang sama dalam pemanfaatan Form D, rata-rata negara-negara ASEAN masih rendah dalam menggunakan pemanfaatan dari Form D yaitu rata-rata 25-40% jadi sisanya 60% masih menggunakan skema ekspor-impor biasa yang pada umumnya masih dikenakan tarif. Untuk Indonesia sendiri mengenai pemanfaatan Form D


(28)

dari pengusaha di Indonesia masih sangat kecil hanya sekitar 40%. Sebagian besar pengusaha di Indonesia belum mengetahui mengenai penggunaan Form D atau tidak mau menggunakan Form D. Karena apabila seorang pengusaha menggunakan Form D lalu pengusaha tersebut menjual produk karetnya ke Thailand, dikarenakan karet telah masuk dalam Inclusion List maka produk tersebut dikenakan tarif impornya hanya 0% dan lebih murah dibandingkan apabila menggunakan tarif ekspor-impor biasa yang masih dikenakan tarif impor. Adapun faktor lain yaitu karena masih rendahnya pemahaman mengenai perdagangan bebas di kawasan ASEAN, padahal liberalisasi perdagangan ini memiliki potensi yang besar, namun sayangnya masih banyak yang belum mengetahui mengenai hal tersebut, apalagi Indonesia yang memiliki luas wilayah yang begitu besar, menjadi suatu kendala tersendiri dalam mensosialisasikan mengenai liberalisasi perdagangan, padahal dari sebuah kabupaten saja itu memiliki pelaku usaha yang sebenarnya produknya telah siap ekspor namun karena kendala ketidakpahaman betul mengenai liberalisasi tersebut, sehingga para pelaku usaha tersebut hanya menggunakan skema ekspor-impor biasa (Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Daya Saing dan Isu Lainnya Direktorat Kerja Sama ASEAN). Berikut adalah tabel mengenai rekap data utilisasi Form D periode 2011 sampai dengan periode 2013.


(29)

(30)

BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

3.1.1Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN

Sejak awal pembentukannya, ASEAN secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan dalam bidang ekonomi. Diawali dengan kesepakatan

Preferential Tariff Arrangement (PTA) pada tahun 1977. Kesepakatan yang cukup menonjol dan menjadi cikal bakal visi pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015 adalah disepakatinya Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) pada tahun 1992 dengan target implementasi semula tahun 2008, kemudian dipercepat menjadi tahun 2003 dan 2002 untuk ASEAN-6. Pada tahun 1995, ASEAN mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya yang ditandai dengan ditandatanganinya ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Selanjutnya pada tahun 1998 disepakati pula kerjasama dalam bidang investasi

ASEAN Investment Area (AIA). Kemudian pada tahun 2003, kembali pada pertemuan kepala negara ASEAN disepakati 3 (tiga) pilar untuk mewujudkan

ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi 2015 yaitu: (1) ASEAN Economic Community, (2) ASEAN Political Security Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community. Pada tahun 2004, ASEAN mulai bekerjasama dengan negara di luar ASEAN dalam bidang ekonomi, yang pertama dengan China (ASEAN-China FTA) dalam sektor barang (Goods). Pada tahun 2005, spirit integrasi ekonomi


(31)

58

ASEAN semakin ditingkatkan dengan menambah sektor prioritas (Priority Integration Sector (PIS)) yaitu untuk secara agresif diliberalisasikan pada tahun 2010 dan jasa logistic pada tahun 2013. Pada bulan Januari 2007, para kepala negara sepakat mempercepat pencapaian AEC dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pada tahun yang sama ditandatangani ASEAN Charter and AEC Blueprint.

Selanjutnya pada tahun 2008, AEC Blueprint mulai diimplementasikan dan

ASEAN Charter pada 16 Desember 2008. Pada tahun 2009 ditandatangani ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) (http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_ kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMM UNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

3.1.2ASEAN Free Trade Area

Para kepala negara ASEAN dan pemerintah memutuskan untuk menetapkan suatu kawasan perdagangan Bebas ASEAN atau AFTA pada tahun 1992. Tujuan dari AFTA adalah untuk meningkatkan daya saing wilayah ASEAN sebagai basis produksi ditujukan untuk pasar dunia. Sebuah langkah penting dalam arah ini adalah liberalisasi perdagangan melalui penghapusan tarif dan hambatan non -tarif antara anggota ASEAN. Kegiatan ini dimulai sebagai pendorong untuk efisiensi yang lebih besar dalam produksi dan daya saing jangka panjang. Selain itu, perluasan perdagangan intra-regional, memberikan konsumenpilihan produk ASEANyang lebih luas dan berkualitas lebih baik.Perjanjian Common Effective Preferential Tariff (CEPT)untuk AFTA mensyaratkan bahwa tingkat tarif yang dikenakan pada berbagai produk yang diperdagangkan di kawasan ini dikurangi


(32)

menjadi 0-5%. Pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarif lainnya dihilangkan. Meskipun awalnya dijadwalkan untuk direalisasikan pada tahun 2008, target area perdagangan bebas di ASEAN terus bergerak maju. AFTA sekarang akan sepenuhnya selesai pada tahun 2002 (http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/asean-free-trade-area-afta-an update Diakses pada 29 April 2014).

