Yogyakarta No Ambarketawang Mura De No Saparan No Dentou Teki Na Gishiki

(1)

YOGYAKARTA NO AMBARKETAWANG MURA DE

NO SAPARAN NO DENTOU TEKI NA GISHIKI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

FRISKY MINOVA Nim : 072203022

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2010


(2)

YOGYAKARTA NO AMBARKETAWANG MURA DE

NO SAPARAN NO DENTOU TEKI NA GISHIKI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

FRISKY MINOVA Nim : 072203022

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum Drs. Amin Sihombing NIP. 19600919 198803 1 001 19600403 199103 1 001

Kertas Karya ini diajukan kepada panitia ujian

Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG


(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D III Bahasa Jepang Ketua,

NIP 19620727 1987 03 2 005 Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu

syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang Pada :

Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Panitia

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( ) 2. Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum ( )

3. Drs. Amin Sihombing ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul “ Upacara Tradisional Saparan di Desa Ambarketawang Yogyakarta”.

Penulis dengan kerendahan hati menyadari bahwa dalam Karya Tulis ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis dengan rendah hati menerima kritik dan saran untuk kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini, terutama kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan S.S, M Hum, selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Alimansyar, S.S selaku Dosen Wali.

4. Bapak Drs. Eman K. M Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga selesainya kertas karya ini.


(6)

6. Seluruh staff Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

7. Khususnya kepada Beliau yang paling berarti di hidup saya, Ayahanda

dan Ibunda tercinta terima kasih adinda haturkan atas segala cinta dan kasih mereka yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta

do’anya demi kesuksesan adinda, Kakanda Fahryanto yang menjadi

warna, motivator bagi saya dan dapat menghibur penulis. Juga buat mbak Reffy Ocdiwisna, adik-adik Pretty Charitya dan Canny Sylvia.

8. Teman-teman Bahasa Jepang stambuk 07. buat Annisa, Ika, Iin, k’ yuni,

bg yahya dan bg teguh, thanks ya……

Akhir kata penulis memohon maaf kepada para pembaca atas segala kesalahan ataupun kekurangan dalam pengerjaan Kertas Karya ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT

Medan, Mei 2010 Penulis

NIM.072203022 FRISKY MINOVA


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan judul ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 2

1.3 Pembatasan Masalah ... 2

1.4 Metode Penulisan ... 3

BAB II GAMBARAN UMUM DESA AMBARKETAWANG ... 4

2.1 Sejarah Desa Ambarketawang ... 4

2.2 Penduduk ... 4

2.3 Lokasi ... 5

2.4 Mata Pencaharian ... 5

BAB III UPACARA TRADISIONAL SAPARAN DI DESA AMBARKETAWANG YOGYAKARTA... 6

3.1 Pengertian Upacara Saparan ... 6

3.2 Tujuan Upacara Saparan ... 7

3.3 Waktu dan Tempat Upacara Saparan ... 7

3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan ... 9

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 13

4.1 Kesimpulan ... 13

4.2 Saran ... 13


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Perkembangan Upacara Tradisional yang ditandai dengan berbagai lambang atau simbol menunjukkan suatu norma atau nilai budaya bangsa. Hal tersebut merupakan unsur penting untuk dapat menunjukkan suatu identitas serta warna kehidupan bangsa Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat Upacara Tradisional merupakan hal yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat bahkan antar suku. Upacara Tradisional yang dilaksanakan dapat membuat rasa aman, tentram dan damai bagi suku bangsa yang melakukan Upacara itu. Maka dari itu Upacara Tradisional dapat sebagai sarana sosialisasi bagi masyarakat Tradisional khususnya.

