Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/Pdtg/2010/Ms-Lgs)

(1)

1

TUA TERHADAP ANAKNYA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LANGSA

(Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 090200341 SELLA SARTIKA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERKAWINAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA DI MAHKAMAH

SYAR’IYAH LANGSA

(Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 090200341 SELLA SARTIKA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan, SH, M.A Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum NIP. 196302161988031002 NIP. 197512102002122001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orangtua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan oleh Orangtua terhadap Anaknya di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus di

Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara

238/PdtG/2010/MS-LGS) sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari, dalam penyajiannya terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut:

1. Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, beserta Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin, SH. MH. D.F.M. selaku


(4)

Pembantu Dekan II, Bapak Muhammad Husni SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH. M.A selaku dosen Pembimbing I yang telah membantu penulisan skripsi ini dan memberikan banyak masukan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum selaku dosen Pembimbing II yang telah membantu dalam penyempurnaan skripsi ini dan memberikan banyak masukan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada kedua orangtua saya, papa saya H. Jauhari Amin SH MH dan mama tercinta Hj. Sri Kemala Nurli SE, karena atas dorongan mereka saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua saya dalam membiayai dan membesarkan saya maka saya dapat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga saya sampai kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.

6. Kepada Adik kesayangan saya Faridz Mawardi yang telah mendukung saya.

7. Kepada ibu Hj. Dewi Nursanti, SH, MH yang telah membantu saya dalam mencari data-data untuk melengkapi skripsi saya ini.


(5)

8. Bapak Drs Aziz SH MH dan Bapak Sakwanah, S.Ag,MH selaku Hakim di Mahkamah Syar’iyah Langsa yang banyak membantu dan memberikan informasi kepada penulis.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara telah memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta kepada pegawai-pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10.Kepada sahabat-sahabat penulis selama menjalani masa perkuliahan yang

selalu mendukung dan memotivasi penulis, yang menamakan diri sebagai kelompok GG yaitu: Sophie Khanda Aulia Brahmana-Sophie Dhinda Aulia Brahmana, Lailan Hafni Harahap, Sitiara Manik, Seviola Islaini, Meilisa Bangun, Carina Etta Siahaan, Pasca Putri Q. Purba, Erika, Yuthi Sinari, Jennifer dan Vilany Lafiza yang selalu mendukung dan membantu dalam penulisan skripsi ini.

11.Kepada kelompok AAYD Tommy Elvani Siregar, Mario Tondi Natio Simamora, Enriko Abianto Lumban Tobing, Putra Ananta Silalahi, Agung Setiadi, Timbul Tua Marojahan, Awlia Sofwan Lubis, Adri Hariadi, Iswanda Abdullah Situmorang dan Irvan Deriza juga selalu mendukung dalam penulisan skripsi ini.

12.Kepada Dewina Ulfah Nasution yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis.

13.Kepada Liza Agnesta Krisna, SH, MH yang selalu memberi bantuan dan dukungan kepada penulis.


(6)

14.Kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam berbagai cara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan semoga apa yang telah kita lakukan mendapat rahmat dan ridho dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat

Medan, Maret 2013 Penulis,


(7)

ABSTRAK

Sella Sartika1 Edy Ikhsan2 Yefrizawati3

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam suatu perkawinan terkadang dapat dilakukan suatu pembatalan perkawinan. Salah satu kasusnya yaitu putusan/penetapan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 238/Pdt.G.2010/MS-LGS tanggal 19 Januari 2011, di mana orang tua dalam hal ini bapak kandung mengajukan gugatan terhadap perkawinan anaknya yang dinilai cacat hukum, hal tersebut disebabkan karena pernikahan tersebut tidak ada wali sahnya sewaktu pelaksanaan pernikahan berlangsung, padahal wali nasabnya yaitu bapak dari anak perempuan tersebut masih hidup. Adapun permasalahan yang di bahas adalah apa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya, bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya, serta apa akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap perkawinan anaknya.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer, metode pengumpulan merupakan studi kepustakaan dan studi lapangan sedangkan analisa datanya adalah kualitatif.

Dilakukannya pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya dikarenakan perkawinan tersebut dilakukan tanpa wali nasab yang sah atau ayahnya sehingga salah satu rukun nikah tidak terpenuhi, selain itu dalam perkawinan tersebut telah dilakukan manipulasi identitas oleh petugas dan penyalahgunaan wewenang. Hakim mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan tersebut karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 2 PERMA Nomor 2 Tahun 1987 jo Pasal 23 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu jika wali nasab enggan menikahkan maka harus dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama dan menurut Pasal 71 ayat e Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, karena hal tersebut maka berhak dilakukan pembatalan terhadap pernikahan tersebut.

Kata kunci: Perkawinan, Pembatalan Perkawinan

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3


(8)

B. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan ... 39

C. Alasan Pembatalan Perkawinan ... 40

D. Saat Mulai Berlakunya Pembatalan Perkawinan ... 46

E. Akibat Pembatalan Perkawinan ... 46

BAB IV PEMBATALAN PERKAWINAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LANGSA (Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS A. Kasus Posisi ... 52

B. Fakta dan Dasar-dasar Hukum yang Dipakai Oleh Kedua Belah Pihak... 54

C. Pertimbangan Hakim dari Majelis Hakim ... 55

D. Kesimpulan atau Isi Vonnis ... 59

E. Analisis ... 60

1. Faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya ... 60

2. Pertimbangan hakim ... 64

3. Akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua/wali terhadap anaknya ... 66

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(9)

ABSTRAK

Sella Sartika1 Edy Ikhsan2 Yefrizawati3

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam suatu perkawinan terkadang dapat dilakukan suatu pembatalan perkawinan. Salah satu kasusnya yaitu putusan/penetapan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 238/Pdt.G.2010/MS-LGS tanggal 19 Januari 2011, di mana orang tua dalam hal ini bapak kandung mengajukan gugatan terhadap perkawinan anaknya yang dinilai cacat hukum, hal tersebut disebabkan karena pernikahan tersebut tidak ada wali sahnya sewaktu pelaksanaan pernikahan berlangsung, padahal wali nasabnya yaitu bapak dari anak perempuan tersebut masih hidup. Adapun permasalahan yang di bahas adalah apa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya, bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya, serta apa akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap perkawinan anaknya.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer, metode pengumpulan merupakan studi kepustakaan dan studi lapangan sedangkan analisa datanya adalah kualitatif.

