Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia

(1)

AHMAD HERI FIRDAUS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian.Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Ahmad Heri Firdaus


(3)

(4)

ABSTRACT

AHMAD HERI FIRDAUS. Trade Performance and The Impact of Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three on Indonesian Economy. Under direction of RINA OKTAVIANI and M. PARULIAN HUTAGAOL.

The trade liberalization is important issue in the era of globalization. Many countries establish a Free Trade Area, one of which is the ASEAN Plus Three FTA. The purpose of this study is to analyze the performance and the impact of ASEAN Plus Three FTA for the Indonesian economy. The level of trade performance of Indonesia were analyzed by examining the export performance through sector's comparative advantage in ASEAN Plus Three, Export Product Dynamic and trade integration with the ASEAN Plus Three. Furthermore, Global Trade Analysis Project (GTAP) model is used to analyze the impact of ASEAN Plus Three FTA on the Indonesian macroeconomic and sectoral performance. Indonesia has a comparative advantage in a mining and quarrying sectors as well as vegetable and animal oil. Meanwhile, Indonesia has a high level of integration in manufacturing sectors, like textiles chemicals, rubber, plastic, machinery and equipment. ASEAN Plus Three FTA will generate a positive impact on several economic indicators such as real GDP, investment, government consumption and the household consumption. In contrast, the trade balance in deficit to the APT, but have a surplus to other countries. From the sectoral performance of Indonesia all commodities have increased imports, while only a few commodity exports increased.

Key Words: Trade Performance, RCA, EPD, IIT, GTAP, the impact of ASEAN Plus Three FTA


(5)

(6)

RINGKASAN

Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai kawasan, khususnya integrasi dalam bidang ekonomi. Salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah dengan membentuk kawasan perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Area). Indonesia telah terlibat dalam beberapa kesepakatan FTA diantaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN-Cina FTA (ACFTA) serta masih banyak lagi kesepakatan FTA yang sedang dirundingkan diantaranya adalah ASEAN Plus Three FTA. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang meliputi sekitar 2,5 milyar konsumen, yaitu lebih dari 1,6 milyar dari Asia Timur dan lebih dari 700 juta dari ASEAN (ASEANSEC, 2010). Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia Timur dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, penerapan FTA ini juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three lebih dari 50 persen total ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Ekspor andalan Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian seperti gas alam, minyak mentah, batu bara dan mineral. Kontribusi 10 (sepuluh) besar sektor andalan ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three mencapai 80 persen dari total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three. Begitu juga dengan impor dari ASEAN

Plus Three, mencapai lebih dari separuh total impor Indonesia. Impor Indonesia dari pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor manufaktur khususnya yang padat modal, seperti kilang minyak dan produk batu bara; mesin dan peralatannya; produk kimia, karet dan plastik; peralatan elektronik; kendaraan bermotor dan suku cadang; dan peralatan transportasi. Pangsa sepuluh besar sektor yang diimpor dari ASEAN Plus Three mencapai 90 persen total impor dari ASEAN

Plus Three.

Kinerja ekspor Indonesia dalam penelitian ini dianalisis dengan mengukur dayasaing secara komparatif yaitu dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan dengan melihat pertumbuhan pangsa pasar di ASEAN Plus Three yakni dengan metode Export Product Dynamics (EPD). Intra Indutry Trade

(IIT) digunakan untuk melihat tingkat integrasi perdagangan antara Indoensia dengan ASEAN Plus Three. Berdasarkan analisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa saat ini Indonesia belum memiliki kinerja atau dayasaing (komparatif) dalam mengahadapi ASEAN Plus Three FTA. Alasanya antara lain karena sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor Indonesia tidak seluruhnya memiliki performa yang


(7)

nabati dan hewani saja. Hasil analisis EPD memperkuat hasil analisis RCA yang menyatakan bahwa sektor-sektor yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, bahkan hal ini juga terjadi pada sektor logam dasar dan kilang minyak yang masih memiliki keunggulan komparatif namun mengalami kehilangan pangsa pasar karena keunggulan komparatifnya semakin kecil.

Analisis dampak ASEAN Plus Three FTA dilakukan dengan menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP). Berdasarkan analisis dampak ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa FTA ini hanya berpengaruh kecil terhadap performa ekonomi makro Indonesia. Terlihat dari peningkatan PDB riil, investasi dan peubah makro lainnya yang meningkat relatif lebih kecil dari negara-negara ASEAN Plus Three lainnya.

Secara umum Indonesia mengalami peningkatan impor di seluruh sektor, sementara peningkatan ekspor tidak sebesar peningkatan impornya. Namun keadaan ini lebih baik daripada tidak melakukan FTA. Karena defisit neraca perdagangan Indonesia menjadi menjadi lebih kecil pada saat melakukan FTA. Sektor-sektor yang mengalami peningkatan impor relatif besar umumnya sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif secara signifikan. Sementara sektor-sektor-sektor-sektor yang mengalami peningkatan ekspor yang relatif besar umumnya adalah sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif relatif besar di negara tujuan. Dampak terhadap output adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three. Kecuali pada sektor tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet, plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya. Harga ouput pada sektor-sektor yang diperdagangkan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan. Penurunan harga ouput juga terjadi khususnya pada sektor yang menjadi impor terbesar Indonesia, seperti kendaraan bermotor dan suku cadang. Peningkatan harga output dan penurunan output serta penurunan penyerapan tenaga kerja pada sebagian besar sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three menunjukkan Indonesia belum siap melakukan Free Trade Area dengan ASEAN Plus Three. Liberalisasi akan memberikan guncangan di sektor riil. Walaupun beberapa sektor outputnya mengalami peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun menunjukkan nilai yang negatif.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

(10)

KINERJA PERDAGANGAN DAN DAMPAK FREE TRADE

AREA (FTA) ASEAN PLUS THREE TERHADAP

PEREKONOMIAN

.

INDONESIA

AHMAD HERI FIRDAUS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(11)

(12)

Judul Tesis :.Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area

(FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia

Nama Mahasiswa : Ahmad Heri Firdaus Nomor Pokok : H151080171

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Ketua

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(13)

(14)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang atas izin-Nya tesis yang berjudul “Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three

terhadap Perekonomian Indonesia” ini akhirnya bisa terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja perdagangan Indonesia dalam rangka menghadapai perdagangan bebas kawasan ASEAN Plus Three yang terdiri dari negara anggota ASEAN dan Cina, Jepang serta Rep. Korea. Selain itu tesis ini menganalisis dampak FTA tersebut terhadap perekonomian Indonesia.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Sebagai ketua komisi pembimbing yang telah benyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan tesis ini, Beliau juga telah banyak memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat terlibat dalam berbagai penelitian dan kajian ekonomi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada program studi Ilmu Ekonomi IPB dan mendapat gelar Magister Sains. Ucapan terima kasih juga disampaikan untuk Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec yang telah banyak memberikan banyak pelajaran dan masukan yang berharga terhadap penelitian ini serta Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr yang telah banyak memberikan masukan mengenai penulisan sehingga membuat tesis ini menjadi lebih baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yaitu M. Rizal dan Henny Gandawati yang selalu memberikan doa’ dan dukungan dalam berbagai bentuk sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada program studi Ilmu Ekonomi IPB. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan program pascasarjana Ilmu Ekonomi angkatan 2008 dan Syarifah Amaliah, SE atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.


