BAB IV PERBANDINGAN PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF
D. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta, benda,
perasaan, dan keamanan, yang dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah. Dalam hukum Islam tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah
pencegahan ar-rad’u waz-zajru, pengajaran serta pendidikan al-islah wat- tahzid
.
28
Adapun yang dimaksud dengan pencegahan ialah mencegah diri si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah diri orang lain dari
perbuatan demikian. Dalam hukum Islam penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang dikuasai oleh rasa saling menghormati
dan saling mencintai antar sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.
Ditinjau dari segi perbuatannya, tindak pidana jarimah dibedakan menjadi beberapa tindak pidana jarimah antara lain:
1. Jarimah hudud
2. Jarimah qishas dan diyat
3. Jarimah takzir.
28
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, C et. Ke- 1, h. 279
1. Hukuman hudud yaitu hukuman yang diancam dengan had dan lebih
ditentukan oleh syara. Dan menjadi hak Allah. Hukuman ini telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal, hukuman ini tidak
bisa lepas oleh perseorangan orang yang menjadi korban atau keluarganya atau masyarakat yang diwakili oleh negara.
3. Jarimah qishash dan diyat
Qishash dapat diartikan sebagai pembalasan setimpal dengan perbuatannya. Qishash merupakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Untuk
mewujudkan keamanan dan ketertiban, hukuman qishash dapat lebih menjamin.
29
Sedangkan jarimah diyat adalah harta yang wajib diberikan sebagai pengganti kerugian sebab membunuh atau melukai.
3. Hukuman takzir adalah pidana diluar had dan qishash atau diyat dan
hukuman itu dilaksanakan oleh penguasa dalam negara. Hukum Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, agar
dengan aturan-aturan tersebut ketentaraman dan kedamaian bisa dicapai. Ketentuan-ketentuan hukum Islam tersebut ada yang global dan ada yang
terperinci. Menyangkut tindakan pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak terdapat aturan dan ketentuan yang jelas mengenai sanksi dan hukumnya secara
terperinci, karena baik dalam Al-qur’an maupun dalam hadist istilah pelecehan seksual tidak dapat ditemukan. Dalam syariat Islam perbuatan yang belum
terdapat ketentuan hukum tersebut menjadi ijtihad para ulama yang akan menghasilkan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dengan
29
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Ibid, h, 305
mengacu pada ketentuan Al-qur’an dan hadist. Produk hukum tersebut dapat berbentuk takzir, yaitu jenis hukuman yang tidak ditentukan oleh nash baik dalam
Al-qur’an maupun hadist, diberlakukan kepada orang yang berbuat maksiat atau melakukan jenis pidana tertentu yang tidak ada sanksi atau kifaratnya, baik yang
berkaitan dengan Allah S.W.T seperti makan disiang hari pada bulan Ramadhan tanpa udzur, meninggalkan shalat, mengkonsumsi riba dan melemparkan najis di
tengah jalan umum, maupun yang berkaitan dengan hak manusia seperti menyetubuhi istri melalui dubur, menyogok hakim, menghina atau melecehkan
orang lain dan lain-lain.
30
Dengan demikian hukuman bagi pelaku pelecehan seksual akan diserahkan kepada seorang hakim atau penguasa yang berhak untuk menentukan perkara
tersebut. Apabila ada tindakan pelecehan seksual yang sedang berlangsung menjadi sebuah hubungan seksual yang tentunya di luar pernikahan yang sah,
maka akan dikenakan hukuman had karena perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan zina.
Adapun perzinaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
Pertama, menurut sarjana hukum positf dan aparat penegak hukum bahwa hubungan kelamin yang termasuk perzinaan dalam pasal 284 adalah apabila
dilakukan oleh : 1.
Seorang laki-laki beristri dengan perempuan yang bukan istrinya,
30
Wahdah Az-Zuhaili , Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr, 1997, Cet. Ke-4, Jilid VII, h. 5483
2. Seorang perempuan yang bersuami dengan laki-laki yang bukan suaminya,
3. Seorang perjaka atau duda dengan istri orang lain,
4. Seorang gadis atau janda dengan suami orang lain.
Adapun perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing belum menikah atau tidak terikat tali pernikahan menurut KUHP
tidak disebut sebagai perzinaan tapi disebut Perselingkuhan dan pemerkosaan. Karena dalam KUHP ini tidak menjelaskan secara detail dan spesifikasi mengenai
arti dari zina itu sendiri. Kedua, menurut para sarjana muslim atau para ulama bahwa bentuk
hubungan kelamin yang dilakukan di luar pernikahan yang sah termasuk kategori zina.
