Deskripsi pelecehan seksual di tempat kerja dan prediksi munculnya psikosomatis akibat pelecehan seksual.

(1)

vii

DESKRIPSI PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA DAN PREDIKSI

MUNCULNYA PSIKOSOMATIS AKIBAT PELECEHAN SEKSUAL

Marius Angga Kurnianto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan pelecehan seksual di tempat kerja. 2) Memprediksi atau menguji pelecehan seksual di tempat kerja sebagai prediktor munculnya psikosomatis. Subjek penelitian ini adalah orang bekerja yang memiliki atasan atau rekan dalam bekerja dan total subjek penelitian ini sebanyak 278 orang. Peneliti berhipotesis bahwa pelecehan seksual di tempat kerja memprediksi munculnya psikosomatis. Data penelitian ini diungkap menggunakan skala adaptasi Sexual Experience Questionnaire versi Department of Defense atau SEQ

– DoD dan skala adaptasi Psychosomatic Complaint Scale atau PCS, yang keduanya disusun dengan teknik likert. Nilai alpha cronbach’s pada skala SEQ – DoD sebesar α = 0.966 dan pada skala PCS

sebesar α = 0.934. Analisis data dilakukan dengan statistika deskriptif dan regresi linear sederhana.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa 1) Perilaku dalam dimensi unwanted sexual attention dan gender harassment cenderung lebih sering muncul di tempat kerja. 2) Pekerja dengan karakteristik feminim, berusia antara 21 sampai 30 tahun, memiliki pendidikan terakhir D1/D2/D3 dan S1/D4,

memiliki masa kerja ≤ 10 tahun, memiliki rekan kerja dengan dominasi pria, serta jabatan staf atau supervisor lebih cenderung beresiko mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. 3) Pelecehan seksual cenderung lebih banyak terjadi pada bidang kesenian dan hiburan, akomodasi dan industri. 4) Pelaku pelecehan seksual di tempat kerja lebih didominasi oleh pria. 5) Pelaku pelecehan seksual wanita cenderung melakukan pelecehan unwanted sexual attention dan gender harassment dalam bentuk verbal. 6) Pelaku pelecehan seksual pria lebih cenderung melakukan pelecehan unwanted sexual attention dan gender harassment dalam bentuk verbal dan non-verbal. 7) Hasil analisis regresi

linear sederhana menunjukkan bahwa nilai β = 0.348, p = 0.000 (>0.05), dan = 0.121, hal tersebut berarti bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi secara positif munculnya psikosomatis dengan kemampuan memprediksi sebesar 12,1%, sedangkan 87,9% diprediksi oleh variabel lain.


(2)

viii

DESCRIPTION OF SEXUAL HARASSMENT IN WORKPLACE AND

PREDICTION OF PSYCHOSOMATIC AS A CONSEQUENCE OF SEXUAL

HARASSMENT

Marius Angga Kurnianto

ABSTRACT

The purpose of this study was to: 1) Describe sexual harassment in the workplace, 2) Show sexual harassment in workplace as predictor of psychosomatic. The subjects of this research were 278 wokers who have supervisor and co-worker. The hypothesis of this research was: sexual harassment in the workplace predict psychosomatic. The data of this research collected by SEQ adapted from SEQ-DoD version and PCS scale using Likert techinique. Alpha Cronbach’s result of both scale was α = 0.966 and α = 0.934. The data was analyze with descriptive statistic and regression. The result of this research were: 1) Unwanted sexual attention and gender harassment tend to be more often in workplace. 2) The worker with characteristic of feminine, between 21 to 30 years old, last education

D1,D2,D3 and S1/D4, 10 or less years’ service, have co-worker with male domination and staff or supervisor position tend to be more have sexual harassment experienced in workplace. 3) Sexual harassment tend to happened in arts and entertainment sector, accommodation sector and industrial. 4)Man tend to more often do sexual harassment in workplace. 5)Woman sexual harasser tend to do unwanted sexual attention and gender harassment verbally. 6)Man sexual harasser tend to do unwanted sexual attention, gender harassment and sexual coercion verbally and non-verbal. 7)The result of regression analysis showed that β = 0.348, p = 0.000 (>0.05), and = 0.121, which mean sexual harassment in workplace could predict psychosomatic 12.1%, and 87.9% was predict with the other variable.


(3)

DESKRIPSI PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA DAN PREDIKSI

MUNCULNYA PSIKOSOMATIS AKIBAT PELECEHAN SEKSUAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Marius Angga Kurnianto

119114099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

DESKRIPSI PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA DAN PREDIKSI

MUNCULNYA PSIKOSOMATIS AKIBAT PELECEHAN SEKSUAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Marius Angga Kurnianto

119114099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN MOTTO

With GOD All Things

Are Possible

Matthew 19 : 26

-The moment you are ready to quit is usually

the moment right before a miracle happens. Do not give up

- The Good Quote –

Wake up early. Drink coffee. Work hard

Be ambitious. Keep your priorities straight, your mind right and your head up.

Do well, live well and dress really well. Do what you love, love what you do.

It’s time to start living.


(8)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan terima kasih

Atas rahmat dan berkat yang Tuhan berikan kepada diri ku, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. :

Skripsi ini aku persembahkan kepada

Alm. Mama Claudia Mary yang selalu menyertai dan mendoakan aku selalu, selamanya, serta Papa Yohanes Sukendar dan ketiga kakak ku Novie, Desi dan Septi

yang tak pernah berhenti mendukung dan mendoakan aku.

Seluruh dosen dan staf Univ. Sanata Dharma, khususnya fakultas Psikologi, yang memberikan banyak pengetahuan yang tak ternilai kepada ku

Seluruh Kawan–Kawan mahasiswa Psikologi yang selalu memberikan pelajaran berharga bagi aku


(9)

(10)

vii

DESKRIPSI PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA DAN PREDIKSI

MUNCULNYA PSIKOSOMATIS AKIBAT PELECEHAN SEKSUAL

Marius Angga Kurnianto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan pelecehan seksual di tempat kerja. 2) Memprediksi atau menguji pelecehan seksual di tempat kerja sebagai prediktor munculnya psikosomatis. Subjek penelitian ini adalah orang bekerja yang memiliki atasan atau rekan dalam bekerja dan total subjek penelitian ini sebanyak 278 orang. Peneliti berhipotesis bahwa pelecehan seksual di tempat kerja memprediksi munculnya psikosomatis. Data penelitian ini diungkap menggunakan skala adaptasiSexual Experience QuestionnaireversiDepartment of Defenseatau SEQ –DoD dan skala adaptasi Psychosomatic Complaint Scale atau PCS, yang keduanya disusun dengan teknik likert. Nilai alpha cronbach’spada skala SEQ– DoD sebesar α = 0.966 dan pada skala PCS sebesar α = 0.934. Analisis data dilakukan dengan statistika deskriptif dan regresi linear sederhana. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa 1) Perilaku dalam dimensiunwanted sexual attentiondan gender harassment cenderung lebih sering muncul di tempat kerja. 2) Pekerja dengan karakteristik feminim, berusia antara 21 sampai 30 tahun, memiliki pendidikan terakhir D1/D2/D3 dan S1/D4, memiliki masa kerja ≤ 10 tahun, memiliki rekan kerja dengan dominasi pria, serta jabatan staf atau supervisor lebih cenderung beresiko mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. 3) Pelecehan seksual cenderung lebih banyak terjadi pada bidang kesenian dan hiburan, akomodasi dan industri. 4) Pelaku pelecehan seksual di tempat kerja lebih didominasi oleh pria. 5) Pelaku pelecehan seksual wanita cenderung melakukan pelecehan unwanted sexual attention dan gender harassment dalam bentuk verbal. 6) Pelaku pelecehan seksual pria lebih cenderung melakukan pelecehan unwanted sexual attentiondangender harassmentdalam bentuk verbal dan non-verbal. 7) Hasil analisis regresi linear sederhana menunjukkan bahwa nilai β = 0.348, p = 0.000 (>0.05), dan = 0.121, hal tersebut berarti bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi secara positif munculnya psikosomatis dengan kemampuan memprediksi sebesar 12,1%, sedangkan 87,9% diprediksi oleh variabel lain.


(11)

viii

DESCRIPTION OF SEXUAL HARASSMENT IN WORKPLACE AND

PREDICTION OF PSYCHOSOMATIC AS A CONSEQUENCE OF SEXUAL

HARASSMENT

Marius Angga Kurnianto

ABSTRACT

The purpose of this study was to: 1) Describe sexual harassment in the workplace, 2) Show sexual harassment in workplace as predictor of psychosomatic. The subjects of this research were 278 wokers who have supervisor and co-worker. The hypothesis of this research was: sexual harassment in the workplace predict psychosomatic. The data of this research collected by SEQ adapted from

SEQ-DoD version and PCS scale using Likert techinique. Alpha Cronbach’s result of both scale was α =

0.966 and α = 0.934.The data was analyze with descriptive statistic and regression. The result of this research were: 1) Unwanted sexual attention and gender harassment tend to be more often in workplace. 2) The worker with characteristic of feminine, between 21 to 30 years old, last education

D1,D2,D3 and S1/D4, 10 or less years’ service, have co-worker with male domination and staff or supervisor position tend to be more have sexual harassment experienced in workplace. 3) Sexual harassment tend to happened in arts and entertainment sector, accommodation sector and industrial. 4)Man tend to more often do sexual harassment in workplace. 5)Woman sexual harasser tend to do unwanted sexual attention and gender harassment verbally. 6)Man sexual harasser tend to do unwanted sexual attention, gender harassment and sexual coercion verbally and non-verbal. 7)The result of regression analysis showed that β = 0.348, p = 0.000 (>0.05), and = 0.121, which mean sexual harassment in workplace could predict psychosomatic 12.1%, and 87.9% was predict with the other variable.


(12)

(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat, Karunia, serta Penyertaan yang slalu saya terima, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi saya dengan judul Deskripsi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dan Prediksi Munculnya Psikosomatis Akibat Pelecehan Seksual, dengan lancar dan sukses.

Kelancaran dan kesuksesan saya dalam mengerjakan skripsi bukan semata – mata atas kerja keras saya, namun ada begitu banyak pihak yang selalu membantu saya dalam menghadapi kesulitan dan rintangan yang ada. Oleh karena itu saya mengucapkan banyak rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widianto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kepala Prodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik saya di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima Kasih atas bimbingan Ibu dengan penuh kesabaran, sehingga saya dapat berhasil selama kurang lebih empat tahun menyelesaikan kuliah dengan lancar.

