Analisis Daerah Sel Jaringan Universal Mobile Telecommunication Service (UMTS) Ditinjau Dari Arah UPLINK

(1)

TUGAS AKHIR

ANALISIS DAERAH CAKUPAN SEL JARINGAN

UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SERVICE

(UMTS) DITINJAU DARI ARAH UPLINK

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan

sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro

Oleh

ADHITYA TRI ANANDA NASUTION

NIM : 030402054

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS DAERAH CAKUPAN SEL JARINGAN UNIVERSAL MOBILE

TELECOMMUNICATION SERVICE (UMTS) DITINJAU DARI ARAH

UPLINK

Oleh:

ADHITYA TRI ANANDA NASUTION

NIM : 030402054

Tugas Akhir ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana Teknik Elektro

Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing,

Ir. M. NATSIR AMIN, MM

NIP : 130365317

Diketahui oleh:

Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU,

Ir. NASRUL ABDI, MT

NIP : 131459555

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Daya transmisi

user equipment

(UE) yang terbatas, rugi propagasi dan

interferensi yang dialami sinyal informasi dapat mempengaruhi level daya terima

minimal yang diinginkan pada Node B (pada jaringan UMTS, Node B merujuk pada

Base Transceiver Station

sedangkan UE merujuk pada

Mobile Station). Jika batas

daya terima minimal tidak terpenuhi maka sinyal informasi tidak dapat dideteksi oleh

Node B dan komunikasi tidak akan dapat dilakukan.

Analisis daerah cakupan sel dilakukan dengan menghitung rugi propagasi

maksimal yang diizinkan (maximum allowable pathloss) untuk jumlah pelanggan

aktif dalam sel dan faktor penyebaran yang bervariasi. Dengan menggunakan nilai

rugi propagasi tersebut dapat diperkirakan jarak maksimal yang dizinkan antara UE

dengan Node B. Jarak tersebut menjadi perkiraan daerah cakupan satu sel jaringan

UMTS.

Dari analisis diketahui bahwa semakin banyak pelanggan aktif dalam satu sel

menyebabkan jarak maksimal antara UE dengan Node B akan semakin dekat dan

semakin besar faktor penyebaran yang digunakan dalam transmisi sinyal informasi

menyebabkan jarak maksimal antara UE dengan Node B akan semakin jauh.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini, dengan

judul

“Analisis Daerah Cakupan Sel Jaringan Universal Mobile Telecommunication

Services (UMTS) Ditinjau Dari Arah Uplink”.

Penulisan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknik di Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas

Sumatera Utara.

Selama masa perkuliahan, Penulis banyak menerima bimbingan dan

dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibunda (Almh) Fifin Hayati Harahap dan Ayahanda Hasanuddin Nasution yang

tidak terhitung cinta dan kasih sayangnya, yang telah mendidik, membimbing,

mendukung dan selalu mendoakan Penulis.

2. Kakanda Adriansyah Nasution, SE, Fadlin Hardian Nasution, SE dan Adinda

Dewinta Handayani Nasution

yang selalu memberikan dukungan dan

menanyakan kapan Penulis wisuda.

3. Bapak Ir. M. Natsir Amin, MM selaku Dosen Pembimbing tugas akhir Penulis

yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya memberikan bimbingan

dan pengarahan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Bapak Ir. Nasrul Abdi, MT dan Bapak Rachmad Fauzi, ST, MT selaku Ketua dan

Sekretaris Departemen Teknik Elektro FT USU.


(5)

5. Bapak Ir. Sumantri Zulkarnain, selaku Dosen Wali Penulis yang senantiasa

memberikan bimbingan selama perkuliahan.

6. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai di Departemen Teknik Elektro FT USU.

7. Teman-teman angkatan 2003; Soli (terima kasih atas pinjaman laptop-nya), Jamil

(terima kasih atas pinjaman printer-nya), Gusti, Bayu, Tedy, Aan, Tigor, Dika,

Emil, Ewin, Paniel, Johan, Widi, Nora, Kotul, Ardi, Mualim, Boby, Eno, Horas,

Gea dan teman-teman lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

8. Abang-abang senior dan adik-adik junior Teknik Elektro FT USU yang telah

menemani dan memberikan bantuan pada Penulis selama menjalani perkuliahan.

9. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna dan

masih banyak kekurangan. Namun Penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat

bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan, Maret 2009

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... 1

DAFTAR TABEL... 3

DAFTAR GAMBAR ... 4

BAB I PENDAHULUAN ... 6

1.1 Latar Belakang ... 6

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penulisan... 7

1.4 Batasan Masalah ... 7

1.5 Metode Penulisan ... 8

1.6 Sistematika Penulisan ... 9

BAB II

UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SERVICES... 11

2.1 WCDMA ... 11

2.1.1 Alokasi Pita Frekuensi Untuk WCDMA ... 11

2.1.2 Skema Akses Jamak... 12

2.1.3 Transmisi Spektrum Tersebar ... 15

2.1.4 Proses Penyebaran pada WCDMA ... 20

2.1.5 Kanal Data Fisik Dan Kanal Kontrol Fisik (Physical Data Channel And

Physical Control Channel)... 22


(7)

2.1.5.2 DPDCH dan DPCCH Pada Arah

Downlink... 24

2.1.6 Kontrol Daya (Power Control) ... 25

BAB III PROPAGASI GELOMBANG RADIO DAN ANALISIS DAERAH

CAKUPAN SEL JARINGAN UMTS ... 27

3.1 Propagasi Ruang Bebas (Free Space Propagation)... 27

3.2 Pantulan, Pembelokan dan Hamburan (Reflection, Diffraction and Scattering)

... 28

3.3 Model Propagasi Radio COST 231 Hata ... 30

3.4 Analisis Daerah Cakupan Sel Jaringan UMTS ... 32

BAB IV PERHITUNGAN DAERAH CAKUPAN SATU SEL PADA JARINGAN

UMTS... 37

4.1 Perhitungan Batas Maksimal Jumlah Pelanggan Aktif Dalam Satu Sel ... 37

4.2 Perhitungan Jarak Maksimal Antara UE Dengan Node B ... 39

BAB V PENUTUP... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran... 43


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Laju data DPDCH (uplink) ... 24

Tabel 2.2 Laju data DPDCH (downlink)... 25

Tabel 4.1 Parameter perhitungan batas maksimal jumlah pelanggan aktif... 37


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alokasi frekuensi 2 GHz ... 12

Gambar 2.2 Skema akses jamak FDMA ... 13

Gambar 2.3 Skema akses jamak TDMA... 14

Gambar 2.4 Skema akses jamak CDMA... 14

Gambar 2.5 Proses

spreading

... 15

Gambar 2.6 Proses

despreading... 15

Gambar 2.7 Proses penyebaran pada pelanggan jamak ... 16

Gambar 2.8 Perolehan kembali sinyal pelanggan ... 18

Gambar 2.9 Sinyal pelanggan tidak dapat diperoleh kembali... 18

Gambar 2.10 Sinyal spektrum tersebar lebih tahan terhadap derau... 20

Gambar 2.11 Dua tahap penyebaran pada WCDMA... 21

Gambar 2.12 Pengunaan kode PN dan OVSF ... 21

Gambar 2.13 Struktur frame DPDCH dan DPCCH pada arah

uplink

... 23

Gambar 2.14 Struktur frame DPDCH dan DPCCH pada arah

downlink... 24

Gambar 2.15 Fenomena

near-far-effect

dan aplikasi kontrol daya pada arah

uplink

26

Gambar 3.1 Propagasi

Line-of-sight

(LOS) ... 27

Gambar 3.2 Pemantulan gelombang radio ... 29

Gambar 3.3 Pembelokan gelombang radio ... 29

Gambar 3.4 Hamburan gelombang radio ... 30

Gambar 3.5 Sel jaringan UMTS ... 32


(10)

Gambar 4.1 Grafik jumlah maksimal pelanggan dalam satu sel jaringan UMTS

sebagai fungsi dari faktor layanan... 38

Gambar 4.2 Grafik daerah cakupan sel sebagai fungsi dari jumlah pelanggan dengan

faktor penyebaran yang bervariasi (daerah suburban) ... 41

Gambar 4.3 Grafik daerah cakupan sel sebagai fungsi dari jumlah pelanggan dengan

faktor penyebaran yang bervariasi (daerah urban)... 42


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penulisan, batasan masalah, metode dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

Sinyal informasi yang diterima pada Node B mengalami proses penyebaran

kembali (despreading). Daya sinyal informasi setelah proses penyebaran kembali

harus memenuhi batas minimal daya terima yang diinginkan pada Node B. Ketika

level daya sinyal informasi tidak memenuhi batas tersebut maka sinyal informasi

tidak dapat diperoleh kembali dan proses komunikasi tidak akan dapat dilakukan.

