Strategi Kemitraan Dalam Dinamika Sosial Ekonomi Syariah Untuk Pembangunan Derah

(1)

STRATEGI KEMITRAAN

DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH

UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH

Merza Gamal

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyata kan, bahwa tugas akhir Strategi Kemitraan Dalam Dinamika Sosial Ekonomi Syariah Untuk Pembangunan Daerah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Desember 2005

Merza Gamal NIM A015010255


(3)

ABSTRAK

MERZA GAMAL. Strategi Kemitraan Dalam Dinamika Sosisla Ekonomi Syariah Untuk Pembangunan Daerah. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan LALA M. KOLOPAKING.

Dalam mewujudkan visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan ilmu ekonomi dalam arti sempit, tetapi harus melalui pendekatan antar disiplin ilmu di bidang sosial ekonomi. Pendekatan tersebut berkaitan dengan faktor moral, psikologi, politik, demografi, agama, dan sejarah. Dengan demikian kesejahteraan tidak dapat hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi. Melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu dan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan ma syarakat.

Realisasi kesejateraan masyarakat diuji dengan melihat tingkat persamaan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua; tepenuhinya kesempatan bekerja (full employment); terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan; stabilitas ekonomi yang dicapai tanpa tingkat inflasi yang tinggi; penyusutan sumber daya ekonomi yang tidak dapat diperbaharui atau ekosistem yang membahayakan kehidupan.

Salah satu cara yang paling konstruktif dalam merealisasikan visi kesejahteraan adalah dengan menggunakan sumber daya manusia secara efisien dan produktif dengan suatu cara yang membuat setiap individu tersebut menggunakan kemampuan artistik dan kreatif yang mereka miliki dalam merealisasikan kesejahteraan masing-masing. Hal itu tidak akan dapat dicapai jika angka pengangguran dan semi pengangguran yang tinggi tetap berlangsung. Untuk itu, perlu dilakukan ekspansi peluang-peluang wirausaha dengan mengembangkan industri kecil dan mikro melalui sebuah sistem kemitraan sejajar yang melibatkan semua stakeholders. Hal itu, diharapkan dapat membuka kesempatan bekerja dan berusaha bagi seluruh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada masa lalu telah banyak program pembangunan ekonomi dengan memberdayakan para pelaku usaha mikro, baik berupa kemitraan ataupun program masal lainnya. Namun sebagian besar, program tersebut tidak berkelanjutan. Dalam era Otonomi Daerah saat ini, Pemerintah Daerah dapat merencanakan program pembangunan daerah yang sesuai dengan tipikal daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah dapat belajar dari program-program nasional yang perbah ada sebelumnya dengan mengadopsi hal-hal yang relevan dan mereduksi masalah-masalah yang timbul dalam program terdahulu.

Di sisi lain, saat ini, sedang berkembang sebuah system ekonomi berbasiskan syariah. Hal ini dapat menjadi solusi alternative dalam membuat sebuah program kemitraan dalam rangka memperkuat usaha mikro dan kecil sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi daerah.


(4)

© Hak Cipta milik Merza Gamal, tahun 2005 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya


(5)

STRATEGI KEMITRAAN

DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH

UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH

Merza Gamal

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Tugas Akhir : Strategi Kemitraan Dalam Dinamika Sosial Ekonomi Syariah Untuk Pembangunan Derah

Nama : Merza Gamal

NIM : A015010255

DISETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Dr. Ir. Yusman Syaukat, ME.c Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(7)

RIWAYAT HIDUP

MERZA GAMAL, dilahirkan di Dabo Singkep, Kepulauan Riau pada tanggal 28 Januari 1965 M/ 13 Ramadhan 1384 H anak ke 7 dari sembilan bersaudara pasangan Syukur Luthan dan Ratna Zein. Penulis lulus SD Katolik Santa Maria di Kota Pekanbaru tahun 1977, SMP Negeri 4 Pekanbaru tahun 1981, SMA Negeri 2 Bandung tahun 1984, dan menyelesaikan S1 pada Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 1989, dan mengikuti Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah pada tahun 2001. Di samping pendidikan formal, penulis telah banyak mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus di bidang perbankan dan financial serta manajemen dari berbagai lembaga dan institusi.

Penulis memulai karier perbankan di Bank BUKOPIN tahun 1990, dan mengundurkan diri pada tahun 1999 karena merasa hati nuraninya tidak dapat bekerja lagi pada Bank Konvensional, kemudian pada tahun 2001 bergabung dengan Bank Syariah Mandiri, dan saat ini bertugas sebagai Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan di Kantor Pusat, serta sebelumnya sebagai salah satu Kepala Cabang.

Penulis menikah dengan Novida Ramli, SE pada tahun 1994, dan dikaruniai 3 (tiga) orang anak, yaitu Viga Sakina Ramadhanty, Muhammad Virza Fathullah, dan Vimel Rafifa Qonita.

Di sela-sela tugas rutin, penulis menyempatkan menulis untuk beberapa media daerah dan nasional serta bulletin dakwah mengenai masalah sosial-ekonomi Syariah, serta menjadi nara sumber dalam berbagai seminar dan kuliah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penulis juga telah menulis buku “Aktivitas Ekonomi dalam Kerangka Syariah, Catatan Dakwah Seorang Praktisi Perbankan” yang diterbitkan UNRI Press tahun 2004. Beberapa naskah buku Penulis sedang menunggu penerbitan.


(8)

PRAKATA

Alhamdulillah, akhirnya sebelum tengat waktu, tugas akhir ini dapat juga diselesaikan walaupun pendidikan di kelas telah diselesaikan pada akhir tahun 2002. Tertundanya penulisan tugas akhir ini karena kesibukan dalam pekerjaan yang berpindah-pindah kota demi pengembangan jaringan perbankan Syariah sebagai salah satu aplikasi Sistem Ekonomi Syariah di Indonesia.

Tugas akhir ini berjudul “Strategi Kemitraan Dalam Dinamika Sosial Ekonomi Syariah Untuk Pembangunan Daerah” dan merupakan kajian komprehe nsif yang membahas perwujudan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin berlandaskan iman taqwa. Konsep kesejahteraan yang digunakan tidak semata-mata melihat kepada pertumbuhan ekonomi, tetapi dilakukan melalui tinjauan sosial ekonomi yang berkaitan dengan masalah moral, psikologi, politik, demografi, agama, dan sejarah.

Penulisan tugas akhir ini merupakan prasyarat untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah.

Tugas akhir ini dapat diselesaikan atas peran aktif para pembimbing yang berada di bawah koordinator Bapak Yusman Syaukat dan Bapak Lala Kolopaking. Untuk itu, disampaikan terimakasih yang tulus dari hati yang paling dalam. Terimakasih yang tulus disampaikan kepada Istri tercinta, Novida Ramli, beserta anak-anak Viga Sakina Ramadhanty, M. Virza Fathullah, dan Vimel Rafifa Qonita yang selalu memberikan semangat di antara turun-naiknya aktivitas dan “giroh” penulis dalam menggali dan mengembangkan Ekonomi Syariah di setiap kesempatan. Selain itu, tidak lupa diucapkan terimakasih kepada kedua orangtua yang berkat jasa dan kasih sayangnya menjadikan penulis seperti saat ini.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati, bahwa kajian ini sangat jauh dari sempurna, dan masih sangat sederhana. Namun Penulis berharap, Kajian ini dapat membuka cakrawala bagi para pihak lain dalam mengembangkan Sistem Ekonomi Syariah yang mengandung nilai-nilai yang komprehensif dan universal serta dapat digunakan oleh setiap insani terlepas dari golongan, suku, agama, dan ras yang mereka miliki. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Akhir kata, mudah-mudahan Kajian ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Desember 2005 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ………. i

DAFTAR ISI ……….. ii

DAFTAR GAMBAR ………. iv

I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 3

1.3. Tujuan dan Manfaat ………. 6

II. STUDI PUSTAKA ………. 7

2.1. Ekonomi Dalam Sudut Pandang Islam ……….. 7

2.2. Dinamika Sosial Ekonomi Syariah ………. 11

2.3. Peranan Kemitraan Dalam Sosial Ekonomi Syariah ………. 18

2.3.1. Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha) ……… 18

2.3.2. Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha) ………... 21

2.4. Peranan Pemerintahan Menciptakan Keadilan Bagi Masyarakat ……….. 25

2.5. Distribusi Kesejahteraan Dalam Pembangunan Ekonomi ……….. 29

2.6. Membangun Motivasi Islami Untuk Melakukan Usaha ………. 35

III. KERANGKA PEMIKIRAN ……….……. 44

IV. METODE KAJIAN ………. 48

4.1. Lokasi Kajian ………. 48

4.2. Metode Pengumpulan Data ……… 48

4.3. Metode Pengolahan & Analisa Data ……….. 48

4.4. Metode Perancangan Program ……… 49

V. TINJAUAN EMPIRIS KEMITRAAN DENGAN PELAKU USAHA MIKRO... 51

5.1. Tinjauan Kritis Program Pembiayaan Perbankan Kepada Usaha Mikro Dan Kemitraan Usaha ………. 52

5.1.1. Program PHBK (Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat) ……… 52

5.1.2. Program P4K (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil) 55

5.1.3. Program PPKKP (Pusat Pelayanan Kredit Koperasi Pedesaan) … 59

5.1.4. Analisa Komparatif Kemitraan Bank Dalam Pengembangan Usaha Mikro ……… 62

5.2. Tinjauan Sekilas Beberapa Pola Kemitraan Usaha Menengah dan Besar dengan Usaha Mikro dan Kecil ……… 67

5.2.1. Kemitraan Pola Inti Plasma ……….. 69


(10)