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dosem Pembimbing Skripsi saya. Terima Kasih atas bimbingan bapak yang dengan sabar mengajarkan langkah–langkah dalam melakukan penelitian, sehingga saya dapat


(14)

xi

menemukan fenomena masalah, metode dan analisis dalam sebuah penelitian dengan lancar.

5. Yohanes Sukendar dan Alm. Claudia Mary, orang tua yang slalu saya cintai dan banggakan. Terima kasih atas doa, pembelajaran hidup dan dukungan materi dan psikologis yang saya dapatkan, meskipun kadang membuat kalian marah ataupun kesal, namun kalian tak pernah berhenti menyayangi saya. Semoga saya slalu membanggakan kalian selama –lamanya.

6. Maria Novie, Xaveria Desi, dan Agustina Septi, ketiga kakak yang selalu saya cintai dan banggakan. Terima kasih atas pembelajaran hidup, serta dukungan yang luar biasa dan tanpa henti yang kalian berikan kepada saya. Saya tahu kadang kalian jengkel dengan tingkah laku saya, namun kalian tetap sayang dan peduli kepada saya.

7. Seluruh Dosen Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas Ilmu Psikologi dan pembelajaran hidup yang luar biasa kalian berikan, sehingga selama kuliah saya semakin berkembang di setiap harinya.

8. Seluruh Dosen di luar Fakultas Psikologi yang membantu saya. Terima kasih atas bantuan kalian dalam memberikan ilmu yang memperlancar saya dalam mengerjakan skripsi.

9. Seluruh Staf Karyawan Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima Kasih atas usaha yang diberikan, sehingga saya dapat menyelesaikan urusan admistrasi dll dengan lancar selama kuliah di Psikologi.


(15)

xii

10. Emelia Pudar, my beloved friend mulai dari awal ospek masuk kuliah sampai semester tua. Terima kasih atas saran dan pembelajaran hidup yang luar biasa pudar berikan kepada saya. Khususnya saya berterima kasih karena mau menerima saya apa adanya, mau menerima kekurangan dan perbedaan diri saya dengan pria pada umumnya. Saya tahu kadang persahabatan kita dipenuhi hal–hal yang manis maupun pahit, namun hal tersebut tak membuat saya menyesal namun justru berterima kasih untuk pengalaman kita yang luar biasa. Semoga komunikasi kita tetap lancar, meskipun tujuan hidup kita selanjutnya memisahkan kita. Makasi yaah kriting heheee ^ ^

11.MT. Ghea, my best friend hahahaaa… Terima kasih atas segala pengalaman dan canda tawa selama ini, terima kasih sudah mau menjalin relasi dan menerima saya apa adanya. Terima kasih sudah slalu menemani saya ke gereja dan menjadi partner mencari pundi – pundi rejeki bersama. Semoga relasi kita tidak terpisahkan, meskipun tujuan hidup memisahkan jarak kita. Makasi yaah Ginuk hehee ^ ^

12. CIWIK – CIWIK, My beloved Genk Ever. Terima kasih Agnes, Bene, Bela, Bincik, Ela, Ghea, Martha,dan Rere. Terima kasih atas pengalaman yang luar biasa dan pembelajaran hidup yang kalian berikan kepada saya, terima kasih juga sudah mau menerima segala kekurangan saya. Saya tahu kadang saya membuat kalian jengkel, namun kalian tetap slalu mau dekat dengan saya. Terima kasih atas piknik yang luar biasanya, smoga reuninya bisa


(16)

xiii

terrealisasikan dan semoga kebersamaan kita tidak hilang meskipun jarak memisahkan kita bersama.

13. Adigor dan Yona, kawan mulai dari masuk asrama sampai semester tua dan Dedew kawan yang NIM nya sebelahan. Terima kasih atas hari – hari yang menyenangkan yang kalian berikan selama saya kuliah. Terima kasih juga atas segala bantuan yang saya terima dari kalian. Semoga kebersamaan kita hilang meskipun jarak akan memisahkan kita. Terima kasih my best The Brother.

14. Teman–Teman Psikologi Angkatan 2011 yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu kalian semua luar biasa. Terima kasih atas kebersamaan dan hari – hari menyenangkan yang kita lalui bersama. Terima kasih atas segala bantuan yang pernah berikan kepada saya, sehingga saya melalui perkuliahan dengan lancar. Semoga kita semua diberi kesuksesan dalam menjalani kehidupan selanjutnya dan semoga komunikasi kita selalu terjalin meskipun jarak akan memisahkan kita. Semoga akan ada reuni angkatan kita bersaman.

15. Teman–Teman Panita, Insadha 2013, PPKM 2014 dan khususnya AKSI 2015. Terima kasih teman – teman panita semua, kalian mengajarkan bagaimana saya dapat berorganisasi dan membawakan suatu acara dengan sangat baik. Terima kasih atas hari – hari yang menyenangkan, meskipun kadang ada masalah diantara kita, namun kita dapat lalui bersama. Sukses terus untuk kalian semua terima kasih.


(17)

xiv

16. Maba Kelompok 10 dan Kelompok Cinta. Terima kasih para maba ku tercinta, terima kasih atas kepercayaan yang kalian berikan kepada saya untuk menjadi kakak pendamping kalian. Kalian semua luar biasa pokoknya dan semoga kuliah kalian lancar dan suatu saat bisa menjadi kakak pendamping yang jauh lebih baik dan berkembang dari pada saya. Terima kasih and I Love U All tanpa terkecuali.

17. Teman–Teman Teater Seriboe Djendela. Terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran teater yang luar biasa kalian berikan kepada saya. Berkat kalian saya menjadi semakin berani untuk tampil di depan umum tanpa merasa takut dan ragu. Terima kasih TSD, semoga kalian selalu menampilkan pertunjukan yang luar biasa di setiap tahunnya.

18. Responden Penelitian. Terima Kasih Bapak, Ibu, Saudara dan Saudari yang telah menjadi responden penelitian saya, karena kalian telah mau meluangkan waktu dan bersedia untuk mengikuti penelitian saya. Berkat kalian saya mampu menemukan apa yang saya teliti dalam penelitian

19. Teman–Teman Jogja lainnya yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih atas pembelajaran hidup yang luar biasa yang kalian berikan, sehingga saya dapat berkembang seperti saat ini

20. Perpustakaan dan café yang memberikan fasilitas Wi-Fi. Terima kasih untuk fasilitas yang diberikan sehingga membuat saya semakin lancar untuk mengerjakan penelitian saya.


(18)

xv

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ...viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xv

Daftar Tabel ... xx

Daftar Gambar... xxii

Daftar Lampiran ... xxiii

BAB I : Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 7


(19)

xvi

D. Manfaat Penelitian... 8

1. Manfaat Teoritis... 8

2. Manfaat Praktis... 8

BAB II : Landasan Teori... 9

A. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 9

1. Pengertian Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 9

2. Bentuk–Bentuk Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 10

3. Dimensi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 12

4. Penyebab Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 13

5. Dampak Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 16

6. Pengukuran Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 19

B. Psikosomatis ... 21

1. Pengertian Psikosomatis ... 21

2. Jenis–Jenis Psikosomatis ... 22

3. Penyebab Psikosomatis... 23

4. Pengukuran Psikosomatis ... 25

C. Dinamika Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dengan Psikosomatis ... 26

D. Hipostesis ... 28


(20)

xvii

A. Jenis Penelitian ... 31

B. Variabel Penelitian... 31

C. Definisi Operasional ... 32

1. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 32

2. Psikosomatis ... 32

D. Subjek Penelitian ... 33

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 33

1. Metode Pengumpulan Data... 33

2. Alat Pengumpulan Data... 34

a.. SEQ-DoD... 35

b. PCS ... 37

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 39

1. Validitas Alat Ukur... 39

a. SEQ-DoD... 39

b. PCS ... 40

2. Realibilitas Alat Ukur ... 40

a. SEQ-DoD... 41

b. PCS ... 42


(21)

xviii

1. Analisis Deskriptif ... 43

2. Uji Asumsi ... 43

a. Uji Normalitas Residu... 43

b. Uji Heterokedasitas... 44

c. Uji Linearitas ... 44

3. Uji Hipotesis... 44

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 45

A. Persiapan Penelitian... 45

B. Pelaksanaan Penelitian... 46

C. Deskripsi Penelitian ... 47

1. Deskripsi Subjek Penelelitian ... 47

2. Deskripsi Data Penelitian ... 56

3. Kategorisasi ... 57

D. Hasil Penelitian... 58

1. Analisis Deskriptif ... 58

2. Hasil Uji Asumsi ... 81

a. Uji Normalitas Residu... 81

b. Uji Heterokedasitas... 82


(22)

xix

3. Hasil Uji Hipotesis... 84 4. Analisis Tambahan ... 85 E. Pembahasan... 86 1. Analisis Deskriptif ... 86 2. Pembahasan Hipotesis ... 94 3. Pembahasan Analisis Tambahan ... 96 F. Keterbatasan Penelitian ... 97 BAB V : Kesimpulan dan Saran ... 98 A. Kesimpulan... 98 B. Saran ... 100 1. Bagi Pekerja... 100 2. Bagi Atasan/Direktur/Pemilik Tempat Kerja ... 100 3. Bagi Peneliti Selanjutnya... 101 Daftar Pustaka ... 103 Lampiran ... 110


(23)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Sebaran Item Skala SEQ–DoD ... 37 Tabel 2 Skor Skala SEQ–DoD... 37 Tabel 3 Sebaran Item Skala PCS ... 38 Tabel 4 Skor PCS ... 39 Tabel 5 Reliabilitas Skala SEQ–DoD ... 41 Tabel 6 Reliabilitas Skala PCS ... 42 Tabel 7 Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ... 48 Tabel 8 Deskripsi Subjek Berdasarkan Identitas Seksual ... 49 Tabel 9 Deskripsi Subjek Berdasarkan Status Relasi ... 50 Tabel 10 Deskripsi Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 50 Tabel 11 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Lapangan Kerja... 51 Tabel 12 Deskripsi Subjek Berdasarkan Masa Kerja... 52 Tabel 13 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Instansi... 53 Tabel 14 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jabatan ... 53 Tabel 15 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jumlah Rekan Kerja... 54 Tabel 16 Deskripsi Subjek Berdasarkan Domisili Subjek Bekerja... 54 Tabel 17 Deskripsi Data Penelitian... 56 Tabel 18 Norma Kategorisasi... 57


(24)

xxi

Tabel 19 Kategori Subjek Berdasarkan Norma Kategorisasi ... 58 Tabel 20 Uji Normalitas Residu... 82 Tabel 21 Uji Glejser Heterokedasitas ... 83 Tabel 22 Uji Linearitas... 84 Tabel 23 Uji Hipotesis ... 85 Tabel 24 Koefisien Determinan ... 85