Level daya sinyal informasi yang diterima pada Node B dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya interferensi antar sinyal pelanggan dan rugi propagasi

yang dialami sinyal informasi. Jika interferensi antar sinyal pelanggan bergantung

pada jumlah pelanggan aktif dalam sel tersebut dan kode penebar yang digunakan

dalam transmisi sinyal informasi maka rugi propagasi bergantung pada daerah

propagasi sinyal dan jarak antara UE dngan Node B.

Oleh karena itu, Penulis memandang perlu adanya analisis hubungan antara

kode penebar yang digunakan dalam transmisi sinyal informasi dengan jumlah

pelanggan aktif dalam satu sel serta hubungannya dengan rugi propagasi dan jarak

maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B.


(12)

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara kode penebar yang digunakan dalam transmisi

sinyal informasi dengan jumlah pelanggan aktif dalam satu sel.

2. Bagaimana hubungan antara kode penebar, jumlah pelanggan aktif dengan

rugi propagasi maksimal yang dizinkan pada sistem jika daya transmisi UE

maksimal (konstan).

3. Berapa perkiraan jarak maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan tugas akhir ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan antara kode penebar yang digunakan dalam

transmisi sinyal informasi dengan jumlah pelanggan aktif dalam satu sel.

2. Untuk mengetahui hubungan antara kode penebar, jumlah pelanggan aktif

dengan rugi propagasi maksimal yang diizinkan pada sistem jika daya

transmisi UE maksimal (konstan).

3. Untuk mengetahui perkiraan jarak maksimal yang diizinkan antara UE

dengan Node B.

1.4 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada tugas akhir ini adalah:

1. Tidak membahas teknik akses jamak radio WCDMA secara mendalam.

2. Tidak membahas masalah mobilitas dan

handover

.


(13)

3. Tidak membahas propagasi gelombang radio secara mendalam.

4. Tidak membahas masalah

fading

secara mendalam.

5. Hanya membahas

coverage

sel ditinjau dari arah

uplink

dan tidak membahas

coverage

sel jika ditinjau dari arah

downlink.

6. Pada analisis diasumsikan kasus layanan tunggal (single service case).

7. Pada analisis diasumsikan kontrol daya sempurna (perfect power control).

8. Analisis daerah cakupan sel jaringan UMTS dilakukan dengan menghitung

rugi propagasi maksimal yang diizinkan pada sistem kemudian dari nilai rugi

propagasi ini dapat diperkirakan jarak maksimal yang diizinkan antara UE

dengan Node B.

9. Hanya menggunakan model propagasi COST 231 Hata

dan tidak

menggunakan model propagasi radio yang lain.

1.5 Metode Penulisan

Adapun metode penulisan dalam penyusunan tugas akhir ini adalah :

1. Studi literatur dengan mempelajari prinsip-prinsip dasar jaringan UMTS

melalui buku dan jurnal serta bimbingan mengenai topik tugas akhir ini

dengan dosen pembimbing.

2. Menganalisis hasil perhitungan dari data yang diambil dari beberapa referensi

yang digunakan.


(14)

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap tugas akhir ini maka penulis

menyusun sitematika penulisan sebagai berikut :

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan secara singkat latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penulisan, batasan masalah, metode dan sistematika penulisan.

BAB II

UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SERVICES

Bab ini menjelaskan latar belakang, alokasi pita frekuensi, prinsip-prinsip

dasar WCDMA.

BAB III PROPAGASI GELOMBANG RADIO DAN ANALISIS

COVERAGE

SEL

JARINGAN UMTS

Bab ini menjelaskan propagasi gelombang radio, model propagasi radio

yang digunakan pada tugas akhir ini dan analisis daerah cakupan sel

jaringan UMTS.

BAB IV PERHITUNGAN

COVERAGE

SATU SEL PADA JARINGAN UMTS

Pembahasan pada bab ini meliputi perhitungan batas maksimal jumlah

pelanggan aktif pada satu sel dengan faktor penyebaran yang bervariasi,

perhitungan rugi propagasi maksimal antara pelanggan dengan Node B jika

daya transmisi pelanggan maksimal (konstan) serta perkiraan jarak

maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B.


(15)

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan bab–bab sebelumnya

dan

saran-saran

serta

beberapa

kemungkinan

pengembangan

dan

penyempurnaan tugas akhir ini.


(16)

BAB II

UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SERVICES

Universal Mobile Telecommunication Services

(UMTS) merupakan sistem

komunikasi selular generasi ketiga (3G) yang merupakan ekstensi dari

Global System

for Mobile communication

(GSM).

2.1 WCDMA

Sistem UMTS menggunakan skema akses jamak

Wideband Code Division

Multiple access

(WCDMA). Sinyal informasi ditransmisikan dengan lebar pita yang

jauh lebih besar.

2.1.1 Alokasi Pita Frekuensi Untuk WCDMA

Pembangunan sistem 3G telah dimulai ketika WARC (World Administrative

Radio Conference) dari badan ITU (International Telecommunications Union)

mengadakan pertemuan pada tahun 1992. Pada pertemuan itu diperkenalkan

penggunaan frekuensi 2 GHz untuk sistem komunikasi 3G, baik untuk komunikasi

terestrial maupun komunikasi satelit. Oleh ITU, konsep ini disebut dengan IMT-2000

(International Mobile Telephony 2000). Tujuan utama dari IMT-2000 adalah sistem

generasi ketiga yang bersifat global. WCDMA dipilih sebagai skema akses jamak

radio untuk IMT 2000.

Ada dua mode WCDMA yaitu

frequency division duplex

(FDD) dan

time

division duplex

(TDD). WCDMA FDD menggunakan frekuensi 1920-1980 MHz


(17)

untuk

uplink

dan frekuensi 2110-2170 MHz untuk

downlink

sedangkan WCDMA

TDD menggunakan frekuensi 1900-1920 MHz untuk

uplink

dan frekuensi

2010-2025 MHz untuk

downlink.

Gambar 2.1

Alokasi frekuensi 2 GHz

Gambar 2.1 memperlihatkan Alokasi frekuensi 2 GHz pada beberapa negara.

Di negara-negara Amerika Utara frekuensi 2 GHz dimana oleh WARC-92

dialokasikan untuk sistem IMT-2000 telah digunakan untuk sistem PCS (Personal

Communication System). Tidak ada spektrum baru yang tersedia untuk IMT-2000.

Sistem 3G diimplementasikan bersamaan dengan sistem yang telah memakai pita

frekuensi tersebut. Hal ini juga dialami oleh beberapa negara yang mengikuti alokasi

pita frekuensi PCS seperti di Amerika.

2.1.2 Skema Akses Jamak

Pita frekuensi radio merupakan media terbatas yang memerlukan pengaturan

dalam pemakaiannya. Pada sistem komunikasi selular digunakan beberapa skema


(18)

yang berbeda agar pelanggan yang banyak dapat mengakses spektrum radio tertentu

dalam waktu yang bersamaan. Beberapa skema akses jamak yang digunakan pada

sistem komunikasi selular diantaranya [6]:

1.

frequency-division multiple access

(FDMA)

2.

time-division multiple access

(TDMA)

3.

code-division multiple access

(CDMA)

Pada sistem FDMA spektrum radio yang tersedia dibagi menjadi beberapa

kanal frekuensi. Dua kanal frekuensi dialokasikan untuk setiap pelanggan, satu untuk

komunikasi arah

uplink

dan sisanya untuk komunikasi arah

downlink. Alokasi kanal

frekuensi bersifat eksklusif, tidak ada pelanggan lain yang menggunakan kanal

frekuensi yang sama pada waktu yang bersamaan.

