Analisis Finansial Industri Pembuatan Sagu Basah Di Kabupaten Langkat

(1)

ANALISIS FINANSIAL INDUSTRI PEMBUATAN SAGU

BASAH

DI KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

OLEH

MERLIN BERNI ANSIH

050304012

AGRIBISNIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS FINANSIAL INDUSTRI PEMBUATAN SAGU

BASAH

DI KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

OLEH

MERLIN BERNI ANSIH

050304012

AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh :

Komisi Pembimbing

Ketua,

Anggota,

(Ir. Luhut Sihombing, MP) (Rulianda Purnomo Wibowo,

SP,M.Ec)

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Merlin Berni Ansih (050304012) dengan judul skripsi ANALISIS

FINANSIAL INDUSTRI PEMBUATAN SAGU BASAH DI KABUPATEN

LANGKAT. Industri pembuatan sagu basah merupakan industri yang

menggunakan bahan baku dari salah satu komoditas pertanian yaitu batang sagu

(

Metroxylon sp

). Penentuan daerah penelitian dilakukan secara

purposive

yaitu

daerah dipilih secara cermat sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Metode

pengambilan sampel menggunakan metode sensus yaitu seluruh industri

pembuatan sagu basah yang terdapat di daerah penelitian dijadikan sebagai

sampel dan pemiliknya dijadikan sebagai responden.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui wawancara kepada

responden sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi yang

terkait dalam penelitian ini.

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

1)

Industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian layak diusahakan

secara finansial karena telah memiliki nilai rata-rata NPV

≥ 1 yaitu sebes

ar

965.756.453.

2)

Rata-rata penerimaan yang diperoleh responden dari industri pembuatan

sagu basah di daerah penelitian adalah sebesar Rp 51.963.700

,-

/bulan dan

Rp 623.565.000

,-

/tahun.

3)

Rata-rata pendapatan yang diperoleh responden dari industri pembuatan

sagu basah di daerah penelitian adalah sebesar Rp

17.776.651,- per bulan

dan Rp 213.323.416,- per tahun.

4)

Rata-rata nilai tambah (

value added

) produk yang diperoleh dari industri

pembuatan sagu basah di daerah penelitian adalah sebesar Rp 238,-/kg.

5)

Rata-rata volume produksi sagu basah di daerah penelitian telah

melampaui titik impas produksi yaitu sebesar ± 1470 kg dalam satu kali

proses produksi dengan nilai rata-rata

Break Even Point

Produksi sebesar

617,19 kg dalam satu kali produksi.

6)

Biaya rata-rata di daerah penelitian telah melampaui titik impas yaitu

sebesar Rp 8.547.741,- dalam satu kali proses produksi dengan nilai

rata-rata

Break Even Point

dalam rupiah adalah Rp 756.395,- dalam satu kali


(4)

RIWAYAT HIDUP

MERLIN BERNI ANSIH ,

dilahirkan di Bireun pada tanggal 24 Maret

1987 dari ayahanda Azwani dan ibunda Siti Yulina. Penulis merupakan anak

kedua dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Negeri Pembina tahun

1993, SD Negeri 1 Glp.Tiga tahun1999, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri

Glp. Tiga tahun 2002 dan SMA Negeri I Kejuruan Muda tahun 200. Pada tahun

2005 penulis diterima di Program Studi Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi

Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai organisasi

kemahasiswaan, antara lain Badan Kenaziran Mushola (BKM) Al-Mukhlisin FP

USU, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat USU,

Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian (FSMM-SEP).

Pada bulan Mei 2009 penulis melaksanakan penelitian skripsi di

Kecamatan Binjai dan Bahorok, Kabupaten Langkat. Kemudian pada bulan Juni

2009 melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Desa Onan Lama,


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,

hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini

dengan baik.

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih kepada :.

1.

Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP. selaku Ketua Departemen Agribisnis, FP,

USU dan selaku Ketua Komosi Pembimbing

2.

Bapak Rulianda Purnomo Wibowo, SP, M.Ec selaku Anggota Komisi

Pembimbing

3.

Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Agribisnis, FP, USU

4.

Seluruh instansi dan responden yang terkait dengan penelitian ini yang telah

membantu penulis dalam memeperoleh data-data yang diperlukan

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu penulis mengharapkan saran dan kriti yang sifatnya membangun dari

pembaca. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2010


(6)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Identifikasi Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 6

Tinjauan Pustaka ... 6

Tinjauan Teknologi Pengolahan Sagu ... 6

Tinjauan Ekonomi ... 7

Landasan Teori... 9

Kerangka Pemikiran ... 14

Hipotesis Penelitian ... 17

METODE PENELITIAN ... 18

Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 18

Metode Pengambilan Sampel ... 18

Metode Pengumpulan Data ... 18

Metode Analisis Data ... 19

Defenisi dan Batasan Operasional ... 23

Defenisi ... 23

Batasan Operasional ... 24

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

PENGUSAHA SAMPEL ... 25

Deskripsi Daerah Penelitian ... 25

Luas dan Letak Geografis ... 25


(7)

Fasilitas Umum ... 28

Karakteristik Sampel ... 29

Karakteristik Pengusaha ... 29

Karakteristik Industri ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

Kelayakan Usaha Secara Finansial Industri Pembuatan Sagu Basah ... 31

Biaya Produksi Menurut Tahapan Proses Pembuatan Sagu Basah .. 31

a. Biaya Tetap ... 31

b. Biaya Variabel ... 34

Penerimaan Pada Industri Pembuatan Sagu Basah ... 36

Pendapatan Bersih dan Analisis NPV pada Industri Pembuatan

Sagu Basah ... 37

Nilai Tambah (

Value added

) Produk pada Industri Pembuatan Sagu

Basah ... 38

Analisis Titik Impas dari Industri Pembuatan Sagu Basah ... 41

a. BEP (

Break Even Point

) Produksi ... 41

b. BEP (

Break Even Point

) dalam Rupiah ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN... 44

Kesimpulan ... 44

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1.

Data Contoh Analisis Kelayaka NPV ... 19

2.

Data Distribusi Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kabupaten Langkat ... 26

3.

Data Distribusi Penduduk Menurut Agama di Kabupaten Langkat ... 27

4.

Data Distribusi Pencari Kerja di Kabupaten Langkat ... 28

5.

Data Fsilitas Umum di Kabupaten Langkat ... 29

6.

Karakteristik Pengusaha Sampel di Kabupaten Langkat ... 30

7.

Karakteristik Industri Pembuatan Sagu Basah di Kabupaten langkat ... 31

8.

Biaya Penyusustan Peralatan Pembuatan Sagu Basah ... 33

9.

Penerimaan pada Industri Pembuatan Sagu Basah ... 36

10.

Pendapatan pada Industri Pembuatan Sagu Basah ... 37

11.

Analisis Kas pada Industri embuatan sagu Basah ... 38

12.

Nilai Rata-rata NPV Industri Pembuatan Sagu Basah ... 39

13.

Rata-rata Nilai Tambah pada Industri Pembuatan Sagu Basah ... 40

14.

Rata-rata Nilai BEP Produksi pada Industri Pembuatan Sagu Basah ... 41


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1.

Grafik Break Even Point (BEP) ... 13

2.

Skema Kerangka Pemikiran ... 16


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1.

Karakteristik Sampel ... 48

2.

Perkiraan Biaya Pembangunan Gedung dan Peralatan ... 49

3.

Perhitungan biaya Penyusutan Peralatan... 50

4.

Perhitungan biaya Penyusutan Gedung ... 50

5.

Perhitungan Aliran Kas ... 51

6.

Perkiraan Nilai NPV Usaha Pembuatan Sagu Basah ... 91

7.

Perkiraan Nilai Tambah Industri Pembuatan Sagu Basah ... 92

8.

Perkiaraan Titik Impas Pembuatan Sagu Basah ... 93


(11)

ABSTRAK

Merlin Berni Ansih (050304012) dengan judul skripsi ANALISIS

FINANSIAL INDUSTRI PEMBUATAN SAGU BASAH DI KABUPATEN

LANGKAT. Industri pembuatan sagu basah merupakan industri yang

menggunakan bahan baku dari salah satu komoditas pertanian yaitu batang sagu

(

Metroxylon sp

). Penentuan daerah penelitian dilakukan secara

purposive

yaitu

daerah dipilih secara cermat sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Metode

pengambilan sampel menggunakan metode sensus yaitu seluruh industri

pembuatan sagu basah yang terdapat di daerah penelitian dijadikan sebagai

sampel dan pemiliknya dijadikan sebagai responden.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui wawancara kepada

responden sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi yang

terkait dalam penelitian ini.

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

1)

Industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian layak diusahakan

secara finansial karena telah memiliki nilai rata-rata NPV

≥ 1 yaitu sebes

ar

965.756.453.

2)

Rata-rata penerimaan yang diperoleh responden dari industri pembuatan

sagu basah di daerah penelitian adalah sebesar Rp 51.963.700

,-

/bulan dan

Rp 623.565.000

,-

/tahun.

3)

Rata-rata pendapatan yang diperoleh responden dari industri pembuatan

sagu basah di daerah penelitian adalah sebesar Rp

17.776.651,- per bulan

dan Rp 213.323.416,- per tahun.