(25)

xxii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bagan Dinamika Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

dengan Psikosomatis ... 29 Gambar 2 Bagan Dinamika Tambahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dengan Psikosomatis ... 30 Gambar 3 Histogram Skor Total Masing-masing Item SEQ-DoD ... 59 Gambar 4 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Identitas seksual... 60 Gambar 5 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Usia ... 63 Gambar 6 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir ... 65 Gambar 7 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Masa Kerja... 67 Gambar 8 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Jumlah Dominasi Rekan Kerja .... 69 Gambar 9 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Jabatan Kerja ... 72 Gambar 10 Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Jenis Bidang Kerja... 73 Gambar 11 Pie Chart Pelaku Pelecehan Seksual di Tempat Kerja ... 79 Gambar 12 Histogram Pelaku Pelecehan Seksual Berdasarkan Item SEQ-DoD 80


(26)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil Angket Terbuka ... 111 1. Hasil Angket Terbuka Pada Wanita ... 111 2. Hasil Angket Terbuka Pada Pria ... 118 Blueprint Skala SEQ-DoD ... 125 Blueprint Skala PCS... 128 Skala Relasi Seksualitas di Tempat... 130 Hasil Reliabilitas Pada Skala SEQ-DoD... 141 Hasil Reliabilitas Pada Skala PCS ... 143 Hasil Uji Normalitas Residu ... 145 Hasil Uji Heterokedasitas dengan Uji Glejser ... 146 Hasil Uji Linearitas ... 148 Hasil Uji Regresi ... 151


(27)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki jumlah presentase orang bekerja lebih dari setengah jumlah total rasio penduduk, yakni sebesar 65.2% (ILO, 2014). Sebagai orang yang bekerja, para pekerja selalu mengharapkan kondisi lingkungan kerja yang aman, agar kesejahteraan hidup pekerja semakin meningkat (Wulan, 2015). Kondisi lingkungan kerja yang aman juga dapat meningkatkan kualitas hubungan industrial antara pekerja dan pemilik serta mampu meningkatkan produktifitas dan loyalitas para pekerja (Better WorkIndonesia, 2012).

Akan tetapi tak jarang ditemui di beberapa tempat kerja, kondisi lingkungan kerja menjadi tempat yang penuh ancaman bagi para pekerja. Kondisi tersebut menyebabkan pekerja merasa tidak aman sehingga berdampak pada produktifitas dan loyalitas pekerja dalam bekerja (Better Work Indonesia, 2012). Salah satu penyebab kondisi lingkungan kerja yang tidak aman adalah adanya tindakan pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerja.

Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak dikehendaki oleh penerima/korban yang terjadi di tempat kerja atau di struktur lingkungan lainnya (Levay & Simon, 2006). Sugihastuti dan Siti (2007) menjelaskan bahwa pelecehan


(28)

seksual adalah semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak secara seksual yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, misalnya kata-kata tentang seks, bersetubuh, meminta melakukan tindakan seksual dan sebagainya. Dalam dunia kerja The Equal Employment Opportunity Commision (The EEOC) (dalam Levay & Sharon, 2006) menggambarkan pelecehan seksual dalam tiga bentuk yakni: rayuan, permintaan dan tingkah laku atau perkataan yang mengandung unsur seksual. Ketiga hal tersebut dikatakan sebagai pelecehan seksual jika korban/penerima terpaksa mematuhi atau menolak secara tegas tindakan tersebut dan jika tindakan tersebut menimbulkan permusuhan atau pertenangan, rasa takut dan terancam.

Di negara barat pelecehan seksual di tempat kerja telah banyak diteliti oleh para peneliti, mulai dari penelitian terkait jumlah presentase korban dan pelaku, faktor beresiko, penyebab hingga dampak pelecehan seksual di tempat kerja. Salah satu penelitian yang melihat jumlah presentase korban dan pelaku adalah penelitian yang dilakukan oleh Lois Harris (dalam Levay & Simon, 2006) menemukan 83% korban pelecehan seksual di tempat kerja adalah wanita dengan usia produktif dalam bekerja. Hasil penelitian American Psychology Association (dalam Levay & Simon, 2006) menemukan jumlah pelaku pelecehan seksual yang didominasi oleh jumlah pria, yakni sekitar 99% pria dan 1% wanita.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Serial BBC (dalam Hastuti & Lucia, 2003) pada tahun 1998 menemukan beberapa perilaku pelecehan seksual yang sering


(29)

terjadi di tempat kerja antara lain: penyalahgunaan kata-kata (dilakukan oleh 95% pelaku wanita dan 75% pelaku pria), gerakan yang mengandung unsur seksual (dilakukan oleh 33% pelaku wanita dan 87% pelaku pria), rayuan mesra (dilakukan oleh 62% pelaku pria).

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Baugh (1997) terkait penyebab pelecehan seksual di tempat kerja menemukan power atau kekuasaan yang dimiliki seseorang seringkali memicu terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja. Hal tersebut terlihat dari banyaknya atasan yang menjadi pelaku dan bawahan sebagai korban pelecehan seksual di tempat kerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hall (dalam Welsh, 1999) menemukan bahwa jumlah dominasi rekan kerja juga memicu terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja, misalnya wanita yang bekerja di tempat kerja dengan jumlah dominasi pria akan lebih sering mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

Dampak pelecehan seksual di tempat kerja juga telah banyak diteliti di negara barat. Levay dan Simon (2006) telah menemukan bahwa pelecehan seksual dapat mengakibatkan dampak negatif secara fisik maupun psikis. Hasil penelitian Gutek (1985) menemukan bahwa dampak pelecehan seksual di tempat kerja yang sangat terlihat pada korban pelecehan seksual adalah penurunan kualitas kerja dan meningkatnya absesi kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Julian Barling, Inez Dekker, Catherine A., Kevin K., Clive F. dan Deborah J. (1996) dengan menggunakan sebanyak 591 subjek penelitian yakni para pekerja yang berasal dari


(30)

empat bidang pekerjaan (kesehatan,manufacture,akomodasi dan sosial) menemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja secara langsung mengakibatkan perubahan mood yang dirasakan korban pelecehan seksual menjadi negatif dalam bentuk kecemasan dan depresi. Hasil lain ditemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya intensitas turn over, psikosomatis dan interpersonal dissatisfaction yang dimediasi oleh adanya mood negatif yang dirasakan oleh korban pelecehan seksual.

Di Indonesia pelecehan seksual di tempat kerja juga telah diteliti oleh beberapa peneliti Indonesia. Sebagian besar penelitian lebih mengarah pada survei-survei untuk melihat presentase korban pelecehan seksual di tempat kerja. Salah satunya dilakukan oleh Better WorkIndonesia (2012) yang menemukan sekitar 80% wanita yang bekerja pernah mengalami atau melihat secara langsung kejadian pelecehan seksual di tempat kerja. International Labour Organization Indonesia (2014) juga menemukan bahwa 90% korban pelecehan seksual di tempat kerja adalah para pekerja yang memiliki jabatan kerja dan tingkat ekonomi yang rendah.

Beberapa penelitian melihat masalah pelecehan seksual di tempat kerja berdasarkan sudut pandang korban pelecehan seksual dengan menggunakan metode kualitatif. Salah satunya Fauzia dan Weny (2010) melihat gangguan stress pasca trauma yang dialami korban pelecehan seksual di tempat kerja. Sebagian besar korban pelecehan seksual mengalami gangguan sosial PTSD seperti perilaku menghindar, merasa disisihkan atau sendiri, serta susah percaya dengan orang lain


(31)

(Fauzia & Weny, 2010). Ira (2014) melihat proses resiliensi korban pelecehan seksual di tempat kerja, dan menemukan faktor yang membuat korban pelecehan seksual mengalami proses resiliensi adalah faktor dukungan sosial, penerimaan diri, faktorI’am, faktorI Havedan faktorI Can.

Meskipun telah dilakukan beberapa penelitian terkait pelecehan seksual di tempat kerja, akan tetapi Margaretha (2015) menjelaskan bahwa penelitian yang ada di Indonesia terkait pelecehan seksual di tempat kerja belum cukup mampu untuk menjelaskan bagaimana fenomena tersebut ditangani di Indonesia. Berdasarkan penelitian sebelumnya peneliti berasumsi bahwa selama ini penelitian pelecehan seksual di tempat kerja hanya melihat jumlah presentase korban pelecehan seksual di tempat kerja dan dampak yang dialami oleh korban pelecehan seksual. Di Indonesia penelitian yang mendeskripsikan masalah pelecehan seksual di tempat kerja belum pernah ada. Diharapkan dengan mendeskripsikan masalah pelecehan seksual di tempat kerja dapat menemukan faktor-faktor resikonya, sehingga hasil temuan penelitian dapat digunakan untuk menangani fenomena pelecehan seksual di tempat kerja.

Berdasarkan hal tersebut peneliti mencoba mengangkat penelitian yang mendeskripsikan pelecehan seksual di tempat kerja dengan menggunakan alat ukur psikologis. Hasil deskripsi tidak hanya melihat jumlah presentase korban atau pelaku pelecehan seksual, akan tetapi melihat juga bagaimana gambaran perilaku pelecehan seksual di tempat kerja, serta menghubungkan hasil dengan data demografis korban


(32)

pelecehan seksual untuk menemukan faktor-faktor beresiko dari masalah pelecehan seksual di tempat kerja.

Selain melihat masalah pelecehan seksual di tempat kerja, peneliti juga melihat dampak yang dirasakan oleh pekerja Indonesia korban pelecehan seksual di tempat kerja. Beberapa laporan menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual di tempat kerja merasa tertekan, tidak bersemangat dalam bekerja (Hukumonline.com), tidak nyaman dan sering absen (Detiknews.com, 2014) serta sering stress karena sering digosipkan atau digunjingkan serta merasa kehilangan relasi kerja danturnover (Margaretha, 2015). Berdasarkan hasil laporan tersebut peneliti tidak menemukan dampak pelecehan seksual secara fisik yang dirasakan korban pelecehan seksual. Padahal di negara barat ditemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja dapat memberikan dampak secara fisik yang berkaitan dengan gangguan psikosomatis, seperti: tidak bisa tidur, mudah lelah dan sering mengalami sakit kepala setelah mengalami pelecehan seksual (Forster,1992). Pada penelitian Julian, dkk (1996). juga menemukan bahwa pelecehan seksual dapat memprediksi munculnya psikosomatis yang dimediasi olehnegative mood.