31
Sedangkan menurut arti bahasa adalah persetubuhan yang diharamkan, dan zina menurut Syar’i ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan melalui pada vagina di luar nikah dan bukan nikah syuhat. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia zina adalah perbuatan
bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan perkawinan atau perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang
terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan
isterinya.
32
Makna zina semakin luas dengan adanya hadist Rasullah SAW yang
31
Abdul Ghofar Hasyim, Islam dan Problem Sosial Sekitar Pergaulan Muda Mudi, Jakarta : Aksara Press, 2002, Cet. ke-1, h.73.
32
Muh. Abduh malik , Perilaku Zina, Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang, 2003, Cet. Pertama, h. 25
menterjemahkan zina tidak hanya coitus seperti yang disebutkan dalam Abu Hurairah
ﺱ Fﺹ H
. ی I ﻥ+
ﻡ J F K,L
M N Oﻡ P Q R S 8
3 4 FT,ﺕ F ,ﺕ V4 W2 ﻥX J
ﻥ +- 5ی
Y0ی L Q R Z Y [
\
33
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mencatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua
telinga zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa memegang dengan keras kaki zinanya melangkah berjalan dan hati yang
berhasrat dan berharap. Semua itu dibenarkan direalisir oleh kelamin atau digagalkannya. HR.Al-Bukhari dan Muslim.
Menyangkut hukuman bagi pezina, Islam telah memberi aturan-aturan yang jelas mengenai had zina. Bagi pezina muhsan laki-laki dan perempuan yang telah
menikah berzina, maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan dirajam. Sedangkan bagi pezina yang ghairu muhsan laki-laki dan perempuan yang belum
menikah maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nur ayat 2 dan 3 : 2 ,3
… …
? =K
…1 QP3]f
8•_‘3z5 ’
35 “
K ,2Šo
8_` G q
W 0WO3a
} –—
35 2 }
3˜F ,
;R =P_=™ a
8•_ ` ,
Hd
;3z5
Wk335 78 .0
… 7
j A U
f a3 T
G
X=›5
33
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Haida, 1997, Cet. Ke-1, Jilid IV, h. 1964
2 ,3 …
J7 j A U
t T
G
œ• X=›5 \
ž
Q3 f Œ
]
Wk335 78 . 0
Ÿ
2.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. 3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin
34
Q.S. An-nur24: 2 dan 3
Selain hukuman yang telah disebutkan dalam Al-qur’an di atas, dalam sebuah hadist Rasulullah S.A.W pun bersabda : “Dengarkanlah aku, Allah telah
menetapkan hukuman bagi mereka itu, perawan dan perjaka yang berzina maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu
tahun, sedangkan pria yang sudah tidak perjaka dan perempuan yang tidak perawan yang keduanya pernah bersetubuh dalam status kawin maka dijatuhi
hukuman cambuk dan dirajam”. HR. Muslim. Pada dasarnya penetapan perbuatan zina itu ada tiga hal pertama,
pengakuan, kedua, sumpah dari saksi-saksi dan ketiga, qorinah indikasi-indikasi tertentu.
34
Maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
Adapun pengakuan, jika orang berzina itu orang yang berakal dan mencapai usia baligh mengaku tanpa paksaan bahwa suatu kali ia telah berzina, baginya
dijatuhi hukuman had. Menurut Imam Syafi’i hukuman had bagi orang kafir dan orang muslim adalah bentuknya sama, yakni dicambuk sebanyak seratus kali dan
diasingkan. Diriwayatkan dari Abdullah bin umar ra. Rasulullah S.A.W telah menghukum rajam dua orang yahudi yang telah berzina HR. Al-Bukhari dan
Muslim, sedangkan mengenai pengakuan cukup satu kali alasannya adalah sebuah hadist tentang Unais yang disuruh merajam seorang perempuan setelah
sekali mengaku. Pendapat yang sama pula dikemukakan oleh Imam Malik. Hal kedua mengenai penetapan perbuatan zina yaitu persaksian dan sumpah
saksi-saksi. Untuk membuktikan seseorang telah berzina dapat juga dilakukan dengan pernyataan telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri terjadinya
perbuatan zina. Penyaksian dengan mata kepala sendiri ini dilakukan oleh empat orang saksi yang disyaratkan telah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Demi
menghindari dari adanya tuduhan sewenang-wenang terhadap seseorang karena dendam atau untuk mempermalukan orang atau untuk menjatuhkan martabat
seseorang, maka bukti kesaksian atas terjadinya perbuatan zina mempunyai syarat-syarat yang ketat.