3.1.2.1 AFTA dan Era Persaingan Ekonomi

Semua bangsa ASEAN sepakat mengambil bagian dan mendirikan kawasan perdagangan bebas ASEAN yang pembentukkanya berlangsung selama 10 tahun untuk mengawasi, mengkoordinasi dan mengkaji pelaksanaan program menuju AFTA dibentuk sebuah lembaga setingkat menteri. Isi persetujuan berupa kerangka dalam meningkatkan kerjasama ekonomi ASEAN Framework Agreement on Exchanging ASEAN Economic Coorporation- (FAEAEC) yang ditandatangani presiden dan perdana menteri tiap-tiap negara ASEAN pada bulan Januari 1992.

Persetujuan induk itu merupakan payung dari seluruh kerangka kerjasama ekonomi ASEAN. Sementara perjanjian khusus mengenai pembentukkan AFTA, yakni Basic Agreement on the Common Effective Prefential Tariff (CEPT) Scheme Towards the AFTA ditandatangani menteri perindustrian Brunei Darussalam, Abdul Rachman Taib; Menteri Perdagangan RI, Arifin M.Siregar; Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia, Rafidah Aziz; Menteri Perdagangan dan Industri Filipina, Peter D.Garrucho, Deputi PM/Menteri


(33)

60

Perdagangan dan Industri Singapura, Lee Hsien Long dan Menteri Perdagangan Thailand, Amaret Sila-On.Jalan menuju AFTA ditempuh melalui mekanisme CEPT. Produk yang tidak dimasukkan dalam CEPT ASEAN PTA (Prefential Trading Arrangement) atau mekanisme lain terlebih dahulu harus mendapat persetujuan ASEAN dan dilakukan hanya bilamana perlu. Setiap negara akan menurunkan tarif bea masuk atau mengurangi restriksi non tarif bagi sesama negara ASEAN, khusunya untuk produk yang masuk dalam kesepakatan yang berlaku di ASEAN.Persetujuan induk itu juga meliputi usaha peningkatan kerja sama yang mencakup sektor industri, mineral, dan energi, sektor keuangan dan perbankan, sektor pangan, pertanian dan kehutanan, sektor transportasi dan komunikasi serta kerja sama ekonomi subregional dan eksternal ASEAN,FAEAEC mengatur masalah lembaga pemantau pelaksanaan kerja sama intra ASEAN dan penyelesaian perselisihannya(Halwani, 2005:214).

3.1.2.2 Realisasi dan Permasalahan AFTA

ASEAN Free Trade Area (AFTA) diharapkan akan menjadi jawaban terhadap berbagai kendala hubungan perdagangan negara-negara anggota ASEAN, sekaligus menjadi kekuatan negosiasi kawasan tersebut dalam perspektif perdagangan dunia abad XXI. Sementara, produk-produk yang dimasukkan ke dalam CEPT tersebut dipersyaratkan 40% kandungan lokal yang berasal dari negara-negara ASEAN. Menurut CEPT, dalam jangka waktu 15 tahun mendatang, waktudiberlakukannya kawasan pasar bebas ASEAN telah harus terjadi penurunan tarif produk sehingga mencapai 0-5% terhadap produk-produk


(34)

manufaktur ,barang-barang modal, produk hasil pertanian yang diproses serta produk-produk lain yang tidak termasuk definisi ‘produk-produk pertanian.Penurunan tersebut dilakukan dalam 2 tahap.Tahap pertama, penurunan tingkat tarif yang sedang berlaku menjadi 20% dilakukan dalam jangka waktu 5-8 tahun yang dimulai 1 Januari 1993. Tahap kedua, penurunan tarif 20% menjadi 0-5% akan dilakukan dalam tempo 7 tahun dan dimulai tahun 2000.Harus diakui bahwa langkah-langkah yang diambil ASEAN dalam rangka mengantisipasi perkembangan perekonomian global memang telah memberikan hasil yang memuaskan. Paling tidak hal tersebut terlihat dari semakin kuatnya kesiapan ASEAN dalam mengonsolidasi kerja sama ekonominyamelalui kesepakatan pemberlakuan kawasan perdagangan bebas ASEAN.Apabila kesiapan ASEAN melalui AFTA bukan saja guna pembenahan perekonomian dalam kawasan (inward looking economic policy), tetapi terutama juga dalam rangka memberi jawaban atas peran politik ekonomi bersama dalam kancah perdagangan global (outward looking economic policy), maka dengan keputusan itu, negara-negaraanggota ASEAN di samping telah menghapuskan berbagai pandangan bahwa selama ini hubungan-hubungan kerja sama ekonomi dan perdagangan kawasan itu kurang harmonis, kawasan tersebut membuktikan pula kesiapannya dalam mengantisipasi persaingan dalam perekonomian dan perdagangan internasional.(Halwani, 2005: 221-222).


(35)

62

3.1.2.3Manfaat dan Tantangan AFTA Bagi Indonesia

Sebagai suatu kawasan perdagangan yang bebas, AFTA tentunya mempunyai manfaat dan juga tantangan bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya khususnya negara Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri AFTA memiliki manfaat sebagai berikut:

a. Peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia, dengan penduduk sebesar ±500 juta dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam;

b. Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi pengusaha/produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN lainnya dan termasuk biaya pemasaran;

c. Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga dan mutu tertentu; d. Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan

beraliansi dengan pelaku bisnis di negara anggota ASEAN lainnya. Sealain membawa manfaat bagi Indonesia, ASEAN Free Trade Area juga melahirkan sebuah tantangan bagi Indonesia, yaitu pengusaha/produsen Indonesia dituntut terus menerus untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi dari produk yang berasal dari negara anggota ASEAN lainnya baik dalam memanfaatkan peluang pasar domestik maupun pasar negara anggota ASEAN lainnya (http://www.tarif.depkeu.go.id /Others/?hi=AFTA Diakses pada 09 Maret 2014).