Dilakukannya pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya dikarenakan perkawinan tersebut dilakukan tanpa wali nasab yang sah atau ayahnya sehingga salah satu rukun nikah tidak terpenuhi, selain itu dalam perkawinan tersebut telah dilakukan manipulasi identitas oleh petugas dan penyalahgunaan wewenang. Hakim mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan tersebut karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 2 PERMA Nomor 2 Tahun 1987 jo Pasal 23 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu jika wali nasab enggan menikahkan maka harus dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama dan menurut Pasal 71 ayat e Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, karena hal tersebut maka berhak dilakukan pembatalan terhadap pernikahan tersebut.

Kata kunci: Perkawinan, Pembatalan Perkawinan

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan naluri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam melakukan hubungan biologis dan berkeluarga.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 1 bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Tujuan perkawinan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 di atas adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna tercipta kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai atas ridha Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu perkawinan semata-mata bukan untuk kepentingan suami istri yang bersangkutan, melainkan juga termasuk kepentingan anak-anaknya atau orang tuanya dan kerabatnya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur mengenai sahnya suatu perkawinan yaitu pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan hukum Islam di Indonesia untuk mengadakan akad perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu :

Rukun perkawinan tersebut meliputi: 1. Adanya calon suami istri, 2. Wali nikah,

3. Dua orang saksi, dan 4. Lafal ijab kabul

Berdasarkan pasal di atas jelaslah jika suatu perkawinan tidak memenuhi rukun perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah baik secara agama maupun secara negara. Untuk mencegah terjadi perkawinan yang tidak sah pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut UUP) pada Pasal 60 mengatur mengenai pencegahan


(11)

perkawinan. Pencegahan perkawinan dilakukan pada saat perkawinan belum berlangsung dengan mengajukan pencegahan tersebut kepada pengadilan pada daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan serta memberitahukan kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan.

Namun apabila perkawinan telah berlangsung maka dapat dilakukan pembatalan Pasal 22 UUP menyebutkan :

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Seperti pada kasus pembatalan perkawinan dalam putusan/penetapan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 238/Pdt.G.2010/MS-LGS tanggal 19 Januari 2011, dimana orang tua dalam hal ini (Ayah/Bapak) kandung yang bernama Syafruddin Bin Daud sebagai Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan anak perempuannya. Pada kasus ini Tergugat I adalah Pahrim sebagai PNS PPN KUA Kec.Labuhan Deli, Tergugat II Yessy Sicnorina, dan Tergugat III Riza Rahmad yang melangsungkan pernikahan pada hari Kamis tanggal 30 September 2010 di KUA Kec.Labuhan Deli kab Deli Serdang. Bahwa pernikahan Tergugat II dan Tergugat III yang dilaksanakan tersebut dinilai cacat hukum baik dari sudut pandang Hukum Islam maupun sudut pandang Hukum Positif, dikarenakan pernikahan tersebut tidak ada wali nasabnya yaitu Ayah kandungnya sewaktu pelaksanaan pernikahan berlangsung, padahal wali nasabnya yaitu Ayah dari anak perempuan tersebut masih hidup. Namun pada kasus ini setelah mendapatkan putusan pembatalan perkawinan oleh pengadilan Mahkamah Syar’iyah kota Langsa Tergugat II dan Tergugat III masih hidup bersama. Hal ini menjadi fenomena menarik bagi penulis untuk mencermati lebih dalam tentang pembatalan perkawinan, maka penulis mengangkat skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan oleh Orang Tua terhadap anaknya di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS)”.

B.Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Apa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya?


(12)

3. Apa akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua/wali terhadap perkawinan anaknya?

C.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan

perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan

permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya.

3. Untuk mengetahui akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap status anaknya.

D.Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi kalangan akademis dan masyarakat yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anknya.

b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang Hukum Perdata.


(13)

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai kajian hukum terhadap pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya.

b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para hakim tentang pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya.

E.Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum deskriptif. Penelitian deskriptif ialah suatu bentuk penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.4 Selain itu skripsi ini juga menganalisis putusan Mahkamah Syar’iyah Langsa yang menyangkut masalah Pembatalan Perkawinan yang dilaporkan oleh orang tuanya.

2. Metode pendeketan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam skripsi ini ialah metode pendekatan secara kualitatif yaitu metode pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan studi kasus dengan pedoman wawancara untuk mendapatkan hasil kesimpulan dari permasalahan didalam skripsi ini.5

4

di akses pada tanggal 9 juni 2013 5


(14)

3. Data dan sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder didukung dengan data primer. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian adalah :

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam;

3) Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.


(15)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Penggunaan data primer dalam bentuk hasil wawancara hanya berfungsi untuk memenuhi persoalan yang dikaji lebih baik dan sekaligus untuk mendukung studi normatif yang dilakukan.

4. Metode Pengumpulan Data

a. Studi kepustakaan (library research), yakni studi dokumen dengan

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan.

b. Studi lapangan (field research), yakni studi lapangan dengan melakukan

wawancara dengan para informan yaitu hakim dari Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa, Para penggugat dan Tergugat, serta Akademis Hukum.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data mengkualifikasikan kemudian menghubungkan fakta-fakta


(16)

yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.

F. Keaslian Penelitian

Skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan oleh Orang Tua terhadap Anaknya di Mahkamah Syar’iyah langsa (Studi kasus di pengadilan Mahkamah syar’iyah kota Langsa Nomor Perkara 238/PdtG.2010/MS.Lgs)”telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sepengetahuan penulisan belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Maka apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk mempertanggungjawabkannya secara moral dan ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas, adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan, bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika penelitian.


(17)

Bab II merupakan pengaturan perkawinan di Indonesia, bab ini menjelaskan tentang hukum positif tentang perkawinan, pihak-pihak yang berkompeten dalam pelaksanaan perkawinan, tujuan perkawinan, perjanjian perkawinan, pencegahan perkawinan, dan batalnya perkawinan.

Bab III merupakan pembatalan perkawinan menurut hukum Islam, yang membahas pengertian pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan, alasan pembatalan perkawinan, saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dan akibat pembatalan perkawinan.

