Pertanggungjawaban Pidana TINJAUAN PUSTAKA

informasi dan transaksi elektronik lainnya dan tidak jarang dari mereka telah menyalahgunakan kecanggihan teknologi untuk melakukan suatu tindak kejahatan yang berdampak pada kerugian baik individu maupun orang banyak. Bentuk-bentuk transaksi elektronik tidak hanya penjualan melalui internet saja namun ada berbagai bentuk-bentuk transaksi elektronik yang akan diuraikan dibawah ini: 38 1. Bussines to Bussines Transaksi bussines to bussines atau sering disebut b to b adalah transaksi antar perusahaan baik pembeli maupun penjual adalah perusahaan. Biasanya diantara mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan sudah terjalin hubungan yang cukup lama. Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan pertukaran informasi itu didasarkan pada kebutuhan dan kepercayaan. Perkembangan b to b lebih pesat dengan bentuk transaksi elektronik lainnya. 2. Bussines to Customer Bussines to Customer atau dikenal b to c adalah transaksi antara perusahaan dengan konsumen atau individu. Contohnya adalah amazon.com sebuah situs transaksi elektronik yang besar dan terkenal. Pada jenis ini, transaks disebarkan secara umum, dan konsumen yang berinisiatif melaukan transaksi. Produsen harus siap menerima respon dari konsumen tersebut. Biasanya system yang digunakan adalah system web karena system ini yang sudah umum dipakai dikalangan masyarakat. 3. Custumer to Custumer Custumer to custumer ini adalah transaksi dimana individu saling menjual barang pada satu sama lain. Contohnya adalah Tokobagus.com atau berniaga .com 4. Custumer To Bussines Customer to bussines yaitu transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan,contohnya adalah priceline.com 5. Custumer to Govenrnent Custumer to government adalah transaksi di mana individu dapat melakukan transaksi dengan pihak pemerintah, seperti membayar pajak.

2.4 Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toerekenbaarheid, criminal responbility dan criminal liability. Dalam konsep 38 Ibid,hlm,227 liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan mens rea. Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah kecuali jika pikiran orang tersebut jahat. Doktrin mens rea itu dilandaskan pada maxim actus nonfacit reum nisi mens sit rea , yang berarti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah kecuali jika piki ran orang itu jahat”. 39 Pertangungjawaban pidana menentukan apakah seorang tersangkaterdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus terbukti bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari perbuatan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan terdakwa menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. 40 Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum apabila telah terbukti melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang seorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjabawab maka hanya seorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya. Menurut pandangan tradisional, di samping syarat-syarat obyektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subyektif atau syarat-syarat mental untuk dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan kepadanya. Syarat subyektif tersebut disebut sebagai kesalahan. Menurut system hukum kontinental, syarat-syarat subyektif ini dibagi menjadi dua, yaitu bentuk kesalahan kesengajaan dan kealpaan dan mampu bertanggungjawab. Dalam 39 Edianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.107 40 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 10. system hukum Common Law syarat-syarat ini disatukan dalam mens area. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah penilaian apakah seorang tersangkaterdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi. 41 Namun menurut pandangan Monistis, yaitu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang. Pemahaman mengenai perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang criminal act dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan criminal responbility. Pada dasarnya pandangan Monistis tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dan unsur-unsur mengenai orangnya. Menurut Simon, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat mempertanggungjawabkan atas tindakan yang telah ditentukan oleh undang-undang sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Simon membagi unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut : 1. Perbuatan manusia; 2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum; 4. Dilakukan dengan kesalahan; 5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Berbeda dengan pandangan Dualistis tentang delik bersikeras memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini unsur obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu, perbuatan pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan dijatuhi pidana. Sedangkan unsur subyektif hanya dapat dikandung dalam pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada perbuatan melalui celaaan yang diobyektifkan. Karenanya, pemidanaan hanya dapat diterapkan kepada terdakwa setelah terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Dengan penjelasan untuk 41 Ibid, hlm. 107-108 terjadinya perbuatan atau tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya perbuatan yang memenuhi rumusan dalam undang-undang; 2. Bersifat melawan hukum Menurut Roeslan Saleh 42 , tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana; b. Mampu bertanggungjawab; c. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan d. Tidak adanya alasan pemaaf. Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggungjawab mencakup : a. Keadaan jiwanya: 1. Tidak terganggung oleh penyakit terus-menerusatau sementara temporair; 2. Tidak cacat dalam pertumbuhan gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya dan, 3. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadarreflexe bewenging, melindurslaapwandel, mengganggu karena demamkoorts, nyidam dan lain sebagainya. Dalam perkataan lain dia dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya : 1. Dapat menginsyafihakekat dari tindakannya; 2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan 3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Pelaksanaan perbuatan pidana tidak serta merta menyebabkan seseorang dapat dipidana lantaran perbuatan pidana hanya menunjukkan kepada sifat 42 Ibid, hlm 75 perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika dilanggar. Sementara itu pemidanaan bergantung kepada kesalahan terdakwa ketika melakukan suatu perbuatan pidana. Pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban ini yang dikemukakan Moeljatno, “...perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan manakala disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. 43 Berdasarkan uraian tersebut adapun dalam pembahasan pengertian pertanggungjawaban dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membahas mengenai perbuatan pidana yang melawan hukum berdasarkan fakta hukum yang terjadi dalam kasus yakni tindak pidana perjudian online. 43 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, Hlm.54

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Kekuatan Pembuktian Transaksi Elektronik dalam Perjudian Online menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bambang Waluyo mengatakan ”Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang- undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.” 44 Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pengertian yuridis tentang bukti dan alat bukti yang menyatakan : “Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu pendirian. Alat bukti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai dalam membuktikan dalil –dalil suatu pihak di muka pengadilan 45 ”. Secara garis besar pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana di Indonesia yaitu : 46 a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran baik Hakim, Penuntut Umum, terdakwa, atau penasihat hukum. Semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. b. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keptusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat 44 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, hlm.3 45 R.Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramit, Jakarta, 1985, hlm. 21 46 Ibid. hlm 273 36