(36)

3.1.2.4 Manfaat dan Tantangan AFTA Bagi Thailand

Sama halnya dengan Indonesia, kawasan perdagangan bebas ASEAN pun membawa manfaat dan juga tantangan bagi negara-negara anggota lainnya, termasuk Thailand. Bagi Thailand AFTA memberikan manfaat yaitu, akan menarik lebih banyak investor asing ke Thailand, meningkatkan nilai ekspor Thailanddan juga mengembangkan ekonomi Thailand sehingga volume perdagangan Thailand khususnya dengan ASEAN telah meningkatempat kali. Akibatnya, Thailandterus-menerusmemperolehneraca perdaganganyang positifatasASEAN. Selain manfaat tersebut, adapun tantangan yang akan dihadapi oleh Thailand umumnya oleh negara-negara anggota ASEAN dengan adanya AFTA. Mengingat produk-produk yang dihasilkan oleh negara-negara anggota ASEAN mayoritas memiliki jenis produk yang sama, sehingga kerjasama yang terjalin di kawasan Asia Tenggara baik dalam cakupan ASEAN maupun intra-ASEAN cenderung dalam bentuk persaingan, bukan saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu pemerintah Thailand terus meningkatkan keterampilan dan mengembangkan produk dalam negerinya untuk melayani permintaan konsumen, yang akan membantu meningkatkan kesadaran merek, nilai tambah dan daya saing produk Thailand di pasar global (http://www.business-in-asia.com/ asia_freetrade.html Diakses pada 30 April 2014).

3.1.3 Common Effective Prefferential Tariff forAsean Free Trade Area

Common Effective Preferential Tariff Agreement, yang merupakan main mechanism dari AFTA, ditandatangani oleh Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN


(37)

64

pada tanggal 28 Januari 1992. Skema CEPT-AFTA merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui:penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.Perkembangan terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailandpada tahun 2010, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015 (http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2002/01/ AFTA.htmDiakses pada 11 Februari 2014).

Pada prinsipnya, kawasan perdagangan bebas meliputi semua produk manufaktur dan pertanian, meskipun jadwal untuk mengurangi tarif dan menghapus pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarif lain berbeda.

1. Inclusion List (IL) :Produkdalam Inclusion List adalah produk yang harus menjalani liberalisasi segera melalui penurunan tingkat tarif intra-regional, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarif lainnya. Tarif pada produk ini harus turun ke maksimum 20% pada tahun 1998 dan menjadi 0-5% pada tahun 2002. Para anggota baru ASEAN memiliki waktu hingga 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar dan 2010 untuk Kamboja untuk memenuhi tenggat waktu penurunan tarif. Daftar yang memuat cakupan produk yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction Schedule.

b. Tidak boleh ada Quantitave Restrictions (QRs).

c. Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.


(38)

2. Temporary Exclusion List (TEL) : Daftar yang memuat cakupan produk yang sementara dibebaskan dari kewajiban penurunan tarif, penghapusan QRs dan NTBs lainnya serta secara bertahap harus dimasukkan ke dalam IL. Mulai tanggal 1 Januari 1996, angsuran tahunan produk dari TEL telah ditransfer ke dalam Inclusion List. Pada tahun 2000, ada akan tetap 9.674 pos tarif di TEL mewakili sekitar 15,04% dari seluruh pos tarif di ASEAN.

3. Sensitive List (SL) : Ini berisi produk-produk pertanian yang belum diproses, contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh, yang diberi kerangka waktu yang lebih lama sebelum terintegrasi dengan kawasan perdagangan bebas. Komitmen untuk mengurangi tarif menjadi 0-5%, menghapus pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarif lainnya diperpanjang sampai dengan tahun 2010. Para anggota baru ASEAN memiliki waktu penurunan tarif hingga 2013 untuk Vietnam, 2015 untuk Laos dan Myanmar, dan 2017 untuk Kamboja untuk memenuhi tenggat waktu penurunan tarif tersebut.

4. General Exception (GE) List : Daftar yang memuat cakupan produk yang secara permanen tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam CEPT Scheme

dengan alasan keamanan nasional, keselamatan/kesehatan umat manusia, binatang dan tumbuhan, serta pelestarian objek arkeologi, dan sebagainya (Article 9b of CEPT Agreement). Contohnya antara lain senjata, amunisi, dan narkotika.Ada 1.036 pos tarif dalam daftar GE mewakili sekitar 1,61% dari seluruh pos tarif di ASEAN(www.asean.org/communities/aseaneconomic


(39)

-66

community/item/asean-free-trade-area-afta-an-update Diakses pada 25 Februari 2014).

Dalam skema CEPT-AFTA, produk yang dapat diturunkan tarifnya, haruslah produk yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Produk terdapat dalam Inclusion List (IL) baik di Negara tujuan maupun di negara asal, dengan prinsip timbal balik (reciprosity). Artinya suatu produk dapat menikmati preferensi tarif di negara tujuan ekspor (yang tentunya di negara tujuan ekspor produk tersebut sudah ada dalam IL), maka produk yang sama juga harus terdapat dalam IL dari negara asal.

b. Memenuhi ketentuan asal barang (Rules of Origin), yaitu cumulative ASEAN Content lebih besar atau sama dengan 40%.

c. Perhitungan ASEAN Content adalah sebagai berikut :

Sumber: http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AFTA Diakses pada 25 Februari 2014

Gambar 3.1

Perhitungan ASEAN Content

d. Produk harus disertai Certificate of Origin Form D, yang dapatdiperoleh pada Kantor Dinas atau Suku Dinas Perindustrian dan

+

Value of Imported Non-ASEAN Material, Parts of Produce

Value

ofUndetermined Origin Materials, Parts of Produce

FOB PRICE


(40)

Perdagangan di seluruh Indonesia (http://www.tarif.depkeu.go.id/ Others/?hi=AFTA Diakses pada 25 Februari 2014).