Dalam ranah psikiatri psikosomatis disebut dengan psychophysiological reaction yang merupakan suatu ekspresi organis baik dalam bentuk disfungsi atau perubahan patologis yang ditimbulkan akibat emosi yang kronis yang disalurkan melalui susunan saraf autonom (Kartono & Gulo, 1978). Demikian dapat dimengerti bahwa setiap fungsi organis yang terganggu oleh emosi yang kuat dapat menjadi


(33)

basis timbulnya bermacam-macam gangguan psikosomatis (Kartono & Gulo, 1978). Reaksi psikosomatis bisa mengenai semua fungsi organ yang penting dalam tubuh (Prawiroharjo, 1973).

Berdasarkan hal tersebut peneliti mencoba kembali mengangkat penelitian yang dilakukan oleh Julian, dkk. (1996) di Indonesia untuk membuktikan kembali bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya psikosomatis di tempat kerja. Dengan memberikan sumbangan karakteristik pada penelitian sebelumnya dengan adanya tambahan variasi bidang pekerjaan yang pada penelitian sebelumnya menggunakan empat bidang pekerjaan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang ada maka rumusan masalah yang diangkat peneliti adalah :

1. Bagaimana deskripsi masalah pelecehan seksual di tempat kerja ?

2. Apakah pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya psikosomatis ?

C. Tujuan Masalah

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat deskripsi masalah pelecehan seksual di tempat kerja serta melihat pelecehan seksual ditempat kerja sebagai prediktor munculnya psikosomatis.


(34)

D. Manfaat Peneliitian

1. Manfaat Teoritis

a. Dengan mendeskripsikan masalah pelecehan seksual di tempat kerja, maka akan terlihat faktor-faktor resiko yang ada dalam masalah pelecehan seksual di tempat kerja.

b. Untuk menambah pengetahuan dalam ilmu psikologi khususnya dalam bidang klinis dan industri dan organisasi terkait pelecehan seksual di tempat kerja dan psikosomatis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para subjek penelitian, informasi penelitian dapat menambah wawasan subjek terkait bentuk-bentuk perilaku dan faktor resiko pelecehan seksual di tempat kerja, sehingga diharapkan agar subjek penelitian dapat semakin menjaga diri dan lebih waspada dalam lingkungan kerja. Serta menambah wawasan terkait psikosomatis. b. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi

perusahaan untuk menentukan strategi dalam menangai masalah pelecehan seksual yang terjadi di perusahaan tersebut.


(35)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

1. Pengertian Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan adalah proses, perbuatan, cara memandang rendah (tidak berharga); menghinakan; mengabaikan (KBBI, 2011), sedangkan pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang mengganggu (Sugihastuti & Siti, 2007), disengaja dan diulang, seperti: komentar verbal, gerak dan kontak fisik yang tidak dinginkan oleh penerima atau korban (Spencer, Jeffrey & Lois, 2008). Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 dijelaskan tempat kerja adalah tempat fisik di mana para pekerja bekerja, hal ini termasuk semua ruangan, lapangan, halaman dan daerah-daerah yang mengelilinginya.

Mathis dan Jackson (dalam Dharma, 2009) menjelaskan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja adalah perilaku atasan atau rekan kerja yang mengarah pada unsur seksual dan menempatkan tenaga kerja ke dalam situasi kerja yang merugikan atau menciptakan lingkungan kerja yang tidak bersahabat. Better Work Indonesia (2012) menjelaskan pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam beberapa bagian:

a. Penyalahgunaan perilaku seksual b. Permintaan layanan seksual


(36)

c. Pernyataan verbal atau fisik atau bahasa tubuh yang menyiratkan perilaku seksual

d. Tindakan yang tidak diinginkkan yang berkonotasi seksual:

i. Orang yang menjadi sasaran telah menyatakan secara jelas bahwa perilaku tersebut tidak dikehendaki;

ii. Orang yang menjadi sasaran merasa terhina, tersinggung dan/atau terintimidasi oleh perilaku tersebut;

iii. Pelaku sewajarnya harus dapat mengantisipasi bahwa orang lain akan merasa tersinggung, terhina dan/atau terintimidasi oleh perilaku tersebut.

Berdasarkan pengertian teoritis diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja adalah perilaku menghina, merendahkan, mengganggu, merugikan dan tidak dinginkan yang mengandung unsur seksual baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal, dilakukan oleh atasan atau rekan kerja di dalam lingkungan kerja secara sengaja dan berulang.

2. BentukBentuk Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

The Equal Employment Opportunity Commission (The EEOC) (dalam, Levay, & Sharon, 2006) menggambarkan pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam tiga bentuk perilaku seperti:

a. Rayuan atau pendekatan yang berunsur seksual yang tidak diinginkan; b. Permintaan/imbalan dalam bentuk seksual;


(37)

Ketiga hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelecehan seksual, jika penerima/korban menolak perilaku tersebut dengan tegas atau justru tunduk mematuhinya, sehingga memunculkan rasa takut, terancam dan menyebabkan permusuhan. Dalam sudut pandang undang-undang, pelecehan seksual di tempat dibagi ke dalam dua bentuk perilaku (Welsh, 1999):

a. “Quid Pro Quo” Harassment, termasuk perilaku seksual yang diperoleh dengan mengancam atau menyuap, sehingga korban patuh atau menerima perlakuan seksual tersebut dengan pertimbangan terkait pekerjaan mereka.

b. Hostile Environment Harassment, termasuk perilaku bercanda, berkomentar, sentuhan yang mengandung unsur seksual dan bertentangan dengan keinginan orang yang menerima perlakuan tersebut, atau bersifat mengintimidasi seseorang, sehingga menyebabkan adanya permusuhan.

Secara umumBetter Work Indonesia(2012) membagi bentuk pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam lima bentuk perilaku:

a. Pelecehan seksual secara fisik: termasuk sentuhan yang tidak dinginkan dengan kecenderungan seksual seperti: mencium, menepuk, mencubit, mencolek, dan memegang dengan penuh hawa nafsu.

b. Pelecehan seksual secara verbal: termasuk komentar-komentar yang tidak dinginkan tentang kehidupan seksual atau anggota tubuh/penampilan, lelucon dan godaan yang bersifat seksual.


(38)

c. Pelecehan seksual dengan bahasa tubuh: termasuk bahasa tubuh atau gerak-gerik yang menjurus pada sesuatu yang berunsur seksual, seperti: kedipan mata berulang-ulang, gerakan bibir, dan jari-jemari.

d. Pelecehan seksual bersifat tertulis atau grafis: termasuk pemaparan barang-barang pornografi, gambar-gambar eksplisit yang bersifat seksual, gambar cover komputer dan pelecehan seksual melalui pesan singkat dan sarana komunikasi lainnya.

e. Pelecehan seksual psikologis/emosional: termasuk diantaranya permintaan yang terus-menerus dan tidak diinginkan, undangan yang tidak diinginkan untuk pergi berkencan, hinaan, ejekan dan sindiran yang berkonotasi seksual.

3. Dimensi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Fitzgerald, Geldfand dan Drasgow menjelaskan bentuk konstruk perilaku pelecehan seksual ke dalam tiga dimensi yang saling berkaitan namun berbeda secara seksual:

a. Gender harassment, perilaku pelecehan seksual yang lebih mengarah pada perilaku merendahkan atau menghina yang berbasis pada gender seseorang. Contohnya: membuat pernyataan yang bersifat merendahkan gender tertentu (“semua pria suka melakukan masturbasi” atau “semua wanita suka digoda oleh banyak pria”).

b. Unwanted sexual attention, perilaku pelecehan seksual yang lebih mengarah pada perilaku menarik perhatian orang lain yang tidak


(39)

dinginkan, tidak dibalas dan menyinggung. Contohnya: perilaku memperlihatkan alat kelamin di depan umum, perilaku menggoda seseorang dengan panggilan mesra, perilaku menggoda seseorang dengan gesture tubuh, perilaku mencolek atau memegang tubuh orang lain dan perilaku bercanda atau bercerita hal seksual.

c. Sexual coercion, perilaku pelecehan seksual yang lebih mengarah pada perilaku memaksa, memeras atau memberikan iming-iming atau hadiah untuk memperoleh aktivitas seksual bersama. Contohnya: perilaku memberikan reward jika mau berhubungan seks atau perilaku memberikan ancaman agar korban patuh untuk melakukan aktivitas seksual bersama.

4. Penyebab Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Salah satu penelitian menemukan bahwa jenis lapangan kerja mampu menjadi salah satu faktor penyebab pelecehan seksual di tempat kerja, contohnya perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan yang berkaitan erat dengan dunia laki-laki cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dibandingkan perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan yang berkaitan erat dengan dunia perempuan (Gutek & Morasch 1982; Gutek & Cohen, 1987; Welsh, 1999). Jumlah dominasi pekerja di tempat kerja juga mampu menjadi salah satu faktor penyebab pelecehan seksual di tempat kerja, contohnya perempuan yang memiliki rekan kerja yang didominasi oleh laki-laki cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual dibandingkan perempuan


(40)

yang memiliki rekan kerja yang didominasi oleh perempuan (Gruber, 1998; Welsh, 1999).

Hall (dalam Welsh, 1999) menjelaskan bahwa budaya suatu organisasi merupakan suatu gambaran yang mewakilli aturan-aturan dari perilaku dan nilai yang ada pada anggota organisasi tersebut, sehingga tidak mengherankan bahwa para peneliti beralih ke budaya organisasi untuk menjelaskan mengapa pelecehan seksual dapat terjadi di beberapa organisasi. Salah satu penelitian menemukan bahwa organisasi yang memiliki budaya untuk mentolerir tindakan pelecehan seksual akan memicu tingginya perilaku pelecehan seksual di organisasi tersebut (e.g. Hulin et al, 1993; Pryor et al, 1996; Welsh, 1999).

Dalam artikel UNESCO & BKKBN (2009) menjelaskan faktor penyebab pelecehan seksual di tempat kerja dari tiga sudut pandang yang berbeda:

a. Sudut pandang pelaku

i. Pelaku memiliki kekuasaan atau kekuatan terhadap korbannya yang mampu memberikan iming-iming kekuasaan atau kenaikan penghasilan.

ii. Sebagian besar pelaku pelecehan seksual di tempat kerja didominasi oleh laki-laki, hal tersebut dipicu adanya kekuasaan atau penempatan posisi laki-laki yang sering lebih tinggi dibandingkan perempuan atau dengan kata lain memperkerjakan perempuan, seperti: memecat, mengawasi, dan mempromosikan perempuan.