Gambar 2.2

Skema akses jamak FDMA

Pada sistem TDMA lebar pita yang tersedia digunakan oleh satu pelanggan

tetapi hanya pada satu periode waktu yang singkat. Kanal frekuensi dibagi ke dalam


(19)

beberapa slot waktu. Satu pelanggan menggunakan satu slot waktu yang sama secara

periodik.

Gambar 2.3

Skema akses jamak TDMA

Pada sistem CDMA semua pelanggan menempati seluruh lebar pita yang

tersedia secara bersamaan tanpa adanya penerapan pembagian waktu. Sinyal

pelanggan satu sama lain dipisahkan dengan menggunakan suatu kode khusus (kode

penebar).


(20)

2.1.3 Transmisi Spektrum Tersebar

Transmisi spektrum tersebar adalah suatu teknik dimana sinyal pelanggan

diubah bentuknya sehingga membutuhkan lebar pita yang lebih besar dari yang

dibutuhkan sinyal awal. Pada transmisi spektrum tersebar terjadi proses

spreading

dan

despreading.

Gambar 2.5

Proses

spreading

Pada Gambar 2.5 diperlihatkan proses penyebaran sinyal pada pengirim

(spreading). Sebelum ditransmisikan simbol-simbol data dikalikan (operasi XOR)

dengan kode penebar (spreading code) untuk mendapatkan sinyal spektrum tersebar.


(21)

Pada

Gambar

2.6

diperlihatkan

proses

penyebaran

pada

penerima

(despreading). Sinyal tersebar yang diterima dikalikan kembali dengan kode penebar

yang sama untuk memperoleh kembali sinyal informasi.

Deretan bit pada kode penebar disebut dengan

chips, bertujuan untuk

membedakannya dengan deretan bit simbol data.

Perbandingan antara laju

chip

dengan laju simbol data disebut dengan faktor penyebaran (spreading factor) SF.

Faktor penyebaran juga dapat diartikan sebagai perbandingan antara lebar pita sinyal

tersebar dengan lebar pita sinyal awal sebelum proses penyebaran.


(22)

Pada Gambar 2.7 diperlihatkan proses penyebaran pada pelanggan jamak.

Jika diasumsikan aliran data dari masing-masing pelanggan adalah

si(t)

dan kode

penebar masing-masing pelanggan adalah

C

i

(t)

maka sinyal transmisi pelanggan

v

i

(t)

sesuai dengan persamaan (2.1) [5].

vi(t) = si(t)*Ci(t)

(2.1)

Jika derau kanal diabaikan maka sinyal terima pada sistem

r(t)

sesuai dengan

persamaan (2.2) [5].

N

i

i i

t

C

t

s

t

r

1

)

(

*

)

(

)

(

(2.2)

Dimana

N

adalah jumlah pelanggan pada sistem (pada Gambar 2.7 ada dua

pelanggan). Jika

r(t)

dikalikan dengan kode penebar

Ci(t)

dari pelanggan 1, hasil

keluaran sesuai dengan persamaan (2.3).

N

i

i i

t

C

t

s

t

C

t

r

t

C

t

r

1 1 1

1

(

)

(

)

*

(

)

(

)

*

(

)

*

(

)

)

(

*

)

(

*

)

(

)

(

*

)

(

*

)

(

)

(

1 1 1 2 2 1

1

t

s

t

C

t

C

t

s

t

C

t

C

t

r

(2.3)

Karena korelasi silang antara

C

1

(t)

dan

C

2

(t)

sangat kecil, keluaran dari

integrator untuk suku kedua adalah nol. Keluaran integrator untuk suku pertama

adalah

s

i

(t)

, hal ini dikarenakan

1

)

(

*

)

(

1

1

t

C

t

C

Daya sinyal transmisi yang tersebar pada seluruh pita frekuensi yang

dialokasikan menyebabkan rapat dayanya menjadi lebih kecil. Ketika sinyal pita

lebar yang bercampur dikalikan dengan kode penebar tertentu hanya sinyal

pelanggan yang bersesuaian yang mengalami proses penyebaran kembali. Sinyal


(23)

Gambar 2.8

Perolehan kembali sinyal pelanggan

Pada Gambar 2.8 diperlihatkan bahwa pelanggan A mengalami proses

despreading

. Sinyal pelanggan A dapat diperoleh kembali karena daya dari sinyal

setelah mengalami proses penyebaran kembali

C

lebih besar dari daya interferensi

I

.


(24)

Pada Gambar 2.9 diperlihatkan bahwa pelanggan A mengalami proses

despreading

tetapi

sinyal pelanggan A tidak dapat diperoleh kembali. Hal ini

dikarenakan daya dari sinyal setelah mengalami proses penyebaran kembali tidak

lebih besar dari interferensi yang dialami sinyal pelanggan A.

Penggunaan transmisi spektrum tersebar memiliki beberapa keuntungan

diantaraanya [6]:

1. Penggunaan kode-kode penebar yang saling orthogonal memberikan

kemampuan akses jamak pada sistem.

2. Proteksi terhadap interferensi kanal jamak

(multipath interference). Kanal

jamak disebabkan adanya komponen pantulan

(reflection)

dan komponen

pembelokan

(diffraction)

dari sinyal informasi. Komponen dari

sinyal

informasi dapat saling menginterferensi. Sinyal spektrum tersebar tahan

terhadap interferensi apabila kode penebar memiliki sifat otokorelasi yang

baik.

3. Tahan terhadap

jamming. Karena rapat daya lebih rendah dan tersebar pada

pita frekuensi, sinyal informasi sulit untuk diganggu.

4. Meningkatkan privasi. Diperlukan sinkronisasi dan kode penebar yang sesuai

untuk memperoleh kembali sinyal informasi.

5. Lebih tahan terhadap derau. Pada proses penyebaran kembali di sisi

penerima, derau mengalami penyebaran seperti diperlihatkan pada Gambar

2.10. Sinyal informasi dapat diperoleh kembali dengan catatan level daya

derau jauh lebih kecil dibandingkan dengan level daya sinyal informasi.


(25)

Gambar 2.10

Sinyal spektrum tersebar lebih tahan terhadap derau

2.1.4 Proses Penyebaran pada WCDMA

Seperti telah disebutkan sebelumnya, sistem berbasis spektrum tersebar

menggunakan kode penebar untuk membedakan satu pelanggan dengan pelanggan

yang lain. Namun pada kenyataanya akan ada banyak aliran data secara simultan dari

masing-masing pelanggan yang aktif dan akan ada banyak aliran data secara simultan

dari satu Node B. Oleh karena itu, tidak hanya pemisahan pelanggan atau Node B

saja yang penting tetapi juga harus dilakukan pemisahan aliran-aliran data simultan

dari satu pelanggan atau Node B.

Pada WCDMA proses penyebaran dilakukan dalam dua tahap, yaitu

channelization

dan

scrambling

[5] ,[6], [8]. Pada proses

channelization

aliran data

masing-masing pelanggan disebarkan dengan menggunakan

channelization codes

dengan laju

chips

3,84 Mcps. Kemudian dilakukan proses

scrambling

dengan

menggunakan kode

pseudonoise

(PN).

Channelization

menyebarkan aliran data

pelanggan sehingga menyebabkan dibutuhkannya lebar pita yang lebih besar. Karena


(26)

proses

scrambling

menggunakan laju

chips

yang sama dengan proses

channelization

maka proses ini tidak lagi menambah lebar pita sinyal tersebar [5], [8].

Gambar 2.11

Dua tahap penyebaran pada WCDMA

Secara sederhana proses penyebaran WCDMA diperlihatkan pada Gambar

2.11. Seluruh aliran data dari satu pelanggan atau BTS disebarkan dengan

menggunakan beberapa

channelization codes

tertentu. Aliran-aliran data ini

kemudian di jumlahkan terlebih dahulu sebelum dilakukan proses

scrambling

.


