Studi seroprevalensi mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang

(1)

STUDI SEROPREVALENSI MYCOPLASMA GALLISEPTICUM

PADA BEBEK DI KECAMATAN CIPUNEGARA KABUPATEN

SUBANG

M. RAHMAN ALAN SORY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ABSTRACT

M. RAHMAN ALAN SORY Study of Seroprevalence Mycoplasma gallisepticum in Duck in Cipunegara Sub-district Subang District. Under guided of SRI MURTINI andRETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.

This study were aimed to identify the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in duck in Cipunegara sub-district, Subang. Hundred fourty five were samples sera from duck were use as a samples. Antibody against Mycoplasma gallisepticum was determined with Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methods. The result showed that the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in duck in Cipunegara sub-district as low as much as 1.4%.

Keywords: Mycoplasma gallisepticum, duck, ELISA.


(3)

RINGKASAN

M.RAHMAN ALAN SORY Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum

pada Bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SRI MURTINI dan RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Penelitian ini menggunakan sampel 145 serum darah bebek. Pengujian

Mycoplasma gallisepticum menggunakan metode pengujian Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang sebanyak 1.4%.


(4)

STUDI SEROPREVALENSI

MYCOPLASMA GALLISEPTICUM

PADA BEBEK DI KECAMATAN CIPUNEGARA

KABUPATEN SUBANG

M. RAHMAN ALAN SORY

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul studi seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

M. Rahman Alan Sory B04070095


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tugas akhir : Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum

pada Bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang.

Bentuk Tugas Akhir : Penelitian

Nama Mahasiswa : M. Rahman Al Ansory

NIM : B04070095

Disetujui,

Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si Pembimbing I

Prof. Dr. drh. Retno D Soejoedono, MS Pembimbing II

Tanggal Lulus :

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini


(8)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan dapat dipergunakan sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteraan Hewan pada Fakultas Kedokteraan Hewan Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan pada kita selaku umatnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M. Si dan Prof. Dr. drh. Retno D Soejoedono, MS sebagai pembimbing atas segala kritik, saran, bimbingan dan arahan yang diberikan dari mulai dilaksanakannya penelitian ini sampai selesainya penulisan ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada mba Ade, mba Selin dan mas Wahyu serta semuanya yang terlibat dalam penelitian ini.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sepenelitian Deny, Al Khosim dan Rico atas semua bantuan serta kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Giannuzi 44, Avenzoar 45, Geochelone 46, kakak kelas dan khususnya untuk Imami Nuroktapiani Dewi, AmdKeb.

Yang teristimewa penulis ucapkan kepada kedua orangtua Sumaryono dan Aulia serta saudara-saudaraku M.Sri Bintang P, Hazar R Tsaurah, Sehan Wais Al Qorny yang senantiasa mendoakan, membimbing dan memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak. Terakhir, semoga tulisan ini memberikan manfaat dan informasi bagi yang membutuhkan.

Bogor, September 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 11 Agustus 1990. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra pasangan bapak Sumaryono dan ibu Aulia.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Cijoro Pasir 3 Rangkasbitung. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Rangkasbitung dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Rangkasbitung pada tahun 2004. Setelah itu, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dengan program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis meraih prestasi sebagai Juara III kategori grup mahasiswa/pelajar dalam kontes penjurian ternak sapi perah (JUDGING) tingkat nasional pada tahun 2010 dan pengurus terbaik Badan

Eksekutif Mahasiswa (BEM) “Kabinet Katalis” FKH IPB 2009-2010. Penulis

telah mengikuti pelatihan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), ISO 22000:2005, ISO 17025:2005, dan ISO 18001:2007. Penulis juga aktif dalam berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), BEM FKH IPB sebagai kepala departemen kebijakan publik 2009-2010, anggota serta pengurus Himpunan Minat Profesi (HIMPRO) Ruminansia FKH IPB 2008-2010, dan anggota seni treatikal Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga peraih Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) dengan judul teknologi desain kandang domba yang sehat dan ramah lingkungan. Penulis mengikuti berbagai pengabdian masyarakat sebagai peserta GO FIELD-LPPM IPB, Pengabdian Masyarakat BEM FKH IPB dan aktif dalam berbagai kepanitiaan.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Chronic Respiratory Disease ... 5

Karakteristik Mycoplasma (Agent) ... 5

Inang (Host) ... 6

Patogenesis ... 6

Penyebaran Infeksi Mycoplasma gallisepticum (MG) ... 7

Gejala Klinis... 7

Diagnosis ... 8

Bebek... 9

Mekanisme Kekebalan Bebek ... 10

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

Bahan dan Alat Penelitian ... 15

Rancangan Percobaan ... 15

Metode Pemeriksaan Anti Mg dengan Teknik ELISA Tidak Langsung .. 15

Pembacaan Hasil ... 16

Interpretasi Hasil ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 24

Saran ... 24


(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bebek merupakan salah satu sumber protein hewani yang telah dikenal dan disukai masyarakat karena harganya relatif terjangkau, memiliki rasa yang enak, mudah dalam pengolahan serta tinggi nilai gizinya (Grimes & Jackson 2001). Populasi bebek mengalami peningkatan setiap tahunnya di Indonesia. Namun jumlah total populasi bebek masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan ayam. Pada tahun 2009, populasi ayam kampung di Indonesia mencapai 249.9 juta ekor, sedangkan populasi bebek hanya sekitar 40.68 juta ekor (Deptan 2010).

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Subang pada tahun 2006 populasi ternak bebek sebesar 520 260 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 mencapai populasi 547 906 ekor. Namun peningkatan populasi tersebut belum signifikan bila dilihat dari segi produksi telurnya pada tahun 2007 yang mencapai 3 582 358 kg (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

Penyakit yang sering menyerang ternak unggas di Subang, antara lain yaitu tetelo (ND), flu burung, dan Chronic Respiratory Disease (CRD) (Eko 2003). Ketiga jenis penyakit ini sama-sama menyerang saluran pernafasan dan menyebabkan penurunan produksi unggas, sehingga dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi para peternak. Bebek dapat terserang berbagai penyakit-penyakit yang menghambat produksi telur maupun pertumbuhan bobot badan. Salah satu penyakit yang dapat menyerang bebek adalah Chronic Respiratory Disease atau CRD. Penyebab utama penyakit CRD adalah Mycoplasma gallisepticum.

Menurut Hirano (1978) Mycoplasma gallisepticum menyebabkan gangguan terhadap sistem pernafasan yang lebih parah pada unggas dibandingkan

Mycoplasma synoviae. Selain Mycoplasma gallisepticum dan Mycoplasma synoviae, bakteri Mycoplasma lainnya yang dapat menyebabkan penyakit serupa yaitu Mycoplasma iowae dan Mycoplasma meleagridis.

Penyakit CRD pada bebek mengakibatkan penurunan produktifitas, kenaikan konversi pakan, menurunnya berat karkas, mengurangi daya tetas dan pertumbuhan yang terhambat (Tully & Whitcomb 1979). Mycoplasma gallisepticum sering menyebabkan infeksi dengan gejala klinis yang sangat parah.


(12)

Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan angka pertumbuhan ternak unggas.

Mycoplasma dapat menimbulkan masalah ekonomi jika terjadi lesio pada traktus respiratorius yang menyebabkan tingginya angka morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas karkas sehingga karkas tidak layak dikonsumsi. Mycoplasma gallisepticum tetap tinggal di dalam tubuh ayam pedaging dan tidak menyebabkan penyakit sampai ayam mengalami stres. Mycoplasma gallisepticum tidak bersifat membunuh, bahkan pada kenyataannya angka morbiditasnya rendah, tetapi jika infeksi Mycoplasma ini merupakan infeksi sekunder dari penyakit lain ataupun infeksi Mycoplasma ini disertai infeksi sekunder oleh bakteri lainnya secara berlebihan maka dapat menyebabkan tingginya morbiditas. Infeksi pada ayam menimbulkan gejala respirasi termasuk batuk, bersin, adanya discharge dari nasal, berbusa di sekitar mata, atau kesulitan bernafas (Tully & Whitcomb 1979).

Kerugian yang diakibatkan penyakit Mycoplasma mencapai jutaan dollar (Carpenter et al. 1979). Penelitian terhadap kerugian ekonomi yang disebabkan oleh CRD pada ayam pedaging di Pakistan menunjukkan bahwa infeksi CRD pada ayam pedaging menyebabkan penurunan berat badan sebesar 0.6 kg per 25 ekor ayam (Smith 1988). Di Indonesia pada tahun 1989, Soeripto melaporkan bahwa CRD dapat menurunkan berat badan sebesar 62.1 gr per ekor ayam pedaging. Eksistensi penyakit ini pada ayam ras telah dilaporkan di Indonesia dengan diagnosa menggunakan uji aglutinasi (Soeripto 1989). Pada ayam buras dilaporkan bahwa kejadian mikoplasmosis diperkirakan mencapai 70-80% (Smith 1988).

Mycoplasma merupakan bakteri bersifat parasit obligat pada ayam dan kalkun (Gillespie & Timoney 1981), inang alami penyakit ini adalah ayam dan kalkun (Kleven et al. 1991). Secara genetik ayam lebih rentan daripada kalkun tetapi dilaporkan bahwa angsa dapat terinfeksi secara alami (Bencina et al. 1988). Angsa merupakan hewan yang peka terhadap infeksi Mycoplasma synoviae

buatan (Kleven et al. 1991). Angsa juga dapat terinfeksi jika dipelihara bersama-sama dengan ayam-ayam penderita (Bencina et al. 1988). Bebek juga dapat terserang mikoplasmosis, penelitian Barnes (2003) menyatakan bahwa mikoplasmosis dapat diisolasi dari bebek.