(41)

b. Sudut pandang korban

i. Adanya daya tarik seksual atau rangsangan dari korban pelecehan seksual, ditambah lagi korban pelecehan seksual tidak berani menolak perlakuan karena takut kehilangan pekerjaan.

c. Sudut pandang lingkungan

i. Eksternal korban: fenomena yang ada pada perilaku pelecehan seksual disebabkan oleh banyaknya masalah pelecehan seksual yang dimengerti hanya sebagai masalah perseorangan serta kurangnya informasi terkait pelecehan seksual.

ii. Ruangan: jika terdapat ruangan agak tertutup maka akan mempermudah terjadinya tindakan pelecehan seksual.

iii. Interaksi :

1) Biological model: pelecehan seksual terjadi karena adanya daya tarik seksual yang alamiah.

2) Organizational model: adanya faktor kekuasaan atau hubungan.

3) The social culture model: adanya perwujudan sistem patrialisme yang lebih luas dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa.


(42)

Kekurangan yang ada dalam penelitian pelecehan seksual adalah penjelasan secara teoritis mengapa seseorang memutuskan untuk melakukan tindakan pelecehan seksual (Welsh, 1999).

5. Dampak Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Secara keseluruhan penelitian menemukan bahwa dampak pelecehan seksual adalah efek negatif yang dirasakan oleh para korban pelecehan seksual (Maypole & Rosemarie, 1983). Para korban pelecehan seksual dapat menderita berbagai efek secara emosional dan fisik (Crooks & Karla, 1983). Foster (1992) menemukan bahwa dampak pelecehan seksual yang sering dialami oleh para korban adalah lekas marah, gelisah, depresi, memburuknya hubungan personal, adanya permusuhan, gangguan tidur, mudah lelah dan sintom stress kerja lain. Salah satu hasil survey menunjukkan bahwa 98% korban pelecehan seksual di tempat kerja mengaku dirinya mengalami dampak negatif seperti: perasaan yang mudah marah, merasa terhina dan dipermalukan dan rendah diri (McKinnon, 1979; Croocks & Karla 1983).

Hasil penelitian Julian, dkk. (1996) menemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya turnover, psychosomatic dan interpersonal dissatisfaction yang dimediasi oleh efek negative mood dalam bentuk kecemasan dan/atau depresi yang dirasakan korban pelecehan seksual. Truida menuliskan dalam artikelnya Sexual Harassment; Cause, Consequence and Cures (1992) menjelaskan dampak pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam tiga sudut pandang yang berbeda:


(43)

a. Sudut pandang perusahaan

i. Keuangan perusahaan mengalami kerugian. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan produktifitas, semangat dan motivasi pekerja yang mengalami pelecehan seksual. Pekerja yang tidak terlibat pelecehan seksual namun melihat atau mengetahui tindakan tersebut terjadi di tempat kerjanya, dapat kehilangan motivasi bekerja karena tidak dapat menerima atau takut terhadap kejadian tersebut.

ii. Perusahaan dapat kehilangan stafnya yang berharga. Pekerja yang mengalami pelecehan seksual akan memilih untuk mengundurkan diri mereka, meskipun dianggap memiliki kinerja dan prestasi yang baik.

iii. Meningkatnya tingkat absensi dan stress kerja dikalangan pekerja. Pekerja takut kembali mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan akibat-akibat lainnya yang memicu pekerja untuk berada dalam rumah atau tempat yang dianggap aman.

iv. Adanya pelecehan seksual di tempat kerja dapat merusak standart etika dan disiplin perusahaan tersebut. Pekerja yang mengalami pelecehan seksual akan menghilangkan rasa hormat mereka pada atasan atau rekan kerja mereka.

v. Citra perusahaan akan rusak atau menurun karena adanya kabar yang tersiar terkait pelecehan seksual di kalangan masyarakat.


(44)

b. Sudut pandang hukum

i. Perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikenakan pelanggaran hukum jika kasus pelecehan seksual tersebut diabaikan. Dalam peraturan industrial pemilik/atasan/majikan wajib memastikan pekerjanya tidak mengalami bentuk pelanggaran di tempat kerja. ii. Adanya tindak pidana atau gugatan perdata yang dilakukan secara

tegas terhadap praktek-praktek kerja yang tidak adil dan tindakan pelecehan terhadap pekerja oleh atasan atau rekan kerja.

iii. Kurangnya penjelasan terkait bentuk-bentuk pelecehan seksual di tempat kerja dapat mempermudah pelaku membawa perusahaan ke pengadilan dan mengajukan banding terhadap langkah-langkah disipliner atau pemecatan yang dialami pelaku.

c. Sudut pandang individu

i. Korban biasanya mengalami kerugian keuangan tertinggi meskipun pelaku atau bahkan pengamat juga dapat mengalami kerugian keuangan akibat adanya tindakan pelecehan seksual di tempat kerja. ii. Pekerja yang mengundurkan diri karena masalah pelecehan seksual sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan referensi dari atasan mereka sebelumnya, sehingga membuat mereka kesulitan untuk mencari posisi lain atau perusahaan lain.


(45)

iii. Korban yang menolak/mengeluh ketika mengalami pelecehan akan kesulitan mendapatkan promosi sehingga hal tersebut menahan proses pengembangan karir mereka.

iv. Para pelaku pelecehan seksual sendiri akan mudah jatuh ke dalam kebiasaan buruk jika perilaku tersebut terus-menerus berjalan tanpa adanya hambatan. Hal tersebut mampu menimbulkan dampak negatif terkait efektifitas pekerja, hubungan antar pekerja serta kehidupan pribadinya.

v. Para pekerja yang menjadi pengamat tindakan pelecehan seksual di tempat kerja akan kehilangan rasa percaya mereka terhadap para atasan atau rekan kerja khususnya para pelaku serta muncul rasa terancam dalam diri mereka. Pekerja juga akan memiliki kepercayaan akan adanya “aturan main” di dalam perusahaan yang melibatkan tindakan seksual.

6. Pengukuran Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Sebagian besar pengukuran-pengukuran pelecehan seksual di tempat kerja bertujuan melihat jumlah presentase korban pelecehan seksual. salah satunya di Pentagon pada tahun 1995, yang menemukan bahwa 78% wanita dan 38% pria yang aktif bekerja memiliki pengalaman pelecehan seksual di tempat kerja (U.S. Department of Defense, 1995; Levay & Sharon, 2006). Pada tahun 1997 Lois Harris Poll (dalam Levay & Sharon) menemukan bahwa sekitar 32% (31% pelaku pria dan 1% pelaku wanita) wanita dan 7%


(46)

(3% pelaku pria dan 4% pelaku wanita) pria yang bekerja aktif di Amerika mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerjanya.

Beberapa pengukuran pelecehan seksual di tempat kerja menggunakan konstruksi psikologis. Salah satunya Sexual Harassment Questionaire yang dikembangkan oleh Jullian, Inez, Chaterine, Kevin, Clive dan Deborah (1996). Dikembangkan berdasarkan hasil survei terhadap 800 orang pekerja di negara Kanada. Terdapat 31 item dengan format respon Likert dengan skor 1 sampai 5. Ada juga skala Sex and Workplace yang dikembangkan oleh Gutek (1985). Terdapat 8 item yang dikembangkan berdasarkan definisi secara legal pelecehan seksual di tempat kerja. Menggunakan respon format Likert dengan skor 1 sampai 3.

Pada penelitian ini pengukuran pelecehan seksual di tempat kerja dilakukan dengan menggunakan skala pengukuran psikologis yaitu SEQ-DoD. Merupakan salah satu versi alat ukur SEQ yang dikembangkan oleh Lois Fitzgerald, Vicki J., Fritz Drasgow dan Craig R. (1999). SEQ-DoD merupakan salah satu alat ukur SEQ yang digunakan untuk mengukur pelecehan seksual di tempat kerja, yang sebelumnya digunakan di dunia militer dengan subjek pria dan wanita (Fitzgerald, dkk., 1999). SEQ-DoD merupakan alat ukur pelecehan seksual di tempat kerja yang menghubungkan antara definisi legal dari pelecehan seksual yang berasal dari definisi The EEOC dan bentuk konstruk dari social behavior pelecehan, karena definisi


(47)

legal dari pelecehan seksual kurang begitu mampu merepresentasikan bentuk perilaku pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja (Fitzgerald, dkk., 1999). Total item yang dimiliki sebanyak 22 item dengan format respon Likert skor 1 sampai 5.

B. Psikosomatis

1. Pengertian Psikosomatis

Dalam ranah psikiatri psikosomatis disebut denganpsychophysiological reaction yang merupakan suatu ekspresi organis baik dalam bentuk disfungsi atau perubahan patologis yang ditimbulkan akibat emosi yang kronis yang disalurkan melalui susunan saraf autonom (Kartono & Gulo, 1978). Bahasa yang lebih sederhana adalah gangguan fisik yang disebabkan oleh tekanan emosi yang bereaksi berlebihan (Kartono & Gulo, 1978). Roan (1979) menjelaskan istilah psikosomatis digunakan untuk menjelaskan dua hal yakni:

a. Untuk menyatakan cara pendekatan klinis dalam ilmu kedokteran dimana manusia dianggap mempunyai tubuh dan jiwa yang saling berdampingan, dimana keduanya akan menderita bila terdapat suatu penyakit.

b. Untuk menyatakan sekelompok penyakit atau sindroma yang dinyatakan dalam gangguan atau kerusakan jaringan fisik maupun fungsinya terutama gangguan fungsi susunan saraf autonom dimana faktor emosi memegang peranan penting.


(48)

Berdasarkan teori diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa psikosomatis adalah sekumpulan penyakit fisik baik dalam bentuk disfungsi atau perubahan patologis yang disebabkan oleh adanya emosi yang berlebihan dalam diri seseorang yang disalurkan melalui susunan saraf autonom.

2. Jenis–Jenis Psikosomatis

Prawirohardjo (1973) dalam bukunya membuat klasifikasi atas jenis-jenis psikosomatik dalam beberapa bentuk, dengan bantuan terjemahan bahasa penyakit dari kamus Kedokteran Dorland (Hartanto, dkk., 2002)

a. Bagian sistem cardiovascular, berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah.

b. Bagian sistemgastrointestinal, berkaitan dengan lambung dan usus. c. Bagian sistem musculoskeletal, berkaitan dengan sistem kompleks yang

melibatkan otot-otot dan kerangka tubuh.

d. Bagian sistemrespiratory,berkaitan dengan sistem pernafasan.

e. Bagian sistem endocrine, berkaitan dengan organ atau struktur yang mengeluarkan bahan yang dihasilkannya ke dalam darah atau cairan limfe.

f. Bagian sistem kulit

g. Bagian sistemgenitourinary,berkaitan dengan organ genital. h. Bagian sistemnervorum, berkaitan dengan sistem saraf.