Identifikasi produk yang masuk dalam skema CEPT disepakatai berbasis sektoral menurut Harmonized System (HS) 6 digit. Dalam deklarasi Singapura 1992, terdapat lima belas kelompok barang yang masuk dalam skema CEPT untuk segera diturunkan tarif bea masuknya secara cepat. Kelompok itu adalah minyak nabati, semen,produk kimia, produk farmasi, pupuk, produk plastik, produk dari karet, produk dari kulit, pulp, tekstil, keramik dan produk kaca, barang perhiasan,

copper cathodes (kawat las dari tembaga), elektronik, serta mebel kayu dan rotan.Untuk produk tertentu yang oleh suatu negara dinilai belum siap dimasukkan dalam skema CEPT atau masih dianggap sensitif, untuk sementara diizinkan dimasukkan dalam temporary exclusion list berdasarkan HS 9 digit. Produk yang akan diturunkan bea masuknya adalah produk yang mengandung ASEAN content minimum 40%. Dalam pelaksanaan pemotongan tarif ditentukan peraturan sebagai berikut:

a. Pertama, untuk produk yang sekarang tarifnya di atas 20% dilakukan pemotongan selama 5-8 tahun, sejak 1 januari 1993.

b. Kedua, untuk produk yang sekarang tarifnya 20% atau lebih rendah akan dikenakan pemotongan tarif selama 7 tahun. Besarnya pemotongan tarif minimum 5% dari kuantum untuk setiap pemotongan.

c. Ketiga, dua Negara atau lebih dapat melakukan pemotongan tarif lebih cepat untuk produk yang tarifnya pada 1 januari 1993 sebesar 20% atau


(41)

68

lebih rendah. Seluruh pelaksanaan program penurunan tarif itu harus diumumkan kepada semua Negara ASEAN (Halwani, 2005:215-217).

3.1.4 Perubahan Dari CEPT-AFTA Menjadi ATIGA

Seiring dengan semakin majunya perkembangan zaman, maka negara-negara anggota ASEAN menyempurnakan kesepakatan-kesapakatan yang ada khususnya dalam bidang ekonomi agar dapat untuk tetap mengikuti perkembangan yang ada. Salah satunya ialah melalui ASEAN Community 2015

yang memiliki 3 pilar salah satunya ialah pilar ekonomi yaitu ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 mendatang. Seluruh negara ASEAN harus meliberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas, sebagaimana digariskan dalam AEC Blueprint.

Arus bebas barang merupakan salah satu elemen utama ASEAN Economic Community Blueprint dalam mewujudkan AEC dengan kekuatan pasar tunggal dan berbasis produksi. Dengan mekanisme arus barang yang bebas di kawasan ASEAN diharapkan jaringan produksi regional ASEAN akan terbentuk dengan sendirinya. AEC merupakan langkah lebih maju dan komprehensif dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA). AEC

Blueprint mengamanatkan liberalisasi perdagangan barang yang lebih meaningful

dari CEPT-AFTA. Komponen arus perdagangan bebas barang tersebut meliputi penurunan dan penghapusan tarif secara signifikan maupun penghapusan hambatan non-tarif sesuai skema AFTA. Disamping itu, perlu dilakukan


(42)

peningkatan fasilitas perdagangan yang diharapkan dapat memperlancar arus perdagangan ASEAN seperti prosedur kepabeanan, melalui pembentukan dan penerapan ASEAN Single Window (ASW), serta mengevaluasi skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Rules of Origin (ROO), maupun melakukan harmonisasi standar dan kesesuaian (standard and conformance). Untuk mewujudkan hal tersebut, negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati

ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada pertemuan KTT ASEAN ke-14 tanggal 27 Februari 2009 di Chaam, Thailand dan mulai berlaku pada 17 Mei 2010 (http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20 Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

3.1.5 ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA)

ATIGA merupakan kodifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang (trade in goods). Dengan demikian, ATIGA merupakan penggantiCommon Effective Preferential Tariff (CEPT)

Agreement serta penyempurnaan perjanjian ASEAN dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif yang disesuaikan dengan kesepakatan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint terkait dengan pergerakan arus barang (free flow of goods) sebagai salah satu elemen pembentuk pasar tunggal dan basis produksi regional. ATIGA terdiri dari 11 Bab, 98 Pasal dan 10 Lampiran, yang antara lain mencakup prinsip-prinsip umum perdagangan internasional ( non-discrimination, Most Favoured Nations-MFN treatment, national treatment),


(43)

70

liberalisasi tarif, pengaturan non-tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, kepabeanan, standar, regulasi teknis dan prosedur pemeriksaan penyesuaian, SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), dan kebijakan pemulihan perdagangan (safeguards, anti-dumping, countervailing measures). ATIGA yang diharapkan mulai berlaku efektif 180 hari setelah penandatanganannya pada tanggal 27 Februari 2009 bertujuan untuk:

1. Mewujudkan kawasan arus barang yang bebas sebagai salah satu prinsip untuk membentuk pasar tunggal dan basis produksi dalam ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015 yang dituangkan dalam AEC

Blueprint;