(13)

Daerah Subang sebagai sentra peternakan ayam sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas pedaging skala komersial atau sektor 3 dan unggas back yard ( sektor 4). Sektor 1 merupakan peternakan yang memiliki sistem industri yang terintegrasi, biosecurity yang tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 2 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity sedang sampai tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 3 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity yang rendah, dan pemasaran produk berupa ayam hidup yang dijual ke pasar ayam. Sektor 4 merupakan peternakan yang memiliki sistem pemeliharaan tradisional, biosecurity sangat rendah, dan biasanya hanya untuk konsumsi keluarga maupun dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Naipospos 2010).

Peternakan bebek di daerah Subang merupakan bebek gembalaan yang digembalakan secara berpindah-pindah (Naipospos 2010). Sistem penggembalaan ini sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit. Pola beternak dengan sistem gembalaan berpindah memiliki sistem biosecurity tidak layak yang memungkinkan berbagai penyakit muncul. Penelitian di Thailand menunjukan bahwa tentang penggembalaan bebek berpindah yang terinfeksi virus Avian Influenza H5N1 dalam waktu dua minggu dapat menyebarkan virus ke manusia dan unggas lainnya hingga menyebabkan kematian (Songserm et al. 2006).

Salah satu penyakit yang ada pada bebek adalah mikoplasmosis.

Pengetahuan tentang prevalensi penyakit Mycoplasma dapat dijadikan salah satu dasar pertimbangan untuk melakukan kontrol yang efektif dalam usaha pencegahan infeksi selanjutnya (Hossain et al. 2007). Selama ini penelitian tentang mikoplasmosis pada bebek masih sangat jarang dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi penyakit akibat infeksi Mycoplasma pada bebek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seroprevalensi mikoplasmosis pada bebek di Kecamatan Cipunegara Subang.


(14)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi serologis

Mycoplasma gallisepticum pada bebek di kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prevalensi serologis tentang gambaran penyakit Mycoplasma pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Chronic Respiratory Disease

Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit pernafasan pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum. Infeksi

Mycoplasma gallisepticum ini sesungguhnya merupakan salah satu penyakit bakterial yang sering dijumpai di peternakan-peternakan, namun karena serangannya yang berjalan lama atau kronis serta angka kematian yang ditimbulkan amat rendah, maka penyakit ini sering di anggap remeh saja oleh peternak (Smith 1988). Menurut Suprijatna (2008) mortalitas penyakit ini akan meningkat bila infeksi bakteri ini disertai penyakit ND (Newcastle Disease) dan IB (Infectious Bronchitis). Penyakit ini cukup populer, terutama pada pergantian musim, pada saat banyak hujan dan suasana dalam kandang lembab serta didukung dengan cara pemeliharaan yang tidak intensif (Rasyaf 1983). Infeksi

Mycoplasma gallisepticum sering timbul sebagai infeksi saluran pernafasan bagian atas dalam bentuk subklinis, namun dapat menyebabkan airsacculitis bila terjadi gabungan dengan Newcastle disease (ND) atau Infectious bronchitis (IB) atau keduanya (Kleven et al. 1991).

Karakteristik Mycoplasma (Agent)

Mycoplasma termasuk kedalam kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales dan famili Mycoplasmataceae. Bakteri ini memiliki ukuran 300-800 nm.

Mycoplasma tidak memiliki dinding sel namun ribosom dan DNA-nya terikat pada membran sitoplasma yang mengandung sterol, pospholipid dan protein. Ketiadaan dinding sel menyebabkan strukturnya begitu lentur dan memudahkannya untuk melewati filter pada pori yang berukuran 450 nm (Walker 2004). Mycoplasma memilki ciliostatic yang merupakan faktor virulensi yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Salah satu dari strain Mycoplasma yaitu strain S66 mampu memproduksi neurotoksik yang menyebabkan meningitis pada otak unggas meskipun gejalanya jarang terlihat pada infeksi alam (Jordan 2006). Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan waktu satu generasi berkisar antara satu sampai enam jam (Songer 2005). Terdapat 17 spesies dari genus


(16)

Mycoplasma yang dapat diisolasi dari unggas, tetapi hanya empat spesies yang bersifat patogen terhadap unggas domestik. Keempat spesies tersebut adalah

Mycoplasma gallisepticum (MG), Mycoplasma synoviae (MS) pada ayam dan kalkun Mycoplasma meleagridis (MM), dan Mycoplasma iowae (MI) pada kalkun. Patogenesitas untuk spesies lainnya belum diketahui, pada kondisi eksperimental, infeksi Mycoplasma gallinarum bersama infeksi virus bronchitis

dapat menyebabkan peradangan kantong hawa pada broiler.

Inang (Host)

Unggas yang didomestikasi seperti ayam, bebek, burung, kalkun, dan jenis unggas lainnya merupakan inang yang dapat terinfeksi Mycoplasma sp. Terutama ayam dan kalkun yang dipelihara secara intensif. Bakteri ini juga menyerang pada semua tingkatan umur (Suprijatna 2008). Organisme ini juga dapat diisolasi dari bebek domestik dan sering dijumpai pula pada burung baik yang dikandangkan atau burung-burung yang terbang bebas. Mycoplasma juga dapat diisolasi dari angsa (Morris 2008). Ayam dan kalkun adalah spesies yang paling rentan terhadap infeksi saat inang tersebut menetas, namun inang akan mengalami peningkatan resistensi terhadap penyakit ini seiring peningkatan umurnya. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai tingkatan umur. Namun gejala klinis lebih jelas terlihat pada unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres (Ensminger 1992).

Patogenesis

Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi ataupun konjungtiva. Penempelan pada glycoprotein permukaan pada sel mukosa tubuh unggas merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh bakteri tersebut. Disamping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroxide, yang dapat menyebabkan tekanan oksidasi pada membran sel inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum seperti Mycoplasma lainnya memiliki kemampuan untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme transport sel. Hal ini menyebabkan


(17)

mereka mampu mengelabui antibodi dan bahan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen (Jordan 2006).

Penyebaran Infeksi Mycoplasma gallisepticum ( MG )

Penyebaran penyakit dapat terjadi melalui telur ayam dan kalkun yang terinfeksi (Mycoplasma gallisepticum yang diisolasi dari oviduct unggas) maupun penyebaran dari unggas satu ke unggas yang lainnya melalui kotoran dan peralatan dalam kandang (fomites). Penyebaran melalui fomites, terjadi pada tingkatan yang terbatas disaat hewan sedang stres akibat kondisi sanitasi kandang yang buruk. Pada kelompok yang rentan akan penyakit ini bila dikandangkan dalam satu ruangan akan menyebar dari satu unggas ke unggas yang lainnya, biasanya cukup cepat namun adanya dinding ruangan akan membentuk barier yang efektif dan dapat mencegah penyebaran organisme ini. Kandang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri ini bila digunakan dalam produksi berkelanjutan (multiple-agesites) akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga infeksi sulit dikontrol (Ensminger 1992).

Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin. Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit mikoplasmosis. Unggas dengan epitel saluran pernafasan yang rusak merupakan target yang baik untuk kolonisasi mikroorganisme ini (Adler 1970). Kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma merupakan faktor predisposisi yang menentukan tingkat penyebaran. Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jordan (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan pada bulu unggas, rambut manusia, dan pakaian berbahan katun.

Gejala Klinis

Gejala klinis dalam bentuk akut berupa depresi yang berat, pertumbuhan terhambat, muka pucat, dada melepuh, kepincangan dan pembengkakan sendi,


(18)

tetapi pada kalkun gejala ini kurang tampak. Pada kalkun persendian kadang-kadang membengkak atau feces kehijauan (Tully & Whitcomb 1979). Pembengkakan pada persendian dapat menyeluruh terutama pada kasus berat dan sebagian pada kasus yang ringan. Kepincangan dapat disebabkan oleh panas, rasa sakit maupun bengkak pada hock joint. Bentuk yang akut ini dapat berlanjut menjadi bentuk kronis pada kondisi mengikuti vaksinasi ND dan IB (Tully & Whitcomb 1979). Pada umumnya bentuk kronis tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata (Razin & Barile 1985). Penurunan produksi telur dapat terjadi pada ayam petelur dan kalkun. Gejala klinis lainnya berupa ataxia,

keratoconjunctivitis, arthritis, salpingitis, dan encephalopathy (Songer 2005). Infeksi Mycoplasma gallisepticum muncul dan menyebar pada saluran pernapasan yang mengakibatkan menurunnya karkas ayam broiler dan kalkun serta produksi telur suboptimal pada ayam layer. Bakteri ini dapat menyebabkan menurunnya daya tetas telur pada bebek dan unggas lainnya dan sering dihubungkan kondisi encephalopathy pada kalkun dan arthritis, tendosynovitis dan salpingitis pada ayam (Ensminger 1992).

Diagnosis

Gejala klinis dan adanya lesio pada unggas yang terinfeksi merupakan ekspresi pada penyakit Mycoplasma. Dalam mendiagnosa penyakit ini tidak ada tanda klinis atau lesio histologi yang patognomonis pada infeksi Mycoplasma galliseptium pada ayam atau kalkun (Ensminger 1992). Diagnosa penyakit ini wajib dilakukan uji di laboratorium agar tidak salah dalam mendiagnosa dan untuk menghindari diagnosa banding dari penyakit ini. Beberapa uji laboratorium untuk mendiagnosa Mycoplasma adalah isolasi dan identifikasi organisme, uji serologis dan deteksi DNA. Probe DNA yang baru-baru ini dikembangkan untuk identifikasi cara cepat Mycoplasma gallisepticum pada jaringan. Infeksi juga dapat dikenali dengan menunjukkan keberadaan antibodi spesifik melalui uji serologis. Uji serologis tersebut berupa uji serum aglutinasi secara cepat (RSA), uji aglutinasi tuba (TA), uji inhibisi hemaglutinasi (HI) dan ELISA (Enzyme- Linked Immunosorbent assays) (Ensminger 1992).