(49)

3. Penyebab Psikosomatis

Kartono dan Kartini (1980) menjelaskan bahwa kondisi psikhe atau jiwa menentukan timbulnya penyakit soma atau badaniah. Sebagai contoh ketakutan hebat mengakibatkan detak jantung yang cepat dan rasa lemas pada tubuh. Detak jantung yang cepat dan rasa lemas merupakan fisiologis yang diidentifikasikan sebagai produk dari konflik emosionil dan kecemasan-kecemasan kronis.

(Prawirohardjo, 1973) menjelaskan bahwa individu dengan mental yang sehat memiliki ego yang berfungsi dengan baik berarti ego bisa menyalurkan dorongan-dorongan insting maupun material-material konflik lainnya dengan baik. Akan tetapi jika ego gagal dalam melaksanakan tugasnya maka akibatnya adalah penyakit mental. Bila dalam penyaluran tersebut ego mengekspresikan ke dalam penyakit-penyakit organ melalui susunan saraf autonom maka hasilnya adalah suatu penyakit psikosomatis.

Tebbets (dalam Fathonnah, 2012) menjelaskan bahwa kebanyakan penyakit bersifat psikosomatis dipilih (untuk dimunculkan) pada level pikiran bawah sadar untuk lari dari situasi yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan mental berlebihan yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti: marah, benci, dendam, takut dan perasaan bersalah. Ruesch (dalam Roan, 1979) menjelaskan gangguan psikosomatis merupakan akibat dari ketegangan jiwa oleh perubahan-perubahan sosial dan mobilitas yang sering terjadi karena adanya tekanan


(50)

ambisi yang tinggi, kebutuhan akan konformitas dan penekanan dari dorongan naluri.

David dan leslie (dalam, Fathonnah, 2012) menjelaskan 7 hal yang dapat menjadi penyebab penyakit psikosomatis yakni:

a. Internal conflict:konflik diri yang melibatkan dua bagian atau egostate. b. Organ Language: bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam

mengungkapkan perasaannya, misal: “ia bagaikan duri dalam daging yang membuat tubuh saya sakit”. Bila pernyataan ini diulang maka pikiran bawah sadar akan membuat bagian tubuh tertentu menjadi sakit sesuai dengan sematik yang digunakan.

c. Motivation/secondary gain: keuntungan yang didapat seseorang dengan sakit yang dideritanya, misalnya: perhatian orang tua, suami, istri atau lingkungannya, atau menghindari beban tanggung jawab tertentu.

d. Past experience: pengalaman masa lalu yang bersifat trauma yang mengakibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam diri seseorang.

e. Identification: penyakit yang muncul akibat diidentifikasikan dengan seseorang atau figur otoritas yang dikaguminya, misalnya: seseorang akan mengalami sakit seperti yang dialami oleh figur otoritasnya.

f. Self punishment: pikiran bawah sadar membuat seseorang sakit, karena memiliki perasaan bersalah akibat melakukan suatu hal tindakan yang bertentangan dengan nilai hidup yang dipegang orang tersebut.


(51)

g. Imprint: pemikiran yang masuk ke pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami emosi yang intens, misalnya: orang tua menanamkan program pikiran bawah sadar anak dengan berkata “jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan demam”.

4. Pengukuran Psikosomatis

Pengukuran-pengukuran psikosomatis sering dilakukan dalam dunia medis. Pengukuran psikosomatis dilakukan dengan menggunakan konstruksi psikologis. Salah sataunya Psychosomatic Symptom Inventory yang dikembangkan oleh Philips (1971). Digunakan untuk mengukur gejala psikosomatis yang dialami oleh orang dewasa (Rosa & Allan Mazur, 1974). Psychosomatic Symptoms yang dikembangkan oleh Derogatis (1979) berdasarkanThe Hopkins Symptoms Checklist (HSCL) yang memiliki tiga-sub skala yakni: depression, anxiety dan somatization (Wolpin, Ronald & Esther, 2004).

Pada penelitian ini pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Yuriko Takata dan Yumiko (2004) di negara Jepang, yaitu: Psychosomatic Complaint Scale. Terdapat 30 item yang dikembangkan berdasarkan hasil survei terhadap 400 orang dewasa yang mengalami psikosomatis. Validitas menggunakan proses expert judgment yang dilakukan oleh dokter medis dan psikiater ahli psikosomatis. Proses reliabilitas dilakukan dengan test-retest pada tahun 1997, 1998 dan 1999 dengan menggunakan karakteristik subjek yang sama yakni orang dewasa. Pengembang skala


(52)

menggunakan tujuh aspek dalam pengukuran psikosomatis yang sama dengan hasil temuan klasifikasi psikosomatis oleh Prawiraharjo (1973). Respon skala menggunakan format Likert dengan skor 1 sampai 4.

C. Dinamika Pelcehan Seksual di Tempat Kerja dengan Psikosomatis

Secara keseluruhan penelitian tentang pelecehan seksual di tempat kerja menemukan bahwa dampak pelecehan seksual adalah efek negatif (Maypole & Rosemarie, 1983) baik dampak negatif secara fisik maupun secara emosional (Crooks & Karla, 1983). Hasil penelitian Julian, dkk. (1996) menemukan dampak secara langsung yang dialami korban pelecehan seksual adalah merubah moodkorban menjadi negatif dalam bentuk kecemasan dan/atau depresi.

Seseorang bisa mengalami gangguan secara fisik akibat adanya gangguan secara psikis atau emosi dalam diri (El Quussy, 1974). Canon (dalam Roan, 1979) telah menyelidiki adanya hubungan yang sangat erat antara kondisi emosi seseorang dengan fungsi tubuh seseorang, misalnya hubungan erat antara susunan saraf autonom dengan rasa takut atau marah. Ketika seseorang memiliki tekanan emosi yang bereaksi secara berlebihan, hal tersebut mampu mengakibatkan gangguan fisik (Kartono & Gulo, 1978).

Tebbets (dalam Fathonnah, 2012) menjelaskan bahwa suatu tekanan mental yang berlebihan yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti marah, benci, dendam, takut dan perasaan bersalah dapat mengakibatkan munculnya gejala psikosomatis.


(53)

Prawiroharjo (1973) menjelaskan bahwa ketika fungsi ego tidak berfungsi dengan baik, yang berarti ego tidak bisa menyalurkan material-material konflik dengan benar, menyebabkan ego akan mengekspresikan material konflik tersebut ke dalam susunan saraf autonom, sehingga menimbulkan reaksi psikosomatis. Roan (1979) menjelaskan bahwa proses emosi yang terdapat pada otak dapat disalurkan melalui susunan saraf autonom ke dalam alat-alat viseral sehingga menimbulkan gejala psikosomatis.

Ketika seseorang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerja nya, maka secara langsung korban pelecehan seksual tersebut akan mengalami perubahan moodmenjadi negatif baik dalam bentuk kecemasan ataupun depresi (Julian, dkk., 1996). Ketikamoodnegatif tersebut muncul secara intens dan bereaksi secara berlebihan dalam diri korban pelecehan seksual (Kartono & Gulo, 1979) serta ego korban tidak mampu bekerja dengan baik dalam menyalurkan material konflik tersebut (mood negatif), maka membuat ego akan mengekspresikan material konflik tersebut melalui susunan saraf autonom (Prawiroharjo, 1973) ke dalam alat-alat viseral (Roan, 1979) sehingga menimbulkan korban pelecehan seksual mengalami psikosomatis.

Korban pelecehan seksual dapat mengalami pengalaman traumatik dan perasaan bersalah ketika dirinya dilecehkan (Crooks & Karla, 1983). Pengalaman masa lalu yang bersifat trauma dan rasa bersalah diri atau self punishment mengakibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam diri korban pelecehan


(54)

seksual (David Cheek & Leslie, 1968; Fathonah, 2012). Ketika ego korban tidak mampu bekerja dengan baik dalam menyalurkan material konflik tersebut (mood negatif), maka membuat ego akan mengekspresikan material konflik tersebut melalui susunan saraf autonom (Prawiroharjo, 1973) ke dalam alat-alat viseral (Roan, 1979) sehingga menimbulkan korban pelecehan seksual mengalami psikosomatis.

Ketika korban pelecehan seksual mengungkapkan perasaannya melalui bahasa tubuh yang digunakannya, contohnya menganggap pelaku bagai duri dalam daging yang membuat tubuhnya sakit(David Cheek & Leslie, 1968; Fathonah, 2012). Bila pernyataan ini diulang terus menerus, maka pikiran bawah sadar akan menangkap pernyataan tersebut (David Cheek & Leslie, 1968; Fathonah, 2012) dan dalam otak ego akan menyalurkan material konflik tersebut melalui susunan saraf autonom ke dalam alat-alat viseral dan hal tersebut menyebabkan korban pelecehan seksual mengalami psikosomatis.

D. Hipotesis

Berdasarkan dinamika antara pelecehan seksual di tempat kerja dan psikosomatis, maka peneliti mengangkat satu hipotesis yakni pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya psikosomatis.


(55)

Gambar 1. Dinamika Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dengan Psikosomatis

Seseorang mengalami tindakan pelecehan seksual yang dilakukan

oleh atasan atau rekan kerjanya

Secara langsung korban akan mengalami perubahan mood menjadi negatif dalam bentuk kecemasan/depresi (Julian, dkk.,

1996).

Ketika mood negatif muncul secara intens dan bereaksi secara berlebihan dalam diri korban pelecehan seksual (Kartono & Gulo,

1979) serta ego korban tidak mampu bekerja dengan baik dalam menyalurkan material konflik tersebut

Membuat ego mengekspresikan material konflik tersebut melalui susunan saraf

autonom (Prawiroharjo, 1973)

Membawa masuk ke dalam alat-alat viseral (Roan, 1979)

Korban Pelecehan seksual di tempat kerja mengalami Psikosomatis


(56)

Gambar 2. Dinamika Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dengan Psikosomatis

Seseorang mengalami tindakan pelecehan seksual yang dilakukan

oleh atasan atau rekan kerjanya

Secara langsung korban akan mengalami perubahan mood menjadi negatif dalam bentuk kecemasan/depresi (Julian, dkk.,

1996).