(15)

bertujuan untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga tesis ini bisa memberikan sumbangan kecil bagi perkembangan ekonomi Indonesia serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita.

Bogor, Mei 2011


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ahmad Heri Firdaus, lahir pada tanggal 13 Januari 1985 di Depok, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan M. Rizal dan Henny Gandawati. Pada tahun 1990-1997 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Islam As-Syafi’iah, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 20 Jakarta. Tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri 51 Jakarta dan diterima di Departemen Imu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kurang dari empat tahun, penulis berhasil menyelesaikan program sarjana dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada tahun 2007.

Pada tahun 2008 pernulis melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar Magister Sains. Selama menjadi Mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan penelitian ekonomi dan menjadi asisten pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia” ini akhirnya dapat diselesaikan.


(17)

DAFTAR TABEL ………..……….………... iii

DAFTAR GAMBAR ………..……….……….. v

I. PENDAHULUAN ………..……….………... 1

1.1. Latar Belakang ……...………..………….……… 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pengertian Liberalisasi Perdagangan ... 13

2.2. Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional ….……….…………...… 13

2.2.1. Trade Creation ……… 16

2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar ……….. 17

2.2.3. Kerjasama Politik ……… 17

2.2.4. Trade Diversion ………... 17

2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja ………. 18

2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Publik ……….. 19

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 19

2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

2.4.1. Teori Perdagangan Internasional ... 21

2.4.2. Teori Keseimbangan Umum ……… 25

2.4.2.1. Landasan Teori …….………....….... 26

2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif ... 28

2.4.3. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA)………... 32

2.4.4. Teori Intra Indutry Trade (IIT) ... 33

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 35

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data... 37

3.2. Metode Analisis ………..…... 37

3.2.1. Menganalisis Performa Ekspor Indonesia di Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea ... 37

3.2.1.1. Revealed Comparative Advantage (RCA) ... 37

3.2.1.2. Export Product Dynamics (EPD) ... 38

3.2.1.3. Intra Indutry Trade (IIT) ………..……. 40

3.2.2. Analisis Dampak FTA ASEAN Plus Three Terhadap Performa Ekonomi Makro dan Sektoral Indonesia: Aplikasi Global Trade Analysis Project (GTAP) ………..……… 41


(18)

IV. GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE

ASEAN PLUS THREE ……… 53

4.1. Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three ... 53

4.2. Aliran Perdagangan Indonesia Ke Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (ASEAN Plus Three) ……….. 55

4.2.1. Perkembangan Ekspor Indonesia Ke Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (ASEAN Plus Three) ……… 55

4.2.2. Perkembangan Impor Indonesia Dari Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (Juta US$) ... 59

V. ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE ... 63

5.1. Aliran Perdagangan dan Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three ... 63

5.1.1. Aliran Perdagangan Antar Negara ASEAN Plus Three ... 63

5.1.2. Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three ... 70

5.2. Analisis Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea ... 72

5.2.1. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) 72 5.2.2. Analisis Export Product Dynamics (EPD) ... 74

5.2.3. Analisis Intra Industry Trade (IIT) ... 77

5.3. Kemampuan Industri dalam Menghadapi Persaingan Global ………….… 78

VI. FREE TRADE AREA DALAM SKEMA ASEAN Plus Three ……….. 81

6.1. Dampak FTA (Free Trade Area) ASEAN Plus Three terhadap Ekonomi Makro Indonesia …... 81

6.2. Dampak Free Trade Area ASEAN Plus Three terhadap Ekonomi Sektoral ………..…..…..…. 88

VII. KESIMPULAN DAN SARAN……….……….…... 97

7.1. Kesimpulan ... 97

7.2 Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(19)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1.1. Perkembangan Indikator Makroekonomi Beberapa Anggota ASEAN

Plus Three Tahun 2007-2009 (dalam persen) ... 6

1.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang Periode 2005-2009 (Juta Dolar) ……… 7

1.3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina (Ribu dolar) ………... 8

2.1. Klasifikasi dari nilai IIT (Austria, 2004) ... 35

3.1. Matriks Posisi Dayasaing ………. 39

4.1. Perbandingan Nilai Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three dan Dunia (Juta US$) ... 55

4.2. Ekspor 10 (Sepuluh) Sektor Terbesar Indonesia ke Pasar ASEAN Plus Three (Juta US$) ... 57

4.3. Pangsa Ekspor Terbesar Sektor Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three (Persen) ... 58

4.4. Perbandingan Nilai Impor Indonesia Dari ASEAN Plus Three dan Dunia (jutaUS$) ... 59

4.5. Impor 10 (Sepuluh) Sektor Terbesar Indonesia Dari Pasar ASEAN Plus Three (US$ Juta) ... 60

4.6. Pangsa Impor Sektor Terbesar Indonesia Dari Pasar ASEAN Plus Three (Persen) ... 61

5.1. Aliran Ekspor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) ... 64

5.2. Aliran Impor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) ... 65

5.3. Ekspor Indonesia ke Negara-negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) ... 67

5.4. Impor Indonesia Dari Negara-negara ASEAN Plus Three (Juta U$) ... 69

5.5. Tarif Impor Antar Negara ASEAN Plus Three (Persen) ... 71

5.6. Nilai RCA (Revalead Comparatif Advantage) Beberapa Komoditi Indonesia Tahun 2005-2009 ... 74

5.7. Analisis Export Product Dynamics (EPD) Beberapa Komoditi Indonesia Di Pasar ASEAN Plus Three Tahun 2005-2009 ... 76

5.8. Nilai IIT (Intra-Industry Trade) Beberapa Komoditi Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three ... 78

6.1. Neraca Perdagangan Sebelum dan Setelah ASEAN Plus Three FTA ... 84

6.2. Dampak FTA dalam Skema ASEAN Plus Three terhadap Peubah Ekonomi Makro ... 87

6.2. Dampak Free Trade Area dalam Skema ASEAN, China, Jepang dan Rep. Korea terhadap Ekspor, Impor, Output dan Harga Domestik Indonesia (perubahan persentase) ... 92


(20)

(21)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

2.1. Trade Creation ………. 16

2.2. Trade Diversion ……… 18

2.3. Kurva Perdagangan Internasional ... 23

2.4. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ... 27

2.5. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil ………. 30

2.6. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar ... 32

2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian ……… 36

3.1. Daya Tarik Pasar dan Kekuatan Bisnis pada Export Product Dynamics (EPD) ………..……….. 39

3.2. Pemanfaatan GTAP dengan Alat RunGTAP dan Penyelesaiannya ... 43

3.3. Struktur Produksi Model GTAP ... 48

3.4. Struktur Konsumsi dalam Model GTAP ……….. 49


(22)

1.1. Latar Belakang

Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai kawasan, khususnya integrasi dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ekonomi ini penting dilakukan bagi masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia.

Salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah dengan membentuk kawasan perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Area). Dengan dibentuknya FTA maka suatu negara akan memberikan perlakuan khusus kepada negara mitra dagangnya dan mendiskriminasi negara mitra dagang yang lain. FTA dapat berupa penetapan tarif dan non tarif yang lebih rendah bahkan tidak ada sama sekali. Dalam FTA plus, akses pasar yang lebih baik juga dikombinasikan dengan berbagai kerjasama dan kemudahan lainnya, seperti perlakuan pajak yang lebih longgar. Dengan adanya FTA diharapkan dapat meningkatkan volume perdagangan diantara kawasan tersebut sehingga masyarakatnya akan mencapai tingkat kepuasan yang paling optimal. Pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kesejahteraan yang merata diantara negara anggota.

Perekonomian dunia yang semakin berkembang akan membuka hubungan perdagangan antar negara yang kian pesat, ditandai dengan semakin cepatnya aliran barang dan jasa antar negara. Menurut pendapat sebagian ahli ekonomi, perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimal mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dan bagi dunia serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Demikian pula menurut Hadi (2003) selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara perdagangan bebas juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Sementara Stephenson (1994) mengidentifikasikan bahwa liberalisasi perdagangan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan


(23)

meningkatkan akses pasar ke negara lain. Dengan demikian suatu negara akan berusaha membuka dirinya terhadap perdagangan dengan negara lainnya.

Alasan diselenggarakannya liberalisasi perdagangan dalam jangka panjang yakni: Pertama, untuk membuka kesempatan bagi pengembangan industri. Hal ini dimungkinkan karena integrasi merupakan mekanisme yang mendorong pembagian tenaga kerja intra kelompok secara rasional. Sebaliknya, tanpa adanya integrasi: (1). masing-masing hanya akan menerima manfaat terbatas bila pembagian kerja terjadi pada masing-masing negara, (2). Masing-masing negara mungkin tidak akan dapat menyediakan pasar yang cukup besar untuk memberi kesempatan pada industri-industri untuk menurunkan biaya produksi melalui pengembangan skala ekonomi. Tanpa integrasi maka industri yang sama mungkin akan dibangun di dua atau lebih negara yang berdekatan. Masing-masing industri akan beroperasi di bawah kapasitas optimal dan dengan demikian akan dilindungi dari barang-barang impor dari negara lain dengan tarif yang tinggi atau hambatan non tarif. Duplikasi seperti ini bukan hanya pemborosan sumberdaya yang langka, tetapi juga konsumen dipaksa membayar harga yang lebih tinggi untuk barang yang sama dibanding bila pasar bagi barang tersebut cukup besar untuk menghasilkan produksi dengan volume tinggi, biaya murah yang dibangun di satu tempat. Industrialisasi melalui substitusi impor biasanya hanya akan merupakan pembangunan industrialisasi yang tidak efisien dan berbiaya tinggi.

Kedua, dengan menghilangkan hambatan (barrier) perdagangan antar negara anggota, maka koordinasi perencanaan industri sangat mungkin diciptakan, terutama berdasar skala ekonominya. Perencanaan pengembangan industri yang terkoordinasi memungkinkan negara anggota mempercepat pertumbuhan industri dengan menempatkan industri di negara-negara yang berbeda sehingga membawa negara mitra (partner) ke dalam haluan ekonomi yang kian dekat, bahkan akhirnya kesatuan politik.

Bagi Indonesia, liberalisasi perdagangan pada dasarnya adalah suatu bagian dari kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia yang merupakan keputusan politik ekonomi. Diawali sejak adanya keinginan untuk membentuk kawasan perdagangan bebas di ASEAN atau AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 90 an (Departemen Perdagangan RI, 2010). Kesepakatan AFTA


(24)

adalah kerangka ekonomi utama di ASEAN. AFTA diterapkan melalui Skema

Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang mencanangkan semua tarif bakal dihapus sebelum tahun 2010 untuk ASEAN-6 dan sebelum tahun 2015 Kambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (Departemen Perdagangan RI, 2010)

Selain AFTA, Indonesia yang tergabung dalam ASEAN juga terlibat dalam beberapa kesepakatan perdagangan bebas lainnya. Diantaranya:

a. ASEAN-Cina (ACFTA, ditandatangi pada 29 November 2004), merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.

b. ASEAN-Rep. Korea (AKFTA, ditandatangi pada 26 Agustus 2006), merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Rep. Korea untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Rep. Korea.

c. ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP, ditandatangi pada 1 Maret 2008), merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan Jepang. Hal ini untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para anggotanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Jepang.

d. ASEAN-India Regional Trade and Investment Area ditandatangi pada 13 Agustus 2009. Tingkat liberalisasi perdagangan barang dalam AIFTA tidak setinggi liberalisasi perdagangan barang yang dicapai antara ASEAN dengan


(25)

mitra FTA lainnya. Namun kedua pihak sepakat untuk meningkatkan komitmen liberalisasi melalui proses ”review” setelah perjanjian diimplementasikan

e. ASEAN-Australia and New Zealand FTA (penandatangannya pada 27 Februari 2009), merupakan FTA regional yang bersifat komprehensif yang menggunakan pola single undertaking. AANZ-FTA perlu dilihat sebagai sebuah paket komprehensif yang menawarkan tidak saja tantangan di sektor tertentu, tetapi juga manfaatnya secara lintas sektoral dan peluang kerjasama bilateral yang dirintis selama perundingan yang mencakup sektor-sektor yang sensitif bagi Indonesia.

f. ASEAN-European Union FTA, yang telah ditandatangani pada November 2007, namun dihentikan sementara sejak awal 2009, karena kesulitan EU untuk melanjutkan perundingan dengan seluruh anggota ASEAN

Lebih jauh lagi, gagasan pembentukan FTA yang lebih luas telah disepakati, yaitu ASEAN Plus Three FTA atau East Asia Free Trade Area

(EAFTA). FTA ini melibatkan negara anggota ASEAN dan tiga negara besar di kawasan Asia Timur, yakni Cina, Rep. Korea dan Jepang. ASEAN Plus Three

telah sepakat untuk menciptakan perdagangan bebas di kawasan tersebut.

Pada dasarnya ASEAN Plus Three FTA adalah salah satu rangkaian kerjasama antara negara anggota ASEAN dan 3 (tiga) negara Asia Timur. Kerjasama ini berfokus pada pilar kerjasama ekonomi dan keuangan yang meliputi perdagangan dan investasi, kerjasama keuangan, kesesuaian standar, HKI, transportasi, pariwisata, pangan, pertanian, perikanan dan kehutanan, sumberdaya mineral, UKM, komunikasi dan informasi, serta kerjasama pembangunan.

