32
Elfa Michellia Karima, 2013 Kehidupan Nyai Di Jawa Barat
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
rumah tangga dan juga memenuhi kebutuhan biologis laki-laki Eropa, serta menjadi ibu bagi anak-anak hasil hubungannya.
Tidak sedikit perempuan yang bekerja sebagai Nyai pada pejabat daerah ataupun pada pegawai Belanda. Status hubungan campuran yang terdapat di Hindia
Belanda dibedakan menjadi dua, yaitu hubungan campuran berstatus resmi dan tidak resmi. Hubungan campuran resmi ditandai dengan dilakukannya pernikahan yang
disahkan dalam hukum pemerintah Belanda. Untuk mendapatkan kesahan hukum, maka ada syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yaitu menganut agama
Kristen. Dengan hubungan yang sah maka Nyai dan anak hasil hubungannya akan mendapatkan perlindungan hukum.
Berbeda dengan hubungan campuran yang berstatus tidak resmi, hubungan itu dinamakan dengan pergundikan. Pergundikan dilakukan secara diam-diam dan tidak
disahkan dalam hubungan pernikahan. Data yang menyatakan bahwa mereka tinggal bersama pun tidak didaftarkan pada pihak pemerintah. Hubungan ini akan berdampak
buruk bagi Nyai dan anak hasil hubungannya, karena tidak ada hukum yang melindunginya. Pergundikan juga banyak dilakukan oleh pegawai militer Belanda
yang hidup di dalam tangsi militer. Pergundikan juga membawa dampak yang buruk terhadap kehidupan Nyai dan juga “suaminya”. Apalagi yang dilakukan secara tidak
sah dan sering berganti pasangan. Hal ini sangat rawan terkena penyakit kelamin yang sempat menjadi masalah besar bagi pemerintah Belanda dalam
pemberantasannya.
3.4.4 Historiografi
Historiografi merupakan tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap sebelumnya dengan cara
menyusun dalam bentuk tulisan dengan jelas dengan gaya bahasa yang sederhana menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar. Historiografi adalah usaha
mensintesiskan data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah yang jelas dalam bentuk lisan maupun tulisan, baik dalam buku maupun artikel. Langkah
33
Elfa Michellia Karima, 2013 Kehidupan Nyai Di Jawa Barat
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
terakhir yang dilakukan setelah semua data terkumpul dan disusun sesuai dengan sistematika ialah menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah sksipsi yang berjudul
Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian Historis Pada Tahun 1900-1942 Adapun
laporan hasil penelitian tertera dalam buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI.
93
Elfa Michellia Karima, 2013 Kehidupan Nyai Di Jawa Barat
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian dan jawaban dari permasalahan penelitian yang dikaji dalam skripsi yang berjudul Kehidupan Nyai dan
Pergundikan di Jawa Barat pada Tahun 1900-1942. Masyarakat Jawa Barat sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh upah di perkebunan-perkebunan baik milik
pemerintah Belanda maupun milik perusahaan swasta. Masuknya perusahaan swasta ke Jawa Barat seiring dengan tingginya harga ekspor teh di pasaran dunia. Dengan
diberlakukannya hak Erfpacht atau Hak Guna Usaha menjadikan perusahaan swasta menyewa tanah milik penduduk Jawa Barat selama maksimal 75 tahun untuk
didirikan perkebunan dengan kewajiban membayar sejumlah uang sewa. Kerja upah di perkebunan juga berdampak adanya monetisasi atau pengenalan
mata uang yang terlihat dari aktivitas penduduk sehari-hari dalam penyewaan tanah atau proses transaksi lainnya dilakukan dengan nilai tukar uang. Hal ini
mempengaruhi penduduk Jawa Barat untuk mendapatkan penghasilan dengan cara bekerja menjadi buruh upah di perkebunan-perkebunan milik perusahaan Belanda.
Tidak hanya laki-laki yang bekerja di perkebunan untuk mendapatkan upah, perempuan dan anak-anak pun banyak yang bekerja sebagai buruh upah ketika musim
panen tiba. Perempuan bekerja memetik teh, karena ketelitian sangat diperlukan ketika memanen teh sedangkan anak-anak bekerja mencari ulat sebagai buruh lepas
perkebunan. Tidak sedikit perempuan Pribumi yang bekerja di perkebunan masuk ke
dalam dunia pergundikan, karena mereka tergiur dengan penghasilan yang lebih menjanjikan dibanding bekerja sebagai buruh upah perkebunan. Kebiasaan memiliki
gundik diturunkan dari kebiasaan raja yang memiliki banyak selir dan dilanjutkan oleh pembesar daerah yang memiliki gundik lebih dari satu. Hal tersebut ditiru oleh
sebagian besar orang Eropa yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan swasta