2. Meminimalkan hambatan dan memperkuat kerjasama diantara negara-negara anggota ASEAN;

3. Menurunkan biaya usaha;

4. Meningkatkan perdagangan dan investasi dan efisiensi ekonomi;

5. Menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi yang lebih besar untuk para pengusaha di negara-negara anggota ASEAN; dan;

6. Menciptakan kawasan investasi yang kompetitif

Di dalam ASEAN Trade in Goods Agreement terdapat komitmen-komitmen utama dalam rangka mewujudkan kawasan perdagangan bebas di wilayah ASEAN melalui liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang, berikut adalah komitmen-komitmen utama di dalam ATIGA:


(44)

1. Penurunan dan Penghapusan Tarif

Penghapusan tarif termasuk border measures guna menghapuskan hambatan tarif sehingga perdagangan barang sangat kompetitif yang dapat meningkatkan daya saing. Penghapusan tarif seluruh produk intra-ASEAN, kecuali produk yang masuk dalam kategori Sensitive List (SL) dan Highly Sensitive List (HSL), dilakukan sesuai jadwal dan komitmen yang telah ditetapkan dalam persetujuan CEPT-AFTA dan digariskan dalam the Roadmap for Integration of ASEAN (RIA) yaitu pada tahun 2010 untuk ASEAN-6 dan tahun 2015 untuk Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (CLMV) (Tabel 3.1). Indonesia dan Thailand saat ini telah melaksanakan seluruh jadwal komitmen penurunan dan penghapusan tarif dalam ATIGAberdasarkan skema CEPT-AFTA, sehingga seluruh produk Indonesia dan Thailand yang masuk daftarinclusion listtelah diliberalisasi. Untuk lebih jelasnya akan disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.1

Jadwal Penghapusan Tarif Produk Kategori Inclusion List (IL) Negara ASEAN

Negara ASEAN

Tahun Penghapusan Tarif IL

60% Pos Tarif 80% Pos Tarif 100% Pos Tarif

ASEAN-6 2003 2007 2010

Vietnam 2006 2010 2015

Laos dan Myanmar 2008 2012 2015

Cambodia 2010 - 2015*

Catatan: *fleksibilitas hingga 2018

Sumber:http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Bu ku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNIT Y%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014.


(45)

72

Tabel 3.2

Komposisi Jumlah Pos Tarif Pada Kategori Produk Tahun 2009

Negara Anggota Jumlah Pos Tarif

IL TEL GEL SL/HSL Lainnya *) Total

Brunei D. (AHTN 2007) 8,223 - 77 - - 8,300

Indonesia (AHTN 2007) 8,632 - 96 9 - 8,737

Malaysia (AHTN 2007) 12,239 - 96 - - 12,335

Philippines (AHTN 2007) 8,934 - 27 19 - 8,980

Singapore (AHTN 2007) 8,300 - - - - 8,300

Thailand (AHTN 2007) 8,300 - - - - 8,300

ASEAN-6 54,628 - 296 28 - 54,952

Cambodia (AHTN 2002) 10,537 - 98 54 - 10,689

Lao PDR (AHTN 2007) 8,214 - 86 - - 8,300

Myanmar (AHTN 2007) 8,240 - 49 11 - 8,300

Vietnam (AHTN 2007) 8,099 - 144 - 57 8,300

CLMV 35,090 - 377 65 57 35,589

ASEAN 10 89,718 - 673 93 57 90,541

Catatan: *) 57 pos tarif dalam kategori produk CKD ini tidak terdapat dalam CEPT Legal Enactment Vietnam mengenai tarif bea masuk.

Sumber:

http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20 Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014.

Tabel 3.3

Jumlah Pos Tarif Pada Tingkat Tarif Produk ASEAN Tahun 2009

Negara Anggota Jumlah Pos Tarif Persentase

0-5% >5% Other Total 0-5% >5% Other Total Brunei D. (AHTN 2002) 8,223 - - 8,223 100.00 - - 100 Indonesia (AHTN 2007) 8,625 7 - 8,632 99.92 0.08 - 100 Malaysia (AHTN 2007) 12,173 32 34 12,239 99.46 0.26 0.28 100 Philippines (AHTN 2007) 8,857 77 - 8,934 99.14 0.86 - 100 Singapore (AHTN 2007) 8,300 - - 8,300 100.00 - - 100 Thailand (AHTN 2007) 8,287 13 - 8,300 99.84 0.16 - 100 ASEAN-6 54,465 129 34 54,628 99.70 0.24 0.06 100 Cambodia (AHTN 2002) 8,539 1,998 - 10,537 81.04 18.96 - 100 Lao PDR (AHTN 2007) 7,900 314 - 8,214 96.18 3.82 - 100 Myanmar (AHTN 2007) 8,240 - - 8,240 100.00 - - 100 Vietnam (AHTN 2007) 8.009 90 - 8.099 98.89 1.11 - 100

CLMV 32,688 2,402 - 35,090 93.15 6.85 - 100

ASEAN 10 87,153 2,531 34 89,718 97.14 2.82 0.04 100 Sumber:

http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20 Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014.


(46)

Disamping itu, ATIGA juga mengamanatkan liberalisasi untuk 12 (dua belas) Priority Integration Sector (PIS) yaitu produk pertanian, angkutan udara, otomotif, e-ASEAN, elektronik, perikanan, kesehatan, produk karet, tekstil dan apparel, pariwisata, produk kayu dan jasa logistic pada tahun 2007 untuk ASEAN-6 dan tahun 2012 untuk CLMV, sebagaimana diamanatkan dalam Framework (amendment) Agreement for the PIS(http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku% 20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).