Salah satu dari upacara tradisional tersebut adalah Upacara Saparan di desa Ambarketawang. Upacara ini khusus dilaksanakan agar tidak terjadi malapetaka pada masyarakat Ambarketawang seperti yang di alami keluarga Kyai Wirasuta. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Sapar pada kalender Arab. Upacara ini sudah menjadi Tradisi pada masyarakat Ambarketawang dan diperingati tiap tahun pada bulan sapar dengan menyiapkan berbagai macam makanan seperti : nasi gurih, nasi liwet, telur mentah dan sambal gepeng, pecel pitik, ayam panggang, wedang kopi pahit, rokok/cerutu, dan lain-lain.

Maka dari itu penulis merasa tertarik untuk membahas tentang Upacara Saparan di Desa Ambarketawang, kemudian mengembangkannya ke dalam kertas karya ini.


(9)

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan informasi tentang Upacara Tradisional, khususnya

Upacara Saparan yang masih dilestarikan oleh masyarakat di daerah Yogyakarta.

2. Untuk menambah pengetahuan pembaca dan juga penulis tentang

Upacara Tradisional Saparan di Desa Ambarketawang.

3. Untuk melengkapi persyaratan agar dapat lulus dari Program D3

Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis membatasi pembahasannya mengenai pengertian, tujuan, persiapan serta perlengkapan Upacara Saparan di Desa Ambarketawang Yogyakarta. Sebelum menjelaskan tentang Upacara Tradisional Saparan di desa Ambarketawang Yogyakarta menjelaskan juga tentang Sejarah, Lokasi, Penduduk, dan Mata Pencaharian.

1.4 Metode Penulisan

Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu metode pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku yang berhubungan dengan topik dalam kertas karya ini. Kemudian data-data yang telah


(10)

dikumpulkan di Identifikasi, di rangkum dan selanjutnnya di distribusikan ke dalam tiap bab pada Kertas Karya ini.


(11)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA AMBARKETAWANG

2.1 Sejarah Desa Ambarketawang

Sejarah Ambarketawang adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terbentuknya Desa Ambarketawang berdasarkan maklumat pemerintah provinsi Yogyakarta pada tahun 1946 yang menggabungkan 4 Kelurahan yaitu : Kelurahan Gamping, Mejing, Bodeh dan Kalimanjung. Kelurahan (desa) ini di sebut Ambarketawang. Nama Ambarketawang berarti bau harum yang memenuhi angkasa.

Desa Ambarketawang mempunyai hubungan erat dengan pendirian kraton atau pesanggrahan raja Yogyakarta yang pertama kali adalah Sultan Hamengkubuwna I. Pada tahun 1755 di wilayah Ambarketawang didirikanlah sebuah istana yang dinamai Ambarketawang.

2.2 Penduduk

Desa Ambarketawang meliputi 13 padukuhan yang terdiri dari 38 RW dan 110 RT, luas wilayahnya ±635.8975 Ha. Jumlah penduduk di desa ini 17.672 jiwa. Terdiri dari 8844 laki-laki dan 8828 perempuan.

Wilayah desa Ambarketawang membujur dari arah utara ke selatan. Di bagian selatan merupakan daerah perbukitan / pegunungan kapur, dan bagian utara merupakan dataran.

Di Desa Ambarketawang mayoritas adalah pemeluk Agama Islam, kemudian di susul pemeluk Agama Katolik, Protestan, Buddha lalu Hindu.


(12)

2.3 Lokasi

Tempat pelaksanaan Upacara Tradisional Saparan di Daerah Ambarketawang adalah provinsi daerah istimewa Yogyakarta Kabupaten Sleman. Secara geografis terletak dibagian Utara Daerah Istimewa Yogyakarta berbentuk mirip segitiga (tumpeng) dengan puncak Gunung Merapi setinggi 2.911 m di atas permukaan air laut. Secara astronomis terletak pada posisi 7034’51”–7047’03”,

Lintang Selatan, dan 107015’03”-110028’30” Bujur Timur.