5.2.3. Kemitraan Pola Keagenan ……… 72

5.2.4. Kemitraan Pola Dagang Umum ……… 73

5.2.5. Kemitraan Pola Waralaba ………. 74

5.3. Ikhtisar Pengalaman Berdasarkan Pengembangan Kemitraan ……… 76

VI. STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN KEMITRAAN SYARIAH 79 6.1. Strategi Umum Pengembangan Kemitraan SyariahUsaha ……… 79

6.2. Program Pengembangan Usaha Mikro Berbasiskan Kemitraan Syariah … 83 6.2.1. Pemerintah Daerah Sebagai Motor Penggerak ……… 87

6.2.2. Pembentukan Kelompok Pelaku Usaha Mikro dan Kecil ………… 89

6.2.3. Peran dan Fungsi Pelaku Usaha Besar dan Menengah …………... 92

6.2.4. Membangun Sinergi Bank dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah ………. 95

6.2.5. Peran dan Fungsi Team Pendamping ……….. 100

6.2.6. Pola Pembiayaan Tanggung Renteng Usaha Mikro ……… 101

6.3.Mekanisme Pembinaan, Pengawasan dan Koordinasi Program Kemitraan ... 107

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……….. 113

7.1. Kesimpulan ………. 113

7.2. Implikasi Kebijakan ………... 114


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.2.1. Lingkaran Model Dinamika Sosial Ekonomi Syariah ………….. 15

Gambar 3.1.1. Kerangka Pemikiran Kajian Pembangunan Daerah ………. 48

Gambar 5.1.5.1. Program PHBK (Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat) ……….. 62

Gambar 5.1.5.2. Program P4K (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil) 63 Gambar 5.1.5.3. Program PPKKP (Pusat Pelayanan Kredit Koperasi Pedesaan) … 63 Gambar 5.2.1.1. Kemitraan Pola Inti Plasma ………. 69

Gambar 5.2.2.1. Kemitraan Pola Sub Kontrak ……… 71

Gambar 5.2.3.1. Kemitraan Pola Keagenan ………. 73

Gambar 5.2.4.1. Kemitraan Pola Dagang Umum ………. 73

Gambar 5.2.5.1. Kemitraan Pola Waralaba ……….. 75

Gambar 6.1.1. Pemenuhan Kesempatan Kerja dan Berusaha bagi Masyarakat …... 79

Gambar 6.2.1. Kemitraan Syariah Dalam Penguatan Peran Usaha Mikro dan Kecil ………. 86

Gambar 6.2.4.1. Sinergi Bank Umum dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah …. 99 Gambar 6.3.6.1. Pola Pembiayaan Tanggung Renteng Usaha Mikro ……… 103

Gambar 6.3.1. Sistem Pembinaan dan Pengawasan Kemitraan Usaha Mikro …... 107

Gambar 6.3.2. Koordinasi Tingkat Kelompok Usaha Mikro ………. 109

Gambar 6.3.3. Koordinasi Kelompok Usaha Mikro dengan LKMS ……….. 110


(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia (RPJMN) tahun 2004 – 2009, salah satu visi pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mewujudkan perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu strategi pokok pembangunan, dari dua strategi pokok yang ada, adalah Strategi Pembangunan Indonesia, yang diarahkan pada dua sasaran pokok, yaitu pemenuhan hak dasar rakyat serta penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.

Agenda pokok pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan dalam RPJMN 2004 – 2009, dituangkan dalam 5 (lima) sasaran sebagai berikut:

(1) Menurunnya jumlah pend uduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1% yang didukung oleh stabilitas ekonomi yang terjaga;

(2) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran pedesaan sebagi basi pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan, meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal, meningkatnya perkembangan wilayah yang didorong oleh daya saiang kawasan dan produk-produk unggulan daerah, serta meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penataguaan tanah;


(13)

(3) Meningkatnya kualitas manusia secara menyeluruh, tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama;

(4) Membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan;

(5) Membaiknya infrastruktur yang ditunjukkan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan.

Salah satu agenda pemerintah pusat dalam meningkatkan kesejahteraan tersebut adalah dengan pencanangkan program aksi penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Februari 2005. Pada kesempatan tersebut, sekaligus dicanangkan pula tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro Indonesia. Hal yang sama juga telah ditetapkan PBB pada bulan November 2004, bahwa tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro. Dengan pemberdayaan UMKM, diharapkan, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia akan berkurang dalam lima tahun mendatang.

Di Indonesia, tercatat, pelaku UMKM sebanyak 42,4 juta unit. Dari jumlah tersebut, Usaha Menengah hanya berjumlah 0,5% atau 212 ribu unit, dan usaha kecil 1,5% (636 ribu unit), sisanya 98% merupakan usaha mikro (41,55 juta unit).

Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang dimaksud dengan pemberian kredit kepada sektor usaha mikro adalah pemberian kredit di bawah Rp 50 juta dengan omset per tahun tidak lebih dari Rp 100 juta, sedangkan kredit usaha kecil sebesar Rp 50 – 500 juta, dan kredit usaha menengah berjumlah Rp 500 juta – Rp 5 milyar. Komposisi kredit


(14)

mikro pada perbankan Indonesia hanya 8,9 %, dan kredit kecil 19,1%. Sisanya dinikmati oleh kredit usaha menengah sejumlah 23,4%, dan terbesar dimanfaatkan oleh sector usaha besar (di atas Rp 5 milyar) sebanyak 46,2%. Alasan utama kecilnya pemberian kredit kepada usaha mikro dan kecil adalah sebagian besar usaha mereka tidak feasible, atau telah feasible namun tidak bankable.

Dengan demikian, program-program pencanangan aksi penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan UMKM yang menjadi salah satu misi pemerintah saat ini, tidak akan dengan sendirinya menjadikan masyarakat sejahtera, selama belum ada usaha serentak untuk menghilangkan hambatan yang menjadi sumber persoalan dalam pengembangan usaha kecil dan mikro, termasuk sektor pertanian sebagai bagian utama. Hambatan-hambatan harus dihilangkan dalam pelaksanakan efisiensi, peningkatan kualitas output, pengurangan tingkat pengangguran, peningkatan pendapatan penduduk pedesaan, dan memperkecil kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Untuk itu, Pemerintah harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang tidak merugikan pihak-pihak pelaku usaha mikro dan kecil dalam berusaha yang menyebabkan berkurangnya output pertanian, meningkatnya ketergantungan pada impor, berkurangnya daya saing ekspor, dan menekan penghasilan masyarakat lapisan bawah baik di pedesaan maupun di perkotaan, sehingga perkembangan usaha kecil dan mikro, serta kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut dapat terwujud.

1.2. Perumusan Masalah

Dengan diberlakukan otonomi daerah oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka


(15)

pemerintah daerah mempunyai kesempatan merancang program-program dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan ekonomi daerah sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah dalam kerangka pembangunan nasional.

Inti persoalan terpuruknya ekonomi, pada masa lalu hingga saat ini, menur ut para pakar ekonomi, bukanlah semata-mata karena permasalahan teknis, melainkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan bagi seluruh masyarakat. Penghapusan hambatan-hambatan yang menjadi penyebab diabaikannya sektor pertanian pedesaan dan perbaikan kondisi ekonomi di wilayah pedesaan diharapkan akan memberikan ekspansi besar dalam produktivitas sektor pertanian, serta juga akan menimbulkan diversifikasi perekonomian pedesaan sehingga dapat menyediakan peluang wirausaha yang lebih besar dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan, termasuk daerah pinggiran kota. Hal ini akan mengerem urbanisasi ke wilayah perkotaan dan mereduksi kepadatan kota serta tindak kejahatan.

