KEHIDUPAN NYAI DI JAWA BARAT : KAJIAN HISTORIS PADA TAHUN 1900-1942.

(1)

No. Daftar FPIPS : 1791/UN.40.2.3/PL/2013

KEHIDUPAN NYAI DI JAWA BARAT : KAJIAN HISTORIS PADA TAHUN 1900-1942

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Elfa Michellia Karima 0907228

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2013


(2)

KEHIDUPAN NYAI DI JAWA BARAT : KAJIAN HISTORIS

PADA TAHUN 1900-1942

Oleh

Elfa Michellia Karima

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Elfa Michellia Karima 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Oktober 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

ELFA MICHELLIA KARIMA

KEHIDUPAN NYAI DI JAWA BARAT : KAJIAN HISTORIS PADA TAHUN 1900-1942

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing I

Dra. Murdiyah Winarti, M. Hum. NIP. 19600529 198703 2 002

Pembimbing II

Dra. Lely Yulifar, M. Pd. NIP. 19641204 199001 2 002

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M. Pd. NIP. 19570408 198403 1 003


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian Historis Pada Tahun 1900-1942” yang mengkaji tentang kedudukan perempuan pada masa kolonial di Jawa Barat yang banyak melakukan praktik pergundikan sebagai salah satu cara untuk menopang kehidupan keluarga. Pergundikan tidak hanya dilakukan oleh penguasa daerah asal Pribumi saja tapi juga dilakukan oleh pegawai perusahaan swasta asal Belanda. Latar belakang penulis melakukan penelitian terhadap permasalahan ini ialah karena penulis tertarik dengan kehidupan masyarakat Jawa Barat terutama perempuan yang menjadikan praktik pergundikan sebagai salah satu mata pencaharian untuk mendapatkan uang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis dengan mengkaji peninggalan-peninggalan masa lampau dan disajikan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dengan menelusuri sumber kepustakaan. Berdasarkan hasil kajian, penulis memperoleh temuan bahwa Nyai merupakan panggilan yang lumrah digunakan di daerah Jawa Barat untuk seorang perempuan, namun Nyai juga berarti panggilan bagi perempuan yang dinikah secara tidak resmi baik oleh pejabat daerah ataupun orang Eropa. Skripsi ini lebih menitik beratkan Nyai sebagai panggilan bagi perempuan yang merupakan istri tidak resmi atau simpanan. Tidak sedikit perempuan Pribumi yang menjadi Nyai dan melakukan aktivitas pergundikan karena salah satunya disebabkan oleh dorongan ekonomi yang semakin tinggi. Dalam pergundikan perempuan Pribumi tinggal bersama laki-laki Eropa yang telah dipilihnya untuk menjadi Nyai dalam satu rumah. Adapun dua macam hubungan pergundikan yang banyak dilakukan, yaitu hubungan resmi dan tidak resmi. Hubungan pergundikan resmi yaitu hubungan yang disahkan dalam pernikahan dan didaftarkan secara hukum pada pemerintahan Belanda. Nyai yang dinikahi secara resmi mendapatkan hak-hak sebagai istri sah pada umumnya seperti mendapatkan nafkah dari suaminya. Mereka juga mendapatkan perlakuan istimewa yaitu mereka diterima oleh warga Eropa lainnya yang ada di Hindia Belanda, mendapatkan pengakuan yang sah dan dilindungi oleh hukum. Anak yang lahirpun akan terdaftar dalam pemerintahan Belanda dan disamakan kedudukannya dengan warga Eropa. Hubungan yang tidak resmi yaitu hubungan pergundikan tidak didaftarkan pada pemerintahan Belanda sehingga Nyai maupun anak yang dilahirkan hasil dari hubungan itu tidak mendapatkan hak-hak nya seperti seorang istri sah dan anak kandung. Mereka juga tidak mendapatkan perlakuan istimewa bahkan mereka pun tidak mendapatkan pengakuan dari warga Eropa. Pergundikan tidak hanya terjadi dalam kehidupan pegawai sipil Belanda saja tapi juga pada kehidupan anggota militer di dalam tangsi. Umumnya pergundikan di dalam tangsi dilakukan dengan berganti-ganti pasangan karena anggota militer sering mendapat tugas berpindah-pindah tempat. Peneliti mengharapkan adanya penelitian lanjutan dari penelitian yang dilakukan. Mengingat adanya keterbatasan penelitian, khususnya kelemahan yang berkaitan dengan metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan sampel yang terlibat.


(5)

ABSTRACT

The tittle of this thesis is " Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian Historis Pada Tahun 1900-1942" which discussed about West Javanese people, especially women who make concubinage as livelihood to earn income to fulfill their daily life. Concubinage was not only done by the local authorities of Indigenous origin, but also by the foreign people who worked on a companies from the Netherlands. the author was interested with the West Javanese people who made concubinage as a livelihood to earn income. The method of this study is the historical method and study of literature as the technique of tracing the sources. The author found that Nyai was a common call used in West Java for a women, but it also means for women who had unofficially relationship with the local authorities or the Europeans. This thesis more focused to Nyai as a call for women who did concubinage. Many women who became Nyai for the higher economic boost. Indigenous women lived in concubinage with European men who had chosen them to be Nyai. There are two kinds of concubinage relationship, the formal and informal relationship. Formal concubinage is legally marriage registered in the Dutch government. Nyai got rights as his wife. They also got special treatment from other Europeans in Hindia Belanda , and they were protected by law . the child from that relationship got the same rights and position with the European citizens . Unofficial relationship were not registered in the Dutch government. Nyai who did this relationship did not get rights as a legal wife. However, concubinage relationship has an impact on the spread of venereal disease among Europeans and indigenous but still many women who to be Nyai even though they knew about the impact. The author expect the continuation of a research study conducted.


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 6

1.4Metode Penelitian... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.6 Struktur Organisasi . ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1 Metode Penelitian ... 24

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.3 Persiapan Penelitian ... 26

3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian ... 26

3.3.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 27

3.3.3 Proses Bimbingan ... 28

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 29

3.4.1 Heuristik ... 29


(7)

3.4.2.1 Kritik Eksternal ... 30

3.4.2.2 Kritik Internal ... 30

3.4.3 Interpretasi ... 31

3.4.4 Historiografi ... 32

BAB IV PERKEMBANGAN PEREMPUAN PRIBUMI SEBAGAI NYAI DI JAWA BARAT PADA TAHUN 1900-1942 ... 34

4.1 Latar Belakang Munculnya Nyai Pada Awal Abad ke-20 ... 34

4.1.1 Gambaran Umum Perekonomian di Jawa Barat ... 34

4.1.2 Kehidupan Sosial Budaya yang Berlaku di Masyarakat Awal ke-20 ... 40

4.1.3 Awal Keberadaan Nyai ... 46

4.2 Kehidupan Nyai di Jawa Barat Tahun 1900-1942 ... 53

4.2.1 Perempuan Pribumi yang menjadi Nyai tetapi tidak diakui secara hukum ... 53

4.2.2 Perempuan Pribumi yang menjadi Nyai di Lingkungan Militer Belanda ... 56

4.2.3 Perempuan Pribumi yang menjadi Nyai Secara Resmi ... 64

4.3 Kemerosotan Perkembangan Nyai dan Pergundikan di Jawa Barat ... 82

4.3.1 Dampak Adanya Praktik Pergundikan ... 82

4.3.2 Berakhirnya Kehidupan Nyai dan Pergundikan di Jawa Barat ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Perekonomian Pribumi sangat tergantung pada politik yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebagai negara jajahan yang berfungsi sebagai daerah eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan negara induk maka Hindia Belanda menggunakan sistem perekonomian yang menguntungkan negara induk. Dengan maraknya perdagangan hasil pertanian di pasaran dunia maka Belanda memberlakukan sistem produksi hasil pertanian. Belanda mewajibkan setiap masyarakat Pribumi untuk bekerja wajib dan melakukan penanaman wajib untuk menghasilkan komoditi yang laku di pasaran dunia. Sehingga, penduduk Jawa Barat diwajibkan untuk menanami lahan pertaniannya dengan tanaman tertentu seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau yang hasilnya dibeli oleh pemerintah Belanda.