Pembentukan ASEAN Plus Three FTA adalah salah satu dari sembilan langkah jangka panjang yang diusulkan oleh kelompok studi Asia Timur (EASG) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Plus Three November 2002. Selanjutnya pada KTT ASEAN Plus Three pada tanggal 29 November 2004, para pemimpin meminta Menteri ekonomi ASEAN Plus Three untuk merumuskan sebuah kelompok ahli pada setiap negara untuk mempelajari kelayakan ASEAN


(26)

Three pada tanggal 15 Agustus 2009 mencatat laporan akhir ASEAN Plus Three

yang salah satu isinya adalah rekomendasi dari para ahli dari 10 negara ASEAN dan Cina, Jepang dan Rep. Korea mengenai prospek dari pembentukan kawasan pedagangan bebas Asia Timur. Rekomendasi utama dari kajian tersebut kepada Menteri ASEAN dan Kepala Negara ASEAN adalah: (i) ASEAN Plus Three

merupakan proses integrasi kawasan yang sangat penting dan memiliki arti strategis; (ii) proses dilanjutkan dengan membentuk 2 kelompok kerja untuk Rule of Origin (RoO) dan klasifikasi tarif serta; (iii) paling lambat negosiasi FTA dimulai tahun 2012. Para Menteri sepakat agar hasil kajian ASEAN Plus Three

dapat disampaikan kepada Kepala Negara/Pemerintahan (Departemen Perdagangan RI, 2010). Akhirnya dengan melewati berbagai proses studi dan konsultasi yang membutuhkan waktu lama, skema ASEAN Plus Three FTA ditandatangani pada bulan Oktober 2009 di Thailand.

FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang meliputi sekitar 2,5 milyar konsumen, yaitu sebanyak lebih dari 1,6 milyar dari Asia Timur dan lebih dari 700 juta dari ASEAN (ASEANSEC, 2010). Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia Timur dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. ASEAN

Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three

lainnya. Di lain pihak, penerapan FTA ini juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Perkembangan beberapa indikator makro ekonomi selama beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 1.1, menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) bagi negara-negara yang lebih maju seperti Rep. Korea dan Jepang relatif rendah dengan tingkat inflasi yang lebih stabil. Sementara Cina jauh mengungguli negara ASEAN Plus Three lainnya dengan persentase neraca perdagangan terhadap PDB yang relatif besar. Indonesia memperlihatkan penurunan dalam persentase neraca perdagangan terhadap PDB bahkan mencapai angka negatif pada tahun 2009. Dari sekilas gambaran tersebut


(27)

maka diperkirakan Cina lebih siap dalam menghadapi persaingan pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Timur.

Tabel 1.1. Perkembangan Indikator Makroekonomi Beberapa Anggota ASEAN

Plus Three Tahun 2007-2009 (persen)

Negara PDB Riil Harga Konsumen

1 Neraca

Perdagangan2 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009

Indonesia 6.3 6.1 5.5 6.2 9.8 8.8 2.5 0.1 –0.1

ASEAN 5 6.3 5.5 4.9 4.4 9.6 7.2 5.1 2.7 2.1

Cina 11.9 9.7 9.3 4.8 6.4 4.3 11.3 9.5 9.2

Rep Korea 5.1 2.2 0.2 2.5 4.6 2.7 0.6 -0.6 5.1

Jepang 2.1 0.7 0.5 0.3 1.6 0.9 4.8 4.0 3.7

Sumber : IMF, 2011

Keterangan: 1 Perkembangan harga konsumen dihitung berdasarkan nilai pertumbuhan rata-rata tahunan

2 Dinyatakan sebagai persentase dari PDB 1.2. Perumusan Masalah

ASEAN Plus Three FTA akan menimbulkan implikasi bagi negara-negara yang terlibat termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, jika melihat perkembangan neraca perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang selama 5 tahun terakhir seperti pada Tabel 1.2, terlihat bahwa Indonesia mengalami penurunan neraca perdagangan khususnya dengan Cina. Dengan tingkat tarif sebelum diberlakukannya skema ASEAN Plus Three neraca perdagangan Indonesia dengan Cina menunjukkan kecenderungan yang menurun, bahkan mulai tahun 2008 mencapai angka negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing produk-produk Cina semakin unggul di pasar Indonesia. Terlebih setelah diberlakukannya skema ASEAN-Cina FTA (ACFTA).

Neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga 2007. Namun kembali mengalami penurunan meski belum mencapai angka negatif. Penurunan tersebut dikhawatirkan akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya terlebih setelah ASEAN Plus Three FTA diberlakukan. Sementara dengan Rep. Korea, neraca perdagangan Indonesia lebih cenderung stabil walaupun sempat turun pada tahun 2008 namun kemudian meningkat kembali pada tahun 2009.


(28)

Tabel 1.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang Periode 2006-2010 (Juta Dolar)

Negara

Mitra Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Cina

Ekspor 8,343.6 9,675.5 11,636.5 11,499.3 15.692.6 Impor 6,636.9 8,557.9 15,247.2 14,002.2 20.424.2 Neraca 1,706.7 1,117.6 -3,610.7 -2,502.8 -4.731.6 Rep. Korea

Ekspor 7,693.5 7,582.7 9,116.8 8,145.2 12.574.6 Impor 2,875.9 3,196.7 6,920.1 4,742.3 7.702.9 Neraca 4,817.7 4,386.0 2,196.8 3,402.9 4.871.6 Jepang

Ekspor 21,732.1 23,632.8 27,743.9 18,574.7 25.781.8 Impor 5,515.8 6,526.7 15,128.0 9,843.7 16.965.8 Neraca 16,216.3 17,106.1 12,615.8 8,731.0 8.816.0 Sumber: Departemen Perdagangan RI, 2011

Sebelum pemberlakuan FTA dalam kerangka ASEAN Plus Three, ASEAN juga telah menyepakati berbagai FTA dalam kerangka ASEAN Plus One. Salah satu bentuk FTA dalam kerangka ASEAN Plus One yang sudah diberlakukan per tanggal 1 Januari 2010 adalah ACFTA (ASEAN China Free Trade Area). Dampak ACFTA merupakan isu yang banyak diperbincangkan karena telah menimbulkan berbagai implikasi bagi perekonomian semua negara yang terlibat. Bagi Indonesia, implikasi yang terlihat jelas adalah dengan semakin banyaknya produk Cina di pasar Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data neraca perdagangan Indonesia dengan Cina hingga tahun 2010 seperti yang terlihat pada Tabel 1.3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sejak ACFTA resmi berlaku tahun 2010 menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap neraca perdagangan Indoensia dengan Cina. Dimana neraca perdagangan Indonesia tahun 2010 mengalami defisit hampir dua kali lipat dari tahun 2009.