Daerah ini termasuk daerah potensial karena adanya peninggalan bangunan masa lampau. Jarak tempuh dari pusat pemerintahan kabupaten Sleman ke Desa Ambarketawang ± 11 km. tetapi dari pusat kota Yogyakarta hanya ± 5 km.

2.4 Mata Pencaharian

Masyarakat Jawa Tengah umumnya mempunyai Mata Pencaharian hidup sebagai petani. Di samping mereka yang menjadi petani, bagi penduduk yang tidak dapat mengerjakan sawah, mencari nafkah di bidang lain yaitu menjadi buruh industri bangunan, buruh penjual jasa, pengangkutan, pedagang, ABRI dan sebagainya. Ada juga pekerjaan sampingan yang dapat membuahkan hasil jerih payah, antara lain membuat anyaman bambu atau kepang.


(13)

BAB III

UPACARA TRADISIONAL SAPARAN di DESA AMBARKETAWANG YOGYAKARTA

3.1 Pengertian Upacara Saparan

Kata Saparan berasal dari kata sapar dan berakhiran an. Kata Sapar identik dengan ucapan arab Syafar yang berarti bulan ke 2. Jadi Saparan adalah Upacara keselamatan yang diadakan setiap bulan syafar. Upacara ini diadakan atas perintah Pangeran Mangkubumi. Untuk kesalamatan masyarakat Ambarketawang agar jauh dari malapetaka seperti yang dialami oleh Kyai Wirasuta dan keluarga.

Saparan disebut juga Saparan Bekakak. Bekakak adalah korban penyembelihan hewan atau manusia. Bekakak pada Saparan ini hanya tiruan manusia saja. Berwujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang di buat dari tepung ketan.

3.2 Tujuan Upacara Saparan

Penyelenggaraan Upacara Saparan di Desa Ambarketawang semula bertujuan untuk menghormati arwah (roh halus), Kyai dan Nyai Wirasuta sekeluarga. Tapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan bagi penduduk yang mengambil batu gamping.

Kyai Wirasuta adalah abdi penongsong (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I di mana pun berada. Setelah Sri Sultan Hamengku


(14)

Buwana I pindah dari kraton ke kraton yang baru. Abdi kinasih Kyai Wirasuta tidak ikut pindah. Ia tetap tinggal di Gamping. Dia mempunyai binatang yang disayangi berupa landhak, gemak dan merpati. Burung merpati ini mempunyai keistimewaan lain dari pada yang lain yaitu pada bunyi sawangannya. Jika mendengar bunyi sawangannya itu orang akan tau bahwa burung itu adalah merpati milik Kyai Wirasuta.

Pada suatu hari Jum’at kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan syafar menjelang purnama, terjadilah suatu musibah yang menimpah Kyai Wirasuta dan keluarga. Gunung tempat tinggal mereka runtuh. Mereka semua terkubur dalam reruntuhan beserta semua binatang kesayangannya. Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk mencari jenazah mereka. Tetapi semua jenazah itu hilang tak dapat di temukan. Dengan adanya kejadian tersebut maka Hamengku Buwana I memerintahkan para abdi, supaya setahun sekali setiap bulan Syafar hari jum’at diantara tanggal 10-20, membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping untuk mengenang jasa dan kesetiaan Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong. Dan keselamatan masyarakat Ambarketawang agar tidak tertimpa musibah serta desa tersebut menjadi aman dan jauh dari malapetaka.

3.3 Waktu dan Tempat Upacara Saparan

Waktu atau saat penyelenggaraan Upacara Saparan di desa Ambarketawang telah di tetapkan. Yaitu hari Jum’at pada bulan Syafar antara tanggal 10-20 dilaksanakannya Upacara, biasanya di mulai pada pukul 14.00. Penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00.


(15)

Tempat penyelenggaraan Upacara Saparan disesuaikan dengan pelaksanaan Upacara, yaitu: Midadareni, Kirab, nyembelih Bekakak dan Upacara Sugengan Ageng.