4)

Rata-rata nilai tambah (

value added

) produk yang diperoleh dari industri

pembuatan sagu basah di daerah penelitian adalah sebesar Rp 238,-/kg.

5)

Rata-rata volume produksi sagu basah di daerah penelitian telah

melampaui titik impas produksi yaitu sebesar ± 1470 kg dalam satu kali

proses produksi dengan nilai rata-rata

Break Even Point

Produksi sebesar

617,19 kg dalam satu kali produksi.

6)

Biaya rata-rata di daerah penelitian telah melampaui titik impas yaitu

sebesar Rp 8.547.741,- dalam satu kali proses produksi dengan nilai

rata-rata

Break Even Point

dalam rupiah adalah Rp 756.395,- dalam satu kali


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai Negara yang terletak di daerah tropis, Indonesia kaya akan

tanaman penghasil karbohidrat baik yang berasal dari biji-bijian seperti beras,

jagung, sorgum dan lain sebagainya maupun yang berasal dari umbi-umbian

seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, dan semacamnya. Selain itu ada

juga yang berasal dari pati seperti aren

(Arenga pinata)

dan

sagu

(Metroxylon sp.)

dan sebagainya.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan (2008) sagu berpotensi menjadi sumber pangan pokok

alternatif setelah beras karena kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi,

kemampuan substitusi tepung dalam industri pangan, peluang peningkatan

produktivitas, potensi areal serta kemungkinan diversivikasi produk. Oleh karena

itu, prospek dan peluang pengembangan sagu sebagai bahan pangan maupun

bahan baku industri cukup menjanjikan.

Berdasarkan angka-angka luasan yang dipaparkan oleh berbagai sumber

dalam Simposium Sagu Nasional pada tahun 1992 disebutkan bahwa di Indonesia,

sagu menyebar mulai dari wilayah Indonesia Barat sampai ke Timur. Angka

pendekatan untuk seluruh Indonesia adalah sekitar 1 juta ha. Kawasan sebarannya

secara pendekatan ialah 800.000 ha di Irian Jaya, 50.000 ha di Maluku, 30.000 ha

di Sulawesi, 45.000 ha di Kalimantan, 72.000 ha di Sumatera dan 2.000 ha di


(13)

tanaman sagu untuk digunakan sebagai komoditi utamanya adalah di Sumatera

khususnya provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Langkat.

Menurut Samad (2007) dalam tulisannya yang berjudul Meningkatkan

Industri Kecil Sagu Melalui Penerapan Teknoligi Ekstraksi Semi Mekanis, areal

sagu dengan luas dan sebarannya di Indonesia tersebut belum dieksploitasi secara

maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan)

maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu ini

disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu sebagai

akibat dari rendahnya kemampuan dalam memproduksi tepung sagu dan

produk-produk lanjutannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat lokal.

Di Sumatera Utara sektor pertanian yang bersinergi dengan sektor industri

didominasi oleh agroindustri yang mengelola hasil-hasil pertanian yang berbasis

kelapa sawit, karet, pengolahan ubi kayu, pengolahan hasil laut, serta industri

kecil dan rumah tangga pangan. Menurut Badan Informasi dan Komunikasi

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2007) agroindustri tersebut baik formal

maupun non formal tersebar di berbagai kabupaten/kota di Sumatera Utara,

termasuk Kabupaten Langkat. Di kabupaten ini sendiri potensi agroindustri yang

berkembang cukup baik antara lain adalah mebel rotan, mebel bambu, dodol,

emping melinjo, makanan ternak, dan lain-lain. Sementara untuk agroindustri

sagu masih belum berkembang seperti yang lain.

Tanaman sagu di daerah Langkat secara resmi tidak terdata dan

dipublikasikan di Dinas Pertanian, Perkebunan maupun Kehutanan karena

sifatnya yang sporadis sehingga sulit untuk membuat data yang valid. Namun,


(14)

dan berproduksi di tujuh kecamatan yang ada di kabupaten Langkat, yaitu

kecamatan Binjai, Selesai, Bahorok, Sungai Binge, Wampu, Kuala, dan Salapian.

Dari fakta-fakta inilah, industri pengolahan batang sagu menjadi sagu

basah memiliki potensi untuk dikembangkan. Usaha pengolahan sagu tersebut

merupakan salah satu bentuk kegiatan agroindustri dalam meningkatkan

value

added

dan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat petani. Oleh

sebab itu, perlu dilakukan penggalian potensi, eksploitasi dan pengembangan serta

pemanfaatannya, baik sebagai bahan pangan maupun sebagai bahan baku industri.

Dalam hal ini, suatu analisis usaha secara finansial sangat dibutuhkan

untuk membantu para pengusaha dalam pemberian informasi dan wawasan

tentang keadaan usaha mereka dari segi finansial dan kelayakan usahanya yang

disesuaikan dengan waktu saat ini. Sehingga mereka mampu mempertahankan

usaha mereka serta mampu mengembangkannya menjadi usaha yang bertaraf

internasional. Dengan kata lain para pengusaha tersebut mengetahui keadaan

perusahaan mereka secara finansial sehingga para pengusaha tersebut mampu

memperkirakan pengeluaran yang dibutuhkan serta penerimaan yang diperoleh

selama masa produksi.


(15)

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa masalah sebagai berikut :

1)

Bagaimanakah kelayakan usaha dari industri pembuatan sagu basah secara

finansial di daerah penelitian .

2)

Berapa besar nilai tambah (

value added

) produk yang diperoleh dari

industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian .

3)

Berapakah volume produksi dan jumlah biaya produksi minimal agar

industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian dapat memberikan

keuntungan atau melampaui titik impas.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1)

Untuk mengidentifikasi kelayakan usaha secara finansial dari industri

pembuatan sagu basah di daerah penelitian

2)

Untuk mengidentifikasi nilai tambah (

value added

) produk yang diperoleh

dari industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian

3)

Untuk mengidentifikasi volume produksi dan jumlah biaya produksi

minimal agar industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian dapat


(16)

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:

1)

Sebagai bahan informasi bagi pengusaha industri pembuatan sagu basah

untuk meningkatkan usahanya agar lebih efisien

2)

Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan untuk perbaikan

industri pembuatann sagu basah


(17)

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN

Tinjauan Pustaka

Tinjauan teknologi pengolahan sagu

Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan

selalu mengalami perkembangan yang cepat. Penggunaan teknologi akan

mengubah input menjadi output yang diinginkan (Gumbira dkk, 2001).

Dalam lingkup industri pengolahan hasil pertanian, teknologi ditujukan

untuk meningkatkan nilai tambah suatu komoditas. Semakin tinggi nilai produk

olahan diharapkan devisa yang diterima oleh negara juga meningkat, serta

keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku industri pengolahan juga relatif

tinggi. Ini dapat dilihat dalam industri pengolahan sagu, teknologi sangat

berpengaruh pada hasil produksi.

Dalam proses produksinya, menurut teori yang disampaikan oleh haryanto

dan Pangloli (1992) pengolahan aci sagu dapat dilakukan dengan cara tradisional

dan cara pabrikasi (mekanisasi). Pengerjaan dengan cara tradisional menggunakan

alat-alat dan cara yang sederhana, yaitu potongan pohon sagu dibelah dua.

Belahan pohon sagu ditokok dengan suatu alat, kemudian empulur ditetak-tetak

sedikit demi sedikit dari salah satu ujung sampai ke pangkalnya dan dijaga jangan

sampai kering. Hasil tokokan empulur yang disebut "ela", dikumpulkan kemudian

disaring. Di tempat penyaringan, ela disiram dengan air bersih, maka aci akan

keluar bersamaan dengan air siraman, selanjutnya disaring. Air siraman ela yang

diperoleh, diendapkan. Hasil endapan dipisahkan dari air yang sudah mulai jernih,


(18)

Pengolahan secara pabrikasi (mekanisasi) menggunakan pemarut silinder

atau pemarut Cakera yang disambungkan pada motor. Setelah diperoleh “ela”,

lalu diproses menjadi zat tepung seperti pengambilan pati yang dilakukan pabrik

tapioka biasa, yaitu dengan menggunakan sistem pemisah zat tepung dari ampas

secara sentrifugal. Biasanya kapasitas produksi dengan cara pabrikasi tersebut

berkisar antara 1-10 pokok/hari. Ini sangat bertolak belakang dengan hasil yang

menggunakan alat konvensional, yaitu hanya dapat mengolah 2 pokok/minggu.

Dilihat dari segi teknologi, pengolahan batang sagu di Kabupaten Langkat

sudah tergolong semi mekanis yaitu dapat menghasilkan sagu basah 1,5 ton/hari.

Dengan demikian, diharapkan teknologi tersebut akan berkembang hingga ke alat

mekanis dengan kapasitas dan efektifitas yang tinggi sehingga dapat

meningkatkan pendapatan pengusaha.

