Lombok No Bau Nyale No Dentou

(1)

LOMBOK NO BAU NYALE NO DENTOU

KERTAS KARYA Dikerjakan

o l e h

NOLA GUSTINA DAMANIK NIM 052203044

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN


(2)

LOMBOK NO BAU NYALE NO DENTOU

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E H

NOLA GUSTINA DAMANIK NIM 052203044

Pembimbing, Pembaca,

Drs. Amin Sihombing Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum.

NIP. 131945676 NIP. 131662152

Kertas Karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRAPROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN


(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. NIP 131662152


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. NIP 132098531

Panitia :

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum (………)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya yang berjudul “ LOMBOK NO BAU NYALE NO DENTOU ”. Meskipun banyak kesulitan dalam kertas karya ini karena pengetahuan penulis yang terbatas, tetapi berkat bimbingan, bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, maka penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dalam penulisan kertas karya ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan kertas karya ini, terutama kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum., selaku ketua jurusan Program Studi D3 Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sampai kertas karya ini dapat diselesaikan.

4. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum, selaku dosen pembaca. 5. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian M. M.A., selaku Dosen Wali.

6. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.


(6)

7. Mama tercinta, Nurmala Lubis yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan segenap kasih sayang. Dan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil. Tidak lupa juga buat Papa di surga yang telah memberikan kasih sayang kepada penulis semasa hidupnya. Tiada kata yang dapat mengungkapkan rasa cinta dan kasih penulis kepada mama dan papa. Semoga Tuhan selalu memberkati mama.

8. Kedua abangku, B’ Nando dan B’ Simson, terima kasih buat dukungan doanya.

9. Kepada Teman-teman Sepelayanan di PD/PA FILIPI, terima kasih atas perhatian, motivasi dan dukungan doanya. Dan juga tidak lupa buat KKku ExoGodelva, yang telah mendukungku dalam doa.

10.Teman-teman seperjuangan Fakultas Sastra D3 Bahasa Jepang stambuk’05, teristimewa teman-teman baikku, Rosa, Epong, Epot, Rara, Rima, Maria, Yovin, Nensy, Hana, Sri, Lilis. Terima kasih atas semuanya. Segala kenangan indah yang telah kita lalui, selamanya akan terpatri dalam relung hatiku yang paling dalam.

11.Teman-teman kosku Terompet 26. Huhh…., akhirnya perjuanganku telah usai. Thanks ya s’muanya. Terkhusus buat adikku “Juli” makasih ya deq atas bantuanmu selama ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata, semoga kertas karya ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2008 Penulis,

NIM 052203044


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...iv

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1.Alasan Pemilihan Judul ...1

1.2.Batasan Masalah...2

1.3.Tujuan Penulisan ...2

1.4.Metode Penulisan ...2

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT LOMBOK ...3

2.1. Letak Geografis ...3

2.2. Penduduk ...3

2.3. Agama ...4

2.4. Mata Pencaharian ...5

BAB III TRADISI BAU NYALE DI LOMBOK ...6

3.1. Pengertian Bau Nyale ...6

3.2. Penyelenggaraan Bau Nyale ...9

3.2.1. Nama Upacara dan tahapan-tahapannya ...9

3.2.2. Maksud Penangkapan Nyale ... 10

3.2.3. Pihak-pihak yang terlibat Penangkapan Nyale ... 11

3.3. Adat-Istiadat yang berhubungan dengan Nyale ... 12

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14

4.1. Kesimpulan ... 14

4.2. Saran... 14 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUHAN

1.1Alasan Pemilihan Judul

Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki ragam suku. Setiap suku memiliki budaya yang berbeda-beda. Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia ini ditandai dengan adat-istiadat daerah masing-masing. Selain itu bahasanya pun berbeda. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Sasak di Lombok.

Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok. Kehidupan suku ini erat dengan adat-istiadat dan keadaan alam sekitar. Salah satu adat-istiadat yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah “Bau Nyale” (Bahasa Indonesia, menangkap nyale). Nyale adalah sejenis binatang laut yang termasuk kedalam jenis cacing (anelida).

