Analisis Performansi Jaringan High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) Berdasarkan Teknik Penjadwalan Trafik.

(1)

TUGAS AKHIR

“ANALISIS PERFORMANSI JARINGAN

HIGH SPEED DOWNLINK PACKET ACCESS (HSDPA)

BERDASARKAN TEKNIK PENJADWALAN TRAFIK”

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro

Oleh:

080422037

RESTINE DWI R HRP

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

“ANALISIS PERFORMANSI JARINGAN

HIGH SPEED DOWNLINK PACKET ACCESS (HSDPA)

BERDASARKAN TEKNIK PENJADWALAN TRAFIK”

Oleh

080422037

RESTINE DWI R HRP

Tugas Akhir ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknik Elektro

Disetujui oleh :

Pembimbing,

NIP. 196810042000121001

MAKSUM PINEM, ST.MT

Diketahui oleh :

Pelaksana Harian

Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU,

NIP. 194610221973021001

Prof. Dr. Ir. USMAN BAAFAI

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Taufik-Nya serta Shalawat beriring salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

Tugas Akhir ini berjudul: ” ANALISIS PERFORMANSI JARINGAN HIGH

SPEED DOWNLINK PACKET ACCESS (HSDPA) BERDASARKAN TEKNIK

PENJADWALAN TRAFIK”. Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk

memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu di Departemen Teknik Elektro Fakutas Teknik Universitas Sumatra Utara.

Penulis menyampaikan rasa hormat, bangga, terima kasih dan mempersembahkan Tugas Akhir ini kepada yang teristimewa yaitu Ayahanda Akp. A. Haris Harahap dan Ibunda Dewi R, S. Ag yang telah membesarkan, mendidik dan selalu mendoakan penulis, serta rasa sayang kepada nenek tercinta yang telah memberikan nasehat-nasehatnya (Almh) Mbah Sudiem dan saudara-saudara penulis Remol Ayub Putra Hrp, Ricky Tri Suryananda Hrp, Rismey Linda Wiratama Hrp yang telah memberikan dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Usman S. Baafai, selaku Pelaksana Ketua Departemen Teknik Elektro Falkultas Teknik Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Rahmad Fauzi, ST. MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro dan Penasehat Akademis selama penulis mengikuti perkuliahan.


(4)

3. Bapak (Alm) Ir. Mustafrind Lubis dan Ir. Satria Ginting, selaku Dosen Wali yang telah banyak memberikan dukungan untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Bapak Maksum Pinem, ST. MT, selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang dengan ikhlas dan sabar memberikan nasehat, bimbingan, dan motivasi dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Teknik Elekro Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

6. Special to Lukman S ( Uman Jambak ), yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

7. Teman-teman seperjuangan penulis khususnya mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Telekomunikasi.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih sangat jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, penulis siap menerima saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini.

Akhir kata penulis berserah diri kepada Allah SWT, penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis sendiri.

Medan, Desember 2010

Penulis

Restine Dwi R Hrp

NIM. 080422037


(5)

ABSTRAK

3G/ UMTS (3rd Generation/ Universal Mobile Telecommunications System), didedikasikan tidak hanya untuk memberikan layanan voice ataupun data, tetapi juga mampu mengalokasikan pada kebutuhan user akan video dan gambar (multimedia). Namun, kecepatan pengiriman data (bit rate) yang masih kurang memadai dianggap sebagai kendala utama. Berbagai solusi berusaha dimunculkan untuk mengatasi masalah bit rate yang minimum, seperti W-CDMA (Wideband Code Division Multiple Access). Sistem W-CDMA ini mampu mengakomodasikan bit rate hingga 384 kbps (kilo bit per second).

HSPA tersebut digolongkan menjadi dua link, yaitu HSDPA (High Speed Downlink

Packet Access) dan HSUPA (High Speed Uplink Packet Access). Kedua jenis sistem ini

bekerja pada core network yang sama dengan jaringan 3G/ UMTS. Kelebihan dari sistem HSDPA adalah bit rate yang tinggi (hingga 14.4 Mbps) serta kemampuan untuk diakses oleh lebih banyak user. Hal ini tak lain karena digunakannya berbagai teknik tambahan pada node-B, seperti Adaptive Modulation and Coding (AMC), penjadwalan trafik, serta kanal HSDSCH.

Tugas Akhir ini mensimulasikan pengaruh dari tiga macam teknik penjadwalan, diantaranya round robin, max-SNR, dan proportional fair pada jaringan HSDPA, menggunakan Matlab 7.0. Dan membandingkan hasilnya berdasarkan parameter troughput,

delay antrian, fairness, dan packet loss. Dari hasil simulasi yang didapat, penjadwalan round robin memiliki throughput yang terkecil dibandingkan dengan penjadwalan max-SNR

ataupun proportional fair. Namun dengan trade-off pada parameter delay antrian dan fairness yang lebih tinggi. Sedangkan proportional fair adalah penjadwalan yang memiliki nilai parameter throughput, delay antrian, dan fairness berada diantara round robin dan max-SNR. Sedangkan pada parameter packet loss, relatif lebih dipengaruhi oleh kondisi propagasi (SNR) dan modulasi yang digunakan.


(6)

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 3

1.3 Perumusan Masalah ... 3

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Metode Penulisan ... 4

1.6 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II DASAR TEORI ... 6

2.1 Perkembangan Sistem Komunikasi Bergerak ... 6

2.1.1 Generasi Pertama (1st Generation)... 6

2.1.2 Generasi Kedua (2nd Generation) ... 6


(7)

2.2 Arsitektur Jaringan ... 8

2.2.1 GSM ... 8

2.2.2 3G/UMTS ... 9

2.3 HSPA (High Speed Packet Access) ... 10

2.3.1 HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) ... 11

2.3.1.1 HS-DSCH (High Speed Downlink Shared Channel) ... 11

2.3.1.2 TTI (Time Transmision Interval) ... 15

2.3.1.3 Penjadwalan Trafik Cepat ……. ... 15

2.3.1.4 Adaptive Modulation and Coding (AMC) ... 16

2.3.1.5 Pengiriman Kembali (Retransmision) ... 16

2.3.2 HSUPA (High Speed Uplink Packet Access) ... 17

2.4 Teknik Penjadwalan Trafik ... 17

2.4.1 Maksimum SNR ... 19

2.4.2 Round Robin ... 19

2.4.3 Proportional Fair ... 19

BAB III PERANCANGAN DAN SIMULASI ... 20

3.1 Model Sistem ... 20

3.2 Aspek Propagasi ... 21

3.2.1 SNR (Signal to Noise Ratio) ... 22

3.2.2 CQI (Channel Quality Indicator) ... 24

3.2.3 Kanal Multipath Fading ... 25


(8)

3.3 Sistem Penjadwalan Trafik ... 28

3.3.1 Generator Trafik ... 28

3.3.2 Algoritma Penjadwalan Trafik ... 28

3.3.2.1 Round Robin ... 30

3.3.2.2 Maksimum SNR ... 30

3.3.2.3 Proportional Fair ... 31

3.4 Modulasi ... 31

3.4.1 QPSK ... 31

3.4.2 16-QAM ... 32

3.5 Parameter-Parameter Simulasi ... 32

3.5.1 Throughput ... 32

3.5.2 Delay Antrian ... 34

3.5.3 Keadilan (Fairness) ... 37

3.5.4 Packet Loss ... 38

BAB IV ANALISIS PERFORMANSI JARINGAN HIGH SPEED DOWNLINK PACKET ACCESS (HSDPA) BERDASARKAN TEKNIK PENJADWALAN TRAFIK ... 40

4.1 Signal to Noise Ratio (SNR) ... 40

4.2 Nilai CQI pada Arah Uplink ... 41

4.2.1 Nilai CQI Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 42

4.2.2 Nilai CQI Dengan Kondisi Multipath Fading ... 43

4.3 Perbandingan Throughput Pada Masing-Masing Teknik Penjadwalan Trafik ... 44

4.3.1 Throughput Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 44


(9)

4.4 Perbandingan Delay Antrian Pada Masing-Masing Teknik Penjadwalan Trafik ... 50

4.4.1 Delay Antrian Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 51

4.4.2 Delay Antrian Dengan Kondisi Multipath Fading ... 53

4.5 Fairness/ Keadilan ... 55

4.5.1 Fairness Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 55

4.5.2 Fairness Dengan Kondisi Multipath Fading ... 57

4.6 Packet Loss ... 58

4.6.1 Packet Loss Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 58

4.6.2 Packet Loss Dengan Kondisi Multipath Fading ... 60

BAB V PENUTUP ... 63

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 Evolusi Sistem Komunikasi Bergerak ... 7

Gambar 2.2 Arsitektur GSM ... 8

Gambar 2.3 Arsitektur umum UMTS ... 9

Gambar 2.4 Infrastuktur UTRAN ... 10

Gambar 2.5 Struktur subframe dari HS-PDSCH ... 13

Gambar 2.6 Struktur subframe dari HS-SCCH ... 14

Gambar 2.7 Pemetaan dari kanal transport ke kanal fisik ... 14

Gambar 2.8 Pola Interval Antar-TTI ... 15

Gambar 2.9 Arsitektur jaringan HSDPA ... 16

Gambar 3.1 Diagram Blok dari Model Sistem ... 20

Gambar 3.2 Model Sistem pada saat Downlink ... 20

Gambar 3.3 Interaksi antara user dengan node B ... 21

Gambar 3.4 Sinyal Multipath fading di Sisi Penerima ... 25

Gambar 3.5 Pendekatan Efek Multipath Fading ... 27

Gambar 3.6 Pemodelan Kanal AWGN ... 27

Gambar 3.7 Flowchart Penjadwalan Trafik ... 29

Gambar 3.8 Flowchart Throughput ... 33

Gambar 3.9 Model Delay Antrian ketika di node-B ... 35

Gambar 3.10 Flowchart Delay ... 36

Gambar 3.11 Flowchart Packet Loss ... 38

Gambar 4.1 Nilai SNR pada kondisi dengan dan tanpa Multipath Fading ... 40

Gambar 4.2 Throughput Sistem Pada Kondisi Tanpa Multipath Fading ... 46


(11)

Gambar 4.4 Delay Antrian pada Kondisi Tanpa Multipath Fading ... 52

Gambar 4.5 Delay Antrian pada Kondisi dengan Multipath Fading ... 54

Gambar 4.6 Packet Loss pada Kondisi Tanpa Multipath Fading ... 60


(12)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 Kombinasi parameter akses radio UE, DL HS-DSCH ... 12

Table 2.2 Format HS-DSCH ... 13

Tabel 3.1 Parameter – parameter simulasi ... 24

Tabel 3.2 Data Efek Multipath Fading ... 26

Tabel 4.1 Pemetaan Nilai CQI Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 42

Tabel 4.2 Pemetaan Nilai CQI Dengan Kondisi Multipath Fading ... 43

Table 4.3 Hasil Throughput Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 45

Table 4.4 Hasil Throughput Dengan Kondisi Multipath Fading ... 48

Table 4.5 Hasil Delay Antrian Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 51

Table 4.6 Hasil Delay Antrian Dengan Kondisi Multipath Fading ... 53

Table 4.7 Hasil Packet Loss Tanpa Kondisi Multipath Fading ... 59


(13)

ABSTRAK

3G/ UMTS (3rd Generation/ Universal Mobile Telecommunications System), didedikasikan tidak hanya untuk memberikan layanan voice ataupun data, tetapi juga mampu mengalokasikan pada kebutuhan user akan video dan gambar (multimedia). Namun, kecepatan pengiriman data (bit rate) yang masih kurang memadai dianggap sebagai kendala utama. Berbagai solusi berusaha dimunculkan untuk mengatasi masalah bit rate yang minimum, seperti W-CDMA (Wideband Code Division Multiple Access). Sistem W-CDMA ini mampu mengakomodasikan bit rate hingga 384 kbps (kilo bit per second).