(27)

Pada Gambar 2.12 dapat dilihat aplikasi kode PN dan Kode OVSF pada

WCDMA yang memiliki fungsi berbeda pada transmisi

uplink

dan

downlink

. Pada

arah

uplink

kode PN digunakan oleh Node B untuk mengidentifikasi pelanggan yang

berbeda. Seteleh proses sinkronisasi selesai berbagai jenis layanan yang berasal dari

satu pelanggan dipisahkan dengan menggunakan kode OVSF. Pada arah

downlink

kode PN digunakan oleh pelanggan untuk menandai Node B. Setiap Node B

mempunyai kode PN primer dan kode ini digunakan oleh pelanggan untuk

membedakan satu Node B dengan Node B yang lain. Selanjutnya kode OVSF

digunakan pelanggan pada proses penyebaran kembali untuk memperoleh sinyal

informasi.

2.1.5 Kanal Data Fisik Dan Kanal Kontrol Fisik (Physical Data Channel And

Physical Control Channel)

WCDMA dirancang untuk memberikan fleksibilitas pentransmisian

data

pelanggan melalui antarmuka radio. Sebagai contoh, laju data dapat bervariasi untuk

setiap masing-masing frame (setiap 10 ms). Seorang pelanggan dapat mengirim dan

menerima paket data ketika sedang melakukan panggilan. Ketika mengirimkan

informasi, kanal kontrol fisik (

physical control channel

) dikombinasikan dengan

kanal data fisik (

physical data channel

). Walaupun kanal data fisik membawa

informasi pelanggan, kanal kontrol fisik diperlukan untuk membawa informasi

pendukung agar interpretasi data pada kanal data fisik yang bersangkutan dapat

dilakukan dengan benar.


(28)

2.1.5.1 DPDCH dan DPCCH Pada Arah Uplink

Dedicated Physical Data Channel

(DPDCH) dan

Dedicated Physical Control

Channel

(CPCCH) pada arah

uplink

ditransmisikan secara paralel. Struktur DPDCH

dan DPCCH diperlihatkan pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13

Struktur frame DPDCH dan DPCCH pada arah

uplink

Frame DPDCH membawa informasi dari pelanggan. DPCCH selalu

menggunakan faktor penyebaran 256. Setiap slot berisi 10 bit informasi DPCCH

yang terdiri atas bit pilot, bit

Transport Format Combination Indicator (TFCI),

bit

Feedback Indicator

(FBI) dan bit

Transmit Power Control

(TPC).

Bit informasi pilot digunakan untuk perkiraan kanal dan sinkronisasi frame.

Bit TFCI memberitahukan laju bit dan pengkodean kanal untuk DPDCH. Bit TFCI

juga digunakan untuk memberitahukan format setiap kanal

transport

yang dibawa

CCTrCH. Bit FBI membawa informasi yang berhubungan dengan

transmit diversity

pada Node B. WCDMA mendukung

downlink transmit diversity

dimana dua antena


(29)

antena berbeda dengan antena yang lain. Bit FBI digunakan untuk menginstruksikan

Node B untuk mengganti fasa atau daya yang digunakan. Bit TPC digunakan untuk

informasi kontrol daya (

power control

).

Tabel 2.1 memperlihatkan laju data maksimal kanal DPDCH pada arah

uplink

dengan faktor penyebaran yang bervariasi.

Tabel 2.1

Laju data DPDCH (

uplink

)

Faktor penyebaran

DPDCH

Laju

bit

kanal

DPDCH (kbps)

Laju data maksimal dengan laju

pengkodean ½ (kbps)

256

15

7,5

128

30

15

64

60

30

32

120

60

16

240

120

8

480

240

4

960

480

4, dengan 6 kode

5740

2.800

2.1.5.2 DPDCH dan DPCCH Pada Arah Downlink

Pada Gambar 2.14 diperlihatkan struktur frame DPDCH dan DPCCH pada

arah

downlink

.


(30)

Frame DPDCH dan DPCCH tidak ditransmisikan secara terpisah melainkan

ditransmisikan secara

time-multiplexed

. Setiap slot pada frame terdapat dua DPDCH

dan tiga DPCCH. Fungsi bit-bit DPCCH pada arah

downlink

sama dengan fungsi

bit-bit DPCCH pada arah

uplink

.

Laju data DPDCH arah

downlink

untuk faktor penyebaran yang bervariasi

diperlihatkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2

Laju data DPDCH (

downlink

)

Faktor

penyebaran

Laju simbol

kanal (kbps)

Laju

bit

kanal

(kbps)

Laju

bit

DPDCH

(kbps)

Laju data maksimal

dengan

laju

pengkodean ½

512

7,5

15

3 – 6

1 – 3 kbps

256

15

30

12 – 24

6 – 12 kbps

128

30

60

42 – 51

20 – 24 kbps

64

60

120

90

45 kbps

32

120

240

210

105 kbps

16

240

480

432

215 kbps

8

480

960

912

456 kbps

4

960

1920

1872

936 kbps

4, 3 dengan kode

2800

5760

5616

2,8 Mbps

2.1.6 Kontrol Daya (Power Control)

Kontrol daya sangat penting penerapannya pada sistem yang berbasis

spektrum tersebar. Kontrol daya dibutuhkan baik pada arah

uplink

maupun pada arah

downlink

[6],[8]

.

Pada

arah

uplink,

setiap pelanggan dijaga untuk

tidak

mentransmisikan sinyal dengan daya yang sama karena sinyal pelanggan yang lebih

dekat dengan Node B akan menutupi sinyal pelanggan yang lokasinya lebih jauh

(

near-far-effect

).


(31)

Gambar 2.15

Fenomena

near-far-effect

dan aplikasi kontrol daya pada arah

uplink

Pada Gambar 2.15 dapat dilihat fenomena

near-far-effect

dan aplikasi kontrol

daya pada arah

uplink

. Dengan menggunakan kontrol daya, pelanggan yang

lokasinya lebih jauh dari Node B mentransmisikan sinyal dengan daya yang lebih

besar dibandingkan dengan pelanggan yang lokasinya lebih dekat.

Pada arah downlink setiap Node B mentransmisikan sinyal pada frekuensi

yang sama dan akan menimbulkan interferensi. Karena itu kontrol daya diperlukan

untuk mengatur daya sinyal transmisi Node B. Sinyal transmisi Node B yang sampai

ke sel yang bersebelahan dengan daya yang cukup rendah menyebabkan interferensi

yang ditimbulkan juga kecil.

Pada sistem UMTS digunakan metode

fast closed-loop power control

.

Pengukuran kualitas sinyal dilakukan pada penerima (baik pelanggan ataupun Node

B). Perbandingan daya sinyal terima dengan interferensi

SIR

diukur setiap 667

s

(satu slot waktu) kemudian nilainya dibandingkan dengan nilai

SIR

yang diinginkan

[6], [8]. Bit-bit TPC kemudian dikirim oleh penerima pada setiap slot waktu. Bit-bit

ini berisikan perintah untuk menaikkan atau menurunkan level daya sinyal transmisi.


(32)

BAB III

PROPAGASI GELOMBANG RADIO DAN ANALISIS DAERAH CAKUPAN

SEL JARINGAN UMTS

Dalam perancangan sistem komunikasi radio diperlukan perhitungan daya

keluaran pada antena penerima. Walaupun karakteristik rugi dan penguatan dari

peralatan pengirim dan penerima dapat diperoleh dari data pabrikannya, rugi efektif

diantara dua antena harus diperhitungkan sebagai karakteristik dari jalur propagasi

antara dua antena. Perbandingan antara daya yang ditransmisikan dengan daya yang

diterima pada antena penerima disebut dengan rugi propagasi (

pathloss

) dan

dinyatakan dalam

decibel

(dB).

3.1 Propagasi Ruang Bebas (Free Space Propagation)

Gambar (3.1) memperlihatkan kasus sederhana propagasi gelombang radio

yaitu propagasi

line-of-sight

(LOS) dimana tidak ada jalur pantulan yang disebabkan

permukaan tanah dan halangan lainnya [2].