Bab IV merupakan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS), bab ini memaparkan hasil penelitian yang berupa kasus posisi, fakta dan dasar-dasar hukum yang dipakai oleh kedua belah pihak, pertimbangan hukum dari majelis hakim, kesimpulan atau isi vonis. Dari kesimpulan di atas terdapat analisis yang berupa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya, pertimbangan hakim, dan akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap anaknya.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan


(18)

yang dikemukan dalam skripsi ini, selanjutnya penulisan akan memberikan saran sebagai jalan keluar terhadap kelemahan-kelemahan yang ditemukan.


(19)

19

PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA

A.Hukum Positif tentang Perkawinan

Berbicara tentang hukum, maka yang senantiasa dimaksudkan adalah hukum pada saat ini atau pada saat tertentu di tempat tertentu yang sedang berlaku baik berupa tertulis maupun tidak tertulis, hukum ini diberi nama Hukum Positif atau disebut Hukum Berlaku (positief recht, geldend recht, atau stelling recht).6

Ilmu hukum positif berusaha mencari kausalitas (causaliteit) antara gejala-gejala

hukum di sekitar kita, yaitu antara hubungan gejala-gejala hukum itu. Hukum positif sebagai ilmu harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan azas-azas dan dasar yang diterimanya sebagai dasar sistem yang hendak dipakainya memang benar dan sesuai dengan realitas.7

Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum adat dan hukum agama. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan

penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara. Selain itu Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau Syar’iyah Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan

6

E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 21-22

7


(20)

warisan.8

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:

Bangsa Indonesia pernah mempunyai pengalaman yang sangat

mengesankan, yaitu ketika hendak merumuskan Undang-undang Perkawinan. Dengan alasan unifikasi hukum, pada tahun 1973 pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang perkawinan (RUUP). Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep Rancangan Undang-undang Perkawinan yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

Undang-undang Perkawinan ini terdiri dari 14 Bab, 67 pasal. Dalam undang-undang ini diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan mulai dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan-ketentuan peralihan, dan ketentuan-ketentuan penutup.

Hazairin Guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), dalam bukunya: “Tinjauan Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan

kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan undang-undang tersebut bertujuan untuk melengkapi hukum positif di Indonesia yaitu sesuatu

8

Abdoel Djamali, R, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.11


(21)

yang tidak diatur oleh hukum agama atau kepercayaan sehingga negara berhak mengaturnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya.9

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan undang, untuk menjalankan undang-undang. Pembentukkan peraturan pemerintah ini hanya bersifat teknis, yakni sebuah peraturan yang bertujuan untuk membuat Undang-Undang dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.10

Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 10 Bab, 49 pasal dalam peraturan pemerintah ini diatur mengenai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mulai dari ketentuan umum, pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta

perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, beristri lebih dari seorang, ketentuan pidana, dan penutup.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dibentuk dan dijadikan hukum positif di Indonesia pada tanggal 1 April 1975, dimana Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk atas dasar untuk melakukan Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

3. Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare”, yang diartikan

mengumpul kan bersama-sama, seperti mengumpul kan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Istilah ini dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi, sebagai terjemahan langsung dari dua perkataan tersebut.

Kompilasi Hukum Islam ini terdiri dari III buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab, buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari 6 Bab, dan buku III tentang Hukum Perwakafan yang terdiri dari 6 Bab. Yang keseluruhannya terdiri dari 229 Pasal. Buku I mengatur mengenai ketentuan umum, dasar-dasar perkawinan, peminangan, rukun dan syarat

perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristeri

9

K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 4 -5 10


(22)

lebih dari satu orang, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan masa berkabung. Buku II mengatur mengenai ketentuan umum, ahli waris, besarnya bagian, aul dan rad, wasiat, hibah. Sedangkan buku ke III mengatur tentang ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, perubahan, penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada awal penyusunannya tidak nampak pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu. Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. Kompilasi Hukum Islam ini diperuntukkan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh

Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat Ulama’ fikih. Secara substansial, Kompilasi Hukum Islam ini merupakan hukum normatif bagi Umat Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Instruksi Presiden selaku pemegang otoritas di bidang perundang-undangan.

B.Pihak-pihak yang Berkompeten dalam Pelaksanaan Perkawinan

Pihak-pihak yang harus ada dalam sebuah perkawinan menurut Pasal 14 KHI adalah :

1. Calon suami

Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai batas usia calon suami untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan batas usia calon suami mengacu kepada ketentuan UUP, hal ini disebutkan dalam Pasal 15 ayat 1 KHI.

Selain ketentuan mengenai batas usia, ada beberapa syarat untuk menjadi calon suami yaitu : Memiliki jenis kelamin harus pria atau laki-laki normal, beragama Islam, tidak dalam paksaan untuk melangsungkan sebuah pernikahan atau perkawinan, tidak memiliki empat atau lebih dari empat istri, tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh, bukan mahram calon istri, yakin bahwa calon istri


(23)

halal untuk dinikahi, mengerti hukum-hukum dan layak berumah tangga, tidak ada halangan perkawinan.11

2. Calon istri

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinan jika wanita tersebut sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan batas usia tersebut sama dengan Pasal 15 ayat 1 KHI. Ada beberapa syarat untuk menjadi calon mempelai wanita yaitu : Memiliki jenis kelamin harus wanita atau perempuan normal, beragama Islam, bukan mahram calon suami, mengizinkan wali untuk menikahinya, tidak dalam masa iddah, tidak sedang bersuami, belum pernah li’an, tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah.12

3. Wali nikah

Adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak penganten perempuan.13

Pasal 20 KHI mengatur beberapa syarat untuk menjadi wali yaitu : a. Haruslah beragama Islam,

Syarat ini berdasarkan Nash Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 28 yang artinya berbunyi :

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”

b. Berakal

Berakal adalah seseorang yang memiliki akal dan pikiran yang sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.

11

http://vanpierre.blogspot.com/2011/12/syaratsyaratcalonmempelaidan -ijab.html?m=1 diakses pada tanggal 12 juni 2013

12 Ibid 13

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal. 69


(24)

c. Baliq Telah dewasa d. Laki-laki.

Berjenis kelamin laki-laki yang normal.

Menurut hukum perkawinan islam, wali ada 3 yaitu :

1). Wali mujbir : wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seseorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang demi kebaikan bagi putrinya dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu.

b) Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedududkan putrinya (mahar mithl).

c) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.

d) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki (calon suaminya).

e) Jika putrinya tidak mengikrarkan bahwa ia tidak perawan lagi.