Tinjauan ekonomi tanaman sagu

Berdasarkan laporan yang bersumber dari BAPPENAS tahun 2000 tentang

luas areal dan produktivitas per pohon dari daerah-daerah produsen sagu serta

hasil percobaan di laboratorium, diperkirakan produksi sagu mencapai

40 sampai 60 batang/ha/tahun dengan jumlah empulur 1 ton/batang serta

kandungan aci sagu 18,5 % sehingga dapat diperoleh hasil per hektar per tahun

adalah 7 sampai 11 ton sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu

dapat dihasilkan 100 sampai 600 kg aci sagu kering. Rendemen total untuk

pengolahan yang ideal adalah 15 %.

Sementara itu, harga sagu basah saat ini mulai meningkat yaitu berkisar


(19)

sagu di Indonesia masih terbuka lebar. Walaupun masih banyak kendala yang

harus dihadapi.

Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Herlina Tarigan dan

Ening Ariningsih pada tahun 2007 di Jayapura dapat disimpulkan bahwa

pengembangan agroindustri sagu mempunyai peluang yang cukup besar untuk

dikembangkan, dilihat dari segi geografis, ketersediaan bahan baku, teknologi,

maupun kebijakan pemerintah. Namun kendala terbesar terletak pada budaya

bertani petani sagu dan sistem pemilikan lahan yang dikuasai penduduk lokal

sementara kegiatan industri dikuasai oleh pendatang.

Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan

agroindustri sagu adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan

pembinaan komoditas sagu pada salah satu dinas teknis. Ini akan menuntun

pemerintah melalui dinas terkait untuk lebih serius melakukan langkah

operasional dalam pengembangan baik dari sisi peningkatan produksi agar bahan

baku industri tersedia secara kontinu (Disperta/Perkebunan), pengolahan dan

pemasaran (Disperindag), teknologi (BPTP), maupun kelembagaan (KIPP).

Pengembangan agroindustri sagu sebaiknya diprioritaskan untuk

mendorong perkembangan agroindustri kecil dan menengah di pedesaan. Karena

subsistem pengolahan merupakan kelanjutan dari subsistem produksi maka bisa

berperan sebagai bagian dari pendekatan permintaan. Teknologi yang kurang

diadopsi memerlukan rekayasa ulang untuk menciptakan teknologi yang prosedur

kerjanya lebih mudah dan murah. Kapasitas olah perlu disesuaikan dengan

kemampuan ketersediaan bahan baku namun tetap dengan pertimbangan


(20)

Agar kegiatan agroindustri sagu bisa memberi peningkatan nilai tambah

yang berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan petani maka perlu

membangun pola kemitraan yang adil antara petani produsen sagu, pelaku industri

berbahan baku sagu dan pelaku pasar yang dapat memenuhi permintaan pasar

lokal maupun ekspor. Pada tahap awal, pembentukan kerjasama ini perlu

difasilitasi oleh pemerintah terutama dalam pembangunan infrastruktur, akses

terhadap permodalan, pembinaan kewirausahaan dan promosi pasar.

Landasan Teori

Pengembangan agroindustri dapat meningkatkan pendapatan penduduk.

Menurut Lukminto (2004) agar tercapai tujuan tersebut biasanya dilaksanakan

dengan tiga pola yaitu: (1) agroindustri berintegrasi langsung dengan usahatani

keluarga, (2) agroindustri berintegrasi langsung dengan perusahaan pertanian, dan

(3) agroindustri tidak berlokasi di pedesaan. Agroindustri pangan diharapkan

menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi terutama produk

siap saji, praktis dan memperhatikan masalah mutu. Faktor lain yang perlu

diperhatikan adalah harga produk yang lebih terjangkau, lokasi dekat dengan

konsumen, tempat berbelanja yang nyaman dan penyajiannya yang baik.

Untuk menganalisis perolehan keuntungan usaha agroindustri tersebut

diperlukan ukuran yang menyeluruh sebagai dasar persekutuan atau penolakan

atau pengurutan suatu proyek. Telah dikembangkan berbagai macam cara yang

dinamakan

investment criteria

atau kriteria investasi, diantaranya adalah

net

present value (NPV)

, yang merupakan perbandingan antara PV kas bersih (PV

of

proceed

) dengan PV investasi selama umur investasi. Dikatakan suatu usaha layak


(21)

lebih besar dari nol atau bernilai positif. Dan jika lebih kecil dari nol maka usaha

tersebut tidak layak untuk dilanjutkan atau ditolak.

Untuk menghitung NPV, terlebih dahulu kita harus tahu berapa PV kas

bersihnya. PV kas bersih ini dapat dicari dengan jalan membuat dan menghitung

dari

cash flow

perusahaan, dalam artian semua penerimaan dan pengeluaran

perusahaan diestimasi sedemikian rupa sehingga menggambarkan kondisi

pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan datang.

Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikali dengan harga jual.

Sedangkan pendapatan adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam

satu kali periode produksi. Dari penerimaan dan pendapatan suatu usaha tersebut

dibutuhkan informasi tentang biaya tetap (

fixed cost

) dan biaya tidak tetap

(

variable cost

). Biaya ialah pengorbanan-pengorbanan yang mutlak harus

diadakan atau harus dikeluarkan agar dapat diperoleh suatu hasil. Untuk

menghasilkan suatu barang atau jasa tentu ada bahan baku, tenaga kerja dan jenis

pengorbanan lain yang tidak dapat dihindarkan. Tanpa adanya

pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak akan dapat diperoleh suatu hasil.

Biaya tetap (

fixed cost

) didefenisikan sebagai biaya yang relatif tetap

jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun terjadi perubahan volume produksi

yang diperoleh. Jadi, besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya

produksi yang diperoleh. Di sisi lain biaya tidak tetap (

variable cost

)

didefenisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang

diperoleh.

Untuk mendukung analisis finansial tersebut, diperlukan pengkajian


(22)

agroindustri tersebut diantaranya aspek pasar, teknik, dan ekonomi. Dalam garis

besarnya, langkah-langkah pengkajian aspek-aspek tersebut dilakukan secara

berurutan. Namun, antara langkah yang satu dengan langkah yang lain terdapat

umpan balik sehingga langkah yang lebih awal dapat dipengaruhi oleh langkah

berikutnya.

Misalnya, pengkajian aspek pasar untuk memperkirakan penawaran dan

permintaan, tingkat harga, persaingan, strategi pemasaran dan lain-lain. Ini semua

sangat berkaitan dengan aspek teknis dalam hal menentukan kapasitas produksi,

pemilihan teknologi produksi, peralatan, fasilitas pendukung dan lain-lain. Hal ini

juga berkaitan dengan aspek finansial dan ekonomi, yaitu dalam membuat

perkiraan biaya awal dan ongkos produksi, menetapkan jenis dan sumber dana

serta dalam melakukan analisis finansial.

Dari kegiatan agroindustri ini diharapkan memiliki nilai tambah yang

tinggi. Nilai tambah adalah peningkatan nilai dari pengolahan bahan baku menjadi

barang jadi yang diperoleh dari selisih nilai output dengan nilai input yang

dihitung dalam rupiah per kilogram bahan baku yang digunakan. Nilai output

yang dimaksud adalah hasil kali dari jumlah barang jadi dengan harga jualnya dan

dibagi dengan jumlah bahan baku yang dipergunakan. Dan nilai input adalah

jumlah biaya bahan ( bahan baku dan bahan penunjang) dan biaya lain-lain dibagi

dengan jumlah bahan baku yang digunakan.

Dalam hal ini, suatu perusahaan dikatakan telah memiliki nilai tambah

dalam produksinya apabila nilai output yang dihasilkan lebih besar daripada nilai


(23)

Sudiyono (2004) menyatakan nilai tambah bisa dilihat dari dua sisi yakni

nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Nilai tambah

untuk pengolahan dipengaruhi oleh faktor teknis yang meliputi kapasitas

produksi, jumlah bahan baku dan tenaga kerja, serta faktor pasar yang meliputi

harga output, harga bahan baku dan harga bahan baku lain selain bahan bakar dan

tenaga kerja. Besarnya nilai tambah suatu hasil pertanian karena proses

pengolahan adalah merupakan pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya

terhadap nilai produk yang dihasilkan. Bisa dikatakan bahwa nilai tambah

merupakan gambaran imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen.

Adapun alat analisis yang sering juga digunakan adalah

break even point

(BEP) yaitu titik pulang pokok dimana

total revenue

sama dengan

total cost

.

Dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah usaha, terjadinya titik pulang pokok

tergantung pada arus lama penerimaan sebuah usaha dapat menutupi segala biaya

operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya. Perpotongan antara garis

biaya total dan penerimaan total disebut dengan titik

Break Even Point

. Titik ini

menunjukkan bahwa pada jumlah produksi tersebut tidak ada rugi dan untung


(24)

Pada Gambar 1 diatas dapat dilihat pada tingkat produksi berapa suatu

usaha mencapai titik impas atau

break even point

(BEP). Bila produksi mencapai

di sekitar 0Y

1

, maka usaha mengalami kerugian karena penerimaan lebih kecil

dari total biaya, sebaliknya bila produksi berada di sekitar Y

1

Y maka usaha akan

untung karena penerimaan lebih besar dari total biaya.

