Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di kecamatan Cipunegara kabupaten Subang

(1)

STUDI SEROPREVALENSI Mycoplasma gallisepticum PADA

AYAM KAMPUNG DI KECAMATAN CIPUNEGARA

KABUPATEN SUBANG

DENY JUNIWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

in Domestic Chicken in Cipunegara Sub-district Subang District. Under direction of RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO and USAMAH AFIFF.

This study was aimed to give information of seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in domestic chicken in Cipunegara sub-district, Subang district and recommended preventive and controlling action. The study used the serum sample that taken from 291 domestic chickens in traditional farm (sector 4) where located arround the commercial livestock (sector 1, 2, and 3). Mycoplasma gallisepticum

was determined with Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methods. The result showed that the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in domestic chicken in Cipunegara sub-district, Subang district were 28.52%. It was equal with 83 chickens that were positive Mycoplasma gallisepticum.


(3)

Ayam Kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Dibimbing oleh

RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO dan USAMAH AFIFF.

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran prevalensi serologis

Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang dan merekomendasikan tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan. Penelitian ini menggunakan sampel serum yang didapatkan dari 291 ayam kampung yang dipelihara secara tradisional (sektor 4) yang terletak berdekatan dengan peternakan komersil (sektor 1, 2, dan 3). Mycoplasma gallisepticum diuji dengan menggunakan metode ELISA. Hasil yang didapat menunjukkan prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan cipunegara Kabupaten Subang sebesar 28.52%. Hasil tersebut setara dengan jumlah 83 ayam yang positif terhadap Mycoplasma gallisepticum.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Seroprevalensi

Mycoplasma gallisepticum pada Ayam Kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Deny Juniwati


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

STUDI SEROPREVALENSI Mycoplasma gallisepticum PADA

AYAM KAMPUNG DI KECAMATAN CIPUNEGARA

KABUPATEN SUBANG.

DENY JUNIWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

Nama : Deny Juniwati NIM : B04070135

Disetujui

Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS Pembimbing I

drh. Usamah Afiff, Msc Pembimbing II

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:

Diketahui


(8)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih ialah “Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada Ayam Kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang”.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS dan drh. Usamah Afiff, M.Sc selaku pembimbing yang telah begitu sabar mengayomi penulis. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Murtini, M.Si yang telah memberikan penulis kesempatan untuk bergabung dengan tim penelitian dan para staf laboratorium Mikrobiologi Medik (Mbak Selin, Mbak Ade, Drh. Agustin, Drh. Mulianti, Mas Wahyu) yang telah membantu baik tenaga maupun waktu dalam penelitian ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda Dasnah, ayahanda Nabidin, dan kakanda Yulya yang selalu mengiringi perjalanan penulis dengan cinta, doa, dan dukungan yang tiada hentinya. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jambi yang telah membiayai pendidikan penulis melalui jalur BUD selama penulis menempuh masa studi di FKH IPB. Selain itu, penulis juga mendapatkan dukungan penuh dari rekan-rekan satu penelitian (Khosim, Rahman, Rico), sahabat-sahabat terdekat (Wulan, Elmanora, Putri, Joko, Fenny, Sari, Meta, Ila, Novri, Kakanda Sinta, Annike, dan Gebri), rekan-rekan Gianuzzi FKH 44, Himpro SATLI, keluarga besar Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor yang selalu memberikan rangkulan kehangatan kekeluargaan. Penulis bahagia dapat mengenal kalian semua. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak dalam penelitian ini.

Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2011


(9)

Penulis dilahirkan di Kumun Hilir pada tanggal 16 Juni 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, putri pasangan ayah Nabidin dan ibu Dasnah.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di TK pertiwi Kumun Hilir pada tahun 1995, lalu melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar no 36/III Kumun Hilir. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Sungai Penuh dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Sungai Penuh pada tahun 2004. Setelah itu, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dengan program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Selama mengikuti perkuliahan program pendidikan S1, penulis aktif menjadi sekretaris Departemen Enterpreneurship Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB periode 2008-2009, anggota serta pengurus Himpunan Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar FKH IPB periode 2008-2009, Bendahara umum Himpunan Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar FKH IPB periode 2009-2010, anggota dan badan pengurus Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Cabang FKH IPB, dan asisten praktikum mata kuliah Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis. Penulis juga aktif dalam kegiatan pengabdian masyarakat.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……….. i

DAFTAR TABEL ……….. ii

DAFTAR GAMBAR ………. iii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Tujuan ………. 3

1.3 Manfaat ………... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Respiratory Disease ……… 4

2.2 Mycoplasma………. 4

2.2.1 Karakteristik ………. 4

2.2.2 Inang ……… 5

2.2.3 Penyebaran Infeksi ……… 5

2.2.4 Pathogenesis ………. 6

2.2.5 Gejala dan Lesio……… 7

2.2.6 Diagnosis ……….. 7

2.3 Ayam Kampung ………... 8

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 10

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ……… 10

3.3 Metode ELISA ….………... 10

3.4 Pembacaan Hasil ……….. 11

3.5 Interpretasi Hasil ……….. 11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 12

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……….. 19

5.2 Saran ……… 19


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Populasi ternak unggas di Kabupaten Subang ……… 1 2 Data hasil uji ELISA ……… 23


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Gambaran Mycoplasma secara mikroskopis……… 4

2 Serum yang diuji ELISA di dalam microplate………. ... 13


(13)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Subang merupakan salah satu daerah sentra peternakan unggas di Indonesia. Selama ini produksi ternak unggas Subang menyuplai 10% kebutuhan nasional dan 50% kebutuhan daerah Jawa Barat. Ternak unggas tersebut juga diekspor ke beberapa negara di Asia (Adlan 2011). Jenis ternak unggas yang terdapat di daerah ini antara lain adalah ayam buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur, dan itik. Semua jenis ternak ini memiliki populasi yang cukup besar (Pemkab Subang 2010a).

Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2008 populasi ternak ayam buras di Kabupaten Subang sebesar 958 889 ekor. Jumlah ini hampir sama besar dengan populasi pada tahun 2007, yaitu sebesar 951 250 ekor. Tetapi jumlah ini menurun dibandingkan populasi pada tahun 2006, yaitu sebesar 1 139 431 ekor (Disnak Jabar 2009; Pemkab Subang 2010a).

Tabel 1 Populasi ternak unggas di Kabupaten Subang.

Jenis Ternak Populasi (2006) (ekor) Populasi (2007) (ekor) Populasi (2008) (ekor)

Ayam Buras 1 139 431 951 250 958 889

Ayam Ras

Pedaging 3 487 600 3 612 800 -

Ayam Ras Petelur - 4 000 -

Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Subang (2010)

Secara umum sektor peternakan unggas dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu peternakan sektor 1, 2, 3, dan 4. Sektor 1 merupakan peternakan yang memiliki sistem industri yang terintegrasi, biosecurity yang tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 2 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity sedang sampai tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 3 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity yang rendah, dan pemasaran produk berupa ayam hidup


(14)

yang dijual ke pasar ayam. Sektor 4 merupakan peternakan yang memiliki sistem pemeliharaan tradisional, biosecurity sangat rendah, dan biasanya hanya untuk konsumsi lokal (Naipospos 2010).

Menurut Eko (2010) beberapa jenis penyakit yang sering menyerang ternak unggas di Subang, antara lain yaitu tetelo (ND), flu burung (AI), dan chronic respiratory disease (CRD). Ketiga jenis penyakit ini sama-sama menyerang saluran pernafasan dan berpengaruh terhadap penurunan produksi unggas. Sehingga dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi para peternak.

Chronic Respiratory Disease merupakan manifestasi keberadaan bakteri

Mycoplasma. Mycoplasma pada unggas terdiri atas empat spesies, yaitu M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis dan M. iowae. Spesies yang paling patogen terhadap unggas adalah Mycoplasma gallisepticum dan Mycoplasma synoviae. Tingkat keparahan penyakit dipengaruhi oleh infeksi sekunder dari patogen lainnya seperti Haemophilus paragallinarum dan Pasteurella multocida

(Barua 2006; OIE 2008).

Chronic respiratory disease merupakan penyakit yang sangat merugikan usaha peternakan ayam di seluruh dunia. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tersebut sangat besar. Mycoplasma gallisepticum tidak bersifat membunuh, bahkan pada kenyataannya angka morbiditasnya tidak terlalu baik, tetapi jika berlebihan dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder secara cepat dan menimbulkan kerugian. Penurunan konsumsi pakan menyebabkan kehilangan atau penurunan berat badan pada ayam. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan angka pertumbuhan.

Penyakit tersebut juga dapat menyebabkan imunosupresi pada ayam yang terinfeksi. Proses peradangan yang terjadi dapat menghambat perkembangan sel T

helper dan sel T cytotoxic. Hal ini menyebabkan infeksi patogen menjadi persisten dan mengakibatkan respon netralisasi antibodi terhadap infeksi menurun drastis.

Daerah Subang merupakan sentra peternakan sektor 1, 2, dan 3 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara ayam kampung (sektor 4). Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi penyakit antara ayam kampung dengan ayam peternakan komersial. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk


(15)

mengetahui prevalensi penyakit akibat infeksi Mycoplasma pada ayam kampung. Penelitian tentang mycoplasmosis masih sangat jarang dan terbatas dilakukan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun telah disadari bahwa pengetahuan tentang prevalensi Mycoplasma dapat dijadikan salah satu dasar pertimbangan untuk melakukan kontrol yang efektif dalam usaha pencegahan infeksi selanjutnya (Hossain 2007).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang dan merekomendasikan langkah pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prevalensi serologis

Mycoplasma pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan kontrol yang efektif.