Meskipun wali mujbir dibolehkan untuk memaksakan putrinya untuk menikah dengan laki-laki, tetapi sangat dianjurkan minta lah persetujuan putrinya terlebih dahulu, sebab langkah ini lebih baik. Di samping itu kekuasaan wali mujbir menjadi hilang apabila putrinya telah janda dimaksud disini seorang wali mujbir tidak berhak untuk memaksa putrinya yang telah janda untuk dinikahkan dengan laki-laki.


(25)

Surat Al-Baqarah ayat 232, yang berbunyi14

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.”

:

2). Wali nasab : wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon penganten perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilineal (laki-laki).

3). Wali hakim : wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan Qadli. Pengertian wali hakim ini termasuk Qadli di pengadilan. Dalam masalah wali nikah ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa ketiga wali diatas harus berurutan. Artinya diawali dengan wali mujbir, lalu jika tidak adanya wali mujbir baru pindah ke wali nasab dan jika wali nasab tidak ada barulah pindah ke wali hakim. Wali nikah termasuk salah satu syarat dan rukun nikah. 4. Dua orang saksi

Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.

Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut15 a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Ini lah pendapat yang

dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdirir dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan (Ibnu al-Humam; 250), sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.

:

b. Kedua orang saksi itu adalah beragama Isalam. c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka .

14

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Cv Asy-Syifa, Semarang, 2000, hal 80

15


(26)

d. Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi laki-laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama dengan kedudukannya dengn seorang laki-laki (Ibnu al-Humam, 199; Ibnu Hazmin, 465)

e. lKedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. (Ibnu al-Humam:197)

f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

Pasal 25 KHI mengatur mengenai syarat saksi nikah yaitu :

“Seorang laki-laki muslim, adil, akil-balik, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”

Pasal 26 KHI juga menyatakan :

“Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah beserta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”.

5. Ijab dan Kabul

Ijab adalah pernyataan calon istri tentang kesediaannya dikawinkan dengan calon suami sedangkan kabul ialah jawaban pihak suami bahwa iya menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.16

Pasal 27 KHI menyatakan ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu.

Menurut jumhur ulama syarat ijab kabul sebagai berikut17 a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

:

16

pada tanggal 21 Agustus 2013 17


(27)

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

c. Memakai kata-kata nikah, tajwid, atau terjemahan darai kedua kata tersebut.

d. Antara ijab dan kabul bersambungan. e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.

f. Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang ihram haji atau umroh.

g. Majelis ijab dan kabul itu harus hadir minimum empat orang yaitu calon suami, wali dari calon istri, dan dua orang saksi.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 undang-undang perkawinan antara lain :

a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

b. Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.

c. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.

d. Adanya izin dari pengadilan yaitu jika batas umur yang dimaksud pada point diatas belum terpenuhi yaitu dengan dimintakan dispensasi kepada pengadilan.

e. Tidak ada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.

f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama kepercayaan mereka tidak melarang mereka menikah untuk yang ketiga kalinya.


(28)

g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

h. Tidak lewat waktu 10 hari sejak pelaporan kehendak kawin. i. Tidak ada pihak yang mengajukan pencegahan perkawinan. j. Tidak ada larangan perkawinan.

Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak sah. Dalam kitab al-fiqih ‘ala al-mazhib al-arabah’ah disebutkan bahwa nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.18

C.Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , artinya bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan ramah.

Menurut Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah, dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syar’iyah Islam.19

Ada lima tujan Perkawinan yaitu :

1. Memperoleh kehidupan sakiinah, mawaddah, dan rahmah

Sakiinah artinya tenang dan tentram. Mawaddah artinya cinta dan harapan. Rahmah artinya kasih saying.

18

Abdurahman al-Jaziry, kitab al-fiqih ‘ala al-mazahib al-arba’ah, maktabah al-tijariyah kurba jaz IV, hal. 118

19

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, yogyakarta, 1982, hal. 12.


(29)

Tiga kata utama tersebut sejatinya merupakan istilah khas Arab-Islam yang dirujuk dari QS. Ar-Rum ayat 21 yang artinya berbunyi20

“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)

:

Dalam perkembangannya, kata sakiinah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan ejaan yang disesuaikan menjadi sakinah yang berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Kata mawaddah juga sudah diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mawadah yang berarti kasih sayang. Mawaddah mengandung pengertian filosofis adanya dorongan batin yang kuat dalam diri sang pencinta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kehendak jiwa dari kehendak buruk. Adapun kata rahmah, setelah diadopsi dalam Bahasa Indonesia ejaannya disesuaikan menjadi rahmat yang berarti kelembutan hati dan perasaan empati yang mendorong seseorang melakukan kebaikan kepada pihak lain yang patut dikasihi dan disayangi.21

2. Reproduksi atau regenerasi

Tujuan ini adalah tujuan untuk memperoleh atau menghasilkan keturunan, yaitu anak yang sah. Memperoleh anak dalam perkawinan adalah tujuan untuk

20

Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 899 21


(30)

mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi ini, dapat dilihat dalam beberapa ayat yaitu :

a. Surat Asy-Syura ayat 11 yang artinya berbunyi22

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang baik dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

:

b. Surat An-Nahl ayat 72 yang artinya berbunyi23

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari ni’mat Allah”

:

Suami istri yang hidup berumah tangga tanpa kehadiran seorang anak, tentu akan terasa sepi dan hampa. Walaupun keadaan rumah tangga serba berkecukupan harta, berpangkat dan berkedudukan tinggi, semua itu tidak akan ada artinya apabila dalam rumah tangga tersebut tidak memiliki anak atau yang disebut keturunan. Kehadiran anak atau keturunan akan senantiasa memberikan arti tersendiri bagi setiap pasangan suami istri, karenanya kehadiran anak merupakan kesempurnaan dalam sebuah rumah tangga yang bahagia.