(33)

Daya terima pada antena penerima dapat dihitung dengan menggunakan

Persamaan (3.1) (persamaan propagasi ruang bebas).

(3.1)

Jika ada rugi-rugi lain (yang tidak berhubungan dengan propagasi radio) ikut

diperhitungkan, Persamaan (3.1) berubah menjadi Persamaan (3.2).

(3.2)

dimana:

P

r

adalah daya terima (watt)

P

t

adalah daya transmisi (watt)

adalah panjang gelombang (m)

G

t

adalah penguatan antena pengirim

G

r

adalah penguatan antena penerima

d

adalah jarak antara antena pengirim dan antena penerima (m)

L

0

adalah rugi-rugi lain

L

p

adalah rugi propagasi ruang bebas (free space loss)

3.2 Pantulan, Pembelokan dan Hamburan (Reflection, Diffraction and

Scattering)

Jika sebelumnya jalur transmisi antara pengirim dan penerima berupa jalur

langsung atau LOS, sekarang jalur transmisi gelombang radio semakin kompleks

dengan berbagai daerah yang dipenuhi gedung, bangunan dan penghalang yang


(34)

lainnya. Gelombang radio dalam propagasinya mengalami pantulan, pembelokan dan

hamburan [2].

Gambar (3.2) memperlihatkan peristiwa pemantulan gelombang radio.

Pantulan terjadi ketika gelombang radio yang ditransmisikan mengenai objek yang

ukurannya jauh lebih besar dari panjang gelombang radio tersebut. Pantulan dapat

terjadi pada permukaan tanah, gedung dan tembok.

Gambar 3.2

Pemantulan gelombang radio


(35)

Gambar (3.3) memperlihatkan peristiwa pembelokan gelombang radio.

Pembelokan terjadi ketika gelombang radio yang ditransmisikan dibelokkan oleh

benda yang memiliki sisi permukaan yang tajam.

Gambar (3.4) memperlihatkan peristiwa hamburan gelombang radio.

Hamburan terjadi ketika gelombang radio yang ditransmisikan mengenai objek yang

ukurannya lebih kecil dibanding panjang gelombang radio tersebut. Hamburan dapat

disebabkan permukaan yang kasar, benda-benda kecil, lampu jalan, daun dan ranting

pohon.

Pantulan, pembelokan dan hamburan menyebabkan naik-turunnya level daya

pada penerima yang disebut dengan

fading. Pengaruh yang ditimbulkan oleh

fading

ikut diperhitungkan dalam analisis propagasi gelombang radio (fading margin).

3.3 Model Propagasi Radio COST 231 Hata

Karakteristik propagasi gelombang radio bersifat acak dan sangat sulit

dianalisis. Model propagasi radio digunakan untuk memprediksikan rugi propagasi


(36)

yang dialami sinyal sepanjang jalur radio. Model propagasi radio yang digunakan

pada tugas akhir ini adalah model Cost 231 Hata.

Model COST 231 Hata dapat digunakan untuk analisis daerah suburban dan

urban. Cakupan model COST 231 Hata [1]:

1. Frekuensi: 1500 sampai dengan 2000 MHz

2. Tinggi antena UE 1 sampai dengan 10 m

3. Tinggi antena Node B 30 sampai dengan 100 m

4. Jarak sampai dengan 20 km

Rugi propagasi untuk model COST 231 Hata dapat dihitung dengan

menggunakan Persamaan (3.3) [1].

(3.3)

Dimana:

L

adalah rugi propagasi (dB)

f

adalah frekuensi (MHz)

hB

adalah tinggi antena Node B (m)

h

UE

adalah tinggi antena UE (m)

CH

adalah faktor koreksi tinggi antena UE

d

adalah jarak antara UE dan Node B (km)

C

adalah faktor koreksi

Faktor koreksi untuk model COST 231 Hata adalah 0 dB untuk daerah suburban dan

3 dB untuk daerah urban.


(37)

3.4 Analisis Daerah Cakupan Sel Jaringan UMTS

Analisis untuk

downlink

dan

uplink

pada jaringan UMTS tidak bergantung

satu sama lain. Jika analisis untuk

downlink

menitikberatkan pada kemampuan dan

daya transmisi Node B maka analisis

uplink

menitikberatkan pada daya transmisi

yang terbatas untuk setiap UE. Tugas akhir ini hanya memfokuskan analisis pada

arah

uplink

.

Gambar (3.5) memperlihatkan kondisi satu sel pada jaringan UMTS. Pada

transmisi

uplink

setiap UE mentransmisikan sinyal dengan daya

P

S

(diukur pada

antena UE). Pada Node B sinyal diterima dengan daya

P

R

yang lebih kecil

dikarenakan adanya rugi propagasi.

Sinyal yang diterima pada Node B dipisahkan dengan menggunakan kode

penebar. Deretan kode yang tidak bersifat

orthogonal

ideal menyebabkan adanya

derau atau interferensi. Interferensi yang dialami sinyal pelanggan

i

dihitung

menggunakan Persaman (3.4) [4].

(3.4)

Gambar 3.5

Sel jaringan UMTS


(38)

Dimana:

Ii

adalah interferensi yang dialami sinyal pelanggan ke-

i

(mW)

N

0

adalah derau pada penerima dan interferensi dari sel yang berdekatan (mW)

PRj

adalah daya sinyal pelanggan lain (mW)

i

ij

adalah faktor interferensi

Gambar (3.6) memperlihatkan rapat daya sinyal terima pada Node B sesuai

dengan kondisi pada Gambar (3.5). Sinyal untuk pelanggan ke-

i

saja yang

mengalami perubahan bentuk setelah proses penyebaran kembali dengan kode

penebar yang sama.

Proses penyebaran pada sistem UMTS menggunakan faktor penyebaran

SF

yang bervariasi agar laju bit transmisi dapat bervariasi. Semakin banyak jumlah

chip

untuk satu simbol data maka semakin besar penguatan penyebaran (

spreading gain

)

dan laju simbol data semakin kecil. Daya sinyal terima setelah proses penyebaran


(39)

(3.5)

Dimana:

C

i

adalah daya terima pelanggan ke-

i

setelah proses penyebaran kembali (mW)

SF

i

adalah faktor penyebaran

P

Ri

adalah daya terima sinyal pelanggan ke-

i

(mW)

Untuk laju kesalahan bit yang diinginkan harus dipenuhi level perbandingan

daya sinyal dan derau (

SNR

) tertentu. Nilai

SNR

bergantung pada beberapa faktor,

misalnya teknik modulasi dan skema kontrol kesalahan yang digunakan. Pada sistem

berbasis spektrum tersebar umumnya perhitungan

SNR

dapat menggunakan

pendekatan perbandingan antara daya terima pelanggan ke-

i

setelah proses

penyebaran kembali dengan interferensi yang dialami pelanggan ke-

i

sehingga

diperoleh Persamaan (3.6) [4].

(3.6)

Substitusi Persamaan (3.4) dan (3.5) ke Persamaan (3.6) diperoleh Persamaan (3.7).

(3.7)

Dengan faktor layanan (

service factor

)

S

i

:

Maka diperoleh Persamaan (3.8).

(3.8)

Pada kasus layanan tunggal (

single service case

) setiap sinyal pelanggan

ditransmisikan dengan menggunakan nilai

SF

yang sama dan menyebabkan faktor

layanan

S

i

untuk setiap pelanggan besarnya juga sama. Dengan asumsi faktor


(40)

interferensi

i

untuk setiap kombinasi kode nilainya sama maka diperoleh Persamaan

(3.9) dan (3.10).

(3.9)

(3.10)

Dengan asumsi level daya

P

R

pada

Node B

untuk setiap pelanggan adalah

sama maka Persamaan (3.8) berubah menjadi Persamaan (3.11).

(3.11)

Dari Persamaan (3.11) dapat dilihat bahwa pembagi harus memenuhi

Persamaan (3.12).