(19)

Bebek

Sejarah pustaka menyatakan bahwa nenek moyang bebek berasal dari Amerika Utara. Nenek moyang bebek ini merupakan bebek liar (Anas moscha) atau wild mallard. Bebek liar ini selanjutnya dijinakkan oleh manusia sehingga jadilah bebek yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus. Bebek bersifat monogamus yaitu hidup berpasangan pada keadaan liar dan bersifat poligamus setelah didomestikasi sehingga bisa dipelihara bersama-sama dalam satu kandang. Bebek menyebar ke kawasan yang luas karena bersifat aquatik. Selain itu, bebek bersifat omnivorus (pemakan segala), mulai dari biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian, dan makanan yang berasal dari hewan atau binatang-binatang kecil. Sifat spesifik lainnya dari bebek adalah kakinya yang relatif pendek dibandingkan dengan tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh selaput renang, serta bulu-bulunya tebal dan berminyak yang dapat menghalangi air masuk ke dalam tubuhnya ketika berada di dalam air (Suharno 2002).

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 1. Beberapa jenis bebek yang ada di Indonesia (a) bebek Tegal (b) bebek Mojosari (c) bebek Magelang (d) bebek Bali (e) bebek alabio (f) bebek Cirebon.


(20)

Negara Amerika lebih menonjolkan ternak ayam dari pada ternak bebek (Winter & Funk 1956), sedangkan di Indonesia ternak bebek tidak kalah pentingnya dengan ternak ayam (Samosir 1973). American Standard of Perfection telah menetapkan sebanyak 11 breed bebek standar yang kebanyakan diantaranya merupakan keturunan bebek liar (Mallard). Ternak bebek tersebar dari Asia Timur sampai ke Amerika Utara (Winter & Funk 1956). Amerika lebih mengutamakan produksi dalam bentuk daging dari pada telur (Samosir 1973, Winter & Funk 1956) akan tetapi di Indonesia justru sebaliknya (Sudjai 1964 & Samosir 1973). Kebanyakan ternak bebek yang dipelihara di Indonesia adalah bebek Jawa (Pudjiarti 1972, Djanah 1973 & Samosir 1973). Daerah-daerah penyebaran ternak bebek antara lain: Karawang, Bekasi, Indramayu, Cirebon, Temanggung, Brebes, Tegal, Pekalongan, Comal, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan (Sudjai 1964) dan penyebaran bebek Alabio di Kalimantan Selatan (Samosir 1973). Bebek mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan unggas lainnya seperti mampu mempertahankan produksi telur lebih lama dibandingkan ayam, meskipun dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana, bebek masih mampu berproduksi dengan baik, tingkat kematian (mortalitas) bebek umumnya kecil dan bebek lebih tahan terhadap penyakit. Bebek selalu bertelur di pagi hari, dengan demikian kegiatan pengembilan telur hanya dilakukan sekali sehari sehingga peternak dapat melakukan kegiatan lainnya. Bebek masih bisa berproduksi walaupun dengan pakan yang berkualitas rendah dan telurnya cocok dibuat telur asin (Suharno 2002). Kelebihan pemeliharaan ternak bebek antara lain terletak pada pertumbuhannya yang cepat, mudah dikembangkan, dan tahan terhadap penyakit (Suharno 1999).

Mekanisme Kekebalan Bebek

Mekanisme kekebalan pada bebek terbentuk hampir sama seperti mekanisme kekebalan pada unggas secara umum. Peran utama dari sistem kekebalan tubuh adalah untuk mengenali benda asing, organisme atau zat yang telah berhasil masuk ke dalam tubuh untuk memulai dan mengelola respon fisiologis yang tepat untuk menghilangkannnya. Dalam keadaan optimal atau dalam keadaan sehat, sistem ini berfungsi secara efisien sehingga suatu individu


(21)

dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing. Ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh yaitu: 1) respon yang in-adekuat terhadap pathogenisitas (immunodefisiensi) yang berakibat kepekaan terhadap infeksi; 2) kegagalan dalam mengenal antigen secara selektif yang berakibat hilangnya self-tolerance sehingga muncul penyakit auto-imun; 3) respon berlebihan dan tidak terkendali yang berakibat hipersensitifitas (Kresno 2001).

Sistem kekebalan unggas terbagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan spesifik. Kedua sistem kekebalan tersebut saling bekerjasama menangkal benda asing dari luar tubuh yang dapat membahayakan tubuh. Individu yang terpapar oleh benda asing maka yang pertama kali akan merespon adalah sistem pertahanan bawaan/non-spesifik. Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang diperoleh secara alami oleh tubuh namun proteksi yang diberikan tidak terlalu kuat dan tidak spesifik terhadap penyakit tertentu. Kekebalan non-spesifik meliputi kekebalan fisik-mekanik, kekebalan kimikawi, dan kekebalan biologis. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan membran mukosa serta hasil sekresi baik dari kulit maupun membran mukosa. Kulit dan membran mukosa merupakan sistem pertahanan utama tubuh karena bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Kekebalan kimiawi terdiri dari lisozim, asam lemak, asam lambung dan enzim proteolitik, sedangkan kekebalan biologis dapat berupa flora normal yang ada di dalam tubuh (Wibawan et al. 2003). Menurut Kresno (2001) komponen-komponen utama dalam respon imun non-spesifik lainnya adalah berbagai jenis protein dalam darah termasuk komponen sistem komplemen, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polymorfonuklear dan makrofag serta sel Natural Killer (NK).

Mekanisme kekebalan spesifik diawali dari Antigen Presenting Cell (APC) yang menghancurkan antigen melalui proses fagositosis dan menyajikan bagian dari antigen tersebut sehingga dapat dikenali oleh sistem imun spesifik (Kuby 1997). Sel yang berperan penting dalam respon imun spesifik adalah limfosit dan

Antigen Presenting Cell (APC). Limfosit terdiri dari dua kelompok sel yaitu sel limfosit B dan sel limfosit T. Sumsum tulang menghasilkan sel limfosit B dan sel limfosit T. Pendewasaan sel limfosit B terjadi di bursa fabricius pada unggas,


(22)

sedangkan pendewasaan sel limfosit T terjadi di organ timus (Butcher 2003). Limfosit meninggalkan sumsum tulang bersirkulasi dalam darah dan sistem limfatik untuk menempati beberapa organ limfoid.

Antigen Presenting Cell (APC) yang memfragmentasi antigen akan mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit melalui molekul Major Histocompability Complex (MHC) yang terletak di permukaan makrofag. Sel limfosit T bisa berupa sel limfosit T-helper/sel Th dan sel limfosit T-cytotoxic/sel Tc. Sel T hanya akan bereaksi dengan antigen asing jika antigen tersebut ditampilkan pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC) bersama-sama dengan MHC, sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas II (MHC II) dan sel Tc mengenali antigen yang berikatan dengan MHC kelas I (MHC I). Dengan demikian, maka molekul MHC berperan dalam mengatur interaksi antara berbagai sel yang terlibat dalam respon imun. Interaksi sel Th dengan MHC II dilakukan melalui molekul permukaan sel Th yaitu CD4 (Cluster of Differentiation 4) dan TCR (T Cell Receptor) yang dimiliki oleh sel Th. Interaksi sel Th dan Antigen Presenting Cell (APC) akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan dari proses ini hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel, sehingga disebut sebagai kekebalan humoral atau kekebalan permukaan (Humoral Mediated Immunity/ HMI) (Wibawan et al. 2003).

Kekebalan humoral ini tidak dapat berespon dengan antigen yang berada di dalam sel, oleh karena itu untuk menghilangkan antigen di dalam sel diperlukan mekanisme pembentukan kekebalan seluler yaitu dengan menggunakan sel limfosit Tc (Cytotoxic). Antigen akan di presentasikan oleh APC ke sel Tc melalui MHC I. Interaksi antara sel Tc dan MHC I dilakukan melalui molekul CD8 dan TCR yang dimiliki oleh sel Tc. Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya walaupun host tidak menunjukan gejala sakit. Tujuan dari penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler tersebut ke sel-sel sehat lain yang ada disekitarnya. Proses ini


(23)

dikenal sebagai proses kekebalan seluler (Cellular Mediated Immunity/ CMI) (Wibawan et al. 2003).

Gambar 2. Bagan sistem kekebalan humoral dan selular (Wibawan et al. 2003)

Antigen yang masuk kedalam tubuh akan merangsang dan memunculkan respon awal yang disebut respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Pada saat antigen yang sama kembali menginfeksi tubuh maka respon yang muncul berupa respon imun sekunder. Respon sekunder muncul lebih cepat, lebih kuat, dan berlangsung lebih lama dibandingkan respon imun primer (Cann 1997).


(24)

Mycoplasma melakukan beberapa adaptasi agar dapat bertahan lebih lama pada inang. Mekanisme yang dilakukan Mycoplasma antara lain mimikri molekuler, kelangsungan hidup dalam sel fagosit dan generasi plastisitas fenotipik. Mimikri molekuler merupakan penyerupaan yang dilakukan oleh

Mycoplasma untuk menghindari dari mekanisme pertahanan tubuh. Plastisitas fenotipik didefinisikan sebagai kemampuan suatu genotipe tunggal untuk mengubah antigen memproduksi lebih dari satu bentuk morfologi, kondisi fisiologis dan perilaku dalam menanggapi kondisi lingkungan (Rottem 2003).