Sistem perekonomian yang dijalankan Belanda menjadi latar belakang munculnya ideologi dominan di Belanda dalam sistem perekonomian yaitu sistem liberalisme. Pada hakikatnya sistem liberalisme tetap menggunakan prinsip eksploitasi namun juga diberikannya keleluasaan pada pihak swasta untuk membuka perusahaan perkebunan. Keuntungan yang dicari oleh pemerintah Belanda dalam perekonomian ini ialah untuk mendapatkan dana untuk membiayai keperluan negara jajahan. Meskipun bayaran yang diterima penduduk tidak seberapa namun pengawasan terhadap penduduk sekitar sangat tinggi sehingga semua penduduk menuruti kebijakan pemerintah Belanda.

Berbeda dengan pemerintah Belanda, perusahaan swasta yang diberi keleluasaan untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk sebagai pekerja upah perkebunan. Dengan bekerja sebagai buruh upah maka perusahaan swasta akan membayarnya dengan uang. Inilah yang menjadi awal dari perkembangan pengenalan nilai mata uang atau monetisasi pada penduduk Priangan. Keperluan akan uang sebagai pemenuh kebutuhan keluarga


(9)

mengakibatkan kerja upah di perkebunan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki Pribumi saja, melainkan juga oleh perempuan Pribumi dan anak-anak.

Tenaga kerja perempuan ini didapat dari kalangan masyarakat miskin, selain itu posisi mereka di perkebunan merupakan posisi paling rendah sehingga mendapatkan upah yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan kebutuhan keluarga yang cukup besar. Hal ini tidak mengherankan karena perempuan hanya dapat mengerjakan pekerjaan ringan dan dianggap sebagai kaum yang lemah. Namun, keadaan pada masa itu yang mewajibkan perempuan untuk tetap bekerja oleh keluarga, membuat perempuan tetap bertahan untuk mendapatkan pekerjaan.

Demi mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak sedikit perempuan yang bekerja sebagai Nyai pada pejabat daerah ataupun pada pegawai Belanda. Nyai merupakan panggilan untuk seorang perempuan yang belum atau sudah menikah atau panggilan untuk seorang perempuan yang usianya lebih tua dari pada orang yg memanggil. Selain itu Nyai juga sebutan untuk gundik orang asing (terutama orang Eropa). Sementara itu Gundik ialah istri tidak resmi atau perempuan “piaraan”. Nyai dalam penulisan skripsi ini ialah yang merujuk pada perempuan “piaraan” atau istri simpanan dari orang Eropa yang berperan untuk melayani dan mengurus rumah tangga. Sehingga dapat diartikan bahwa Nyai atau gundik adalah seorang istri tidak resmi atau selir yang mengatur rumah tangga dan juga memenuhi kebutuhan biologis laki-laki Eropa, serta menjadi ibu bagi anak-anak hasil hubungannya. Di samping itu, para gundik juga sering disebut dengan Meubel (perabot), atau Inventarisstuk (barang inventaris) (Baay, 2010 : 59). Kebutuhan ekonomi yang mendesak telah membuat perempuan Pribumi yang berprofesi sebagai Nyai mengabaikan penggilan-panggilan yang merendahkannya. Salah satu adanya praktek pergundikan yang dilakukan Nyai menurut Mitchell dalam Thornham (2010 : 101) ialah karena adanya kultural patriarki yang tumbuh di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Ketundukan sang gadis pada „hukum sang ayah‟ yang membentuk dirinya sendiri sebagai lawannya.


(10)

Status hubungan campuran yang terdapat di Hindia Belanda dibedakan menjadi dua, yaitu hubungan campuran berstatus resmi dan tidak resmi. Hubungan campuran resmi ditandai dengan dilakukannya pernikahan yang disahkan dalam hukum pemerintah Belanda. Untuk mendapatkan kesahan hukum, maka ada syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yaitu menganut agama Kristen. Sebagian besar Nyai yang beragama Islam melakukan penggantian nama setelah dilakukan pembaptisan dengan menggunakan nama Kristen. Dengan berpindah agama dan mengganti namanya seorang Nyai dapat menikah secara sah dengan laki-laki Eropa dan mendapatkan pengakuan dari penduduk Eropa yang tinggal di Nusantara.

Dengan hubungan yang sah maka Nyai dan anak hasil hubungannya akan mendapatkan perlindungan hukum. Apabila suaminya meninggalkannya maka akan ditindak secara tegas oleh hukum yang berlaku selain itu negara juga bertanggung jawab atas anak berdarah Indo-Eropa. Anak yang dilahirkan pun akan didaftarkan sebagai bentuk pertanggung jawaban ayahnya atas kelangsungan hidupnya. Setelah didaftarkan maka anak itu akan mendapatkan nama belakang ayah mereka dan mendapatkan kewarganegaraan Belanda secara yuridis sama seperti ayahnya. Selain itu juga kedudukan mereka akan disamakan dengan warga Eropa. Keuntungan bila anak yang lahir itu diakui secara hukum ialah bila ayah mereka meninggalkan untuk kembali ke tanah kelahiran, anak-anak akan di masukan ke dalam panti asuhan yang dibiayai dan merupakan tanggung jawab negara.

Berbeda dengan hubungan campuran yang berstatus tidak resmi, hubungan itu dinamakan dengan pergundikan. Pergundikan dilakukan secara diam-diam dan tidak disahkan dalam hubungan pernikahan. Data yang menyatakan bahwa mereka tinggal bersama pun tidak didaftarkan pada pihak pemerintah. Hubungan ini akan berdampak buruk bagi Nyai dan anak hasil hubungannya, karena tidak ada hukum yang melindunginya. Kehidupan Nyai tidak resmi tidak seberuntung Nyai yang dinikahi dan diakui secara hukum. Kedudukan Nyai tidak resmi tidak jauh berbeda dengan pembantu rumah tangga lainnya namun mereka mendapat perlakuan yang istimewa dari “suaminya” karena mereka dapat melayani kebutuhan biologisnya. Namun,


(11)

selain itu mereka tidak mendapat keuntungan seperti seorang istri sah atau seorang Nyai resmi.

Anak yang dilahirkan pun tidak akan mendapat perlindungan negara apabila ayahnya meninggalkan tanpa pertanggung jawaban. Anak Indo-Eropa ini pun hidup dalam bayangan negatif dari masyarakat sekitar. Mereka dianggap memiliki sifat yang kurang terdidik dan tidak sama dengan anak yang mendapatkan pendidikan baik dari orang tua maupun di sekolah. Meski tidak mengakui anaknya namun ada beberapa orang Eropa yang tetap mendaftarkan anaknya di pemerintahan kolonial. Anak-anak yang didaftarkan diberi nama belakang sang ayah tapi dengan urutan huruf terbalik. Pieterse menjadi Esreteip, Van Riemsdijk menjadi Kijdsmeir dan Jansen menjadi Nesnaj (Baay, 2010 : 68). Namun ini bukanlah jaminan bahwa ayahnya akan terus bertanggung jawab atas hidupnya. Hal ini hanya sebagai keperluan persayaratan pengadopsian bagi keluarga Eropa yang berminat mengadopsi anaknya. Selain itu untuk menegaskan bahwa ibu Pribumi mereka tidak mungkin mengambil alih hak asuh anak-anaknya.