Pada prinsipnya, setiap pengusaha melakukan kegiatan produksi dengan

tujuan untuk memperoleh keuntungan.Yaitu setelah produsen menghasilkan

output dari setiap kegiatan produksi yang dilakukan maka output tersebut akan

dijual pada konsumen. Dengan demikian, produsen akan memperoleh pendapatan

dari setiap output yang dijual. Secara ekonomis keuntungan perusahaan diperoleh

dari keseluruhan pendapatan yang diterima dikurangi seluruh biaya yang harus

dikeluarkan selama proses produksi.

Jumlah Produksi

TC

BE

P

0

VC

FC

Gambar 1 Grafik

Break Even Point

(BEP)

TR


(25)

Kerangka Pemikiran

Industri pengolahan sagu merupakan salah satu jenis industri dengan

memanfaatkan tanaman sagu sebagai bahan baku utamanya, dimana sagu tersebut

akan diolah sesuai dengan kebutuhan untuk dijual secara komersial. Dalam hal ini

sagu tersebut diolah menjadi tepung sagu. Industri pengolahan yang ada di daerah

penelitian masih tergolong pengolahan yang bersifat semi mekanis dengan

kapasitas 1,5 ton per hari serta bahan baku diperoleh dari daerah sekitar industri

pembuatannya dan sentra-sentra penghasil sagu di Kabupaten Langkat.

Dalam proses produksi industri pengolahan sagu batang tidak lepas dari

biaya produksi. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha terbagi atas

biaya tetap antara lain biaya penyusutan dari gedung dan peralatan yang

digunakan, biaya pajak serta biaya listrik. Sedangkan biaya variabel terdiri dari

biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya bahan bakar, biaya pengemasan serta

biaya transportasi.

Dalam industri pengolahan sagu ini yang menjadi hal utama adalah

produksi yaitu sagu basah yang dihasilkan dari ekstraksi batang sagu. Untuk

menghasilkan produksi yang tinggi dan berkualitas diperlukan suatu penanganan

yang baik dari semua aspek oleh produsen sehingga dapat meningkatkan nilai

tambah dari hasil yang diproses, yaitu dari bahan baku batang sagu diolah menjadi

sagu basah yang kemudian dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan produk

turunan lainnya. Dari kegiatan ini diharapkan dapat memberi peningkatan nilai

tambah yang berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan pengusaha.

Setelah berproduksi, maka sagu basah yang dihasilkan akan dipasarkan


(26)

sagu kering, mi tiau, kembang tahu, roti, dan kue-kue lainnya. dengan harga jual

yang sesuai. Ini disebabkan karena produk turunan tersebut berbahan baku utama

sagu basah. Penjualan setiap ton sagu basah akan menghasilkan penerimaan bagi

pengusaha. Seluruh totalitas dalam usaha sagu basah ini sangat menentukan

jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam suatu periode produksi.

Total biaya inilah yang akan mengurangi penerimaan pengusaha dan diperolehlah

pendapatan bersihnya.

Dari kegiatan tersebut akan dianalisis kelayakan usahanya dengan alat uji

kelayakan yaitu analisis finansial (NPV). Analisis finansial merupakan

pemeriksaan keuangan yang dilihat dari sudut orang yang menanam modal untuk

mengetahui sampai dimana keberhasilan usaha yang telah dijalankan, tingkat

pengembalian investasi dan titik pulang pokoknya sehingga mampu berkembang

dan berdiri sendiri secara finansial.

Dengan analisis finansial ini, responden dapat membuat perhitungan dan

menentukan tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan

usahanya. Dengan mengetahui keuntungan yang diperoleh maka dapat diketahui

industri pengolahan sagu ini layak atau tidak untuk diusahakan secara finansial.

Untuk lebih memperjelas mengenai kelayakan usaha pembuatan sagu basah serta

hubungannya dengan hal-hal yang tercantum pada identifikasi masalah pada bab

sebelumnya, maka dapat kita lihat pada skema kerangka pemikiran berikut ini


(27)

Keterangan :

: Menyatakan hubungan.

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Produk

(sagu basah)

Kelayakan Usaha Secara Finansial

Pendapatan

Penerimaan

Proses Pengolahan

Batang Sagu

Total

Biaya

Produksi

Harga Jual

Biaya – Biaya Produksi :

-

Bahan Baku

-

Bahan Penunjang

-

Tenaga Kerja

-

Penyusutan

Nilai

Tambah


(28)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang telah disusun, maka diajukan beberapa

hipotesis yang akan diuji sebagai berikut:

1)

Usaha pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah layak diusahakan

secara finansial.

2)

Produk yang diperoleh dari industri pembuatan sagu basah di daerah

penelitian telah memiliki nilai tambah (

value added

).

3)

Volume produksi dan jumlah biaya produksi pada industri pembuatan sagu


(29)

METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara

purposive,

yaitu penentuan

daerah dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu

(Soekartawi(c),1995).

Maka ditentukan daerah penelitian di Kabupaten Langkat, dengan kriteria adanya

agroindustri pengolahan batang sagu di daerah penelitian, serta memiliki lahan

yang banyak ditumbuhi oleh tanaman sagu yaitu tersebar di kecamatan-kecamatan

yang ada di Kabupaten langkat.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara sensus, yaitu

pencatatan secara menyeluruh dimana semua populasi di daerah penelitian

dijadikan sampel (Supranto, J, 1997). Dalam hal ini jumlah industri pembuatan

sagu basah di daerah penelitian sebanyak 2 pengusaha.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui wawancara kepada

responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang dibuat

terlebih dahulu. Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang

diperoleh dari instansi atau lembaga terkait seperti Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten Langkat, Dinas Pertanian Kabupaten Langkat, Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Langkat, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara,


(30)

Metode Analisis Data

a) Untuk hipotesis (1) dianalisis dengan menggunakan analisis kelayakan

NPV. Untuk mempermudah uraian di bawah ini dapat dilihat tabel sebagai berikut

Maka NPV suatu usaha adalah selisih PV arus

benefit

dengan PV arus

biaya, dapat dituliskan sebagai berikut:

Keterangan :

NPV =

Net present value

Bt

=

benefit

tahun ke-t

Uraian

Volume

Harga Satuan

(Rp)

Jumlah (Rp)

I. Biaya Produksi

1)

Bahan baku

Batang sagu

2)

Tenaga kerja

3)

Peralatan :

Mesin penggerak

Mesin pemarut

Saringan

Bak pengendapan

Kampak

Pompa air

4)

Penyusutan Alat :

Mesin penggerak

Mesin pemarut

Saringan

Bak pengendapan

Kampak

Pompa air

Total Biaya Produksi

II. Penerimaan

(Jumlah Produksi x Harga

Jual)

III. Pendapatan Usaha

(Penerimaaan

Biaya

Produksi)

t n t

i

Ct

Bt

NPV

)

1

(

0

+

=

=


(31)

Ct

= biaya tahun ke-t

i

= tingkat suku bunga

t

= umur usaha pengolahan sagu basah pada tahun ke-t

Kriteria uji : - NPV < 0, industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian tidak

layak diusahakan secara finansial.

- NPV

≥ 0, industri pembuat

an sagu basah di daerah penelitian layak

diusahakan secara finansial.

(Soekartawi (c), 1995).

Dalam hal ini diperlukan perhitungan dari

cash flow

perusahaan seperti

terlihat pada tabel di atas yang berisi semua data total penerimaan yang diterima

dan total biaya yang dikeluarkan. Total penerimaan dapat dianalisis dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

TR

= Y.Py

Keterangan :

TR

=Total Penerimaan sagu basah (Rp)

Y

= Produksi sagu basah (Kg)

Py

= Harga jual sagu basah (Rp/Kg)

Dan total biaya yang dikeluarkan dapat dianalisis dengan rumus sebagai

berikut :

TC = FC + VC

Keterangan :

TC :Total Biaya usaha pengolahan sagu basah (Rp)

FC :Biaya Tetap usaha pengolahan sagu basah (Rp)


(32)

Sehingga diperoleh pendapatan bersih yang dianalisis dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

I = TR – TC

Keterangan :I = Pendapatan usaha pengolahan sagu basah (Rp)

TR=Total Penerimaan usaha pengolahan sagu basah (Rp)

TC=Total Biaya usaha pengolahan sagu basah (Rp)

b) Untuk hipotesis (2), dianalisis dengan menggunakan dasar perhitungan

sebagai berikut :

NT = NO – NI

Keterangan :

NT

= Nilai tambah usaha pengolahan sagu basah (Rp/Kg)

NO

= Nilai output usaha pengolahan sagu basah (Rp/Kg)

NI

= Nilai input usaha pengolahan sagu basah (Rp/Kg)

Kriteria uji : - NO > NI atau NT > 0, industri pembuatan sagu basah telah

memiliki nilai tambah.

- NO < NI atau NT < 0, industri pembuatan sagu basah tidak

memiliki nilai tambah.

Nilai output diperoleh dari :

NO =

Keterangan :

Y

= Jumlah sagu basah (Kg)

Hy

= Harga sagu basah (Rp/Kg)

JBB

= Jumlah bahan baku (Kg)

Dan nilai input diperoleh dari :

NI =

JBB

Hy

.