(3.12)

Adanya rugi-rugi propagasi menyebabkan kemungkinan tidak terpenuhinya

level daya terima yang diinginkan pada Node B. Hal ini disebabkan daya transmisi

UE yang terbatas. Untuk itu perlu dihitung rugi propagasi maksimal yang diizinkan

dengan menggunakan Persamaan (3.13).

(3.13)

Dimana:

L

P max

adalah rugi propagasi maksimal yang diizinkan (dB)

P

S max

adalah daya transmisi maksimal UE (dBm)

P

R

adalah daya terima pada Node B (dBm)

G

UE

adalah penguatan antena UE (dB)


(41)

G

B

adalah penguatan antena Node B (dB)

L

UE

adalah rugi pada UE (dB)

L

B

adalah rugi pada Node B (dB)

L

F

adalah

fading margin

(dB)

Setelah nilai rugi propagasi maksimal yang diizinkan diperoleh, dapat

diperkirakan jarak maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B dengan

menggunakan persamaan model propagasi radio COST 231 Hata. Jarak inilah yang

kemudian menjadi perkiraan daerah cakupan dari satu sel jaringan UMTS.

Dengan asumsi sel berada pada daerah suburban, tinggi antena Node B 50 m,

tinggi antena UE 1,5 m dan besar frekuensi 2 GHz, persamaan rugi propagasi untuk

model COST 231 Hata menjadi Persamaan (3.14).

(3.14)

Untuk daerah urban persamaan rugi propagasi untuk model COST 231 Hata menjadi

Persamaan (3.15).

(3.15)

Dimana:

L

P max

adalah rugi propagasi maksimal yang diizinkan pada sistem


(42)

BAB IV

PERHITUNGAN DAERAH CAKUPAN SATU SEL PADA JARINGAN UMTS

Perhitungan daerah cakupan sel dilakukan dalam dua tahap, yaitu perhitungan

batas maksimal jumlah pelanggan aktif dalam satu sel dan jarak maksimal yang

diizinkan antara UE dengan Node B.

4.1 Perhitungan Batas Maksimal Jumlah Pelanggan Aktif Dalam Satu Sel

Parameter yang digunakan dalam perhitungan diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Parameter

Nilai

SNR

3 dB

SF

4, 8,16, 32, 64, 128, 256

i

0,5

Langkah perhitungan batas maksimal pelanggan aktif dalam satu sel:

1.

SNR

diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk tanpa satuan

SNR

dB

= 3 dB

2. Perhitungan faktor layanan S (sebagai contoh untuk SF = 256)

3. Perhitungan batas maksimal jumlah pelanggan aktif

Tabel 4.1

Parameter perhitungan batas maksimal jumlah pelanggan aktif


(43)

Dari contoh perhitungan diperoleh batas maksimal jumlah pelanggan aktif

dalam satu sel untuk

SNR

sebesar 3 dB, faktor penyebaran 256 dan faktor interferensi

0,5 adalah 256 pelanggan.

Perhitungan batas maksimal jumlah pelanggan aktif

pada tugas akhir ini

menggunakan program yang ditulis dengan bahasa pemrograman Matlab (Lampiran

1). Dengan menggunakan parameter pada Tabel 4.1 diperoleh grafik yang

diperlihatkan pada Gambar 4.1.

faktor layanan

0 20 40 60 80 100 120 140

0 50 100 150 200 250 300

Jumlah Maksimal Pelanggan dalam Satu Sel Jaringan UMTS

Faktor Layanan (S)

J u m la h P e la n g g a n ( n )

e = 0,5


(44)

Dari Gambar 4.1 dapat dilihat jumlah maksimal pelanggan yang diizinkan

dalam satu sel bervariasi untuk tiap faktor layanan. Jumlah maksimal pelangan

tertinggi diperoleh ketika faktor layanan pelanggan adalah 128 (faktor penyebaran

256) yaitu 256 pelanggan. Jumlah maksimal pelanggan terendah diperoleh ketika

faktor layanan yang digunakan adalah 2 (faktor penyebaran 4) yaitu 4 pelanggan.

4.2 Perhitungan Jarak Maksimal Antara UE Dengan Node B

Parameter yang digunakan dalam perhitungan jarak maksimal antara UE

dengan Node B diperlihatkan pada Tabel 4.2.

Parameter

Nilai

N

0

- 90 dBm

S

2, 4, 8, 16, 32, 64, 128

n max

256 pelanggan

i

0,5

F

2 GHz

h

B

50 m

h

UE

1,5 m

P

S max

125 mW

UE loss

2 dB

Gain antena Node B

17 dB

Node B loss

3 dB

Fading margin

11 dB

Langkah perhitungan jarak maksimal antara UE dengan Node B:

1.

N

0

diubah ke bentuk mW

N

0 dB

= - 90 dBm


(45)

2. Perhitungan level daya terima pelanggan pada Node B (sebagai contoh untuk

n = 25,

i

= 0,5 dan S = 128)

3. Level daya terima diubah ke bentuk dBm

4.

P

S max

diubah ke bentuk dBm

5. Perhitungan rugi propagasi maksimal yang diizinkan

6. Perhitungan jarak maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B

(daerah suburban)

134,7 + 33,8 log d = 132,614

d = 0,868 km

d = 868 m

7. Perhitungan jarak maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B

(daerah urban)

137,7 + 33,8 log d = 132,614

d = 0,707 km

d = 707 m

Dari contoh perhitungan diperoleh rugi propagasi maksimal yang diizinkan

untuk faktor interferensi sebesar 0,5 , faktor layanan 128 dan 25 pelanggan aktif

dalam sel adalah 132,614 dB. Dari rugi propagasi tersebut diperkirakan jarak


(46)

maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B untuk frekuensi 2 GHz, tinggi

antena Node B 50 m dan tinggi antena UE 1,5 m adalah 868 m untuk daerah

suburban dan 707 m untuk daerah urban.

Perhitungan jarak maksimal yang diizinkan antara UE dengan Node B pada

tugas akhir ini menggunakan program yang ditulis dengan bahasa pemrograman

Matlab (Lampiran 2). Dengan menggunakan parameter pada Tabel 4.2 diperoleh

grafik yang diperlihatkan pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3.

penyebaran yang bervariasi (daerah suburban)

Pada Gambar 4.2 dapat dilihat jarak maksimal yang diizinkan antara UE

dengan Node B untuk daerah suburban. Jarak maksimal yang diizinkan bervariasi

untuk tiap faktor penyebaran dan jumlah pelanggan aktif dalam sel tersebut. Jarak

maksimal terjauh diperoleh ketika hanya satu pelanggan yang aktif dan pelanggan

0 50 100 150 200 250 300

200 300 400 500 600 700 800

Perkiraan Coverage Sel Jaringan UMTS

Jumlah Pelanggan J a ra k ( m e te r) SF=4 SF=8 SF=16 SF=32 SF=64 SF=128 SF=256


(47)

tersebut menggunakan faktor penyebaran 256 yaitu sejauh 893 meter. Jarak

maksimal terdekat adalah sama untuk tiap-tiap faktor penyebaran yaitu ketika

pelanggan yang aktif mencapai batas maksimal yang diizinkan yaitu sejauh 173

meter.

penyebaran yang bervariasi (daerah urban)

Pada Gambar 4.3 dapat dilihat jarak maksimal yang diizinkan bervariasi

untuk tiap faktor penyebaran dan jumlah pelanggan aktif dalam sel tersebut. Jarak

maksimal terjauh diperoleh ketika hanya satu pelanggan yang aktif dan pelanggan

tersebut menggunakan faktor penyebaran 256 yaitu sejauh 728 meter. Jarak

maksimal terdekat adalah sama untuk tiap-tiap faktor penyebaran yaitu ketika

pelanggan yang aktif mencapai batas maksimal yang diizinkan yaitu sejauh 141

meter.

0 50 100 150 200 250 300

200 300 400 500 600 700

Perkiraan Coverage Sel Jaringan UMTS

Jumlah Pelanggan J a ra k ( m e te r) SF=4 SF=8 SF=16 SF=32 SF=64 SF=128 SF=256


(48)

BAB V

PENUTUP

Berikut ini kesimpulan dari pembahasan bab–bab sebelumnya dan saran serta

kemungkinan pengembangan dan penyempurnaan tugas akhir ini.