Hal klasik yang selalu dipersoalkan mengapa pelaku usaha mikro dan kecil tidak dapat berkembang adalah tidak tersedianya sumber dana (keuangan) sebagai modal guna menjalankan usahanya. Sebenarnya dana saja tidak cukup untuk mengembangkan sebuah usaha. Apabila kita lihat pada periode-periode pemerintahan sebelumnya, berapa banyak program bantuan dana (keuangan) berupa pinjaman yang dikucurkan pemerintah untuk mengembangkan berbagai usaha yang tidak membawa hasil tetapi malah membuat usaha yang telah berjalan menjadi gulung tikar karena tidak mampu bersaing dalam mengembangkan usaha sehingga tidak dapat mengembalikan pinjaman. Penyebab utama dari kegagalan program-program tersebut, adalah tidak berjalan suatu kemitraan yang


(16)

sejajar antara stakeholders yang terlibat dalam program tersebut, di samping alasan-alasan lainnya.

Untuk itu, Pemerintah Daerah harus dapat mengambil pelajaran dari program-program yang pernah dibuat pada masa lalu. Program-program-program yang pernah berhasil, dapat diambil manfaatnya oleh Pemerintah Daerah dengan mereduksi kelemahan-kelemahan yang menyebabkan berakhirnya programnya tersebut.

Perlu pula disadari, bahwa saat ini sedang berkembang sebuah sistem ekonomi berbasiskan nilai-nilai Syariah Islam sebagai alternatif dari sistem yang berjalan saat ini. Sistem ekonomi yang berlaku saat ini dirasakan tidak dapat memecahkan masalah-masalah distribusi kesejahteraan yang tidak seimbang dan menimbulkan jurang antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian, dalam membuat program pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, perlu pula dikaji konsep-konsep ekonomi Syariah sebagai solusi alternatif dari system ekonomi yang berlaku selama ini.

Berkaitan dengan hal-hal telah di atas, maka kajian ini akan merumuskan serta membahas beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana memahami suatu system sosial ekonomi syariah sebagai alternatif dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat?

b. Bagaimana program pembangunan ekonomi rakyat berbasis kemitraan yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru dan bagaimana kelebihan serta kekurangannya?

c. Bagaimana pola kemitraan berbasis syariah dapat dikembangkan sebagai dasar pengambangan usaha mikro dan kecil untuk menunjang pembangunan daerah?


(17)

1.3. Tujuan dan Manfaat

Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah mencari model pembangunan sosial ekonomi di suatu daerah dalam mencapai masyarakat sejahtera lahir dan bathin berlandaskan iman dan taqwa sesuai dengan ajaran agama yang dapat berlaku secara universal. Tujuan khusus dari kajian ini, sesuai dengan perumusan masalah di atas adalah:

a. Identifikasi dan review sistem sosial ekonomi syariah yang dapat dikembangkan guna membangun kesejahteraan masyarakat;

b. Identifikasi program-program kemitraan dalam pembangunan ekonomi yang pernah dijalankan pada masa lalu dan identifikasi kelebihan dan kekurangan program-program tersebut;

c. Merumuskan pola kemitraan sosial ekonomi syariah bagi pengembangan usaha mikro dan kecil sebagai salah satu pilar pembangunan daerah.

Manfaat yang ingin diperoleh dari kajian ini adalah:

a. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan model sosial ekonomi dalam mewujudkan masyarakat sejahtera lahir dan bathin berlandaskan iman dan taqwa;

b. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah di berbagai daerah, yang membutuhkan, dalam mewujudkan masyarakat sejahtera lahir dan bathin.


(18)

II. STUDI PUSTAKA

2.1. Ekonomi Dalam Sudut Pandang Islam

Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai faktor esensial agar dapat survive dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi gradual dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.

Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan manusia sepanjang masa, sehingga kepentingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional. Umat Islam telah lama terlibat dalam aktivitas ekonomi, yakni sejak lima belas abad yang silam. Fenomena tersebut bukanlah suatu hal yang aneh, karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis (berusaha) guna memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi mereka. Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam sendiri terlibat di dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama istrinya Khadijah.

Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Al Quran mengandung prinsip-prinsip dan


(19)

petunjuk-petunjuk yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Al Qur’an dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah melalui berbagai bentuk Al Hadits dan diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan Dinul Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al Qiyas.

Namun sejak abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 20 Masehi, kontribusi Islam dalam pemikiran ekonomi seakan hilang ditelan peradaban dunia, sehingga tidak ditemukan buku-buku sejarah pemikiran Ekonomi Islam. Adalah sebuah ironi, bahwa Adam Smith, yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Ekonomi”, dalam bukunya The Wealth of Nations (tahun 1766), menjelaskan bahwa perekonomian yang maju ketika itu adalah perekonomian Arab yang dipimpin Muhammad dan Para Khalifa ur Rasyidin (dalam buku tersebut disebut sebagai Mahomet and his immediate successors). Lebih ironis lagi, jika kita simak, ternyata judul buku Adam Smith tersebut merupakan saduran dari buku Imam Abu Ubayd, yaitu “Al-Amwal” (865).

Ironi lainnya, adalah, ketika Samuelson dalam buku teks Economics edisi 7, menyebutkan bahwa asal muasal Ilmu ekonomi adalah Bible (Injil), tidak satupun ekonom (pakar ekonomi) yang bereaksi. Sementara itu, ketika Ilmuwan Islam mengangkat kembali Ilmu Ekonomi Islam dengan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai sumber rujukan utama, sebagian besar ekonom, termasuk ekonom muslim, spontan bereaksi menentang keberadaan Ekonomi yang berdasarkan ajaran Syariah Islam tersebut.

Sementara itu, seorang ilmuwan Barat, C.C. Torrey dalam disertasinya yang berjudul “The Commercial Theological Terms in the Koran” menyatakan bahwa Al


(20)

Quran menggunakan terminologi bisnis sedemikian ekstensif. Ia menemukan 20 (dua puluh) macam terminology bisnis dalam Al Quran serta diulang sebanyak 370 kali dalam berbagai ayat (Mustaq Ahmad, 1995). Penggunaan terminologi bisnis (ekonomi) yang sedemikian banyak, menunjukkan sebuah manifestasi adanya spirit bersifat komersial dalam Al Quran.

Jika kita simak dengan seksama, menurut Adiwarman Karim (2002c), ilmu ekonomi merupakan warisan peradaban manusia yang dapat diibaratkan sebagai bangunan bertingkat, dimana setiap kaum telah memberikan kontribusi pada zamannya masing-masing dalam mendirikan bangunan tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan pemikiran Ekonomi Islam, para ulama yang merupakan guru kaum muslimin tidak menolak pemikiran para filosof dan ilmuw an non Muslim asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama dan pakar ekonomi Islam, saat ini, berusaha mengembangkan Ekonomi Islam sesuai dengan dalil naqli dan dalil aqli, meskipun pengaruh pemikiran ekonom Barat masih terasa.

Kegiatan sosial-ekonomi (muamalah) dalam Islam mempunyai cakupan luas dan fleksibel, serta tidak membedakan antara Muslim dan Non Muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, yaitu “dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”. Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:


(21)

1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10); 2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan

keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)

3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);

4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).

Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian Syariah, memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berkonsep kepada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Ekonomi Syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang, yaitu:

1. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an) 2. Ekonomi Akhlaq

3. Ekonomi Kemanusiaan 4. Ekonomi Keseimbangan

Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan tujuan utama untuk mendapatkan Ridho Allah. Ekonomi Akhlaq mengandung arti bahwa kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang Muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkan


(22)

atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan orang lain. Ekonomi Kemanusiaan mengandung arti bahwa Allah memberikan predikat “Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan berinovasi. Sedangkan yang dimaksud dengan Ekonomi Keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal itu. Hal itu terjadi karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis, karena berabad-abad di jajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami system perekonomian yang berbasiskan Syariah.

2.2. Dinamika Sosial Ekonomi Syariah

Dunia telah mengakui, bahwa banyak ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, lahir dari pemikiran para ilmuwan dengan latar belakang Islam, termasuk Ilmu


(23)

Ekonomi. Ilmu Ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian ahli tafsir, ahli hukum, ahli sejarah, ahli ilmu sosial, ahli politik, serta ahli filsafat moral. Para ahli pemikir Islam yang memberikan kontribusi dalam pengembangan Ilmu Ekonomi Islam, antara lain adalah Abu Yusuf (tahun 798 Masehi), Abu Ubayd (865), al-Mas’udi (957), al-Mawardi (1058), Ibnu Hazm (1064), al-Sarakhsi (1090), al-Tusi (1093), al-Ghazali (1111), al-Dimasyqi (1175), Ibnu Rusyd/ Averus (1198), Ibnu Taymiyyah (1328), Ibnu Ukhuwah (1329), Ibnu Qoyyim (1350), asy-Syatibi (1388), Ibnu Khaldun (1406), Maqrizi (1442), al-Dawwani (1511), dan Shah Waliullah (1762). Akan tetapi, tidak semua ahli pemikir Islam tersebut, dikenal sebagai ahli Ekonomi karena pada saat itu klasifikasi disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan. Mereka ahli dalam berbagai bidang ilmu dan melakukan pendekatan interdisipliner antara Ilmu Ekonomi dan bidang ilmu yang mereka tekuni sebelumnya, sehingga membuat mereka tidak memfokuskan perhatian hanya pada variabel-variabel ekonomi semata (Chapra, 2001).