Mekanisme kekebalan dalam merespon infeksi Mycoplasma melibatkan respon non-spesifik maupun spesifik. Mekanismenya melalui proses adhesi, opsonisasi dan fagositosis. Adhesi merupakan proses memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh inang. Opsonisasi adalah pelapisan mikroba oleh antibodi atau komplemen. Opsonisasi antigen oleh immunoglobulin meningkatkan fagositosis, mempermudah Antigen Presenting Cell (APC) memproses dan menyajikan antigen ke sel T dan meningkatkan fungsi sel Natural Killer (NK) dalam mekanisme Antibody Dependent Cytotoxicity (ADCC) (Kresno 2001).


(25)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan di daerah Subang pada bulan Desember 2009 dan pengujian laboratorium di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada bulan Februari sampai Juli 2010.

Bahan dan Alat Penelitian.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah bebek. Kit ELISA pemeriksaaan Mycoplasma gallisepticum (MG) produksi BioCheck® yang terdiri dari microplate yang telah dilapisi dengan antigen MG, serum kontrol positif, kontrol negatif, larutan konjugat goat antiduck IgY peroxidase, larutan buffer pengencer sampel, buffer substrat, stop solution, washing solution. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah micropipette, diluted chamber, microtipe, ELISA reader, freezer.

Rancangan Percobaan

Sebanyak 145 bebek dari lima desa di kecamatan Cipunegara kabupaten Subang diambil darahnya untuk diperiksa serumnya terhadap keberadaan antibodi anti MG. Kelima desa yang terpilih adalah desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari. Sampel diambil dengan metode purposive sampling, yaitu dipilih bebek yang digembalakan berpindah dengan area pengembalaan di daerah kompartemen sekitar peternakan unggas sektor 1 dan 2.

Metode pemeriksaan antibodi anti MG dengan teknik ELISA tidak langsung

 Dilakukan penyiapan sampel berupa pengenceran serum sampel dengan buffer pengencer sebesar 1:500.

Microplate yang telah dilapisi antigen MG dan masih tersegel dikeluarkan dari kertas pembungkus.


(26)

 Sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam tiap-tiap sumur sebanyak 100 µl, sesuai pola yang telah dibuat. Empat sumur pada kolom pertama microplate yaitu A1, B1, C1 dan D1 dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif dan negatif.

 Sebanyak 100 µl kontrol negatif ditambahkan ke dalam sumur A1 dan B1. Dan sebanyak 100 µl kontrol positif ditambahkan ke dalam sumur C1 dan D1.

 Inkubasi microplate selama 30 menit pada suhu ruang (22- 27 0C).

Microplate yang telah diinkubasi dicuci dengan menggunakan larutan pencuci sebanyak 350 µl dan dilakukan aspirasi minimal 4 kali sampai menyentuh dinding sumur.

Plate dikeringkan dengan membalikkan plate pada kain yang berdaya serap tinggi sampai sumur benar- benar kosong.

 Sebanyak 100 µl konjugat (antiduck peroksidase) ditambahkan ke dalam tiap sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 22- 27 0C.

Plate kemudian dicuci seperti langkah pencucian diatas.

 Sebanyak 100 µl substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur. Saat penambahan substrat sebaiknya dilakukan dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah atau matikan lampu ruangan. Hal ini dikarenakan substrat sangat reaktif terhadap cahaya.

Microplate ditutup dengan alumunium foil.

Microplate diinkubasi pada suhu ruangan 22- 27 0C selama 15 menit, kemudian ditambahkan 100 µl stop solution untuk menghentikan reaksi.

Microplate dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.

Pembacaan Hasil

Hasil yang valid ditunjukkan dengan nilai absorban kontrol negatif harus terbaca di bawah 0.30 dan perbedaan nilai rata-rata negatif kontrol dengan positif kontrol lebih besar daripada 0.15.


(27)

Interpretasi Hasil

Sampel dengan nilai ratio absorbansi sampel dibagi absorbansi kontrol positif (ratio S/P) sebesar 0.5 atau lebih diartikan bahwa serum yang diperiksa mengandung antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum (positif).

Perhitungan rasio S/P = � � � �� − � � �� �

� � � �� − � � �� �

Nilai S/P Status Antibodi

0.499 atau kurang Negatif 0.500 atau lebih Positif


(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas. Dikelima desa tersebut terdapat berbagai tipe pemeliharaan unggas yaitu unggas backyard (sektor 4), ayam ras pedaging komersial skala kecil (sektor 3), tempat penampungan unggas/ tempat pemotongan unggas serta penggembalaan bebek berpindah (Eko 2003 & Syafrison 2011).

Tingkat biosecurity pada peternakan sektor 3 dan sektor 4 masih sangat rendah. Sistem biosecurity yang rendah merupakan sistem yang tidak melakukan kontrol terhadap lalu lintas orang, vaksinasi, pencatatan riwayat flock, pencucian kandang, pakan, air, limbah (sisa-sisa) produksi dan ayam mati. Semakin buruk kondisi lingkungan dan manajemen kandang maka periode inkubasi Mycoplasma

akan berlangsung lebih cepat (Poultry Disease Network 2011). Menurut Bradbury (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut manusia dan pakaian berbahan katun. Dengan sistem biosecurity

yang sangat rendah pada sektor 3 dan 4 memungkinkan terjadinya interaksi penyakit antar kelompok unggas dengan sangat cepat. Selain itu, jika penyakit benar-benar telah berada di lingkungan peternakan sektor 4, unggas yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi unggas lain di peternakan sektor 4 maupun unggas di peternakan sektor lainnya.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang diperoleh menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kabupaten Subang cukup rendah, yaitu hanya 2 sampel yang menunjukkan positif mengandung antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari 145 sampel yang diperoleh. Berdasarkan sebaran nilai prevalensinya hanya 2 desa yang menunjukan adanya sampel positif yaitu desa Pada Mulya (1 sampel) dan Parigi Mulya (1 sampel). Berdasarkan data tersebut maka prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek adalah 1.4%. (Tabel 1).


(29)

Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum

Nama Desa Jumlah Sampel

Positif Negatif Persentase Positif (%)

Persentase Negatif(%)

Tanjung 59 0 59 0 100

Jati 29 0 29 0 100

Pada Mulya 7 1 6 14.3 85.7

Parigi Mulya 28 1 27 3.6 96.4

Wanasari 22 0 22 0 100

Total 145 2 143 1.4 98.6

Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda tergantung dari populasi bebek yang ada di masing-masing desa. Desa yang memiliki tingkat prevalensi paling tinggi yaitu desa Parigi Mulya yaitu sebesar 14.3% dan diikuti oleh desa Pada Mulya yaitu sebesar 3.6%. Desa Tanjung, Jati dan Wanasari memiliki tingkat prevalensi yang sangat rendah karena tidak ditemukan adanya sampel positif di desa tersebut (prevalensi 0%). Prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek jauh lebih rendah dibandingkan ayam kampung. Hasil penelitian Juniwati (2011) tentang mikoplasmosis di Kecamatan Cipunegara pada ayam kampung menunjukan nilai seroprevalensi sebesar 28.52% atau 83 sampel dari 291 sampel yang diperiksa yang didapat dari desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari.


(30)

Rendahnya prevalensi mycoplasmosis pada bebek dibandingkan ayam kampung tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik, cara pemeliharaan dan keberadaan agen dilingkungan. Secara genetik, inang alami

Mycoplasma gallisepticum adalah ayam dan kalkun, meskipun Mycoplasma gallisepticum pernah dilaporkan dapat juga diisolasi dari bebek, namun hal itu jarang terjadi. Adanya perbedaan struktur silia mukosa ayam dengan bebek menyebabkan adanya perbedaan reseptor yang merupakan tempat penempelan

Mycoplasma pada saat menginfeksi inangnya. Bebek memiliki reseptor

Mycoplasma pada mukosa dengan jumlah yang sedikit dibandingkan ayam (Rottem 2003). Hal ini menyebabkan bebek jarang terkena infeksi Mycoplasma, sehingga prevalensi yang di dapat dalam penelitian ini rendah.

Cara pemeliharaan bebek gembalaan berbeda dengan ayam kampung maupun ayam komersial. Pemeliharaan pada ayam komersial sangat berpotensi sekali untuk mengalami stres. Kondisi ini rentan terhadap infeksi Mycoplasma,

menurut Ensminger (1992) hewan yang mengalami stres akan memperlihatkan gejala klinis yang lebih jelas pada penderita mikoplasmosis. Cara pemeliharaan ayam komersial dilakukan pemberian pakan secara intensif. Pemberian pakan pada peternakan komersial yang telah bertransportasi memungkinkan pakan terkontaminasi Mycoplasma sehingga memungkinkan mengalami mikoplasmosis. Bebek gembalaan dipelihara pada kondisi kandang yang tidak permanen sehingga dapat bebas mengekspresikan behavior selama proses angon maka tingkat stress bebek lebih rendah. Rendahnya tingkat stres menyebabkan bebek tidak terlalu rentan terinfeksi Mycoplasma dibandingkan unggas komersial.

Pola beternak bebek dengan sistem penggembalaan berpindah-pindah, yang mengikuti musim panen padi memungkinkan terjadinya penularan antara ayam kampung dengan bebek yang ada di Kecamatan Cipunegara. Pada saat musim hujan dan suhu yang lembab serta didukung dengan pemeliharaan yang tidak intensif dapat mempercepat penularan dari Mycoplasma gallisepticum

(Rasyaf 1983).