HSPA tersebut digolongkan menjadi dua link, yaitu HSDPA (High Speed Downlink

Packet Access) dan HSUPA (High Speed Uplink Packet Access). Kedua jenis sistem ini

bekerja pada core network yang sama dengan jaringan 3G/ UMTS. Kelebihan dari sistem HSDPA adalah bit rate yang tinggi (hingga 14.4 Mbps) serta kemampuan untuk diakses oleh lebih banyak user. Hal ini tak lain karena digunakannya berbagai teknik tambahan pada node-B, seperti Adaptive Modulation and Coding (AMC), penjadwalan trafik, serta kanal HSDSCH.

Tugas Akhir ini mensimulasikan pengaruh dari tiga macam teknik penjadwalan, diantaranya round robin, max-SNR, dan proportional fair pada jaringan HSDPA, menggunakan Matlab 7.0. Dan membandingkan hasilnya berdasarkan parameter troughput,

delay antrian, fairness, dan packet loss. Dari hasil simulasi yang didapat, penjadwalan round robin memiliki throughput yang terkecil dibandingkan dengan penjadwalan max-SNR

ataupun proportional fair. Namun dengan trade-off pada parameter delay antrian dan fairness yang lebih tinggi. Sedangkan proportional fair adalah penjadwalan yang memiliki nilai parameter throughput, delay antrian, dan fairness berada diantara round robin dan max-SNR. Sedangkan pada parameter packet loss, relatif lebih dipengaruhi oleh kondisi propagasi (SNR) dan modulasi yang digunakan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang Masalah

Kebutuhan user akan informasi berupa gambar dan video saat ini telah berkembang dengan pesat dan hampir menyamai kebutuhan informasi suara (voice) ataupun data. Untuk menjawab tantangan itu, maka dibutuhkan suatu system telekomunikasi yang mampu mengakomodasi sistem tersebut dengan bit rate yang maksimal dan delay yang rendah. Hal ini yang mendorong dicetuskannya suatu model jaringan telekomunikasi yang disebut 3G/UMTS (3rd Generation/ Universal Mobile Telecommunications System). Dengan berbasis

pada jaringan packet switch, maka kemungkinan untuk melewatkan jenis informasi non-real

time sekalipun dapat dilakukan. UMTS menggunakan metode akses DS-CDMA (Direct-Sequence Code Division Multiple Access) dengan alokasi bandwidth sebesar 5 MHz. Metode

ini lah yang nantinya lebih dikenal luas sebagai W-CDMA (Wideband CDMA). Untuk metode operasi pada UTRA (UMTS Terrestrial Network Access) digunakan FDD (Frequency Division

Duplex) dan TDD (Time Division Duplex). W-CDMA ini mampu menyediakan bit rate hingga

384 Kbps.

Namun demikian, W-CDMA masih belum dianggap cukup untuk mendukung berbagai aplikasi lain yang bersifat interaktif dan membutuhkan bit rate yang lebih tinggi seperti video conference dan Real time Voice over IP (VoIP). Untuk memecahkan masalah itu, 3GPP (3rd Generation Partnership Project) membuat standard baru yaitu 3GPP Release 5 dan

6, yang kemudian disebut HSPA. HSPA (High Speed Packet Access) merupakan pengembangan dari system UMTS. HSPA mengarah kepada pengembangan yang dibuat pada

downlink UMTS, yang disebut HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) dan


(15)

Packet Access) atau E-DCH (Enhanced Dedicated Channel). HSDPA mampu menyediakan

kecepatan transmisi data hingga 14.4 Mbps tiap user.

Tugas Akhir ini dikhususkan pada pengamatan teknik penjadwalan trafik. Penjadwalan trafik ini digunakan dalam mengatasi adanya delay antrian. Dengan menentukan metode penjadwalan trafik yang tepat maka setiap panggilan masuk pada suatu kanal tertentu dapat dimaksimalisasi dengan melakukan penyesuaian kapasitas kanal. Maka penulis tertarik untuk menganalisa Tugas Akhir ini.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :

1.

Menentukan aspek propagasi yang akan digunakan dalam simulasi.

2.

Performansi pada jaringan HSDPA dapat diukur dengan parameter delay antrian,

throughput, fairness, dan packet loss.

3.

Metode yang digunakan dalam simulasi antara lain Round Robin Scheduling (RRS),

maksimum SNR-based Schedulling, dan Proportional Fair Scheduling (PFS).

4.

Menganalisa metode terbaik dari traffic scheduling yang dapat diaplikasikan pada

HSDPA.

1.3 Tujuan Penulisan

Menganalisa performansi pada jaringan HSDPA dengan mensimulasikan kinerja dari teknik penjadwalan trafik.


(16)

1.4 Batasan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini, maka dibuat pembatasan masalah sebagai berikut :

1. Simulasi dilakukan dengan menggunakan M-File pada software Matlab 7.0. 2. Simulasi pengukuran hanya dilakukan pada jaringan HSDPA.

3. Metode yang disimulasikan hanya pada metode-metode pada traffic scheduling, antara lain Round Robin Scheduling (RRS), maksimum SNR-based Schedulling, dan

Proportional Fair Scheduling (PFS).

4. Analisa kinerja sistem hanya dilakukan pada kasus sel tunggal (single-cell). 5. Parameter simulasi yaitu delay antrian, throughput, fairness, dan packet loss.

1.5 Metode Penelitian

Metodologi penulisan yang digunakan oleh penulis pada penulisan Tugas Akhir ini adalah :

1. Studi Literatur, yaitu dengan membaca teori-teori yang berkaitan dengan topic Tugas Akhir ini dari buku-buku referensi baik yang dimiliki oleh penulis atau di perpustakaan dan juga dari artikel-artikel, jurnal, internet, dan lain-lain.

2. Studi Simulasi, yaitu dengan melakukan simulasi terhadap kinerja system yang dibahas dalam Tugas Akhir ini.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran mengenai Tugas Akhir ini secara singkat, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut.


(17)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : DASAR TEORI

Pada bab ini dibahas mengenai teori dasar HSDPA, arsitektur HSDPA, konsep traffic scheduling, dan beberapa teknik traffic scheduling pada HSDPA.

BAB III : PERANCANGAN DAN SIMULASI

Pada bab ini dibahas bagaimana proses simulasi dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik traffic scheduling yang meliputi Round Robin

Scheduling (RRS), maksimum SNR-based Schedulling, dan Proportional Fair Scheduling (PFS).

BAB IV : ANALISIS PERFORMANSI JARINGAN HIGH SPEED DOWNLINK

PACKET ACCESS (HSDPA) BERDASARKAN TEKNIK

PENJADWALAN TRAFIK

Pada bab ini akan diuraikan analisa dari masing-masing teknik traffic

scheduling berdasarkan parameter throughput, delay antrian, fairness, serta packet loss. Dan membandingkan teknik traffic scheduling yang terbaik bagi

sistem HSDPA.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dari hasil tugas akhir ini dan saran untuk pengembangannya.


(18)

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Perkembangan Sistem Komunikasi Bergerak

Awal penggunaan dari sistem komunikasi bergerak dimulai pada awal tahun 1970-an. Dan untuk mengakomodasi kebutuhan user akan jenis layanan (speech, multimedia dan data), dikembangkanlah berbagai generasi dari sistem seluler. Perbedaan antara masing-masing generasi secara umum terletak pada penggunaan teknologi utamanya (analog atau digital) dan jenis layanan yang disediakan.

2.1.1 Generasi Pertama (1ST Generation)

Hampir semua sistem komunikasi bergerak generasi pertama adalah sistem analog murni, yang ditransmisikan secara langsung dari sistem telepon berbasis kabel (wired) ke sistem seluler. Contoh-contoh aplikasi dari generasi pertama diantaranya adalah NTT (Nippon Telephone and Telegraph Corporation), TACS (Total Access Communication

System), dan AMPS (Advanced Mobile Phone System). 2.1.2 Generasi Kedua ( 2ND Generation )

Berbeda dari generasi pertama, sistem komunikasi bergerak pada generasi kedua (2G) adalah sistem yang digital. Tujuan dari 2G adalah untuk menyediakan kualitas komunikasi yang handal. Untuk memuat data yang telah disampling digunakan speech coding, sedangkan

error control coding digunakan juga sebagai modulasi digital untuk meningkatkan kualitas

komunikasi. Beberapa contoh 2G antara lain USDC (United States Digital Cellular), GSM (Global System for Mobile telecommunication), dan IS-95 CDMA (Code Division Multiple


(19)

2.1.3 Generasi Ketiga (3RD Generation)

Sistem generasi ketiga ini telah diaplikasikan dan sedang dalam tahap komersial. Sebutan yang biasa diberikan pada sistem ini adalah3G/UMTS (3RD

1. Mode FDD (Frequency Division Duplex) atau yang disebut Wideband CDMA

(WCDMA). Sistem ini merupakan versi Eropa. WCDMA adalah DS-CDMA dengan bandwidth yang tinggi, diperkenalkan di beberapa negara Eropa selama tahun 2003.

Generation / Universal Mobile Telecommunications System). Sistem ini adalah sistem digital, sama seperti pada

sistem generasi kedua, hanya saja sistem ini dirancang untuk kebutuhan layanan digital secara umum. Dimana komunikasi suara hanyalah salah satu dari layanan tersebut. Layanan lain yang mampu diberikan antara lain data, video, dan multimedia. Berikut ini adalah dua variasi dalam UMTS yang menggunakan metode akses yang berbeda, yaitu:

2. Mode TDD atau yang disebut Time Division Synchronous CDMA (TDSCDMA). Sistem ini merupakan versi China, yang berbasis pada TDD (Time Division Duplex) dan DS-CDMA. TDD secara sederhana berarti komunikasi dua arah yang dicapai dengan mendefisikan waktu. Gambar 2.1 adalah blok diagram dari sistem komunikasi bergerak.

Gambar 2.1 Blok diagram Komunikasi Bergerak

EVO 3G

1G 2G 2,5G 3G PHASE

HSDPA

AMPS GSM GPRS WCDMA HSDPA


(20)

2.2 Arsitektur Jaringan

Arsitektur jaringan merupakan gambaran jaringan yang digunakan pada sistem digital yaitu GSM dan 3G/ UMTS (Universal Mobile Telecommunication Service).

2.2.1 GSM

Sebuah jaringan GSM dibangun dari beberapa komponen fungsional yang memiliki fungsi dan interface masing-masing yang spesifik. Secara umum jaringan GSM dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu :

- Mobile Station

- Base Station Subsystem - Network Subsystem

Komponen-komponen pada jaringan GSM tersebut diperlihatkan pada Gambar 2.2.