5.1 Kesimpulan

1. Semakin besar faktor penyebaran yang digunakan dalam transmisi sinyal

informasi maka semakin banyak jumlah pelanggan yang dapat aktif dalam

satu sel.

2. Semakin banyak jumlah pelanggan yang aktif dalam satu sel menyebabkan

semakin kecilnya rugi propagasi maksimal yang diizinkan serta semakin

besarnya

interferensi

yang

dialami

sinyal

satu

pelanggan.

Hal

ini

menyebabkan semakin dekat jarak maksimal yang diizinkan antara UE

dengan Node B.

3. Semakin besar faktor penyebaran dari kode penebar yang digunakan dalam

transmisi sinyal informasi menyebabkan semakin besarnya rugi propagasi

maksimal yang diizinkan serta semakin jauh jarak maksimal yang diizinkan

antara UE dengan Node B.

5.2 Saran

Analisis

coverage

sel dapat dilakukan dengan menggunakan simulasi. Dalam

analisis dapat juga diperhitungkan kasus layanan jamak

(multi service case)

.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

1.

City RF Propagation Model.

faculty.ksu.edu.sa/adelali/Student%20Presentations%20May%202008/City%

20RF%20Propagation%20Models.pdf, diakses tanggal 25 Agustus 2008.

2. Garg, Vijay.

Wireless Communications and Networking. Elseiver, Inc.

2007. Hal 47-50.

3. Holma, Hari; Toskala, Anti.

WCDMA For UMTS (Radio Access for Third

Generation Mobile Communications). John Wiley & Sons, Ltd. 2004. Hal

1-10 dan 75-80.

4. J.Schuler, et al.

Performance Analysis Of A Single Umts Cell.

torsten-mueller.net/publications/eww2000_UMTS.pdf, di akses tanggal 9 Juli 2008.

5. Karim, MR; Saraf, M.

WCDMA and CDMA 2000 For 3G Mobile

Network. McGraw Hill. 2002. Hal 55-106.

6. Korhonen, Juha.

Introduction to 3G Mobile Communication. Artech

House. 2003. Hal 25-36 dan 111-116.

7.

Rao, Rama T; Prassad M.V.S.N.

Coverage and Capacity Studies for A

CDMA Cell In Different Radio Propagation Environment.

www.ursi.org/Proceedings/ProcGA05/pdf/F04.2(0531).pdf, di akses tanggal

31 Mei 2008.

8. Smith, Clint; Collins, Daniel.

3G Wireless Network. McGrawHill. 2002. Hal

221-257.


(50)

9.

WCDMA Link Budget

.

www.umtsworld.com/technology/linkbudget.htm

,

diakses tanggal 9 Juli 2008.


(51)

Lampiran 1

% ========================================================================

% List program untuk menghitung jumlah maksimal pelanggan

% dalam satu sel jaringan UMTS.

% Dengan faktor penyebaran SF bervariasi.

%

% oleh : Adhitya Tri Ananda Nasution

% 4 Maret 2009, 11:48 am

% ========================================================================

clear;

clc;

%parameter yang digunakan dalam perhitungan

snr_db = 3; %SNR sinyal terima pada Node B

sf = [4 8 16 32 64 128 256]; %faktor penyebaran

e = 0.5; %faktor interferensi

%nilai SNR diubah ke bentuk tanpa satuan

snr = round(10^(snr_db/10));

%menghitung faktor layanan S

s = sf/snr;

%menghitung batas maksimal pelanggan dalam satu sel

batas = ceil(s./e+1);

%jumlah pelanggan yang mungkin harus lebih kecil dari

%batas maksimal dalam satu sel

n = batas-1;

%menampilkan grafik hasil perhitungan

plot(s,n,

'r'

),

...

title(

'Jumlah Maksimal Pelanggan dalam Satu Sel Jaringan UMTS'

,

...

'fontweight'

,

'bold'

),

...

xlabel(

'Faktor Layanan (S)'

),

...

ylabel(

'Jumlah Pelanggan (n)'

),

...

legend(

'e = 0,5'

),

...


(52)

Lampiran 2

% ========================================================================

% List program untuk menghitung perkiraan coverage satu sel jaringan UMTS

% sebagai fungsi dari jumlah pelanggan yang aktif pada sel tersebut dengan

% faktor penyebaran SF yang bervariasi.

%

% oleh: Adhitya Tri Ananda Nasution

% 4 Maret 2009, 12:35 pm

%

% Dalam perhitungan digunakan model propagasi COST 231 Hata.

% Untuk frekuensi 2 GHz, tinggi antena Node B 50 m dan

% tinggi antena UE 1,5 m diperoleh persamaan rugi propagasinya

% 134,7 + 33,8 log d + C

% dimana :

% C = 0 dB untuk daerah suburban

% C = 3 dB untuk daerah urban

% d adalah jarak antara UE dengan Node B (km)

%

% Dalam perhitungan nilai C dapat diganti sesuai dengan kebutuhan analisis

% (daerah suburban atau urban)

% ========================================================================

clear;

clc;

% parameter yang digunakan dalam perhitungan

c = 0; % daerah suburban atau urban?

snr_db = 3; % SNR sinyal terima pada Node B

sf = [4 8 16 32 64 128 256]; % faktor penyebaran

e = 0.5; % faktor interferensi

no_dbm = -90; % interferensi dari sel lain

ps_mw = 125; % daya transmisi UE

gs_db = 0; % penguatan antena UE

gr_db = 17; % penguatan antena Node B

ls_db = 2; % rugi pada UE

lr_db = 3; % rugi pada Node B

fading_db = 11; % rugi akibat fading

% nilai SNR diubah ke bentuk tanpa satuan

snr = round(10^(snr_db/10));

% nilai Ps diubah ke bentuk dBm

ps_dbm = 10*log10(ps_mw);

% nilai No diubah ke bentuk mW

no_mw = 10^(no_dbm/10);

% menghitung faktor layanan S

s = sf/snr;

% menghitung batas maksimal pelanggan dalam satu sel

batas = ceil (s/e +1);


(53)

% jumlah pelanggan yang mungkin harus lebih kecil dari

% batas maksimal dalam satu sel

n = batas-1;

% Hasil perhitungan untuk level sinyal terima pada Node B, rugi propagasi

% dan jarak maksimal antara UE dengan Node B masin-masing disimpan dalam

% matriks berdimensi 256X7

% dengan

% tiap baris untuk jumlah pelanggan n yang aktif

% tiap kolom untuk faktor layanan S yang berbeda

pr_mw = zeros(n(1,7),7);

pr_dbm = zeros(n(1,7),7);

lp_db = zeros(n(1,7),7);

log_jarak = zeros(n(1,7),7);

jarak_km = zeros(n(1,7),7);

jarak_m = zeros(n(1,7),7);

for

x = 1:7

for

y = 1:n(1,x)

pr_mw(y,x) = no_mw / (s(1,x) - e*(y-1));

pr_dbm(y,x) = 10*log10(pr_mw(y,x));

lp_db(y,x) = ps_dbm - pr_dbm(y,x) + gs_db + gr_db

...

- ls_db - lr_db - fading_db;

log_jarak(y,x) = (lp_db(y,x) - (134.7+c))/33.8;

jarak_km(y,x) = (10^log_jarak(y,x));

jarak_m(y,x) = round(1000*jarak_km(y,x));

end

end

% menampilkan grafik hasil perhitungan

i = 1:n(1,7);

plot(i,jarak_m(:,1),

...

i,jarak_m(:,2),

...

i,jarak_m(:,3),

...

i,jarak_m(:,4),

...

i,jarak_m(:,5),

...

i,jarak_m(:,6),

...

i,jarak_m(:,7)),

...

title(

'Perkiraan Coverage Sel Jaringan UMTS'

,

'fontweight'

,

'bold'

),

...

xlabel(

'Jumlah Pelanggan'

),

...

ylabel(

'Jarak (meter)'

),

...

ylim([jarak_m(256,7) jarak_m(1,7)]),

...

legend(

'SF=4'

,

'SF=8'

,

'SF=16'

,

'SF=32'

,

'SF=64'

,

'SF=128'

,

'SF=256'

),

...