Para ahli yang disebutkan di atas, menganggap kesejahteraan umat manusia merupakan hasil akhir dari interaksi panjang sejumlah faktor ekonomi dan faktor-faktor lain, seperti faktor moral, sosial, demografi, dan politik. Semua faktor tersebut berpadu menjadi satu, sehingga tidak ada satu faktor pun yang dapat memberikan kontribusi optimal tanpa dukungan faktor yang lain. Keadilan menempati bagian penting dalam kerangka ini, karena tanpa keadilan sebuah masyarakat hanya akan membangun sebuah perwujudan kerangka rapuh yang berjalan menuju kehancuran atau kemunduran masyarakat itu sendiri.


(24)

Salah satu ahli pemikir Islam yang memberikan kontribusi dalam perkembangan Ilmu Ekonomi Islam adalah Ibnu Khaldun, yang terkenal dengan buku “Muqaddimah” yang sebenarnya merupakan volume pertama dari tujuh volume buku sejarah yang disebut sebagai “Kitab al-‘Ibrar” atau “Buku tentang Pelajaran-pelajaran (Sejarah)”. Menurut Ibnu Khaldun, historiografi (penulisan sejarah) adalah ilmu pengetahuan yang menganalisa penyebab dan asal usul atau bagaimana dan mengapa tentang fenomena-fenomena dalam sejarah manusia, serta pokok bahasannya tidak terbatas pada peristiwa-peristiwa sejarah dan dinasti semata.

Buku “Muqaddimah” adalah realisasi pemikiran Ibnu Khaldun secara ilmiah yang menyajikan prinsip-prinsip yang menyebabkan kejayaan dan keruntuhan sebuah dinasti, negara, atau peradaban sebagai faktor yang terkait erat dengan kesejahteraan atau kesengsaraan rakyat. Di dalam analisis Ibnu Khaldun, kejayaan dan keruntuhan bukan hanya tergantung pada variabel-variabel ekonomi, tetapi juga tergantung pada faktor-faktor lain yang menentukan kualitas perorangan, masyarakat, pemerintahan, dan negara, serta saling berkaitan antar faktor-faktor agama, psikologi, politik, ekonomi, sosial, demografi, dan sejarah dalam kejayaan atau keruntuhan suatu pemerintahan ataupun peradaban.

Muqaddimah” merupakan bagian penting kontribusi pemikiran Ibnu Khaldun dalam ilmu ekonomi. Perumusan dan pemahamannya yang jelas dan mendalam telah mendapat pengakuan sebagai pelopor bagi formulasi teori yang lebih modern dan canggih. Rumusan Ibnu Khaldun yang terkenal dalam kebijaksanaan politik pembangunan disebut sebagai “Dynamic Model of Islam” atau Model Dinamika. Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan prinsip kebijaksanaan politik


(25)

yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan.

Rumusan Model Dinamika atau Dynamic Model of Islam tersebut adalah sebagai berikut:

- Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syariah;

- Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan; - Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat; - Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan;

- Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan; - Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan;

- Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi Allah pada umat-Nya;

- Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.

Rumusan ini mencerminkan karakter interdisipliner dan dinamis dari analisis Ibnu Khaldun yang menghubungkan semua variabel-variabel sosial, ekonomi dan politik, termasuk Syariah (S), kekuasaan politik atau Governance (G), masyarakat atau Nation

(N), kekayaan/ sumber daya atau Wealth (W), pembangunan atau growth (g) dan keadilan atau justice (j). Variabel-variabel tersebut berada dalam satu lingkaran yang saling tergantung karena satu sama lain saling mempengaruhi. Rumusan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


(26)

Gambar 2.2.1. Lingkaran Model Dinamika Sosial Ekonomi Syariah

Sumber: Chapra, 2001

Cara kerja lingkaran ini menyerupai rantai reaksi untuk jangka waktu yang panjang dan merupakan sebuah kedina misan yang diperkenalkan dalam seluruh analisis. Dimensi ini menjelaskan bagaimana faktor-faktor politik, agama, sosial, dan ekonomi saling mempengaruhi selama kurun waktu tertentu sehingga faktor-faktor tersebut dapat menuntun suatu peradaban menuju pembangunan dan kemunduran atau kejayaan dan keruntuhan. Dalam rumusan ini, tidak ada klausula cateris paribus karena tidak ada satu variabel yang konstan. Satu variabel bisa berfungsi sebagai makanisme pemicu dan variabel yang lain dapat bereaksi atau tidak dalam arah yang sama. Oleh karena itu, kegagalan di satu sektor tidak akan menyebar ke variabel yang lain karena sektor yang gagal tersebut akan diperbaiki. Apabila tidak diperbaiki, maka akan menyebabkan kemunduran suatu peradaban. Sebaliknya jika sektor ya ng lain bereaksi sama layaknya dengan mekanisme pemicu, maka kegagalan itu akan memperoleh momentum melalui rantai reaksi yang berkaitan, sehingga kegagalan ini membutuhkan waktu yang lama

G G

S S

N

N

W W


(27)

untuk mengidentifikasi penyebab dan akibatnya. Lingkaran sebab akibat ini akan mengacu kepada “Lingkaran Keadilan” (Circle of Equity).

Dua pengait yang paling penting dalam rantai sebab akibat tersebut adalah pembangunan (g) dan keadilan (j). Pembangunan (g) dianggap penting karena kecenderungan normal di dalam masyarakat berubah-ubah. Kecenderungan itu dapat meningkat atau menurun. Pembangunan yang dimaksud dalam pembahasan ini tidak semata-mata mengacu kepada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan tersebut juga mengacu kepada pembangunan manusia seutuhnya sehingga masing-masing variabel tersebut (G, S, N, dan W) memperkaya satu dengan yang lain, sehingga semua variabel memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan atau kebahagiaan masyarakat. Keseluruhan variabel tidak hanya menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, tetapi juga kemajuan peradaban. Pembangunan tidak akan terlaksana tanpa adanya keadilan. Keadilan yang dimaksudkan bukan dalam pengertian ekonomi yang sempit, tetapi pengertian keadilan yang lebih luas dalam setiap aspek kehidupan manusia. Keadilan dalam pengertian luas ini tidak sepenuhnya dapat diwujudkan tanpa menciptakan masyarakat yang peduli terhadap persaudaraan dan persamaan sosial. Keadilan juga dapat tercipta dengan adanya jaminan keselamatan jiwa, hak milik dan penghormatan bagi setiap orang, pemenuhan kewajiban sosial, ekonomi dan politik, hak untuk bebas menentukan tindakan apa yang diinginkan oleh seseorang, dan pencegahan terhadap kejahatan dan ketidakadilan dalam bentuk apapun.

Sementara itu, variabel Syariah (S) mengacu kepada nilai-nilai dan lembaga atau aturan perilaku yang membuat masyarakat (N) bersedia untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap sesama dan mencegah perilaku sosial yang menyimpang. Hal itu, dapat


(28)

digunakan untuk menjamin keadilan (j), pembangunan (g), dan kesejahteraan (W) untuk seluruh masyarakat. Aturan perilaku dapat bersifat formal dan informal, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Setiap masyarakat memiliki aturan perilaku berdasarkan sistem nilai masing-masing yang berlaku di masyarakat itu. Pedoman utama perilaku dalam masyarakat Islam disebut Syariah (S). Variabel Syariah (S) tidak akan mampu memainkan peran yang berarti kecuali jika Syariah tersebut dijalankan secara benar dan tidak memihak dalam pelaksanaannya. Salah satu tanggung jawab masyarakat (N) dan pemerintah (G) adalah mewujudkan kesejahteraan (W) dengan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk menegakkan keadilan (j) dan pembangunan (g), pemanfaatan yang efektif atas sumber daya tersebut oleh pemerintah (G) guna kesejahteraan masyarakat (N).

Variabel-variabel sosial-ekonomi, demografi, dan politik yang menentukan kesejahteraan manusia mengarah kepada kemajuan atau kemunduran suatu peradaban memiliki peranan saling terkait. Menurut Ibnu Khaldun, kekuatan atau kelemahan suatu dinasti tergantung kepada kekuatan dan kelemahan penguasa politik yang berhasil mereka wujudkan. Penguasa politik, dalam hal ini pemerintah (G), harus menjamin kesejahteraan masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syariah (S) serta pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan (W) yang dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang.