Sayyid Sabiq mengemukakan ada sepuluh syarat yang harus ada dalam persyaratan jarimah zina yaitu :
35
35
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Lubhan : Darul Fikr, 1981, Jilid Ke II . h. 353-356
1. Saksi harus berjumlah empat orang, jika kurang dari empat orang maka
persaksiannya tidak dapat diterima, berdasarkan firman Allah An-Nur 24 ayat 4 :
WO3 w 5F
A 34 VDE 78
‰y2x x
2 o A 32
Fq o P_?l
x2C 7P 9=K Wk3 x
K 29 Q
Fy ¡ “
¢ P_l VP
G \
Q£ o pG
y2C ? h
H .0
4.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
36
berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik. Q.S. An-Nur24:3 2.
Saksi itu sudah baligh. Tanda-tanda baligh itu apabila telah berusia lima belas tahun atau pernah mengalami mimpi jimak dengan lawan jenisnya atau
datangnya haid bagi perempuan. 3.
Semua saksi adalah orang yang berakal sehat. Karena itu tidak diterima persaksian orang gila atau persaksian orang yang kurang waras akalnya.
4. Keadilan, saksi itu harus terdiri dari orang-orang adil.
5. Saksi itu beragama Islam, baik kesaksian itu untuk orang Islam maupun non
Islam. Persyaratan ini telah disepakati oleh Imam-imam Mazhab. 6.
Saksi itu mengetahui peristiwa tersebut secara mendetail. Mereka menyaksikan secara gamblang, nyata dengan masuknya penis ke dalam
36
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah
vagina perempuan seperti masuknya celak mata pada celupannya.
37
Dasar pemakaian syariat ini adalah tindakan dan perkataan Rasullullah S.A.W
ketika memeriksa perkara Ma’iz, jalan ceritanya adalah sebagai berikut: Barang kali engkau menciumnya, atau engkau elus-elus, atau engkau melihat
kemaluannya? ‘tidak, ya Rasullullah, jawab Ma’iz. Kemudian nabi kembali menanyainya dengan kata-kata yang lebih jelas lagi, dan minta dijawab secara
jelas pula.” Baik, ya Rasulullah, “jawab Ma’iz begitu. Begitu pulakah masuknya penis ke dalam vaginanya? Tanya Rasulullah selanjutnya. Ya,
jawab Ma’iz lagi. 1.
Dalam memberikan kesaksian, para saksi menggunakan kata-kata yang jelas, tidak dengan kata-kata sindiran. Dasarnya adalah hadist tersebut di atas.
1. Saksi berada pada satu tempat di tempat terjadinya perbuatan zina. Jadi tidak
ada perbedaan waktu dan tempat penyaksian dengan waktu dan tempat perbuatan zina. Jika saksi-saksi itu datang menyaksikan secara terpisah pisah
maka kesaksian mereka tidak dapat diterima. 1.
Saksi-saksi itu disyaratkan semuanya laki-laki dan tidak dapat diterima kesaksian perempuan untuk perbuatan zina.
1. Kesaksian itu tidak kadaluarsa.
Apabila kesaksian orang-orang yang menyaksikan terjadinya perbuatan zina tidak diberikan pada waktu perkara digelar, tetapi setelah lewat waktu maka
kesaksian itu sudah tidak objektif lagi karena sudah disertai unsur objektif, seperti rasa dengki, dendam, atau kasihan. Imam Abu Hanifah menetapkan satu tahun
37
Wahbah Az-Zuhaili, Ibid. h. 5699-5777
sebagai batasan kadaluarsa, jika melewati masa satu tahun persaksian zina itu tidak dapat diterima. Sedangkan ulama yang lain tidak menetapkan hal ini,
persaksian telah lewat satu tahun lebih, persaksian mereka tetap berlaku. Hal terakhir yang bisa dijadikan pembuktian perbuatan zina adalah qarinah
atau indikasi-indikasi tertentu. Menurut Djazuli, qarinah yang dapat dianggap sebagai barang bukti perzinaan adalah jelasnya kehamilan pada wanita yang tidak
bersuami, qarinah yang seperti ini pernah diungkapkan sahabat Nabi, Umar bin Khattab ra. berkata: ”zina itu ada dua macam zina rahasia dan zina jelas. Zina
rahasia harus disaksikan oleh empat orang saksi, sedangkan zina yang jelas itu adalah dengan hamilnya perempuan yang tidak bersuami atau dengan
pengakuan”. Selain ada pembuktian lain yang bisa dipertanggungn jawabkan
keakuratannya, yaitu, melalui ilmu pengetahuan teknologi kedokteran forensic. Apabila ditemukan sperma dan DNA Desoxy Ribo Acid di dalam rahim wanita
yang bukan milik suaminya atau ditemukannya sperma atau DNA pria di dalam rahim wanita yang belum menikah, maka jelaslah bahwa ia telah melakukan
perzinaan.