(1)

BAB V

PENUTUP

Berikut ini kesimpulan dari pembahasan bab–bab sebelumnya dan saran serta

kemungkinan pengembangan dan penyempurnaan tugas akhir ini.

5.1 Kesimpulan

1. Semakin besar faktor penyebaran yang digunakan dalam transmisi sinyal

informasi maka semakin banyak jumlah pelanggan yang dapat aktif dalam

satu sel.

2. Semakin banyak jumlah pelanggan yang aktif dalam satu sel menyebabkan

semakin kecilnya rugi propagasi maksimal yang diizinkan serta semakin

besarnya

interferensi

yang

dialami

sinyal

satu

pelanggan.

Hal

ini

menyebabkan semakin dekat jarak maksimal yang diizinkan antara UE

dengan Node B.

3. Semakin besar faktor penyebaran dari kode penebar yang digunakan dalam

transmisi sinyal informasi menyebabkan semakin besarnya rugi propagasi

maksimal yang diizinkan serta semakin jauh jarak maksimal yang diizinkan

antara UE dengan Node B.

5.2 Saran


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1.

City RF Propagation Model

.

faculty.ksu.edu.sa/adelali/Student%20Presentations%20May%202008/City%

20RF%20Propagation%20Models.pdf, diakses tanggal 25 Agustus 2008.

2. Garg, Vijay.

Wireless Communications and Networking

. Elseiver, Inc.

2007. Hal 47-50.

3. Holma, Hari; Toskala, Anti.

WCDMA For UMTS (Radio Access for Third

Generation Mobile Communications)

. John Wiley & Sons, Ltd. 2004. Hal

1-10 dan 75-80.

4. J.Schuler, et al.

Performance Analysis Of A Single Umts Cell.

torsten-mueller.net/publications/eww2000_UMTS.pdf, di akses tanggal 9 Juli 2008.

5. Karim, MR; Saraf, M.

WCDMA and CDMA 2000 For 3G Mobile

Network

. McGraw Hill. 2002. Hal 55-106.

6. Korhonen, Juha.

Introduction to 3G Mobile Communication

. Artech

House. 2003. Hal 25-36 dan 111-116.

7.

Rao, Rama T; Prassad M.V.S.N.

Coverage and Capacity Studies for A

CDMA Cell In Different Radio Propagation Environment.

www.ursi.org/Proceedings/ProcGA05/pdf/F04.2(0531).pdf, di akses tanggal

31 Mei 2008.

8. Smith, Clint; Collins, Daniel.

3G Wireless Network

. McGrawHill. 2002. Hal

221-257.


(3)

9.

WCDMA Link Budget.

www.umtsworld.com/technology/linkbudget.htm

,

diakses tanggal 9 Juli 2008.


(4)

Lampiran 1

% ======================================================================== % List program untuk menghitung jumlah maksimal pelanggan

% dalam satu sel jaringan UMTS.

% Dengan faktor penyebaran SF bervariasi. %

% oleh : Adhitya Tri Ananda Nasution % 4 Maret 2009, 11:48 am

% ========================================================================

clear; clc;

%parameter yang digunakan dalam perhitungan

snr_db = 3; %SNR sinyal terima pada Node B sf = [4 8 16 32 64 128 256]; %faktor penyebaran

e = 0.5; %faktor interferensi %nilai SNR diubah ke bentuk tanpa satuan

snr = round(10^(snr_db/10)); %menghitung faktor layanan S s = sf/snr;

%menghitung batas maksimal pelanggan dalam satu sel batas = ceil(s./e+1);

%jumlah pelanggan yang mungkin harus lebih kecil dari %batas maksimal dalam satu sel

n = batas-1;

%menampilkan grafik hasil perhitungan plot(s,n,'r'),...

title('Jumlah Maksimal Pelanggan dalam Satu Sel Jaringan UMTS',... 'fontweight','bold'),...

xlabel('Faktor Layanan (S)'),... ylabel('Jumlah Pelanggan (n)'),... legend('e = 0,5'),...


(5)

Lampiran 2

% ======================================================================== % List program untuk menghitung perkiraan coverage satu sel jaringan UMTS % sebagai fungsi dari jumlah pelanggan yang aktif pada sel tersebut dengan % faktor penyebaran SF yang bervariasi.

%

% oleh: Adhitya Tri Ananda Nasution % 4 Maret 2009, 12:35 pm

%

% Dalam perhitungan digunakan model propagasi COST 231 Hata. % Untuk frekuensi 2 GHz, tinggi antena Node B 50 m dan

% tinggi antena UE 1,5 m diperoleh persamaan rugi propagasinya % 134,7 + 33,8 log d + C

% dimana :

% C = 0 dB untuk daerah suburban % C = 3 dB untuk daerah urban

% d adalah jarak antara UE dengan Node B (km) %

% Dalam perhitungan nilai C dapat diganti sesuai dengan kebutuhan analisis % (daerah suburban atau urban)

% ========================================================================

clear; clc;

% parameter yang digunakan dalam perhitungan

c = 0; % daerah suburban atau urban? snr_db = 3; % SNR sinyal terima pada Node B sf = [4 8 16 32 64 128 256]; % faktor penyebaran

e = 0.5; % faktor interferensi

no_dbm = -90; % interferensi dari sel lain ps_mw = 125; % daya transmisi UE

gs_db = 0; % penguatan antena UE gr_db = 17; % penguatan antena Node B ls_db = 2; % rugi pada UE

lr_db = 3; % rugi pada Node B fading_db = 11; % rugi akibat fading % nilai SNR diubah ke bentuk tanpa satuan

snr = round(10^(snr_db/10)); % nilai Ps diubah ke bentuk dBm ps_dbm = 10*log10(ps_mw);

% nilai No diubah ke bentuk mW no_mw = 10^(no_dbm/10);

% menghitung faktor layanan S s = sf/snr;

% menghitung batas maksimal pelanggan dalam satu sel batas = ceil (s/e +1);


(6)

% jumlah pelanggan yang mungkin harus lebih kecil dari % batas maksimal dalam satu sel

n = batas-1;

% Hasil perhitungan untuk level sinyal terima pada Node B, rugi propagasi % dan jarak maksimal antara UE dengan Node B masin-masing disimpan dalam % matriks berdimensi 256X7

% dengan

% tiap baris untuk jumlah pelanggan n yang aktif % tiap kolom untuk faktor layanan S yang berbeda pr_mw = zeros(n(1,7),7);

pr_dbm = zeros(n(1,7),7); lp_db = zeros(n(1,7),7); log_jarak = zeros(n(1,7),7); jarak_km = zeros(n(1,7),7); jarak_m = zeros(n(1,7),7); for x = 1:7

for y = 1:n(1,x)

pr_mw(y,x) = no_mw / (s(1,x) - e*(y-1)); pr_dbm(y,x) = 10*log10(pr_mw(y,x));

lp_db(y,x) = ps_dbm - pr_dbm(y,x) + gs_db + gr_db... - ls_db - lr_db - fading_db;

log_jarak(y,x) = (lp_db(y,x) - (134.7+c))/33.8; jarak_km(y,x) = (10^log_jarak(y,x));

jarak_m(y,x) = round(1000*jarak_km(y,x)); end

end

% menampilkan grafik hasil perhitungan i = 1:n(1,7);

plot(i,jarak_m(:,1),... i,jarak_m(:,2),... i,jarak_m(:,3),... i,jarak_m(:,4),... i,jarak_m(:,5),... i,jarak_m(:,6),... i,jarak_m(:,7)),...

title('Perkiraan Coverage Sel Jaringan UMTS','fontweight','bold'),... xlabel('Jumlah Pelanggan'),...

ylabel('Jarak (meter)'),...

ylim([jarak_m(256,7) jarak_m(1,7)]),...

legend('SF=4','SF=8','SF=16','SF=32','SF=64','SF=128','SF=256'),... grid on