Tradisi Bau Nyale merupakan rutinitas setiap tahun yang dilakukan oleh suku Sasak. Setiap tahun Nyale ditangkap pada tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh, dan kesebelas tahun sasak. Tradisi Bau Nyale ini sangat unik dan menarik, sehingga menjadi ciri atau identitas suku bangsa Sasak.

Maka dari hal itu, dalam kertas karya ini penulis ingin memperkenalkan tradisi Bau Nyale di Lombok.


(10)

1.2Batasan Masalah

Hal-hal yang akan diuraikan dalam kertas karya ini adalah sebagai berikut: 1. Pengertian Bau Nyale.

2. Penyelenggaraan Bau Nyale.

3. Adat-istiadat yang berhubungan dengan kepercayaan mengenai Nyale.

1.3Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut: 1. Memperkenalkan tradisi Bau Nyale di Lombok.

2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang tradisi di Lombok. 3. Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan daerah. 4. Melengkapi syarat kelulusan program pendidikan D 3 bahasa Jepang.

1.4Metode Penulisan

Penulisan kertas karya ini menggunakan metode kepustakaan dalam mengumpulkan data-data, yakni berupa buku yang ada hubungannya dengan bau Nyale di Lombok.


(11)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT LOMBOK

2.1 Letak Geografis

Menangkap Nyale adalah tradisi suku bangsa Sasak yang tinggal di Lombok selatan sepanjang pantai selatan pulau Lombok. Pulau ini terletak pada posisi 8207’ -8030’ Lintang Selatan dan 116010’-116030’ Bujur Timur.

Batas dan Luas Wilayah

Luas wilayah Lombok selatan adalah 1.208,39 km2 dengan batas-batas sebagai berikut:

:

Sebelah Utara : Gunung Rinjani (kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur)

Sebelah Selatan : Samudra Indonesia

Sebelah Timur : Kabupaten Lombok Timur Sebelah Barat : Kabupaten Lombok Barat.

2.2 Penduduk

Penduduk asli pulau Lombok adalah suku Sasak. Menurut “Lalu Wacana”, nama sasak diambil dari nama kerajaan pertama yang berkuasa di Lombok. Sehingga dikalangan suku bangsa sasak, pulau ini lebih dikenal dengan nama Gumi sasak. Bahasa sasak, gumi berarti tanah atau pulau. Kata sasak itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta, sahsaka. Sah artinya pergi, saka artinya asal. Sahsaka artinya pergi


(12)

meninggalkan tanah asal, dan mengumpul di pulau Lombok dengan memakai rakit bambu sebagai kendaraan.

Sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk di Lombok Selatan adalah 754.433 jiwa (Laki-laki 350.734, perempuan 349.699 jiwa). Laju pertumbuhan sebesar 0,97 %. Tingkat kepadatan mencapai 617 jiwa/km2.

2.3 Agama

Pada awalnya suku Sasak menganut agama Hindu dan Budha. Sejak kapan mereka menganut agama tersebut kurang jelas. Namun dari penemuan 4 arca perunggu di Batu Pandang, Lombok Timur sekitar tahun 1960 menunjukan bahwa sekitar abad kedelapan dan kesembilan, di Lombok sudah terdapat penganut agama Budha Mahayama.

Selanjutnya (babad Lombok) menguraikan, karena pergantian agama dari Budha ke Wratsani, suku bangsa Sasak dikutuk oleh Yang Maha Kuasa. Ladang, huma(sebelum mereka mengenal persawahan), dan kampung halaman mereka hancur berantakan tertimbun lahar yang dimuntahkan oleh gunung Rinjani. Sehingga mereka terpencar keseluruh wilayah pulau Lombok.

Setelah beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad ke-17 (1604). Agama Islam masuk kedaerah ini. Agama ini dibawa oleh Sunan Prapen. Sunan Prapen ditugaskan untuk mengislamkan Bali, Lombok, dan Sumbawa. Namun setelah Sunan Prapen meninggalkan Lombok untuk mengislamkan Sumbawa, keadaan agama di Lombok menjadi menyedihkan. Karena mereka tidak mau memeluk agama baru tersebut.