Upacara Midadareni pada Upacara Saparan di langsungkan di Balai Desa Ambarketawang. Upacara Midadareni pada Sugengan Ageng di dusun Patran desa Ambarketawang.

Upacara Kirab atau arak-arakan bekakak di laksanakan berawal di desa Ambarketawang melalui jalan-jalan yang sudah ditentukan bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesenggrahan hingga berakhir di tempat penyembelihan.

Berikutnya Upacara Nyembelih Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang, sepasang pengantin bekakak di bawa ke mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi isyarat agar berhenti dan memanjatkan doa. Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung. Demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudian dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan Upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan potongannya diberikan kepada pengunjung. Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagi kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.

Upacara Sugengan Ageng dilaksanakan sehabis Upacara nyembelih bekakak dan tempat penyelenggaraannya pesanggrahan (kraton) Ambarketawang dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari Sabtu. Pesanggrahan telah dihiasi janur dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran berwujud jodhang, jali kembang mayang, kelapa


(16)

gadhing (cengkir), air amerta, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.

3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan

Persiapan Upacara Saparan di desa Ambarketawang banyak butuhkan tenaga, materi serta partisipasi masyarakat. Persiapan Upacara Saparan lebih banyak menyita waktu, tenaga dan ketelitian. Misalnya dalam pembuatan bekakak, sajen-sajen, kembar mayang dan sebagainya. Persiapan penyelenggaraan Upacara Saparan di bagi dalam dua macam yaitu Saparan Bekakak dan Sugengan Ageng.

Sebelum mengadakan Upacara Saparan, panitia telah merencanakan dana anggaran yang akan digunakan. Dana ini di dapat dari pengusaha gamping, instansi pemerintah dan usaha pamong desa, juga perorangan penyumbang suka rela (donatur).

Persiapan untuk Saparan Bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu ±8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.

Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan adalah bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta.


(17)

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang. Pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.

Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua joli yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang


(18)

kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.

Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa, sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai ± jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :

1. Barisan yang membawa umbul-umbul

2. Barisan pengawal dari Gamping Tengah

3. Joli pengantin dan Jodhang


(19)

5. Pengiring yang lain.

kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk. Kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang dilakukan oleh penduduk sekitar.

Acara dibuka oleh ketua Panitia diikuti laporan tentang pelaksanaan Upacara Saparan. Dilanjutkan sambutan oleh Bupati Sleman, kemudian acara terakhir adalah pembacaan doa oleh Ki Juru Permana. Setelah pembacaan doa selesai, maka pemberangkatan barisan Upacara Saparan di mulai, di awali dengan pelepasan sepasang merpati putih dikalungi bunga melati,dan dipasangi sawangan pada ekornya.

Barisan Upacara Tradisional Saparan itu berangkat dari Balai Desa meuju ke arah Selatan, sampai di jalan besar (Yogya-Wates), belok ke kiri (timur). Setelah melewati pasar gamping lalu belok ke kanan (selatan). Terus menuju ke arah Gunung Ambarketawang, (tempat penyembelihan pertama). Arakan/pawai dilanjutkan ke tempat penyembelihan yang kedua yaitu gunung Kliling. Lokasi penyembelihan yang kedua ini berada di sebelah utara bekas kraton (pesanggrahan) Ambarketawang. Dari Balai Desa ke tempat pesanggrahan ini ± 1 ½ km.


(20)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Upacara saparan merupakan Upacara Tradisional yng dilaksanakan

masyarakat Ambarketawang secara rutin pada bulan Syafar sampai sekarang.

2. Upacara Saparan merupakan Upacara untuk mengenang jasa dan kesetiaan

Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong.

3. Upacara Saparan diselenggarakan pada setiap bulan Syafar untuk

keselamatan masyarakat Ambarketawang.