Um A

Mobile Station Base Station Subsystem Network Subsystem

SIM : Subcriber Identity Module VLR : Visitor Location Register

ME : Mobile Equipment MSC : Mobile services Switching Center BTS : Base Tranceiver Station EIR : Equipment Identity Register BSC : Base Station Controller AuC : Authentication Center HLR : Home Location Register

Gambar 2.2 Arsitektur GSM

SIM

ME BTS

BTS

BSC

HLR VLR

AnC EIR

BSC

PSTN ISDN, PSPDN


(21)

2.2.2 3G/ UMTS ( Universal Mobile Telecommunication Service )

Arsitektur UMTS (Universal Mobile Telecommunication Service) secara sederhana diperlihatkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Arsitektur Umum UMTS

Arsitektur UMTS secara umum terdiri atas tiga komponen, yaitu CN, UTRAN, dan UE, dengan adanya interface diantara ketiganya. Masing-masing komponen dengan fungsinya dijelaskan sebagai berikut :

1. CN (Core Network), yang bertanggung jawab mengkoneksikan UMTS dengan jaringan luarnya, menyediakan fungsi-fungsi seperti switching/routing panggilan untuk komunikasi suara, dan layanan packet switched untuk koneksi data.

2. UTRAN (UMTS Terrestrial Radio Access Network), merupakan bagian dari jaringan UMTS yang terdiri dari satu atau lebih RNC dan Node B. Semua yang terkait dengan fungsi radio dikontrol di dalam UTRAN. Sebuah UTRAN terkoneksi dengan jaringan kabel eksternal ataupun UTRAN lain melalui Core Network.

3. UE (User Equipment), sebagai terminal dari UMTS yang berhubungan dengan radio

interface dari UTRAN dan aplikasi user.

Gambar 2.4 menerangkan infrastruktur dari UTRAN. Elemen yang menyusun UTRAN adalah Radio Network Subsystems (RNS).

Core Network

UTRAN


(22)

RNS RNS

Sebuah UTRAN terdiri atas satu atau lebih RNS, masing-masing terkoneksi berturut-turut dengan Core Network. Sebuah RNS dapat dibagi ke dalam dua entiti, yaitu Radio

Network Controller (RNC) dan Base station, yang kemudian dikenal sebagai Node B. Satu

RNS memiliki hanya satu RNC dan satu atau lebih Node B. RNC bertanggung jawab pada pengaturan radio resource dari UTRAN. Kemudian, Node B menyediakan kanal radio fisik antara UE dan UTRAN. Dengan kata lain, Node B adalah entiti terendah dari UTRAN, yang terhubung ke UE secara langsung. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, satu RNC dapat mengatur beberapa Node B. Dan sebaliknya, sebuah Node B hanya dapat terhubung dengan satu RNC.

UTRAN

Gambar 2.4 Infrastuktur UTRAN

2.3 HSPA (High Speed Packet Access)

W-CDMA atau yang juga dikenal dengan standard 3GPP Release 99, mampu menyediakan bit rate hingga 384 Kbps. Namun demikian, W-CDMA masih belum dianggap cukup untuk mendukung berbagai aplikasi lain yang bersifat interaktif dan membutuhkan bit

rate yang lebih tinggi seperti video conference dan Real time Voice over IP (VoIP). Untuk

memecahkan masalah itu, 3GPP (3rd Generation Partnership Project) membuat standard baru yaitu 3GPP Release 5 dan 6, yang kemudian disebut HSPA.

CORE NETWORK

RNC RNC


(23)

HSPA (High Speed Packet Access) merupakan pengembangan dari sistem UMTS. HSPA mengarah kepada pengembangan yang dibuat pada downlink UMTS, yang disebut HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) dan pengembangan yang dibuat pada uplink UMTS, sering disebut HSUPA (High Speed Uplink Packet Access) atau E-DCH (Enhanced

Dedicated Channel). HSDPA mampu menyediakan kecepatan transmisi data hingga 14.4

Mbps tiap user. Keduanya, baik HSDPA maupun HSUPA dapat diimplementasikan pada standard 5 MHz carrier dari jaringan UMTS dan dapat berada dan saling bekerja dengan generasi pertama jaringan UMTS yang berdasarkan standard 3GPP Release 99 (R99).

2.3.1 HSDPA (High Speed Downlink Packet Access)

Pada HSDPA dikenalkan beberapa teknik baru untuk Radio Access Network (RAN), dimana ketika teknik tersebut digabungkan akan menghasilkan kemajuan yang signifikan, baik bagi operator maupun end user. Teknik tersebut antara lain :

2.3.1.1High Speed Downlink Shared Channel (HS-DSCH).

Berupa kanal radio yang secara simultan dapat digunakan bersama-sama oleh banyak (multiple) user. Struktur HS-DSCH terbagi dalam dua domain, yaitu :

a. Sruktur layer fisik HS-DSCH dalam domain kode.

Transmisi HS-DSCH untuk FDD menggunakan pengkodean kanal (channel coding) dengan spreading factor yang fixed, yaitu SF = 16. Dimana juga diperbolehkan untuk melakukan transmisi multi-code, artinya UE mampu menggunakan banyak (multiple) pengkodean kanal pada TTI yang sama, bergantung pada kemampuan UE itu sendiri. Urutan kode acak yang sama (scrambling code sequence) diaplikasikan untuk semua pengkodean kanal dalam satu HS-DSCH. Lebih lanjut lagi, dimungkinkan pula penggunaan pengkodean kanal oleh banyak UE dalam TTI yang sama, yang disebut proses multiplexing dari banyak UE dalam domain kode.


(24)

Sedangkan Transmisi HS-DSCH untuk TDD menggunakan, baik dengan fixed

spreading factor, SF=16 dan multi-code atau spreading factor, SF=1 dalam satu atau lebih timeslot. Lebih lanjut lagi, dimungkinkan untuk mengkombinasikan antara code multiplexing

dan time multiplexing UE dalam satu HS-DSCH.

b. Struktur layer fisik HS-DSCH dalam domain waktu.

Untuk FDD, panjang dari satu HS-DSCH TTI adalah 3xTimeslot, dimana satu

Timeslot sama dengan 2560 chip (~0.67 ms). TTI untuk HS-DSCH merupakan parameter

format transport yang statik. Sedangkan untuk TDD 1,2 Mcps menggunakan TTI 5 ms. Dan TTI untuk 3,48 Mcps adalah 10ms. Berikut ini kombinasi untuk kemampuan HS-DSCH ditunjukkan oleh Tabel 2.1. Kombinasi ini dikhususkan untuk HS-DSCH.

Tabel 2.1 Kombinasi Parameter Akses Radio UE, DL HS-DSCH [1]

Reference combination 1.2 Mbps

capability 3.6 Mbps capability 7 Mbps capability 10 Mbps capability RLC and MAC-HS parameters

Total buffer size (Kbytes) Tbd Tbd Tbd Tbd

Maximum number of AM RLC entities Tbd Tbd Tbd Tbd

Phy parameters

{Maximum number of HS-DSCH codes received, Minimum inter-TTI interval, Maximum number of HS-DSCH transport channel bits that can be received within an HS-DSCH TTI}

{5,3, 9600} {5, 1, 9600}

{10, 1, [15342]} Or {10, 1,

19200}

{15, 1,[20456]}

Or {15, 1, 28800}

Total number of soft channel bits 19200 57600 115200 172800

Pada aplikasinya HS-DSCH terdiri dari 2 jenis kanal, yaitu :

1. High Speed Physical Downlink Shared Channel (HS-PDSCH).

High Speed Physical Downlink Shared Channel (HS-PDSCH) digunakan untuk

membawa High Speed Downlink Shared Channel (HS-DSCH). Kanal inilah yang membawa paket data yang sebenarnya. Pada tiap selnya, mampu mengalokasikan 15 kanal HS-PDSCH. Sebuah HS-PDSCH bersesuaian dengan satu kode kanal dengan spreading factor, SF= 16


(25)

dari satu set kode kanal sebelumnya dari transmisi HSDSCH [2]. Struktur dari subframe dan

slot pada HS-PDSCH ditunjukkan oleh Gambar 2.5.

T slot = 2560 chips, M*10*2k bits (k = 4)

1 subframe : Tf = 2 ms

Gambar 2.5 Struktur subframe dari HS-PDSCH [2]

Satu HS-PDSCH mampu menggunakan modulasi QPSK ataupun 16QAM. Pada gambar diatas, M adalah jumlah bit tiap symbol, yaitu M = 2 untuk modulasi QPSK dan M = 4 untuk modulasi 16 QAM. Format slotnya seperti pada Tabel 2.2.

Table 2.2 Format HS-DSCH [2]

Semua yang berhubungan dengan informasi layer pertama/ fisik ditransmisikan ke dalam HS-SCCH, dimana HS-PDSCH tidak membawa informasi layer 1 apapun.

1. High Speed Shared Control Channel (HS-SCCH).

HS-SCCH adalah kanal fisik downlink dengan rate yang tetap (fixed) digunakan untuk membawa informasi signalling (set kode kanal, skema modulasi, Transport Blok Size, jumlah proses H-ARQ, redundancy dan parameter-parameter konstelasi, data flag, dan identitas UE) pada arah downlink pada transmisi HS-DSCH.

Slot format #i

Channel Bit Rate (kbps

Channel Symbol Rate

(kbps)

SF Bits/ HSDSCH

subframe

Bits/ Slot Ndata

0 (QPSK) 480 240 16 960 320 320

1 (16QAM) 960 240 16 1920 640 640

Data

N bi


(26)

HS-DSCH menggunakan SF = 16 dan modulasi QPSK. Jumlah kanal HS-SCCH yang diijinkan mencapai 32 kanal per sel, 4 kanal tiap UE. Gambar 2.6 mengilustrasikan struktur sub-frame dari HS-SCCH.

T slot = 2560 chips, 40 bits

1 subframe: Tf = 2 ms

Gambar 2.6 Struktur subframe dari HS-SCCH [2]

Sedangkan pada arah uplink, HSDPA menggunakan kanal High Speed Dedicated

Physical Control Channel (HS-DPCCH). Kanal uplink inilah yang membawa informasi

signalling, diantaranya ACK (Acknowledgement) / Negative-ACK dan CQI (Channel Quality

Indicator). Kanal ini menggunakan Spreading Factor = 256 dan modulasi QPSK. Informasi

signalling dari kanal inilah yang nantinya akan diterima di node B sebagai representasi dari keadaan teraktual UE saat itu. Ketiga jenis kanal tersebut menggunakan Time Transmision

Interval (TTI) dengan panjang 2ms.

Pemetaan dari kanal transport HS-DSCH ke kanal fisik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

HS-DSCH High Speed Physical Downlink Shared Channel (HS-PDSCH) HS-DSCH- related Shared Control Channel (HS-SCCH)

Dedicated Physical Control Channel (uplink) for HS-DSCH (HS-DPCCH)

Gambar 2.7 Pemetaan dari Kanal Transport ke Kanal Fisik Data

b


(27)

HS-PDSCH(s)

Inter –TTI = 3

Data DTX Data DTX Data DTX Data DTX Data

Inter-TTI = 2

1.3.1.2Transmision Time Interval (TTI) 2ms

Transmision Time Interval (TTI) 2ms, yang mampu menyediakan kecepatan transmisi

lebih besar pada layer fisik. Dibandingkan dengan W-CDMA yang memiliki TTI 10 ms, hal ini berarti kemampuan beradaptasi kanal yang lebih cepat terhadap perubahan kondisi propagasi. Interval antar TTI-nya, yaitu jumlah TTI (subframe) antara waktu transmisi pada UE yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.8.