38
Adapun yang menjadi syarat-syarat agar seseorang yang telah berzina dapat dikenakan hukuman zina adalah :
1. Orang yang berzina itu adalah orang yang berakal waras,
2. Orang yang berzina itu sudah cukup umur baligh,
38
Djazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penggulangan Kejahatan dalam Hukum Islam, Jakarta : PT. Grafindo, 2002, h. 81
3. Zina itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, tetapi atas kemauannya
sendiri, 4.
Orang yang berzina itu tahu bahwa zina itu diharamkan. Dengan demikian, hukuman tidak dapat dijatuhkan dan tidak dapat
dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila atau orang yang dipaksa melakukan zina. Hal ini didasarkan atas sabda Nabi S.A.W yang diriwayatkan oleh Aisyah ra:
] ی F, ,Oی F, H5
_, , ی F, `
abc ] =- O \ [ X
. L
39
“Tidaklah dicatat atas tiga hal: dari orang yang tidur hingga ia terjaga bangun dari anak-anak hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga waras”.
Adapun dasar bagi disyaratkannya pengetahuan si pelanggar bahwa zina adalah haram karena hukuman itu merupakan konsekwensi atau kelaziman dari
suatu larangan yang sewajarnya ada. Dengan kata lain si pelanggar mengetahui akibat perbuatan zinanya akan dikenakan hukuman berupa hukuman had atau
dirajam. Alasan lainnya karena Nabi S.A.W, dalam kasus perzinaan Ma’iz, melakukan Interogasi terlebih dahulu dengan menanyakan kepadanya : “tahukah
engkau, apa itu zina?’ selain itu , alasan berikutnya adalah praktik Khalifah Umar bin Al Khattab sewaktu menghukum seorang jariah yang dilaporkan telah
melakukan zina. Setibanya Jariah itu di hadapan beliau, diayun-ayunkannya cemeti itu kearah wanita itu seraya menanyakan “hai pelacur, telah berzinakah
engkau? Ya, saya telah berzina dengan gaus, dengan bayaran dua dirham ’jawab si wanita’. Mendengar keterangan itu bertanyalah Umar kepada sahabat-sahabat
39
Imam Bukhori, Shahih Bukhori, Ibid, h. 2194
Nabi yang kebetulan hadir di situ : bagaimanakah pendapat kalian tentang hukuman yang harus dijatuhkan atas wanita ini ? dia harus dirajam jawab Ali ra,
yang digaris bawahi oleh Abdurahman bin Auf. Menurut saya, kata Utsman bin Affan, dia rupanya menganggap zina yang dilakukan itu hanya perbuatan yang
biasa-biasa saja, tidak melanggar hukum. Oleh karena itu, engkau harus menghukumnya
dengan hukuman
yang seringan-ringannya dan
tidak memukulnya. Sebab hukuman pukulan atau rajam hanyalah dijatuhkan atas orang
yang sudah mengetahui hukum-hukum Allah S.W.T, “kata Utsman dan dibenarkan juga oleh Umar
40
Dengan demikian hukuman zina ini tidak dapat diberlakukan terhadap yang telah melakukan perbuatan zina apabila orang tersebut benar-benar tidak
mengetahui ketetapan atas hukuman terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Upaya melawan hukum adalah qasdhu adalah perbuatan yang apa bila dilakukan
mengancam daruriyat yakni Agama, Jiwa, Akal, Harta, Keturunan. Dengan demikian sanksi pidana bagi pelaku pelecehan seksual ini di
berlakukan hukuman takzir merupakan jarimah yang ditentukan oleh penguasa, baik bentuk, macam atau pun sanksinya. Jadi jarimah takzir sangat berbeda
dengan jarimah hudud dan qishas. Selain itu jarimah takzir berkaitan dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan. Sehingga dengan adanya jarimah
takzir memberi kesempatan kepada para hakim atau penguasa yang berhak memutuskan suatu perkara untuk berijtihad, untuk menentukan apa yang akan
40
Sayyid Sabiq, Ibid, h. 113
dijatuhkan hukuman kepada pembuat jarimah sesuai dengan bentuk jarimah dan keadaan si pembuat jarimah.