(16)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Chronic Respiratory Disease (CRD)

Chronic respiratory disease (CRD) merupakan salah satu penyakit yang menyerang sistem pernafasan pada unggas. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum. Penyakit ini dapat menyerang semua umur ayam, tetapi lebih banyak menyerang ayam muda (OIE 2008).

2.2Mycoplasma 2.2.1 Karakteristik

Kingdom : Bacteria

Phylum : Tenericutes atau Firmicutes

Class : Mollicutes

Order : Mycoplasmatales

Family : Mycoplasmataceae

Genus : Mycoplasma

Gambar 1 Gambaran Mycoplasma secara mikroskopis. (Anonim 2011)

Genus Mycoplasma terdiri atas lebih dari 100 spesies. Sebagian besar

Mycoplasma merupakan spesies-spesific-host-organism associations, artinya tiap spesies Mycoplasma memilki inang yang spesifik. Menurut Angkap (2010) dan Songer (2005) bakteri ini dapat ditemukan pada beberapa jenis hewan, diantaranya pada babi (Mycoplasma hyopneumoniae), pada sapi (Mycoplasma bovis), pada domba (Mycoplasma ovis), pada anjing (Mycoplasma haemocanis),


(17)

dan pada kucing (Mycoplasma haemofelis). Beberapa spesies diantaranya dapat menyerang unggas, yaitu M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis dan M. Iowae. Spesies yang paling patogen terhadap unggas adalah Mycoplasma gallisepticum (Afiff 2010).

Mycoplasma merupakan organisme pleomorfik yang tergolong prokaryotik terkecil yang dapat bereplikasi sendiri (Quinn 2005). Bakteri ini memiliki diameter antara 0.2-0.3 µm. Mycoplasma memiliki struktur yang sederhana, terdiri dari ribosom dan DNA yang dikelilingi oleh tiga lapis membran sitoplasma yang elastis, yaitu sterol, phospolipid, dan protein, serta memiliki dinding sel yang lunak (Songer 2005; Soeripto 2009). Karakteristik ini menyebabkan Mycoplasma

sangat resisten terhadap penisilin dan derivatnya yang memiliki target pada dinding sel (Soeripto 2009).

Sebagian besar Mycoplasma bersifat fakultatif anaerob, kecuali yang patogen terhadap manusia, yaitu Mycoplasma pneumonia yang bersifat aerob. Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan satu waktu generasi 1 sampai 6 jam (Songer 2005). Mycoplasma gallisepticum sensitif terhadap disinfektan, pH dan temperatur yang ekstrem, dan lisis oleh detergen. Bakteri ini juga mudah terpengaruh oleh sejumlah antimikroba termasuk makrolida, aminoglykosida, dan fluoroquinolon (Bradbury 2006).

2.2.2 Inang

Ayam, bebek, burung, dan jenis unggas lainnya dapat menjadi inang organisme ini. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai tingkatan umur. Tetapi gejala klinis lebih terlihat pada sebagian besar unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres (Bradbury 2006).

2.2.3 Penyebaran Infeksi

Penyebaran Mycoplasma terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Penyebaran secara vertikal dapat terjadi secara transovarial atau melalui oviduct

(Bradbury 2006; Walker 2004). Embryo yang terinfeksi dapat mengalami kematian, khususnya jika terinfeksi oleh strain Mycoplasma gallisepticum yang virulen, tetapi sebagian menetas dan menyebarkan infeksi pada keturunan


(18)

berikutnya. Mycoplasma gallisepticum mampu bertahan dengan baik pada kandungan telur (cairan allantois dan kuning telur). Hal ini menjadi perhatian penting bagi perusahaan vaksin yang menggunakan telur atupun kultur sel yang berasal dari telur. Karena telur yang terinfeksi dapat mengontaminasi vaksin (Bradbury 2006).

Penyebaran secara horizontal dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, yaitu hasil dari ekshalasi, batuk, atau bersin. Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit. Burung dengan epitel saluran pernafasan yang rusak dapat menjadi target yang baik untuk kolonisasi (Adler 1966). Tingkat penyebaran juga tergantung dari beberapa faktor seperti kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain

Mycoplasma tersebut. Bakteri ini tidak selalu menyerang unggas yang berdekatan kandang, bahkan dinding kandang kemungkinan dapat bertindak sebagai barier pertahanan terhadap transmisi (Bradbury 2006). Penyebaran tidak langsung dapat terjadi melalui pekerja dan peralatan kandang yang terkontaminasi dan memungkinkan terjadinya penyebaran dari satu kelompok ayam ke kelompok ayam lainnya (CFSPH 2007).

Periode inkubasi penyakit ini adalah 6-21 hari (Poultry Disease Network 2006). Tetapi pada kondisi alam periode inkubasi tersebut sulit diprediksi secara pasti karena faktor lingkungan dapat mempengaruhi derajat infeksi. Semakin buruk kondisi lingkungan dan manajemen kesehatan, kandang, dan sebagainya maka periode inkubasinya dapat berlangsung lebih cepat (Poultry Disease Network 2006; Soeripto 2009). Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut manusia, dan pakaian berbahan katun (Bradbury 2006).

2.2.4 Pathogenesis

Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi. Bakteri tersebut menempel pada reseptor epitel yang disebut


(19)

memperbanyak diri. Mycoplasma memiliki ciliostatic yang merupakan faktor yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Di samping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroksida, yang dapat menyebabkan stres oksidatif pada membran sel inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum memilki kemampuan untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme transpor sel. Hal ini menyebabkan mereka mampu mengelabui antibodi dan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen (Bradbury 2006).

2.2.5 Gejala dan Lesio

Perkembangan klinis penyakit tergantung pada keberadaan patogen lain ataupun faktor cekaman atau stres, kecuali untuk unggas muda. Gejala klinis bervariasi bergantung pada derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung, bersin, batuk, ngorok, kebengkakan pada kelopak mata, dan radang konjunctiva (conjunctivitis). Jika infeksi berlanjut dan disertai dengan infeksi sekunder maka eksudat hidung dapat menjadi kental. Gejala pernafasan kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan, dan produksi telur. Lesio yang sering ditemukan berupa

sinusitis, tracheitis, air sacculitis, dan mucus pada trakhea (Avakian 1993; Soeripto 2009; Songer 2005).

2.2.6 Diagnosis

Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa disamping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion patologis yang ditemukan (OIE 2008). Tiga macam pendekatan yang biasanya digunakan antara lain adalah uji serologis, isolasi dan identifikasi organisme, dan deteksi DNA. Uji-uji serologis ini paling sering digunakan untuk mendeteksi


(20)

keberadaan Mycoplasma pada suatu kelompok. Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA. Beberapa kit ELISA komersial dipasarkan dan beberapa telah mendapat persetujuan dari United State Departement of Agriculture (USDA) untuk digunakan pada National Poultry Improvement Plan

(NPIP). Kit dibuat untuk mendeteksi antibodi ayam secara valid. Satu kit menggunakan monokonal antibodi, dan dapat digunakan untuk serum dari berbagai inang unggas (Bradbury 2006).

2.3Ayam Kampung

Ayam buras merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. Populasi ayam buras di Indonesia tersebar di seluruh pelosok pedesaan dengan pola pemeliharaan umumnya bersifat ekstensif-tradisional. Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena sistem pemeliharaan secara ekstensif, pemberian pakan yang belum memperhatikan kualitas dan kuantitas nutriennya, tingkat mortalitas tinggi terutama pada Day Old Chicken (DOC), serta keragaman individu yang cukup besar. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan dengan introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semi intensif hingga intensif yang didukung dengan perbaikan teknologi perbibitan, pakan, produksi, dan pengendalian penyakit. Tersedianya teknologi usaha tani ayam buras spesifik lokasi diharapkan akan mendukung pengembangan ayam buras yang lebih menguntungkan (Suryana 2008).

Ayam buras pengertiannya meliputi seluruh ayam bukan ras (selain ayam negeri pedaging dan petelur). Sehingga banyak masyarakat yang menggolongkan ayam kampung ke dalam golongan ayam buras. Ada yang menyamakan pengertian ayam kampung dengan ayam bukan ras (ayam buras). Sementara itu, ada yang mengatakan antara keduanya berbeda. (Nurcahyo 2002).

Sampai saat ini belum ada batasan yang pasti tentang pengertian ayam kampung. Penyebutan ayam kampung hanya sekedar untuk menunjukkan jenis ayam lokal dengan ketidakanekaragaman genetis yang tinggi yang sudah dikenal luas dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Jenis ayam lokal ini diperkirakan menjadi bervariasi karena pengaruh isolasi tempat. Variasi individu


(21)

dalam satu jenis ini tidak hanya terbatas pada bulu, tetapi juga pada ukuran tubuh, produktivitas telur, dan suara. Semua variasi ayam lokal ini ada yang menyebutnya sebagai ayam bukan ras (Nurcahyo 2002).