ACFTA menimbulkan pro dan kontra khususnya bagi Indonesia. Pihak yang menentang dengan kebijakan ini menilai bahwa akan terjadi peningkatan permintaan produk dari Cina yang secara langsung akan memperluas lapangan pekerjaan di Cina, di sisi lain industri-industri kecil Indonesia dikhawatirkan akan mulai berguguran yang pada akhirnya berpotensi mengurangi lapangan pekerjaan di Indonesia. Hal inilah yang menjadi keluhan para pelaku usaha Indonesia.


(29)

Berdasarkan informasi dari berbagai media, ACFTA dianggap oleh sebagian besar masyarakat, khususnya pengamat ekonomi industri domestik dan pelaku industri sebagai suatu ancaman bagi perkembangan industri skala kecil dan menengah di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa distribusi massal produk-produk asal Cina di banyak negara seringkali dianggap sebagai suatu ancaman terhadap produk-produk lokal. Padahal ACFTA tidak selalu memiliki pandangan yang negatif jika Indonesia dapat memanfaatkan peluang kerjasama FTA tersebut.

Tabel 1.3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina (Juta dolar)

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010

Total perdagangan 14.980,4 18.233.3 26.883,6 25.501,4 36.116,8

- Migas 4.011,8 3.612.1 4.148,6 3.090,1 2.347,9

- Non migas 10.968,6 14.621,3 22.735,1 22.411,4 33.768,9 Ekspor 8.343,5 9.675,5 11.636,5 11.499,3 15.692,6

- Migas 2.876,9 3.011,4 3.849,3 2.579,2 1.611,7

- Non migas 5.466,6 6.664,1 7.787,2 8.920,1 14.080,9 Impor 6.636,9 8.557,8 15.247,1 14.002,2 20.424,2

- Migas 1.134,9 600,6 299,2 510,8 736,2

- Non migas 5.501,9 7.957,2 14.947,9 13.491,4 19.688,1 Neraca

perdagangan 1.706,7 1.117,6 -3.610,6 -2.502,8 -4.731,6

- Migas 1.742,1 2.410,7 3.550,1 2.068,4 875,4

- Non migas -353,7 -1.293,1 -7.160,7 -4.571,3 -5.607,1 Sumber: Departemen Perdagangan RI, 2011

Meningkatnya produk Cina yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitif harga. Barang-barang impor dari Cina relatif lebih murah dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal atau nasionalisme dan komparasi kualitas), maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk Cina.

Keadaan tersebut tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia, mengingat kita akan segera menghadapi pasar bebas dengan tiga negara di Asia Timur dalam kerangka ASEAN Plus Three. Perdagangan antar negara di kawasan ini akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari AFTA. Di dalam AFTA, pemerintah masih dimungkinkan misalnya menerapkan bea masuk 1 sampai 5 persen atau juga mengeluarkan kebijakan khusus untuk melindungi industri atau


(30)

barang-barang produksi dalam negeri yang sangat sensitif. Sedangkan, dalam kerangka ASEAN Plus Three produk-produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan produk-produk negara lainnya. Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indonesia untuk bisa bersaing. Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan dalam hal tenaga kerja yang lebih murah, sedangkan Singapura, Malaysia dan Thailand sangat bersaing dalam kualitas dan juga manajemen. Oleh sebab itu, FTA dalam kerangka ASEAN Plus Three diduga akan menimbulkan dampak yang lebih besar dari AFTA maupun ACFTA.

Harus disadari bahwa keikutsertaan Indonesia ke dalam blok semacam ini tentunya merupakan “keputusan politik“ pemerintah. Para pihak yang mendukung pembentukan FTA ini tentunya bukan hanya sekedar dukungan semata. Melainkan telah dikaji oleh tim ahli yang tentu sudah memikirkan segala aspek positif maupun negatifnya. Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya memetik pelajaran berharga. Sudah saatnya pemerintah maupun para ahli kita mengkaji secara mendalam dan memikirkan masak-masak segala persoalan yang terkait dengannya. Berbagai studi serta persiapan maksimal perlu dilakukan agar kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya. Tahapan-tahapan yang realistis perlu dipikirkan untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul.

Di sisi pemerintah, perbaikan pelayanan birokrasi Indonesia ke arah yang “lebih baik atau bermutu, lebih cepat dan lebih murah” (better, faster and cheaper) hendaknya bukan hanya slogan politis, tetapi juga demi efisiensi pelaku bisnis. Di sisi lain, pelaku usaha seharusnya juga terus melakukan perbaikan internal dengan arahan dan orientasi bisnis yang semakin jelas, sehingga pemerintah pun bisa mendukung dan bersama-sama menghadapi serangkaian tantangan yang dihadapi dalam rangka ASEAN Plus Three FTA.

ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, proses integrasi juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik.


(31)

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka masalah yang relevan untuk dirumuskan pada penelitian ini antara lain:

1. Bagaimanakah kinerja perdagangan Indonesia dalam rangka menghadapi perdagangan bebas ASEAN Plus Three?

2. Bagaimanakah dampak perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Menganalisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN Plus Three.

2. Menganalisis dampak perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain:

1. Komoditi yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai ekspor tertinggi ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea (ASEAN Plus Three) serta 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai impor tertinggi dari ASEAN Plus Three.

2. Performa ekspor Indonesia ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea dapat dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, yaitu dengan melihat pertumbuhan ekspor selama 5 (lima) tahun terakhir dan dengan menggunakan alat analisis Revalead Comparatif Advantage (RCA) dan

Intra Industry Trade (IIT).

3. Untuk menganalisis dampak dari dibukanya area perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia digunakan data dan model GTAP (Global Trade Analysis Project).

4. Agregasi regional GTAP dan komoditi untuk ASEAN Plus Three FTA masing-masing adalah sebagai berikut:


(32)

a. Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Rest of

ASEAN, Cina, Jepang, Rep. Korea, Rest of Asia dan Rest of the World.

b. 10 (sepuluh) Komoditi yang memiliki nilai ekspor tertinggi ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea serta 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai impor tertinggi dari ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea.


(33)

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Liberalisasi Perdagangan

Definisi mengenai liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan oleh Madeley dan Solagral (2001) yang menyebutkan bahwa liberalisasi perdagangan adalah sebagai suatu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif antar negara sebagai mitra dagang.

Liberalisasi perdagangan menjadi semakin menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok yang mendukung liberalisasi, kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Pemikiran ini didasarkan pada pandangan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan menyebabkan arus barang dan jasa menjadi semakin lancar.

Pandangan ini kontras dengan pemahaman kelompok anti liberalisasi. Menurut kelompok ini, liberalisasi akan menghancurkan perekomomian negara-negara di dunia. Pengaruh negatif muncul karena barang impor yang semakin menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor domestik terutama yang berdayasaing rendah.