Y

JBB

lain

B

BB

+


(33)

Keterangan :

BB

= Biaya bahan baku (Rp)

B lain = Biaya lain-lain (Rp)

Adapun biaya bahan sagu basah diperoleh dari :

BB = Biaya Bahan Baku + biaya penunjang

Serta biaya lain-lain diperoleh dari :

B lain = BBB + BP + Bpny + BTK + BL

Keterangan :

BBB = Biaya bahan bakar usaha pengolahan sagu basah (Rp)

BP

= Biaya pemasaran (Rp)

BPny = Biaya penyusutan alat dan bangunan (Rp)

BTK = Biaya tenaga kerja (Rp)

BL

= Biaya listrik (Rp)

c) Untuk hipotesis (3) dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Break Even Point

(BEP) Produksi :

dan

Break Even Point

(BEP) dalam rupiah :

Keterangan :

a = Biaya Tetap usaha pembuatan sagu basah (Rp)

p = harga sagu basah (Rp/Kg)

b = Biaya Variabel usaha pembuatan sagu basah (Rp/Kg)

Kriteria uji : - TR > TC, industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah

melampaui titik impas.

p)

b/

-(1

a

b

-p


(34)

- TR < TC, industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian tidak

melampaui titik impas.

- TR = TC, indusri pembuatan sagu basah di daerah penelitian berada

pada titik impas.

Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman mengenai

pengertian tentang istilah-istilah dalam penelitian ini, maka dibuat defenisi dan

batasan operasional sebagai berikut :

Defenisi

1)

Analisis Finansial adalah suatu studi yang bertujuan untuk menilai apakah

suatu kegiatan investasi yang dijalankan tersebut layak atau tidak dijalankan

dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya

atau yang berkepentingan langsung dalam kegiatan investasi tersebut

(bersifat individual) dan tidak memperhatikan dampak atau efeknya dalam

perekonomian secara lebih luas (makro).

2)

Bahan baku adalah segala sesuatu atau bahan-bahan dasar yang dipakai

untuk memulai suatu produksi yang akan menghasilkan suatu produk yang

baru.

3)

Biaya produksi (

Total cost)

adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam

kegiatan produksi seperti biaya bahan baku, biaya bahan penunjang, biaya

tenaga kerja dan biaya penyusutan yang dikeluarkan pengusaha sampai

produk siap untuk dipasarkan.

4)

Kesempatan kerja adalah peluang bekerja bagi angkatan kerja dengan


(35)

5)

Nilai tambah (

value added)

adalah besarnya output suatu usaha setelah

dikurangi dengan pengeluaran atau biaya antaranya.

6)

Teknologi adalah penggunaan alat-alat produksi dan pengetahuan untuk

menghasilkan produk tertentu.

7)

Tenaga kerja adalah orang-orang yang bekerja dalam suatu industri.

8)

Titik impas (

Break Even Point

) adalah kondisi dimana total biaya sama

dengan total penerimaan.

9)

Pendapatan (

Income)

adalah total penerimaan yang diperoleh pengusaha

setelah dikurangi total biaya dalam satuan Rp/ton per tahun.

10)

Penerimaan (

Revenue)

adalah jumlah produksi dikali dengan harga yang

dihitung dalam satuan Rp/ton per tahun.

Batasan Operasional

1)

Sampel adalah industri pengolahan sagu yang terletak di daerah penelitian.

2)

Responden adalah pemilik dari industri pengolahan sagu yang terletak di

daerah penelitian.

3)

Waktu penelitian adalah tahun 2009.

4)

Daerah penelitian di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

5)

Industri pengolahan sagu yang diteliti adalah industri yang mengolah batang

sagu segar dengan teknologi tertentu sehingga menjadi produk olahan yang

dinamakan sagu basah.

6)

Jenis sagu yang diteliti adalah sagu basah yaitu pati yang diekstrak dari

batang sagu. Produk ini digunakan untuk pengolahan makanan, pakan,


(36)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN dan KARAKTERISTIK

PENGUSAHA SAMPEL

Deskripsi Daerah Penelitian

Luas dan letak geografis

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera

Utara . Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3º14’- 4º13’ Lintang

Utara, 97º52’- 98º45’ Bujur Timur dan 4 - 105 m dari permukaan laut. Kabuoaten

ini menempati area seluas ±6.263,29 Km² (626.329 Ha) yang terdiri dari 20

kecamatan dan 226 desa serta 34 kelurahan Definitif. Area Kabupaten Langkat di

sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka, di

sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, di sebelah barat berbatasan

dengan Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas, dan di sebelah timur berbatasan

dengan Kabupaten Deli Serdang.

Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Langkat, luas

daerah terbesar adalah kecamatan Bahorok dengan luas 955,10 km² atau 15,25 %

diikuti kecamatan Batang Serangan dengan luas 934.90 km² atau 14,93 %.

Sedangkan luas daerah terkecil adalah kecamatan Binjai dengan luas 49,55 km²

atau 0,79 % dari total luas wilayah Kabupaten langkat.

Seperti umumnya daerah-daerah lain yang berada di kawasan Sumatera

Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah

ini memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Kedua musim ini

biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan


(37)

Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk di Kabupaten Langkat adalah 1.027.414 jiwa yang

terdiri dari 513.651 jiwa laki-laki dan 513.763 jiwa perempuan. Distribusi

penduduk menurut suku bangsa dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2. Distribusi penduduk menurut suku bangsa di Kabupaten Langkat tahun

2007

No

Suku Bangsa

Jumlah Penduduk (Jiwa)

%

1

Jawa

584.290

56,87

2

Melayu

153.393

14,93

3

Karo

105.002

10,22

4

Tapanuli/Toba

46.234

4,50

5

Madina

26.096

2,54

6

Lainnya

112.399

10,94

Jumlah

1.027.414

100

Sumber : BPS Kabupaten Langkat (2007)

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kabupaten Langkat

mayoritas bersuku Jawa yaitu sebanyak 584.290 jiwa (56,87%). Kemudian diikuti

olae penduduk yang bersuku Melayu sebesar 153.393 jiwa (14,93 %). Dan yang

paling sedikit adalah suku Madina yaitu berjumlah 26.096 jiwa (2,54%).

Distribusi penduduk menurut agama di Kabupaten Langkat didominasi

oleh penganut agama Islam yaitu sebesar 924.673 jiwa atau sebesar 90 %. Diikuti

oleh penduduk yang menganut agama kristen Protestan sebesar 77.672 jiwa atau

sebesar 7,56 %. Dan yang paling sedikit adalah penduduk yang beragama Hindu

yaitu sebesar 925 jiwa atau sebesar 0,09 %. Distribusi penduduk menurut agama


(38)

Tabel 3. Distribusi penduduk menurut agama di Kabupaten Langkat tahun 2007

No

Agama yang dianut

Jumlah (jiwa)

%

1.

Islam

924.673

90,00

2.

Kristen Protestan

77.672

7,56

3.

Katholik

10.891

1,06

4.

Hindu

925

0,09

5.

Budha

9.760

0,95

6.

Lainnya

3.493

0,34

Jumlah

1.027.414

100

Sumber : BPS Kabupaten Langkat (2007)

Distribusi ketenagakerjaan ditinjau dari jumlah pencari kerja di Kabupaten

Langkat sebanyak 2.772 orang, yang terdiri dari 1.220 tenaga kerja laki-laki dan

1.552 tenaga kerja perempuan. Dari data di Balai Pusat Statistik BPS dapat

diketahui bahwa pencari kerja terbanyak adalah di tingkat pendidikan SLTA

umum/kejuruan/lainnya yaitu sebanyak 1.663 orang. Diikuti oleh pencari kerja di

tingkat sarjana sebesar 498. Dan yang paling sedikit adalah di tingkat pendidikan

Sekolah Dasar sebanyak 62 orang.

Ini menunjukkan masih banyaknya angka pengangguran di Kabupaten

Langkat. Dan para pencari kerja tersebut berasal dari tingkat pendidikan yang

berbada-beda, dimulai dari yang paling rendah yaitu SD sampai pada tingkat

sarjana. Distribusi pencari kerja menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada


(39)

Tabel 4. Distribusi Pencari Kerja di Kabupaten Langkat tahun 2007

No

Tingkat Pendidikan

Jumlah (orang)

1

SD

62

2

SLTP umum/sederajat

140

3

SLTA umum/kejuruan/lainnya

1.663

4

Sarjana

498

5

DII/DIII

409

Jumlah

2.772

Sumber : BPS Kabupaten Langkat (2007)

Fasilitas Umum

Fasilitas umum di Kabupaten Langkat saat ini telah cukup memadai. Hal

ini dapat dilihat dari jenis-jenis fasilitas umum yang tersedia baik fasilitas

pendidikan yang terdiri tingkat yang paling rendah yaitu sekolah TK sampai

dengan SMA. Fasilitas kesehatan terdiri dari Rumah Sakit Umum, Puskesmas,

Puskesmas Pembantu, dan Posyandu. Fasilitas perhubungan mencakup

perhubungan darat. Fasilitas peribadatan yang ada sesuai dengan agama-agama

yang dianut oleh masyarakat di Kabupaten Langkat. Keadaan fasilitas umum di

Kabupaten Langkat dapat dilihat pada tabel di bawah ini :


(40)

Tabel 5. Fasilitas Umum di Kabupaten Langkat tahun 2007

Sumber : BPS Kabupaten Langkat (2007)

Karakteristik Sampel

Karakteristik pengusaha

Yang termasuk dalam karakteristik sampel dalam penelitian ini yaitu

pengusaha pembuatan sagu basah diantaranya adalah umur pengusaha, tingkat

pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan status kepemilikan gedung. Dari

data di lapangan dapat dilihat bahwa rata-rata luas gedung yang digunakan

pengusaha untuk usaha pembuatan sagu basah adalah 0,165 Ha. Hal ini

menunjukkan bahwa pengusaha memiliki lahan untuk mengembangkan usaha

pembuatan sagu basah.