Pergundikan juga banyak dilakukan oleh pegawai militer Belanda yang hidup di dalam tangsi militer. Kebanyakan dari hubungan yang dilakukan didasarkan atas kebutuhan saja dan hubungan sesaat. Dalam tangsi militer dihuni oleh sekitar 100 anggota militer ditambah dengan Nyai dan anak hasil hubungannya. Karena keterbatasan tempat tinggal maka anak hasil hubungan campuran tersebut marak disebut dengan “anak kolong”. Bagi anak yang dinamakan “anak kolong” yaitu anak yang tidur di kolong tempat tidur kedua orang tua mereka dengan menggunakan alas tikar.

Pergundikan juga membawa dampak yang buruk terhadap kehidupan Nyai dan juga “suaminya”. Apalagi yang dilakukan secara tidak sah dan sering berganti pasangan. Hal ini sangat rawan terkena penyakit kelamin yang sempat menjadi masalah besar bagi pemerintah Belanda dalam pemberantasannya. Di sisi lain pemerintah tidak melarang adanya pergundikan karena merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi orang Eropa untuk bersedia ditempatkan di Hindia Belanda.


(12)

Namun di lain pihak hal ini menjadi masalah serius karena penyakit ini banyak tersebar dikalangan pegawai sipil dan militer yang melakukan praktik pergundikan. Penyakit berbahaya ini sangat merusak kesehatan seseorang yang terjangkit, dan bagi penderita penyakit ini sangat sedikit kemungkinan untuk sembuh. Banyak juga orang yang menderita penyakit ini meninggal dunia karena pengobatan pada masa itu yang masih tradisional.

Dampak pergundikan yang sangat merugikan seolah diabaikan oleh perempuan Pribumi yang bekerja sebagai Nyai. Desakan akan kebutuhan ekonomi menjadi salah satu penyebab tetap maraknya pergundikan pada masa kolonial. Selain itu, faktor kehidupan masyarakat Jawa Barat sangat kental dengan peraturan adat istiadat terutama yang mengatur perempuan untuk tunduk dan patuh terhadap ayah, suami atau saudara laki-laki dalam keluarganya, apapun yang diperintahkan kepada perempuan tersebut harus dijalani dengan senang hati dan tanpa bantahan. Untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga, tak jarang suatu keluarga menjadikan anak atau saudara perempuannya menjadi Nyai di orang Eropa yang dianggap memiliki kedudukan dan mapan secara ekonomi. Keluarga pun yang telah menyerahkan anak atau saudara perempuannya kepada orang Eropa untuk dijadikan Nyai akan mendapatkan imbalan, selain itu juga hal ini dianggap dapat menaikan prestise keluarga di tengah masyarakat meskipun tidak jarang menuai kecaman karena tidak sesuai dengan agama yang mereka anut.

Penulis mengambil kajian yang dimulai pada tahun 1900 karena pada tahun tersebut banyak berdatangan orang Eropa ke Hindia Belanda, bersamaan dengan mulai diberlakukannya UU Agraria sebagai “payung hukum” dimulainya sistem perekonomian liberal. Banyak juga perusahaan partikelir yang datang ke Nusantara, terutama Jawa Barat untuk membuka pertanian serta pabrik-pabrik pengolahan yang akan diekspor di pasaran dunia, sejalan dengan hal itu banyak perempuan pribumi yang bekerja sebagai Nyai. Jumlah perempuan yang menjadi Nyai pada tahun itu cukup tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena kedatangan banyak laki-laki Eropa yang bekerja di perusahaan swasta tersebut. Sedangkan


(13)

pembatasan tahun hingga 1942 karena pada tahun ini Jepang mulai memasuki dan menguasai Indonesia. Pergundikan hanya terjadi pada masa kolonial Belanda sehingga pembatasan waktu hingga pada pergantian kekuasaan dari Belanda kepada Jepang. Maka berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mengkaji lebih dalam mengenai perempuan pribumi yang bekerja sebagai Nyai pada lelaki Eropa. Oleh karena itu, peneliti mengajukan judul “Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian Historis Pada Tahun 1900-1942”.

1.2Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis melihat perlakuan yang tidak baik terhadap perempuan Pribumi yang bekerja sebagai Nyai pada orang Eropa karena perempuan Pribumi tersebut seolah-olah dirampas haknya dan harus mengikuti sistem patriarki yang berlaku. Rumusan masalah utama penelitian ini ialah “Bagaimanakah kehidupan serta perlakuan yang diterima Nyai ketika melakukan praktik pergundikan dengan pegawai sipil maupun militer Belanda di Jawa Barat?”. Pembahasan ini dibagi ke dalam rumusan pertanyaan penelitian untuk membatasi masalah penelitian yang akan dilakukan. Ketiga rumusan masalah penelitian tersebut ialah:

1. Bagaimanakah latar belakang munculnya Nyai pada awal abad ke 20? 2. Bagaimanakah kehidupan Nyai di Jawa Barat ?

3. Bagaimanakah dampak adanya Nyai di Jawa Barat pada tahun 1900-1942 ? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan gambaran hasil yang ingin dicapai oleh peneliti setelah melakukan proses penelitian. Rumusan tujuan tersebut didasarkan pada pokok rumusan masalah yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan penelitian. Adapun tujuan umum dari penelitian, yaitu :


(14)

1. Menjelaskan latar belakang munculnya Nyai di Jawa Barat pada akhir abad ke-19 dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat pada masa kolonial serta pengaruh liberalisasi ekonomi terhadap perekonomian masyarakat.

2. Mendeskripsikan kehidupan Nyai di tengah masyarakat Pribumi dan Eropa, serta kehidupan pergundikan yang dilakukan Nyai ketika tinggal bersama dengan pegawai sipil Eropa maupun bersama pegawai militer di dalam tangsi pada tahun 1900-1942.

3. Menjelaskan akhir dari pergundikan serta dampak yang ditimbulkan dengan adanya Nyai dari segi ekonomi, sosial, serta anak yang dihasilkan dari hubungan campuran pada masa kolonial di Jawa Barat.

1.4 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Metode ini lazim digunakan pada saat melakukan penelitian sejarah. Menurut Gottstchalk, metode historis adalah metode yang menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, sedangkan menurut Sjamsudin, metode sejarah adalah sebagai salah satu cara bagaimana mengetahui sejarah. Menurut Edson dalam Supardan (2008: 306) :

Metode historis ialah metode penelitian digunakan untuk “menggambarkan permasalahan atau pertanyaan untuk diselidiki; mencari sumber tentang fakta historis; meringkas dan mengevaluasi sumber-sumber historis; dan menyajikan fakta-fakta yang bersangkutan dalam kerangka interpretatif”.

Adapun langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan penelitian sejarah ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ismaun (2005: 48-50).

1. Heuristik yaitu tahap pengumpulan sumber-sumber sejarah yang dianggap relevan dengan topik yang dipilih. Cara yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan sumber, buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan


(15)

permasalahan yang dikaji. Topik yang penulis pilih berbentuk studi literatur sehingga sumber yang diambil merupakan sumber tertulis.

2. Kritik yaitu memilah dan menyaring keotentikan sumber-sumber yang telah diemukan. Pada tahap ini penulis melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber yang didapat untuk mendapatkan kebenaran sumber.

3. Interpretasi yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh dengan cara menghubungkan satu sama lainnya. Pada tahapan ini penulis mencoba menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh selama penelitian.