Turunnnya ekspor selanjutnya berdampak negatif pula terhadap produksi dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat dalam negeri untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Namun demikian, bila domestik memiliki dayasaing yang lebih tinggi, maka liberalisasi perdagangan dunia menciptakan peluang ekspor yang besar.

2.2. Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional

Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat


(35)

bagi Negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain

European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global.

Organisasi ini terdiri dari berbagai bentuk, tergantung tingkat kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara negara peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market, Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001).

Free Trade Are (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota.

FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff-barrier) maupun hambatan non tarif (non-tariff barier=NTB). FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya yang tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” sendiri-sendiri. Contohnya AFTA (Asean Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1 Januari 2010.

Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh ekonomi negara-negara yang berdagang, namun juga akan dirasakan oleh perekonomian dunia secara keseluruhan. Dampak diliberalisasikannya perdagangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan kesejahteraan dunia menurun. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan internasional


(36)

seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain (Stephenson, 1994).

Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia.

Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang mempunyai tarif eksternal rendah.

Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara anggota.

Monetary Union. Monetary Union berada pada level integrasi keempat dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota

European Union menggunakan mata uang. Tingkat integrasi ini juga disebut

Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (Wild, Wild dan Han, 2000).

Political Union. Political Union merupakan puncak dari proses integrasi.

Political Union dapat menjadi nama lain dari sebuah negara ketika union secara sungguh-sungguh mencapai tingkat integrasi. Terkadang, negara-negara yang


(37)

berkumpul dalam Political Union antara lain adalah karena alasan sejarah, seperti

British Commonwealth yang terdiri dari negara-negara yang pernah menjadi bagian oleh British Empire. Namun ketika British bergabung dengan European Union, perlakuan istimewa ini hilang. Sekarang kelompok ini hanya sebagai forum untuk diskusi dan ikatan sejarah yang sama.

Integrasi ekonomi regional (termasuk FTA) akan memberikan dampak positif dan negatif terhadap perdagangan barang dan jasa dinegara-negara anggota FTA. Dampak positif dari integrasi ekonomi adalah (Wild, Wild dan Han, 2000):

2.2.1. Trade Creation

Dengan analisis partial equilibrium, trade creation adalah penggantian dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional melalui pembentukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah.

Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.1. Trade Creation

Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya peningkatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara

2 1 3 4

G J

A

C M

V U

H N

Z W

B

10 20 50 70

S1

S1+T

Dx Sx

Px


(38)

lain (rest of the world). Terjadinya trade creation dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1. (Salvatore, 1997). Dx dan Sx masing-masing merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan kurva S1 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I, sehingga harga impornya menjadi $2 atau kurva S1 + T. Produksi domestik negara II sebanyak 20 unit barang X atau AM, sedangkan total konsumsi dalam negara II sebanyak 50 unit barang X atau GH. Kemudian negara I dan negara II membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA. Setelah membentuk FTA, negara II mengimpor 60 unit barang X atau CB dari negara tanpa bea masuk pada harga $1 (kurva S1). Produk domestik negara I turun menjadi 10 unit barang X atau CM dan total konsumsi naik menjadi 70 unit barang X atau AB. Dengan pembentukan FTA, maka : Penerimaan bea masuk untuk negara II akan hilang, Konsumen domestik akan memperoleh transfer dari produsen domestik sebesar area AGJC yang merupakan kenaikan konsumen surplus, Manfaat lain yang diperoleh negara II setara dengan area CJM + area BHN, atau setara dengan $15.

2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar

Keuntungan untuk mengelimainasi hambatan perdagangan lebih mudah dilakukan pada kelompok negara-negara yang lebih kecil. Contohnya seperti ASEAN dibandingkan dengan kelompok yang lebih besar seperti WTO.

2.2.3. Kerjasama Politik

Secara politik terdapat keuntungan dari negara-negara yang berintegrasi. Salah satu keuntungan yang juga diutamakan adalah dapat memperjuangkan kepentingan bersama di forum perundingan yang lebih besar seperti WTO.

Integrasi ekonomi juga memberikan dampak negatif terhadap anggotanya. Wild, Wild dan Han (2000) mengidentifikasi terdapat tiga dampak negatif yaitu

trade diversion, pergeseran tenaga kerja, hilangnya kedaulatan nasional.

2.2.4. Trade Diversion

Terjadinya pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien ke negara yang ikut serta dalam


(39)

perjanjian walaupun kurang efisien. Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya trade diversion pada negara yang melakukan integrasi ekonomi. Sebagai contoh, Dx dan Sx merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan kurva S1 dan S3 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1) dan negara III ($1,5). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I sehingga harga impornya menjadi $2 atau kurva S1+T. Kemudian negara II membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA dengan negara III.

Setelah pembentukan FTA, negara II mengimpor 45 unit barang X atau C’B’ dari negara III yang bebas bea masuk pada harga $ 1,5 (kurva S3).Dengan pembentukan FTA maka : kesejahteraan / manfaat yang diperoleh negara II adalah sebesar segitiga C’JJ’ + segitiga H’HB’, atau senilai $1,25 + $2,5 = $3,75 ; kesejahteraan / manfaat yang hilang dari negara II sebesar segiempat MNH’J’ atau senilai $15 ; kesejahteraan / manfaat neto yang hilang adalah sebesar $15 - $3,75 = $11,25 (Lihat Gambar 2.2.).

Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.2. Trade Diversion 2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja

Karena adanya kerjasama perdagangan maka produsen akan berproduksi ke negara yang lebih efisien. Sebagai contoh, untuk industri yang memerlukan

S1 C’ 1,5 1 2 3 E B’ J’ H’

10 H J H G’ Z N M G

20 50 60

S3

S1+T

Dx Sx

Px


(40)

tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah akan mengalihkan tempat produksinya ke negara anggota yang memiliki tingkat upah yang rendah.

2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Politik

Jika integrasi ekonomi sudah mencapai political union, maka suatu negara akan kehilangan kebebasan dalam menentukan politik luar negerinya sendiri. Sejauh ini, bentuk integrasi pada tingkat yang paling tinggi (political union) sulit untuk dicapai.

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Haryadi (2008) manganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang (analisis GTAP). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa negara berkembang termasuk Indonesia belum siap sepenuhnya untuk meliberalisasi perdagangan dengan tarif nol persen. Negara maju paling diuntungkan oleh kebijakan penghapusan tarif.

Penelitian Oktaviani et al (2008) berjudul ”Consultancy and Training Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing Investment and Trade Competitiveness” dengan metode analisis RCA, Ekspor Produk Dinamik, CMSA dan CGE menunjukkan selama periode tahun 2000-2006 nilai ekspor Indonesia tumbuh sebesar 10.76 persen pertahun, nilai ini lebih rendah secara relatif dibandingkan Cina (23.61 persen). Terdapat 194 komoditas Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 dan tingkat pertumbuhan ekspor yang positif. Berdasarkan matriks ekspor produk dinamik kategori komoditas ekspor dalam kuadran rising star adalah komoditas pertanian dan agroindustri.