Mengalami pengalaman traumatik

(Crooks & Karla, 1983)

Mengalami Perasaan bersalah/self punishment

(Crooks & Karla, 1983)

Pengungkapan perasaan korban pelecehan melalui bahasa tubuh

Memunculkan emosi negatif yang intens dalam diri korban (David Cheek

& Leslie, 1968; Fathonah, 2012)

Pikiran bawah dasar akan menangkap pernyataan tersebut (David Cheek &

Leslie, 1968; Fathonah, 2012)

Ego tidak bekerja dengan baik, membuat ego mengekspresikan material konflik tersebut melalui

susunan saraf autonom (Prawiroharjo, 1973)

Membawa masuk ke dalam alat-alat viseral (Roan, 1979)

Korban Pelecehan Seksual mengalami Psikosomatis


(57)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis penelitian yakni deskriptif dan regresi. Deskriptif adalah penelitian yang melibatkan satu variabel pada satu kelompok tanpa menghubungkan dengan variabel lain atau membandingkan dengan kelompok lain (Purwanto, 2008). Deskriptif digunakan untuk melihat deskripsi pelecehan seksual di tempat kerja. Regresi adalah penelitian yang menginvestigasi tentang hubungan fungsional di antara beberapa variabel (Nawari, 2010). Regresi digunakan untuk melihat prediksi pelecehan seksual di tempat kerja terhadap munculnya psikosomatis.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian dalam suatu penelitian (Arikunto, 2006). Variabel merujuk pada karakteristik atau atribut dari individu atau kelompok yang dapat diukur atau diobservasi dan bervariasi antara individu atau kelompok yang sedang dipelajari (Cresswell, 2007). Penelitian ini menggunakan pelecehan seksual di tempat kerja sebagai variabel bebas atau variabel prediktor dan psikosomatis sebagai variabel terikat atau variabel kriterium.


(58)

C. Definisi Operasional

1. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Berdasarkan definisi teoritis pada landasan teori, maka peneliti mengangkat definisi operasional pelecehan seksual di tempat kerja pada penelitian ini adalah perilaku menghina, merendahkan, mengganggu, merugikan dan tidak diinginkan yang mengandung unsur seksual dan dilakukan oleh atasan atau rekan kerja secara sengaja dan berulang dalam lingkungan kerja. Perilaku pelecehan seksual di tempat kerja tergolong dalam tiga dimensi yakni: gender harassment, unwanted sexual attention dansexual coercion,dalam bentuk perilaku pelecehan seksual secara fisik, secara verbal, dengan bahasa tubuh, bersifat tertulis atau grafis dan psikologis/emosional.

Pengukuran pelecehan seksual di tempat kerja menggunakan skala SEQ-DoD dengan respon Likert 1 sampai 5. Semakin tinggi skor yang diperoleh dalam pengukuran menunjukkan semakin sering seseorang tersebut mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

2. Psikosomatis

Berdasarkan definisi teoritis pada landasan teori, maka peneliti mengangkat definisi operasional psikosomatis pada penelitian ini adalah sekumpulan penyakit fisik baik dalam bentuk disfungsi ataupun perubahan patologis yang disebabkan oleh adanya emosi yang berlebihan dalam diri seseorang yang disalurkan melalui susunan syaraf autonom. Tergolong dari


(59)

beberapa jenis bagian sistem antara lain: sistem cardiovascular, sistem gastrointestinal, sistemmusculoskeletal, sistem respiratory,sistemendocrine, sistem kulit, sistemgenitourinary,sistemnervorum. Pengukuran psikosomatis menggunakan skala PCS dengan respon Likert 1 sampai 4. Semakin tinggi skor yang diperoleh dalam pengukuran menunjukkan semakin sering seseorang tersebut mengalami psikosomatis,

D. Subjek Penelitian

Dalam menentukan subjek, penelitian ini menggunakan nonprobability sampling dimana tidak setiap anggota populasi mempunyai peluang terpilih sebagai sample (Purwanto, 2008). Berdasarkan definisi teoritis dan tujuan penelitian maka peneliti menentukan kriteria subjek adalah orang-orang yang bekerja di sebuah tempat kerja dan memiliki atasan atau rekan kerja dalam bekerja. Peneliti menyadari bahwa pelecehan seksual adalah hal yang sensitif di kalangan masyarakat, sehingga peneliti tidak memasukkan pengalaman pelecehan seksual di tempat kerja sebagai kriteria subjek penelitian.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode angket yang merupakan suatu daftar pertanyaan atau pernyataan tentang topik tertentu yang diberikan kepada subjek (Tukiran & Hidayati, 2011). Angket


(60)

yang digunakan merupakan angket berbentuk skala yakni serangkaian level, tingkatan atau nilai yang mendeskripsikan derajat tertentu (Tukiran & Hidayati, 2011).

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yakni online dan langsung. Pengumpulan data online dilakukan dengan menyebarkan link angket melalui media sosial dan pesan singkat dan melalui surat resmi yang disebar di beberapa tempat kerja dengan menyertakan link angket di dalam surat. Pengumpulan data langsung dilakukan dengan cara menemui secara langsung subjek penelitian di tempat kerja dengan menyertakan surat resmi perijinan pengambilan data

Pengumpulan data online dikhususkan untuk para pekerja yang bekerja dengan menggunakan gadget di kesehariannya. Sedangkan pengumpulan data langsung dikhususkan untuk para pekerja yang kurang begitu paham dengan penggunaan gadget atau jarang bersinggungan dengan gadget,juga untuk para pekerja yang bekerja di luar ruangan.

2. Alat Pengumpulan Data

Pada penelitian ini peneliti menggunakan adaptasi skala pada kedua variabel penelitian untuk mengungkap data penelitian. Peneliti menggunakan adaptasi skala Sexual Experience Questionnaire versi Department of Defense atau SEQ-DoD untuk variabel pelecehan seksual di tempat kerja dan adaptasi skala Psychosomatic Complaint Scale atau PCS untuk variabel psikosomatis.


(61)

a. SEQ-DoD

Sexual Experience Questionnaire versiDepartment of Defense atau SEQ-DoD merupakan skala yang dikembangkan oleh Fitzgerald dengan bantuan para kolega dan muridnya. Pertimbangan peneliti memilih skala SEQ-DoD karena SEQ merupakan skala yang cukup banyak digunakan pada beberapa penelitian sebelumnya untuk mengukur pelecehan seksual, sedangkan versi DoD merupakan skala SEQ yang digunakan untuk mengukur pelecehan seksual di tempat kerja dan dapat digunakan untuk subjek pria dan wanita.

Skala SEQ-DoD menghubungkan antara definisi legal pelecehan seksual di tempat kerja dengan social behavior construct (Gutek, 2004). Fitzgerald menjelaskan bahwa defenisi legal tidak cukup mampu dalam merepresentasikan bentuk perilaku pelecehan seksual, sehingga diperlukan juga untuk melihat bentuk konstruk dari social behavior pelecehan seksual dalam suatu konteks sosial (Gutek, 2004). Maka selain mengadaptasi peneliti perlu melihat bentuk konstruk dari sosial behavior pelecehan seksual di tempat kerja dengan melakukan survei dengan satu pertanyaan terbuka pada 100 orang pekerja (50 pria dan 50 wanita) tanpa membedakan usia, jabatan, tempat kerja, lama bekerja serta latar belakang pendidikan terakhir. Berikut bentuk pertanyaan angket terbuka pada 100 pekerja:


(62)

Berdasarkan hasil survei peneliti melakukan pengelompokan hasil survei dari 100 orang pekerja (terlampir) diperoleh 11 item untuk item tambahan dari skala SEQ-DoD. 11 item merupakan bentuk-bentuk perilaku pelecehan seksual yang belum ada pada skala SEQ-DoD. Terdapat perbedaan antara item asli dan item tambahan skala, contohnya pada dimensi unwanted sexual attention pada item asli ”Atasan atau rekan kerja mengajak saya berkencan” dan pada item tambahan “Atasan atau rekan kerja mengirimkan pesan menggoda atau mesum melalui pesan singkat (misalnya; SMS, WA, BBM, dsb)”. Kedua perilaku menunjukkan bahwa perbedaan jaman mempengaruhi perubahan perilaku pelecehan seksual di tempat kerja. Perbedaan lain dapat dilihat pada lampiranblueprintskala SEQ-DoD.

Total item yang digunakan pada skala SEQ-DoD pada penelitian ini sebanyak 33 item, 22 item yang terdapat pada skala asli SEQ-DoD dan 11 item diperoleh dari hasil survei. Sesuai dengan skala SEQ-DoD, respon skala menggunakan format skala likert dengan skor 1 sampai 5 (tidak pernah –setiap saat). Berikut tabel sebaran item dan tabel skor skala SEQ-DoD:

“Menurut Anda, apa saja tindakan yangTidak Menyenangkan atau

Tidak Diinginkanyang bersifat cabul/seronok/mesum/hal yang berunsur seksual yang tejadi di tempat kerja ?”


(63)

Tabel 1

Sebaran Item Skala SEQ-DoD

Nomer Item

Aspek Item SEQ-DoD

Item hasil

survei Jumlah

Gender Harassment

2, 14, 20, 24, 25,

26 4, 13, 17 12

27, 28, 29

Unwanted Sexual 19, 23, 30, 31 1, 6, 7, 8, 10, 11, 13

Attention 12, 15, 16

Sexual Coercion 3, 5, 9, 18, 21, 22 8

32, 33

Jumlah 33

Tabel 2

Skor Skala SEQ-DoD

Respon Skor

Tidak pernah 1

Sekali-dua kali 2 Kadang-kadang 3

Sering 4

Setiap saat 5

b. PCS

Psychosomatic Complaint Scale atau PCS merupakan skala yang dikembangkan oleh Yuriko Takata dan Yumiko di negara Jepang. Pertimbangan peneliti memilih skala PCS karena PCS merupakan skala yang mengukur psikosomatis secara umum tanpa


(64)

spesifikasi bagian penyakit tertentu, serta digunakan pada subjek dewasa. Meskipun skala di kembangkan di negara Jepang, peneliti beranggapan bahwa skala PCS tetap bebas dari budaya karena setiap manusia memiliki mekanisme fisik yang sama dalam merespon emosi yang ada dalam dirinya (Canon, 1939; Roan, 1979). Total item pada skala PCS sebanyak 30 item dengan format respon likert skor 1 sampai 4 (tidak pernah sampai sering). Berikut tabel sebaran item dan tabel skor skala PCS:

Tabel 3

Sebaran Item Skala PCS

Aspek Nomor item Jumlah

SistemCardiovasculardan 1, 2, 9, 16, 4 pembuluh darah

SistemGastrointestinal 3, 4, 5, 6 4

SistemMusculoskeletal 7, 8, 14, 15, 18, 22 6

SistemRespiratory 10, 17, 24 3

SistemEndocrine 12, 19, 26, 27 4

Sistem Kulit 13, 25, 28 3

SistemGenitourinary 20, 23, 30 3

SistemNervorum 11, 21, 29 3


(65)