Potensi individu berupa potensi genetik yang dimiliki ayam kampung yang dapat dilihat dari produktivitasnya meliputi pertumbuhan dan kemampuan bereproduksi (Wihandoyo 2009). Ayam kampung memilki tubuh yang kecil, produktivitas telurnya rendah, pertumbuhan tubuhnya lambat, dan tidak pantas dijadikan ayam hias, baik dari segi suara maupun penampilan. Meskipun ayam ini banyak dibudidayakan, tetapi pemeliharaannya lebih banyak diserahkan pada alam. Akibatnya, seleksi alam berperan sangat besar terhadap kelangsungan hidup keturunananya. Sekalipun banyak mendapatkan tantangan yang berat, ayam ini mampu membuktikan bahwa dirinya dapat lolos dan bertahan di tengah maraknya peternakan ayam ras (Sarwono 2003). Sampai saat ini, ayam kampung masih banyak dijumpai di setiap desa di Indonesia. Pada umur yang sama, ayam kampung memilki bobot badan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ayam ras. Dengan pemeliharaan yang intensif, pada umur satu bulan ayam ras telah mencapai bobot badan 250 gr, sedangkan ayam kampung baru mencapai 150 gr. Namun pada umur 4 bulan, perbedaannya tidak terlalu jauh, ayam ras mencapai bobot sekitar 1 570 gr, sedangkan ayam kampung sekitar 1 400 gr (Nurcahyo 2002).

Di Jawa Barat dan Jawa Timur, pemeliharaan ayam buras berkembang dengan pesat karena berbagai faktor, antara lain: 1) kesesuaian lokasi geografis, 2) petani-peternak menyenangi memelihara ayam buras, 3) cara pemeliharaan yang mudah dan tidak membutuhkan modal besar, dan 4) pemeliharaan merupakan usaha sampingan atau tabungan. Petani dan peternak banyak yang memelihara ayam buras karena mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menopang perekonomian keluarga. Telur dan daging ayam buras mampu bersaing dengan ayam ras dan harganya relatif stabil serta konsumennya luas. Ayam buras tersebar luas dan sebagian besar masyarakat di pedesaan memiliki dan memeliharanya, sehingga sangat mendukung untuk dikembangkan dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga petani-peternak di pedesaan serta cocok untuk usaha sampingan selain bercocok tanam (Suryana 2008).


(22)

BAB III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan di daerah Subang pada bulan Desember 2009 dan pengujian laboratorium di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada bulan Februari 2010.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah ayam kampung sebanyak 291 sampel dari ayam yang berbeda dan diambil dengan metode purposive, buffer substrat, kit ELISA BioCheck yang terdiri dari reagent konjugat, substrat, stop solution, washing solution, larutan kontrol positif, dan larutan kontrol negatif. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

micropipet, diluted chamber, microtipe, microplate, ELISA reader, freezer, dan kontainer.

3.3 Metode ELISA (ELISA indirect)

Microplate dikeluarkan dari kertas pembungkus. Kemudian dilakukan pendataan dan pengisian 100 µ l sampel darah ayam ke dalam tiap sumur. Empat sumur pada kolom pertama microplate dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif dan negatif. Kemudian sebanyak 100 µl kontrol negatif ditambahkan ke dalam sumur A1 dan B1. Selanjutnya sebanyak 100 µ l kontrol positif ditambahkan ke dalam sumur C1 dan D1.

Microplate dicuci dengan menggunakan larutan pencuci washing solution

sebanyak 350 µ l dan dilakukan aspirasi minimal 4 kali sampai menyentuh dinding sumur. Kemudian cairan pencuci tersebut dibuang dan microplate di telungkupkan pada kain yang berdaya serap tinggi sampai sumur benar-benar kosong. Pencucian dilakukan sampai 4 kali dengan prosedur dan ketentuan yang sama. Setelah itu, sebanyak 100 µ l reagent konjugat ditambahkan ke dalam tiap


(23)

sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 22 sampai 27 °C. Kemudian dilakukan kembali langkah dan prosedur pencucian.

Sebanyak 100 µ l substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur. Kemudian

microplate ditutup dengan alumunium foil. Setelah itu, microplate diinkubasi pada suhu ruangan 22 sampai 27 °C selama 15 menit. Saat penambahan substrat

sebaiknya dilakukan dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah atau matikan lampu ruangan. Hal ini dikarenakan substrat sangat reaktif terhadap cahaya. Setelah 15 menit berlalu, dilakukan penambahan 100 µ l stop solution untuk menghentikan reaksi. Kemudian dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.

3.4 Pembacaan Hasil

Hasil yang valid ditunjukkan dengan nilai absorban kontrol negatif harus terbaca di bawah 0.30 dan perbedaan nilai rata-rata negatif kontrol dengan positif kontrol lebih besar dari pada 0.15.

3.5 Interpretasi Hasil

Sampel dengan nilai S/P sebesar 0.5 atau lebih artinya mengandung anti antibodi terhadap Mycoplasmagallisepticumdan hasil uji berarti “positif”.

Perhitungan rasio S/P:

Nilai sampel yang diuji - nilai rataan kontrol negatif = S/P Nilai rataan kontrol positif - nilai rataan kontrol negatif

Nilai S/P Status antibodi

0.499 atau kurang Negatif


(24)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara menggunakan 291 sampel darah ayam kampung. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive. Sampel tersebut diambil dari 5 desa yang merupakan wilayah yang paling dekat dengan sentra peternakan ayam komersil. Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda. Desa Tanjung didapatkan sebanyak 146 sampel, Desa Jati sebanyak 43 sampel, Desa Pada Mulya sebanyak 12 sampel, Desa Parigi Mulya sebanyak 56 sampel, dan Desa Wanasari sebanyak 34 sampel. Sehingga didapatkan total sampel sebanyak 291 (Tabel 1). Jumlah sampel yang diambil merupakan jumlah proporsional yang didapatkan dari perhitungan berdasarkan populasi ayam kampung yang dipelihara secara tradisional (sektor 4) di masing-masing desa.

Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum

Nama Desa Jumlah Positif Negatif Persentase Persentase

Sampel Positif (%) Negatif (%)

Tanjung 146 42 104 28,77 71,23

Jati 43 15 28 34,88 65,12

Pada

Mulya 12 3 9 25,00 75,00

Parigi

Mulya 56 15 41 26,78 73,21

Wanasari 34 8 26 23,53 76,47

Total

Sampel 291 83 208 28,52 71,48

Pengujian serologis menunjukkan hasil bahwa dari 291 sampel, 83 sampel (28.52%) menunjukkan hasil positif terhadap Mycoplasma gallisepticum. Sedangkan 208 sampel (71.48%) menunjukkan hasil negatif (Tabel 1). Jika dilakukan perbandingan terhadap prevalensi serologis mycoplasmosis antar desa, maka didapatkan bahwa Desa Jati memilki persentase yang lebih besar


(25)

dibandingkan dengan desa lainnya, yaitu sebesar 34.88%. Sedangkan desa yang lainnya relatif hampir sama besar. Tanjung sebesar 28.77% , Pada Mulya sebesar 25%, Parigi Mulya sebesar 26.78%, dan Wanasari sebesar 23.53% (Tabel 1).

Gambar 2 Serum yang diuji ELISA di dalam microplate.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi. Pengujian ini dilakukan pada sampel darah ayam kampung dari peternakan sektor 4 yang merupakan peternakan skala rumah tangga. Ayam-ayam pada sektor ini umumnya hanya mendapatkan vaksinasi terhadap NewcastleDisease (ND) dan jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan vaksin terhadap penyakit lain termasuk CRD. Apabila hasil uji menunjukkan positif terhadap Mycoplasma gallisepticum, artinya kemungkinan besar ayam-ayam tersebut telah terpapar Mycoplasma gallisepticum. Menurut Bradbury (2006) gejala klinis penyakit ini lebih sering terlihat pada ayam muda umur 4 sampai 9 minggu. Apabila penyakit menyerang ayam usia relatif tua, maka gejala klinis jarang terlihat. Sehingga keberadaan penyakitpun sulit untuk diketahui.

Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa di samping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion

Warna biru= positif Tidak

berwarna= negatif


(26)

patologis yang ditemukan (OIE 2008). Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA.

Sampel darah ayam kampung yang digunakan diambil dari peternakan sektor 4, yaitu peternakan tradisional yang dipelihara oleh masyarakat setempat. Sampel darah ayam diambil di 5 desa dari 10 desa di kecamatan Cipunagara. Berdasarkan data Pemkab Subang (2010b) desa-desa di kecamatan ini yaitu Simper, Kosambi, Jati, Tanjung, Parigi Mulya, Pada Mulya, Wanasari, Manyingsal, Sidamulya, dan Sidajaya. Sampel yang diambil berasal dari wilayah desa yang berdekatan langsung dengan area peternakan sektor 1, 2, dan 3.

Gambar 3 Hasil pengujian serologis ayam kampung Kecamatan Cipunegara.

Angka prevalensi Mycoplasma gallisepticum di kelima desa Kecamatan Cipunegara ini relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sato (1996), yang menyebutkan bahwa angka prevalensi mycoplasmosis di Indonesia dengan menggunakan sampel dari 7 breeding farm, rata-rata menunjukkan hasil pada rentang 0% sampai 74% positif mycoplasmosis. Selain itu, survei serologis terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum juga telah dilakukan pada bebek di daerah Indramayu, Sumedang, dan Cirebon. Hasil tersebut menunjukkan angka prevalensi sebesar 17.4% di Indramayu, 7.7% di Sumedang, dan 4.1% di Cirebon (Soeripto 1988).