2. Rules of Origin (ROO)

Di dalam ATIGA ditetapkan mengenai Rules of Origin dimana suatu barangyang diimpor ke dalam wilayah negara anggota ASEAN lainnya wajibdiberlakukan sebagai suatu barang asal apabila barang tersebutmemenuhi dua persyaratan yaitu (i) suatu barang yang diproduksi ataudiperoleh secara keseluruhan di negara anggota ASEAN pengekspor,atau (ii) suatu barang yang tidak secara keseluruhan diproduksi ataudiperoleh di negara anggota ASEAN pengekspor (Ramlah, 2014: 73).

3. Penghapusan Non-Tariff Barriers (NTBs)

Penghapusan hambatan non-tarif bertujuan untuk: (1) meningkatkan transparansi dengan mematuhi ASEAN Protocol on Notification Procedure;(2) menetapkan ASEAN Surveillance Mechanism yang efektif; (3) tetap pada komitmen untuk standstill and roll-back;(4) menghapus


(47)

74

hambatan non-tarif; (5) meningkatkan transparansi Non-Tariff Measures

(NTMs); dan (6) konsisten dengan International Best Practices.

4. Trade Facilitation

Dengan adanya fasilitasi perdagangan ini diharapkan akan tercipta suatu lingkungan yang konsisten, transparan dan dapat diprediksi bagi transaksi perdagangan internasional sehingga dapat meningkatkan perdagangan dan kegiatan usaha termasuk usaha kecil dan menengah (UKM), serta menghemat waktu dan mengurangi biaya transaksi.

5. Customs Integration (Integrasi Kepabeanan)

Pengembangan Kepabeanan difokuskan pada: (a) pengintegrasian struktur kepabeanan, (b) modernisasi klasifikasi tarif, penilaian kepabeanan dan penentuan asal barang serta mengembangkan ASEAN e-Customs, (c) kelancaran proses kepabeanan, (d) penguatan kemampuan sumber daya manusia, (e) peningkatan kerjasama dengan organisasi internasional terkait, (f) pengurangan perbedaan sistem dalam kepabeanan diantara negara-negara ASEAN, dan (g) penerapan teknik pengelolaan resiko dan kontrol berbasis audit (PCA) untuk trade facilitation.

6. ASEAN Single Window

ASW sebagaimana tertuang dalam AEC Blueprint, merupakan suatu lingkungan di manaNational Single Window (NSW) dari sepuluh negara anggota beroperasi dan berintegrasi seperti diilustrasikan pada diagram 3.1 dan 3.2 dengan terintegrasinya NSW melalui ASW, diharapkan alur data dan informasi pemerintah dan pelaku usaha terkait proses ekspor dan


(48)

impor negara ASEAN dapat berlangsung secara cepat dan mudah. Oleh karenanya, untuk membuat dan mengoperasikan ASWdiperlukan kesiapan NSW dari tiap negara anggota ASEAN.

Sumber:http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Bu ku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNIT Y%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014.

Gambar 3.2

Mekanisme Pengintegrasian 10 NSW ke portal ASW

Sumber:http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Bu ku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNIT Y%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014.

Gambar 3.3


(49)

76

7. Standard, Technical Regulation and Conformity Assessment Procedures Negara anggota ASEAN diharapkan dapat menetapkan dan menerapkan ketentuan mengenai standar, peraturan teknis dan prosedur penilaian kesesuaian sebagaimana diatur dalam ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements dan ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangements. Upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi hambatan perdagangan yang tidak diperlukan dalam membangun pasar tunggal dan basis produksi regional ASEAN.

8. Sanitary and Phytosanitary Measures

Kebijakan SPS dimaksudkan untuk memfasilitasi perdagangan dengan melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan sesuai dengan prinsip yang ada dalam Persetujuan SPS dalam WTO untuk mencapai komitmen-komitmen sebagaimana tercantum dalam ASEAN Economic Community Blueprint.

9. Trade Remedies

Setiap negara anggota diberikan hak dan kewajiban untuk menerapkan kebijakan pemulihan perdagangan antara lain berupa anti-dumping, bea imbalan (terkait dengan subsidi) dan safeguard. Selain kebijakan pemulihan perdagangan, negara anggota juga dapat menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism (http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/ UmumSetditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20CO MMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).


(50)

3.1.5.1 Manfaat dan Tantangan ATIGA Bagi Indonesia

Bagi Indonesia, ATIGA akan dapat mengatasi kesenjangan prinsip-prinsip utama dan disiplin seperti MFN, Non-Tariff, modifikasi konsesi dan lain-lain yang selama ini tidak terlihat dalam CEPT Agreement. Dengan demikian akan semakin memperkuat ketentuan CEPT Agreement yang selama ini terlalu sederhana dan tidak jelas seperti mekanisme safeguard dan ketentuan NTBs. Dengan ATIGA akan menjamin ketentuan-ketentuan prinsip pada elemen kunci lainnya dalam arus barang bebas seperti customs dan standards yang akan bersinergi dengan inisiatif lain dalam perdagagangan barang. Sehingga akan ada kesempatan untuk mengkaji konsistensi dari seluruh perjanjian yang ada khususnya perdagangan barang termasuk dalam penyelesaian sengketa (Ariyani, 2009:11-12)

Disamping manfaat, Indonesia juga akan menghadapi tantangan sebagai konsekuensi dari diterapkannya ketentuan arus barang bebas. Dengan semakin terintegrasinya pasar ASEAN, Indonesia harus meningkatkan daya saingnya dengan:

1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas dan kualitas produksi;

2. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing;

3. Memperluas jaringan pemasaran, meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby (http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/ Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20 COMMUNITY%202015.pdf Diunduh pada 30 April 2014).