Berdasarkan market destinatination Indonesia, Malaysia, Thailand dan Cina memiliki kesamaan dalam penetrasi pasar, dimana seluruh negara tersebut berorientasi pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, dan Cina. Berdasarkan CMSA pertumbuhan ekspor Indonesia dipengaruhi efek pertumbuhan impor dan efek komposisi komoditas.

Rendahnya dayasaing investasi Indonesia dipengaruhi oleh infrastruktur seperti sedikitnya jalan yang sudah diaspal, sambungan telepon dan koneksi internet yang minim, dan rendahnya konsumsi listrik. Faktor fundamental seperti

share hutang luar negeri terhadap GDP dan tingkat inflasi sangat berpengaruh terhadap dayasaing investasi di Indonesia.


(41)

Hasil model CGE menunjukkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan dunia akan memberikan dampak negatif bagi kondisi makroekonomi Indonesia. Pendapatan Nasional akan menurun disertai dengan peningkatan inflasi karena sebagian besar komoditas yang mengalami kenaikan adalah komoditas impor misalnya vegetable oils, fats dan palm oils.

Penelitian Oktaviani, et al (2007) menganalisis FTA dalam skema ASEAN

Plus One yakni ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Alat analisis yang digunakan adalah IIT dan GTAP, menunjukkan hasil terjadi integrasi yang tinggi pada komoditi manufaktur antara ASEAN dengan negara Cina dan Rep. Korea. Komoditi pertambangan terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one way trade atau nilai IIT bernilai 0. Pada kelompok lainnya, yaitu kelompok komoditi pertanian primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang menunjukkan integrasi yang tinggi antar kedua wilayah menunjukkan ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa sub sektor kemungkinan dapat dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang cukup, seperti komoditi pertanian lainnya yang mencapai nilai IIT lebih dari 60. Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan di antara negara-negara di kawasan tersebut. Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian, maka komoditi minyak nabati terutama produk CPO (Crude Palm Oil) serta turunannya merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua di dunia untuk eskpor CPO dan turunannya.

Secara keseluruhan dampak makro ekonomi FTA dalam Skema ASEAN-Cina maupun ASEAN-Rep. Korea meningkatkan total GDP negara-negara ASEAN walaupun relatif kecil. Peningkatan GDP lebih banyak didorong oleh pengeluaran/konsumsi masyarakat yang lebih tinggi. Peningkatan GDP yang disebabkan oleh peningkatan investasi relatif kecil. Hal ini tentunya kurang baik apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang.

Penelitian Thorpe (2005) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IIT pada industri manufaktur di Asia Timur 1970-1996 dengan memisahkan IIT menjadi IIT horizontal dan vertikal. IIT horizontal timbul sebagai akibat adanya economies of scale dan differensiasi produk sedangkan


(42)

vertikal terjadi pada perdagangan komoditi yang sama dengan kualitas yang berbeda. Selain itu, Thorpe (2005) menggunakan model gravity, yang hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi IIT pada sektor manufaktur di Asia Timur adalah GDP, perbedaan GDP, GDP perkapita, perbedaan GDP perkapita, jarak, kurs, ketidakseimbangan perdagangan, dan

economies of scale.

Austria (2004) yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis karakteristik perdagangan pada 11 sektor prioritas ASEAN periode 1997-2001 dan mengukur integrasi pada 11 sektor tersebut melalui IIT menunjukkan bahwa IIT relatif tinggi hanya pada sektor ICT dan elektronik.

Penelitian Menon (1996) bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi pertumbuhan perdagangan intra industri dan pertumbuhan perdagangan neto terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN periode 1981-1986 dan 1986-1991 khususnya manufaktur. Dengan metode Grubel-Lloyd Index untuk mengukur IIT hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan perdagangan intra industri terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN adalah lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh perdagangan neto di sebagian besar negara ASEAN.

Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dampak ASEAN Plus Three FTA cukup relevan untuk dilakukan. Dengan posisi dayasaing seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat dampak secara luas dari adanya FTA dalam skema ASEAN Plus Three dan bagaimana jika dibandingkan dengan skema ASEAN Plus One seperti yang telah dilakukan pda penelitiannya sebelumnya.

2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis 2.4.1. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).


(43)

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale)

Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.3). Stuktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengah harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.


(44)

O

QA O Q* O QB

SB

Negara A (ekspor) Perdagangan Internasional Negara B (impor)

Sumber : Salvatore, 1997

Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional

Keterangan:

PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional

OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor)

tanpa perdagangan internasional

A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional

X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A

PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional.

OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)

tanpa perdagangan internasional.

B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.

M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B

P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional

OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah

yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).

Gambar 2.3 memperlihatkan sebelum terjadinya perdangangan internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB.

Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan jika harga internasional

lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka

negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari

A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka

PA

X

DA A SA

ES

P*

ED B

M PB


(45)

negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.

Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.

Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan

production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan (Salvator, 1997):

a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi b) Perdagangan bersifat bebas

c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara.

d) Biaya produksi konstan

e) Tidak terdapat biaya transportasi f) Tidak ada perubahan teknologi

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.

Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari


(46)

perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduski lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah.

Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods).

Pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan bisa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah: pendekatan keseimbangan parsial dan pendekatan keseimbangan umum.

2.4.2. Teori Keseimbangan Umum

Teori keseimbangan umum pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras pada abad ke-19. Walras menyusun model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan produksi. Dengan demikian, semua agen ekonomi adalah para konsumen


(47)

sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem.

2.4.2.1. Landasan Teori

Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan, ketika pemerintah negara A mengenakan pemberlakukan kebijakan tarif pada produk X1,

maka harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X1 dan

mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga

kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X1. Dalam keseimbangan parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka produksi X2 akan menurun.

Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun karena pengenaan tarif. Negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara A tersebut akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan turun. Dampaknya adalah ekspor negara A akan mengalami penurunan juga. Tarif impor bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. Untuk melakukan cara-cara yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan analisis keseimbangan umum.

Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.4. Model ini merangkum informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan pada satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar antara kedua negara saling berpotongan.


(48)

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 2.4. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara

Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu negara A dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world

atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada dalam kondisi full employment.

Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2 mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh titik E’ yang sama

Y

X

120

100

80

60 40 20 20 40 60 80 100 120 140 60

40

20

0

20

40

60

80

Y

X

E

E’ E’

Negara 1

Negara 2 PB=PB’=1 1

2 III


(49)

namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan diperdagangkan dengan negara 1.

