Mediasi menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

17

BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN POSITIF

A. Mediasi menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Mediasi menurut hukum Islam Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah ShulhuIslah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa. 1 ShulhuIslah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka ShulhuIslah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-sebab serta menguatkannya adalah persatuan dan persetujuan, hal itu merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara. 2 Beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam redaksi yang berbeda, arti yang mudah difahami adalah memutus suatu persengketaan. 1 As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah Juz I II Beirut:Dar Al Fikr, 1977, hal. 305 2 Alauddin at Tharablisi, M uin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al khasamaini min al Ahkami, Beirut : Dar al Fikr, tth., hal 123 Dalam penerapan yang dapat difahami adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Ash-Shulhu berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih. Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam di istilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertingkaian atau pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulhu. Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi hubungan kasih sayang sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al- qur’an, sunah rasul dan ijma. Al-qur’an menegaskan dalam surat an-nisa ayat 35 yang berbunyi :                               Artinya : Mediasi menurut Hukum Positif Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP Perdata adalah suatu perjanjian dengan kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. 3 Dan di dalam hukum positif ketentuannya juga diatur dalam HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat akte tentang perdamaian, dimana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat itu, surat akte berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.” Selain itu ketentuan perdamaian juga diatur dalam Undang- 3 Subekti Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jakarta : Pradnya Paramita, 1989. hal 23 undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 2 yaitu: ” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”, dan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya terkait dengan hukum keluarga Pasal 115: ”perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, pasal 143 ayat 1: ”Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. 2: ”Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”, dan pasal 144:”Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian”. Dan UU No.7 tahun 1989 Pasal 65 dan 82, PP No. 9 tahun 1975 Pasal 31.

B. Peraturan Mediasi sebelum Perma No. 1 Tahun 2008