Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen di Indonesia

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN BAGI PIHAK PENANAM MODAL

INVESTORBUYER DALAM KONSEP INVESTASI KONDOMINIUM HOTEL DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen di Indonesia

1. Sejarah dan perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia Pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun sebagian besar peraturan-peraturan tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku lagi. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindugan konsumen pada saat itu antara lain: 107 a. Reglement Industriele Eigendom, S 1912-545, jo. S. 1913 No. 214. b. Hinder Ordonnantie Ordonansi Gangguan, S. 1926-226 jo. S. 1927- 449, jo. S. 1940-14 dan 450. c. Loodwit Ordonnantie Ordonansi Timbal Karbonat, S.1931 No. 28. d. Tin Ordonnantie Ordonansi Timah Putih, S. 1931-509. e. Vuurwerk Ordonnantie Ordonansi Petasan, S. 1932-143. f. Verpakkings Ordonanntie Ordonansi Kemasan, S. 1935 No.161. g. Ordonnantie Op de Slacth Belasting Ordonansi Pajak Sembelih, S. 1936-671. h. Sterkerkannde Geneesmiddelen Ordonanntie Ordonansi Obat Keras, S. 1937-641. 107 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 32. Universitas Sumatera Utara i. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie Ordonansi Penyaluran Perusahaan, S. 1938-86. Disisi lain, dalam beberapa kitab undang-undang juga terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk melindungi konsumen, yaitu: a. KUH Perdata: Bagian 2, Bab V, Buku II mengatur tentang kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli. b. KUHD: tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpangbarang muatan pada hukum maritim, ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan, dan sebagainya. c. KUH Pidana: tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang, dan sebagainya. 108 Dalam Hukum Adat juga ada dasar-dasar yang menopang Hukum Perlindungan Konsumen seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak berorientasi ada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya. Prinsip keseimbangan magiskeseimbangan alam, prinsip “terang” pada pembuatan transaksi khususnya transaksi tanah yang mengharuskan hadirnya kepala adatkepala desa dalam transaksi tanah. Prinsip fungsi sosial dari sesuatu hak, prinsip hak ulayat. 109 Ditinjau dari sejarah perkembangannya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar tahun 1970an, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat nongovernmental organization 108 Ibid. 109 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 19. Universitas Sumatera Utara yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI. Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen LP2K di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International CI. Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia YLBKI di Bandung dan perwakilian YLKI di berbagai provinsi di Indonesia. 110 YLKI muncul dari kelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi, yang semula justru bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini dituangkan dalam anggaran dasar yayasan di hadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, SH. dengan akte Nomor 26, 11 Mei 1973. 111 110 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. Kedua, Ed. Revisi, Jakarta: PT Grasindo, 2004, hlm. 49. 111 Ibid. Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak maupun elektronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus untuk membahas keluhan-keluhan konsumen, juga turut menggalakkan pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian produsen terhadap publikasi demikian juga terlihat dari reaksi-reaksi yang diberikan,baik berupa koreksi maupun bantahan. Hal ini menunjukkan dalam perjalanan memasuki dasawarsa Universitas Sumatera Utara ketiga, YLKI mampu berperan besar, khususnya dalam gerakan menyadarkan konsumen terhadap hak-haknya. 112 Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan. 113 Selanjutnya pergerakan pemberdayaan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah, seminar, tulisan, dan media massa. Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang akhirnya disahkan menjadi UUPK pada tanggal 20 April 1999. 114 UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK dihasilkan dari hak inisiatif DPR yang notabene hak itu tidak pernah digunakan sejak zaman Orde Baru berkuasa pada tahun 1966. 115 Pembentukan UUPK tersebut tidak terlepas dari dinamika politik di Indonesia. Iklim politik yang lebih demokratis ditandai dengan gerakan reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B.J. Habbibie. Kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan, bersamaan dengan itu pula tuntutan untuk mewujudkan UUPK semakin menguat. 116 112 Zulham, Op.cit, hal. 36. 113 Shidarta, Op.cit. hal. 51. 114 Zulham, Loc. cit. 115 Shidarta, Op.cit., hlm. 52. 116 Zulham, Loc.cit. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pembentukan UUPK di Indonesia adalah munculnya beberapa kasus yang Universitas Sumatera Utara merugikan konsumen dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak memuaskan konsumen. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 30Pid.B1990PNTng dengan Kasus Republik Indonesia v. Tan Chandra Helmi dan Gimun Tanno yang dikenal dengan kasus biscuit beracun, gugatan konsumen hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban atau konsumen tidak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian atas dasar tuntutan perdata. Dalam p utusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 3138KPdt1994PN.Jkt.Pst dan putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3138KPdt1994. kasus Janizal dkk v. PT. Kentamik Super International yang dikenal dengan kasus Perumahan Naragong Indah, pihak pengembang dimenangkan bahkan pihak pengembang menggugat balik konsumen, karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik. 117 Faktor lain yang juga turut mendorong pembentukan UUPK di Indonesia adalah perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization WTO, maupun program International Monetary Fund IMF, dan Program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap Pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan. 118 117 Ibid., hlm. 37. 118 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Pengertian dan ruang lingkup konsumen, hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen a. Pengertian dan ruang lingkup konsumen Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer Inggris-Amerika, atau consumentkonsument Belanda. Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer itu adalah “lawan dari produsen setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 119 Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 120 119 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Jakarta: Diadit Media, 2002, hlm. 3. 120 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. Ketiga, Ed. Pertama, Jakarta: SInar Grafika, 2011, hlm. 23. Universitas Sumatera Utara A.Z Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: 121 1 Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; 2 Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang danjasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barangjasa lain untuk diperdagangkan tujuan komersial; 3 Konsumen Akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang danatau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali nonkomersial. Sedangkan pengertian konsumen dalam UUPK Pasal 1 Angka 2, menyatakan bahwa, konsumen adalah setiap orang pemakai barang danjasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 122 b. Pengertian dan ruang lingkup hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum. Kedudukannya cenderung bercorak cross sectoral. Dalam science tree hukum berdasarkan data dari konsorsium ilmu 121 Az. Nasution, Op. cit. hal. 13. 122 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi: Pembahasan Dilengkapi Dengan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Cet. Kedua, Ed. Revisi, Bandung: Nuansa Aulia, 2010, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara hukum, hukum konsumen digabungkan dengan hukum persaingan dengan nama Antitrust and Consumers Protection. Jadi, hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum, yaitu merupakan bagian dari jangkauan transnasional dari hukum dagang yang seterusnya bagian dari hukum dagang III dengan cabang besarnya hukum dagang. 123 M.J.Leder menyatakan: In a sense there is no such creature as consumer law. 124 Yang pada intinya ia tidak mengakui adanya hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu memiliki pengertian seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni: “… rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”. 125 Mengingat dikarenakan posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan pengayoman kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit Yang artinya adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengakui adanya kelemahan dalam posisi tawar seorang konsumen dan mencegah kelemahan itu di manfaatkan secara tidak adil. 123 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hlm. 22. 124 Shidarta, Op.cit., hlm. 9. 125 Ibid. Universitas Sumatera Utara dipisahkan dan ditarik batasnya. 126 Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas dari itu. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang danatau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. 127 Sedangkan hukum perlindungan konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang danatau jasa konsumen. 128 Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum hak-hak konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan 126 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, hlm. 13. 127 Shidarta, Op.cit. hlm. 11. 128 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 46. Universitas Sumatera Utara peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. 129 Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi: informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. 