(13)

Selanjutnya untuk membina pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, Sunan prapen kembali ke Lombok dan menugaskan beberapa orang kyai. Mereka masing-masing dibekali Qur’an dan Hadist.

Namun Agama Islam tetap mengalami hambatan, hal ini disebabkan perkembangan politik dan nilai-nilai sosial. Runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam pada akhir abad ke-17 juga mengakibatkan agama Islam menjadi terbengkalai.

Akibatnya pada akhir abad ke-19 timbul istilah golongan Islam “Waktu Telu” dan Islam “Waktu Lima”. Penganut Islam Waktu Lima adalah mereka yang secara konsekuen melaksanakan ibadah menurut syariat agama Islam.

Penganut Islam Waktu Telu adalah mereka yang menyerahkan urusan ibadah kepada “kyai” (pemuka agama). Bagi mereka yang bukan kyai, tidak ada keharusan untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan naik haji.

Pada saat ini masyarakat Lombok sudah banyak beralih pada agama Islam Waktu Lima, namun masih ada yang menganut agama islam Waktu Telu, dan sisanya menganut agama Hindu dan Budha.

2.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian terbesar adalah pertanian, yaitu sebesar 72%, dan selebihnya adalah industri 7%, jasa 7%, perdagangan 7%, angkutan 3%,kontruksi 2% dan lain-lain 2%.


(14)

BAB III

TRADISI BAU NYALE DI LOMBOK

3.1 Pengertian Bau Nyale

Menurut ahli Biologi, Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida). Binatang ini hidup di dalam lubang-lubang batu karang di bawah permukaan laut. Karena itu binatang ini hanya terdapat dilaut yang berpantai batu karang seperti Lombok selatan. Nyale berkembang biak dengan bertelur, pembuahan telur melalui perkawinan antara nyale betina dengan jantan. Masa perkawinan terjadi sekali dalam setahun yaitu bulan Februari dan Maret. Nyale disebut juga cacing hujan, karena mereka menganggap cacing tersebut jatuh bersama-sama dengan hujan. Menurut pendapat ahli, yang sebenarnya mengambang dipermukaan laut adalah sebahagian tubuh binatang tersebut. Binatang jantan melepaskan sepotong dari badannya, begitu juga dengan betina, masing-masing sepanjang 10-15 cm. Bagian yang terlepas tersebut mengambang kepermukaan air untuk mengadakan perkawinan. Induknya sendiri tetap berada didalam lubangnya dibawah permukaan laut. Namun suku sasak mempunyai kepercayaan lain, bahwa nyale merupakan jelmaan putri Eberu yang sangat cantik. Menurut dongeng putri tersebut bernama putri Mandalika, karena parasnya yang sangat cantik putri tersebut banyak dipinang oleh putra-putra raja. Kalau salah satu pinangan diterima maka akan menimbulkan perkelahian. Maka agar adil, putri menceburkan diri kelaut dan menjelma menjadi nyale. Agar dapat dinikmati semua orang, dia berjanji akan muncul setiap tanggal 20 bulan kesepuluh.


(15)

Bau nyale (Bahasa Indonesia; menangkap nyale ) merupakan suatu tradisi yang sudah berkembang sejak berabad-abad lamanya. Bau nyale merupakan tradisi yang dilakukan oleh suku Sasak setiap tahun. Menangkap nyale ini dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada bulan kesepuluh dan bulan kesebelas menurut perhitungan tahun sasak (sekitar bulan maret dan april). Awal tahun sasak ditandai dengan terbitnya bintang “Rowot” setiap tahun. Menurut perhitungan suku Sasak umur bulan dihitung 30 hari. Sehingga kalau dibandingkan dengan tahun nasional(tahun masehi) perbedaan siklusnya hanya berbeda sedikit. Pada perhitungan tahun sasak bulan kesepuluh selalu berkisar antara bulan Februari dan bulan Maret setiap tahun.

Bila musim normal, pada bulan-bulan itu curahan hujan pada umumnya lebat. Pekerjaan disawah sudah selesai.

Masyarakat di Lombok sebahagian besar masih meneruskan tradisi tersebut. Namun sekarang tradisi tersebut juga menjadi sarana rekreasi di daerah Lombok.