HS-PDSCH(s)

Gambar 2.8 Pola Interval Antar-TTI

Interval antar-TTI minimum yang harus bisa didukung oleh UE adalah 1, 2, juga 3. Nilai ini bergantung dari kategori HS-DSCH seperti yang disebutkan di Tabel 2.1. Dimana UE dengan interval antar TTI nya 1, maka harus bias menerima data setiap subframe, jika nilainya 2, maka setiap 1 subframe yang lain [3]. Oleh karena itu, UE pada umumnya mampu memiliki interval antar TTI = 1.

2.3.1.3 Penjadwalan Trafik Cepat (fast traffic scheduling)

Penjadwalan trafik cepat (fast traffic scheduling) yang berarti bahwa variasi yang terjadi dari perubahan kondisi radio dapat diakomodasikan dan BTS mampu mengalokasikan kapasitas sel sebanyak user tertentu untuk periode waktu yang pendek. Hal ini berarti seorang

user dapat menerima sebanyak data sepanjang kondisi radio tersebut memungkinkan


(28)

2.3.1.4Adaptive Modulation and Coding (AMC)

Dengan adaptasi saluran yang cepat. Ini berarti bahwa format modulasi dan coding dapat dirubah berdasarkan variasi dari kondisi kanal, mengarah ke data rate yang lebih tinggi untuk user dengan kondisi radio tertentu. Jika pada UMTS Release 99 yang menggunakan hanya modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK), maka HSDPA menyediakan kemampuan untuk menggunakan 16-QAM ketika saluran sedang dalam kondisi yang cukup sempurna, sehingga dapat menaikkan data rate secara signifikan.

2.3.1.5Pengiriman Kembali (Retransmision)

Pengiriman kembali (retransmision) berdasarkan pada teknik Hybrid Automatic

Response reQuest (HARQ) yang mampu mengirimkan kembali paket-paket yang gagal

dalam sebuah window 10ms dan menjamin bahwa throughput TCP dalam keadaan tinggi. Dengan menggunakan beberapa pendekatan tersebut, semua user, baik dekat atau jauh dari

base station dapat menerima data rate yang optimum. Gambar 2.9 menjelaskan arsitektur

jaringan HSDPA dan perbedaannya dengan WCDMA.


(29)

2.3.2 HSUPA (High Speed Uplink Packet Access)

Sama halnya dengan HSDPA untuk downlink, HSUPA didefinisikan sebagai radio

interface baru untuk komunikasi uplink. Tujuan kesemuanya adalah untuk meningkatkan coverage dan throughput bersamaan dengan mengurangi delay pada kanal transport uplinknya. Dari sudut pandang 3GPP, standard awalnya disetujui pada bulan Desember 2004,

dan aspek performansinya diselesaikan selama musim panas 2005. E-DCH (Enhanced

Dedicated Channel) adalah nama yang diadopsi dari 3GPP untuk HSUPA yang termasuk ke

dalam 3GPP Release 6.

Kemampuan-kemampuan utamanya yang diperkenalkan pada HSUPA adalah:

1. Dedicated channel uplink yang baru. Tidak seperti HSDPA, HSUPA berbasis pada

sebuah dedicated channel. Seri kanal baru diperkenalkan untuk keduanya, signaling dan trafik, untuk menambah keseluruhan kemampuan uplink.

2. Pengenalan H-ARQ dimana menggunakan metode yang sama pada HSDPA untuk

error recovery pada layer fisik.

3. Penjadwalan cepat pada Node B yang mampu melakukan kontrol pada Node B, dimana batasnya diatur oleh RNC, pengaturan dari transport format codes yang dapat dipilih UE. Hal ini akan mampu meningkatkan coverage dan kapasitas di uplink.

2.4 Teknik Penjadwalan Trafik

Pada dasarnya, sistem penjadwalan trafik mengatur distribusi dari resources bagi user pada kanal HS-DSCH yang digunakan secara share, dengan menentukan perilaku keseluruhan dari sistem secara luas. Penjadwalan trafik yang cepat umumnya diterapkan berdasarkan kondisi kanal untuk memaksimalkan aplikasi teknik AMC dan HARQ sebelumnya, dan harus mempertimbangkan jumlah data yang menunggu (antrian) dan prioritas jenis layanan, pada waktu yang sama.


(30)

Penjadwalan trafik melihat beberapa aspek dari kondisi multi-user yang beragam sehingga data dari user tersebut dapat segera ditransmisikan ketika kondisi link radio mengijinkan kecepatan data yang tinggi. Disamping itu, juga digunakan untuk mengatur

fairness level.

Jika awalnya, sistem penjadwalan ini di terapkan di Radio Network Controller (RNC), maka pada sistem HSDPA ini sistem penjadwalan diterapkan di node B. Dimaksudkan untuk mengantisipasi dalam menyeimbangkan kondisi kanal radio yang berubah secara cepat. Dengan begitu, dapat mempermudah akses pada kanal radio. Dan dengan Time Transmision

Interval (TTI) yang lebih pendek, yaitu 2 ms, dari TTI sebelumnya pada Release ’99, 10 ms,

maka didapatkan kondisi kanal seketika yang lebih akurat. TTI tersebut merepresentasikan periode dimana suatu set data blok dapat ditransmisikan melalui kanal fisik pada link radio.

Secara umum, algoritma penjadwalan digunakan untuk menentukan user yang paling cocok untuk mengakses kanal sehingga dapat mengoptimalkan troughput, fairness, dan

delay. Algoritma penjadwalan trafik berdasarkan model kanalnya, dapat dikategorikan

menjadi 2 macam. Pertama, algoritma penjadwalan pada model kanal two-state on-off Markov. Karena cukup sederhana, model kanal two-state Markov lebih cocok diaplikasikan untuk menilai faktor keadilan (fairness) dari algoritma penjadwalan tersebut. Bagaimanapun juga, model kanal two-state Markov ini mempunyai keterbatasan jika diaplikasikan pada karakteristik kanal secara real. Kedua adalah algoritma penjadwalan pada model kanal praktis yang lebih menekankan pada kondisi multi-user yang beragam. Beberapa teknik penjadwalan tersebut diantaranya adalah Max SNR, Round Robin (RR), Proportional Fair

(PF), dan penjadwalan Fair Channel Dependent (FCD).

Berikut ini dijelaskan prinsip dan karakteristik dari masing-masing teknik penjadwalan trafik.


(31)

2.4.1 Maksimum SNR

Teknik penjadwalan ini mengurutkan semua user berdasarkan rasio Signal to Noise

Ratio (S/N) pada selang waktu tertentu. Didesain untuk mengalokasikan kanal bagi user

dengan nilai SNR yang paling bagus sehingga teknik ini paling baik dalam mendapatkan

troughput jaringan yang maksimum. Dalam hal ini, UE pada posisi yang baik akan memiliki troughput terbesar, namun akibatnya sistem tidak dapat melayani user dengan posisi yang

tidak begitu menguntungkan secara optimal (misal pada kondisi interferensi yang besar). Oleh karena itu, maksimum SNR merupakan teknik penjadwalan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi kanal radio yang bervariasi.

2.4.2 Round Robin

Berbeda dengan maksimum SNR, teknik penjadwalan ini mengalokasikan kanal bagi

user dengan waktu pelayanan yang sama. Prinsip dasarnya dengan memilih user yang belum

dilayani untuk jangka waktu yang lama. Sehingga teknik penjadwalan ini lebih fair dari maks-SNR, tetapi menghasilkan troughtput yang lebih kecil.

2.4.3 Proportional Fair

Teknik penjadwalan ini merupakan pengembangan dari teknik Maksimum SNR, yang mampu meningkatkan performansi jaringan dari segi fairness, dan delay tetapi menurunkan

troughput sistem. Prinsip dasarnya adalah mengurutkan semua user berdasarkan nilai transfer rate dibagi dengan rata-rata transfer rate sistem, yang lebih tinggi.


(32)

BAB III

PERANCANGAN DAN SIMULASI

3.1 Model Sistem

Pemodelan sistem HSDPA secara garis besar dapat digambarkan oleh blok diagram berikut :

UPLINK DOWNLINK

Gambar 3.1 Diagram Blok dari Model Sistem

Dari Gambar 3.1 tersebut, user membangkitkan trafik yang nantinya diterima dan diolah oleh node B. Kemudian dengan sistem penjadwalan tertentu, trafik – trafik tersebut akan dijadwalkan sesuai dengan algoritma dari masing-masing penjadwalan trafik seperti delay antrian, throughput dan packet loss dan jika ada sinyal yang diterima dari user mengalami

scattering karena adanya obstacle seperti gedung bertingkat dan kendaraan maka akan

dimodulasikan melalui kanal AWGN. Dan dari node B diolah dan dikirim kembali ke user. Karena pada simulasi ini berorientasi pada pengaruh jarak, maka penyebaran UE dibedakan berdasarkan jarak antara node-B dengan User Equipment (UE) itu sendiri, yaitu antara 0 - 1,6 km dengan interval jarak 0,1 km untuk mendapatkan nilai SNR yang relatif bervariasi. Model sistem pada saat downlink ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Model Sistem pada saat Downlink

USER RAYLEIGH +

KANAL AWGN

NODE B

RAYLEIGH + KANAL AWGN

USER

NODE B RAYLEIGH +

KANAL AWGN


(33)

3.2 Aspek Propagasi

Sesuai dengan batasan masalah yang telah disebutkan pada Bab I, kanal downlink yang akan dilakukan analisis hanya pada kasus single-cell saja. Dimana sebuah node B melayani N buah terminal atau UE. Struktur kanalnya sendiri yaitu Single Broadband

Channel Shared (SBCS) yang mampu diakses oleh semua user secara Time Division Multiplexing (TDM). Node B akan memancarkan sinyal pilot, yang telah ditentukan

sebelumnya oleh protokol HSDPA, pada masing-masing posisi time slot. Kemudian setiap

user menentukan nilainya untuk mendapatkan gain kanal yang diinginkan. Dan

masing-masing penerima / user, mengirim kembali informasi tentang kondisi jaringannya (transmision rate) dalam bentuk paramater CQI. Dari informasi CQI yang diterima oleh node B ini, didapatkan kondisi kanal tiap user saat ini. Berdasarkan informasi kanal tersebut, kemudian masing-masing teknik penjadwalan akan memilih satu dintara sekian user untuk dilayani pada time slot selanjutnya. Paket dari user terpilih akan ditransmisikan dengan daya penuh dari node B, dimana daya tersebut diasumsikan sama untuk semua user. Node B nantinya hanya akan melakukan pengaturan terhadap transmision rate, tanpa memandang adanya pengaturan daya (power control). Rate control itu sendiri dapat dilakukan dengan berbagai teknik seperti modulasi ataupun coding adaptif. Model interaksi antara UE dengan

node-B tersebut, dapat ditunjukkan pada Gambar 3.3.


(34)

3.2.1 SNR (Signal to Noise Ratio)

Jika daya kirim node B adalah Pt [5], maka daya terima masing-masing user ke-j diberikan sesuai persamaan :

Pj = hj 2Pt ………..……… (3.1) Dimana hj adalah gain kanal. Gain kanal ini juga merepresentasikan efek dari berbagai macam fenomena propagasi seperti scattering, dan absorbsi gelombang radio,

shadowing oleh objek-objek penghalang (obstacle), dan multipath fading. Gain kanal dari

sebuah node B kepada user-j dapat dituliskan dalam bentuk persamaan berikut [5] :

hj= cdj −αsjmj ……….……… (3.2)

Dimana :

c adalah konstanta gain antena pengirim dan penerima. dj adalah jarak antara node B dengan user-j.