130 Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang 129 Ibid. 130 Ibid. hlm. 47. Universitas Sumatera Utara mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 131 3. Dasar hukum perlindungan konsumen di Indonesia Perlindungan terhadap kepentingan konsumen pada dasarnya sudah diakomodasi oleh banyak perangkat hukum sejak lama. Secara sporadis berbagai kepentingan konsumen sudah dimuat dalam berbagai undang-undang, antara lain sebagai berikut: 132 a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Barang Menjadi Undang-Undang. b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 Tentang Metrologi Legal d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 Tentang Perindustrian f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan g. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan i. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 131 Ibid. 132 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Cet. Pertama, Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008, hlm. 19-20. Universitas Sumatera Utara j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup Kemudian pada tahun 1999 diundangkanlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kehadiran UUPK ini menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Undang-undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen. 133 Undang-undang Perlindungan Konsumen UU Nomor 8 Tahun 1999 memiliki tujuan sebagai berikut: 134 a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang danatau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan infirmasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 133 Ibid., hlm. 20. 134 Ibid., hlm. 21. Universitas Sumatera Utara f. Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen juga ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa diantaranya akan diuraikan sebagai berikut. 135 a. Undang-Undang Dasar dan ketetapan MPR Hukum konsumen, terutama hukum perlindungan konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi: ... Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ... Di dalam alinea tersebut terdapat kata “melindungi”, di dalam kata melindungi tersebut terkandung asas perlindungan hukum pada segenap bangsa Indonesia. Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR telah menetapkan berbagai ketetapan MPR sejak tahun 1978 sampai dengan ketetapan terakhir MPR tahun 1993. Yang paling menonjol dari TAP- 135 Az. Nasution, Op. cit., hlm. 31. Universitas Sumatera Utara MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dan kosumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi: ... meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen ... Dengan susunan kalimat yang demikian, terlihat lebih jelas arahan MPR tentang kekhususan kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. b. Hukum konsumen dalam hukum perdata Yang dimaksud dengan hukum perdata dalam hal ini adalah hukum perdata dalam arti luas yang mencakup hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis hukum adat. Jika dirangkup secara keseluruhannya, terlihat bahwa kaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara oelaku usaha penyedia barang danatau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing terlihat termuat dalam: 1 KUHPer, terutama dalam buku kedua, ketiga dan ke-empat. 2 KUHD, buku kesatu dan buku kedua. 3 Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan kosumen. Beberapa Universitas Sumatera Utara diantaranya adalah: Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan UU No. 14 Tahun 1992, Undang-Undang tentang Kesehatan UU No. 23 Tahun 1992, Undang-Undang tentang Pangan UU No 7 Tahun 1996, Undang-Undang tentang Perlindungan Kosumen UU No. 8 Tahun 1999, dan lainnya. c. Hukum konsumen dalam hukum publik Hukum publik disini dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. 136 1 Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan atau hukum perlindungan konsumen, yakni hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata, dan atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional. Di dalam beberapa peraturan perundang-undangan dapat terlihat bahwa beberapa departemen atau lembaga pemerintah dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan perundang-undangan tersebut. Berikut beberapa contohnya: 136 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1979, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. 2 Dalam Undang-Undang Kesehatan UU No. 23 Tahun 1992, dalam pasal 73 ditentukan: Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan Dalam pasal 76 Undang-Undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedang Pasal 77 menegaskan wewenang pemerintah untuk mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melanggar Undang-Undang UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 77. B. Aspek Perlindungan Konsumen Terhadap Pihak Penanam Modal InvestorBuyer dalam Pelaksanaan Konsep Investasi Kondominium Hotel Pada dasarnya aspek perlindungan konsumen dalam pelaksanaan konsep investasi kondomnium hotel dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dalam ketentuan-ketentuan mengenai rumah susun yang berlaku di Indonesia UU No. 20 Tahun 2011 tentang rumah susun dan PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun, berikut penjelasannya. Universitas Sumatera Utara 1. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pihak pengembang dapat diartikan sebagai pelaku usaha dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel. Hal ini dapat disimpulkan dari pengertian pelaku usaha sebagai berikut. Dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun buka badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan Undang-Undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedangang, distributor dan lain-lain. 137 Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usaha sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna penjualan. Hal tersebut tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi olek pelaku usaha. 138 137 Az. Nasution, Op. cit., hlm. 17. 138 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. Pertama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 54. Selain itu, pelaku usaha juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur Universitas Sumatera Utara mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, hal ini disebabkan karena informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk cacat informasi, yang akan sanagat merugikan konsumen. 139 Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Di dalam konteks konsep investasi kondominium hotel, kerugian yang mungkin terjadi tentunya hanya berupa kerugian yang menimpa harta benda. Kerugian harta benda dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan. Kewajiban- kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentunya juga melekat pada pihak pengembang sebagai pelaku usaha dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel agar pihak penanam modal sekalu konsumen tidak dirugikan. 140 Di dalam Pasal 19 ayat 1 UUPK dinyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan Dalam aspek perlindungan konsumen di Indonesia, ketentuan mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hal kerugian konsumen dalam diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK pasal 19 sampai dengan pasal 28. 139 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hlm. 44. 140 Ahmadi Miru, Op. cit., hlm. 133. Universitas Sumatera Utara atau diperdagangkan. Memperhatikan substansi pasal 19 ayat 1 UUPK tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi: 141 a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Berdasarkan pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen dalam hal ini pihak penanam modal dilindungi oleh hukum atas kerugian-kerugian umum yang mungkin timbul setelah dilaksanakannya jual-beli unit kondominium hotel. Selain daripada tanggung jawab secara umum tersebut, pihak pengembang sebagai pelaku usaha juga mengemban tanggung jawab untuk memenuhi garansi yang telah diperjanjikan. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel, biasanya pihak pengembang juga memberikan fasilitas garansi kepada pihak penanam modal dalam hal return guarantee. Return guarantee merupakan pendapatan atau jumlah tetap sesuai dengan yang telah diperjanjian oleh pihak pengembang yang akan diterima oleh penanam modal selama jangka waktu tertentu. 142 Pengaturan mengenai pelaksanaan garansi ini diatur dalam pasal 25 UUPK. Ketentuan pasal ini memperlihatkan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat dalam tahapan pelaksanaan kontrak, tetapi juga mengikat dalam tahapan pasca pelaksanaan kontrak. 143 141 Ibid., hlm. 125. 142 Lampiran I 143 Ahmadi Miru, Op. cit., hlm. 157. Sesuai dengan ketentuan pasal ini, pelaku usaha dalam hal ini pihak pengembang wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjian. Universitas Sumatera Utara Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada umunya dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel pihak pengembang menggunakan klausula baku dalam pembuatan perjanjian antara pihak pengembang dengan pihak penanam modal. Hal ini tentunya membuka kemungkinan dirugikannya pihak penanam modal karena klausula baku adalah suatu peraturan yang hanya dirancang oleh satu pihak, pihak yang lain hanya dapat menolak ataupun menyetujui perjanjian tersebut. Karena adanya kemungkinan dirugikannya konsumen, maka di dalam UUPK juga diatur mengenai pencantuman kausula baku dalam suatu perjanjian. Pencantuman klausula baku diatur didalam pasal 18 UUPK. Berikut isi pasalnya: Pasal 18 1 Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat danatau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila; a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langusng maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara anggaran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan Universitas Sumatera Utara lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. 3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum. 4 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Penjelasan Ayat 1 Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip dasar berkontrak. Jika memperhatikan penjelasan pasal 18 angka 1 UUPK, dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha. 144 Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian anatara konsumen dengan produsen kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang dalam istilah Belanda dikenal dengan “misbruik van omstadigheden”. 144 Ibid., hlm. 112. Universitas Sumatera Utara Penyelahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. 