Bebek di Kecamatan Cipunegara tidak pernah mendapatkan vaksinasi

Mycoplasma gallisepticum artinya antibodi Mycoplasma gallisepticum yang terdeteksi merupakan akibat paparan patogen yang ada di lingkungan. Adanya


(31)

antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara horizontal maupun vertikal. Penyebaran secara horizontal dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin. Tingkat penyebaran juga tergantung dari beberapa faktor seperti kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma tersebut. Bakteri ini tidak selalu menyerang unggas yang berdekatan kandang, bahkan dinding kandang kemungkinan dapat bertindak sebagai barier pertahanan terhadap transmisi (Jordan 2006). Penyebaran tidak langsung dapat terjadi melalui pekerja dan peralatan kandang yang terkontaminasi dan memungkinkan terjadinya penyebaran dari satu kelompok unggas ke kelompok unggas lainnya (CFSPH 2007).

Penggunaan vaksin aktif Mycoplasma gallisepticum di Belanda memiliki pengaruh terhadap unggas-unggas lain disekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Feberwee (2006) penggunaan vaksin aktif Mycoplasma gallisepticum pada 20 ekor ayam petelur dapat berdampak pada 19 ekor ayam petelur yang tidak divaksin terinfeksi oleh Mycoplasma gallisepticum. Faktor lain yang menyebabkan adanya antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara adalah lingkungan. Tingginya kadar ammonia, banyaknya debu, rendahnya kadar nutrisi, immunosuppressive dan tingkat stres yang tinggi berperan penting dalam penyebaran penyakit mikoplasmosis (Bradbury 2006).

Antibodi yang muncul akibat paparan Mycoplasma gallisepticum pada bebek merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen Mycoplasma gallisepticum. Konfigurasi yang terjadi antar molekul antigen-antibodi yang muncul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang cocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya. Penelitian ini menunjukan bahwa bebek di Kecamatan Cipunegara lebih resisten dibandingkan ayam kampung hal ini ditunjukkan dengan prevalensi yang rendah. Kemungkinan lain adalah bahwa bebek telah membiasakan hidup di dalam kondisi sanitasi yang


(32)

buruk dalam jangka waktu yang lama sehingga membentuk sistem kekebalan alamiah dengan sendirinya. Sistem kekebalan alami sudah ada sejak hewan lahir dan terdiri atas berbagai macam pertahanan non-spesifik. Sistem kekebalan alami pada bebek terbentuk setelah hewan terpapar oleh penyakit mikoplasmosis yang merangsang sitem kerja dari sel limfosit B memori untuk mengingat agar pertahanan tubuh lebih kuat. Proses seperti ini biasa disebut dengan proses adaptasi (Ensminger et al. 2004). Bebek dapat hidup dengan berbagai macam kondisi alam yang ekstrim, sehingga bebek terbebas dari penyakit-penyakit unggas seperti leukosis, Marek dan Infectious bronchitis (Ensminger et al. 2004).

Infeksi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di daerah Subang memiliki pathogenisitas yang rendah. Penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Soeripto (1988). Pada penelitian tersebut telah diuji sebanyak 117 serum bebek Tegal dari 4 daerah di Jawa Barat dan 2 daerah di Jawa Tengah, hasil pengujian menunjukkan bahwa dideteksi keberadaan antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari Indramayu sebanyak 17.4% sampel serum, Sumedang 7.7% sampel serum dan 4.1 % sampel serum dari Cirebon. Serum bebek dari Karawang, Tegal dan Semarang tidak memperlihatkan aglutinasi terhadap antigen Mycoplasma gallisepticum. Pada penelitian tersebut Soeripto juga berhasil mengisolasi bakteri Mycoplasma

tersebut adalah galur Mycoplasma gallisepticum dari sampel organ seekor bebek Tegal yang mati akibat pasteurellosis. Menurut Soeripto (1988) isolasi galur

Mycoplasma gallisepticum dan adanya antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek Tegal secara alami belum pernah dilaporkan di Indonesia.

Penelitian lain tentang mikoplasmosis di Indonesia yaitu survei infeksi bakteri Mycoplasma synoviae pada kalkun, angsa, entok dan bebek di kabupaten Sleman dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Amanu & Sunuwihadi (2005) menunjukan bahwa sebanyak 40 sampel sera bebek dari kabupaten Sleman yang diambil pada periode tahun 2003, 13 sampel diantaranya memberikan reaksi positif terinfeksi Mycoplasma synoviae atau sebesar 32.50%. Sedangkan pada kalkun sebesar 56,52% atau 26 sampel positif terinfeksi


(33)

unggas air relatif lebih resisten terhadap Mycoplasma dibandingkan dengan unggas lain (Amanu & Sunuwihadi 2005).

Sato (1996) menyatakan bahwa prevalensi mikoplasmosis pada ayam di Indonesia pada rentan 0% sampai 74%, berdasarkan sampel yang berasal dari 7

breeding farm yang terindikasi positif terinfeksi mikoplasmosis. Infeksi

Mycoplasma gallisepticum pada peternakan unggas komersial pernah dilaporkan juga di Sao Paulo, Brazil. Sebanyak 1.046 sampel usapan trakhea dan embrio yang dikoleksi dari 33 farm ayam petelur dan pedaging ditemukan prevalensi

Mycoplasma gallisepticum sebesar 72.7% (Buim 2009). Seroprevalensi

Mycoplasma gallisepticum pernah dilaporkan pada ayam kampung di Belgia yaitu sebesar 62% (Chrysostome et al. 1995). Penelitian mengenai adanya Mycoplasma gallisepticum pada peternakan ayam komersial di Peninsula, Malaysia sebesar 18.68% (Faisal et al. 2011). Di Turki diamati kebaradaan Mycoplasma gallisepticum pada burung puyuh, hasil pengamatan menunjukkan dari 20 sampel serum yang diuji menggunakan ELISA diperoleh sebanyak 85% atau 17 sampel adalah positif terdapat antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum (Turkyilmaz


(34)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang rendah adalah sebesar 1.4%.

Saran

1. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam sumber infeksi Mycoplasma gallisepticum pada bebek.

2. Dibutuhkan penelitian lapang lanjutan untuk mengetahui sumber infeksi mikoplasmosis.


(35)

DAFTAR PUSTAKA

Adler HE, Lamas DSJM. 1970. Immunization against Mycoplasma gallisepticum.

Avian Dis 14(7):763-769.

Amanu S, Sunuwihadi DR. 2005. Survei infeksi bakteri Mycoplasma synoviae

pada kalkun, angsa, entok, dan itik di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. J Sain Vet 2(23):67-71.

Anonim. 2010. Potensi peternakan di Subang. http://www.subang.gi.id/potensi peternakan.php [24 Agustus 2010].

Anonim. 2010. Statistik peternakan Indonesia. http://www.ditjennak.deptan.go.id [9 Mei 2010].

Anonim. 2011. Budidaya bebek. http://www.indonetwork.co.id [24 Agustus 2011].

Barnes HJ. 2003. Disease of Poultry. Ed ke-11. USA: Blackwell Publishing. Bencina D, Tanida T, Dorrer D. 1988. Natural infection of geese with

Mycoplasma gallisepticum and Mycoplasma synoviae and egg transmission of the mycoplasmas. Avian Pathol. 17:925-928.

Bradbury JM. 2006. Avian Mycoplasma. Di dalam: Jordan F, Pattson M, Alexander D, Faragher T, editor. Poultry Disease. Ed ke-5. China: Saunders Elsevier hal 178-186.

Buim MR. 2009. Epidemiological survey on Mycoplasma gallisepticum and

Mycoplasma synoviae by multiplex PCR in commercial poultry. Pesq Vet Bras 29(7):552-556.

Butcher. 2003. The Avian Immune System. Florida: University of Florida.

Cann AJ. 1997. Principle of Molecular Virology. Di dalam: Samsi M. 2007. Estrak benalu teh (Scurulla oortiana) sebagai immunomodulator dan anti tumor infeksi Marek Disease Virus (MDV) pada ayam [disertasi]. Bogor: IPB.

Carpenter TE, Miller KF, Gentry RF, Schwartz LD, Malinson ET. 1979. Control of Mycoplasma gallisepticum in commercial laying chickens using artificial exposure to Connecticut F strain Mycoplasma gallisepticum. Proc Anim Health Assoc 83:364-370.

[CFSPH] The Center of Food Security & Public Health, committee of OIE. 2007. Avian mycoplasmosis. www.cfsph.iastate.edu [14 Maret 2011]


(36)

Chrysostome CAAM. 1995. Seroprevalences to three disease in village chickens in Benin. Prev Vet Med. 22:257-261.

Djanah D. 1973. Beternak Itik. Ed ke-2. Malang: SKMA Negeri Malang. Eko TP. 2003. Subang kabupaten agrobisnis peternakan Infovet. 103:33-35. Ensminger BE. 1992. Poultry Science. Ed ke-3. USA: Interstates publishers.. Ensminger BE. 2004. Poultry Science. Ed ke-4. USA: Interstates publishers. Faisal Z. 2011. The prevalence of Mycoplasma gallisepticum infection in chickens

from Peninsula Malaysia. Anim Ved Adv 10(14):1867-1874.

Feberwee A. 2006. The effect of live vaccine on the horizontal transmission of

Mycoplasma gallisepticum. Avian Pathol 35(5):359-366.

Gillespie JH, Timoney JF. 1981. Hagan and Bruner's Infectious Diseases of Domestic Animals. Ed ke-7. London: Cornell University Press.