3. Pemenuhan kebutuhan biologis

Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dilihat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yaitu :

a. Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya berbunyi24

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,

:

22

Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 1078 23

Ibid, hal 587

24


(31)

maka jangan lah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”

b. Surat Al-Baqarah ayat 223 yang artinya berbunyi25

“Istri-istri mu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

:

c. Surat An-Nur ayat 33 yang artinya berbunyi26

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memapukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian, dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada mu. Dan jangan lah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri ingin kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”

:

4. Menjaga Kehormatan

Tujuan dari perkawinan ialah menjaga kehormatan, dimaksud dengan kehormatan ialah seorang suami atau istri menjaga kehormatan dirinya sendiri, anak, dan keluarga. Menjaga kehormatan harus menjadi kesatuan dengan tujuan pemenuhan biologis. Artinya di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Apabila hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seorang laki-laki atau perempuan dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya, lalu melakukan hubungan badan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tetapi dengan itu ia akan kehilangan kehormatannya. Sebaliknya dengan perkawinan dua kebutuhan tersebut dapat

25

Ibid, hal 76 26


(32)

terpenuhi kepada Allah, yakni kebutuhan seksualnya terpenuhi, demikan juga kehormatan terjaga.27

5. Ibadah

Tujuan perkawinan ini ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, Ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan ajaran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari ibadah.28

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah tujuan yang menyatu dan terpadu. Artinya semua tujuan itu harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh saling berkaitan. Tujuan reproduksi tidak bisa dipisahkan dari tujuan pemenuhan kebutuhan biologis, tujuan memperoleh kehidupan yang tentram penuh cinta dan kasih sayang, tujuan menjaga kehormatan dan tujuan ibadah.

D.Perjanjian Perkawinan

Perjanjian kawin di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian mengenai harta, antara calon suami dan calon istri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas. Perjanjian kawin memang tidak diharuskan, hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga disertai adanya perjanjian kawin terlebih dahulu. Namun perjanjian kawin itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara calon suami dan calon istri yang akan berumah tangga. Jika salah satu dari mereka tidak setuju, maka perjanjian tidak dapat dilakukan sebab hal ini tidak bisa dipaksakan, karena sifatnya yang tidak wajib. Tidak adanya perjanjian kawin tidak lantas menggugurkan status perkawinan, pembuat perjanjian kawin ini lebih didorong karena adanya kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka telah dilangsungkan.

Perjanjian perkawinan hanya diatur oleh satu pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan :

“pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

27

diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 28


(33)

oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overeenkomst), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet” (perikatan yang bersumber pada undang-undang).29

Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan sebagai satu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.

Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah.

30

Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatatan nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.31 Menurut Henry Lee A Weng perjanjian perkawinan lebih luas dari “huwelijksche voorwaarden” seperti yang diatur di dalam hukum perdata. Perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.32

Sebagaimana yang dimuat dalan Undang-Undang Perkawinan, ta’lik talak tidak termasuk ke dalam perjanjian. Alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal yang telah disebut menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah. Ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak wanita yang sebenarnya dijunjung tinggi oleh

29

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 29

30 Ibid 31

Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 39

32

Henry Lee A Weng, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, Rimbow, Medan, 1990, hal. 5


(34)

Islam.33

1. Calon suami dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Pasal 11 yang menyatakan :

2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.

Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyebutkan :

“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”

Adanya penjelasan pada Pasal 29 Undang-undang Perkawinan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Jadi, tampaknya ada pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik talak yang memuat perjanjian tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama, maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk ke dalam kategori perjanjian perkawinan. Jadi dapat dikatakan walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah diucapkan maka ta’lik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.

Apabila perjanjian perkawinan telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh suami maka istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya, sebaliknya jika terjadi pada istri yang melanggar perjanjian di luar ta’lik talak maka suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.34

E.Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 13 yang berbunyi :

33

Ibid, hal. 218 34


(35)

“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan maka diatur tentang tata cara pencegahan perkawinan.35

Adapun para pihak yang boleh mengajukan pencegahan menurut Pasal 14 Undang-undang Perkawinan adalah :

a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah. b. Saudara.

c. Wali nikah. d. Wali pengampu.

e. Suami atau istri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau istri tersebut.

f. Pejabat pengawas perkawinan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, pencegahan itu diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilakukan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan. Selanjutnya Pasal 17 ayat 2 Undang-undang Perkawinan menyebutkan Pegawai Pencatatan Perkawinan memberitahukan kepada calon-calon mempelai tentang adanya permohonan pencegahan tersebut.36

1. Diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilaksanakan. Di sini hanya menyebut perkataan pengadilan. Tidak menyebut tegas Pengadilan Negeri. Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan pada Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini ialah :

Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Perkawinan ada prosedur untuk mengajukan permohonan pencegahan perkawinan :

35

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Zahir Trading Co, Medan, 1975, hal. 63

36


(36)

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi yang tidak beragama Islam.

2. Pencegahan juga disampaikan kepada pejabat pencatat perkawinan. Diberitahukan juga kepada calon-calon mempelai tentang permohonan pencegahan perkawinan tersebut.

Pencegahan menurut Kompilasi Hukum Islam di atur pada Pasal 60 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :

“Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undang”

Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampun dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan Pasal 62 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Selainn yang disebutkan Pasal 62 tersebut dapat pula dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan, Pasal 63 Kompilasi Hukum Islam.

F. Batalnya Perkawinan

Pembatalan perkawinan ialah tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (No legal

force or declared void). Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan yaitu37

1. Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force)

:

2. Juga dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed)

37


(37)

3. Oleh karena itu si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan perkawinannya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami istri.

Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV, Pasal 22-Pasal 28 Undang-undang Perkawinan. Dalam bab ini diatur alasan pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan, prosedur pembatalan perkawinan,serta akibat pembatalan perkawinan. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkaiwnan diatur dalam Bab XI, Pasal 70-76 yang mengatur tentang hal-hal yang kurang lebih sama dengan yang di tur Undang-undang Perkawinan. Lebih lanjut pembahasan tentang pembatalan perkawinan di atur pada Bab III.


(38)

38

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akan nikah. Selain itu pembatalan perkawinan juga tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak sah akibatnya perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari perkawinan itu menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula.

Pembatalan perkawinan dalam hukum islam disebut fasakh yang artinya

merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.38 Fasakh disebabkan dua hal39

1. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.

:

2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalan kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumahtangga itu dilanjutkan.