4. Historiografi yaitu tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap sebelumnya dengan cara menysun dalam bentuk tulisan dengan jelas dengan gaya bahasa yang sederhana menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis selama proses penelitian yaitu studi literatur, teknik ini digunakan dalam upaya mengumpulkan berbagai informasi yang terkait dengan masalah penelitian yang dikaji, studi literatur, teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber berupa buku yang relevan dengan permasalahan dan dimaksudkan untuk memperoleh data yang dapat menunjang penelitian.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian dengan judul Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian Historis Pada Tahun 1900-1942, adalah sebagai berikut: 1.5.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori mengenai kedudukan perempuan di masyarakat, serta dapat menekankan peran perempuan yang seharusnya berada di bidang domestik. Selain itu beberapa manfaat yang hendak dicapai, yaitu :


(16)

1. Untuk kepentingan keilmuan sejarah dan pendidikan, mengenai masa kolonial terutama kehidupan perempuan Pribumi yang bekerja sebagai “Nyai” di tengah masyarakat Jawa Barat.

2. Menanamkan nilai-nilai sejarah kepada peserta didik sebagai perluasan materi pembelajaran sejarah yang ada pada standar kompetensi kelas XI semester II, dalam materi hubungan perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat yang peduli dengan sejarah dan pada ilmu dan peristiwa sejarah terutama keadilan, penghargaan, dan pengakuan terhadap perempuan.

1.6 Struktur Organisasi

Adapun struktur organisasi skripsi yang akan dilakukan penulis sesuai dengan Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI, ialah :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah yang memaparkan mengenai ketertarikan penulis terhadap masalah yang akan dikaji lebih lanjut. Untuk menghindari pelebaran permasalahan maka dicantumkan perumusan dan pembatasan masalah sehingga permasalahan dapat dikaji secara terstruktur. Pada bagian akhir dari bab ini akan dimuat tentang metode dan teknik penelitian yang dilakukan oleh penulis, juga sistematika penulisan yang akan menjadi kerangka dan pedoman penulisan skripsi.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dipaparkan informasi dan materi yang di dapat diperoleh dari hasil kajian pustaka. Dari hasil kajian pustaka ini juga dipaparkan beberapa konsep


(17)

yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dan juga mengemukakan landasan teori yang digunakan dalam penelitian.

BAB III. METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diterangkan mengenai serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian guna mendapatkan sumber yang relevan dengan permasalah yang sedang dikaji oleh penulis. Di antaranya heuristik yaitu proses pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Setelah heuristik dilakukan kritik yaitu proses pengolahan data-data yang telah didapatkan dari langkah sebelumnya sehingga data yang diperoleh adalah data yang reliabel dan otentik, lalu interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yang telah disaring, dan tahap akhir yaitu historiografi yaitu penyajian penelitian dalam bentuk tulisan yang enak dibaca dan mudah dimengerti.

BAB IV. PERKEMBANGAN PERGUNDIKAN DI JAWA BARAT PADA TAHUN 1900-1942

Bab ini merupaka isi utama dari tulisan sebagai jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan. Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan mengenai keadaan sosial-budaya perempuan pribumi yang bekerja pada lelaki Eropa pada tahun 1870-1942 dengan memperhatikan aspek-aspek sosial yang berpengaruh, selain itu juga menguraikan peran dan kedudukan perempuan pribumi di Jawa Barat, serta mendeskripsikan beberapa riwayat kehidupan dari perempuan pribumi yang menjadi Nyai pada kolonialisme Barat.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan mengemukakan kesimpulan dari hasil pembahasan yang berisi interpretasi peneliti serta analisis peneliti yang membuat kesimpulan atas jawaban-jawaban dari rumusan masalah.


(18)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai metode yang dilakukan dalam

mengkaji permasalahan dengan judul “Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian

Historis Pada Tahun 1900-1942”. Peneliti mencoba memaparkan berbagai pengertian dari penelitian sejarah selain itu akan dipaparkan juga mengenai langkah-langkah penelitian. Selanjutnya peneliti akan menjelaskan mengenai metode dan teknik penelitian secara teoritis sebagai landasan dalam penelitian. Pada tahapan berikutnya peneliti akan memaparkan mengenai tahapan dalam pembuatan skripsi, dimulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga laporan akhir penelitian.

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian sejarah menurut Gottstchalk (1983:32) adalah menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, sedangkan menurut Sjamsudin (2007:3), metode sejarah adalah sebagai salah satu cara bagaimana mengetahui sejarah. Menurut Kuntowijoyo, metode sejarah merupakan petunjuk khusus tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Pengertian penelitian sejarah menurut Sukardi (2003:203) adalah salah satu penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik, berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab, pengaruh atau perkembangan kejadian yang mungkin membantu dengan memberikan informasi pada kejadian sekarang dan mengantisipasi kejadian yang akan datang. Sedangkan menurut kamus Teh New Lexicon Webster’s dictionary of teh English Language dalam buku Sjamsudin (2007 : 13) mengungkapkan bahwa metode ialah

”suatu cara untuk berbuat sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu keteraturan dalam berbuat, berencana, dll suatu susunan atau sistem yang teratur”.

Penelitian ini juga menggunakan metode historis dalam mengkaji permasalahan, menurut Ismaun (2005:35) metode historis merupakan proses untuk


(19)

menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya. Adapun enam tahap yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah menurut Helius Sjamsudin (2007:89), yaitu :

a. Memilih suatu topik yang sesuai

b. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik

c. Membuat catatan tentang itu apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung (misalnya dengan mengguankan system cards) ; sekarang dengan adanya fotokopi, computer, internet menjadi lebih mudah dan membuat system cards “ketinggalan jaman” d. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber) e. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang

benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya f. Menyajikan dalam suatu cara yang menarik perhatian dan mengkomunikasikannya

kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Metodologi dalam penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo (1999: 89) memiliki lima tahapan dalam proses penelitiannya, yaitu :

a. Pemilihan topik b. Pengumpulan sumber c. Verivikasi

d. Menginterpretasi e. Penulisan

Adapun beberapa langkah yang harus dilakukan dalam melakukan metode sejarah menurut Ismaun, yaitu :

a. Heuristik (pengumpulan sumber-sumber sejarah) b. Kritik eksternal dan internal (menilai sumber sejarah) c. Interpretasi (menafsirkan sumber sejarah)


(20)

d. Historiografi (penulisan sejarah)

Dapat disimpulkan bahwa metode adalah seperangkat aturan yang bersifat sistematis dan bertujuan untuk memecahkan permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber hingga menemukan kebenaran secara ilmiah, sedangkan metodologi adalah ilmu-ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan tata cara tertentu yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Dalam penelitian ini akan digunakan langkah-langkah yang meliputi (1) Heuristik (pengumpulan sumber-sumber, data-data atau fakta-fakta); (2) kritik atau analisis sumber (meliputi kritik eksternal dan kritik internal); (3) interpretasi dan (4) historiografi (penulisan sejarah).

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan studi kepustakaan dalam penelitian yang dilakukan, studi literatur adalah pencarian fakta yang tepat untuk sebuah penelitian, penelusuran kepustakaan dapat bersumber dari buku, jurnal ataupun arsip. Hal ini dapat memperkuat permasalahan dan juga sebagai sumber dalam suatu penelitian yang dilakukan. Adapun beberapa tempat yang peneliti kunjungi untuk mencari sumber penelitian, ialah :

1) Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia 2) Perpustakaan Universitas Indonesia

3) Perpustakaan Universitas Padjajaran 4) Arsip Nasional Republik Indonesia 5) Perpustakaan Batoe Api

3.3 Persiapan Penelitian

3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian

Dalam mencari tema penelitian Alfian dalam Abdurahman (2007 : 55) mengungkapkan bahwa mencari tema dikembalikan kepada motif penelitian, yakni bukanlah semata-mata untuk menghasilkan karya yang bersifat kompilasi, melainkan


(21)

juga dapat memberikan sumbangan baru dari penemuannya dalam melaksanakan penelitian atau interpretasi baru terhadap data yang telah lama dikenal orang.

Peneliti memilih tema pergundikan yang banyak terjadi pada masa kolonial karena peneliti banyak membaca mengenai kedudukan perempuan pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 serta adat yang mengatur kehidupan perempuan yang sangat tunduk patuh pada laki-laki di keluarganya. Membantu perekonomian keluarga dengan cara menjadi Nyai di rumah Tuan Eropa merupakan salah satu pekerjaan yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan pada masa kolonial. Selain untuk menutupi kebutuhan perekonomian juga untuk menaikan status keluarga di tengah masyarakat. Tidak sedikit juga anggota masyarakat lainnya menghujat dan menghina pekerjaan yang dianggap tidak sejalan dengan agama Islam yang banyak dianut oleh masyarakat ataupun pelaku pergundikan, mereka dianggap menghianati agama karena tinggal serumah dengan orang Eropa yang dianggap sebagai kafir. Peneliti juga tertarik dengan tema ini karena hal ini merupakan cikal bakal adanya pergerakan perempuan untuk melawan penindasan yang menindas sejak masa kolonial serta adanya adat istiadat yang mengekang kebebasan perempuan.

3.3.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Peneliti merancang proposal yang berisikan hal-hal berikut : 1) Judul

2) Latar Belakang Penelitian

3) Identifikasi dan Perumusan Masalah 4) Tujuan Penelitian

5) Manfaat Penelitian

6) Metode dan Teknik Penelitian 7) Sistematika Penulisan


(22)

Peneliti mengajukan tema kepada pihak TPPS (Tim Pertimbangan dan Penilaian Skripsi) Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia untuk kemudian disetujui oleh TPPS. Setelah memperoleh data hasil kajian studi literatur, peneliti menuangkannya dalam tulisan, bentuk dari tulisan itu berupa Proposal Skripsi yang nantinya diajukan kepada TPPS untuk diseminarkan. Pada tanggal 11 Januari 2013 peneliti mengikuti seminar Proposal Skripsi, proposal tersebut disetujui serta dipertimbangkan di Seminar Pra Rancangan Penelitian/Penulisan Skripsi/Karya Ilmiah melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh pihak TPPS dengan No. 001/TPPS/JPS/PEM/2013. Dalam seminar proposal peneliti menerima masukan dari dosen-dosen untuk memperbaiki proposal agar lebih baik dan dapat melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu penulisan skripsi. Akhirnya ditetapkan pembimbing skripsi peneliti yaitu pembimbing I Ibu Dra. Murdiyah Winarti M.Hum dan pembimbing II Ibu Dra. Lely Yulifar, M.Pd.

3.3.3 Proses Bimbingan

Bimbingan merupakan tahap yang sangat penting dalam penyusunan Karya Ilmiah atau Skripsi karena melalui bimbingan peniliti dapat berkonsultasi mengenai hambatan yang dihadapi. Bimbingan juga sebagai proses perbaikan dan pembelajaran agar hasil yang dicapai dapat lebih baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Melalui proses bimbingan, peneliti dapat mengungkapkan permasalahan dan kendala yang dialami serta menemukan solusi untuk menyelesaikan kendala tersebut.

Bimbingan merupakan hal yang penting dalam penelitian dan merupakan media untuk bertukar informasi, komunikasi dan konsultasi agar menghasilkan tulisan yang baik dan benar. Proses bimingan yang dilakukan oleh peneliti dilakukan dengan berkelanjutan dan terus menerus karena dengan begitu peneliti akan lebih terarah dalam melakukan penelitian. Meskipun dalam proses bimbingan mengalami beberapa kali revisi, namun revisi itu bertujuan untuk menciptakan tulisan yang baik, benar serta dapat dipertanggungjawabkan karena didasarkan atas fakta-fakta yang


(23)

relevan. Selain itu penulisan hasil penelitian ini juga sesuai dengan langkah-langkah penelitian yang terencana dan sistematis.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Heuristik yaitu tahap pengumpulan sumber-sumber sejarah yang dianggap relevan dengan topik yang dipilih. Cara yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan sumber, buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Sumber yang penulis pilih berbentuk studi literatur sehingga sumber yang diambil merupakan sumber tertulis. Penulis menemukan beberapa sumber yang relevan dan mendukung judul yang penulis pilih, di antaranya buku Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda karya Tineke Hellwig, buku tersebut menggambarkan mengenai kehidupan perempuan pribumi pada masa Hindia Belanda, selain itu buku Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian karya Stuers, yang lebih menyoroti mengenai adat istiadat yang berlaku pada masa Hindia Belanda serta agama yang cukup kental hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga penulis mendapatkan gambaran mengenai kehidupan pada masa Hindia Belanda. Penulis juga mendapatkan buku Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial

di Hindia Belanda 1900-1942 karya Frances Gouda yang menggambarkan kehidupan

di daerah Jawa Barat, dengan adanya beberapa buku ini, penulis mendapatkan pola kehidupan di Jawa Barat yang terkait dengan hukum adat serta agama yang berlaku.

Buku lainnya yang mendukung ialah Nyai dan Pergundikan di Hindia

Belanda karya Reggie Baay, di dalamnya menggambarkan secara meluas mengenai

kehidupan pergundikan di beberapa daerah sehingga penulis dapat membuat perbandingan dan mengetahui ciri-ciri pergundikan yang ada di perumahan sipil,

camp militer ataupun di perkebunan. Buku Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945 karya Inneke van Kessel, juga menggambarkan mengenai keadaan masyarakat

saat kedatangan orang asing ke Nusantara serta memperlihatkan sikap tradisional masyarakat Jawa.


(24)

3.4.2 Kritik Sumber

Pada tahap ini penulis melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber yang didapat untuk mendapatkan kebenaran sumber. Kritik sumber ini sangat berguna untuk memperoleh sumber yang asli, karena tidak jarang sumber-sumber yang ada itu adalah palsu dan tidak objektif untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan kritik terhadap sumber, baik kritik eksternal maupun kritik internal.

3.4.2.1 Kritik Eksternal

Kritik eksternal merupakan pengujian yang dilakukan pada aspek-aspek

„luar‟. Pengecekan dilakukan oleh penulis dari semua buku yang penulis pakai

sebagai sumber dalam pembuatan skripsi ini, di antaranya Reggie Baay penulis buku

Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda merupakan keturunan langsung dari Nyai

yang berasal dari Hindia Belanda yang menikah dengan salah satu orang Eropa, Reggie Baay juga merupakan lulusan Bahasa dan Sastera Belanda di Universitas Leiden yang kemudian memusatkan perhatiannya pada sastera kolonial dan pasca kolonial. Selanjutnya Tineke Hellwig penulis buku Citra Kaum Perempuan di Hindia

Belanda yang juga merupakan lulusan dari Universitas Leiden dengan mengambil

jurusan Bahasa, Sastera, dan Kebudayaan Indonesia, setelah meraih gelar Ph. D, Hellwig diangkat jadi anggota Fakultas Jurusan Studi Asia pada Universitas British Columbia di Vancouver, Canada. Hellwig juga memfokuskan pada penelitian perempuan di Hindia Belanda.

3.4.2.2 Kritik Internal

Peneliti melakukan dua tahapan dalam melakukan kritik internal, yang pertama tahapan peninjauan keakuratan dan yang kedua membandingkan antara satu sumber dengan yang lainnya. Dalam kritik internal dituntut untuk mendapatkan data yang akurat. Dalam penelitian peneliti menganalisis data mengenai Nyai pada masa


(25)

kolonial maka peneliti menggunakan data mengenai Nyai yang ada di berbagai sumber buku terutama yang menyoroti mengenai perempuan masa kolonial yang masih terkekang haknya. Setelah mendapatkan dan mengumpulkan sumber yang relevan, selanjutnya peneliti melakukan perbandingan dari sumber-sumber tersebut. Penelitian tersebut juga ditunjang oleh sumber yang menggambarkan mengenai kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat serta adat yang berlaku pada masa itu.

3.4.3 Interpretasi

Interpretasi yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh dengan cara menghubungkan satu sama lainnya. Pada tahapan ini penulis mencoba menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh selama penelitian. Interpretasi adalah tahap di mana peneliti mengkritisi fakta-fakta yang didapat dari perolehan sumber. Penulis mencoba melakukan interpretasi dari berbagai data yang didapat, untuk selanjutnya diambil sebuah kesimpulan. Perlakuan yang didapat oleh perempuan pada masa kolonial yang sangat didominasi oleh adat yang berlaku membuat perempuan terkekang dengan perintah-perintah dari kaum laki-laki, namun hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikatakan oleh Mitchell dalam Tornham (2010 : 101) ialah karena adanya kultural patriarki yang tumbuh di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Kebutuhan ekonomi yang mendesak membuat perempuan ikut serta untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka kebanyakan bekerja di perkebunan milik swasta, namun karena penghasilan yang tidak seberapa banyak juga perempuan yang bersedia menjadi seorang Nyai atau gundik. Dalam masyarakat Jawa Barat terdapat beberapa pengertian Nyai, yaitu Nyai dipakai sebagai nama panggilan bagi perempuan dewasa di Priangan. Panggilan Nyai juga dapat berarti istri simpanan atau tidak resmi. Nyai dalam penulisan skripsi ini ialah yang merujuk pada perempuan “piaraan” atau istri simpanan dari orang Eropa yang berperan untuk melayani dan mengurus rumah tangga. Sehingga dapat diartikan bahwa Nyai atau gundik adalah seorang istri tidak resmi atau selir yang mengatur


(26)

rumah tangga dan juga memenuhi kebutuhan biologis laki-laki Eropa, serta menjadi ibu bagi anak-anak hasil hubungannya.

Tidak sedikit perempuan yang bekerja sebagai Nyai pada pejabat daerah ataupun pada pegawai Belanda. Status hubungan campuran yang terdapat di Hindia Belanda dibedakan menjadi dua, yaitu hubungan campuran berstatus resmi dan tidak resmi. Hubungan campuran resmi ditandai dengan dilakukannya pernikahan yang disahkan dalam hukum pemerintah Belanda. Untuk mendapatkan kesahan hukum, maka ada syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yaitu menganut agama Kristen. Dengan hubungan yang sah maka Nyai dan anak hasil hubungannya akan mendapatkan perlindungan hukum.

Berbeda dengan hubungan campuran yang berstatus tidak resmi, hubungan itu dinamakan dengan pergundikan. Pergundikan dilakukan secara diam-diam dan tidak disahkan dalam hubungan pernikahan. Data yang menyatakan bahwa mereka tinggal bersama pun tidak didaftarkan pada pihak pemerintah. Hubungan ini akan berdampak buruk bagi Nyai dan anak hasil hubungannya, karena tidak ada hukum yang melindunginya. Pergundikan juga banyak dilakukan oleh pegawai militer Belanda yang hidup di dalam tangsi militer. Pergundikan juga membawa dampak yang buruk

terhadap kehidupan Nyai dan juga “suaminya”. Apalagi yang dilakukan secara tidak

sah dan sering berganti pasangan. Hal ini sangat rawan terkena penyakit kelamin yang sempat menjadi masalah besar bagi pemerintah Belanda dalam pemberantasannya.

3.4.4 Historiografi

Historiografi merupakan tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap sebelumnya dengan cara menyusun dalam bentuk tulisan dengan jelas dengan gaya bahasa yang sederhana menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar. Historiografi adalah usaha mensintesiskan data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah yang jelas dalam bentuk lisan maupun tulisan, baik dalam buku maupun artikel. Langkah


(27)

terakhir yang dilakukan setelah semua data terkumpul dan disusun sesuai dengan sistematika ialah menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah sksipsi yang berjudul Kehidupan Nyai di Jawa Barat : Kajian Historis Pada Tahun 1900-1942 Adapun laporan hasil penelitian tertera dalam buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI.


(28)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian dan jawaban dari permasalahan penelitian yang dikaji dalam skripsi yang berjudul Kehidupan Nyai dan Pergundikan di Jawa Barat pada Tahun 1900-1942. Masyarakat Jawa Barat sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh upah di perkebunan-perkebunan baik milik pemerintah Belanda maupun milik perusahaan swasta. Masuknya perusahaan swasta ke Jawa Barat seiring dengan tingginya harga ekspor teh di pasaran dunia. Dengan diberlakukannya hak Erfpacht atau Hak Guna Usaha menjadikan perusahaan swasta menyewa tanah milik penduduk Jawa Barat selama maksimal 75 tahun untuk didirikan perkebunan dengan kewajiban membayar sejumlah uang sewa.

Kerja upah di perkebunan juga berdampak adanya monetisasi atau pengenalan mata uang yang terlihat dari aktivitas penduduk sehari-hari dalam penyewaan tanah atau proses transaksi lainnya dilakukan dengan nilai tukar uang. Hal ini mempengaruhi penduduk Jawa Barat untuk mendapatkan penghasilan dengan cara bekerja menjadi buruh upah di perkebunan-perkebunan milik perusahaan Belanda. Tidak hanya laki-laki yang bekerja di perkebunan untuk mendapatkan upah, perempuan dan anak-anak pun banyak yang bekerja sebagai buruh upah ketika musim panen tiba. Perempuan bekerja memetik teh, karena ketelitian sangat diperlukan ketika memanen teh sedangkan anak-anak bekerja mencari ulat sebagai buruh lepas perkebunan.

Tidak sedikit perempuan Pribumi yang bekerja di perkebunan masuk ke dalam dunia pergundikan, karena mereka tergiur dengan penghasilan yang lebih menjanjikan dibanding bekerja sebagai buruh upah perkebunan. Kebiasaan memiliki gundik diturunkan dari kebiasaan raja yang memiliki banyak selir dan dilanjutkan oleh pembesar daerah yang memiliki gundik lebih dari satu. Hal tersebut ditiru oleh sebagian besar orang Eropa yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan swasta


(29)

Belanda. Perempuan yang bekerja baik sebagai gundik orang Eropa maupun Pribumi di Jawa Barat dikenal dengan sebutan “Nyai”. Biasanya perempuan diminta langsung oleh mandor atau controleur menjadi Nyai karena tertarik ketika bekerja di perkebunan. Ada juga perempuan yang diminta menjadi Nyai ketika bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah controleur tersebut.

Kebutuhan akan uang yang sudah masuk dalam kehidupan masyarakat menjadi alasan utama mengapa terjadi pergundikan di kalangan perempuan Pribumi. Dengan menjadi Nyai mereka akan hidup dengan senang dan segala kebutuhannya akan terpenuhi. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya perempuan masuk ke dalam dunia prostitusi, sehingga tidak sedikit terjadi hubungan campuran pada masa kolonial.

Dalam hubungan campuran ada yang dilakukan secara resmi dan ada juga yang dilakukan secara tidak resmi. Hubungan resmi ditandai dengan adanya pernikahan yang didaftarkan secara hukum pada pemerintahan Belanda dengan persyaratan keduanya memiliki agama yang sama yaitu agama Kristen. Bila suatu pernikahan campuran telah didaftarkan maka suami wajib untuk membiayai dan bertanggung jawab pada keluarganya. Pada pernikahan sah posisi istri dan anak dilindungi oleh hukum maka apabila suami tidak bertanggung jawab lagi terhadap keluarganya akan ditindak secara hukum. Anak yang lahir akan terdaftar dan mendapatkan nama belakang ayah mereka. Selain itu mereka mendapatkan kewarganegaraan Belanda secara yuridis sama seperti ayahnya dan kedudukan mereka akan disamakan dengan warga Eropa.

Sedangkan, hubungan yang tidak resmi ialah hubungan yang tidak didaftarkan secara hukum pada pemerintahan Belanda. Adapun beberapa alasan suatu hubungan campuran tidak didaftarkan secara hukum yaitu karena adanya perbedaan agama atau tidak ingin adanya suatu hubungan yang mengikat. Bila mereka memiliki anak maka anak tersebut tidak akan mewarisi nama belakang ayahnya ataupun mendapatkan pengakuan sebagai orang Eropa. Anak yang lahir pun hanya berhak diberi nama belakang ayahnya namun dengan urutan huruf terbalik.


(30)

Meskipun banyak kerugian yang didapat perempuan bila menjadi Nyai secara tidak resmi, namun tetap saja banyak yang berminat menjadi Nyai karena mereka melihat keuntungan secara ekonomi dan sosial. Kedudukan dalam masyarakat akan meningkat seiring dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Kehidupan pergundikan juga terjadi di kalangan militer. Banyak perempuan Pribumi yang menjadi Nyai dalam tangsi militer. Pada umumnya mereka melakukan hubungan secara tidak resmi karena anggota militer bertugas berpindah-pindah tempat maka Nyai dari anggota militer itu pun berganti-ganti.

Dengan hubungan yang dilakukan dengan sering berganti pasangan maka marak jugalah penyebaran penyakit kelamin. Penyakit ini lebih banyak menyerang anggota militer dibandingkan dengan pegawai sipil. Meskipun pemerintah Belanda telah menanggulangi penyebaran penyakit ini dengan mengeliarkan aturan untuk terus memeriksakan kesehatan pada rumah sakit milik negara namun hal ini tidak sepenuhnya dipenuhi. Selain itu, hubungan yang ada antara perempuan Pribumi dan laki-laki Eropa juga memunculkan kebudayaan mestizo atau proses percampuran kebudayaan yang menimbulkan kebudayaan baru. Percampuran kebudayaan dikenal dengan kebudayaan Indis, contoh dari kebudayaan indis ialah adanya perlengkapan peralatan rumah tangga seperti kursi, lemari dan meja. Kebudayaan indis ini mulai dikenal dan digunakan baik oleh keluarga pejabat daerah maupun masyarakat kebanyakan. Kebudayaan indis muncul ketika orang Eropa mulai berdatangan ke Nusantara.

5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber mata pelajaran sejarah khususnya Sekolah Menengah Atas kelas XI semester II dengan SK 2. Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang dan KD 2.2 Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan. Meskipun siswa tidak mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahan


(31)

pergundikan yang sempat terjadi di Jawa Barat, namun dengan tulisan ini penulis mengharapkan munculnya pengayaan pembelajaran bagi siswa akan pentingnya mengetahui sejarah daerahnya dan juga tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dengan mengorbankan harga diri, keluarga, dan budaya.

Peneliti juga mengharapkan adanya penelitian yang selangkah satu tahap ke depan dari penelitian yang dilakukan. Mengingat adanya keterbatasan penelitian, khususnya kelemahan yang berkaitan dengan metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan sampel yang terlibat.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, D. (2007). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Baay, R. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta : Komunitas

Bambu.

Burger. (1962). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia : Djilid Pertama. Jakarta : Pradnjaparamita.

. (1962). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia : Djilid Kedua. Jakarta : Pradnjaparamita.

Ekadjati, E. (1984). Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung : PT Girimukti Pusaka.

Gamble, S. (2010). Pengantar Memahami Feminisme dan Post Feminisme. Yogyakarta : Jalasutra.

Gottstchalk, L. (1983). Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Gouda, Frances. (2007). Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia

Belanda 1900-1942. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Hellwig, T. (2007). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Hutagalung, R. dan Nugraha, T. (2008). Braga : Jantung Paris Van Java. Jakarta : Ka Bandung.

Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Jaelani, G. (2013). Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942. Bandung : Syabas Books. Kartodirdjo dan Suryo. (1994). Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial

Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.

Kessel, I. (2011). Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945. Jakarta : Komunitas Bambu.


(33)

Koentjaraningrat. (1970). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : PT Penerbit Djambatan.

Koninsveld. (1989). Snouck Hurgronje dan Islam. Bandung : Girimukti Pesaka. Kunto, H. (1984). Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung : Granesia.

Kuntowijoyo. (1999). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Lubis, N. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.

Maroni.(2012). “Problema Penggantian Hukum-hukum Kolonial dengan

Hukum-hukum Nasional dengan Politik Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum. 12, (1),

85-96.

Poesponegoro, M.dkk. (1993). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta : Balai Pustaka. Poespoprodjo, W. (1984). Jejak-jejak Sejarah 1908-1926. Bandung : Remadja Karya

CV.

Ricklefs, M. (2009). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Scheltema, A. (1931). Bagi Hasil di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Sjamsuddin. H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soekiman. D. (2000). Kebudayaan Indis : Dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta : Adipura.

. (2011). Kebudayaan Indis : Dari Zaman Kompeni Sampai Reviolusi. Jakarta : Komunitas Bambu.

Stuers, C. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian. Jakarta : Komunitas Bambu.

Subadio, M. (1978). Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.


(34)

Suhandi, A. (1993). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Bandung : Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.

Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Thornham, S. (2010). Teori Feminisme dan Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.

Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Wiharyanto, K. (2008). “Kebijakan Ekonomi Kolonial Tahun 1830-1901. 22, (1).

Sumber Internet

Basri, S. (2013). Pengaruh Budaya Barat Belanda Portugis serta Jepang atas

Kebudayaan Indonesia. [Online]. Tersedia :

http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/pengaruh-barat-di-indonesia.html [29 Agustus 2013].

Budiyanto, E. (2013). Kebudayaan Indis, Perkawinan Budaya. [Online]. Tersedia : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/01/03/621/Kebudaya an-Indis-Perkawinan-Budaya [29 Agustus 2013].

Hannam, J. (Tanpa Tahun). Women's history, feminist history. [Online]. Tersedia : http://www.history.ac.uk/makinghistory/resources/articles/womens_history.html [25 Desember 2012].

Hutagalung, R. (2013). Snouck Hurgronje dan Pernikahan Sundanya. [Online]. Tersedia : http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/17/snouck-hurgronje-dan-pernikahan-sundanya/ [21 Juli 2013].

Suherman, D. (2011). Cultural Lag dan Mestizo Cultural Bahaya Yang Mengancam. [Online]. Tersedia : http://dedisuherman.blogspot.com/2011/06/cultural-lag-dan-mestizo-cultural.html [29 Agustus 2013].


(1)

Belanda. Perempuan yang bekerja baik sebagai gundik orang Eropa maupun Pribumi

di Jawa Barat dikenal dengan sebutan “Nyai”. Biasanya perempuan diminta langsung oleh mandor atau controleur menjadi Nyai karena tertarik ketika bekerja di perkebunan. Ada juga perempuan yang diminta menjadi Nyai ketika bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah controleur tersebut.