Infeksi Mycoplasma gallisepticum telah dilaporkan sebagai masalah yang signifikan pada flok-flok ayam di negara-negara lainnya di Asia, diantaranya yaitu Jepang, Banglades, India, China, Korea, Malaysia, Philipina, Vietnam, Thailand,

Positif Negatif


(27)

dan Israel (Levisohn et al. 2000; Sato 1996). Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum juga dilakukan di beberapa negara di Asia. Salah satu diantaranya adalah Korea. Penelitian ini telah dilakukan semenjak tahun 1967 pada flok-flok ayam dengan pengujian secara serologis dan isolasi Mycoplasma gallisepticum

dari ayam-ayam yang terinfeksi secara alami. Pada tahun 1977, tingkat insidensi mycoplasmosis pada 20 flok breeder dari 6 wilayah di Korea menunjukkan hasil yang berada pada rentang 20% sampai 67% positif mycoplasmosis, dengan rata-rata 47,4%. Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum di Malaysia dilakukan pada tahun 1976 dengan hasil lebih kurang 50% dari 224 peternakan ayam terinfeksi avian mycoplasmosis. Kemudian dilakukan survei serologis terhadap prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada tahun 1987 sampai 1989 di 79 peternakan unggas dari 6 wilayah terpilih di Malaysia. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil sebesar 17,2% sampel positif Mycoplasma gallisepticum (Sato 1996).

Tingkat infeksi Mycoplasma gallisepticum di Philipina tidak jauh berbeda dengan negara asia lainnya. Sekitar 75 000 kasus CRD dilaporkan terjadi di industri ternak di Bureau. Infeksi ini juga dilaporkan terjadi di pulau Ruson pada tahun 1958 dan 1971. Pada tahun 1977 dilakukan pengujian serologis pada 156 sampel ayam dari 9 flok yang terdapat di pulau Palawan. Hasil uji menunjukkan persentase ayam yang positif Mycoplasma gallisepticum adalah sebesar 35.9%. Tetapi hasil ini relatif lebih rendah dibandingkan hasil pengujian yang dilakukan di China Taipei. Kemudian dilakukan pengujian serologis selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 1990 sampai tahun 1992 pada flok unggas di China Taipei. Pengujian tersebut menunjukkan hasil positif sebesar 52.7% pada tahun 1990, 81.65% pada tahun 1991, dan 79% pada tahun 1992. Diantara 18 flok yang diuji, 16 flok menunjukkan hasil yang positif mengandung antibodi Mycoplasma gallisepticum pada tahun 1990. Dan 11 dari 12 flok breeder yang diuji pada tahun 1991 menunjukkan hasil yang positif (Sato 1996).

Penelitian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum juga telah dilakukan di Banglades. Pada 2005 penelitian dilakukan pada peternakan breeder di wilayah Banglades. Hasil pengujian menunjukkan hasil angka prevalensi serologis sebesar 58.90% positif infeksi Mycoplasma gallisepticum dari 382


(28)

sampel serum yang diuji (Sarkar et al. 2005). Pada tahun 2006, dilakukan penelitian yang sama untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum dengan menggunakan 400 sampel serum yang terdiri atas 200 sampel serum ayam petelur dan 200 sampel serum ayam pedaging. Hasil pengujian menunjukkan angka prevalensi serologis total sebesar 58% (Barua et al.

2006). ). Hasil ini relatif hampir sama dengan hasil pengujian pada tahun 2007 di wilayah Rajashi, Banglades yang menunjukkan hasil sebesar 55.13% (Hossain et al. 2007). Jika dibandingkan ketiga hasil tersebut, maka dapat dilihat bahwa ketiganya memiliki nilai yang hampir sama, yaitu 50%. Angka ini cukup tinggi untuk tingkat prevalensi suatu penyakit. Hal inilah yang mendorong negara Banglades untuk lebih memperhatikan pergerakan kejadian penyakit ini. Karena penyakit ini dianggap salah satu masalah penting di peternakan unggas di Banglades (Hossain et al. 2007).

Masyarakat Indonesia selalu berpendapat bahwa ayam kampung relatif lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan ayam ras. Namun demikian, bukan berarti bahwa masalah pengendalian penyakit dapat diabaikan begitu saja. Hal ini dapat mempengaruhi laju populasi dan produktivitas ayam kampung, disamping akan menurunkan berat badan ayam kampung pedaging (Suryana 2008). Beberapa faktor yang dapat memicu berkembangnya penyakit pada ayam antara lain lingkungan kandang yang kotor, kekurangan vitamin, keracunan pakan dan minuman yang kotor, cacat, dan sifat kanibal. Sanitasi kandang merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan, terutama pada musim hujan.

Angka prevalensi serologis infeksi Mycopasma gallisepticum pada ayam kampung tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Menurut Soeripto (2009) estimasi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh Chronic Respiratory Disease mencapai milyaran rupiah pertahun di Indonesia sedangkan di Amerika kerugiannya mencapai ratusan juta dollar pertahun. Di samping itu, jika penyakit benar-benar telah berada di lingkungan peternakan sektor 4 (peternakan tradisional), ayam yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi ayam-ayam lain di peternakan sektor 4 maupun ayam-ayam di peternakan sektor lainnya. Lokasi peternakan sektor 4 terletak berdekatan dengan peternakan sektor lainnya dan sistem


(29)

pemeliharaannya sebagian besar masih bersifat tradisional-ekstensif. Ayam-ayam tersebut dilepas secara bebas di lingkungan. Sehingga perlu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan. Menurut Suryana 2008, ada dua cara untuk mengatasi penyakit pada ayam buras, yaitu dengan program pengendalian dan pembasmian. Program pengendalian meliputi: 1) menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya, 2) meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan vaksinasi, pengelolaan dan pengawasan yang baik, dan 3) melakukan diagnosis dini secara cepat dan tepat. Program pembasmian penyakit dapat dilakukan melalui: 1) test and slaughter, yaitu apabila ternak dicurigai positif menderita penyakit pulorum, CRD atau lainnya harus dimusnahkan, 2) test and treatment, bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan, dan 3) stamping out, yaitu bila terjadi kasus penyakit menular dan menyerang seluruh ayam di peternakan, maka ayam, kandang, dan peralatan harus dimusnahkan.

Menurut Hadi (2001) salah satu usaha untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada ayam adalah melalui program biosecurity. Program ini dipandang sebagai cara termurah dan efektif. Bahkan tidak satupun program pengendalian penyakit dapat berjalan baik tanpa disertai program biosecutity. Asal kata biosecurity yaitu bio artinya hidup dan security artinya perlindungan atau pengamanan. Jadi biosecurity adalah sejenis program yang dirancang untuk melindungi kehidupan. Dalam arti yang sederhana kalau untuk peternakan ayam adalah membuat kuman atau agen penyakit jauh dari tubuh ayam dan menjaga ayam jauh dari kuman. Pelaksanaan program biosecurity meliputi kontrol lalu lintas hewan, vaksinasi, pencucian kandang ayam, kontrol terhadap pakan, kontrol air, kontrol limbah (sisa-sisa produksi) dan ayam mati.

Salah satu cara pengendalian yang dianggap mampu menekan kejadian mycoplasmosis pada ayam adalah dengan cara vaksinasi. Salah satu vaksin yang pernah diuji lapang dapat mencegah infeksi Mycoplasma gallisepticum pada ayam, adalah vaksin inaktif Mycoli. Vaksin ini memilki efektifitas yang baik untuk perlindungan terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum dari luar, meningkatkan berat badan, dan meningkatkan efisiensi pakan (Soeripto 2006). Menurut Soeripto (2009) salah satu vaksin yang baru ditemukan adalah vaksin Mutan MGTS 11, yang merupakan isolat Mycoplasma gallisepticum yang telah


(30)

diproses dengan kondisi tertentu. Menurut Withear (1996) baik vaksin aktif maupun inaktif Mycoplasma gallisepticum dapat digunakan untuk menekan kejadian mycoplasmosis. Pada umumnya hampir semua vaksin bertujuan untuk mencegah penurunan produksi telur, menghindari kerugian akibat tindakan eradikasi, dan mencegah transmisi penyakit ke ayam sehat lainnya (CFSPH 2007). Tetapi vaksin aktif MGTS-11 dinilai lebih efektif dibandingkan dengan vaksin inaktif karena vaksin ini memiliki daya proteksi yang lebih baik, bersifat avirulen, dan daya sebar ke unggas lainnya yang rendah (Kleven 2005).

Salah satu program pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik. Beberapa antibiotik yang sering digunakan antara lain, yaitu makrolida, tetrasiklin, dan fluoroquinolon. Tetapi bakteri ini resisten terhadap antibiotik yang memiliki target pada dinding sel (Songer 2005).


(31)

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang menggunakan metode ELISA adalah sebesar 28.52 %.

2. Tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu melaksanakan biosecurity, melakukan program vaksinasi, dan pengobatan unggas yang terinfeksi.