(29)

2.3. Peranan Kemitraan Dalam Sosial Ekonomi Syariah

Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung kepada kemampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa bagi para anggotanya dan masyarakat-masyarakat lainnya. Produksi dan distribusi barang dan jasa menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan, tetapi juga keahlian dan manajemen. Tidak setiap orang dibekali sumber-sumber daya dengan suatu kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak menghimpun semua sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus diorganisasikan dalam suatu cara yang saling menguntungkan atau altuaristis dengan konsep kemitraan yang sejajar di antara masing-masing pihak.

Dalam Sistem Ekonomi Syariah dikenal beberapa bentuk kemitraan dalam berusaha, namun yang umum dikenal ada 2 (dua), yaitu:

2.3.1. Kemitraan Mitra Usaha (Mudharabah) 2.3.2. Kemitraan Modal Usaha (Musyarakah).

2.3.1. Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha)

Mudharabah adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut “shahibul-maal” atau “rabbul-maal” (penyedia dana) yang menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang lain disebut “mudharib” yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba (Chapra, 1985). Mudharib merupakan orang yang diberi amanah dan juga sebagai agen usaha. Sebagai orang yang diberi amanah, ia dituntut untuk bertindak hati-hati dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Sebagai agen usaha, ia diharapkan


(30)

mempergunakan dan mengelola modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba optimal bagi usaha yang dijalankan tanpa melanggar nilai-nilai Syariah Islam. Perjanjian mudharabah dapat juga dilakukan antara beberapa penyedia dana dan pelaku usaha.

Sedangkan secara ringkas, di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mudharabah dapat diartikan sebagai pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja/ pedagang untuk diusahakan/ dikelola sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama. Mudharabah dalam bahasa teknis keuangan dikenal dengan istilah Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi atau Trust Financing, Trust Investment (Antonio, 2000).

Secara umum, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayadah.

1. Mudharabah Muthlaqah

Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal (penyedia dana) dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya kepada mudharib untuk mengelola dananya.

2. Mudharabah Muqayyadah

Adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, di mana mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha yang telah diperjanjikan di awal akad kerjasama.

Pembagian laba antara penyedia dana dengan mudharib harus berdasarkan suatu proporsi yang adil dan telah disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian mudharabah. Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum kerugian yang


(31)

ada ditutupi dan modal awal dikembalikan kepada penyedia dana. Setiap distribusi laba sebelum pentupan perjanjian mudharabah dipandang sebagai utang. Jika mudharabah tidak ditentukan batas waktu atau berterusan, diperbolehkan menunjuk secara khusus periode perhitungan yang disepakati bersama dalam pembagian laba, dengan melihat masing-masing periode secara independen, dan jika terjadi kerugian pada periode tertentu dapat ditutupi dengan menggunakan laba dalam periode yang akan datang sampai persetujuan mudharabah berakhir. Karena itu, dalam hal mudharabah yang berterusan, diperlukan untuk menyisihkan cadangan dari sebagian laba untuk menggantikan kerugian yang mungkin timbul di suatu periode.

Semua kerugian yang terjadi dalam perjalanan bisnis harus ditutup dengan laba sebelum ditutup oleh ekuitas penyedia dana. Prinsip umum dalam mudharabah adalah penyedia dana hanya menanggung resiko modal, sedangkan mudharib hanya menanggung resiko waktu dan usahanya.

Liabilitas penyedia dana dalam kontrak mudharabah terbatas pada kontribusinya dalam menyediakan modal awal,tidak lebih dari itu. Sang Mudharib tidak diperbolehkan melakukan bisnis mudharabah untuk jumlah yang lebih besar dari modal yang diberikan oleh penyedia dana. Jika ia melakukannya atas dasar kemauannya sendiri, maka mudharib berhak mendapatkan laba itu dari usaha itu dan juga menanggung kerugian yang timbul.

Mudharabah akan berakhir setelah selesai proyek yang dikerjakan atau batas waktu yang ditentukan telah berlalu, atau kematian salah satu pihak, atau pengumuman dari salah satu pihak untuk mengundurkan diri dari mudharabah dengan niat membubarkannya.


(32)

2.3.2. Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)

Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama (Chapra,1985). Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Musyarakah secara bahasa berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Musyarakah dikenal juga dengan istilah “Syirkah”. Menurut istilah fikih, syirkah adalah sesuatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.

Pada prinsipnya syirkah atau musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah kepemilikan (amlak) dan musyarakah yang terjadi karena kontrak (uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan berbagi dalam asset nyata dan keuntungan yang dihasilkan oleh asset tersebut.

Musyarakah akad tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

Musyarakah akad merupakan sebuah kemitraan kontraktual dan dipandang sebagai suatu kemitraan yang benar karena pihak yang bersangkutan bersedia memasuki persetujuan kontrak untuk melakukan investasi bersama dalam berbagi keuntungan dan resiko. Musyarakah atau syirkah akad dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:


(33)

1. Syirkah Al Inan

Merupakan kemitraan antara dua orang atau lebih yang masing-masing menyertakan modal ke dalam sebuah usaha dan sekaligus menjadi pengelolanya, kemudian keuntungan dibagi antara mereka berdasarkan kesepakatan.

2. Syirkah Al Wujuh

Kemitraan antara dua orang atau lebih dengan modal dari pihak di luar keduanya, keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan modal yang diperoleh dari pihak luar tersebut

3. Syirkah Abdan

Kemitraan antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau keahliannya saja tanpa harta mereka untuk menerima pekerjaan, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan.

4. Syirkah Mufawadha h

Kemitraan antara dua orang atau lebih yang menyetor modal dan keahlian yang sama. Masing-masing mitra saling menanggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban, dan tidak diperbolehkan satu mitra memiliki modal dan keuntungan lebih tinggi dari mitra yang lainnya.

Dalam praktek, bentuk kemitraan musyarakah yang paling populer adalah Syirkah Al Inan yang mengandung implikasi saham tidak sama di antara para mitra dan diakui oleh semua mazhab dalam agama Islam.


(34)

Musyarakah dalam teknis lembaga keuangan dikenal sebagai kerjasama modal usaha atau Partnership, Project Financing Participation (Antonio, 2000). Aplikasi Musyarakah dalam praktek lembaga keuangan adalah berupa:

1. Pembiayaan Proyek

Lembaga keuangan dan pengusaha secara bersama -sama menyediakan dana untuk membiayai sebuah proyek. Setelah proyek selesai, pengusaha mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati kepada lembaga keuangan.

2. Modal Ventura

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu penyedia dana melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara langsung atau bertahap.

Ketentuan tentang pembagian keuntungan dan petanggungjawaban kerugian persekutuan dalam syirkah, menurut Siddiqi (1983) adalah:

1. Kerugian merupakan bagian modal yang hilang, karena kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan ditanggung oleh para pemodal;

2. Keuntungan akan dibagi di antara para sekutu atau mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka dengan bagian atau prosentase tertentu, bukan dalam jumlah nominal yang pasti yang ditentukan oleh dan bagi pihak manapun;


(35)

3. Dalam suatu kerugian usaha yang berlangsung terus, diperkirakan usaha akan menjadi baik kembali melalui keuntungan sampai usaha tersebut menjadi seimbang kembali. Penentuan jumlah nilai ditentukan kembali dengan menyisihkan modal awal dan jumlah nilai yang tersisa akan dianggap sebagai keuntungan atau kerugian;

4. Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali investasinya, atau pemilik modal melakukan suatu transfer yang sah sebagai hadiah kepada mereka.

Menurut Chapra (2000), musyarakah atau syirkah dalam prakteknya terdapat dalam berbagai model, para mitra dapat memberikan kontribusi bukan hanya modal dalam hal keuangan, tetapi juga tenaga, manajemen, dan keahlian, dan kemauan baik, meskipun tidak harus sama. Kemitraan musyarakah atau syirkah dapat merupakan suatu bentuk kombinasi dari berbagai bentuk. Persyaratan Syariah dalam membagi proporsi modal dan keuntungan dalam bermitra usaha adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud bukanlah pemerataan secara mutlak, tetapi adalah keseimbangan antar individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dengan masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Qardhawi,1995).

Dengan demikian keadilan dalam kemitraan usaha mengandung implikasi bahwa saham proporsional dalam laba harus merefleksikan kontribusi yang diberikan kepada usaha oleh modal mereka baik berupa keahlian, waktu, kemampuan manajemen, kemauan baik, dan kontrak, serta kerugian juga harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut.