145 Setelah lahirnya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin baik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK, dilarang memuat kalusula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen atau pelaku usaha.pembatasan atau larangan untuk memuat kalusula-klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen. 146 2. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun serta Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun Hal ini tentunya juga berlaku di dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel. Walaupun dalam perumusannya mencantumkan kalusula baku, namun pihak pengembang tidak dapat mengenyampingkan kepentingan-kepentingan dari pihak penanam modal sekalu konsumen. 145 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung: Modar Maju, 1994, hlm. 61. 146 Ahmadi Miru, Op. cit., hlm. 124. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun UURS sudah bersifat melindungi konsumen. Dalam hal pembangunan rumah susun, pengembang harus memenuhi 3 tiga persyaratan dalam membangun rumah susun, yakni: persyaratan administratif; persyaratan teknis; dan persyaratan ekologis. 147 Dalam hal pemasaran dan jual beli rumah susun, UURS memungkinkan pelaku usaha untuk melakukan pemasaran sekalipun pembangunan rumah susun belum dilaksanakan. Selain itu, hal-hal umum seperti: perencanaan pembangunan, sertifikat laik fungsi, penyediaan tanah, peningkatan kualitas, prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan rumah susun juga telah diatur dengan baik dan jelas dalam UURS. Hal ini tentunya membuat konsumen kondominium hotel tidak perlu khawatir lagi dalam kualitas dan pembangunan kondominium yang akan dibelinya. 148 Hal ini merupakan salah satu ketentuan pembeda antara UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun dengan Undang-Undang pendahulunya yakni UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Dalam UU No. 16 Tahun 1985 diatur bahwa “satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan”. 149 147 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 24. 148 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 42, Angka 1. 149 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Bab VII, Pasal 18, Angka 1. ketentuan ini tentunya berubah karena terjadinya perkembangan zaman. Banyak pengembang rumah susun pada zaman itu yang merasa terbebani karena harus menanggung beban modal yang sangat Universitas Sumatera Utara besar dalam pembangunan rumah susun sebelum dapat memasarkan unit-unitnya. Selain itu, harga satuan unit rumah susun yang dijual oleh pengembang setelah rumah susun selesai dibangun tentunya lebih mahal dan akan memberatkan konsumen. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang seperti demikian, maka pemerintah melalui Menteri Perumahan Rakyat mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11KPTS1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun pada tanggal 17 November 1994 yang memberikan keleluasaan kepada para pengembang pembangunan rumah susun sehingga dapat menjual satuan-satuan rumah susunnya kepada masyarakat walaupun pembangunannya belum selesai dilaksanakan. Ketentuan SK MENPERA ini kemudian dikembangkan dan diadopsi oleh UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Namun, tentunya ketentuan ini juga diikuti dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengembang sebelum memasarkan satuan rumah susunnya, yakni: 150 a. Kepastian peruntukan ruang; b. Kepastian hak atas tanah; c. Kepastian status penguasaan rumah susun; d. Perizinan pembangunan rumah susun; dan e. Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. 150 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 42, Angka 2. Universitas Sumatera Utara Selain itu, segala sesuatu yang dijanjikan oleh pengembang kepada konsumen dalam proses pemasaran rumah susun juga mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli PPJB bagi para pihaknya. 151 Namun, sebaik apapun suatu peraturan dibuat tetap saja masih akan meninggalkan ruang-ruang yang harus dikembangkan di kemudian hari. Hal ini dapat disimpulkan dari beberapa pasal yang terdapat di dalam UURS. Dalam UURS, diatur bahwa pemilik satuan rumah susun wajib membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun PPPSRS. 152 151 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 42, Angka 3. 152 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab X, Pasal 74, Angka 1. Keikutsertaan pengembang dalam pembentukan dan pelaksanaan PPPSRS seharusnya sudah harus ditiadakan sejak serah terima bangunan. Namun, dalam kenyataannya justru kebanyakan pihak pengembang yang menjabat di dalam PPPSRS. Akibatnya, ADART PPPSRS disusun berdasarkan selera pengembang dan dalam penyusunannya tidak mengikutsertakan pihak konsumen rumah susun. Hal ini tentunya akan menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan yang akan menguntugkan pihak pengembang dalam pelaksanaan tugas-tugas dan pengambilan keputusan oleh PPPSRS. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya klausula baku yang dicantumkan di dalam perjanjian penyerahan hak sewa kelola yang mengharuskan pihak konsumen menyerahkan kuasa kepada pihak pengembang dalam menjalankan PPPSRS. Seharusnya UURS mengatur secara jelas bahwa kewajiban konsumen rumah susun dalam pembentukan dan pelaksanaan PPPSRS tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Universitas Sumatera Utara Dalam hal pelaksanaan sertifikasi rumah susun, dapat dilihat secara berurutan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun. Salah satu hal yang diatur di dalamnya adalah ketentuan mengenai Izin Layak Huni yang pada intinya pihak pengembang berkewajiban mengajukan permohonan izin layak huni setelah menyelesaikan pembangunannya. 153 3. Upaya hukum yang dapat dilakukan pihak penanam modal investorbuyer dalam hal terjadi sengketa Pada dasarnya, pengaturan mengenai Izin Layak Huni ini telah diadopsi ke dalam UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Hal ini terjadi karena PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun hanya berupa pengaturan lanjutan atas UU No. 16 Tahun 1985. Sedangkan untuk UURS yang baru yakni UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, belum ada Peraturan Pemerintah yang diterbitkan untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang tersebut sampai sekarang April 2014. Secara umum, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang penanam modal selaku konsumen kondominium hotel dalam hal terjadi sengketa dapat dibedakan menjadi 2 dua bagian, yakni: a. Upaya hukum litigasi Upaya hukum litigasi adalah upaya hukum yang dilakukan melalui jalur peradilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku 153 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Bab IV, Pasal 35, Angka 1. Universitas Sumatera Utara di Indonesia. 154 Pasal 45 Angka 1 UUPK menyatakan “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.” 155 Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, ada 4 empat kelompok penggugat yang dapay menggugat atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, sebagai berikut: 156 1 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2 Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; 3 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; 4 Pemerintah danatau instansi terkait jika barang danatau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit. 154 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Cet. Pertama, Bandung: Nusa Media, 2010, hlm. 86. 155 Shidarta, Op. cit., hlm. 168. 156 Abdul Halim Barkatullah, Op. cit., hlm. 85. Universitas Sumatera Utara Pada klasifikasi kedua, dipaparkan bahwa gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini berbeda dengan gugatan dengan mewakilkan kepada orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 123 Angka 1 HIR. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action. 157 Pasal 45 Angka 1 dan Pasal 46 Angka 2 UUPK memang terkesan hanya membolehkan gugatan konsumen diajukan ke langkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi peradilan tata usaha negara. Sekalipun demikian, masih terbuka penafsiran lain melalui celah yang dibuka oleh Pasal 46 Angka 2 UUPK. Pasal ini menunjuk gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM, dan pemerintah, harus diajukan ke peradilan umum. Sementara itu, untuk gugatan yang diajukan oleh konsumenahli warisnya secara individual tidak ditetapkan lingkungan peradilannya. 158 b. Upaya hukum non-litigasi Upaya hukun non-litigasi adalah upaya hukum yang dilakukan di luar pengadilan. Untuk mengatasi keberlikuan proses peradilan, UUPK memeberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian 157 Shidarta, Op. cit., hlm. 170. 158 Ibid., hlm. 172. Universitas Sumatera Utara sengketa di luar pengadilan. 159 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. 160 Secara umum, upaya hukum non-litigasi lebih digemari karena dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis yang sudah terjalin antara para pihaknya. Di samping itu, ada beberapa alasan yang mendasari orang-orang untuk lebih memilih upaya hukun non-litigasi, yakni: 161 1 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat 2 Biaya per perkara yang mahal 3 Pengadilan pada umumnya tidak responsif 4 Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah 5 Kemampuan para hakim yang bersifat generalis Terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa secara non-litigasi. Berikut merupakan beberapa cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. 1 Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. 159 Ibid., hlm. 175. 160 Abdul Halim Baratullah, Op. cit., hlm. 86. 161 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 240-247. Universitas Sumatera Utara Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak tersebut telah mencantumkan klausul arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa di antara mereka. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. 162 2 Konsiliasi Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh secara non-litigasi. Konsiliasi ini juga dimungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dan konsilitator tersebut tidak bersifat mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Ketidakterikatan para pihak 162 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Cet. Pertama, Ed. Pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 160. Universitas Sumatera Utara terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang dihadapi oleh para pihak tersebut menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak. 163 3 Mediasi Mediasi sebagai salah satu alternatif prnyelesaian di luar pengadilan, di samping sudah dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia, juga merupakan salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang ada. 164 Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat pihak netral, yaitu mediator, yang memudahkan negosiasi antara para pihak untuk membantu mereka dalam mencapai kompromikesepakatan. 