38

Ahmad Ajhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII press, yogyakarta, 2000, hal 85. 39

Amir Syarifuddin , Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara fiqh munakahat dan UUP, kencana, jakarta, 2006, hal 253


(39)

Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry menyatakan bahwa nikah

fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah al-batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah

al-fasid dan al-batil adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi

undang-undang perkawinan nikah al-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan

dan bukan pada pencegahan.40

Pembatalan perkawinan di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 22 apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pembatalan perkawinan diatur dalam UUP pada Bab IV, Pasal 22-28. Pasal 22 menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syatrat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau tidak batal, bila mana ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada Bab XI, Pasal 70-76.

Istilah “batal” nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal tersebut. Batal berarti nietig

zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat

40

http://darmansyahteknisicomp.wordpress.com/2012/04/06/pemmbatalan-perkawinan/ diakses pada tanggal 18 juni 2013


(40)

dibatalkan berarti nietig verklraad, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan

mutlak.41

Istilah dapat dibatalkan dalam UUP ini berarti dapat difasidkan, jadi relatif nietg. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.

42

Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik pihak kelaurga atau pejabat berwenang sehingga perkaiwnan itu terlanjut terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap UUP atau hukum munakahat.

Jika ini terjadi maka pengadilan agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan.

Selanjutnya dalam skripsi ini penyebab pembatalan perkawinan yaitu perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II batal dan tidak sah dikarenakan salah satu pihak telah memalsukan identitas, selanjutnya Tergugat II dan Tergugat III melakukan perkawinan tanpa ada persetujuan dari wali nasab yang sah, dan di nikahkan dengan wali yang tidak sah. Perkawinan ini tidak lah memenuhi rukun

41

Martiman P, Hukum Perkawinan Indonesia, Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 25 42


(41)

maupun syarat perkawinan dan apabila perkawinan tersebut tidak dibatalkan, maka mereka telah berbuat zina yang sesuai apa yang diatur dalam QS. AN-NISA’ :24.

Kemudian dalam proses pelaksanaan pembatalan perkawinan langkah-langkahnya meliputi:

1. Pendaftaran Perkara,

2. Penunjukan Majelis Hakim, 3. Pemanggilan Pihak-pihak, 4. Sidang Pertama,

5. Tahap Jawab-berjawab, 6. Tahap Pembuktian,

7. Tahap Penyusunan Konklusi, 8. Musyawarah Majelis Hakim, 9. Pengucapan Keputusan.

Selain langkah-langkah tersebut pihak Penggugat mengajukan alat bukti berupa surat dan seorang saksi. Sementara itu perkawinan yang batal dan tidak sah menimbulkan akibat hukum dalam perkawinan tersebut. Maka akibat hukum dalam pembatalan tersebut akta nikah yang bersangkutan tidak berkekuatan hukum lagi. Dengan adanya putusan pembatalan perkawinan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perkawinan tersebut putus sebagaimana terdapat dalam pasal 28 ayat 1 dan 2 (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.


(42)

Sedangkan landasan hukum yang dipakai dalam pengambilan putusan pembatalan perkawinan meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, 3. Al-Qur’an,

4. Hadits,

5. Kompilasi Hukum Islam.

B. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal istri, suami atau istri (Pasal 38 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975)

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 yang menjadi pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan adalah : 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri

2. Suami atau istri artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau istri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.


(43)

4. Pejabat pengadilan.

Sedangkan dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Dapat disebutkan juga bahwa barang siapa yang karena perkawinan tersebut masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan tersebut, dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

C. Alasan Pembatalan Perkawinan

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, maka perkawinan diadakan bukan untuk sementara dan bukan ikatan lahir saja, melainkan ikatan lahir dan batin serta bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia untuk selamanya atau permanen. Oleh karena itu,

perceraian dan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan bila ada alasan atau alasan yang memaksa, yang menyimpang dari hukum bila diteruskan.43

Dalam


(44)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 26 dan 27 diatur mengenai alasan-alasan pembatalan perkawinan.

Pasal 26 menyebutkan :

a. Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

b. Hal untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27 menyebutkan :

a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

b. Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau pun istri.

c. Apabila ancaman itu telah berhenti, atau yang beralah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih hidup bersama sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan maka haknya gugur.


(45)

Sedangkan Pasal 70 KHI perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah memiliki empat orang istri. Dalam Hukum Islam laki-laki hanya boleh memiliki empat orang istri dikarenakan takut seorang laki-laki tersebut tidak dapat adil kepada istri-istrinya

b. Seseorang menikahi istrinya yang telah dili’annya.

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lainyang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan sudah habis masa iddahnya.

d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan.

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Selanjutnya Pasal 71 KHI diaturbmengenai suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Seorang laki-laki jika ingin melakukan pernikahan untuk yang kedua kalinya maka laki-laki tersebut haruslah meminta izin dari istri yang pertama, dan meminta izin dari Pengadilan Agama jika tidak ada dari kedua belah pihak tersebut, maka pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki tersebut tidak sah.


(46)

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud (hilang).

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Yaitu jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika kedua belah pihak belum mencapai umur yang di atur undang-undang maka kedua belah pihak dapat meminta izin ke Pengadilan Agama.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Dari ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur oleh Pasal 70-71 KHI terikat bahwa perkawinan yang batal dan pernikahan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang melanggar larangan perkawinan, sebagai mana yang diatur oleh Pasal 39 KHI. Sementara ketentuan Pasal 72 KHI sama dengan ketentuan Pasal 27 UUP.

Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan perkawinan adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat yang yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami isteri saja, tetapi juga termasuk keturunan dan pembagian harta kekayaan hasil perkawinan. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan agama diwilayah tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan atau kepengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami istri yang bersangkutan atau ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami istri tersebut.44

44

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, jakarta PT Raja Grafindo Persadia jakarta, hal 52


(47)

Beberapa tata cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu:

1. Pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 73) 2. Kemudian mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua

Pengadilan (HIR Pasal 118 ayat (1) atau Rbg Pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.

3. Penggugat, Tergugat harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 26,27 dan 28 Jo HIR Pasal 121,124 dan 125)

4. Penggugat dan Tergugat secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan atau tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR Pasal 164 atau Rbg Pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.

5. Penggugat atau Tergugat secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.


(48)

6. Penggugat dan Tergugat menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan

7. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Penggugat segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).45

Batasan waktu pengajuan pembatalan perkawinan untuk keadaan karena suami memalsukan identitasnya atau karena perkawinan terjadi adanya ancaman atau paksaan, pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan masih hidup bersama sebagai suami istri, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan istri. Kapanpun pihak istri dapat mengajukan pembatalannya.46

D. Saat Mulai Berlakunya Pembatalan Perkawinan

Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 28 ayat (1).