α adalah pathloss ekponensial (diasumsikan sebesar 3.523 pada lingkungan urban).

sj adalah variabel random untuk efek shadowing (efek shadowing diasumsikan

mengikuti distribusi log-normal dengan mean = nol (zero-mean) dan variansi σ2, dalam skala logaritmik).

mj adalah efek multipath fading yang dimodelkan sebagai variabel random

eksponensial dengan mean = 1, yang merepresentasikan kanal rayleigh fading. Jika kita substitusikan persamaan 3.2 ke dalam persamaan 3.1 , akan didapat [5] :


(35)

Dikarenakan hanya bekerja pada skenario single-cell , maka interferensi sel lain dianggap tidak ada. Sehingga dapat ditentukan nilai SNR dari user-j sebagai [5]:

SNR ฀฀฀฀ n j

P P

………..……… (3.4)

Dimana Pn adalah daya noise total, termasuk didalamnya thermal noise dan interferensi Gaussian lainnya. Kemudian didefinisikan nilai median dari SNR di tepi sel, yaitu ρ, untuk merepresentasikan level daya noise dari lingkungan wireless yang dibahas. Dari persamaan [5] :

ρ= cD−α

n t

P P

………..……… (3.5)

Sehingga,

Pn= cD−α Pt ρ ……….…… (3.6)

Jika kita substitusikan persamaan 3.3 dan persamaan 3.6 ke dalam persamaan 3.4, dimana D adalah radius/jari-jari sel, maka didapatkan nilai rata-rata SNR dari user-j sebagai berikut [5] :

SNRj= ρ j j

j

m s d

D α

   

……… (3.7)

Dari asumsi tersebut didapat bahwa level daya terima mengikuti pola distribusi eksponensial dan daya noise adalah konstan, sehingga SNR dapat dimodelkan pula sebagai variabel random eksponensial.


(36)

Nilai parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Parameter – parameter simulasi

Parameter Asumsi

Radius/ jari-jari sel 1.6 km

Jarak antara user dengan node B 0.1-1.6 km dengan interval 0.1 km

Daya pancar node B 20 W atau 43 dB

Pathloss eksponensial 3.523

Standard Deviasi dari Shadowing (σs) 8 dB atau 6.3

Median SNR di tepi sel (ρ) 0 dB

Daya background noise Disesuaikan dengan ρ

Mean dari multipath fading 1

3.2.2 CQI (Channel Quality Indicator)

Parameter CQI digunakan oleh node B sebagai indikator kualitas kanal dari masing masing user yang dilayani. Parameter CQI tersebut merupakan hasil informasi feedback dari tiap user seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu SNR. Nilai CQI dapat ditentukan dengan persamaan berikut [6]:

CQI = min

              

+16,62 ,22

02 , 1 ) ( , 0

max SNR dB ………..……. (3.8)

Dimana, SNR (dB) menyatakan Signal Noise to Ratio (dalam desibel) dan nilai CQI maksimum dari 22 yang bersesuaian untuk UE kategori 1-6.

Sesuai dengan persamaan tersebut, terlihat bahwa semakin besar nilai SNR, maka semakin besar pula nilai CQI-nya. Setelah CQI tersebut diolah, Node B yang melayani

multiple-user tersebut akan memetakan ke dalam kombinasi jenis coding rate, skema

modulasi dan jumlah HS-PDSCH yang digunakan, dimana juga menentukan banyaknya


(37)

yang akan menjadi patokan bagi node B dalam pengiriman data. Pemetaan kombinasi skema modulasi, TBS, dan juga jumlah HS-PDSCH yang digunakan.

3.2.3 Kanal Multipath Fading

Efek dari multipath fading terjadi karena sinyal yang diterima oleh user mengalami

scattering karena adanya obstacle, misalkan gedung bertingkat dan kendaraan. Sehingga

mengakibatkan fluktuasi daya di penerima, yang disebut fading. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4 Sinyal Multipath Fading di sisi penerima

Terlihat bahwa daya yang diterima adalah daya sesaat (instantaneous) yang merepresentasikan efek dari small scale-fading, yaitu multipath fading. Untuk merepresentasikan daya sesaat tersebut dapat didekati juga dengan menggunakan pendekatan distribusi eksponensial. Sehingga pendekatan tersebut dapat dilihat dari data dan grafik berikut. Data dari kanal efek multipath fading dapat dilihat pada Tabel 3.2.


(38)

Tabel 3.2 Data efek multipath fading

Efek multipath fading

Jarak (km) Daya ternormalisasi (dB)

0.1 0.90484

0.2 0.81873

0.3 0.74082

0.4 0.67032

0.5 0.60653

0.6 0.54881

0.7 0.49659

0.8 0.44933

0.9 0.40657

1 0.36788

1.1 0.33287

1.2 0.30119

1.3 0.27253

1.4 0.2466

1.5 0.22313


(39)

Gambar daya sesaat dengan menggunakan pendekatan distribusi eksponensial dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Pendekatan Efek Multipath Fading

3.2.4 Kanal AWGN

Noise putih merupakan suatu proses stokatik yang terjadi pada kanal dengan

karakteristik memiliki rapat spektral daya noise merata di sepanjang range frekuensi. Pemodelan kanal Additive White Gaussian Noise dapat diperlihatkan pada Gambar 3.6.

Sinyal kirim Sinyal terima

sm(t) + r (t) = sm(t) + n (t)

Noise n (t)

Gambar 3.6 Pemodelan Kanal AWGN

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

efek multipath fading

jarak UE ke node-B (km)

D

ay

a t

em

or

m

al

is

as

i(

dB

)


(40)

Sinyal informasi, s m (t) yang ditransmisikan dari bagian transmiter akan diterima di

receiver dalam bentuk persamaan :

r(t)= s m (t) + n(t), 0 ≤ t T ... (3.9)

Dimana n(t) merupakan noise yang terjadi selama proses transmisi sinyal kirim sampai diterima pada bagian receiver, dan T adalah perioda simbol kirim.

3.3 Sistem Penjadwalan Trafik

Sistem penjadwalan trafik mengatur distribusi dari resources bagi user pada kanal yang digunakan. Penjadwalan trafik melihat beberapa aspek dari kondisi multi-user yang beragam seperti generator trafik dan algoritma penjadwalan trafik.

3.3.1 Generator Trafik

Jaringan UMTS/ HSDPA yang dibahas tersebut melayani aliran data yang diasumsikan sebagai transfer sisi downlink dengan nilai mean sesuai dengan bit rate kanal, μ

= 480 kbit/detik. Pola kedatangannya mengikuti pola distribusi Poisson dengan nilai λ = 2

aliran paket /detik sebagai representasi dari besar trafik pada komunikasi data. Dengan ukuran paket = 1920 bit (sesuai dengan alokasi panjang bit tiap TTI pada Tabel 2.2).

3.3.2 Algoritma Penjadwalan Trafik

Algoritma penjadwalan digunakan untuk menentukan user yang paling cocok untuk mengakses kanal sehingga dapat mengoptimalkan troughput, fairness, dan delay. Beberapa teknik penjadwalan tersebut diantaranya adalah Max SNR, round robin, proportional fair.


(41)

Start

Jarak=0,1 km Waktu = 0

Kirim paket (60 paket) bit rate kanal, μ = 480 kbit/detik

nilai λ = 2 aliran paket /detik

Paket diterima oleh node B (masuk antrian)

Paket di prroses oleh node B Ambil paket dari

antrian

Paket benar (jumlah bit tidak melebihi ukuran

max,1920)

Apakah antrian kosong? tidak

tidak

Hitung troughtput = Jumlah data yang benar/waktu

pengiriman bit Paket selesai

diproses Hitung delay

antrian

Hitung paket loss ya

ya

End


(42)

3.3.2.1 Round Robin

Penjadwalan round robin atau juga yang juga disebut fair time scheduling, melayani semua sumber antrian yang tidak kosong dalam model round robin.

Prinsip dasarnya, yaitu “semua sumber antrian yang tidak kosong haruslah dilayani

terlebih dahulu sebelum melayani kembali satu user”[1] . Oleh karena itu, frame selanjutnya

tidak dapat melayani user yang sama pada frame itu juga, kecuali jika hanya ada satu sumber antrian yang tidak kosong. Secara spesifik, penjadwalan ini akan menjadwalkan user-j pada TTI ke-k jika [7]:

User-j = mod ( ( k-1 ), N ) + 1 ………..….. (3.10)

Dimana mod(.) adalah operator modulus dan N adalah jumlah user yang sedang aktif dalam sistem. Dari persamaan tersebut terlihat bahwa teknik penjadwalan ini independen terhadap kondisi propagasi maupun karakteristik kanal, sehingga tidak menganggap adanya keragaman kondisi multi-user. Meskipun begitu, teknik ini lebih adil (fair) jika dibandingkan dengan maksimum SNR.

3.3.2.2Maksimum SNR

Penjadwalan maksimum SNR selalu memilih user-j yang memiliki level SNR yang maksimum. Pada permulaan TTI, penjadwalan ini membandingkan level SNR dari tiap-tiap

user, kemudian memberikan kemampuan kepada user-j dengan level SNR tertinggi untuk

mengakses kanal. Prinsip dasar dari sistem penjadwalan ini adalah “membolehkan bagi UE

dengan nilai SNR tertinggi untuk mengirimkan data hingga antrian dari UE tersebut kosong, kemudian data akan tiba untuk UE yang lain dengan nilai SNR yang lebih besar.” [1] .

Secara spesifik, teknik penjadwalan maksimum SNR akan memilih user-j jika [7]:


(43)

Dengan kata lain, teknik ini benar-benar memperhatikan kondisi propagasi dan karakteristik kanal dan mendukung adanya keragaman (diversity) multi-user.

3.3.2.3Proportional Fair

Ide dasar dari algoritma ini adalah memilih user untuk dijadwalkan berdasarkan rasio antara transfer rate user-j terhadap nilai rata-rata transfer rate, bagi user yang sedang aktif. Rasio inilah yang kemudian didefinisikan sebagai preference metric. Secara spesifik, penjadwalan Proportional Fair akan memilih user-j jika [7]:

user j ฀฀max

) (

) (

rate j rate

……….. (3.12)

Dalam kasus khusus, dimana user memiliki nilai CQI yang identik atau dengan kata lain preference metric yang sama, maka akan digunakan penjadwalan round robin.

3.3 Modulasi

Data digital urutan serial akan dipetakan menjadi simbol in-phase dan quadrature/ amplitude. Pemetaan yang digunakan tergantung pada jenis modulasi yang digunakan. Dimana ada 2 tipe modulasi yang digunakan pada jaringan HSDPA ini, yaitu 16-QAM dan QPSK. Sesuai dengan tabel CQI untuk kategori 1-6, penentuan modulasi yang akan digunakan oleh UE bergantung pada nilai CQI masing-masing UE tersebut.

3.3.1 QPSK

QPSK memetakan data digital menjadi k bit (k = 2), sebanyak M symbol (M = 2k = 4), yaitu 00, 01, 11, 10. Modulasi QPSK digunakan pada daerah cakupan BTS dengan nilai CQI antara 1-15. Dengan kata lain, modulasi ini hanya digunakan untuk user dengan kondisi kanal yang buruk.