(51)

78

3.1.5.2 Manfaat dan Tantangan ATIGA Bagi Thailand

ATIGA juga memberikan manfaat bagi negara Thailand yaitu: 1. Memperluas ekspor ke pasar yang lebih besar di ASEAN;

2. Impor bahan baku dari ASEAN dengan kualitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah;

3. Pasar yang lebih besar memberikan kontribusi bagi skala ekonomi; 4. Menurunkan biaya produksi;

5. Menetapkan/memperluas bisnis di negara-negara anggota ASEAN lainnya;

6. Dapat membeli lebih banyak jenis produk impor dari ASEAN dengan harga yang terjangkau;

7. Peningkatan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau.

Disamping memberikan manfaat, Thailand juga akan menghadapi tantangan sebagai konsekuensi dari diterapkannya ketentuan arus barang bebas. Dengan semakin terintegrasinya pasar ASEAN, terdapat tantangan bagi negara Thailand yaitu:

1. Produk dari negara-negara ASEAN akan masuk lebih ke pasar;

2. Produk Thailand dengan kualitas rendah mungkin kehilangan pangsa pasar;

3. Negara anggota ASEAN lainnya juga dapat memanfaatkan skala ekonomi dan bersaing dengan pengusaha dalam negeri;


(52)

5. Produk-produk yang berkualitas rendah dapat masuk lebih banyak ke pasar domestik kecuali ada sistem monitoring yang tepat pada tempatnya (http://www.thaifta.com/trade/public/aecmmjul2013_malai.pdfDiunduh pada 16 Agustus 2014).

3.1.6 Hubungan Bilateral Indonesia-Thailand

Hubungan diplomatik Indonesia-Thailand berlangsung sejak tanggal 7 Maret 1950. Kerja sama antara kedua negara berlangsung di berbagai bidang seperti ekonomi, perdagangan, iptek, dan budaya. Hubungan ini diperluas lagi dengan adanya saling kunjung antara pemimpin kedua negara (http://www.kemlu. go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=BilateralCooperation&IDP=186&P=Bilatera l&l=id Diakses pada 15 April 2014).

Hubungan bilateral yang terjalin diantara Indonesia dengan Thailand masih terjalin dengan baik hingga saat ini, terbukti dengan intensitas kunjungan kedua negara yang semakin meningkat.Dalam pertemuan bilateral diantara kedua negara mengangkat lima isu utama, yaitu kerja sama di bidang pertanian dan perikanan, perdagangan dan investasi termasuk produk halal, kerja sama sektor energi, kepariwisataan, dan interaksi antarmasyarakat. Kedua pemimpin telah sepakat untuk menugaskan menteri terkait dari masing-masing negara untuk segera menyelesaikan beberapa perjanjian kerja sama, utamanya yang terkait dengan kerja sama pertanian dan perikanan, disamping kerja sama-kerja sama lainnya (http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2012/06/01/7967.htmlDiakses pada 15 April 2014).


(1)

123

Dalam bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian secara keseluruhan sesuai dengan berbagai rumusan masalah yang terdapat pada Bab 1 dan memberikan saran bagi berbagai pihak yang terlibat dalam persoalan kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada bab IV, maka peneliti menyimpulkan bahwa:

1. Skema CEPT-AFTA merupakan mekanisme utama dalam penerapan AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema CEPT-AFTA tersebut namun didalam perkembangannya CEPT-AFTA telah digantikan dan disempurnakan oleh ATIGA pada tahun 2009. Sehingga pada saat naskah perjanjian perdagangan Indonesia dengan Thailand di bentuk kesepakatan ekonomi yang dipakai dalam kegiatan kerjasama perdagangan intra-ASEAN ialah ATIGA, khususnya dalam produk karet, elektronik dan otomotif yang mana tarif impornya telah mencapai 0% di tahun 2010 sesuai dengan jadwal penurunan tarif skema CEPT-AFTA. Ada 4 (empat) ketentuan pokok yang merupakan inti dari pengimplementasian kesepakatan AFTA yaitu skema CEPT-AFTA sebagai mekanisme utama penurunan tarif, fasilitas bagi kegiatan


(2)

perdagangan intra-ASEAN melalui penghapusan hambatan non-tarif, ketentuan asal barang (rules of origin) melalui pengeluaran Surat Keterangan Asal (SKA), dan ketentuan tentang Safeguard Policy.

2. Kendala dalam penerapan skema CEPT-AFTA dalam kerjasama perdagangan Indonesia-Thailand di sebabkan karena kesamaan keunggulan produk eskpor di kedua negara, masih sering terjadinya masalah domestik di dalam negeri masing-masing anggota ASEAN, kurang maksimalnya dalam pemanfaatan liberalisasi perdagangan seperti pemanfaatan penggunaan Form D di negara-negara anggota ASEAN khususnya Indonesia dan Thailand dalam kegiatan kerjasama intra-ASEAN. Selain itu juga masih rendahnya pemahaman mengenai perdagangan bebas di kawasan ASEAN