(36)

2.4. Peranan Pemerintahan Menciptakan Keadilan Bagi Masyarakat

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang lebih suka hidup secara bersama. Hal ini disebabkan dengan kapasitas individu yang ada, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok guna mempertahankan kehidupan mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan suasana kehidupan yang saling menolong dan bekerjasama . Akan tetapi, mereka tidak dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana penuh konflik dan permusuhan serta ketidakadilan. Untuk itu diperlukan adanya sebuah “rasa kebersamaan” dan “pemerintah” sebagai pengendali kekuasaan untuk mencegah terjadinya konflik dan ketidakadilan guna mempersatukan mereka.

Rasa kebersamaan” akan membuat masyarakat (N), dalam Kerangka Dinamika Sosial Ekonomi, bekerjasama dengan yang lain untuk tujuan yang sama, membatasi kepentingan pribadi mereka, dan memenuhi kewajiban mereka. Sehingga dapat terbentuk keharmonisan sosial dan menimbulkan kekuatan yang menentukan bagi pembangunan dan tegaknya suatu peradaban.

Pada “Model Dinamika”, Ibnu Khaldun memasukkan “rasa kebersamaan” ke dalam lingkaran sebab akibat. “Rasa kebersamaan” akan terbentuk dan menguat jika ada keadilan (j) untuk menjamin adanya kesejahteraan masyarakat melalui pemenuhan kewajiban bersama dan pemerataan hasil pembangunan (W dan g). Jika keadilan (j) hilang, maka cenderung akan timbul ke tidakpuasan di antara masyarakat, mengecilkan hati masyarakat, dan berpengaruh buruk terhadap solidaritas masyarakat. Lebih jauh lagi, hal ini tidak hanya mempengaruhi motivasi masyarakat dalam bekerja tetapi juga akan


(37)

melemahkan efisiensi, sikap inovatif, kewirausahaan, dan kualitas kebaikan yang lain, sehingga pada akhirnya menyebabkan disintegrasi dan kemunduran masyarakat.

Untuk mencapai keadilan (j) harus ada sebuah aturan dalam berperilaku yang dimuat dalam Peraturan atau Syariah (S). Aturan dalam berperilaku akan efektif, apabila, masyarakat dapat memahami manfaat dari peraturan yang dibuat dan pemerintah (G) dapat menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat baik pada tingkat atas maupun tingkat bawah. Kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah, memiliki hubungan yang sama seperti halnya peradaban dalam permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Ibnu Khaldun mengelompokkan kekuasaan menjadi tiga jenis, yaitu; Pertama, adalah kekuasaan “alamiah” atau normal yang membolehkan setiap orang memuaskan kepentingan pribadinya berdasarkan kesenangan hawa nafsu; Kedua, adalah kekuasaan politik “rasional” yang membolehkan setiap orang untuk memenuhi kepentingan pribadi sesuai dengan prinsip rasional; Ketiga, adalah kekuasaan politik berdasarkan “moral”

yang memungkinkan setiap orang untuk mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat sesuai ajaran Syariah. Dalam istilah ilmu sosial politik modern , ketiga jenis kekuasaan tersebut dikenal sebagai laissez faire atau negara pasif sekuler, welfare state atau negara kesejahteraan, dan welfare state Islami atau khilafah (Chapra, 2001).

Dalam welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti ajaran Syariah dalam urusan duniawi mereka merupakan hal yang penting. Negara harus tetap mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan pembangunan berdasarkan keadilan. Di


(38)

samping itu, negara juga harus menjamin pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat.

Untuk mewujudkan cita-cita welfare state Islami, tidak dapat dilakukan dengan tindakan repressive, melainkan melalui tindakan persuasive yang berusaha mensejahterakan masyarakat dan mempercepat pertumbuhan kreativitas masyarakat dan aktivitas pembangunan. Menurut Ibnu Khaldun, kedaulatan hendaknya mengandung kualitas karakter mulia yang sesuai dengan agama dan ilmu politik. Pemegang kedaulatan harus toleran, moderat, dan adil serta menghindari kelicikan, penipuan, dan kesalahan. Pemegang kedaulatan harus menyadari bahwa ia tidak dapat mewujudkan kedaulatan tanpa bantuan orang lain, dan oleh sebab itu bila ia ingin menjalankan kewajibannya secara keseluruhan ia harus menunjuk serta mengangkat orang yang kompeten untuk membantunya. Pembangunan manusia membutuhkan kepemimpinan politik untuk pelaksanaan pembangunan yang tepat. Negara dapat menyediakan kepemimpinan yang demikian dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, membuat susunan yang tepat utuk membina dan mendidik masyarakat guna menciptakan kualitas yang dibutuhkan dalam masyarakat, mempromosikan ilmu pengetahuan dan industri, melaksanakan pembangunan infrastruktur, menjamin hukum dan perundang-undangan, mengedepankan lingkungan fisik yang sehat, menerapkan jaminan sosial dan system peradilan yang efisien, serta menjalankan operasi pasar yang terarah dan merata.

Dengan demikian, apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan (g) karena kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah


(39)

kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk kepentingan itu, diperoleh melalui system pajak yang adil dan efisien. Di samping itu, perlu dicermati bahwa apabila, jika pemerintah tidak menerapkan Syariah secara efisien, maka tidak akan ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka “rasa kebersamaan” tidak akan ada, dan jika tidak ada “rasa kebersamaan”, maka tidak akan ada lingkungan yang mendukung terlaksananya implementasi Syariah, hukum dan perundang-undangan, pembangunan dan kemakmuran. Ketiadaan semua itu, akan membuat administrasi pemerintah (G) menjadi lemah dan tidak efektif. Hal ini tercermin dalam kemunduran-kemunduran variabel-variabel sosial ekonomi yang penting (S, N, W, dan j) serta menyebabkan kehancuran dan keruntuhan.

Negara yang menjalankan perana n pentingnya sebagaimana yang terdapat dalam lingkaran sebab akibat “Model Dinamika” Ibnu Khaldun, tidak akan memiliki karakter sebagai negara yang monolitik atau negara yang lalim yang senantiasa mengontrol kehidupan masyarakat dengan ketat serta tidak me njalankan kekuasaan secara absolut dan sewenang-wenang demi kepentingan pribadi. Pemerintah akan menggunakan kekuasaannya untuk membuat fungsi pasar berjalan lancar dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi realisasi pembangunan (g) dan keadilan (j).

Dengan demikian, konsep Ibnu Khaldun dalam “Model Dinamika” menyatakan bahwa negara harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan memperlakuan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara


(40)

merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya, sehingga tidak sepatutnya bagi suatu negara untuk terlibat secara langsung di dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan negara secara langsung, bukan hanya akan mengurangi kesempatan masyarakat (N), tapi pada akhirnya juga akan merugikan negara itu sendiri. Negara seharusnya melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan usaha mereka secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan. Jadi negara yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun bukanlah negara yang fasis ataupun negara totaliter. Negara yang diinginkan adalah negara yang menjamin penerapan Syariah dan negara yang berfungsi sebagai instrumen pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

2.5. Distribusi Kesejahteraan Dalam Pembangunan Ekonomi

Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997, para pakar ekonomi kapitalis yakin bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar “kue ekonomi”, sehingga setiap orang akan memperoleh lebih banyak bagian. Pertambahan Produk Domestik Bruto bagi suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi suatu wilayah daerah diyakini sebagai pertambahan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Korten (2002), usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar “pertumbuhan ekonomi” telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam memperebutkan sumber daya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Semakin terpusatnya kekuasaan yang semakin


(41)

hebat di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti pemerintah dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas. PDB (PDRB) merupakan sebuah petunjuk nilai pasar secara kasar dari transaksi uang terhadap barang dan jasa pada suatu bangsa atau regional. Sedangkan kerja produktif yang dilakukan untuk diri sendiri tidak diperhitungkan, meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan. Namun sebaliknya, transaksi yang paling merugikan pun malahan dimasukkan selama diperhitungkan dengan uang.

PDB (PDRB) sama sekali tidak memperhatikan terkurasnya modal hidup, jumlah keseluruhan modal manusia, sosial dan kelembagaan dalam memperbaharui diri, yang berfungsi sebagai fondasi kehidupan dan peradaban. Ketika hutan dibabat habis atau laut dikuras habis, maka penjualan kayu atau ikan dihitung sebagai tambahan kekayaan, tetapi perubahan yang diperlukan terhadap potensi produktif dan eko-sistem yang hilang akibat eksploitasi tersebut tidak diperhitungkan. Hal yang sama juga terjadi pada saat minyak bumi dan sumber mineral lain yang tidak dapat diperbaharui ditambang, biaya mengeluarkannya diperhitungkan sebagai tambahan PDB (PDRB), tetapi tidak ada yang dikurangi akibat terkurasnya modal fisik alami yang tersedia. Jadi, dengan demikian, mungkin sekali dengan ukuran seorang Ekonom, ekonomi suatu negara atau wilayah daerah dianggap tumbuh dengan cepat sekali di saat negara atau wilayah tersebut sedang menderita erosi yang parah dari potensi produktifnya serta kesejahteraan para masyarakatnya di masa depan.