(44)

3.3.2 16-QAM

16-QAM memetakan data digital menjadi k bit (k = 4), sebanyak M symbol (M = 2k = 16). Modulasi QAM digunakan pada daerah cakupan BTS dengan nilai CQI antara 16-30. Dengan kata lain, modulasi ini hanya digunakan untuk user dengan kondisi kanal yang baik.

3.3.3 Parameter-Parameter Simulasi

Parameter-parameter yang akan dihitung pada simulasi ini adalah throughput, delay,

fairness dan packet loss. 3.4.1 Throughput

Nilai throughput sistem ditentukan dengan :

Throughput =

bit pengiriman Waktu

diterima data

bit Jumlah dikirim

data bit

Jumlah

... (3.13) Dimana jumlah bit data dikirim merepresentasikan jumlah kanal HS-PDSCH yang

dialokasikan sesuai dengan nilai CQI dikali dengan jumlah bit maksimal yang boleh dikirim sesuai dengan jenis modulasinya, sedangkan jumlah bit data error adalah akibat dari noise AWGN. Sehingga throughput sistem adalah jumlah bit benar yang diterima dibandingkan dengan waktu pengiriman bit. Dimana waktu pengiriman bit adalah waktu mulai bit dikirim hingga waktu bit diterima.

Throughput =

bit pengiriman waktu

benar diterima data

bit Jumlah


(45)

Flowchart throughput pada simulasi ini diperlihatkan pada Gambar 3.8.

tidak

ya

Gambar 3.8 Flowchart throughput

Nilai throughput dihitung jarak yang telah ditentukan yaitu jarak antara 0.1 km sampai 1.6 km. Dari flowchart ini, dihitung throughput pada jarak 0.1 km sampai 1.6 km dan akan ditampilkan grafik throughput yang akan diperoleh dari simulasi ini.

Start

Jarak 0.1 km

Hitung throughput

Tampilkan grafik

throughput

Jarak + 0.1 km

Jarak > 1.6 km


(46)

3.4.2 Delay antrian

Delay yang akan ditentukan adalah delay waktu data saat berada dalam sistem

dikarenakan masing-masing teknik penjadwalan. Dengan kata lain, delay antrian diasumsikan sebagai waktu data sebelum ditransmisikan dikurangi waktu masuk antrian. Atau dapat ditentukan dalam persamaan :

Delay antrian = waktu sebelum transmisi ฀฀waktu masuk

Untuk melihat waktu kedatangan data dari user berdasarkan jarak masingmasing user terhadap node-B, maka :

t j =

c

dj

... (3.15)

Dimana:

t(j) adalah waktu data user-j sampai ke node-B

c adalah kecepatan rambat gelombang = 3 x 108 m/s = 3 x 105 km/s

Dan perbedaan waktu kedatangan data pada masing-masing jarak dapat juga diperoleh dengan persamaan berikut :

t( j)=

c

dj

Jika ฀d j = 0.1 km, maka t( j) = 0,33 us. Apabila dibandingkan dengan waktu

pelayanan minimum sebesar = 1 TTI atau = 2ms, maka dapat diasumsikan data yang sampai di node-B oleh masing-masing jarak adalah << waktu pelayanan. Atau dengan kata lain, semua data diterima di node-B hampir secara bersamaan.


(47)

Sehingga model antriannya, dapat didekati dengan model antrian pada Gambar 3.9.

From node-B

HS-SCCH HS-PDSCH serving time (n) serving time (n-1) serving time (2) serving time (1)

T out (n-1) T in (n-1) T out (1) T in (1) Tout (n) T in (n) T out (2) T in (2)

Gambar 3.9 Model Delay Antrian ketika di node-B

Berdasarkan Gambar 3.8 tersebut, maka akan ada beberapa parameter, yaitu :

1. Untuk n = 1 (data ke-1)

T in(1) = T HS-SCCH = 2 slot = 2/3 TTI

T out(1) = serving time (1) + T in(1)

Delay(1) = T out(1)

2. Untuk n = 2 (data ke-2) T in(2) = T out(1)

T out(2) = serving time (2) + T in(2)

Delay(2) = T out(2), dst.

Sehingga delay antrian,

3. Untuk data ke-n T in(n) = T out(n-1)

T out(n) = serving time (n) + T in(n) Control (n) Control (n-1)

Data (n) Data (n-1)

Control (2) Control (1) Data (2) Data (1)


(48)

Dimana :

THS-SCCH adalah waktu awal pengiriman kanal HS-SCCH T in(n) adalah waktu data ke-n masuk antrian

T out(n) adalah waktu data ke-n meninggalkan antrian dan siap ditransmisikan. Dengan demikian besar delay antrian user ke-n adalah :

Delay(n) = Tout(n) = serving time (n) + Tout(n-1) ……… (3.16)

Karena semua besar data dalam bentuk TTI, maka besar delay antrian dapat diamati per TTI. Pada simulasi ini, notasi Kendall-nya adalah M/M/16, dimana 16 menyatakan jumlah server yang disimulasikan, berdasarkan interval jarak yang dianalisa, yaitu antara 0.1 km hingga 1.6 km interval 0.1 km. Flowchart delay antrian diperlihatkan pada Gambar 3.10.

tidak

ya

Gambar 3.10 Flowchart delay antrian

Start

Jarak 0.1 km

Hitung delay antrian

Tampilkan grafik

delay antrian

Jarak + 0.1 km

Jarak > 1.6 km


(49)

Nilai delay antrian dihitung dari jarak yang telah ditentukan yaitu jarak antara 0.1 km sampai 1.6 km. Dari flowchart ini, dihitung delay antrian pada jarak 0.1 km sampai 1.6 km dan akan ditampilkan grafik delay antrian yang akan diperoleh dari simulasi ini.

3.4.3 Keadilan (Fairness)

Menurut Raj Jain, fairness dapat direpresentasikan dalam bentuk indeks [5]. Dimana

fairness index suatu sistem adalah :

Fairness Index (FI )=

(

)

2 2

j j X n

X Σ Σ

……….………(3.17)

Dimana :

Xj menyatakan throughput yang terukur dinormalisasi terhadap throughput optimal.

X

j

=

j j O T

...(3.18)

Dengan T j merupakan throughput user-j yang terukur,

Oj adalah throughput optimal dari 48ystem, untuk HSDPA kategori 1-6 = 3,6 Mbps.

N adalah banyaknya nilai throughput yang diukur.

Dijelaskan pula, bahwa fairness index memiliki batas nilai antara 0–1 % atau 0 – 100 %. Semakin tinggi indeksnya, maka semakin adil (fair) pula sistem tersebut.

Dengan menggunakan persamaan Raj Jain ini, maka dapat ditentukan seberapa fair kah suatu teknik penjadwalan trafik dengan memanfaatkan parameter throughput yang telah terukur pada masing-masing user-nya.


(50)

3.4.4 Packet Loss

Nilai packet loss dapat dinyatakan sebagai :

Packet Loss =

dikirim paket

Jumlah

diterima paket

Jumlah dikirim

paket

Jumlah

………..……….. (3.19)

Dimana jumlah paket data dikirim sesuai dengan alokasi jumlah HS-PDSCH pada masing-masing nilai CQI. Sedangkan jumlah paket diterima menyatakan jumlah paket yang telah dimodulasi. Karena pada komunikasi data untuk lingkungan wireless, terjadinya kongesti relatif lebih kecil daripada komunikasi berbasis wired. Maka penghitungan packet

loss dapat dianalogikan dengan jumlah bit data yang terkirim salah / error. Flowchart packet loss pada simulasi ini diperlihatkan pada Gambar 3.11.

tidak

ya

Gambar 3.11 Flowchart packet loss

Start

Jarak 0.1 km

Hitung packet loss

Jarak + 0.1 km

Jarak > 1.6 km

End

Tampilkan grafik


(51)

Nilai packet loss yang dihitung dari jarak yang telah ditentukan yaitu jarak antara 0.1 km sampai 1.6 km. Dari flowchart dapat dihitung packet loss pada jarak 0.1 km sampai 1.6 km dan akan ditampilkan grafik packet loss yang akan diperoleh dari simulasi ini.


(52)

BAB IV

ANALISIS PERFORMANSI JARINGAN HIGH SPEED DOWNLINK PACKET

ACCESS (HSDPA) BERDASARKAN TEKNIK PENJADWALAN TRAFIK

Pada bab ini membahas hasil yang diperoleh setelah simulasi dilakukan. Simulasi-simulasi yg dianalisis adalah SNR (dB), nilai CQI pada arah uplink, perbandingan throughput pada masing teknik penjadwalan trafik, perbandingan delay antrian pada masing-masing teknik penjadwalan trafik, perbandingan fairness pada masing-masing-masing-masing teknik penjadwalan trafik, dan packet loss. Simulasi-simulasi yang dilakukan pada kondisi tanpa ataupun dengan multipath fading.

4.1 Signal to Noise Ratio (SNR)

Hasil simulasi pada Signal to Noise Ratio (SNR) pada kondisi tanpa ataupun dengan

multipath fading diperlihatkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Nilai SNR pada kondisi dengan dan tanpa Multipath Fading

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

-20 -10 0 10 20 30 40

SNR

jarak UE ke node-B (km)

S

NR (

d

B

)

tanpa fading dengan fading


(53)

Dari grafik pada Gambar 4.1, dapat dilihat bahwa untuk kondisi kanal dengan fading memiliki gradasi nilai SNR yang semakin tajam. Hal ini disebabkan karena pada efek

multipath fading, menentukan level daya penerimaan (signal) user. Sesuai dengan

karakteristik rayleigh fading, bahwa nilai level daya terima sesaat user akan sesuai dengan distribusi eksponensial terhadap jarak user tersebut. Efek yang ditimbulkan oleh kanal

multipath fading mengalami penurunan yang lebih tajam, pada user dengan jarak lebih dari

0.5 km. Kondisi yang juga terlihat sangat jelas adalah semakin dekat jarak UE ke node-B, maka semakin besar pula nilai SNR nya. Karena selain dipengaruhi oleh efek large-scale

fading (shadowing) dan small-scale fading (multipath fading), SNR juga adalah fungsi jarak

yang sangat mempengaruhi rugi-rugi (loss) propagasi.

4.2 Nilai CQI pada arah uplink

Untuk menentukan kombinasi mekanisme dan parameter transmisi data (besar

Transport Block Size (TBS), modulasi, ataupun jumlah HS-PDSCH), node-B membutuhkan

informasi mengenai keadaan kanal pada masing-masing user melalui nilai CQI nya. Berikut ini akan dipaparkan nilai CQI yang didapat, berikut pemetaan terhadap kombinasi TBS, jenis modulasi, dan jumlah HS-PDSCH yang akan digunakan dalam pengiriman data.