Sejak kapan tradisi menangkap nyale ini mulai berkembang belum pernah diteliti. Tetapi mengingat bahwa kebiasaan menangkap ikan sebagai sumber pencaharian telah dikenal sejak masa prasejarah, dapat dipastikan mulainya sebelum Islam masuk kedaerah ini.

Kemudian setelah agama Islam masuk, agama ini tidak mengharamkan tradisi menangkap dan memakan nyale. Karena tradisi ini sudah membudaya dikalangan penduduk.


(16)

Kebiasaan mereka, ziarah kekubur dan menancapkan bekas bungkusan nyale disudut-sudut sawah atau ditengah sawah, menunjukkan kebiasaan praislam. Setelah menangkap nyale mereka ziarah ke kubur. Hal ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada roh leluhur dan kerabatnya bahwa nyale sudah di tangkap. Juga untuk mengadakan upacara makan bersama dengan para arwah kerabat dan leluhur mereka, gulai nyale sebagai lauk pauk yang utama.

Menurut kepercayaan suku Sasak, bagi mereka yang tidak sempat ikut menangkap nyale dapat mendatangkan musibah. Maka untuk menghindarinya, anggota keluarga yang tidak ikut menangkap nyale “disembe” pada antara kedua alisnya dan di ulu hatinya. Di sembe artinya dicoreng dengan sembe (sirih) pada dahi dan hulu hati. Dengan maksud supaya mereka tidak “diketemuq” (ditimpa suatu penyakit).

Alat yang digunakan untuk menangkap nyale adalah alat penangkap(jaring) dan wadah. Untuk menangkap nyale dapat juga menggunakan tangan. Untuk mendapatkan nyale yang lebih banyak dapat juga menggunakan sampan. Dengan sampan maka dapat menangkap nyale sampai jauh ketengah. Bagi mereka yang datang dari jauh harus membawa bekal, karena menangkap nyale membutuhkan waktu sekurang-kurangnya satu malam.


(17)

3.2 Penyelenggaraan Bau Nyale

3.2.1 Nama upacara dan tahapan-tahapannya

Upacara penangkapan nyale dapat dibedakan menjadi dua yaitu: dilihat dari waktu penangkapannya dan dilihat dari bulan keluarnya.

Dilihat dari waktu penangkapannya, dapat dibedakan atas “jelo bojag” (hari percobaan) dan “jelo tumpah” (hari keluarnya). Masing-masing jatuh pada tanggal 19 dan tanggal 20 bulan kesepuluh (sekitar bulan maret).

Sejak tanggal 18 sore banyak orang yang sudah berkumpul di pantai, di lokasi-lokasi penangkapan nyale. Mereka berkelompok-kelompok dalam kemah-kemah sederhana. Diantaranya ada yang menginap dibawah-bawah tebing batu karang (bahasa sasak, tangkok).

Bulan keluarnya nyale, disebut “nyale tunggak” (Bahasa Indonesia, nyale pokok) dan ”nyale poto” (Bahasa Indonesia; nyale ujung/nyale akhir.

Nyale tunggak adalah nyale yang keluar pada tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh, dan nyale poto adalah nyale yang keluar pada tanggal 19 dan 20 bulan kesebelas.

Sesuai dengan namanya, kebanyakan nyale keluar pada waktu nyale tunggak. Maka tak heran kalau kebanyakan masyarakat menangkap nyale pada bulan kesepuluh.

Pada saat penangkapan nyale, masyarakat berbondong-bondong ketempat penangkapan nyale. Sejak fajar terbit mereka berjajar di sepanjang pantai. Setelah


(18)

nyale muncul mereka turun berjajar, kemudian menyebar masuk kedalam air. Tangan dan alat dimasukan kedalam air dengan harapan akan ada nyale yang tersangkut.

Di lokasi penangkapaan nyale setiap orang bebas berteriak semaunya. Seperti: “jabut jantar bulum pepeq’n edara eberu”. Yang artinya “lebat lebam bulu kemaluan gadis Eberu”. Menurut kepercayan mereka, hal tersebut merangsang nyale supaya lebih banyak keluar dari lubangnya. Hal tersebut sesuai dengan legenda putri Eberu, yang menjelma jadi Nyale.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut dianggap tabu dan tidak sopan.