Grimes T, Jackson C. 2001. Code Of Practice for Biosecurity in the Egg Industry.

Australia: Rural Industries Research And Development Corporation. Hirano H. 1978. Pathogenicity of Mycoplasma synoviae in chicken tracheal organ

culture. Jap j vet Sci 40:147-156.

Hossain KMM, Ali MY, Haque MI. Seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum

infection in chicken in the greater rajshahi district of Bangladesh. Bangl J Vet Med 5(1&2):9-14.

Jordan F. 2006. Poultry Disease. Ed ke-5. China: Saunders Elsevier.

Juniwati D. 2011. Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.

Kleven S, Calnek BW, Barnes HJ, Bread CW, Rowland WMGN, Olson NO. 1991. Disease of Poultry. Ed ke-9. USA: Interstates publishers.

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnostik dan Prosedur Laboratorium. Ed Ke-4. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

.

Kuby J. 1997. Immunology. Ed Ke-3. New York: W.H Freeman and Company. Morris TR. 2008. Domestic Duck Production Science and Practice. UK: CABI


(37)

Naipospos TSP. 2010. Restrukturisasi sektor perunggasan dalam rangka pengendalian avian influenza: ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan. http://www.scribd.com/doc/38237967/Restrukturisasi-Perunggasan-Dalam-Rangka-ian-Avian-Influenza[22 Februari 2011].

Poultry Disease Network. 2010. Mycoplasmosis. http://poultrydisease.net/online. [24 Agustus 2011]

Pudjiarti. 1972. Produksi dan Pemasaran Telur Itik di Daerah Bumiayu.

Purwokerto: Buletin Ilmiah Lembaga Penelitian dan Pengembangan UNSUD.

Rasyaf M. 1983. Beternak Kalkun. Jakarta: Penebar swadaya.

Razin S. Barile MF. 1985. The Mycoplasma. Ed ke-1. Iowa: The Iowa State University Press.

Rottem S. 2003. Interaction of Mycoplasmas with host cells. Physiol Rev. 83: 417-432.

Samosir DJ. 1973. Ilmu Beternak Itik. Ed ke-1. Bogor: Bagian Ilmu Ternak Unggas Departemen Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan IPB. Sato S. 1996. Avian mycoplasmosis in Asia. Rev sci tech Off Int Epiz (4):

1555-1567.

Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaaan di Daerah Tropis. Jakarta: (UI - Press).

Soeripto. 1988. Natural Mycoplasma gallisepticum infection in Tegal duck. Pen hew 36(20):51-53.

Soeripto. 1989. Pengaruh suanovil terhadap kenaikan bobot badan ayam pedaging yang terserang chronic respiratory disease. Pen Hew 21 : 102-106.

Songer JG, Karen WP. 2005. Veterinary Microbiology (Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease). China: Saunders Elsevier.

Songserm T, Jam-on R, Sae-Heng N, Meemak N, Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez

KM, Webster RG. 2006. Domestic ducks and H5N1 influenza epidemic.

Thailand Emerg Infect Dis 12:575–581.

Sudjai A. 1964. Beternak Itik. Ed ke-4. Jakarta: Penerbit Masa Baru.

Suharno B. 1999. Beternak Itik di Kandang Baterai. Jakarta: Penebar swadaya. Suharno B. 2002. Beternak Itik Secara Intensif. Jakarta: Penebar swadaya.


(38)

Suprijatna E. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar swadaya.

Syafrison. 2011. Penilaian risiko kualitatif pemasukan virus avian influenza ke zona kompartemen di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tully JG, Whitecomb RF. 1979. The Mycoplasma. USA: Academic Press.

Turkyilmaz, Suheyla C, Fethiye E. 2007. Detection of antibodies produced in Quails (Coturnix coturnix japonica) against Mycoplasma gallisepticum

with different serological Test. Turk J Vet Anim Sci 31(4):267-270. Walker RL. 2004. Veterinary Microbiology. Ed ke-2.USA: Blackwell Publishing. Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Diktat

Imunologi. Bogor: FKH-IPB.

Winter AR, Funk EM. 1956. Poultry Science and Practice. Chicago: Lippin Cott Company.


(39)

ABSTRACT

M. RAHMAN ALAN SORY Study of Seroprevalence Mycoplasma gallisepticum in Duck in Cipunegara Sub-district Subang District. Under guided of SRI MURTINI andRETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.

This study were aimed to identify the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in duck in Cipunegara sub-district, Subang. Hundred fourty five were samples sera from duck were use as a samples. Antibody against Mycoplasma gallisepticum was determined with Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methods. The result showed that the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in duck in Cipunegara sub-district as low as much as 1.4%.

Keywords: Mycoplasma gallisepticum, duck, ELISA.


(40)

RINGKASAN

M.RAHMAN ALAN SORY Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum

pada Bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SRI MURTINI dan RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Penelitian ini menggunakan sampel 145 serum darah bebek. Pengujian

Mycoplasma gallisepticum menggunakan metode pengujian Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang sebanyak 1.4%.


(41)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bebek merupakan salah satu sumber protein hewani yang telah dikenal dan disukai masyarakat karena harganya relatif terjangkau, memiliki rasa yang enak, mudah dalam pengolahan serta tinggi nilai gizinya (Grimes & Jackson 2001). Populasi bebek mengalami peningkatan setiap tahunnya di Indonesia. Namun jumlah total populasi bebek masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan ayam. Pada tahun 2009, populasi ayam kampung di Indonesia mencapai 249.9 juta ekor, sedangkan populasi bebek hanya sekitar 40.68 juta ekor (Deptan 2010).

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Subang pada tahun 2006 populasi ternak bebek sebesar 520 260 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 mencapai populasi 547 906 ekor. Namun peningkatan populasi tersebut belum signifikan bila dilihat dari segi produksi telurnya pada tahun 2007 yang mencapai 3 582 358 kg (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

Penyakit yang sering menyerang ternak unggas di Subang, antara lain yaitu tetelo (ND), flu burung, dan Chronic Respiratory Disease (CRD) (Eko 2003). Ketiga jenis penyakit ini sama-sama menyerang saluran pernafasan dan menyebabkan penurunan produksi unggas, sehingga dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi para peternak. Bebek dapat terserang berbagai penyakit-penyakit yang menghambat produksi telur maupun pertumbuhan bobot badan. Salah satu penyakit yang dapat menyerang bebek adalah Chronic Respiratory Disease atau CRD. Penyebab utama penyakit CRD adalah Mycoplasma gallisepticum.

Menurut Hirano (1978) Mycoplasma gallisepticum menyebabkan gangguan terhadap sistem pernafasan yang lebih parah pada unggas dibandingkan

Mycoplasma synoviae. Selain Mycoplasma gallisepticum dan Mycoplasma synoviae, bakteri Mycoplasma lainnya yang dapat menyebabkan penyakit serupa yaitu Mycoplasma iowae dan Mycoplasma meleagridis.

Penyakit CRD pada bebek mengakibatkan penurunan produktifitas, kenaikan konversi pakan, menurunnya berat karkas, mengurangi daya tetas dan pertumbuhan yang terhambat (Tully & Whitcomb 1979). Mycoplasma gallisepticum sering menyebabkan infeksi dengan gejala klinis yang sangat parah.


(42)

Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan angka pertumbuhan ternak unggas.

Mycoplasma dapat menimbulkan masalah ekonomi jika terjadi lesio pada traktus respiratorius yang menyebabkan tingginya angka morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas karkas sehingga karkas tidak layak dikonsumsi. Mycoplasma gallisepticum tetap tinggal di dalam tubuh ayam pedaging dan tidak menyebabkan penyakit sampai ayam mengalami stres. Mycoplasma gallisepticum tidak bersifat membunuh, bahkan pada kenyataannya angka morbiditasnya rendah, tetapi jika infeksi Mycoplasma ini merupakan infeksi sekunder dari penyakit lain ataupun infeksi Mycoplasma ini disertai infeksi sekunder oleh bakteri lainnya secara berlebihan maka dapat menyebabkan tingginya morbiditas. Infeksi pada ayam menimbulkan gejala respirasi termasuk batuk, bersin, adanya discharge dari nasal, berbusa di sekitar mata, atau kesulitan bernafas (Tully & Whitcomb 1979).

Kerugian yang diakibatkan penyakit Mycoplasma mencapai jutaan dollar (Carpenter et al. 1979). Penelitian terhadap kerugian ekonomi yang disebabkan oleh CRD pada ayam pedaging di Pakistan menunjukkan bahwa infeksi CRD pada ayam pedaging menyebabkan penurunan berat badan sebesar 0.6 kg per 25 ekor ayam (Smith 1988). Di Indonesia pada tahun 1989, Soeripto melaporkan bahwa CRD dapat menurunkan berat badan sebesar 62.1 gr per ekor ayam pedaging. Eksistensi penyakit ini pada ayam ras telah dilaporkan di Indonesia dengan diagnosa menggunakan uji aglutinasi (Soeripto 1989). Pada ayam buras dilaporkan bahwa kejadian mikoplasmosis diperkirakan mencapai 70-80% (Smith 1988).

Mycoplasma merupakan bakteri bersifat parasit obligat pada ayam dan kalkun (Gillespie & Timoney 1981), inang alami penyakit ini adalah ayam dan kalkun (Kleven et al. 1991). Secara genetik ayam lebih rentan daripada kalkun tetapi dilaporkan bahwa angsa dapat terinfeksi secara alami (Bencina et al. 1988). Angsa merupakan hewan yang peka terhadap infeksi Mycoplasma synoviae

buatan (Kleven et al. 1991). Angsa juga dapat terinfeksi jika dipelihara bersama-sama dengan ayam-ayam penderita (Bencina et al. 1988). Bebek juga dapat terserang mikoplasmosis, penelitian Barnes (2003) menyatakan bahwa mikoplasmosis dapat diisolasi dari bebek.