Demikian juga dalam KHI pada Pasal 74 ayat (2) yang menyebutkan :

45

46


(49)

“Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”

Dalam hal ini perkawinan yang dibatalkan adalah perkawinan yang dianggap tidak pernah ada sejak awal pernikahan berlangsung. Setelah dibatalkannya perkawinan, kedua suami istri tersebut dianggap tidak pernah menikah.

E. Akibat Pembatalan Perkawinan

Akibat dari pembatalan perkawinan ialah suatu perkawinan yang dianggap tidak pernah ada dan suami istri tersebut sudah dianggap tidak pernah menikah. Permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan di muat dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut:

Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

2. Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Wibowo Reksopradoto memberikan ulasan terhadap Pasal 28 ayat (2) sebagai berikut : 47

1. Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga dengan demikian anak-anak ini dianggap sah,

47

Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan,Itikad Baik, Karya Cipta, Semarang, 1978, hal 25-28


(50)

meskipun salah seorang tuanya beritikad atau keduanya beritikad buruk. Dalam BW bila kedua orang tuanya beritikad baik, atau salah seorang dari orang tuanya yang beritikad baik, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibubarkan ini, disahkan. Sedangkan bagi mereka yang kedua orang tuanya beritikad buruk, maka anak-anaknya dianggap anak luar kawin, dan dianggap tidak ada perkawinan. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 lebih adil kiranya bahwa semua anak yang dilahirkan, dalam perkawinannya yang dibatalkan, meskipun kedua orang tuanya beritikad buruk anak tersebut masih anak sah. Ini berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa, patut mendapatkan perlindungan hukum. Dan tidak seharusnya bila anak-anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua, hanya karena kesalahan orang tuanya, dengan demikian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas sebagai anak sah dari kedua orang tuanya yang perkawinannya dibatalkan.

2. Terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. Pembahasan mengenai harta yang ada pada dan sebelum perkawinan serta setelah pembatalan perkawinan merupakan masalah yang perlu mendapatkan pemahaman mendalam, karena ini salah satu hal yang menyangkut perlindungan hak dan kewajiban para pihak. Sebelum membicarakan harta kekayaan suami istri dalam perkawinan, terlebih dahulu harus dilihat mengenai


(51)

kedudukan harta orang Islam secara umum. Dalam bidang harta kekayaan seseorang dan cara penyatuan atau penggabungan harta tersebut dengan harta orang lain dikenal dengan nama syirkah atau syarikah.

Di lihat dari asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan yaitu48

a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri sendiri atau dapat disebut harta bawaan.

:

b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing.

c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan

perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut harta pencarian.

Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat, harta itu akan berupa :

1. Harta milik bersama.

2. Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga.

3. Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan. Pada dasarnya harta suami dan harta istri terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami istri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta hibah yang diperoleh oleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.

48

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010 hal. 83-84


(52)

Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami istri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami istri dapat mengadakan syirkah atas percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami atau istri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau istri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri–sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus untuk mereka masing-masing.

Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 86 menentukan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan, adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami dan istri. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian

Perkawinan. Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya. Bagi harta kekayaan bersama (gono-gini) merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga-bunga harus ditanggung. Adapun dalam Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :

1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad 2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekeuatan hukum yang tetap.


(53)

(54)

54

A.Kasus Posisi

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kasus ini Mahkamah Syar’iyah Langsa dengan putusan nomor : 238/Pdt.G/2010/MS.Lgs memeriksa dan mengadili sebuah perkara Pembatalan Perkawinan yang dilaporkan oleh Syafrudin Bin Daud (Penggugat) yaitu ayah dari Yessy Sicnorina yang tidak menyetujui anaknya menikah tanpa wali, sedangkan beliau masih hidup. Syafruddin Bin Daud melaporkan Drs. Pahrim yaitu pihak yang membantu pernikahan dari Yessy Sicnorina dan Riza Rahmad, melaporkan putrinya sendiri yaitu Yessy Sicnorina, serta melaporkan Riza Rahmadyaitu suami dari Yessy Sicnorina. Mereka ini lah pihak Tergugat dalam perkara tersebut.

Pada hari Kamis tanggal 30 September 2010 Yessy Sicnorina (Tergugat II) dan Riza Rahmad (Tergugat III) melaksanakan pernikahan sebagaimana telah tercatat pada Kantor Urusan Agama kec.Labuhan Deli kab.Deli Serdang. Apabila ditelaah memiliki Cacat Hukum baik dari sudut pandang Hukum Islam maupun sudut pandang Hukum Positif (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).


(55)

Cacat Hukum dalam pernikahan tersebut di sebabkan karena :

1. Bahwa dalam pernikahan itu tidak ada Wali sedangkan diketahui bahwa Yessy Sicnorina masih ada Wali Nasab yaitu Ayah Kandungnya (Syafruddin), oleh sebab itu pernikahan tersebut dilakukan pembatalan oleh Ayah Tergugat II karena dianggap dan dinyatakan tidak sah.

2. Bahwa Tergugat II penduduk Gampong Alue Beurawe Kec. Langsa Kota, Kota Langsa, dan karenanya segala urusan administrasi pernikahannya (NA) baru sah apabila dikeluarkan oleh Gampong Alue Beurawe, sedangkan pada kenyatannya NA atas nama Tergugat II tidak pernah dikeluarkan oleh Kepala Desa Alue Beurawe oleh karenanya persyaratan administrasi pernikahan harus dinyatakan tidak sah maka secara formal pernikahan tersebut tidak sah.

3. Bahwa PPN Kec.Labuhan Deli Kab.Deli Serdang yang bertindak sebagai Wali Hakim dalam pernikahan tersebut secara hukum tidak sah karena wali nasab (Penggugat) masih hidup dan tidak ada Penetapan Penunjukkan Wali Hakim oleh Pengadilan Agama tentang adhal Wali dengan demikian perbuatan atau tindakkan Drs.Pahrim yang bertindak sebagai Wali Hakim harus dinyatakan tidak sah dan melawan hukum.