3.2.2 Maksud penangkapan nyale

Penangkapan nyale dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, terutama memohon kesuburan.

Perkiraan panen yang akan diperoleh akan tergambar dari warna nyale yang keluar pada tahun itu. Menurut kepercayaan penduduk Lombok selatan, bahwa panen akan melimpah bila warna Nyale yang keluar pada tahun itu lengkap.

Warna yang dimaksud putih, hitam, hijau, kuning, dan cokelat. Kelengkapan warna itu juga menunjukkan pertanda akan banyak turun hujan sesudah penangkapan nyale. Menurut kebiasaan, sesudah penangkapan nyale hujun turun tiada hentinya siang dan malam. Keadaan yang demikian menurut istilah sasak disebut “ombek

nyale”. Selain itu mereka juga mengenal ombek lain yaitu “ombek simbur”.

Maksudnya hujan yang turun berhari-hari lamanya tiada henti mengiringi turunnya ikan lele (bahasa sasak, simbur) mengikuti aliran air sawah kesungai.


(19)

Mereka juga percaya dengan menancapkan bekas bungkusan Nyale kesawah dapat membuat tanaman menjadi tumbuh sehat dan subur. Selain itu, wadah bekas menangkap nyale (seperti; bakul, keranjang, baskom dan lain-lain) dicuci dipintu saluran air yang masuk ke sawah agar tanaman terhindar dari segala macam penyakit dan akan tumbuh lebih subur.

Nyale yang diperoleh dapat dijadikan berbagai masakan, seperti, panggang nyale. Nyale tersebut di bungkus dengan daun kelapa atau daun pisang, kemudian di panggang dibara api sampai matang. Nyale dapat juga di gulai dan dapat pula dijadikan sambal goreng.

3.2.3 Pihak-pihak yang terlibat penangkapan nyale

Menangkap nyale bukanlah suatu upacara melainkan sebuah tradisi, jadi siapa saja boleh menangkap nyale. Tetapi biasanya, yang datang kelokasi penangkapan nyale dapat dibedakan atas empat golongan, yaitu:

a. Mereka yang datang menangkap nyale karena tradisi,

b. Mereka yang datang menangkap nyale untuk mencoba sambil rekreasi, c. Mereka yang datang menangkap nyale sambil berjualan.

3.3 Adat-istiadat yang berhubungan dengan Nyale Adat-istiadat ini terdiri atas:

a. Ziarah Kubur (roh kubur).


(20)

Ketepatan waktu keluarnya setiap tahun, telah menarik perhatian para petani sehingga menjadikan peristiwa tersebut sebagai pertanda alam yang dikaitkan dengan kepercayaan yang berhubungan dengan roh dan tanaman padi disawah. Sehingga kalau nyale sudah ditangkap, setiap keluarga batih merasa perlu untuk menziarahi anggota kerabatnya yang sudah meninnggal.

Ziarah dilakukan untuk meminta keselamatan dan perlindungan kepada roh nenek moyang mereka. Menurut kepercayaan mereka, roh nenek moyang yang sudah meninggal lebih dekat dengan Tuhan, dan sewaktu-waktu dapat berhubungan dengan Tuhan. Kegiatan ini dilakukan terutama oleh bekas penganut agama Waktu Telu.

Tradisi ini pernah menjadi dasar kepercayaan umum pada hampir seluruh suku bangsa Sasak. Sejak kebangkitan kembali agama Islam yang benar, pada akhir abad ke-19, penganut Islam Waktu Telu ini berangsur-angsur masuk kedalam golongan Islam Waktu Lima, suatu golongan yang melaksanakan agama Islam secara benar.

Pada saat ini masih ada yang percaya kepada roh yaitu masyarakat yang dahulunya berasal dari Islam Waktu Telu. Mereka masih melaksanakan kebiasaan mereka seperti dahulu.