Rata-rata umur pengusaha pembuatan sagu basah adalah 44,5 tahun. Hal

ini menunjukkan juga bahwa secara umum pengusaha di daerah penelitian masih

tergolong usia produktif sehingga dapat dikatakan pula di daerah penelitian masih

1

Fasilitas Pendidikan

a.

TK

44

b.

SD

610

c.

SLTP

137

d.

SLTA

62

e.

SMK

45

2

Fasilitas Kesehatan

a.

Rumah Sakit Umum

3

b.

Puskesmas

28

c.

Puskesmas Pembantu

146

d.

Posyandu

1256

3

Perhubungan

a.

Transportasi darat

572

4

Fasilitas Peribadatan

a.

Mesjid

974

b.

Musholla

909

c.

Gereja Protestan

232

d.

Gereja Katolik

69

e.

Kuil

4


(41)

memiliki tenaga kerja yang potensial untuk mengusahakan usaha pembuatan sagu

basah. Rata-rata pendidikan yang dimiliki oeh pengusaha adalah 14,5 tahun yang

menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan terakhir pengusaha adalah SMA atau

DII. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki oleh pengusaha adalah 5

jiwa. Jumlah tanggungan yang masih dalam usia produktif masih bisa

dimanfaatkan untuk membantu proses pembuatan sagu basah terutama penyediaan

tenaga kerja dalam keluarga. Tetapi kenyataannnya, pengusaha di Kabupaten

Langkat hanya menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Karakteristik

pengusaha sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 6. Karakteristik Pengusaha Sampel di Kabupaten Langkat

No Uraian

Satuan

Rataan

1

Umur pengusaha

Tahun

44,5

2

Tingkat pendidikan

Tahun

14,5

3

Jumlah tanggungan

Jiwa

5

4

Luas gedung usaha

Hektar

0,165

Sumber : Analisis Data Primer (lampiran 1)

Karakteristik Industri

Yang termasuk dalam karakteristik industri pembuatan sagu basah dalam

penelitian ini diantaranya adalah umur usaha, luas bangunan, jumlah batang sagu

yang diolah olah pabrik, volume produksi, biaya yang dikeluarkan, dan

pendapatan yang diperoleh. Karakteristik industri tersebut dapat dilihat pada tabel


(42)

Tabel 7. Karakteristik industri pembuatan sagu basah di Kabupaten Langkat

No

Uraian

Satuan

Rata-rata

1

Umur usaha

Tahun

7

2

Luas bangunan

Hektar

0,165

3

Jumlah batang sagu yang diolah

Meter

2.939

4

Volume produksi

Kilogram

42.040

5

Biaya yang dikeluarkan

Rupiah

34.190.965,32

6

Penerimaan yang diperoleh

Rupiah

51.963.750,00

7

Pendapatan yang diperoleh

Rupiah

17.772.784,68

Sumber : Analisis Data Primer (lampiran 1)

Dari tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa jumlah batang sagu yang diolah

oleh pabrik rata-rata 2.939 meter batang sagu per bulan dengan volume produksi

rata-rata 42.040 kg per bulan. Ini menunjukkan bahwa dalam 2.939 meter batang

sagu mengandung pati sebanyak 42.040 kg.

Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh para pengusaha adalah sebesar

Rp 34.190.965,32 per bulan dan diperoleh penerimaan rata-rata sebesar

Rp 51.963.750,00 per bulan. Ini menunjukkan bahwa usaha pembuatan sagu

basah tersebut telah memiliki keuntungan, yaitu sebesar Rp 17.772.784,68 per

bulan.


(43)

HASIL dan PEMBAHASAN

Kelayakan Usaha Secara Finansial Industri Pembuatan Sagu Basah

Kelayakan finansial diperoleh dengan menganalisis perolehan keuntungan

usaha. Untuk itu, terlebih dahulu diperlukan perhitungan dari

cash flow

yang

berisi semua data total penerimaan yang diterima dan total biaya yang

dikeluarkan. Berikut adalah hasil dan pembahasan dari perhitungan total biaya

dan total penerimaan serta kelayakannya dari sampel di daerah penelitian.

Biaya produksi menurut tahapan proses pembuatan sagu basah

Biaya produksi adalah nilai korbanan yang dikeluarkan selama proses

produksi berlangsung untuk menghasilkan suatu produk dalam satu kali produksi.

Biaya produksi terdiri dari biaya tetap yaitu biaya yang nilainya tetap sampai pada

batas tertentu dan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya volume hasil. Sedangkan

biaya variabel adalah biaya yang nilainya berubah sesuai dengan volume produk

yang dihasilkan.

a.

Biaya tetap

Komponen biaya tetap dalam pembuatan sagu basah adalah biaya

penyusutan peralatan dan bangunan, biaya pajak serta biaya listrik.

Biaya penyusutan peralatan

Adapun alat-alat yang digunakan dalam pembuatan sagu basah adalah

kampak, mesin penggerak, mesin pemarut, pompa air, saringan kasar, saringan

halus. Biaya penyusutan peralatan dihitung dengan metode garis lurus (

straight

line method)

yaitu pembagian nilai awal setelah dikurangi nilai akhir oleh waktu


(44)

D =

Keterangan :

D = Depresiasi

w

HA

= Nilai awal barang

k

HA

= Nilai akhir barang

WP = Waktu pakai

Dengan metode ini nilai penyusutan akan selalu sama sepanjang tahun per

setiap siklus produksi. Untuk lebih jelasnya, rata-rata biaya penyusutan peralatan

yang dikeluarkan untuk setiap peralatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8. Biaya penyusutan peralatan pembuatan sagu basah

No

Tahapan

Pakerjaan

Nama Alat

Biaya Total Penyusutan (Rp)

1.

Pembelahan

Kampak

4.250,00

2.

Pemarutan

*Mesin

penggerak

*Mesin pemarut

770.000,00

337.500,00

3.

Penyaringan,

pengadukan,

dan

pengendapan

*Pompa air

*saringan kasar

*Saringan halus

65.000,00

166.666,67

33.333,33

Total

1.376.749,99

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 3), 2009

Dari tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa biaya penyusutan terbesar

dalam setahun adalah pada mesin penggerak dalam tahapan pemarutan yaitu

sebesar Rp 770.000,-/tahun sedangkan yang terendah adalah pada kampak dalam

tahapan pembelahan sebesar Rp 4.250,-/tahun.

Biaya penyusutan bangunan

Proses pembuatan sagu basah memerlukan gedung yang memiliki biaya

penyusutan. Perhitungannya menggunakan metode garis lurus yang sama dengan

perhitungan penyusutan peralatan. Biaya penyusutan yang dikeluarkan oleh

WP

w

HA

K


(45)

pabrik pembuatan sagu basah rata-rata sebesar Rp 694.417,- per tahun dengan

umur ekonomis selama 15 tahun (Lampiran 4).

Biaya pajak

Biaya pajak ini tidak semua pabrik pembuatan sagu basah yang ada di

Kabupaten Langkat mengeluarkannya. Hanya pabrik sagu basah Usaha Bersama

yang mengeluarkan biaya pajak, yaitu berupa pajak bangunan sebesar Rp 50.000

per tahun. Pabrik ini merupakan pabrik berskala industri kecil sehingga biaya

pajaknya tidak terlalu besar (Lampiran 5).

Biaya listrik

Pabrik sagu menggunakan alat penerang yang bertenaga listrik. Biaya

listrik yang dikeluarkan dalam pembuatan sagu basah rata rata sebesar

Rp 50.000,- per bulan untuk sampel 1 dan Rp 80.000,- per bulan untuk sampel 2

(Lampiran 5).

b.

Biaya variabel

Komponen biaya variabel dalam usaha pembuatan sagu basah adalah

biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya bahan bakar, biaya pengemasan, dan

biaya transportasi. Untuk bahan penunjang air tidak mengeluarkan biaya karena

sebagian pabrik menggunakan sumur bor dan sebagian yang lain menggunakan air

dari sungai langsung.

Biaya bahan baku

Pada pembuatan sagu basah ini bahan baku utama yang digunakan adalah

batang sagu. Harga batang sagu rata-rata per meter adalah Rp 7.750,-.