4.2 Saran

Dari pembahasan tentang Upacara Saparan ini maka penulis menyarankan:

1. Penulis mengharapkan agar pembaca dapat lebih mengenal Upacara

Saparan sebagai salah satu warisan budaya bangsa.

2. Penulis mengharapkan agar kita bisa lebih menghargai, melestarikan dan


(21)

DAFTAR PUSTAKA

- Gatut Murniatmo, dkk., 1976/1977, Adat Istiadat Daerah Istimewa

Yogyakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,

- Murtjipta, 1984Upacara Tradisional bulan Safar di Kabupaten Sleman,


(1)

gadhing (cengkir), air amerta, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.

3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan

Persiapan Upacara Saparan di desa Ambarketawang banyak butuhkan tenaga, materi serta partisipasi masyarakat. Persiapan Upacara Saparan lebih banyak menyita waktu, tenaga dan ketelitian. Misalnya dalam pembuatan bekakak, sajen-sajen, kembar mayang dan sebagainya. Persiapan penyelenggaraan Upacara Saparan di bagi dalam dua macam yaitu Saparan Bekakak dan Sugengan Ageng.

Sebelum mengadakan Upacara Saparan, panitia telah merencanakan dana anggaran yang akan digunakan. Dana ini di dapat dari pengusaha gamping, instansi pemerintah dan usaha pamong desa, juga perorangan penyumbang suka rela (donatur).

Persiapan untuk Saparan Bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu ±8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.

Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan adalah bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta.


(2)

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang. Pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.

Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua joli yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang


(3)

kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.

Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa, sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai ± jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :

1. Barisan yang membawa umbul-umbul

2. Barisan pengawal dari Gamping Tengah

3. Joli pengantin dan Jodhang


(4)

5. Pengiring yang lain.

kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk. Kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang dilakukan oleh penduduk sekitar.

Acara dibuka oleh ketua Panitia diikuti laporan tentang pelaksanaan Upacara Saparan. Dilanjutkan sambutan oleh Bupati Sleman, kemudian acara terakhir adalah pembacaan doa oleh Ki Juru Permana. Setelah pembacaan doa selesai, maka pemberangkatan barisan Upacara Saparan di mulai, di awali dengan pelepasan sepasang merpati putih dikalungi bunga melati,dan dipasangi sawangan pada ekornya.

Barisan Upacara Tradisional Saparan itu berangkat dari Balai Desa meuju ke arah Selatan, sampai di jalan besar (Yogya-Wates), belok ke kiri (timur). Setelah melewati pasar gamping lalu belok ke kanan (selatan). Terus menuju ke arah Gunung Ambarketawang, (tempat penyembelihan pertama). Arakan/pawai dilanjutkan ke tempat penyembelihan yang kedua yaitu gunung Kliling. Lokasi penyembelihan yang kedua ini berada di sebelah utara bekas kraton (pesanggrahan) Ambarketawang. Dari Balai Desa ke tempat pesanggrahan ini ± 1 ½ km.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Upacara saparan merupakan Upacara Tradisional yng dilaksanakan masyarakat Ambarketawang secara rutin pada bulan Syafar sampai sekarang.

2. Upacara Saparan merupakan Upacara untuk mengenang jasa dan kesetiaan Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong.

3. Upacara Saparan diselenggarakan pada setiap bulan Syafar untuk keselamatan masyarakat Ambarketawang.

4.2 Saran

Dari pembahasan tentang Upacara Saparan ini maka penulis menyarankan: 1. Penulis mengharapkan agar pembaca dapat lebih mengenal Upacara

Saparan sebagai salah satu warisan budaya bangsa.

2. Penulis mengharapkan agar kita bisa lebih menghargai, melestarikan dan mencintai kebudayaan Indonesia.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

- Gatut Murniatmo, dkk., 1976/1977, Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,

- Murtjipta, 1984Upacara Tradisional bulan Safar di Kabupaten Sleman, Bantul dan Klaten, diktat.