41
Dilihat dari bentuk-bentuk jarimah, maka suatu perbuatan pelecehan seksual dapat dikatakan jarimah takzir karena baik dalam Al-qur’an maupun Hadist
bentuk perbuatan hukumannya tidak dapat ditentukan. Kewenangan untuk menentukan hukuman takzir berada di tangan penguasa
setempat, sehingga jenis hukumannya pun beragam sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, bisa dipenjara, ditahan, dipermalukan, bahkan bisa dengan cara
dihukum mati dalam kasus sodomi bagi mazhab Maliki
42
dan kasus membunuh orang dengan benda tumpul menurut mazhab Hanafi.
43
Untuk mengetahui hukuman apa yang dapat diberlakukan kepada pelaku pelecehan seksual dalam
bentuk takzir, maka di sini akan diuraikan bentuk-bentuk hukum takzir 1.
Hukuman penjara kurungan. Dalam hukuman syariat Islam terdapat dua macam hukuman penjara kurungan. Pertama hukuman penjara terbatas,
batas terendah hukuman penjara ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mazhab Syafi’i
menetapkan batas tertinggi satu tahun, karena mereka menyamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Fuqaha lainnya menyerahkan
batasan tersebut kepada penguasa negara. kedua hukuman penjara tidak
41
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam. Pustaka Setia: Bandung , 2000, Cet. Ke-1 h.26-32
42
Wahbah Az-Zuhaili, Ibid. h. 5600
43
Wahbah Az-Zuhaili, Ibid. h.5594
terbatas, ulama sepakat bahwa hukuman penjara ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai
terhukum mati atau tobat dan baik untuk pribadinya.
44
2. Hukuman pengasingan. Hukuman pengasingan dalam jarimah takzir
dijatuhkan apabila perbuatan pelaku dapat menjalar atau merugikan orang lain. Menurut ulama Syafi’iyah masa pengasingan dalam hukum
takzir tidak lebih dari satu tahun, hal ini agar tidak melebihi masa pengasingan dalam hukuman had. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat
masa pengasingan dalam takzir boleh lebih dari satu tahun, karena pengasingan di sini adalah hukuman takzir bukan hukuman had.
3. Hukuman pengucilan. Hukuman pengucilan pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang tabuk. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara.
4. Hukuman ancaman, teguran, dan peringatan. Ancaman merupakan
salah satu hukuman takzir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan ancaman kosong, seperti ancaman akan dijilid, dipenjara atau
akan dijatuhi hukuman yang sangat berat. Teguran juga merupakan hukuman takzir. Hukuman ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW
terhadap sahabatnya Abuzar yang memaki-maki orang lain, menghina orang lain tersebut dengan menyebut-nyebut ibunya, maka berkata
Rasulullah SAW “wahai Abuzar, engkau telah menghina dia dan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihadapi masa jahiliah”. Hukum
44
Ahmad Hanafi, Ibid. h 306
peringatan ditetapkan oleh syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat. Hal ini terdapat dalam Al-qur’an dalam surat An-Nisa tentang isteri
yang membangkang;
“isteri yang
kamu khawatirkan
akan membangkang, maka berilah ia peringatan”.
45
5. Hukuman denda. Di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pendapat
tentang apakah “denda” bisa dijadikan hukuman umum untuk setiap jarimah atau tidak. Bagi fuqaha yang tidak membolehkannya beralasan
bahwa hukuman denda mula-mula ditetapkan pada zaman Rasulullah SAW kemudian dibatalkan. Selain itu hukuman tersebut bukan cara
yang baik untuk memberantas jarimah dan dikhawatirkan hukuman tersebut justru akan memberikan peluang bagi penguasa yang tidak
benar untuk mengambil harta terhukum. Bagi fuqaha yang membolehkan hukuman denda sebagai hukuman umum beralasan bahwa
hukuman itu memberikan ikatan tertentu, yaitu dengan menahan harta si pelaku terlebih dahulu, sedangkan si pelaku sendiri ditahan. Jika ia
sudah menyadari perbuatannya, maka hartanya dikembalikan, dan jika ia tidak sadar maka harta tersebut digunakan untuk lapangan kebaikan.