(43)

Daerah Subang sebagai sentra peternakan ayam sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas pedaging skala komersial atau sektor 3 dan unggas back yard ( sektor 4). Sektor 1 merupakan peternakan yang memiliki sistem industri yang terintegrasi, biosecurity yang tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 2 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity sedang sampai tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 3 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity yang rendah, dan pemasaran produk berupa ayam hidup yang dijual ke pasar ayam. Sektor 4 merupakan peternakan yang memiliki sistem pemeliharaan tradisional, biosecurity sangat rendah, dan biasanya hanya untuk konsumsi keluarga maupun dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Naipospos 2010).

Peternakan bebek di daerah Subang merupakan bebek gembalaan yang digembalakan secara berpindah-pindah (Naipospos 2010). Sistem penggembalaan ini sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit. Pola beternak dengan sistem gembalaan berpindah memiliki sistem biosecurity tidak layak yang memungkinkan berbagai penyakit muncul. Penelitian di Thailand menunjukan bahwa tentang penggembalaan bebek berpindah yang terinfeksi virus Avian Influenza H5N1 dalam waktu dua minggu dapat menyebarkan virus ke manusia dan unggas lainnya hingga menyebabkan kematian (Songserm et al. 2006).

Salah satu penyakit yang ada pada bebek adalah mikoplasmosis.

Pengetahuan tentang prevalensi penyakit Mycoplasma dapat dijadikan salah satu dasar pertimbangan untuk melakukan kontrol yang efektif dalam usaha pencegahan infeksi selanjutnya (Hossain et al. 2007). Selama ini penelitian tentang mikoplasmosis pada bebek masih sangat jarang dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi penyakit akibat infeksi Mycoplasma pada bebek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seroprevalensi mikoplasmosis pada bebek di Kecamatan Cipunegara Subang.


(44)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi serologis

Mycoplasma gallisepticum pada bebek di kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prevalensi serologis tentang gambaran penyakit Mycoplasma pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang.


(45)

TINJAUAN PUSTAKA

Chronic Respiratory Disease

Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit pernafasan pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum. Infeksi

Mycoplasma gallisepticum ini sesungguhnya merupakan salah satu penyakit bakterial yang sering dijumpai di peternakan-peternakan, namun karena serangannya yang berjalan lama atau kronis serta angka kematian yang ditimbulkan amat rendah, maka penyakit ini sering di anggap remeh saja oleh peternak (Smith 1988). Menurut Suprijatna (2008) mortalitas penyakit ini akan meningkat bila infeksi bakteri ini disertai penyakit ND (Newcastle Disease) dan IB (Infectious Bronchitis). Penyakit ini cukup populer, terutama pada pergantian musim, pada saat banyak hujan dan suasana dalam kandang lembab serta didukung dengan cara pemeliharaan yang tidak intensif (Rasyaf 1983). Infeksi

Mycoplasma gallisepticum sering timbul sebagai infeksi saluran pernafasan bagian atas dalam bentuk subklinis, namun dapat menyebabkan airsacculitis bila terjadi gabungan dengan Newcastle disease (ND) atau Infectious bronchitis (IB) atau keduanya (Kleven et al. 1991).

Karakteristik Mycoplasma (Agent)

Mycoplasma termasuk kedalam kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales dan famili Mycoplasmataceae. Bakteri ini memiliki ukuran 300-800 nm.

Mycoplasma tidak memiliki dinding sel namun ribosom dan DNA-nya terikat pada membran sitoplasma yang mengandung sterol, pospholipid dan protein. Ketiadaan dinding sel menyebabkan strukturnya begitu lentur dan memudahkannya untuk melewati filter pada pori yang berukuran 450 nm (Walker 2004). Mycoplasma memilki ciliostatic yang merupakan faktor virulensi yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Salah satu dari strain Mycoplasma yaitu strain S66 mampu memproduksi neurotoksik yang menyebabkan meningitis pada otak unggas meskipun gejalanya jarang terlihat pada infeksi alam (Jordan 2006). Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan waktu satu generasi berkisar antara satu sampai enam jam (Songer 2005). Terdapat 17 spesies dari genus


(46)

Mycoplasma yang dapat diisolasi dari unggas, tetapi hanya empat spesies yang bersifat patogen terhadap unggas domestik. Keempat spesies tersebut adalah

Mycoplasma gallisepticum (MG), Mycoplasma synoviae (MS) pada ayam dan kalkun Mycoplasma meleagridis (MM), dan Mycoplasma iowae (MI) pada kalkun. Patogenesitas untuk spesies lainnya belum diketahui, pada kondisi eksperimental, infeksi Mycoplasma gallinarum bersama infeksi virus bronchitis

dapat menyebabkan peradangan kantong hawa pada broiler.

Inang (Host)

Unggas yang didomestikasi seperti ayam, bebek, burung, kalkun, dan jenis unggas lainnya merupakan inang yang dapat terinfeksi Mycoplasma sp. Terutama ayam dan kalkun yang dipelihara secara intensif. Bakteri ini juga menyerang pada semua tingkatan umur (Suprijatna 2008). Organisme ini juga dapat diisolasi dari bebek domestik dan sering dijumpai pula pada burung baik yang dikandangkan atau burung-burung yang terbang bebas. Mycoplasma juga dapat diisolasi dari angsa (Morris 2008). Ayam dan kalkun adalah spesies yang paling rentan terhadap infeksi saat inang tersebut menetas, namun inang akan mengalami peningkatan resistensi terhadap penyakit ini seiring peningkatan umurnya. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai tingkatan umur. Namun gejala klinis lebih jelas terlihat pada unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres (Ensminger 1992).

Patogenesis

Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi ataupun konjungtiva. Penempelan pada glycoprotein permukaan pada sel mukosa tubuh unggas merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh bakteri tersebut. Disamping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroxide, yang dapat menyebabkan tekanan oksidasi pada membran sel inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum seperti Mycoplasma lainnya memiliki kemampuan untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme transport sel. Hal ini menyebabkan


(47)

mereka mampu mengelabui antibodi dan bahan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen (Jordan 2006).

Penyebaran Infeksi Mycoplasma gallisepticum ( MG )

Penyebaran penyakit dapat terjadi melalui telur ayam dan kalkun yang terinfeksi (Mycoplasma gallisepticum yang diisolasi dari oviduct unggas) maupun penyebaran dari unggas satu ke unggas yang lainnya melalui kotoran dan peralatan dalam kandang (fomites). Penyebaran melalui fomites, terjadi pada tingkatan yang terbatas disaat hewan sedang stres akibat kondisi sanitasi kandang yang buruk. Pada kelompok yang rentan akan penyakit ini bila dikandangkan dalam satu ruangan akan menyebar dari satu unggas ke unggas yang lainnya, biasanya cukup cepat namun adanya dinding ruangan akan membentuk barier yang efektif dan dapat mencegah penyebaran organisme ini. Kandang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri ini bila digunakan dalam produksi berkelanjutan (multiple-agesites) akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga infeksi sulit dikontrol (Ensminger 1992).

Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin. Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit mikoplasmosis. Unggas dengan epitel saluran pernafasan yang rusak merupakan target yang baik untuk kolonisasi mikroorganisme ini (Adler 1970). Kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma merupakan faktor predisposisi yang menentukan tingkat penyebaran. Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jordan (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan pada bulu unggas, rambut manusia, dan pakaian berbahan katun.

Gejala Klinis

Gejala klinis dalam bentuk akut berupa depresi yang berat, pertumbuhan terhambat, muka pucat, dada melepuh, kepincangan dan pembengkakan sendi,


(48)

tetapi pada kalkun gejala ini kurang tampak. Pada kalkun persendian kadang-kadang membengkak atau feces kehijauan (Tully & Whitcomb 1979). Pembengkakan pada persendian dapat menyeluruh terutama pada kasus berat dan sebagian pada kasus yang ringan. Kepincangan dapat disebabkan oleh panas, rasa sakit maupun bengkak pada hock joint. Bentuk yang akut ini dapat berlanjut menjadi bentuk kronis pada kondisi mengikuti vaksinasi ND dan IB (Tully & Whitcomb 1979). Pada umumnya bentuk kronis tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata (Razin & Barile 1985). Penurunan produksi telur dapat terjadi pada ayam petelur dan kalkun. Gejala klinis lainnya berupa ataxia,

keratoconjunctivitis, arthritis, salpingitis, dan encephalopathy (Songer 2005). Infeksi Mycoplasma gallisepticum muncul dan menyebar pada saluran pernapasan yang mengakibatkan menurunnya karkas ayam broiler dan kalkun serta produksi telur suboptimal pada ayam layer. Bakteri ini dapat menyebabkan menurunnya daya tetas telur pada bebek dan unggas lainnya dan sering dihubungkan kondisi encephalopathy pada kalkun dan arthritis, tendosynovitis dan salpingitis pada ayam (Ensminger 1992).