Pada saat mereka menziarahi kubur, mereka membawa makanan (nyale yang telah diolah) dan minuman sebagai sesajen. Mereka membakar kemenyan diatas kuburan, diantara kedua batu nisan. Anak cucunya berkerumun di sekitar kuburan dan menadahkan tangan. Setelah orangtuanya selesai menyiram kubur tiga kali dari kanan ke kiri, tiap-tiap orang menadah air dari kendi dan membasuh mukanya


(21)

masing-masing. Sambil mencurahkan air kendi, ibu atau ayahnya meminta keselamatan bagi anak-anak melalui roh leluhur.

Bila semuanya telah membasuh mukanya, maka selanjutnya si penziarah menepuk-nepuk kubur tiga kali. Maksudnya untuk membangunkan roh, dan mengajaknya untuk makan bersama.


(22)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Tradisi menangkap Nyale timbul dari pengaruh keadaan alam, dan pola kehidupan serta kepercayaan yang mendasari pola budaya orang sasak sepanjang pantai selatan pulau Lombok. Imigrasi beberapa keluarga menimbulkan cabang kelompok kampung baru yang mempunyai budaya yang sama dengan kelompok asal. Fungsi sosial menangkap nyale adalah membina persatuan dan kesatuan kelompok. Tradisi menangkap nyale juga menjadi hiburan bagi masyarakat. Disamping menangkap nyale, biasanya dilakukan beberapa perlombaan seperti berselancar, sabung ayam, dan tak jarang menjadi ajang mencari jodoh bagi kaum muda-mudi.

4.2 Saran

Saran saya sehubungan dengan kertas karya ini yaitu, semoga pemerintah ikut membantu pelestarian tradisi bau nyale di lombok, karena menangkap nyale mempunyai fungsi dan peranan sosial yang sangat penting.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1983. Nyale Di Lombok, Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1977. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1982. Adat Istiadat Sasak, Jakarta: Balai Pustaka.


(1)

nyale muncul mereka turun berjajar, kemudian menyebar masuk kedalam air. Tangan dan alat dimasukan kedalam air dengan harapan akan ada nyale yang tersangkut.

Di lokasi penangkapaan nyale setiap orang bebas berteriak semaunya. Seperti: “jabut jantar bulum pepeq’n edara eberu”. Yang artinya “lebat lebam bulu kemaluan gadis Eberu”. Menurut kepercayan mereka, hal tersebut merangsang nyale supaya lebih banyak keluar dari lubangnya. Hal tersebut sesuai dengan legenda putri Eberu, yang menjelma jadi Nyale.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut dianggap tabu dan tidak sopan.

3.2.2 Maksud penangkapan nyale

Penangkapan nyale dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, terutama memohon kesuburan.

Perkiraan panen yang akan diperoleh akan tergambar dari warna nyale yang keluar pada tahun itu. Menurut kepercayaan penduduk Lombok selatan, bahwa panen akan melimpah bila warna Nyale yang keluar pada tahun itu lengkap.

Warna yang dimaksud putih, hitam, hijau, kuning, dan cokelat. Kelengkapan warna itu juga menunjukkan pertanda akan banyak turun hujan sesudah penangkapan nyale. Menurut kebiasaan, sesudah penangkapan nyale hujun turun tiada hentinya siang dan malam. Keadaan yang demikian menurut istilah sasak disebut “ombek

nyale”. Selain itu mereka juga mengenal ombek lain yaitu “ombek simbur”.

Maksudnya hujan yang turun berhari-hari lamanya tiada henti mengiringi turunnya ikan lele (bahasa sasak, simbur) mengikuti aliran air sawah kesungai.


(2)

Mereka juga percaya dengan menancapkan bekas bungkusan Nyale kesawah dapat membuat tanaman menjadi tumbuh sehat dan subur. Selain itu, wadah bekas menangkap nyale (seperti; bakul, keranjang, baskom dan lain-lain) dicuci dipintu saluran air yang masuk ke sawah agar tanaman terhindar dari segala macam penyakit dan akan tumbuh lebih subur.

Nyale yang diperoleh dapat dijadikan berbagai masakan, seperti, panggang nyale. Nyale tersebut di bungkus dengan daun kelapa atau daun pisang, kemudian di panggang dibara api sampai matang. Nyale dapat juga di gulai dan dapat pula dijadikan sambal goreng.