5.2 Saran

1. Diharapkan penelitian berikutnya dapat dilakukan dengan menggunakan sampel serum ayam dari peternakan sektor lainnya untuk melihat tingkat prevalensi serologis Mycoplasmagallisepticum di Kecamatan Cipunegara.

2. Sebaiknya dilakukan penyuluhan mengenai tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi Mycoplasmagallisepticum.

3. Dibutuhkan penelitian lapang lanjutan untuk mengetahui sumber infeksi mycoplasmosis.


(32)

BAB VI. DAFTAR PUSTAKA

Adlan. 2011. Ekspor daging unggas terganjal wabah flu burung. http://belajarsubang.blogspot.com/2011/03/ekspor-daging-unggas-terganjal-wabah.html [16 Juni 2011].

Adler HE, Massa AJD. 1966. Use of formalinized Mycoplasma gallisepticum

antigens and chicken erytrocytes in hemagglutination and hemagglutination-inhibition studies. Appl Microbiol 2(15):245-248.

Anonim. 2011. Taati aturan pakai untuk kerja obat optimal. http://www.ipascal.net/home/index.php?option=com_content&view=articl e&id=493:taati-aturan-pakai-untuk-kerja-obat-optimal&catid=3:ayam-broiler&Itemid=7 [11 Juli 2011].

Afiff U. 2010. A comparison of serological and bacteriological methods for detection of Mycoplasma gallisepticum in experimentally-infected chickens. JMicrobiolIndones 3(4):119-126.

Angkap J. 2010. Mycoplasma mastitis pada sapi perah [Terhubung berkala]. http://duniaveteriner.com/2010/03/mycoplasma-mastitis-pada-sapi-perah/ print [25 Mei 2011].

Avakian et al, penemu; The University of Georgia Research Foundation. 23 Maret 1993. Method of detecting Mycoplasma infection in poultry and compositions therefor. United States Patent 5 196 514.

Barua SR, Prodhan AM, Islam S, Choudhury S. 2006. Study on Mycoplasma gallisepticum in chicken in selected area in Bangladesh. Bangl J Vet Med

4(2):141-142.

Bradbury JM. 2006. Avian mycoplasma. Di dalam: Jordan F, Pattison M, Alexander D, Faragher T, editor. Poultry Desease. Edisi ke-5. China: Saunders Elsevier. hlmn 178-186.

[CFSPH] the Center of Food Security & Public Health, committee of OIE. 2007. Avian mycoplasmosis. www.cfsph.iastate.edu [14 Maret 2011].

[Disnak Jabar]. Dinas Peternakan Jawa Barat. 2009. Populasi ternak (ekor) di Jawa Barat. http://www.disnak.jabarprov.go.id/index.php?mod=manage MenuAuto&idMenuKiri=709&idMenu=796 [30 Mei 2011].

Eko. 2010. Tetelo terjang Subang ratusan unggas mati. Subang: Radar Karawang http://radarkarawangnews.blogspot.com/2010/02/tetelo-terjang-subang-ratusan-unggas.html [31 Desember 2010].


(33)

Hadi UK. 2004. Pelaksanaan biosekuritas pada peternakan ayam [makalah]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Hirano H et al. 1978. Pathogenicity of Mycoplasma synoviae in chicken tracheal organ culture. Jap J Vet Sci 40:147-156.

Hossain KMM, Ali MY, Haque MI. 2007. Seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum infection in chicken in the greater Rajshahi District of Bangladesh. Bangl J Vet Med 5(1):09-14.

Kleven SH. 2005. Prevention and control of Avian Mycoplasmas [artikel]. Georgia: AvianInsight.

Levisohn S, Kleven SH. 2000. Avian mycoplasmosis (Mycoplasma gallisepticum). Rev Sci Tech Off Int Epiz 19(2):425-442.

Naipospos TSP. 2010. Restrukturisasi sektor perunggasan dalam rangka pengendalian avian influenza : ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan. http://www.scribd.com/doc/38237967/Restrukturisasi-Sektor-perunggasan -dalam-Rangka-ian-Avian-Influenza [22 Februari 2011].

Nurcahyo EM. 2002. Ayam Kampung Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya. [OIE] World Organization for Animalth Health. 2008. Avian mycoplasmosis

(Mycoplasma gallisepticum, M. synoviae). OIE Terestrial Manual 1:482-496.

Poultry Disease Network. 2010. Mycoplasmosis. http://poultrydiseases .net/online. [27 Februari 2010].

[Pemkab Subang] Pemerintah Kabupaten Subang. 2010a. Potensi peternakan di Subang. http://www.subang.go.id/potensi_ peternakan.php [24 Agustus 2010].

[Pemkab Subang] Pemerintah Kabupaten Subang. 2010b. Profil Kecamatan Cipunegara. http://www.subang.go. id/kecamatan.php [15Januari 2011]. Quinn PJ, Markey BK. 2005. Concise Review of Veterinary Microbiology.

Inggris: Blackwell Publishing.

Sarkar SK et al. 2005. Sero-Prevalence of Mycoplasma gallisepticum infection of chickens in model breeder poultry farms of Bangladesh. Int J Poul Sci

4(1):32-35.

Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sato S. 1996. Avian mycoplasmosis in Asia. Rev Sci Tech Off Int Epiz


(34)

Soeripto. 1988. Natural Mycoplasma gallisepticum infection in Tegal duck.

Penyakithewan 36(19):51-53.

Soeripto, Andriyani. 2006. Uji lapang vaksin Mycoli untuk pencegahan CRD pada ayam potong. J Sain Vet 1(24):84-92.

Soeripto. 2009. Chronic respiratory disease (CRD) pada ayam. Wartazoa

19(3):134-142.

Songer JG, Post KW. 2005. The genera Mycoplasma and Ureaplasma . Di dalam: Songer JG, Post KW, editor. Veterinary Microbiology “Bacterial and Fungal Agents of Animal Diseas”. China: Saunders Elsevier.

Suryana AH. 2008. Usaha tani ayam buras di Indonesia: permasalahan dan tantangan. Jurnal Litbang Pertanian 27(3):75-83.

Walker RL. 2004. Mollicutes. Di dalam: Hirst DC, Maclachlan NJ, Walker RL, editor. Veterinary Microbiology. Edisi ke-2. USA: Blackwell Publishing. Wihandoyo. 2009. Potensi Budaya dan Peluang Usaha Ayam Kampung.

Yogyakarta: Laboratorium Ternak Unggas UGM.

Whithear KG. 1996. Control of avian mycoplasmoses by vaccination. Rev Sci Tech Off Int Epiz 15(4):1527-1553.


(35)

in Domestic Chicken in Cipunegara Sub-district Subang District. Under direction of RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO and USAMAH AFIFF.

This study was aimed to give information of seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in domestic chicken in Cipunegara sub-district, Subang district and recommended preventive and controlling action. The study used the serum sample that taken from 291 domestic chickens in traditional farm (sector 4) where located arround the commercial livestock (sector 1, 2, and 3). Mycoplasma gallisepticum

was determined with Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methods. The result showed that the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in domestic chicken in Cipunegara sub-district, Subang district were 28.52%. It was equal with 83 chickens that were positive Mycoplasma gallisepticum.


(36)

Ayam Kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Dibimbing oleh

RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO dan USAMAH AFIFF.

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran prevalensi serologis

Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang dan merekomendasikan tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan. Penelitian ini menggunakan sampel serum yang didapatkan dari 291 ayam kampung yang dipelihara secara tradisional (sektor 4) yang terletak berdekatan dengan peternakan komersil (sektor 1, 2, dan 3). Mycoplasma gallisepticum diuji dengan menggunakan metode ELISA. Hasil yang didapat menunjukkan prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan cipunegara Kabupaten Subang sebesar 28.52%. Hasil tersebut setara dengan jumlah 83 ayam yang positif terhadap Mycoplasma gallisepticum.


(37)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Subang merupakan salah satu daerah sentra peternakan unggas di Indonesia. Selama ini produksi ternak unggas Subang menyuplai 10% kebutuhan nasional dan 50% kebutuhan daerah Jawa Barat. Ternak unggas tersebut juga diekspor ke beberapa negara di Asia (Adlan 2011). Jenis ternak unggas yang terdapat di daerah ini antara lain adalah ayam buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur, dan itik. Semua jenis ternak ini memiliki populasi yang cukup besar (Pemkab Subang 2010a).

Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2008 populasi ternak ayam buras di Kabupaten Subang sebesar 958 889 ekor. Jumlah ini hampir sama besar dengan populasi pada tahun 2007, yaitu sebesar 951 250 ekor. Tetapi jumlah ini menurun dibandingkan populasi pada tahun 2006, yaitu sebesar 1 139 431 ekor (Disnak Jabar 2009; Pemkab Subang 2010a).

Tabel 1 Populasi ternak unggas di Kabupaten Subang.

Jenis Ternak Populasi (2006) (ekor) Populasi (2007) (ekor) Populasi (2008) (ekor)

Ayam Buras 1 139 431 951 250 958 889

Ayam Ras

Pedaging 3 487 600 3 612 800 -

Ayam Ras Petelur - 4 000 -

Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Subang (2010)

Secara umum sektor peternakan unggas dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu peternakan sektor 1, 2, 3, dan 4. Sektor 1 merupakan peternakan yang memiliki sistem industri yang terintegrasi, biosecurity yang tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 2 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity sedang sampai tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 3 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity yang rendah, dan pemasaran produk berupa ayam hidup


(38)

yang dijual ke pasar ayam. Sektor 4 merupakan peternakan yang memiliki sistem pemeliharaan tradisional, biosecurity sangat rendah, dan biasanya hanya untuk konsumsi lokal (Naipospos 2010).