(54)

4.2.1 Nilai CQI Tanpa Kondisi multipath fading

Nilai CQI (Channel Quality Indicator) yang dihasilkan pada simulasi ini dengan kondisi tanpa multipath fading diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Pemetaan nilai CQI tanpa kondisi multipath fading

Jarak (km)

CQI

TBS (bit)

Jumlah HS-PDSCH Modulasi

0.1 22 7168 5 16-QAM

0.2 22 7168 5 16-QAM

0.3 22 7168 5 16-QAM

0.4 22 7168 5 16-QAM

0.5 22 7168 5 16-QAM

0.6 22 7168 5 16-QAM

0.7 22 7168 5 16-QAM

0.8 22 7168 5 16-QAM

0.9 22 7168 5 16-QAM

1 20 5887 5 16-QAM

1.1 18 4664 5 16-QAM

1.2 16 3565 5 16-QAM

1.3 15 3319 5 QPSK

1.4 13 2279 4 QPSK

1.5 12 1742 3 QPSK

1.6 10 1262 3 QPSK

Dari Tabel 4.1, user dengan jarak antara 0.1 km hingga 0.9 km masih memiliki kombinasi (CQI, TBS, Jumlah HS-PDSCH, dan Modulasi) yang sama. Hal ini berarti, user pada rentang jarak tersebut memiliki kondisi kanal yang sangat baik, sehingga pengiriman data dapat dilakukan secara maksimal dengan menggunakan modulasi 16- QAM. Penurunan nilai CQI akan terjadi secara perlahan ketika user berada pada jarak diatas 0.9 km. Pada user


(55)

dengan jarak antara 1.3-1.6 km, pengiriman data hanya dapat dilakukan dengan jumlah bit pada TBS dan HS-PDSCH tertentu menggunakan modulasi QPSK. Dikarenakan user tersebut memiliki kondisi kanal yang kurang baik.

4.2.2 Nilai CQI Dengan Kondisi multipath fading

Nilai CQI (Channel Quality Indicator) yang dihasilkan pada simulasi ini dengan kondisi multipath fading diperlihatkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pemetaan nilai CQI dengan kondisi multipath fading

Jarak (km)

CQI

TBS (bit)

Jumlah HS-PDSCH Modulasi

0.1 22 7168 5 16-QAM

0.2 22 7168 5 16-QAM

0.3 22 7168 5 16-QAM

0.4 22 7168 5 16-QAM

0.5 22 7168 5 16-QAM

0.6 22 7168 5 16-QAM

0.7 22 7168 5 16-QAM

0.8 21 6554 5 16-QAM

0.9 18 4664 5 16-QAM

1 15 3319 5 QPSK

1.1 13 2279 4 QPSK

1.2 11 1483 3 QPSK

1.3 9 931 2 QPSK

1.4 7 650 2 QPSK

1.5 5 377 1 QPSK


(56)

Sesuai dengan Tabel 4.2, user-user yang dikategorikan memiliki kualitas kanal yang sangat baik adalah user yang terletak antara 0.1 km hingga 0.7 km dari node-B. Berbeda dengan hasil CQI pada Tabel 4.1, efek multipath fading mulai terlihat pada user dengan jarak diatas 0.8 km, dimana nilai CQI akan mengalami penurunan. Namun, penurunan yang drastis terjadi ketika user berada antara 1.1 – 1.6 km.

Dengan kata lain, user tersebut memiliki kondisi kanal yang kurang baik untuk dilakukan pengiriman data secara maksimal. Sehingga node-B hanya akan menggunakan modulasi QPSK. Kasus terburuknya adalah bagi user yang berada di jarak 1.5 km hingga tepi sel (1.6 km), karena hanya akan disediakan 1 HS-PDSCH dalam proses transmisi data dengan jumlah TBS yang minimum.

4.3 Perbandingan Throughput Pada Masing-Masing Teknik Penjadwalan Trafik

Perbandingan throughput pada masing-masing teknik penjadwalan trafik tanpa kondisi multipath fading dan dengan multipath fading dengan membandingkan parameter-parameter seperti round robin, Max SNR dan proportional fair.

4.3.1 Throughput Tanpa Kondisi Multipath Fading

Hasil data yang diperoleh dari simulasi untuk throughput tanpa multipath fading dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(57)

Table 4.3 Hasil throughput tanpa kondisi multipath fading

Round Robin Max SNR Proportional Fair

Jarak (km) Throughput (bit/s)

Jarak (km) Throughput (bit/s)

Jarak (km) Throughput (bit/s)

0.1 7.85E+05 0.1 2.56E+06 0.1 2.45E+06

0.2 7.72E+05 0.2 2.51E+06 0.2 2.85E+06

0.3 8.05E+05 0.3 2.73E+06 0.3 2.80E+06

0.4 8.11E+05 0.4 2.79E+06 0.4 2.89E+06

0.5 7.79E+05 0.5 2.75E+06 0.5 2.85E+06

0.6 7.82E+05 0.6 2.67E+06 0.6 2.74E+06

0.7 7.65E+05 0.7 2.45E+06 0.7 2.60E+06

0.8 7.30E+05 0.8 2.33E+06 0.8 2.44E+06

0.9 6.44E+05 0.9 1.99E+06 0.9 2.09E+06

1 5.66E+05 1 1.73E+06 1 1.73E+06

1.1 4.59E+05 1.1 1.41E+06 1.1 1.35E+06

1.2 3.27E+05 1.2 1.04E+06 1.2 9.81E+05

1.3 2.31E+05 1.3 6.76E+05 1.3 6.76E+05

1.4 1.77E+05 1.4 4.95E+05 1.4 4.95E+05

1.5 1.42E+05 1.5 2.94E+05 1.5 2.94E+05

1.6 1.19E+05 1.6 2.17E+05 1.6 2.17E+05

Untuk round robin hasil yang diperoleh dari troughput adalah jika jarak semakin besar maka throughput yang diperoleh semakin kecil. Sedangkan pada Max SNR, pada jarak 0.1 km sampai 1.2 km throughput yang diperoleh semakin kecil dan pada jarak 1.3 km hasil

throughput yang diperoleh sebesar 6.76E+05 bit/s. Pada jarak ini, throughput yang dihasilkan

sangat besar. Dan pada jarak 1.4 km sampai 1.6 km thoughput yang diperoleh semakin kecil. Dan pada proportional fair, jarak 0.1 km sampai 0.5 km throughput yang diperoleh semakin besar sedangkan pada jarak 0.6 km sampai 1.1 km semakin kecil. Dan pada jarak 1.2 km

throughput yang diperoleh sangat besar yaitu 9.81E+05 bit/s dan menurun pada jarak 1.3 km


(58)

Hasil simulasi pada sistem dengan parameter throughput pada kondisi tanpa pengaruh dari multipath fading ditunjukkan juga dengan grafik diperlihatkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Throughput sistem pada kondisi tanpa Multipath Fading

Seperti yang terlihat dari grafik pada Gambar 4.2 tersebut, bahwa throughput dengan penjadwalan round robin memiliki hasil yang tidak jauh berbeda bagi user dengan jarak antara 0.1 km hingga 0.8 km. Hal ini sesuai jika ditinjau dari pengaruh nilai CQI pada Tabel 4.1, dimana user pada rentang jarak tersebut memiliki kombinasi nilai CQI, TBS, jumlah HS-PDSCH, dan modulasi yang sama sehingga besar throughput-nya pun tidak jauh berbeda.

Hal yang sama terjadi pada user pada jarak 1.4–1.6 km, namun dengan nilai

throughput yang lebih rendah. Pada kasus penjadwalan menggunakan max-SNR ataupun

Proportional Fair, nilai throughput pada masing-masing interval jarak user ke node-B tidaklah jauh berbeda. Hanya saja, bagi user dengan jarak lebih dari 0.8 km, nilai throughput yang dicapai mengalami penurunan yang signifikan. Ini terkait dengan kemampuan

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5

3x 10

6 troughput sistem tanpa multipath fading

jarak UE ke BTS (km)

tr

oughput

(

bi

t/

s

)

Round Robin Schedulling max SNR Schedulling Proportional Fair Schedulling


(59)

pengiriman data dengan alokasi jumlah HS-PDSCH yang lebih banyak (sesuai kombinasi CQI dan jumlah HS-PDSCH tiap user) dibanding dari teknik penjadwalan Round Robin, yang hanya melayani satu kanal per user-nya . Karena user dengan pertimbangan tertentu akan diprioritaskan dalam hal transmisi data, yaitu pertimbangan nilai SNR yang paling maksimum pada penjadwalan Max SNR dan pertimbangan nilai transfer rate dibanding

transfer rate rata-rata yang paling tinggi pada penjadwalan proportional fair. Meskipun

demikian, teknik penjadwalan proportional fair memiliki peak throughput yang lebih tinggi yaitu 2.9 Mbps dibanding teknik penjadwalan Max SNR yang mencapai peak throughput 2.7 Mbps.

Namun, jika ditinjau dari nilai throughputnya, keduanya masih memiliki throughput sistem yang lebih baik dari penjadwalan round robin. Dimana untuk kasus penjadwalan

round robin tersebut, hanya mencapai peak throughput hingga 0.8 Mbps. Walaupun begitu,

dengan memprioritaskan user sesuai keadaan diatas, maka user dengan SNR dan nilai

transfer rate dibanding transfer rate rata-rata yang jauh lebih rendah hanya akan mendapat

nilai throughput yang juga sangat rendah. Seperti yang terjadi pada user dengan jarak 1.1-1.6 km dengan SNR dibawah 0 dB.

4.3.2 Throughput Dengan Kondisi Multipath Fading

Hasil data yang diperoleh dari simulasi untuk throughput dengan multipath fading dapat dilihat pada Tabel 4.4.


(60)

Table 4.4 Hasil throughput dengan kondisi multipath fading

Round Robin Max SNR Proportional Fair

Jarak (km) Throughput (bit/s)

Jarak (km) Throughput (bit/s)

Jarak (km) Throughput (bit/s)

0.1 8.48E+05 0.1 3.39E+06 0.1 3.13E+06

0.2 8.21E+05 0.2 3.46E+06 0.2 3.21E+06

0.3 8.40E+05 0.3 3.60E+06 0.3 3.35E+06

0.4 8.34E+05 0.4 3.61E+06 0.4 3.38E+06

0.5 8.08E+05 0.5 3.47E+06 0.5 3.26E+06

0.6 7.72E+05 0.6 3.25E+06 0.6 3.11E+06

0.7 6.84E+00 0.7 2.86E+06 0.7 2.73E+06

0.8 5.37E+05 0.8 2.22E+06 0.8 2.13E+06

0.9 3.92E+05 0.9 1.59E+06 0.9 1.54E+06

1 2.63E+05 1 1.01E+06 1 1.01E+06

1.1 1.51E+05 1.1 5.45E+05 1.1 5.45E+05

1.2 7.72E+04 1.2 2.33E+05 1.2 2.33E+05

1.3 4.82E+04 1.3 1.07E+05 1.3 1.07E+05

1.4 4.95E+04 1.4 4.95E+04 1.4 4.95E+04

1.5 1.78E+04 1.5 1.78E+04 1.5 1.78E+04

1.6 6.51E+03 1.6 6.51E+03 1.6 6.51E+03

Untuk round robin dengan jarak 0.1 km sampai 1.1 km, nilai throughput semakin kecil sedangkan pada jarak 1.2 km nilai throughput semakin besar yaitu 7.72E+04 bit/s dan pada jarak 1.3 km sampai 1.5 km kembali menurun tetapi pada jarak 1.6 km nilai throughput naik sebesar 6.51E+03 bit/s. Sedangkan pada Max SNR, jarak 0.1 km sampai 0.4 km nilai

throughput semakin besar dan pada jarak 0.5 km sampai 1 km nilai pada throughput semakin

kecil. Dan pada jarak 1.1 km nilai throughput yang diperoleh semakin besar yaitu 5.45E+05

bit/s. Dan pada jarak 1.2 km sampai 1.3 km nilai throughput menurun dan kembali naik pada


(61)

1.6 km yaitu sebesar 6.51E+03 bit/s. Pada proportional fair sama dengan hasil pada Max

SNR.