Untuk mengetahui kemakmuran perekonomian suatu negara atau wilayah daerah, kemudian para Ekonom membagi angka PDB (PDRB) dengan jumlah penduduk, yang


(42)

disebut dengan PDB (PDRB) per Kapita. Sebuah wilayah yang mempunyai PDRB per Kapita yang tinggi akan dianggap sebagai sebuah wilayah yang makmur dan mempunyai tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi terlepas apakah terdistribusi secara seimbang ataupun terdapat kesenjangan yang tinggi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.

Menurut Chapra (2000), setiap perekonomian dapat dikatakan telah mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang akan datang. Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau tatanan moral dari masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Di samping itu juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan usaha.

Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom, sebelumnya berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi,


(43)

mekanisme trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan distribusi pendapatan.Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti output per kapita yang lebih besar.

Keadilan menurut Qardhawi (1994) adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat), antara komunitas dengan komunitas. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan tersebut tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia. Dengan demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai dengan batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.

Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta mengakui perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut.

Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri


(44)

dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).

Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.

Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa, mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez Faire Laissez Fasser). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan motivasi dan kepribadian. Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut “masyarakat”, yang tercermin dalam “Negara”. Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat. (Qardhawi, 1995)

Oleh karena itu, perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu


(45)

masyarakat. Pada saat ini, para ahli Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab Al Qur’an. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.

Guna mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem harga di dalam memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran komplementer (Chapra, 2000). Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Perlu disadari, bahw a kehidupan


(46)

ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses ekonomi itu terjadi (Fukuyama, 1995).

2.6. Membangun Motivasi Islami Untuk Melakukan Usaha

Kondisi nyata pendidikan dan perekonomian mayoritas umat Islam, saat ini, berada pada tingkat yang sangat rendah. Menurut Azizy (2004), beberapa faktor penyebab hal tersebut, terutama, adalah kesalahan pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam. Ajaran dalam praktek, yang biasanya diyakini oleh mayoritas umat Islam, tidak menyentuh tuntutan kemajuan ekonomi di dunia, karena ajaran yang mereka terima dari para mubaligh dan ustadz, kadang-kadang, kontradiktif dengan ideal ajaran Islam. Hal ini juga disebabkan, oleh adanya paradigma yang menyatakan bahwa Ilmu Agama terpisah dari Ilmu Umum, sehingga pemahaman umat terhadap agama tidak menyentuh ke dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang dirasakan semakin jauh dari nilai-nilai keagamaan.

Semangat ideal ajaran Islam, pada hakekatnya mengajak untuk kemajuan, prestasi, kompetisi sehat, dan kemampuan memberikan rahmat untuk alam semesta (QS. Al-Anbiya’/ 21:107) serta melepaskan manusia dari dunia yang gelap dan sesat menuju dunia terang (QS. Al-Ahzab/ 33:43) dan pada intinya ajaran Islam merupakan petunjuk bagi manusia (QS. Al-Baqarah/ 2:185) yang dapat diartikan bahwa ajaran Islam itu berlaku secara komprehensif dan universal. Namun dalam realita, ajaran Islam diterima dan diartikan sebagai ajaran-ajaran yang pada intinya menjauhkan diri dari hiruk pikuk keduniaan dan memfokuskan ibadah hanya semata-mata kepada akhirat, sehingga


(47)

pemaknaan dan pemahamannya menjadi penghambat kemajuan keduniaan, dan akhirnya menyebabkan kontradiktif antara semangat ajaran motivasi Islam yang menyuruh umatnya makmur di dunia dan jaya di akhirat dengan realita umat yang terbelakang dalam berbagai aspek.

Beberapa praktek terhadap ajaran motivasi Islam yang dipahami dengan keliru di tengah-tengah umat Islam, antara lain, seperti istilah “sabar”, “qana’ah” (sikap menerima), “tawakkal” (sikap pasrah), “insya Allah” (jika Allah menghendaki), “zuhud” (anti keduniaan), dan sejenisnya. Istilah-istilah ini dalam pemahaman sehari-hari sering dijadikan landasan hidup, seolah memberikan justifikasi kepada umat Islam terhadap apa yang dilakukan dengan konotasi yang negatif, yakni lamban, terbelakang, kemalasan, dan semacamnya. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif, tidak menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangnnya, sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

(a) Sabar mengandung arti proses menuju keberhasilan yang tidak mengenal kegagalan, karena disertai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti, tabah, dan tidak mudah putus asa, namun pemahaman yang terjadi pada umat adalah sabar dianggap sebagai sikap yang tidak cepat-cepat dan perlahan, sehingga identik dengan lamban.

(b) Qana’ah mengandung arti sikap yang jujur untuk menerima hasil sesuai dengan kerjanya, tidak serakah, tidak menuntut hasil yang lebih dengan kualitas kerja yang rendah, tidak iri dan dengki, tidak menghayal di luar kemampuannya, atau dengan kata lain qana’ah berarti produktivitas yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan dan tingkat kerja yang dilakukan, tetapi


(48)

dalam pemahaman umat, qana’ah dipahami sebagai sikap menerima apa adanya dan berkonotasi mudah menyerah, sehingga tuntutan untuk kemajuan dianggap sebagai hal yang tidak perlu.

(c) Tawakkal mengandung arti sikap akhir setelah bekerja dan berusaha keras secara maksimal dan dilakukan berulangkali dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, tetapi dalam pemahaman yang terjadi adalah sikap yang menyerahkan diri dan cita-cita kepada keadaan tanpa perlu adanya suatu usaha maksimal atau sikap fatalis.

(d) Insya Allah mengandung arti kesanggupan seseorang memenuhi janji secara serius dan hanya alasan di luar kekuasaan dirinya yang dapat membatalkan janji tersebut, tetapi dalam pemahaman dan pengamalannya terdapat kekeliruan besar terhadap perkataan insya Allah tersebut, yakni dijadikan alat untuk menghindari atau mengelakkan janji di balik nama Allah.

(e) Zuhud, mengandung arti meninggalkan hal-hal yang menyebabkan jauh dari Allah atau dipahami sebagai anti keserakahan, namun yang terjadi dalam praktek dipahami sebagai anti keduniaan atau anti harta. Menurut Qardhawi (1977) hadits-hadits yang memuji sikap zuhud bukan berarti memuji kemiskinan, tetapi berarti memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana. Orang zahid adalah mereka yang memiliki dunia dengan meletakkannya di tangan bukan di dalam hati. Menurut ajaran Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri, dan kemiskinan adalah masalah bahkan musibah yang harus dilenyapkan, serta


(49)

tidak ada satu pun ayat Al Quran yang memuji kemiskinan dan tidak ada sebaris hadits sahih yang memujanya.

Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau melakukan usaha, menyebar di muka bumi, dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

“Dialah Yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. al-Mulk:5)

Kata “bekerja” dalam ayat-ayat Al Qur’an mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa (Qhardawi, 1977). Kerja atau melakukan usaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizi n Allah.

Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan melakukan usaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran “tawakkal” yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah


(50)

tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai “kerja”, seperti salah satu haditsnya ya ng berbunyi, “Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang.

Hadits di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja atau melakukan usaha, bahkan harus meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Dalam beberapa ayat di Al Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah Al-Jumu’ah ayat 10, dinyatakan; “Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda:

“Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan


(51)

bahwa: “Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…...” (QS. an-Nisa’:100)

Bahkan, hadits Rasulullah SAW menyebutkan bahwa apabila seorang yang meninggal dalam perantauannya akan sangat dihargai. Untuk itu, ia akan mendapatkan pahala di surga sebanding dengan jarak antara tempat kelahirannya dengan tempat kematiannya.

Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.” (H.R. Muslim)

Ajaran Islam, memberikan peringatan keras dalam masalah minta-meminta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri. Tindakan zalim terhadap hak Rabbul’alamin artinya


(52)

meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memenuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa kesal. Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama makhluk. Ia menjual kesabaran, ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada orang lain.

Dalam mengentaskan kemiskinan, Islam tidak memecahkan masalah dengan cara memberikan bantuan materi untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi berusaha melibatkan si miskin mengatasi kesulitannya secara aktif di samping memberikan solusi yang manjur. Islam menuntun si miskin untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya.

Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan.


(1)

114 kesempatan bekerja bagi masyarakat secara menyeluruh yang tidak tertampung oleh usaha-usaha besar yang padat modal.