Menurut Eko (2010) beberapa jenis penyakit yang sering menyerang ternak unggas di Subang, antara lain yaitu tetelo (ND), flu burung (AI), dan chronic respiratory disease (CRD). Ketiga jenis penyakit ini sama-sama menyerang saluran pernafasan dan berpengaruh terhadap penurunan produksi unggas. Sehingga dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi para peternak.

Chronic Respiratory Disease merupakan manifestasi keberadaan bakteri

Mycoplasma. Mycoplasma pada unggas terdiri atas empat spesies, yaitu M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis dan M. iowae. Spesies yang paling patogen terhadap unggas adalah Mycoplasma gallisepticum dan Mycoplasma synoviae. Tingkat keparahan penyakit dipengaruhi oleh infeksi sekunder dari patogen lainnya seperti Haemophilus paragallinarum dan Pasteurella multocida

(Barua 2006; OIE 2008).

Chronic respiratory disease merupakan penyakit yang sangat merugikan usaha peternakan ayam di seluruh dunia. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tersebut sangat besar. Mycoplasma gallisepticum tidak bersifat membunuh, bahkan pada kenyataannya angka morbiditasnya tidak terlalu baik, tetapi jika berlebihan dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder secara cepat dan menimbulkan kerugian. Penurunan konsumsi pakan menyebabkan kehilangan atau penurunan berat badan pada ayam. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan angka pertumbuhan.

Penyakit tersebut juga dapat menyebabkan imunosupresi pada ayam yang terinfeksi. Proses peradangan yang terjadi dapat menghambat perkembangan sel T

helper dan sel T cytotoxic. Hal ini menyebabkan infeksi patogen menjadi persisten dan mengakibatkan respon netralisasi antibodi terhadap infeksi menurun drastis.

Daerah Subang merupakan sentra peternakan sektor 1, 2, dan 3 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara ayam kampung (sektor 4). Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi penyakit antara ayam kampung dengan ayam peternakan komersial. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk


(39)

mengetahui prevalensi penyakit akibat infeksi Mycoplasma pada ayam kampung. Penelitian tentang mycoplasmosis masih sangat jarang dan terbatas dilakukan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun telah disadari bahwa pengetahuan tentang prevalensi Mycoplasma dapat dijadikan salah satu dasar pertimbangan untuk melakukan kontrol yang efektif dalam usaha pencegahan infeksi selanjutnya (Hossain 2007).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang dan merekomendasikan langkah pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prevalensi serologis

Mycoplasma pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan kontrol yang efektif.


(40)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Chronic Respiratory Disease (CRD)

Chronic respiratory disease (CRD) merupakan salah satu penyakit yang menyerang sistem pernafasan pada unggas. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum. Penyakit ini dapat menyerang semua umur ayam, tetapi lebih banyak menyerang ayam muda (OIE 2008).

2.2Mycoplasma 2.2.1 Karakteristik

Kingdom : Bacteria

Phylum : Tenericutes atau Firmicutes

Class : Mollicutes

Order : Mycoplasmatales

Family : Mycoplasmataceae

Genus : Mycoplasma

Gambar 1 Gambaran Mycoplasma secara mikroskopis. (Anonim 2011)

Genus Mycoplasma terdiri atas lebih dari 100 spesies. Sebagian besar

Mycoplasma merupakan spesies-spesific-host-organism associations, artinya tiap spesies Mycoplasma memilki inang yang spesifik. Menurut Angkap (2010) dan Songer (2005) bakteri ini dapat ditemukan pada beberapa jenis hewan, diantaranya pada babi (Mycoplasma hyopneumoniae), pada sapi (Mycoplasma bovis), pada domba (Mycoplasma ovis), pada anjing (Mycoplasma haemocanis),


(41)

dan pada kucing (Mycoplasma haemofelis). Beberapa spesies diantaranya dapat menyerang unggas, yaitu M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis dan M. Iowae. Spesies yang paling patogen terhadap unggas adalah Mycoplasma gallisepticum (Afiff 2010).

Mycoplasma merupakan organisme pleomorfik yang tergolong prokaryotik terkecil yang dapat bereplikasi sendiri (Quinn 2005). Bakteri ini memiliki diameter antara 0.2-0.3 µm. Mycoplasma memiliki struktur yang sederhana, terdiri dari ribosom dan DNA yang dikelilingi oleh tiga lapis membran sitoplasma yang elastis, yaitu sterol, phospolipid, dan protein, serta memiliki dinding sel yang lunak (Songer 2005; Soeripto 2009). Karakteristik ini menyebabkan Mycoplasma

sangat resisten terhadap penisilin dan derivatnya yang memiliki target pada dinding sel (Soeripto 2009).

Sebagian besar Mycoplasma bersifat fakultatif anaerob, kecuali yang patogen terhadap manusia, yaitu Mycoplasma pneumonia yang bersifat aerob. Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan satu waktu generasi 1 sampai 6 jam (Songer 2005). Mycoplasma gallisepticum sensitif terhadap disinfektan, pH dan temperatur yang ekstrem, dan lisis oleh detergen. Bakteri ini juga mudah terpengaruh oleh sejumlah antimikroba termasuk makrolida, aminoglykosida, dan fluoroquinolon (Bradbury 2006).

2.2.2 Inang

Ayam, bebek, burung, dan jenis unggas lainnya dapat menjadi inang organisme ini. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai tingkatan umur. Tetapi gejala klinis lebih terlihat pada sebagian besar unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres (Bradbury 2006).

2.2.3 Penyebaran Infeksi

Penyebaran Mycoplasma terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Penyebaran secara vertikal dapat terjadi secara transovarial atau melalui oviduct

(Bradbury 2006; Walker 2004). Embryo yang terinfeksi dapat mengalami kematian, khususnya jika terinfeksi oleh strain Mycoplasma gallisepticum yang virulen, tetapi sebagian menetas dan menyebarkan infeksi pada keturunan


(42)

berikutnya. Mycoplasma gallisepticum mampu bertahan dengan baik pada kandungan telur (cairan allantois dan kuning telur). Hal ini menjadi perhatian penting bagi perusahaan vaksin yang menggunakan telur atupun kultur sel yang berasal dari telur. Karena telur yang terinfeksi dapat mengontaminasi vaksin (Bradbury 2006).

Penyebaran secara horizontal dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, yaitu hasil dari ekshalasi, batuk, atau bersin. Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit. Burung dengan epitel saluran pernafasan yang rusak dapat menjadi target yang baik untuk kolonisasi (Adler 1966). Tingkat penyebaran juga tergantung dari beberapa faktor seperti kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain

Mycoplasma tersebut. Bakteri ini tidak selalu menyerang unggas yang berdekatan kandang, bahkan dinding kandang kemungkinan dapat bertindak sebagai barier pertahanan terhadap transmisi (Bradbury 2006). Penyebaran tidak langsung dapat terjadi melalui pekerja dan peralatan kandang yang terkontaminasi dan memungkinkan terjadinya penyebaran dari satu kelompok ayam ke kelompok ayam lainnya (CFSPH 2007).

Periode inkubasi penyakit ini adalah 6-21 hari (Poultry Disease Network 2006). Tetapi pada kondisi alam periode inkubasi tersebut sulit diprediksi secara pasti karena faktor lingkungan dapat mempengaruhi derajat infeksi. Semakin buruk kondisi lingkungan dan manajemen kesehatan, kandang, dan sebagainya maka periode inkubasinya dapat berlangsung lebih cepat (Poultry Disease Network 2006; Soeripto 2009). Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut manusia, dan pakaian berbahan katun (Bradbury 2006).

2.2.4 Pathogenesis

Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi. Bakteri tersebut menempel pada reseptor epitel yang disebut


(43)

memperbanyak diri. Mycoplasma memiliki ciliostatic yang merupakan faktor yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Di samping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroksida, yang dapat menyebabkan stres oksidatif pada membran sel inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum memilki kemampuan untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme transpor sel. Hal ini menyebabkan mereka mampu mengelabui antibodi dan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen (Bradbury 2006).

2.2.5 Gejala dan Lesio

Perkembangan klinis penyakit tergantung pada keberadaan patogen lain ataupun faktor cekaman atau stres, kecuali untuk unggas muda. Gejala klinis bervariasi bergantung pada derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung, bersin, batuk, ngorok, kebengkakan pada kelopak mata, dan radang konjunctiva (conjunctivitis). Jika infeksi berlanjut dan disertai dengan infeksi sekunder maka eksudat hidung dapat menjadi kental. Gejala pernafasan kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan, dan produksi telur. Lesio yang sering ditemukan berupa

sinusitis, tracheitis, air sacculitis, dan mucus pada trakhea (Avakian 1993; Soeripto 2009; Songer 2005).