3.2.3 Pihak-pihak yang terlibat penangkapan nyale

Menangkap nyale bukanlah suatu upacara melainkan sebuah tradisi, jadi siapa saja boleh menangkap nyale. Tetapi biasanya, yang datang kelokasi penangkapan nyale dapat dibedakan atas empat golongan, yaitu:

a. Mereka yang datang menangkap nyale karena tradisi,

b. Mereka yang datang menangkap nyale untuk mencoba sambil rekreasi, c. Mereka yang datang menangkap nyale sambil berjualan.

3.3 Adat-istiadat yang berhubungan dengan Nyale Adat-istiadat ini terdiri atas:

a. Ziarah Kubur (roh kubur).


(3)

Ketepatan waktu keluarnya setiap tahun, telah menarik perhatian para petani sehingga menjadikan peristiwa tersebut sebagai pertanda alam yang dikaitkan dengan kepercayaan yang berhubungan dengan roh dan tanaman padi disawah. Sehingga kalau nyale sudah ditangkap, setiap keluarga batih merasa perlu untuk menziarahi anggota kerabatnya yang sudah meninnggal.

Ziarah dilakukan untuk meminta keselamatan dan perlindungan kepada roh nenek moyang mereka. Menurut kepercayaan mereka, roh nenek moyang yang sudah meninggal lebih dekat dengan Tuhan, dan sewaktu-waktu dapat berhubungan dengan Tuhan. Kegiatan ini dilakukan terutama oleh bekas penganut agama Waktu Telu.

Tradisi ini pernah menjadi dasar kepercayaan umum pada hampir seluruh suku bangsa Sasak. Sejak kebangkitan kembali agama Islam yang benar, pada akhir abad ke-19, penganut Islam Waktu Telu ini berangsur-angsur masuk kedalam golongan Islam Waktu Lima, suatu golongan yang melaksanakan agama Islam secara benar.

Pada saat ini masih ada yang percaya kepada roh yaitu masyarakat yang dahulunya berasal dari Islam Waktu Telu. Mereka masih melaksanakan kebiasaan mereka seperti dahulu.

Pada saat mereka menziarahi kubur, mereka membawa makanan (nyale yang telah diolah) dan minuman sebagai sesajen. Mereka membakar kemenyan diatas kuburan, diantara kedua batu nisan. Anak cucunya berkerumun di sekitar kuburan dan menadahkan tangan. Setelah orangtuanya selesai menyiram kubur tiga kali dari kanan ke kiri, tiap-tiap orang menadah air dari kendi dan membasuh mukanya


(4)

masing-masing. Sambil mencurahkan air kendi, ibu atau ayahnya meminta keselamatan bagi anak-anak melalui roh leluhur.

Bila semuanya telah membasuh mukanya, maka selanjutnya si penziarah menepuk-nepuk kubur tiga kali. Maksudnya untuk membangunkan roh, dan mengajaknya untuk makan bersama.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Tradisi menangkap Nyale timbul dari pengaruh keadaan alam, dan pola kehidupan serta kepercayaan yang mendasari pola budaya orang sasak sepanjang pantai selatan pulau Lombok. Imigrasi beberapa keluarga menimbulkan cabang kelompok kampung baru yang mempunyai budaya yang sama dengan kelompok asal. Fungsi sosial menangkap nyale adalah membina persatuan dan kesatuan kelompok. Tradisi menangkap nyale juga menjadi hiburan bagi masyarakat. Disamping menangkap nyale, biasanya dilakukan beberapa perlombaan seperti berselancar, sabung ayam, dan tak jarang menjadi ajang mencari jodoh bagi kaum muda-mudi.

4.2 Saran

Saran saya sehubungan dengan kertas karya ini yaitu, semoga pemerintah ikut membantu pelestarian tradisi bau nyale di lombok, karena menangkap nyale mempunyai fungsi dan peranan sosial yang sangat penting.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1983. Nyale Di Lombok, Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1977. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1982. Adat Istiadat Sasak, Jakarta: Balai Pustaka.