Diagnosis

Gejala klinis dan adanya lesio pada unggas yang terinfeksi merupakan ekspresi pada penyakit Mycoplasma. Dalam mendiagnosa penyakit ini tidak ada tanda klinis atau lesio histologi yang patognomonis pada infeksi Mycoplasma galliseptium pada ayam atau kalkun (Ensminger 1992). Diagnosa penyakit ini wajib dilakukan uji di laboratorium agar tidak salah dalam mendiagnosa dan untuk menghindari diagnosa banding dari penyakit ini. Beberapa uji laboratorium untuk mendiagnosa Mycoplasma adalah isolasi dan identifikasi organisme, uji serologis dan deteksi DNA. Probe DNA yang baru-baru ini dikembangkan untuk identifikasi cara cepat Mycoplasma gallisepticum pada jaringan. Infeksi juga dapat dikenali dengan menunjukkan keberadaan antibodi spesifik melalui uji serologis. Uji serologis tersebut berupa uji serum aglutinasi secara cepat (RSA), uji aglutinasi tuba (TA), uji inhibisi hemaglutinasi (HI) dan ELISA (Enzyme- Linked Immunosorbent assays) (Ensminger 1992).


(49)

Bebek

Sejarah pustaka menyatakan bahwa nenek moyang bebek berasal dari Amerika Utara. Nenek moyang bebek ini merupakan bebek liar (Anas moscha) atau wild mallard. Bebek liar ini selanjutnya dijinakkan oleh manusia sehingga jadilah bebek yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus. Bebek bersifat monogamus yaitu hidup berpasangan pada keadaan liar dan bersifat poligamus setelah didomestikasi sehingga bisa dipelihara bersama-sama dalam satu kandang. Bebek menyebar ke kawasan yang luas karena bersifat aquatik. Selain itu, bebek bersifat omnivorus (pemakan segala), mulai dari biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian, dan makanan yang berasal dari hewan atau binatang-binatang kecil. Sifat spesifik lainnya dari bebek adalah kakinya yang relatif pendek dibandingkan dengan tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh selaput renang, serta bulu-bulunya tebal dan berminyak yang dapat menghalangi air masuk ke dalam tubuhnya ketika berada di dalam air (Suharno 2002).

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 1. Beberapa jenis bebek yang ada di Indonesia (a) bebek Tegal (b) bebek Mojosari (c) bebek Magelang (d) bebek Bali (e) bebek alabio (f) bebek Cirebon.


(1)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang rendah adalah sebesar 1.4%.

Saran

1. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam sumber infeksi Mycoplasma gallisepticum pada bebek.

2. Dibutuhkan penelitian lapang lanjutan untuk mengetahui sumber infeksi mikoplasmosis.


(2)

STUDI SEROPREVALENSI

MYCOPLASMA GALLISEPTICUM

PADA BEBEK DI KECAMATAN CIPUNEGARA KABUPATEN

SUBANG

M. RAHMAN ALAN SORY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adler HE, Lamas DSJM. 1970. Immunization against Mycoplasma gallisepticum.

Avian Dis 14(7):763-769.

Amanu S, Sunuwihadi DR. 2005. Survei infeksi bakteri Mycoplasma synoviae

pada kalkun, angsa, entok, dan itik di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. J Sain Vet 2(23):67-71.

Anonim. 2010. Potensi peternakan di Subang. http://www.subang.gi.id/potensi peternakan.php [24 Agustus 2010].

Anonim. 2010. Statistik peternakan Indonesia. http://www.ditjennak.deptan.go.id [9 Mei 2010].

Anonim. 2011. Budidaya bebek. http://www.indonetwork.co.id [24 Agustus 2011].

Barnes HJ. 2003. Disease of Poultry. Ed ke-11. USA: Blackwell Publishing.

Bencina D, Tanida T, Dorrer D. 1988. Natural infection of geese with

Mycoplasma gallisepticum and Mycoplasma synoviae and egg transmission of the mycoplasmas. Avian Pathol. 17:925-928.

Bradbury JM. 2006. Avian Mycoplasma. Di dalam: Jordan F, Pattson M, Alexander D, Faragher T, editor. Poultry Disease. Ed ke-5. China: Saunders Elsevier hal 178-186.

Buim MR. 2009. Epidemiological survey on Mycoplasma gallisepticum and

Mycoplasma synoviae by multiplex PCR in commercial poultry. Pesq Vet Bras 29(7):552-556.

Butcher. 2003. The Avian Immune System. Florida: University of Florida.

Cann AJ. 1997. Principle of Molecular Virology. Di dalam: Samsi M. 2007. Estrak benalu teh (Scurulla oortiana) sebagai immunomodulator dan anti tumor infeksi Marek Disease Virus (MDV) pada ayam [disertasi]. Bogor: IPB.

Carpenter TE, Miller KF, Gentry RF, Schwartz LD, Malinson ET. 1979. Control of Mycoplasma gallisepticum in commercial laying chickens using artificial exposure to Connecticut F strain Mycoplasma gallisepticum. Proc Anim Health Assoc 83:364-370.

[CFSPH] The Center of Food Security & Public Health, committee of OIE. 2007. Avian mycoplasmosis. www.cfsph.iastate.edu [14 Maret 2011]


(4)

Chrysostome CAAM. 1995. Seroprevalences to three disease in village chickens in Benin. Prev Vet Med. 22:257-261.

Djanah D. 1973. Beternak Itik. Ed ke-2. Malang: SKMA Negeri Malang.

Eko TP. 2003. Subang kabupaten agrobisnis peternakan Infovet. 103:33-35.

Ensminger BE. 1992. Poultry Science. Ed ke-3. USA: Interstates publishers..

Ensminger BE. 2004. Poultry Science. Ed ke-4. USA: Interstates publishers.

Faisal Z. 2011. The prevalence of Mycoplasma gallisepticum infection in chickens from Peninsula Malaysia. Anim Ved Adv 10(14):1867-1874.

Feberwee A. 2006. The effect of live vaccine on the horizontal transmission of

Mycoplasma gallisepticum. Avian Pathol 35(5):359-366.

Gillespie JH, Timoney JF. 1981. Hagan and Bruner's Infectious Diseases of Domestic Animals. Ed ke-7. London: Cornell University Press.

Grimes T, Jackson C. 2001. Code Of Practice for Biosecurity in the Egg Industry.

Australia: Rural Industries Research And Development Corporation.

Hirano H. 1978. Pathogenicity of Mycoplasma synoviae in chicken tracheal organ culture. Jap j vet Sci 40:147-156.

Hossain KMM, Ali MY, Haque MI. Seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum

infection in chicken in the greater rajshahi district of Bangladesh. Bangl J Vet Med 5(1&2):9-14.

Jordan F. 2006. Poultry Disease. Ed ke-5. China: Saunders Elsevier.

Juniwati D. 2011. Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.

Kleven S, Calnek BW, Barnes HJ, Bread CW, Rowland WMGN, Olson NO. 1991. Disease of Poultry. Ed ke-9. USA: Interstates publishers.

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnostik dan Prosedur Laboratorium. Ed Ke-4. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

.

Kuby J. 1997. Immunology. Ed Ke-3. New York: W.H Freeman and Company.

Morris TR. 2008. Domestic Duck Production Science and Practice. UK: CABI publishing.


(5)

Naipospos TSP. 2010. Restrukturisasi sektor perunggasan dalam rangka pengendalian avian influenza: ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan. http://www.scribd.com/doc/38237967/Restrukturisasi-Perunggasan-Dalam-Rangka-ian-Avian-Influenza[22 Februari 2011].

Poultry Disease Network. 2010. Mycoplasmosis. http://poultrydisease.net/online. [24 Agustus 2011]

Pudjiarti. 1972. Produksi dan Pemasaran Telur Itik di Daerah Bumiayu.

Purwokerto: Buletin Ilmiah Lembaga Penelitian dan Pengembangan UNSUD.

Rasyaf M. 1983. Beternak Kalkun. Jakarta: Penebar swadaya.

Razin S. Barile MF. 1985. The Mycoplasma. Ed ke-1. Iowa: The Iowa State University Press.

Rottem S. 2003. Interaction of Mycoplasmas with host cells. Physiol Rev. 83: 417-432.

Samosir DJ. 1973. Ilmu Beternak Itik. Ed ke-1. Bogor: Bagian Ilmu Ternak Unggas Departemen Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan IPB.

Sato S. 1996. Avian mycoplasmosis in Asia. Rev sci tech Off Int Epiz (4): 1555-1567.

Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaaan di Daerah Tropis. Jakarta: (UI - Press).

Soeripto. 1988. Natural Mycoplasma gallisepticum infection in Tegal duck. Pen hew 36(20):51-53.

Soeripto. 1989. Pengaruh suanovil terhadap kenaikan bobot badan ayam pedaging yang terserang chronic respiratory disease. Pen Hew 21 : 102-106.

Songer JG, Karen WP. 2005. Veterinary Microbiology (Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease). China: Saunders Elsevier.

Songserm T, Jam-on R, Sae-Heng N, Meemak N, Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez

KM, Webster RG. 2006. Domestic ducks and H5N1 influenza epidemic.

Thailand Emerg Infect Dis 12:575–581.

Sudjai A. 1964. Beternak Itik. Ed ke-4. Jakarta: Penerbit Masa Baru.

Suharno B. 1999. Beternak Itik di Kandang Baterai. Jakarta: Penebar swadaya.


(6)

Suprijatna E. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar swadaya.

Syafrison. 2011. Penilaian risiko kualitatif pemasukan virus avian influenza ke zona kompartemen di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tully JG, Whitecomb RF. 1979. The Mycoplasma. USA: Academic Press.

Turkyilmaz, Suheyla C, Fethiye E. 2007. Detection of antibodies produced in Quails (Coturnix coturnix japonica) against Mycoplasma gallisepticum

with different serological Test. Turk J Vet Anim Sci 31(4):267-270.

Walker RL. 2004. Veterinary Microbiology. Ed ke-2.USA: Blackwell Publishing.

Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Diktat Imunologi. Bogor: FKH-IPB.

Winter AR, Funk EM. 1956. Poultry Science and Practice. Chicago: Lippin Cott Company.