Perdagangan internasional akan berada dalam kondisi equilibrium bila kedua negara saling mempertukarkan 60X dan 60Y berdasarkan harga relatif PB=1 yang ditunjukkan oleh titik perpotongan antara kurva tawar menawar

negara 1 dan negara 2 atau titik E*. Harga relatif komoditi dalam kondisi keseimbangan tersebut adalah PB=1. Harga relatif itu pulalah yang berlaku

dalam transaksi domestik di masing-masing negara. Dengan demikian produsen, konsumen, dan pedagang di kedua negara akan melakukan transaksi atas dasar harga relatif yang sama. Titik E yang terletak pada kurva indiferen III milik negara 1 itu mengukur tingkat konsumsinya dari pusat sumbu atau 0, sedangkan titik E yang sama pada blok produksi negara 1 mengukur besar kecilnya produksi dari titik E’.

Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor, dan berbagai bentuk domestik support lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberlakuan intervensi yang mendistorsi pasar tersebut.

2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif

Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi pemerintah. Banyak negara yang mengandalkan tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara.

Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya


(50)

akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar.

Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil

Negara kecil didefinisikan sebagai negara yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya. Di dalam keseimbangan perdagangan bebas, yang mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost

(MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh Gambar 2.5, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada pada titik P1, dan konsumsi pada titik C1. TT bersinggungan dengan kurva indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor makanan.

Jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya rasio nilai tukar domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT, yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Secara geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga. Harga makanan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P2, dimana garis harga domestik (DD) merupakan tangen terhadap kurva kemungkinan produksi.

Dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi sepanjang garis P2C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan

baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan tangen terhadap suatu kurva indiferen i1, Kedua, garis harga dunia, P2C2,


(51)

memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C2 pada Gambar 2.3.

Kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga domestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor.

Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional.

Sumber: Dunn, 2000

Gambar 2.5. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil

T

C1T

i2

i1

P2

P1

C2

D

D E E

F

G T

M

a

k

a

n

a

n

Pakaian 0

Rasio harga dunia

Rasio nilai tukar domestik


(1)

62


(2)

vi


(3)

(4)

RINGKASAN

Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai kawasan, khususnya integrasi dalam bidang ekonomi. Salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah dengan membentuk kawasan perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Area). Indonesia telah terlibat dalam beberapa kesepakatan FTA diantaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN-Cina FTA (ACFTA) serta masih banyak lagi kesepakatan FTA yang sedang dirundingkan diantaranya adalah ASEAN Plus Three FTA. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang meliputi sekitar 2,5 milyar konsumen, yaitu lebih dari 1,6 milyar dari Asia Timur dan lebih dari 700 juta dari ASEAN (ASEANSEC, 2010). Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia Timur dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, penerapan FTA ini juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three lebih dari 50 persen total ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Ekspor andalan Indonesia ke pasar ASEAN Plus

Three didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian seperti gas alam,

minyak mentah, batu bara dan mineral. Kontribusi 10 (sepuluh) besar sektor andalan ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three mencapai 80 persen dari total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three. Begitu juga dengan impor dari ASEAN

Plus Three, mencapai lebih dari separuh total impor Indonesia. Impor Indonesia

dari pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor manufaktur khususnya yang padat modal, seperti kilang minyak dan produk batu bara; mesin dan peralatannya; produk kimia, karet dan plastik; peralatan elektronik; kendaraan bermotor dan suku cadang; dan peralatan transportasi. Pangsa sepuluh besar sektor yang diimpor dari ASEAN Plus Three mencapai 90 persen total impor dari ASEAN

Plus Three.

Kinerja ekspor Indonesia dalam penelitian ini dianalisis dengan mengukur dayasaing secara komparatif yaitu dengan metode Revealed Comparative

Advantage (RCA) dan dengan melihat pertumbuhan pangsa pasar di ASEAN Plus

Three yakni dengan metode Export Product Dynamics (EPD). Intra Indutry Trade

(IIT) digunakan untuk melihat tingkat integrasi perdagangan antara Indoensia dengan ASEAN Plus Three. Berdasarkan analisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa saat ini Indonesia belum memiliki kinerja atau dayasaing (komparatif) dalam mengahadapi ASEAN Plus Three FTA. Alasanya antara lain karena sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor Indonesia tidak seluruhnya memiliki performa yang


(5)

baik di ASEAN Plus Three, hal ini terlihat dari hasil analisis RCA dan EPD. Walaupun analisis RCA menggambarkan keunggulan komparatif Indonesia, namun hanya pada sektor pertambangan dan penggalian serta sektor minyak nabati dan hewani saja. Hasil analisis EPD memperkuat hasil analisis RCA yang menyatakan bahwa sektor-sektor yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, bahkan hal ini juga terjadi pada sektor logam dasar dan kilang minyak yang masih memiliki keunggulan komparatif namun mengalami kehilangan pangsa pasar karena keunggulan komparatifnya semakin kecil.

Analisis dampak ASEAN Plus Three FTA dilakukan dengan menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP). Berdasarkan analisis dampak ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa FTA ini hanya berpengaruh kecil terhadap performa ekonomi makro Indonesia. Terlihat dari peningkatan PDB riil, investasi dan peubah makro lainnya yang meningkat relatif lebih kecil dari negara-negara ASEAN Plus Three lainnya.

Secara umum Indonesia mengalami peningkatan impor di seluruh sektor, sementara peningkatan ekspor tidak sebesar peningkatan impornya. Namun keadaan ini lebih baik daripada tidak melakukan FTA. Karena defisit neraca perdagangan Indonesia menjadi menjadi lebih kecil pada saat melakukan FTA. Sektor-sektor yang mengalami peningkatan impor relatif besar umumnya sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif secara signifikan. Sementara sektor-sektor-sektor-sektor yang mengalami peningkatan ekspor yang relatif besar umumnya adalah sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif relatif besar di negara tujuan. Dampak terhadap output adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three. Kecuali pada sektor tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet, plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya. Harga ouput pada sektor-sektor yang diperdagangkan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan. Penurunan harga ouput juga terjadi khususnya pada sektor yang menjadi impor terbesar Indonesia, seperti kendaraan bermotor dan suku cadang. Peningkatan harga output dan penurunan output serta penurunan penyerapan tenaga kerja pada sebagian besar sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three menunjukkan Indonesia belum siap melakukan Free Trade Area dengan ASEAN Plus Three. Liberalisasi akan memberikan guncangan di sektor riil. Walaupun beberapa sektor outputnya mengalami peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun menunjukkan nilai yang negatif.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ahmad Heri Firdaus, lahir pada tanggal 13 Januari 1985 di Depok, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan M. Rizal dan Henny Gandawati. Pada tahun 1990-1997 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Islam As-Syafi’iah, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 20 Jakarta. Tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri 51 Jakarta dan diterima di Departemen Imu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kurang dari empat tahun, penulis berhasil menyelesaikan program sarjana dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada tahun 2007.

Pada tahun 2008 pernulis melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar Magister Sains. Selama menjadi Mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan penelitian ekonomi dan menjadi asisten pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia” ini akhirnya dapat diselesaikan.