Biaya

bahan baku rata-rata dikeluarkan sebesar Rp 23.011.250,- per bulan dan


(46)

Biaya tenaga kerja

Dalam proses pembuatan sagu basah ini memerlukan 3 orang tenaga kerja

setiap harinya, yaitu sebagai pembelah, pemarut, dan terakhir penyaring serta

pengaduk. Namun, pada saat pembongkaran diperlukan 4 orang pekerja sehingga

harus ditambah 1 orang pekerja lagi. Tenaga kerja ini semua berjenis kelamin

laki-laki dengan upah rata-rata sebesar Rp 1.360.000,- per bulan dengan jam kerja

dimulai pada pukul 08.00 sampai 18.00 WIB dan istirahat makan siang pukul

12.00 sampai 14.00 WIB (Lampiran 5).

Biaya bahan bakar

Ada 2 jenis bahan bakar yang digunakan dalam pembuatan sagu basah ini,

yaitu solar dan minyak tanah. Bahan bakar digunakan untuk menggerakkan mesin

penggerak. Untuk bahan bakar solar digunakan 10 liter per hari dan minyak tanah

25 liter per hari. Rata-rata biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan sagu basah

untuk solar adalah sebesar Rp 1.364.583,- per bulan dan Rp16.375.000,- per

tahun. Dan untuk bahan bakar minyak tanah, rata-rata biaya yang dikeluarkan

adalah sebesar Rp 2.833.333,- per bulan dan Rp 34.000.000

,

- per tahun

(Lampiran 5).

Biaya Pengemasan

Pada tahapan ini dikeluarkan biaya yang berupa pembelian kemasan, yaitu

goni dan tali plastik. Rata-rata biaya ini dikeluarkan sebesar Rp 874.500,- per

bulan dan Rp 10.494.000,- per tahun (Lampiran 5).

Biaya Transportasi

Biaya transportasi dikeluarkan pada tahap pemasaran yaitu rata-rata


(47)

Penerimaan pada industri pembuatan sagu basah

Penerimaan adalah nilai rupiah dari total produksi yang dihasilkan atau

merupakan hasil perkalian antara produksi fisik dengan harga penjualan. Dalam

hal ini perkalian antara produksi sagu basah dengan harga jual sagu basah.

Penerimaan dari penjualan sagu basah di daerah penelitian diperoleh responden

setiap ±seminggu sekali. Ini dikarenakan pembongkaran dilakukan setelah sagu

diendapkan selama ±seminggu. Berikut penerimaan rata-rata responden per bulan

dan per tahun di daerah penelitian :

Tabel 10. Penerimaan pada industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian

per responden

No

Produksi

Harga

Jual

Penerimaan

Kg/Bulan

Kg/Tahun

Rp/Kg

Rp/Bula/n

Rp/Tahun

1

2

41.804,17

42.275,00

501.650

507.300

1.216

1.258

50.808.750

53.118.750

609.705.000

637.425.000

Total

Rata-rata

84.079,17

42.039,59

1.008.950

504.475

2.475

1.237

103.927.400

51.963.700

1.247.130.000

623.565.000

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 5), 2009

Dari Tabel 10 di atas diketahui bahwa rata-rata produksi sagu basah yang

dihasilkan para responden setiap bulannya adalah 42.039,59 kg dan setiap

tahunnya adalah 504,475 kg dengan harga jual rata-rata Rp 1.237,-/kg maka akan

diperoleh penerimaan sebesar Rp 51.963.700,- per bulan dan Rp 623.565.000,-

per tahun. Tinggi rendahnya penerimaan responden ini sangat dipengaruhi oleh

harga jual dan jumlah produksi sagu basah yang mampu dihasilkan. Semakin

tinggi harga jual dan jumlah produksi yang dihasilkan maka akan semakin tinggi


(48)

Pendapatan bersih dan analisis NPV pada industri pembuatan sagu basah

Pendapatan bersih pengusaha merupakan total penerimaan dikurangi total

biaya produksi. Pendapatan bersih pengusaha dipengaruhi oleh nilai produksi dan

besarnya total biaya produksi. Rata-rata pendapatan yang diperoleh dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :

Tabel 11. Pendapatan pada industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian per

responden

No

Penerimaan

Total Biaya

Pendapatan

Rp/Bulan

Rp/Tahun

Rp/Bulan

Rp/tahun

Rp/Bulan

Rp/Tahun

1

2

50.808.750

53.118.750

609.705.000

637.425.000

32.766.465

35.615.465

393.197.584

427.385.583

18.042.284

17.503.285

216.507.415

210.039.416

Total

Rataan

103.927.500

51.963.750

1.247.130.000

623.565.000

68.373.597

34.186.798

820.483.167

410.241.583

35.553.302

17.776.651

426.646.832

213.323.416

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 5), 2009

Dari tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh

oleh para pengusaha adalah rata-rata sebesar Rp 18.042.284,- per bulan dan

sebesar Rp 216.507.415,- per tahun untuk sampel 1, dan untuk sampel 2 rata-rata

pendapatan yang diperoleh adalah Rp 17.503.285,- per bulan serta

Rp 210.039.416,- per tahun (dapat dilihat pada lampiran 5). Artinya total

pendapatan pengusaha pembuatan sagu basah menguntungkan.

Dari hasil perhitungan ini juga dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan

pendapatan antara sampel 1 dan sampel 2 walaupun kapasitas mesin yang

digunakan sama. Ini dikarenakan perbedaan dari biaya yang dikeluarkan oleh

pengusaha dan kandungan pati sagu yang diperoleh. Data ini dapat dilihat pada

lampiran 5.

Kelayakan finansial dianalisis dengan menggunakan metode analisis

finansial yaitu dengan kriteria investasi

net present value

(NPV) yang


(49)

selama umur investasi. Dikatakan suatu usaha layak untuk dikembangkan adalah

apabila hasil akhir dari nilai bersih sekarang (NPV) lebih besar dari nol atau

bernilai positif. Dan jika lebih kecil dari nol maka usaha tersebut tidak layak

untuk dilanjutkan atau ditolak.

Untuk mendapatkan nilai NPV tersebut diperlukan data tentang aliran kas

yang diramalkan selama lima tahun. Peramalan dilakukan dengan menyesuaikan

indeks harga konsumen dan mempertimbangkan trend inflasi dari lima tahun

terakhir. Dan untuk biaya tenaga kerja dapat disesuaikan dengan rata-rata

perubahan upah minimum regional Sumatera Utara dari lima tahun terakhir, yaitu

sebesar 10,17%. Peramalan ini diperlukan karena tidak adanya pencatatan yang

baik pada tahun-tahun sebelumnya sehingga data-data yang diperlukan dalam

peramalan tidak ada. Adapun aliran kas yang dapat diperoleh selama lima tahun

terakhir adalah sebagai berikut :

Tabel 12. Aliran kas pada industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian

Tahun

Biaya ( C )

Penerimaan (B)

B – C

(Rp)

(Rp)

(Rp)

1

2

3

4

5

410.291.583

478.736.094

576.767.169

627.748.888

686.579.496

623.565.000

859.245.552

850.515.426

843.672.399

836.166.221

213.273.416

380.509.458

273.748.256

215.923.511

149.586.725

Total

2.780.123.232

4.013.164.600

1.233.041.367

Rata-rata

556.024.646

802.632.920

246.608.273

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 5), 2009

Dari tabel 12 di atas dapat diketahui rata-rata aliran kas yang diperoleh

oleh pengusaha pembuatan sagu basah selama 5 tahun mendatang setelah di

ramalkan adalah pendapatan bersihnya rata-rata mencapai Rp 246.608.273,- per


(50)

dan peneriman yang diperoleh rata-rata sebesar Rp 802.632.920,- per tahunnya.

Ini menunjukkan bahwa untuk lima tahun mendatang usaha pembuatan sagu

basah ini masih menguntungkan.

Setelah diketahui aliran kas yang berlaku pada perusahaan pembuatan

sagu basah tersebut, maka nilai NPV yang diperlukan untuk menilai kelayakan

dari usaha tersebut dapat diperoleh dengan mengkonversikan ke dalam bentuk

nilai sekarang yaitu menggunakan

discount factor

yang nilainya sebesar 9,5 %.

Adapun nilai NPV yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Tabel 13.Nilai rata-rata NPV dari pengusaha pembuatan sagu basah

No sampel

Nilai NPV

1

1.113.505.423

2

818.007.484

Total

1.931.512.907

Rataan

965.756.453

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 6), 2009

Dari tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa total nilai NPV adalah

1.931.512.907 dan rataan nilai NPV adalah 965.756.453. Berdasarkan kriteria

kelayakan (secara finansial) bahwa NPV 965.756.453 >0, maka pengembangan

usaha pembuatan sagu basah layak dikembangkan di daerah penelitian

(Kabupaten Langkat). Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 yang menyatakan

industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah layak diusahakan secara

finansial diterima.