7.2. Implikasi Kebijakan

(1) Pemerintah Daerah dapat membuat kebijakan yang dapat mengembangkan usaha skala mikro dan kecil dengan memberdayakan para pelaku usaha mikro dan kecil agar dapat bersaing dalam kualitas maupun harga dengan produk-produk yang dihasilkan oleh industri skala besar dengan memberikan fasilitas pelatihan teknis dan manajemen usaha untuk meningkatkan keterampilan pelaku usaha mikro dan kecil;

(2) Guna menghindari terjadinya dis economics scale yang berkelanjutan, perlu adanya peran serta dari para pelaku usaha besar dan menengah untuk membangun kemitraan bersama pelaku usaha mikro dan kecil dengan memanfaatkan kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga mereka dapat saling mengisi, melengkapi, dan memperkuat, serta tidak saling mengekpolitasi;

(3) Dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi syariah sebagai alternatif solusi, maka Program Ekonomi Rakyat sebaiknya dikerjasamakan dengan Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah Bank Umum dengan memanfaatkan dan memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) sebagai lembaga yang menghimpun masyarakat pelaku usaha kecil dan mikro dengan mengembangkan iklim usaha dalam lingkungan sosial ekonomi yang sehat;


(2)

(4) Bank Umum Syariah harus mampu membuat sinergi dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah sebagai perpanjangan tangan dengan melakukan pembinaan manajerial dan pengembangan sistem keuangan mikro serta kerjasama pembiayaan bagi para pengusaha kecil dan mikro dengan juga melibatkan peran serta pengusaha besar dan menengah, tokoh masyarakat dan ulama, serta Lembaga Swadaya Masyarakat;

(5) Kemitraan yang dilakukan kepada masyarakat bukan hanya sebatas memberikan pendanaan untuk membuka sebuah usaha, tetapi juga membuat program kegiatan yang dapat membantu dan memotivasi para pelaku usaha mikro dalam menjalankan aktivitasnya dalam bentuk pembinaan teknis usaha dan advance personal development yang berisikan motivasi dalam perspektif religius.


(3)

116

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Afzalurrahman, 1982, Muhammad sebagai Seorang Pedagang, penerjemah: Dewi Nurjulianti, dkk, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy

2. Al-‘Assal, A.M, 1999, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, penerjemah: Imam Saefudin, Bandung: Pustaka Setia

3. Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini, 2001, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, Jakarta: Grassindo

4. Ar-Nabhani, Taqyuddin, 1990, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, penerjemah: Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar

5. Chapra, Umer, M, 1985, Towards a Just Monetary System, 1st Edition, Leicester-UK: The Islamic Foundation

6. ……….., 1995, Islam and The Economics Challenge, 2nd Edition, Herndon-USA: The International Institute of Islamic Thought

7. ……….., 2000, Islam and Economic Development, penerjemah: Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press

8. ……….., 2001, The Future of Economics An Islamic Perspective, terjemahan: Amdion, Amir, dkk, Jakarta: Shari’ah Economics and Banking Institute

9. Cartwrigth, Roger, 2003, The Entrepreneurial Individual, Penerjemah: Sudarmaji, Jakarta: Prestasi Pustakaraya

10. Danusaputro, Marjanto et el, 1991, Monetisasi Pedesaan, Jakarta: IBI

11. David, Fred R, 1998, Concepts of Strategic Management, penerjemah: Alexander Sindoro, Jakarta: Prenhallindo

12. Departeme n Agama RI, 1998, Al – Qur’an dan Terjemahnya Dengan Transliterasi Arab - Latin, Semarang: Karya Putra Toha Abadi

13. El-Diwany, Tarek, 1997, The Problem with Interest, London-UK: Ta-Ha Publishers 14. Fukuyama, Francis, 1995, Trust The Social Vitues an The Creation of Prosperity,

penerjemah: Ruslani, Yogyakarta: Penerbit Qalam


(4)

16. Ismawan, Bambang, et.el, 2003, Kemiskinan dan Keuangan Mikro, Jakarta: Gema PKM Indonesia

17. ………, 2005, Keuangan Mikro Sebuah Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, Jakarta:Gema PKM Indonesia

18. Karim, Adiwarman, A, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press

19. ……….., 2002a, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia & Karim Bisnis Consultan

20. ……….., 2002b, Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT Indonesia

21. ……….., 2002c, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: IIIT Indonesia

22. Khaldun, Ibnu, tt, The Muqaddimah, An Introduction to History, terjemahan Bahasa Inggris: Franz Rosenthal (1958), London: Routledge & Kegan Paul

23. Korten, David C, 1999, The Post-Corporate World; Life After Capitalism, penerjemah: A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 24. Krisnamurthi, Bayu, 2002, Strategi Pembangunan Ekonomi Rakyat Dalam Kerangka

Pembangunan Ekonomi Daerah, Bogor: IPB – Pusat Studi Pembangunan 25. Kunarjo, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, Jakarta: UI

Press

26. Lewis, Mervvyn, and Latifa Algaoud, 2001, Islamic Banking, 1st Edition, Massachussets: Edward Elgar

27. Marthon, Said Sa’aad, 2001, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, penerjemah: Ahmad Ikhrom, Jakarta: Zikrul Hakim

28. Merza Gamal, 2002a, Mengembangkan Konsep Kemitraan Syariah Dalam Mendukung Program Pembangunan Ekonomi Kerakyatan Provinsi Riau, Jakarta: IBI

29. ………., 2002b, Pemberdayaan Dana Zakat, Infaq, Sadaqah Dalam Mendukung Program Pembangunan Ekonomi Kerakyatan Provinsi Riau, Bogor: IPB-MMPD

30. ………., 2004, Aktivitas Ekonomi Syariah, Catatan Dakwah Seorang Praktisi Perbankan, Pekanbaru: UNRI Press


(5)

118 31. Mustaq, Ahmad, 1995, Business Ethics in Al Quran, disertasi: Temple University,

penerjemah: Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar

32. Nabahan, Faruq, M, 2000, Sistem Ekonomi Islam, penerjemah: Muhadi Zainudin, Yogyakarta: UII Press

33. Nasution, Muslimin, 2002, Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan Untuk Agroindustri, Bogor: IPB Press

34. Nejatullah Siddiqi, M, 1983, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, penerjemah: Fakhriyah Mumtihani, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa

35. ………., 1996, The Economic Enterprise in Islam, penerjemah: Anas Sidik, Jakarta: Bumi Aksara

36. ………, 1997, Banking Without Interest, 6th edition, Lahore-Pakistan: Islamic Publications (Pvt) Limited

37. Osborne, David, dan Peter Plastrik, 1992, Memangkas Birokrasi Lima Strategi Menuju Pemerintah Wirausaha, penerjemah: Abdul Rosyid dan Ramelan, Jakarta: Penerbit PPM

38. Perry, Martin, 1999, Small Firm and Networks Economies, penerjemah: Tri Budhi Sastrio, Jakarta: Raja Grafindo Persada

39. Prawirokusumo, Soeharto, 2001, Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi), Edisi I, Yogyakarta: BPFE

40. Qardhawi, Yusuf, 1977, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, penerjemah: Syafril Halim, Jakarta: Gema Insani Press

41. ……….., 1994, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, penerjemah: Didin Hafidhuddin, dkk, Jakarta: Robbani Press

42. ………., 1995, Norma dan Etika Ekonomi Islam, penerjemah: Zainal Arifin, Jakarta: Gema Insani Press

43. ………, 1999, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, penerjemah: Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al Kautsar

44. ………, 2001, Bunga Bank Haram, penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana

45. Qodri Azizy, A., 2004, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


(6)

46. Quthb Ibrahim Muhammad, 2002, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khathab, penerjemah: Ahmad Syarifuddin Shaleh, Jakarta: Pustaka Azzam

47. Robinson, Marguerite S, 2001, The Microfinance Revolution, Vol.2: Sustainable Finance for the Poor, Lessons from Indonesia, The Emerging Industry, Washington DC: The World Bank

48. Syafi’i Antonio, Muhammad, 2000, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute

49. ………, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 50. Syahatah, Husein, 1996, Berbagai Pelanggaran Syariat Dalam Urusan Keuangan,

penerjemah: Musyaffa, Jakarta: Robbani Press

51. ………., 1998, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, penerjemah: Dudung Rahmat Hidayat, Jakarta: Gema Insani Press

52. Syahid Muhammad Baqir ash-Shadr, 2002, Keunggulan Ekonomi Islam, Penerjemah: M. Hashem, Cet.I, Jakarta: Pustaka Zahra

53. Syauqi Ahmad Dunya, 1990, Sistem Ekonomi Islam Sebuah Alternatif, Penerjemah: Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Fikahati Aneska

54. Sunyoto Usman, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

55. Suparmoko, M, 2002, Ekonomi Publik untuk Keuangan & Pemb angunan Daerah, Edisi I, Yogyakarta: Andi

56. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, 2002, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan