62 bertindak sebagai pemegang waralaba, sedangkan KSP USP sebagai pemakai waralaba.
Hak dan kewajiban masing-masing hampir sama dengan model waralaba dalam dunia usaha pada umumnya.
5.1.4. Analisa Komparatif Kemitraan Bank Dalam Penge mbangan Usaha Mikro
Dari tiga program kemitraan lembaga perbankan dalam pengembangan masyarakat pelaku usaha mikro yang telah dibahas sebelumnya, masing-masing struktur
kemitraannya dapat digambarkan untuk melakukan analisa komparatif terhadap ketiga program tersebut.
Gambar 5.1.4.1. Program PHBK Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat
Diolah oleh: Merza Gamal
63
Gambar 5.1.4.2. Program P4K Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil
Dioleh oleh: Merza Gamal
Gambar 5.1.4.3. Program PPKKP Pusat Pelayanan Kredit Koperasi Pedesaan
Diolah oleh: Merza Gamal
Persamaan ketiga program tersebut adalah merupakan program yang membantu pendanaan para pelaku usaha mikro dalam menjalankan usahanya, yang dilakukan
melalui Bank Umum serta ada lembaga donatur yang berperan. Peran para donatur
64 beragam, mulai dari penyediaan dana, hingga pendampingan dalam pembinaan,
pelatihan, dan penjaminan. Pada program PHBK yang menjadi pengelola program adalah Bank Indonesia
dengan melibatkan GTZ Pemerintah Jerman sebagai pendamping dalam konsultasi proyek. Pada program P4K yang menjadi pengelola program adalah Departemen
Pertanian dengan melibatkan International for Agricultural Development IFAD yang menyediakan 80 dana dan Bank Indonesia yang menyediakan dana 20 melalui KLBI.
Disamping lembaga donor yang menyediakan dana kredit, pada program P4K juga melibatkan United Nations Development Program UNDP dan Pemerintah Belanda yang
berperan sebagai konsultan dalam pelaksanaan proyek. Pada program PPKP yang menjadi pengelola adalah Departemen Koperasi kemudian pada tahun 1991 diserahkan
sepenuhnya kepada Bank BUKOPIN dengan melibatkan Rabobank Foundation Pemerintah Belanda sebagai penyedia dana modal pembiayaan kepada KUD dan
konsultan dalam pelaksanaan proyek. Dalam keputusan pemberian kredit kepada pengguna, tidak semua program
menyerahkannya kepada bank Pelaksana. Pada program P4K pada periode 1989-1998 keputusan kredit berada pada Departemen Pertanian, dan pada tahun 1998 diubah kepada
BRI sebagai Bank Pelaksana. Perubahan pemberian keputusan kredit tersebut menyebabkan tingkat tunggakan kredit menjadi turun dari periode sebelumnya. Putusan
kredit yang tidak diberikan oleh Bank Pelaksana, mengakibatkan Bank memiliki kontrol yang lemah atas pemilihan peminjam sehingga Bank tidak dapat mengelola account
pembiayaan secara optimal. Hal ini merupakan potensi besar dalam penyebab kemacetan suatu kredit yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Demikian pula, pada program PPKKP,
65 pada awal proyek, Keputusan Pemberian Kredit diberikan oleh Departemen Koperasi
yang menyebabkan tingginya tingkat tunggakan. Akan tetapi ketika Keputusan Kredit kepada Koperasi diserahkan sepenuhnya kepada Bank BUKOPIN sebagai Bank
Pelaksana, tingkat penge mbalian menjadi 99 dari pembiayaan yang diberikan. Materi pemberian kredit berupa uang tunai pada tiga program dan pagu kredit
diputuskan oleh Bank. Pada program P4K periode 1989-1998, sempat terjadi PPL dari Departemen Pertanian berperan menentukan jumlah kredit kelompok KPK. Hal ini
menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian kebutuhan kredit dengan jumlah yang dibutuhkan. Keputusan pemberian kredit yang dilakukan bukan oleh lembaga keuangan,
menyebabkan permasalahan tersendiri bagi petani sebagai penerima kredit yang akhirnya menimbulkan ketidakmampuan petani untuk melunasi pinjamannya. Akan tetapi ketika
diubah, kebutuhan ditentukan oleh para pengguna yang didiskusikan dengan pihak Bank, maka permasalah kredit menjadi berkurang.
Penerima kredit dan pengguna dana kredit akhir dalam ketiga program berbeda- beda. Pada program PHBK penerima kredit akhir adalah anggota KSM melalui KSM
yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Pada program P4K penerima kredit adalah kelompok usaha KPK yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Sedangkan pada program
PPKKP yang menerima kredit adalah pelaku usaha yang tergabung dalam kelompok melalui Kelompok Usaha yang diberikan oleh Koperasi sebagai lembaga keuangan
mikro, sedangkan Bank Pelaksana memberikan modal kredit kepada Koperasi untuk dikelola secara mandiri. Dalam program PPKKP terdapat suatu program pemberdayaan
dan penguatan fungsi lembaga keuangan mikro formal. Sedangkan dalam program PHBK, P4K, dan PPKKP ada upaya pembangunan kelompok swadaya dalam mengelola
66 keuangan bersama antara anggota kelompoknya. Pada program PHBK dan PPKP selain
upaya pembangunan kelompok juga ada upaya pemandirian pelaku usaha sebagai pribadi, yang tidak terdapat pada program P4K. Dengan demikian program PPKKP yang
paling lengkap dalam pemberdayaan berbagai pihak, yakni penguatan fungsi lembaga keuangan mikro, pemberdayaan kelompok usaha, dan pemandiriaan pelaku usaha mikro.
Ketiga program mempunyai petugas pendamping di lapangan untuk membina dan melatih kemampuan pelaku usaha mikro atau petani. Namun yang paling lengkap ada
pada program PHBK dan PPKKP karena disamping pembinaan dan pelatihan teknis juga memberikan pendamping pembina keuangan kredit. Sehingga, kemampuan pelaku usaha
dalam kedua program tersebut terlihat menonjol dan berhasil menjalankan usahanya dengan dana kredit yang diperoleh dengan baik dan optimal.
Sumber dana kredit pada program P4K sebelum fase tahun 1998 berasal dari dana KLBI bersubsidi yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Kondisi yang demikian,
justru menjadi salah satu faktor kegagalan kredit, karena dana kredit tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha melainkan diinvestasikan atau dimanfaatkan
dalam bentuk lain, bahkan lebih dinikmati oleh petani kaya dari pada petani kecil atau pelaku usaha mikro. Menurut Ali Wardhana, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator
Ekonomi Introduction dalam Robinson, 2001 menyebutkan bahwa pada tahun 1980-an pemerintah mulai menyadari pinjaman bersubsidi menjadi tidak tepat sasaran dan tidak
efektif, sehingga bukannya membantu perkembangan pedesaan, tetapi justru memperlambat pertumbuhan.
67
5.2. Tinjauan Sekilas Beberapa Pola Kemitraan Usaha Menengah dan Besar