Tabel 4

Skor Skala PCS

Respon Skor

Tidak pernah 1

Jarang 2

Kadang-kadang 3

Sering 4

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas Alat Ukur

Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur (Siregar, 2013). Untuk menentukan validitas pada alat ukur penelitian ini, peneliti menggunakan metode validitas isi atau content validity. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap kelayakan atau revalansi isi tes dengan menggunakan analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau melalui expert judgment(Hendryadi, 2014).

a. SEQ-DoD

Pada skala SEQ-DoD proses expert judgment dilakukan oleh dosen pembimbing peneliti dan beberapa mahasiswa psikologi Universitas Sanata Dharma untuk melihat kesesuaian item-item SEQ-DoD khususnya pada item-item tambahan hasil survei terbuka. Peneliti juga melakukan proses back-translation yang dibantu oleh


(66)

dosen pembimbing peneliti serta mahasiswa psikologi dan sastra inggris Universitas Sanata Dharma. Skala SEQ-DoD diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, untuk melihat kesesuaian tata bahasa skala kembali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

b. PCS

Proses expert judgment skala PCS dilakukan oleh dosen pembimbing peneliti untuk melihat kesesuaian item-itemnya. Peneliti juga melakukan proses back-translation dengan bantuan dosen pembimbing peneliti dan mahasiswa psikologi Universitas Sanata Dharma. Skala PCS diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, untuk melihat kesesuaian tata bahasa skala kembali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. Dikarenakan skala PCS berkaitan dengan istilah penyakit, maka peneliti dengan bantuan mahasiswa famasi Universitas Sanata Dharma mencoba membahasakan nama penyakit ke dalam bahasa yang lebih dipahami oleh masyarakat awam.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Secara garis besar ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 1997). Pengujian reliabilitas terhadap hasil ukur skala psikologi dilakukan bilamana item-item yang terpilih lewat prosedur analisis item telah


(67)

dikompilasikan menjadi satu (Azwar, 1999). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisiensi reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentan dari 0 sampai dengan 1.00. Semakin nilai koefisiensi reliabilitas mendekati angka 1.00 maka semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya jika nilai koefisiensi mendekati angka 0 maka semakin rendah reliabilitasnya. Proses seleksi item dilakukan dengan melihat nilai korelasi item total pada masing-masing item. Item yang baik memiliki nilai rix≥0.30 (Azwar, 1999).

a. SEQ-DoD

Pada skala SEQ-DoD asli memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar α = 0.83 pada wanita dan α = 0.79 pada pria (Fitzgerald, dkk., 1999) sehingga dapat dikatakan skala asli memiliki reliabilitas yang tinggi. Pada skala SEQ-DoD yang digunakan penelitian ini memiliki nilaiCronbach’s Alphasebagai berikut :

Tabel 5

Reliabilitas skala SEQ-DoD

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Item

0.966 33

Hasil tabel menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s Alpha pada skala SEQ-DoD sebesar α = 0.966. Hal tersebut menunjukkan bahwa skala SEQ-DoD yang digunakan memiliki reliabilitas yang tinggi. Pada


(68)

masing-masing item skala SEQ-DoD memiliki nilai minimal rix sebesar 0.52, sehingga dari 33 item tidak ada terseleksi.

b. PCS

Pada skala asli PCS dilakukan proses test-retest untuk melihat reliabilitas skala. Pengukuran dilakukan pada tahun 1997, 1998 dan 1999 dengan menggunakan karakteristik subjek yang sama yakni subjek dewasa dengan rentan usia 25 sampai 40 tahun. Pada pengukuran pertama tahun 1997 diperoleh nilai Cronbach’s Alpha sebesar α = 0.93, tahun 1998 diperoleh nilai Cronbach’s Alpha sebesar α = 0.91 dan di tahun 1999 diperoleh nilai Cronbach’s Alpha sebesar α = 0.92. Hasil tersebut menunjukkan bahwa skala asli memiliki reliabilitas yang tinggi. Pada skala PCS yang digunakan penelitian ini memiliki nilaiCronbach’s Alphasebagai berikut :

Tabel 6

Reliabilitas skala PCS

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Item

0.934 30

Hasil tabel menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s Alpha pada skala PCS sebesar α = 0.934. Hal tersebut menunjukkan bahwa skala PCS yang digunakan memiliki reliabilitas yang tinggi. Pada masing-masing


(69)

item skala SEQ-DoD memiliki nilai minimal rix sebesar 0.38, sehingga dari 30 item tidak ada terseleksi.

G. Metode Analisis Data

1. Analisis Data Deskriptif

Metode statistik deskriptif merupakan perhitungan yang sederhana dan dilakukan untuk memperjelas karakteristik data dalam penelitian (Azwar, 1999). Siregar (2014) menjelaskan bahwa analisis deskriptif berkenaan dengan bagaimana cara mendeskripsikan, menggambarkan, menjabarkan atau menguraikan data sehingga data mudah dipahami.

2. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas Residu

Dalam regresi untuk pengujian normalitas sebaran, tidak menggunakan skor dependentnya melainkan skor residualnya (Santoso, 2010). Uji normalitas residu bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2006). Model regresi yang baik memiliki distribusi yang normal pada skor residualnya (Ghozali, 2006). Uji normalitas residu penelitian ini menggunakan uji statistik dengan metode Kolmogorov-smirnovdengan nilaialphasebesar 5%.


(70)

b. Uji Heterokedasitas

Uji heterokedasitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari skor residualnya (Ghozali, 2006). Model regresi yang baik adalah yang homoskedasitas atau tidak terjadi heterokedasitas (Ghozali, 2006). Uji heterokedasitas penelitian ini menggunakan uji statistik dengan metode uji Glejser dengan nilai alpha sebesar 5%.

c. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk menyatakan bahwa ada hubungan antar variabel yang hendak dianalisis mengikuti garis lurus (Santoso, 2010). Peningkatan atau penurunan kuantitas satu variabel akan diikuti secara linear oleh peningkatan atau penurunan kuantitas di variabel lainnya (Santoso, 2010). Uji linearitas penelitian ini menggunakan uji statistik dengan metodeTest for linearitydengan nilaialphasebesar 5%.

3. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan metode linear sederhana. Regresi linear sederhana digunakan untuk satu variabel bebas dan satu variabel terikat (Siregar, 2009). Tujuan penerapan metode ini adalah untuk meramalkan atau memprediksi besaran nilai variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel terikat (Siregar, 2009).


(1)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 12.089 1.487 8.133 .000

Pelecehan Seksual di

Tempat Kerja -.009 .032 -.017 -.287 .774

a. Dependent Variable: RES_2

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 10.8970 11.7819 11.6938 .16061 278

Std. Predicted Value -4.961 .548 .000 1.000 278

Standard Error of Predicted

Value .559 2.832 .714 .339 278

Adjusted Predicted Value 8.6199 11.8369 11.6907 .26719 278

Residual -11.70699 31.87961 .00000 9.29596 278

Std. Residual -1.257 3.423 .000 .998 278

Stud. Residual -1.259 3.465 .000 1.003 278

Deleted Residual -11.75096 33.48307 .00310 9.39303 278

Stud. Deleted Residual -1.261 3.537 .002 1.009 278

Mahal. Distance .001 24.612 .996 3.050 278

Cook's Distance .000 .459 .005 .030 278

Centered Leverage Value .000 .089 .004 .011 278


(2)

Hasil Uji Linearitas

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

Psikosomatis * Pelecehan

Seksual di Tempat Kerja 278 100.0% 0 0.0% 278 100.0%

Report

Psikosomatis

Pelecehan Seksual di

Tempat Kerja Mean N Std. Deviation

33 57.72 102 14.701

34 58.44 16 14.142

35 60.13 23 16.963

36 57.35 20 15.181

37 63.60 20 17.373

38 59.00 7 13.988

39 60.25 4 4.992

40 68.00 4 19.201

41 72.50 6 12.161

42 49.25 4 10.046

43 66.67 6 7.891

44 52.75 4 15.414

45 52.50 4 19.053

46 59.50 2 3.536

47 81.00 2 7.071

48 63.50 4 6.856

49 62.00 3 12.767

50 69.00 3 25.239

51 63.50 2 6.364

53 81.00 2 19.799

55 86.00 1 .


(3)

57 68.50 2 7.778

58 74.50 2 3.536

59 74.67 3 25.502

60 80.00 1 .

61 73.00 1 .

62 76.50 2 6.364

63 66.00 1 .

64 82.50 2 12.021

65 66.00 1 .

68 58.00 1 .

69 95.00 1 .

71 69.00 2 12.728

75 82.00 1 .

77 98.00 1 .

82 76.50 2 26.163

85 81.00 1 .

87 93.00 1 .

88 76.00 1 .

92 74.00 3 4.583

96 80.00 1 .

97 79.00 1 .

100 80.00 2 .000

110 72.00 1 .

115 88.00 1 .

117 44.00 1 .

121 57.00 1 .

128 97.00 1 .


(4)

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Psikosomatis * Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Between Groups

(Combined) 19013.437 48 396.113 1.763 .003 Linearity 8518.161 1 8518.161 37.903 .000 Deviation from

Linearity 10495.276 47 223.304 .994 .491

Within Groups 51463.901 229 224.733

Total 70477.338 277

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared

Psikosomatis * Pelecehan


(5)

Hasil Uji Regresi

Variables Entered/Removeda

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 Pelecehan

Seksual di Tempat Kerjab

. Enter

a. Dependent Variable: Psikosomatis b. All requested variables entered.

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .348a .121 .118 14.983

a. Predictors: (Constant), Pelecehan Seksual di Tempat Kerja b. Dependent Variable: Psikosomatis

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 48.477 2.392 20.270 .000

Pelecehan Seksual di

Tempat Kerja .322 .052 .348 6.160 .000


(6)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 59.09 89.64 62.13 5.545 278

Std. Predicted Value -.548 4.961 .000 1.000 278

Standard Error of Predicted

Value .899 4.556 1.148 .546 278

Adjusted Predicted Value 58.89 89.98 62.15 5.628 278

Residual -42.103 43.624 .000 14.956 278

Std. Residual -2.810 2.912 .000 .998 278

Stud. Residual -2.916 2.917 -.001 1.002 278

Deleted Residual -45.324 43.798 -.016 15.087 278

Stud. Deleted Residual -2.956 2.958 .000 1.007 278

Mahal. Distance .001 24.612 .996 3.050 278

Cook's Distance .000 .325 .004 .023 278

Centered Leverage Value .000 .089 .004 .011 278