165 Jasa yang diberikan oleh mediator tersebut adalah menawarkan dasar-dasar penyelesaian sengketa, namun tidak memberikan putusan atau pendapat terhadap sengketa yang sedang berlangsung. Meskipun kekurangan kekuatan mengikat, karena tidak memberikan putusan dalam proses mediasi, akan tetapi keterlibatan mediator akan mengubah dan mempengaruhi dinamika negosiasi. 166 163 Ibid., hlm. 162-163. 164 Ibid., hlm. 163. 165 Ibid., hlm. 164. 166 Ibid., hlm. 165. Universitas Sumatera Utara Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing- masing. 167 4 Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan snegketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK dibentuk oleh pemerintah di daerah tingkat II kabupatenkota untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Sebagai badan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, putusan BPSK bersifat final dan mengikat, tanpa upaya banding dan kasasi. 168 Penyelesaian sengketa melalui BPSK dengan arbitrase dan ADR Alternative Dispute Resolution tidak serta merata sama secara keseluruhan, karena BPSK diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sedangkan arbitrase dan ADR daitur dalam Undang- 167 Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 392-393. 168 Zulham, Op. cit., hlm. 142. Universitas Sumatera Utara Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 169 Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK akan membentuk majelis yang berjumlah harus ganjil, paling sedikit 3 tiga orang yang mewakili semua sunsur pemerintah, konsumen, pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera. Untuk menghindari proses yang penyelesaian sengketa yang berlarut-larut. UUPK memberikan batasan kepada BPSK. Setelah gugatan diterima, BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja. 170 Diluar tugas penyelesaian sengketa, Pasal 52 UUPK juga menetapkan tugas dan wewenang BPSK, yaitu: Selain itu, dalam Pasal 56 UUPK juga diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan putusan yakni paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak penerimaan putusan BPSK. 171 a Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; b Melakkan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; c Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK; d Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 169 Ibid. 170 Ibid., hlm. 145. 171 Shidarta, Op. cit., hlm. 179. Universitas Sumatera Utara e Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; f Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; g Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK; h Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; i Mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan; j Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; k Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; l Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK. Namun, kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditanganinya hanya mencakup pelanggaran Pasal 19 angka 2, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Universitas Sumatera Utara Sanksi yang dijatuhkannya hanya berupa sanksi administratif. 172 Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang bernuansa pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. 173 172 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab XIII, Pasal 60. 173 Shidarta, Op. cit., hlm. 180. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Kajian Yuridis Terhadap Koperasi Apabila Berubah Menjadi Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

6 141 96

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Remisi Kepada Narapidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Dikaitkan Dengan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

4 85 110

Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/Pdtg/2010/Ms-Lgs)

1 55 74

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Konsep Investasi Kondominium Hotel Di Indonesia

0 42 155

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012

5 63 86

Tinjauan Yuridis Terhadap Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan Hong Kong Special Administrative Region Di Bidang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

0 48 150

Tinjauan Yuridis Terhadap Pembangunan Rumah Susun Yang Dibangun Dengan Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

1 74 127

Tinjauan Yuridis Terhadap Dana Talangan Haji Berdasarkan Hukum Islam (Studi Kasus Di Bank Sumut Syariah Cabang Medan)

0 71 142

Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa Oleh Hakim

2 64 129

Tinjauan Yuridis Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Pemberian Likuiditas Pada Bank Umum (Studi Kasus PT. Bank Century, Tbk)

0 69 135