Nilai Tambah (

Value added

) Produk yang Diperoleh dari Industri

Pembuatan Sagu Basah

Nilai tambah adalah peningkatan nilai dari pengolahan bahan baku


(51)

yang dihitung dalam rupiah per kilogram bahan baku yang digunakan. Nilai

output yang dimaksud adalah hasil kali dari jumlah barang jadi dengan harga

jualnya dan dibagi dengan jumlah bahan baku yang dipergunakan. Nilai input

adalah jumlah biaya bahan (bahan baku dan bahan penunjang) dan biaya lain-lain

yaitu biaya penyusutan alat dan bangunan, biaya tenaga kerja langsung, biaya

bahan bakar, biaya pajak, biaya listrik, biaya pemasaran (pengemasan dan

transportasi), dan biaya sarana produksi dibagi dengan jumlah bahan baku yang

digunakan.

Industri ini menggunakan bahan baku dalam satuan meter sehingga perlu

dikonversikan ke dalam satuan kilogram untuk menganalisis nilai tambahnya.

Dalam hal ini diasumsikan semua jenis sagu yang digunakan pengusaha sagu

basah mempunyai berat rata-rata sebesar 25 kg per meter batang sagu. Dan

diperolehlah 70.000 kg per bulan untuk sampel 1 serta 80.000 kg per bulan untuk

sampel 2.

Dalam hal ini, suatu perusahaan dikatakan telah memiliki nilai tambah

dalam produksinya adalah apabila nilai output yang dihasilkan lebih besar

daripada nilai inputnya. Dengan kata lain, hasil dari selisih nilai output dan input

bernilai positif. Berikut rata-rata nilai tambah industri pembuatan sagu basah di

daerah penelitian tahun 2009:

Tabel 14. Rata-rata nilai tambah pada industri pembuatan sagu basah di daerah

Penelitian

Sampel

Nilai Output(Rp/Kg)

Nilai Input (Rp/Kg)

Nilai Tambah (Rp/Kg)

1

756,00

450,70

305,30

2

593,75

422,41

171,34

Total

1.349,75

873,11

476,64

Rata-rata

674,88

436,56

238,32


(52)

Dari Tabel 11 di atas diketahui bahwa rata-rata nilai tambah yang

dihasilkan dari 1 kg batang sagu (lampiran 7) menjadi sagu basah adalah sebesar

Rp 238,32,-/kg. Data ini menunjukkan bahwa nilai produk yang dihasilkan dari

pembuatan sagu basah lebih besar dari nilai output dan nilai inputnya. Dengan

demikian hipotesis 2 yang menyatakan bahwa industri pembuatan sagu basah di

daerah penelitian telah memiliki nilai tambah (

value add

) adalah dapat diterima.

Analisis Titik Impas dari Industri Pembuatan Sagu Basah

Analisis titik impas pada industri pembuatan sagu basah ini dihitung dalam

dua aspek, yaitu dari aspek volume produksi dan dari aspek jumlah biaya yang

dikeluarkan (dalam rupiah). Berikut adalah hasil dan pembahasan dari analisis

titik impas dari aspek volume produksi dan aspek jumlah biaya yang dikeluarkan:

a) BEP (

Break Even Point

) produksi

Volume produksi adalah jumlah produk yang dihasilkan dalam satu kali

proses produksi. Untuk mengetahui volume produksi industri pembuatan sagu

basah dalam keadaan BEP (

Break Even Point

) yang digunakan sebagai ukuran

bagi pengusaha dalam mendapatkan keuntungan yang diharapkan adalah dengan

menggunakan formula TR=TC. Berikut volume produksi dalam keadaan BEP

pada industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian.

Tabel 15. Rata-rata biaya produksi, harga jual dan BEP produksi pada industri

pembuatan sagu basah di daerah penelitian

No.

Biaya Tetap

(Rp)

Biaya Variabel Per Kg

(Rp)

Harga Jual

(Rp/Kg)

BEP Produksi

(Kg)

1

2

296.673,61

231.298,61

708,68

883,18

1.200

1.250

603,83

630,56

Total

Rataan

527.972,22

263.986,11

1.591,86

795,93

2.450

1.225

1.234,39

617,19


(53)

Berdasarkan Tabel 14 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata harga jual sagu

basah adalah sebesar Rp 1.225,-/kg. Dan diketahui bahwa volume produksi sagu

basah yang dihasilkan responden telah melampaui titik impas produksi (

Break

Even Point

Produksi), dimana rata-rata BEP Produksi per satu kali proses

produksi sebesar 617,19 kg. Artinya titik impas produksi akan diperoleh jika

rata-rata responden dapat memproduksi sagu basah sebanyak 617,19 kg per satu kali

proses produksi. Berdasarkan keterangan tersebut maka volume produksi pada

industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah melampaui titik impas,

karena para pengusaha rata-rata telah memproduksi sebesar ± 1470 kg per satu

kali proses produksi. Maka hipotesis 3 yang menyatakan industri pembuatan sagu

basah di daerah penelitian telah melampaui titik impas diterima.

b) BEP (

Break even point)

dalam rupiah

Break even point

dalam rupiah merupakan titik impas yang dilihat dari

segi jumlah biaya yang dikeluarkan. Dalam suatu usaha perlu diketahui jumlah

biaya yang dikeluarkan dalam keadaan BEP yang dapat digunakan sebagai

indikator untuk menentukan jumlah produksi dan jumlah biaya, apakah perlu

ditingkatkan atau tidak.

Formula yang digunakan sama dengan formula BEP produksi yaitu

TR=TC, tetapi dikalikan dengan p (harga jual per kg). Berikut biaya produksi dan


(1)

Biaya Variabel per kg 708.68 Biaya Variabel per kg 883.18

BEP Produksi 603.83 BEP Produksi 630.56


(2)

Lampiran 9. Proses Pembuatan Sagu Basah

Adapun tahapan kerja pembuatan sagu basah adalah sebagai berikut : 1) Penyediaan bahan baku

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan sagu basah adalah batang sagu segar. Batang sagu tersebut dibeli dalam ukuran meter dengan harga Rp 7.500 - 8.000,-per meter yang diperoleh dari beberapa kecamatan di Kabupaten Langkat, yaitu Kecamatan Bahorok, Salapian, Kuala, Wampu, Selesei, dan Binjai. Tiap 1 meter batang sagu umumnya menghasilkan ± 8-15 kg sagu basah.

Bahan penunjang dalam pembuatan sagu basah ini adalah air yang diperoleh dari sumur bor dan sungai di sekitar pabrik sehingga tidak dikeluarkan biaya untuk memperoleh air. Pasokan batang sagu setiap satu bulan sekitar 2.728-3.150 m batang sagu tergantung dari kadar tepung yang dihasilkan.


(3)

2) Pembelahan

Batang sagu tersebut kemudian dibelah dengan menggunakan kampak kira-kira berdiameter 10 cm. Tahapan ini dikerjakan oleh satu orang pekerja.

Pembelahan

3) Pemarutan

Batang sagu yang sudah dibelah kemudian diparut dengan cara memasukkan belahan batang sagu tersebut ke dalam mesin pemarut. Hasil parutan ini disebut dengan bubur sagu. Kegiatan ini dilakukan oleh satu orang pekerja.


(4)

4) Penyaringan, pengadukan dan Pengendapan

Bubur sagu tersebut disaring terlebih dahulu dengan saringan kasar yang digerakkan oleh mesin penggerak dan dibantu dengan semprotan air. Dari hasil

penyaringan, sagu jatuh ke bak penampungan sedangkan ampas sagu kasar yang tertinggal di saringan tersebut akan terbuang ke bak penampungan ampas. Kemudian sagu hasil saringan kasar tersebut disaring kembali dengan saringan halus sambil diaduk dan dibantu juga dengan aliran air.

Pati hasil saringan halus tersebut kemudian ditampung dalam bak penampungan dan diendapkan. Proses penyaringan di saringan halus tidak menggunakan tenaga dari mesin penggerak tetapi menggunakan tenaga manusia yang dilakukan oleh satu orang pekerja. Endapan yang diperoleh inilah yang disebut dengan sagu basah. Pengendapan ini dilakukan selama ± 7 hari untuk menunggu bak pengendapan sampai terisi penuh. Hasil endapan sagu basah tersebut kemudian dikemas dan siap untuk dipasarkan.

Rangkaian proses pengolahan batang sagu menjadi sagu basah tersebut diselesaikan dalam waktu satu hari. Proses pengolahan ini dilakukan setiap hari sehingga dalam seminggu frekuensi pengolahannya sebanyak 7 kali. Jadi, jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam proses pengolahan ini sebanyak 4 orang.


(5)

5) Pembongkaran

Pembongkaran sagu basah dilakukan dengan cara membuang cairan di atas endapan dalam jangka waktu seminggu sekali dengan menyerap 3 orang pekerja. Dengan demikian, sagu basah ini dapat dipasarkan ± seminggu sekali.

Pembongkaran

6) Pengemasan

Sagu basah tersebut dikemas ke dalam goni berukuran besar yaitu dengan muatan 100 kg. Setelah selesai dimasukkan lalu goni dijahit dengan tali plastik dan siap untuk dipasarkan.


(6)

7) Pemuatan

Sagu basah yang telah dikemas tersebut selanjutnya dimuat ke truck pengangkut untuk dipasarkan. Dalam tahapan ini dapat menyerap 4 orang pekerja dengan upah Rp 10.000,- per orang.