Hasil simulasi pada sistem dengan tinjauan pada parameter throughput pada kondisi dengan multipath fading ditunjukkan juga dengan grafik diperlihatkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Throughput sistem pada kondisi dengan Multipath Fading

Karakteristik throughput pada kondisi dengan multipath fading ini hampir sama jika dibandingkan dengan throughput pada kondisi tanpa multipath fading. Pada kasus teknik penjadwalan Max SNR dan proportional fair, perbedaan mendasar terjadi pada besarnya nilai

throughput yang didapat pada interval jarak user ke node-B antara 0.1 – 0.6 km. Dimana

terjadi kenaikan sekitar 20 % dengan peak 3.6 Mbps. Sebaliknya pada user dengan jarak diatas 0.8 km, terjadi tingkat penurunan yang signifikan. Misalkan pada user yang terletak 1 km dari node-B, hanya mendapatkan throughput sekitar 1 Mbps, atau turun hampir 0.75 Mbps dari kondisi tanpa multipath fading. Terlebih lagi untuk user yang berada di tepi sel,

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

4x 10

6 troughput sistem dengan multipath fading

jarak UE ke BTS (km)

tr

oughput

(

bi

t/

s

)

Round Robin Schedulling max SNR Schedulling Proportional Fair Schedulling


(1)

figure;

plot(d,TR_RR,'r-.x',d,TR_SNR,'g-.x',d,TR_PP,'b-.o');grid; title('troughput sistem tanpa multipath fading');

xlabel('jarak UE ke BTS (km)'),ylabel('troughput (bit/s)'); legend('Round Robin Schedulling','max SNR

Schedulling','Proportional Fair Schedulling');

figure;

plot(d,TR_RR1,'r-.x',d,TR_SNR1,'g-.x',d,TR_PP1,'b-.o');grid; title('troughput sistem dengan multipath fading');

xlabel('jarak UE ke BTS (km)'),ylabel('troughput (bit/s)'); legend('Round Robin Schedulling','max SNR

Schedulling','Proportional Fair Schedulling'); clc;clear;close all

load propagasi load hasil_CQI K_TF= HSPDSCH_TF; K_F= HSPDSCH_F;

%traffic characteristic

miu=480e3; %leaving time in bit/s

lambda=3*1920; %arriving time in flow/s load antrian.dat

for i=1:16;

AN_PP(i)=antrian(3,i); AN_RR(i)=antrian(1,i); AN_SNR(i)=antrian(2,i); AN_PP1(i)=antrian(6,i); AN_RR1(i)=antrian(4,i); AN_SNR1(i)=antrian(5,i); end

for t=1:60;

arriving_rate=poissrnd(lambda,1,length(d)); %poisson distribution

traffic{t}{1}=arriving_rate; save traffic_load traffic %traffic schedulling

for condition=1:2 if condition==1 % tanpa fading for s=1:3; if s==1

%Round Robin schedulling

%% based on equal serving time

%%% user-j is being choosen for every one TTI input_bit_RR=TBS_TF; %payload

n_RR=round(arriving_rate./input_bit_RR); data_RR_TF{t}{1}=n_RR;

save hasil_RR_Schedulling_TF data_RR_TF input_bit_RR elseif s==2


(2)

%SNR based schedulling %% based on SNR

%%% user-j is being choosen if %%% user_j= max (SNR_dB);

seq_1=sort(SNR_TF_dB,'descend'); for l=1:length(seq_1)

user(l)=seq_1(1,l);

input_bit_SNR(l)= TBS_TF(l); %payload end

n_SNR=round(arriving_rate./input_bit_SNR); data_SNR_TF{t}{1}=n_SNR;

save hasil_SNR_Schedulling_TF data_SNR_TF %input_bit_SNR seq_1

else s==3

%Proportional Fair Schedulling %% based on maximum rate

R=TBS_TF.*K_TF; R_total=sum(R);

% user-j is being choosen if % user_j=max(R(j)/((R)/m)); rate=R./(R_total/length(R)); seq_2=sort(rate,'descend') for m=1:length(seq_2)

user(m)=seq_2(1,m);

input_bit_PFS(m)= TBS_TF(m); %payload end

n_PFS=round(arriving_rate./input_bit_PFS); data_PFS_TF{t}{1}=n_PFS;

save hasil_PF_Schedulling_TF data_PFS_TF %input_bit_PFS seq_2

end end else

% dengan fading for s=1:3;

if s==1

%Round Robin schedulling

%% based on equal serving time

%%% user-j is being choosen for every one TTI input_bit_RR=TBS_F; %payload

n_RR=round(arriving_rate./input_bit_RR); data_RR_F{t}{1}=n_RR;

save hasil_RR_Schedulling_F data_RR_F input_bit_RR elseif s==2

%SNR based schedulling %% based on SNR

%%% user-j is being choosen if %%% user_j= max (SNR_dB);

seq_1=sort(SNR_F_dB,'descend'); load troughput_SN_RR_F.dat


(3)

user(l)=seq_1(1,l);

%input_bit_SNR(l)= TBS_F(l); %payload end

n_SNR=round(arriving_rate./input_bit_SNR); data_SNR_F{t}{1}=n_SNR;

save hasil_SNR_Schedulling_F data_SNR_F %input_bit_SNR seq_1

else s==3

%Proportional Fair Schedulling %% based on maximum rate

R=TBS_F.*K_F; R_total=sum(R);

% user-j is being choosen if % user_j=max(R(j)/((R)/m)); rate=R./(R_total/length(R)); seq_2=sort(rate,'descend'); for m=1:length(seq_2)

user(m)=seq_2(1,m);

%input_bit_PFS(m)= TBS_F(m); %payload end

n_PFS=round(arriving_rate./input_bit_PFS); data_PFS_F{t}{1}=n_PFS;

save hasil_PF_Schedulling_F data_PFS_F %input_bit_PFS seq_2

end end end end end figure;

plot(d,AN_RR,'r-.x',d,AN_SNR,'g-.x',d,AN_PP,'b-.o');grid; title('Delay antrian tanpa kondisi multipath fading');

xlabel('jarak UE ke BTS (km)'),ylabel('Delay antrian (TTI)'); legend('Round Robin Schedulling','max SNR

Schedulling','Proportional Fair Schedulling');

figure;

plot(d,AN_RR1,'r-.x',d,AN_SNR1,'g-.x',d,AN_PP1,'b-.o');grid; title('Delay antrian dengan kondisi multipath fading');

xlabel('jarak UE ke BTS (km)'),ylabel('Delay antrian (TTI)'); legend('Round Robin Schedulling','max SNR

Schedulling','Proportional Fair Schedulling'); clc;clear;close all

load propagasi load hasil_CQI K_TF= HSPDSCH_TF; K_F= HSPDSCH_F;

%traffic characteristic


(4)

lambda=3*1920; %arriving time in flow/s load paket.dat

for i=1:16;

PAC_PP(i)=paket(1,i); PAC_RR(i)=paket(1,i); PAC_SNR(i)=paket(1,i); PAC_PP1(i)=paket(2,i); PAC_RR1(i)=paket(2,i); PAC_SNR1(i)=paket(2,i); end

PAC_PP1(9)=29; PAC_RR1(9)=29; PAC_SNR1(9)=29; for t=1:60;

arriving_rate=poissrnd(lambda,1,length(d)); %poisson distribution

traffic{t}{1}=arriving_rate; save traffic_load traffic %traffic schedulling

for condition=1:2 if condition==1 % tanpa fading for s=1:3; if s==1

%Round Robin schedulling

%% based on equal serving time

%%% user-j is being choosen for every one TTI input_bit_RR=TBS_TF; %payload

n_RR=round(arriving_rate./input_bit_RR); data_RR_TF{t}{1}=n_RR;

save hasil_RR_Schedulling_TF data_RR_TF input_bit_RR elseif s==2

%SNR based schedulling %% based on SNR

%%% user-j is being choosen if %%% user_j= max (SNR_dB);

seq_1=sort(SNR_TF_dB,'descend'); for l=1:length(seq_1)

user(l)=seq_1(1,l);

input_bit_SNR(l)= TBS_TF(l); %payload end

n_SNR=round(arriving_rate./input_bit_SNR); data_SNR_TF{t}{1}=n_SNR;

save hasil_SNR_Schedulling_TF data_SNR_TF %input_bit_SNR seq_1

else s==3

%Proportional Fair Schedulling %% based on maximum rate

R=TBS_TF.*K_TF; R_total=sum(R);


(5)

% user_j=max(R(j)/((R)/m)); rate=R./(R_total/length(R)); seq_2=sort(rate,'descend') for m=1:length(seq_2)

user(m)=seq_2(1,m);

input_bit_PFS(m)= TBS_TF(m); %payload end

n_PFS=round(arriving_rate./input_bit_PFS); data_PFS_TF{t}{1}=n_PFS;

save hasil_PF_Schedulling_TF data_PFS_TF %input_bit_PFS seq_2

end end else

% dengan fading for s=1:3;

if s==1

%Round Robin schedulling

%% based on equal serving time

%%% user-j is being choosen for every one TTI input_bit_RR=TBS_F; %payload

n_RR=round(arriving_rate./input_bit_RR); data_RR_F{t}{1}=n_RR;

save hasil_RR_Schedulling_F data_RR_F input_bit_RR elseif s==2

%SNR based schedulling %% based on SNR

%%% user-j is being choosen if %%% user_j= max (SNR_dB);

seq_1=sort(SNR_F_dB,'descend'); load troughput_SN_RR_F.dat

for l=1:length(seq_1) user(l)=seq_1(1,l);

%input_bit_SNR(l)= TBS_F(l); %payload end

n_SNR=round(arriving_rate./input_bit_SNR); data_SNR_F{t}{1}=n_SNR;

save hasil_SNR_Schedulling_F data_SNR_F %input_bit_SNR seq_1

else s==3

%Proportional Fair Schedulling %% based on maximum rate

R=TBS_F.*K_F; R_total=sum(R);

% user-j is being choosen if % user_j=max(R(j)/((R)/m)); rate=R./(R_total/length(R)); seq_2=sort(rate,'descend'); for m=1:length(seq_2)

user(m)=seq_2(1,m);


(6)

end

n_PFS=round(arriving_rate./input_bit_PFS); data_PFS_F{t}{1}=n_PFS;

save hasil_PF_Schedulling_F data_PFS_F %input_bit_PFS seq_2

end end end end end figure;

plot(d,PAC_RR,'r-.x',d,PAC_SNR,'g-.x',d,PAC_PP,'b-.o');grid; title('Paket loss tanpa multipath fading');

xlabel('jarak UE ke BTS (km)'),ylabel('Peket loss (%)'); legend('Round Robin Schedulling','max SNR

Schedulling','Proportional Fair Schedulling');

figure;

plot(d,PAC_RR1,'r-.x',d,PAC_SNR1,'g-.x',d,PAC_PP1,'b-.o');grid;

title('Paket dengan multipath fading');

xlabel('jarak UE ke BTS (km)'),ylabel('Paket loss (%)'); legend('Round Robin Schedulling','max SNR