3. Langkah-langkah untuk menyelesaikan kendala dalam penerapan skema CEPT-AFTA terkait kendala kesamaan produk ekspor dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan nilai tambah bagi produk ekspor sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas, mutu dan karakteristik yang tinggi dan berbeda dengan produk dari negara-negara ASEAN lainnya khususnya Indonesia dengan Thailand, sedangkan untuk kendala-kendala yang disebabkan oleh masalah-masalah domestik di dalam negeri Indonesia dan Thailand terutama dalam hal politik dan ekonomi, keduanya harus terlebih dahulu memperbaiki sistem politiknya karena apabila perpolitikan di negara tersebut dapat berjalan dengan baik, aman tidak bergejolak tentu akan berdampak pada ekonomi negara yang baik pula dan


(3)

terus menjaga stabilitas politik dan ekonomi di masing-masing negara agar liberalisasi perdagangan dapat terwujud sesuai dengan tujuannya dan yang terakhir terkait kurang maksimalnya dalam pemanfaatan liberalisasi perdagangan khusunya dalam pemanfaatan Form D pemerintah di masing-masing negara dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas di Asia Tenggara khususnya Indonesia dengan Thailand mengenai liberalisasi perdagangan khususnya pemanfaatan Form D agar kerjasama perdagangan di kedua negara dapat lebih memberikan keuntungan yang lebih dengan adanya penurunan tarif impor tersebut.

4. Dengan adanya skema Common Effective Preferntial Tariff for ASEAN

Free Trade Area (CEPT-AFTA) dalam kerjasama perdagangan antara

Indonesia dengan Thailand yang semenjak 2009 telah digantikan dan disempurnakan oleh ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) memberikan kemudahan di dalam melakukan kegiatan kerjasama perdagangan, karena di dalam CEPT-AFTA maupun ATIGA terdapat aturan-aturan salah satunya aturan mengenai penurunan dan penghapusan tarif, serta mengenai fasilitasi perdagangan. Yang dengan aturan tersebut akan meningkatkan kerjasama diantara kedua negara, terbukti dengan meningkatnya nilai perdagangan khususnya dalam produk elektronik Indonesia yang dari tahun 2011 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan, karena produk tersebut juga telah diturunkan tarifnya menjadi 0-5% berdasarkan jadwal penurunan tarif CEPT-AFTA, sehingga produk yang telah diturunkan tarif impornya tersebut dapat dijual dengan


(4)

harga yang lebih murah karena tidak dikenakan tarif bea masuk impor dan telah diberikan fasilitasi perdagangan sehingga produk yang diperjualbelikan menjadi lebih mudah dan lebih cepat.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memberikan saran bagi berbagai pihak yang terlibat dalam kerjasama perdagangan Indonesia-Thailand melalui skripsi ini, sebagai berikut:

1. Untuk ASEAN, upaya dalam kesepakatan-kesepakatan yang di buat oleh para anggota ASEAN seharusnya diimplementasikan secara maksimal dalam jangka waktu yang panjang agar seluruh masyarakat ASEAN dapat mengetahui mengenai kesepakatan ASEAN tersebut sehingga hasil yang didapatkan maksimal sesuai dengan usaha yang telah dilakukan dan perkembangannya pun dapat terlihat.

2. Untuk Pemerintah Republik Indonesia, diharapkan melakukan sosialisasi mengenai kesepakatan-kesepakatan yang dibuat bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam forum ASEAN sehingga didalam implementasinya kesepakatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh semua pihak tanpa terkecuali dan memberikan keuntungan juga bagi Indonesia. 3. Untuk masyarakat luas/pengusaha/eksportir baik di Indonesia maupun

Thailand, diharapkan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas perdagangan didalam skema CEPT-AFTA maupun ATIGA seperti pemanfaatan utilisasi Form D untuk mendapatkan penurunan tarif impor 0%, aturan asal


(5)

barang, penghapusan hambatan non-tarif dan fasilitas perdagangan lainnya, sehingga dapat membantu meningkatkan kerjasama perdagangan intra-ASEAN dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia dengan Thailand.

4. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan untuk dapat lebih menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada didalam penelitian ini. Agar dapat memberikan manfaat baik untuk peneliti maupun untuk masyarakat luas.


(6)

112 SKA Eksportir SKA Eksportir SKA Eksportir 1 (27) Mineral Fuels, Oils, Waxes & Bituminous Sub 328 82 424 92 365 70

2 (74) Copper & Articles Thereof 403 13 384 21 385 19

3 (87)Vehicles Railway Other Than Railway Or Tramway Rolling Stock

2,135 52 3,393 71 4,121 72

4 (84) Nuclear Reactors, Boilers, Machinery & Mechanical Appliances, Computers

2,842 84 4,313 108 4,693 115

5 (85) Electrical Machinery & Equip & Parts, Telecommunications Equip, Sound Recorders,

Television Recorders.

4,110 78 4,358 94 4,863 88

6 (39) Plastics & Articles Thereof 2,483 148 3,298 182 3,127 175 7 (54) Man-Made Filaments, Inc. Yarns & Woven Etc 1,229 58 - - - -

8 (29) Organic Chemicals 741 40 875 44 - -

9 (48) Paper & Paperboard, Articles Of Paper Pulp 1,187 72 2,475 70 2,478 70 10 (38) Miscellaneous Chemical Products 1,135 40 1,245 56 - - 11 (15) Animal Or Vegetable Fats, Oils&Waxes - - 300 26 - -

12 (40) Rubbers & Article Thereof - - - - 1,711 64

13 (90) Optical, Photographic, Cinematographic, Measuring, Checking, Precision, Medical or Surgical

Instruments & Accessories

- - - - 1,099 14

14 (73) Article Of Iron Or Steel - - - - 2,187 81

15 Lainnya 43,404 - 50,916 - 55,576 -