2.2.6 Diagnosis

Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa disamping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion patologis yang ditemukan (OIE 2008). Tiga macam pendekatan yang biasanya digunakan antara lain adalah uji serologis, isolasi dan identifikasi organisme, dan deteksi DNA. Uji-uji serologis ini paling sering digunakan untuk mendeteksi


(44)

keberadaan Mycoplasma pada suatu kelompok. Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA. Beberapa kit ELISA komersial dipasarkan dan beberapa telah mendapat persetujuan dari United State Departement of Agriculture (USDA) untuk digunakan pada National Poultry Improvement Plan

(NPIP). Kit dibuat untuk mendeteksi antibodi ayam secara valid. Satu kit menggunakan monokonal antibodi, dan dapat digunakan untuk serum dari berbagai inang unggas (Bradbury 2006).

2.3Ayam Kampung

Ayam buras merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. Populasi ayam buras di Indonesia tersebar di seluruh pelosok pedesaan dengan pola pemeliharaan umumnya bersifat ekstensif-tradisional. Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena sistem pemeliharaan secara ekstensif, pemberian pakan yang belum memperhatikan kualitas dan kuantitas nutriennya, tingkat mortalitas tinggi terutama pada Day Old Chicken (DOC), serta keragaman individu yang cukup besar. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan dengan introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semi intensif hingga intensif yang didukung dengan perbaikan teknologi perbibitan, pakan, produksi, dan pengendalian penyakit. Tersedianya teknologi usaha tani ayam buras spesifik lokasi diharapkan akan mendukung pengembangan ayam buras yang lebih menguntungkan (Suryana 2008).

Ayam buras pengertiannya meliputi seluruh ayam bukan ras (selain ayam negeri pedaging dan petelur). Sehingga banyak masyarakat yang menggolongkan ayam kampung ke dalam golongan ayam buras. Ada yang menyamakan pengertian ayam kampung dengan ayam bukan ras (ayam buras). Sementara itu, ada yang mengatakan antara keduanya berbeda. (Nurcahyo 2002).

Sampai saat ini belum ada batasan yang pasti tentang pengertian ayam kampung. Penyebutan ayam kampung hanya sekedar untuk menunjukkan jenis ayam lokal dengan ketidakanekaragaman genetis yang tinggi yang sudah dikenal luas dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Jenis ayam lokal ini diperkirakan menjadi bervariasi karena pengaruh isolasi tempat. Variasi individu


(45)

dalam satu jenis ini tidak hanya terbatas pada bulu, tetapi juga pada ukuran tubuh, produktivitas telur, dan suara. Semua variasi ayam lokal ini ada yang menyebutnya sebagai ayam bukan ras (Nurcahyo 2002).

Potensi individu berupa potensi genetik yang dimiliki ayam kampung yang dapat dilihat dari produktivitasnya meliputi pertumbuhan dan kemampuan bereproduksi (Wihandoyo 2009). Ayam kampung memilki tubuh yang kecil, produktivitas telurnya rendah, pertumbuhan tubuhnya lambat, dan tidak pantas dijadikan ayam hias, baik dari segi suara maupun penampilan. Meskipun ayam ini banyak dibudidayakan, tetapi pemeliharaannya lebih banyak diserahkan pada alam. Akibatnya, seleksi alam berperan sangat besar terhadap kelangsungan hidup keturunananya. Sekalipun banyak mendapatkan tantangan yang berat, ayam ini mampu membuktikan bahwa dirinya dapat lolos dan bertahan di tengah maraknya peternakan ayam ras (Sarwono 2003). Sampai saat ini, ayam kampung masih banyak dijumpai di setiap desa di Indonesia. Pada umur yang sama, ayam kampung memilki bobot badan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ayam ras. Dengan pemeliharaan yang intensif, pada umur satu bulan ayam ras telah mencapai bobot badan 250 gr, sedangkan ayam kampung baru mencapai 150 gr. Namun pada umur 4 bulan, perbedaannya tidak terlalu jauh, ayam ras mencapai bobot sekitar 1 570 gr, sedangkan ayam kampung sekitar 1 400 gr (Nurcahyo 2002).

Di Jawa Barat dan Jawa Timur, pemeliharaan ayam buras berkembang dengan pesat karena berbagai faktor, antara lain: 1) kesesuaian lokasi geografis, 2) petani-peternak menyenangi memelihara ayam buras, 3) cara pemeliharaan yang mudah dan tidak membutuhkan modal besar, dan 4) pemeliharaan merupakan usaha sampingan atau tabungan. Petani dan peternak banyak yang memelihara ayam buras karena mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menopang perekonomian keluarga. Telur dan daging ayam buras mampu bersaing dengan ayam ras dan harganya relatif stabil serta konsumennya luas. Ayam buras tersebar luas dan sebagian besar masyarakat di pedesaan memiliki dan memeliharanya, sehingga sangat mendukung untuk dikembangkan dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga petani-peternak di pedesaan serta cocok untuk usaha sampingan selain bercocok tanam (Suryana 2008).


(46)

BAB III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan di daerah Subang pada bulan Desember 2009 dan pengujian laboratorium di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada bulan Februari 2010.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah ayam kampung sebanyak 291 sampel dari ayam yang berbeda dan diambil dengan metode purposive, buffer substrat, kit ELISA BioCheck yang terdiri dari reagent konjugat, substrat, stop solution, washing solution, larutan kontrol positif, dan larutan kontrol negatif. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

micropipet, diluted chamber, microtipe, microplate, ELISA reader, freezer, dan kontainer.

3.3 Metode ELISA (ELISA indirect)

Microplate dikeluarkan dari kertas pembungkus. Kemudian dilakukan pendataan dan pengisian 100 µ l sampel darah ayam ke dalam tiap sumur. Empat sumur pada kolom pertama microplate dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif dan negatif. Kemudian sebanyak 100 µl kontrol negatif ditambahkan ke dalam sumur A1 dan B1. Selanjutnya sebanyak 100 µ l kontrol positif ditambahkan ke dalam sumur C1 dan D1.

Microplate dicuci dengan menggunakan larutan pencuci washing solution

sebanyak 350 µ l dan dilakukan aspirasi minimal 4 kali sampai menyentuh dinding sumur. Kemudian cairan pencuci tersebut dibuang dan microplate di telungkupkan pada kain yang berdaya serap tinggi sampai sumur benar-benar kosong. Pencucian dilakukan sampai 4 kali dengan prosedur dan ketentuan yang sama. Setelah itu, sebanyak 100 µ l reagent konjugat ditambahkan ke dalam tiap


(47)

sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 22 sampai 27 °C. Kemudian dilakukan kembali langkah dan prosedur pencucian.

Sebanyak 100 µ l substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur. Kemudian

microplate ditutup dengan alumunium foil. Setelah itu, microplate diinkubasi pada suhu ruangan 22 sampai 27 °C selama 15 menit. Saat penambahan substrat

sebaiknya dilakukan dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah atau matikan lampu ruangan. Hal ini dikarenakan substrat sangat reaktif terhadap cahaya. Setelah 15 menit berlalu, dilakukan penambahan 100 µ l stop solution untuk menghentikan reaksi. Kemudian dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.

3.4 Pembacaan Hasil

Hasil yang valid ditunjukkan dengan nilai absorban kontrol negatif harus terbaca di bawah 0.30 dan perbedaan nilai rata-rata negatif kontrol dengan positif kontrol lebih besar dari pada 0.15.

3.5 Interpretasi Hasil

Sampel dengan nilai S/P sebesar 0.5 atau lebih artinya mengandung anti antibodi terhadap Mycoplasmagallisepticumdan hasil uji berarti “positif”.

Perhitungan rasio S/P:

Nilai sampel yang diuji - nilai rataan kontrol negatif = S/P Nilai rataan kontrol positif - nilai rataan kontrol negatif

Nilai S/P Status antibodi

0.499 atau kurang Negatif


(48)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara menggunakan 291 sampel darah ayam kampung. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive. Sampel tersebut diambil dari 5 desa yang merupakan wilayah yang paling dekat dengan sentra peternakan ayam komersil. Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda. Desa Tanjung didapatkan sebanyak 146 sampel, Desa Jati sebanyak 43 sampel, Desa Pada Mulya sebanyak 12 sampel, Desa Parigi Mulya sebanyak 56 sampel, dan Desa Wanasari sebanyak 34 sampel. Sehingga didapatkan total sampel sebanyak 291 (Tabel 1). Jumlah sampel yang diambil merupakan jumlah proporsional yang didapatkan dari perhitungan berdasarkan populasi ayam kampung yang dipelihara secara tradisional (sektor 4) di masing-masing desa.

Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum

Nama Desa Jumlah Positif Negatif Persentase Persentase

Sampel Positif (%) Negatif (%)

Tanjung 146 42 104 28,77 71,23

Jati 43 15 28 34,88 65,12

Pada

Mulya 12 3 9 25,00 75,00

Parigi

Mulya 56 15 41 26,78 73,21

Wanasari 34 8 26 23,53 76,47

Total

Sampel 291 83 208 28,52 71,48

Pengujian serologis menunjukkan hasil bahwa dari 291 sampel, 83 sampel (28.52%) menunjukkan hasil positif terhadap Mycoplasma gallisepticum. Sedangkan 208 sampel (71.48%) menunjukkan hasil negatif (Tabel 1). Jika dilakukan perbandingan terhadap prevalensi serologis mycoplasmosis antar desa, maka didapatkan bahwa Desa Jati memilki persentase yang lebih besar


(49)

dibandingkan dengan desa lainnya, yaitu sebesar 34.88%. Sedangkan desa yang lainnya relatif hampir sama besar. Tanjung sebesar 28.77% , Pada Mulya sebesar 25%, Parigi Mulya sebesar 26.78%, dan Wanasari sebesar 23.53% (Tabel 1).