46
6. Hukuman pencemaran. Hukuman ini berbentuk penyiaran kesalahan,
keburukan seseorang yang telah melakukan perbuatan tercela, seperti menipu dan lain-lain. Pada masa lalu upaya membeberkan kesalahan
orang yang telah melakukan suatu kejahatan dilakukan melalui teriakan di pasar atau di tempat keramaian umum. Tujuannya adalah agar
45
Ahmad Hanafi, Ibid. h.315-316
46
Ahmad Hanafi, Ibid. h320
khalayak ramai mengetahui perbuatan orang tersebut dan menghindari kontak dengan dia supaya terhindar dari akibatnya. Pada masa sekarang
upaya itu dapat dilakukan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.
Pengumuman tersebut
merupakan peringatan
bagi masyarakat agar hati-hati terhadap orang yang disebutkan dalam
pengumuman itu.
47
Jika dihubungkan dengan bentuk-bentuk hukuman takzir di atas maka ada hubungannya dengan pelecehan seksual antara lain mengenai hukuman penjara
kurungan dengan pengasingan ialah pelecehan seksual berat. Yang mana telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai dengan pelecehan seksual berat yakni
termasuk dalam pemerkosaan, zina pencabulan. Sedangkan hukuman pengucilan, hukuman ancaman, teguran, dan peringatan, dan hukuman denda, dan hukuman
pencemaran termasuk juga hubungan dengan pelecehan seksual ringan. Yang mana telah diuraikan juga pada bab terdahulu mengenai arti dari pelecehan
seksual ringan. Yang termasuk dengan pelecehan seksual ringan ialah tindakan seksual ringan seperti ucapan salam yang menggoda, dan lain sebagainya.
Dari berbagai macam bentuk hukuman takzir yang telah diuraikan, maka salah satu hukuman atas pelaku pelecehan seksual dapat diterapkan. Bentuk
hukuman takzir yang disanksikan atas pelaku pelecehan seksual tentunya harus sesuai dengan bentuk pelecehan seksual yang dilakukan, dan hukuman tersebut
diharapkan dapat memberi kesadaran atau pelajaran bagi pelaku sehingga ia tidak melakukan pelecehan seksual lagi. Begitu pula bagi orang lain yang mungkin saja
47
Rahmat Hakim, Ibid. h.168
akan melakukan pelecehan seksual, diharapkan orang tersebut segera membatalkan perbuatannya dengan adanya pemberlakuan hukuman takzir.
Hukuman takzir yang diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi para pelaku yang melakukan perbuatan yang dianggap menunggu orang lain, seperti
perbuatan pelecehan yang pantas diberi sanksi atas perbuatannya dapat terhapus apabila si pelaku meninggal dunia, pemaafan dari orang yang dirugikan, taubatnya
si pelaku dan kadaluarsa yaitu, lewatnya waktu tertentu setelah terjadinya perbuatan si pelaku.
Hapusnya hukuman takzir jika si pelaku meninggal berlaku bila sanksi takzir yang dijalani adalah berupa sanksi badan atau sanksi yang berkaitan dengan
pribadi, seperti hukuman buang dan celaan, karena pemaafan dibedakan antara jarimah yang terkait dengan hak Allah atau hak masyarakat dan jarimah yang
berkaitan dengan hak perorangan. Hukuman takzir yang berkaitan dengan hak perorangan dapat terhapus dengan pemaafan, tetapi jika berkaitan dengan hak
Allah sangat tergantung pada kemaslahatan, artinya bila ulil amri melihat adanya kemaslahatan yang lebih besar dengan memberikan maaf pada si pelaku, maka
ulil amri dapat memaafkannya.
48
Hukuman takzir yang telah disebutkan merupakan upaya hukum Islam bagaimana sepantasnya pelaku pelecehan seksual dapat dikenakan sanksi dan hal
ini juga merupakan upaya hukum Islam untuk mereduksi perbuatan pelecehan seksual.
E. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Menurut KUHP