Demikianlah dasar yang menjadi alasan-alasan penggugat mengajukan pembatalan .

Menurut Yessy Sicnorina (Tergugat II) dan Riza Rahmad (Tergugat III) mereka melangsungkan pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun, dinikahkan oleh wali hakim karena ayahanda Yessy Sicnorina selaku wali nasab


(1)

Dari pasal di atas maka wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi agar sah suatu perkawinan. Dikaitkan dengan kasus di atas maka ada baiknya Yessy Sicnorina dan Riza Rahmad menikah lagi dengan persetujuan dari Syafrudin Daud selaku Ayah kandung/wali nasab dari Yessy Sicnorina, sehingga pernikahan mereka dapat menjadi sah dan sesuai dengan rukun dan syarat yang diatur dalam hukum.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah di kemukakan yang bersumber pada teori ataupun yang bersumber dari data-data yang telah dikumpulkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada kasus ini yang menjadi faktor dilakukannya pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya dikarenakan perkawinan anaknya dilakukan tanpa wali nasab yang sah atau ayahnya, yang menjadi wali nikah adalah wali hakim yang tidak sah yaitu Tergugat I. Sehingga salah satu rukun nikah tidak terpenuhi, selain itu dalam perkawinan tersebut telah dilakukan manipulasi identitas oleh petugas dan penyalahgunaan wewenang.

2. Hakim memutuskan Pembatalan perkawinan dengan pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan telah sesuai pada wilayah hukum Mahkamah Syari’ah Langsa, bahwa hakim berpendapat perkawinan Tergugat II dan Tergugat III tidak terpenuhinya syarat menurut hukum agama dan syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu perkawinan tersebut dilakukan tanpa wali nasab yang sah, serta bahwa perkawinan tersebut dilangsungkan oleh wali nikah yang tidak sah, yaitu wali hakim tanpa penunjukan oleh mahkamah syariah langsa.

3. Akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap status anaknya yang diputuskan dan ditetapkan oleh Mahkamah


(3)

Syar’iyah Langsa hanya menyangkut status suami istri yang melakukan perkawinan tersebut, karena pernikahan dianggap tidak pernah ada sehingga kedua belah pihak kembali ke posisi semula. Pernikahan dianggap tidak pernah terjadi dengan demikian hak dan kewajiban suami istri antara tergugat II dan tergugat III hilang.

B.Saran

1. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia, termasuk dalam pemilihan calon hidup buat anak-anaknya. Namun sebaiknya dari awal binalah sebuah hubungan baik dari orang tua kepada anak laki-laki maupun anak perempuannya agar lebih baik dan sehat untuk keluarga dan calon keluarga yang akan di jalankan untuk anak-anaknya di masa yang akan datang. Sehingga tidak terjadi perkawinan tanpa izin orang tua seperti kasus ini. Adapun pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya mempersiapkan diri dengan baik, mengetahui dengan jelas latar belakang calon suami atau calon istrinya, selain itu lihat juga bobot bibit bebet seorang calon suami maupun calon istri agar tidak mudah tertipu dan tidak akan menyesal dikemudian hari. Namun yang paling penting haruslah saling mencintai dan menyayangi hingga tercipta hubungan yang harmonis.

2. Terhadap pejabat yang berwenang dan atau pihak Pegawai Pencatat Perkawinan yang mengawasi pelaksanaan perkawinan dalam melaksanakan tugasnya agar lebih teliti dan lebih cermat, untuk menghindari adanya kasusu penipuan tentang identitas dari petugas dan


(4)

yang mengatasnamakan wali nikah dengan melakukan pemeriksaan mengenai kebenaran status mempelai dan surat-surat sebelum perkawinan dilaksanakan.

3. Mengoptimalkan Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) dengan selalu aktif. Hal ini untuk memperoleh data yang akurat mengenai pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan dengan bekerjasama dengan pemerintah desa setempat. Dengan demikian manipulasi data dapat terhindar, karena salah satu rukun nikah tidak terpenuhi bisa terjadinya pembatalan perkawinan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Al-Jaziry, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh’ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV Ashofha Burhan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta

A Weng, Henry Lee, 1990, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, Rimbow, Medan

Basyir, Ahmad Ajhar, 2000 Hukum Perkawinan Islam, UII press, Yogyakarta Departemen Agama Republik Indonesia, 2000, Al-Qur’an dan Terjemahannya,

Cv Asy-Syifa, Semarang

Harahap M. Yahya, 1975, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co, Medan

P, Martiman, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia, Center Publishing, Jakarta Prodjohamidjodjo, Martiman, 2002, Hukum Perkawinan di Indonesia, Indonesia

Legal Center Publishing, Jakarta

Rasyid, Roihan A, 2000, Hukum Acara Peradilan Agama, PT Raja Grafindo Persadia, Jakarta

Reksopradoto, Wibowo, 1978, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan,Itikad Baik, Karya Cipta, Semarang Rofiq, Ahmad, 1998, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta Saleh, Wancik K, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, karya cipta, Jakarta Soemiyati, 1982 Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,

Liberty, Yogyakarta

Supramono, Gatot, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta

Syarifuddin, Amir, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta

Thalib, Sayuti, 2010, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta


(6)

Utrecht, 1983, Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta

B.Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974

Kompilasi Hukum Islam C.Internet

http://statushukum.com/peraturan-pemerintah.html diakses pada tanggal 12 Juni 2013

http://vanpierre.blogspot.com/2011/12/syaratsyaratcalonmempelaidan -ijab.html?m=1 diakses pada tanggal 12 Juni 2013

diakses pada tanggal 21 Agustus 2013

http://darmansyahteknisicomp.wordpress.com/2012/04/06/pemmbatalan-perkawinan/ diakses pada tanggal 18 Juni 2013


Dokumen yang terkait

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Mahkamah Syar’iyah Daerah Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara

4 62 156

Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/Pdtg/2010/Ms-Lgs)

1 55 74

Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh)

8 60 128

Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh

0 30 161

Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim Mahkamah Syar’iyah Di Banda Aceh

1 39 138

Pelaksanaan Putusan Maisir Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe

4 77 122

Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1 54 126

Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Perkara No. 167/Pdt.P/2000/PN-Jak.Sel)

2 51 168

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Hukum Positif tentang Perkawinan - Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/

0 0 19

Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/Pdtg/2010/Ms-Lgs)

0 0 8