Kebutuhan akan uang yang sudah masuk dalam kehidupan masyarakat menjadi alasan utama mengapa terjadi pergundikan di kalangan perempuan Pribumi. Dengan menjadi Nyai mereka akan hidup dengan senang dan segala kebutuhannya akan terpenuhi. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya perempuan masuk ke dalam dunia prostitusi, sehingga tidak sedikit terjadi hubungan campuran pada masa kolonial.

Dalam hubungan campuran ada yang dilakukan secara resmi dan ada juga yang dilakukan secara tidak resmi. Hubungan resmi ditandai dengan adanya pernikahan yang didaftarkan secara hukum pada pemerintahan Belanda dengan persyaratan keduanya memiliki agama yang sama yaitu agama Kristen. Bila suatu pernikahan campuran telah didaftarkan maka suami wajib untuk membiayai dan bertanggung jawab pada keluarganya. Pada pernikahan sah posisi istri dan anak dilindungi oleh hukum maka apabila suami tidak bertanggung jawab lagi terhadap keluarganya akan ditindak secara hukum. Anak yang lahir akan terdaftar dan mendapatkan nama belakang ayah mereka. Selain itu mereka mendapatkan kewarganegaraan Belanda secara yuridis sama seperti ayahnya dan kedudukan mereka akan disamakan dengan warga Eropa.

Sedangkan, hubungan yang tidak resmi ialah hubungan yang tidak didaftarkan secara hukum pada pemerintahan Belanda. Adapun beberapa alasan suatu hubungan campuran tidak didaftarkan secara hukum yaitu karena adanya perbedaan agama atau tidak ingin adanya suatu hubungan yang mengikat. Bila mereka memiliki anak maka anak tersebut tidak akan mewarisi nama belakang ayahnya ataupun mendapatkan pengakuan sebagai orang Eropa. Anak yang lahir pun hanya berhak diberi nama belakang ayahnya namun dengan urutan huruf terbalik.


(2)

Meskipun banyak kerugian yang didapat perempuan bila menjadi Nyai secara tidak resmi, namun tetap saja banyak yang berminat menjadi Nyai karena mereka melihat keuntungan secara ekonomi dan sosial. Kedudukan dalam masyarakat akan meningkat seiring dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Kehidupan pergundikan juga terjadi di kalangan militer. Banyak perempuan Pribumi yang menjadi Nyai dalam tangsi militer. Pada umumnya mereka melakukan hubungan secara tidak resmi karena anggota militer bertugas berpindah-pindah tempat maka Nyai dari anggota militer itu pun berganti-ganti.

Dengan hubungan yang dilakukan dengan sering berganti pasangan maka marak jugalah penyebaran penyakit kelamin. Penyakit ini lebih banyak menyerang anggota militer dibandingkan dengan pegawai sipil. Meskipun pemerintah Belanda telah menanggulangi penyebaran penyakit ini dengan mengeliarkan aturan untuk terus memeriksakan kesehatan pada rumah sakit milik negara namun hal ini tidak sepenuhnya dipenuhi. Selain itu, hubungan yang ada antara perempuan Pribumi dan laki-laki Eropa juga memunculkan kebudayaan mestizo atau proses percampuran kebudayaan yang menimbulkan kebudayaan baru. Percampuran kebudayaan dikenal dengan kebudayaan Indis, contoh dari kebudayaan indis ialah adanya perlengkapan peralatan rumah tangga seperti kursi, lemari dan meja. Kebudayaan indis ini mulai dikenal dan digunakan baik oleh keluarga pejabat daerah maupun masyarakat kebanyakan. Kebudayaan indis muncul ketika orang Eropa mulai berdatangan ke Nusantara.

5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber mata pelajaran sejarah khususnya Sekolah Menengah Atas kelas XI semester II dengan SK 2. Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang dan KD 2.2 Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan. Meskipun siswa tidak mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahan


(3)

pergundikan yang sempat terjadi di Jawa Barat, namun dengan tulisan ini penulis mengharapkan munculnya pengayaan pembelajaran bagi siswa akan pentingnya mengetahui sejarah daerahnya dan juga tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dengan mengorbankan harga diri, keluarga, dan budaya.

Peneliti juga mengharapkan adanya penelitian yang selangkah satu tahap ke depan dari penelitian yang dilakukan. Mengingat adanya keterbatasan penelitian, khususnya kelemahan yang berkaitan dengan metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan sampel yang terlibat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, D. (2007). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Baay, R. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta : Komunitas

Bambu.

Burger. (1962). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia : Djilid Pertama. Jakarta : Pradnjaparamita.

. (1962). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia : Djilid Kedua. Jakarta : Pradnjaparamita.

Ekadjati, E. (1984). Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung : PT Girimukti Pusaka.

Gamble, S. (2010). Pengantar Memahami Feminisme dan Post Feminisme. Yogyakarta : Jalasutra.

Gottstchalk, L. (1983). Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Gouda, Frances. (2007). Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia

Belanda 1900-1942. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Hellwig, T. (2007). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Hutagalung, R. dan Nugraha, T. (2008). Braga : Jantung Paris Van Java. Jakarta : Ka Bandung.

Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Jaelani, G. (2013). Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942. Bandung : Syabas Books. Kartodirdjo dan Suryo. (1994). Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial

Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.

Kessel, I. (2011). Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945. Jakarta : Komunitas Bambu.


(5)

Koentjaraningrat. (1970). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : PT Penerbit Djambatan.

Koninsveld. (1989). Snouck Hurgronje dan Islam. Bandung : Girimukti Pesaka. Kunto, H. (1984). Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung : Granesia.

Kuntowijoyo. (1999). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Lubis, N. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.

Maroni.(2012). “Problema Penggantian Hukum-hukum Kolonial dengan

Hukum-hukum Nasional dengan Politik Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum. 12, (1),

85-96.

Poesponegoro, M.dkk. (1993). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta : Balai Pustaka. Poespoprodjo, W. (1984). Jejak-jejak Sejarah 1908-1926. Bandung : Remadja Karya

CV.

Ricklefs, M. (2009). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Scheltema, A. (1931). Bagi Hasil di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Sjamsuddin. H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soekiman. D. (2000). Kebudayaan Indis : Dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta : Adipura.

. (2011). Kebudayaan Indis : Dari Zaman Kompeni Sampai Reviolusi. Jakarta : Komunitas Bambu.

Stuers, C. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian. Jakarta : Komunitas Bambu.

Subadio, M. (1978). Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.


(6)

Suhandi, A. (1993). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Bandung : Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.

Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Thornham, S. (2010). Teori Feminisme dan Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.

Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Wiharyanto, K. (2008). “Kebijakan Ekonomi Kolonial Tahun 1830-1901. 22, (1).

Sumber Internet

Basri, S. (2013). Pengaruh Budaya Barat Belanda Portugis serta Jepang atas

Kebudayaan Indonesia. [Online]. Tersedia :

http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/pengaruh-barat-di-indonesia.html [29 Agustus 2013].

Budiyanto, E. (2013). Kebudayaan Indis, Perkawinan Budaya. [Online]. Tersedia : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/01/03/621/Kebudaya an-Indis-Perkawinan-Budaya [29 Agustus 2013].

Hannam, J. (Tanpa Tahun). Women's history, feminist history. [Online]. Tersedia : http://www.history.ac.uk/makinghistory/resources/articles/womens_history.html [25 Desember 2012].

Hutagalung, R. (2013). Snouck Hurgronje dan Pernikahan Sundanya. [Online]. Tersedia : http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/17/snouck-hurgronje-dan-pernikahan-sundanya/ [21 Juli 2013].

Suherman, D. (2011). Cultural Lag dan Mestizo Cultural Bahaya Yang Mengancam. [Online]. Tersedia : http://dedisuherman.blogspot.com/2011/06/cultural-lag-dan-mestizo-cultural.html [29 Agustus 2013].