Gambar 2 Serum yang diuji ELISA di dalam microplate.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi. Pengujian ini dilakukan pada sampel darah ayam kampung dari peternakan sektor 4 yang merupakan peternakan skala rumah tangga. Ayam-ayam pada sektor ini umumnya hanya mendapatkan vaksinasi terhadap NewcastleDisease (ND) dan jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan vaksin terhadap penyakit lain termasuk CRD. Apabila hasil uji menunjukkan positif terhadap Mycoplasma gallisepticum, artinya kemungkinan besar ayam-ayam tersebut telah terpapar Mycoplasma gallisepticum. Menurut Bradbury (2006) gejala klinis penyakit ini lebih sering terlihat pada ayam muda umur 4 sampai 9 minggu. Apabila penyakit menyerang ayam usia relatif tua, maka gejala klinis jarang terlihat. Sehingga keberadaan penyakitpun sulit untuk diketahui.

Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa di samping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion

Warna biru= positif Tidak

berwarna= negatif


(50)

patologis yang ditemukan (OIE 2008). Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA.

Sampel darah ayam kampung yang digunakan diambil dari peternakan sektor 4, yaitu peternakan tradisional yang dipelihara oleh masyarakat setempat. Sampel darah ayam diambil di 5 desa dari 10 desa di kecamatan Cipunagara. Berdasarkan data Pemkab Subang (2010b) desa-desa di kecamatan ini yaitu Simper, Kosambi, Jati, Tanjung, Parigi Mulya, Pada Mulya, Wanasari, Manyingsal, Sidamulya, dan Sidajaya. Sampel yang diambil berasal dari wilayah desa yang berdekatan langsung dengan area peternakan sektor 1, 2, dan 3.

Gambar 3 Hasil pengujian serologis ayam kampung Kecamatan Cipunegara.

Angka prevalensi Mycoplasma gallisepticum di kelima desa Kecamatan Cipunegara ini relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sato (1996), yang menyebutkan bahwa angka prevalensi mycoplasmosis di Indonesia dengan menggunakan sampel dari 7 breeding farm, rata-rata menunjukkan hasil pada rentang 0% sampai 74% positif mycoplasmosis. Selain itu, survei serologis terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum juga telah dilakukan pada bebek di daerah Indramayu, Sumedang, dan Cirebon. Hasil tersebut menunjukkan angka prevalensi sebesar 17.4% di Indramayu, 7.7% di Sumedang, dan 4.1% di Cirebon (Soeripto 1988).

Infeksi Mycoplasma gallisepticum telah dilaporkan sebagai masalah yang signifikan pada flok-flok ayam di negara-negara lainnya di Asia, diantaranya yaitu Jepang, Banglades, India, China, Korea, Malaysia, Philipina, Vietnam, Thailand,

Positif Negatif


(1)

diproses dengan kondisi tertentu. Menurut Withear (1996) baik vaksin aktif maupun inaktif Mycoplasma gallisepticum dapat digunakan untuk menekan kejadian mycoplasmosis. Pada umumnya hampir semua vaksin bertujuan untuk mencegah penurunan produksi telur, menghindari kerugian akibat tindakan eradikasi, dan mencegah transmisi penyakit ke ayam sehat lainnya (CFSPH 2007). Tetapi vaksin aktif MGTS-11 dinilai lebih efektif dibandingkan dengan vaksin inaktif karena vaksin ini memiliki daya proteksi yang lebih baik, bersifat avirulen, dan daya sebar ke unggas lainnya yang rendah (Kleven 2005).

Salah satu program pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik. Beberapa antibiotik yang sering digunakan antara lain, yaitu makrolida, tetrasiklin, dan fluoroquinolon. Tetapi bakteri ini resisten terhadap antibiotik yang memiliki target pada dinding sel (Songer 2005).


(2)

19

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang menggunakan metode ELISA adalah sebesar 28.52 %.

2. Tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu melaksanakan biosecurity, melakukan program vaksinasi, dan pengobatan unggas yang terinfeksi.

5.2 Saran

1. Diharapkan penelitian berikutnya dapat dilakukan dengan menggunakan sampel serum ayam dari peternakan sektor lainnya untuk melihat tingkat prevalensi serologis Mycoplasmagallisepticum di Kecamatan Cipunegara. 2. Sebaiknya dilakukan penyuluhan mengenai tindakan pencegahan dan

pengendalian infeksi Mycoplasmagallisepticum.

3. Dibutuhkan penelitian lapang lanjutan untuk mengetahui sumber infeksi mycoplasmosis.


(3)

STUDI SEROPREVALENSI

Mycoplasma gallisepticum

PADA

AYAM KAMPUNG DI KECAMATAN CIPUNEGARA

KABUPATEN SUBANG

DENY JUNIWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

20

BAB VI. DAFTAR PUSTAKA

Adlan. 2011. Ekspor daging unggas terganjal wabah flu burung. http://belajarsubang.blogspot.com/2011/03/ekspor-daging-unggas-terganjal-wabah.html [16 Juni 2011].

Adler HE, Massa AJD. 1966. Use of formalinized Mycoplasma gallisepticum

antigens and chicken erytrocytes in hemagglutination and hemagglutination-inhibition studies. Appl Microbiol 2(15):245-248.

Anonim. 2011. Taati aturan pakai untuk kerja obat optimal. http://www.ipascal.net/home/index.php?option=com_content&view=articl e&id=493:taati-aturan-pakai-untuk-kerja-obat-optimal&catid=3:ayam-broiler&Itemid=7 [11 Juli 2011].

Afiff U. 2010. A comparison of serological and bacteriological methods for detection of Mycoplasma gallisepticum in experimentally-infected chickens. JMicrobiolIndones 3(4):119-126.

Angkap J. 2010. Mycoplasma mastitis pada sapi perah [Terhubung berkala]. http://duniaveteriner.com/2010/03/mycoplasma-mastitis-pada-sapi-perah/ print [25 Mei 2011].

Avakian et al, penemu; The University of Georgia Research Foundation. 23 Maret 1993. Method of detecting Mycoplasma infection in poultry and compositions therefor. United States Patent 5 196 514.

Barua SR, Prodhan AM, Islam S, Choudhury S. 2006. Study on Mycoplasma gallisepticum in chicken in selected area in Bangladesh. Bangl J Vet Med

4(2):141-142.

Bradbury JM. 2006. Avian mycoplasma. Di dalam: Jordan F, Pattison M, Alexander D, Faragher T, editor. Poultry Desease. Edisi ke-5. China: Saunders Elsevier. hlmn 178-186.

[CFSPH] the Center of Food Security & Public Health, committee of OIE. 2007. Avian mycoplasmosis. www.cfsph.iastate.edu [14 Maret 2011].

[Disnak Jabar]. Dinas Peternakan Jawa Barat. 2009. Populasi ternak (ekor) di Jawa Barat. http://www.disnak.jabarprov.go.id/index.php?mod=manage MenuAuto&idMenuKiri=709&idMenu=796 [30 Mei 2011].

Eko. 2010. Tetelo terjang Subang ratusan unggas mati. Subang: Radar Karawang http://radarkarawangnews.blogspot.com/2010/02/tetelo-terjang-subang-ratusan-unggas.html [31 Desember 2010].


(5)

Hadi UK. 2004. Pelaksanaan biosekuritas pada peternakan ayam [makalah]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Hirano H et al. 1978. Pathogenicity of Mycoplasma synoviae in chicken tracheal organ culture. Jap J Vet Sci 40:147-156.

Hossain KMM, Ali MY, Haque MI. 2007. Seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum infection in chicken in the greater Rajshahi District of Bangladesh. Bangl J Vet Med 5(1):09-14.

Kleven SH. 2005. Prevention and control of Avian Mycoplasmas [artikel]. Georgia: AvianInsight.

Levisohn S, Kleven SH. 2000. Avian mycoplasmosis (Mycoplasma gallisepticum). Rev Sci Tech Off Int Epiz 19(2):425-442.

Naipospos TSP. 2010. Restrukturisasi sektor perunggasan dalam rangka pengendalian avian influenza : ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan. http://www.scribd.com/doc/38237967/Restrukturisasi-Sektor-perunggasan -dalam-Rangka-ian-Avian-Influenza [22 Februari 2011].

Nurcahyo EM. 2002. Ayam Kampung Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya. [OIE] World Organization for Animalth Health. 2008. Avian mycoplasmosis

(Mycoplasma gallisepticum, M. synoviae). OIE Terestrial Manual 1:482-496.

Poultry Disease Network. 2010. Mycoplasmosis. http://poultrydiseases .net/online. [27 Februari 2010].

[Pemkab Subang] Pemerintah Kabupaten Subang. 2010a. Potensi peternakan di Subang. http://www.subang.go.id/potensi_ peternakan.php [24 Agustus 2010].

[Pemkab Subang] Pemerintah Kabupaten Subang. 2010b. Profil Kecamatan Cipunegara. http://www.subang.go. id/kecamatan.php [15Januari 2011].

Quinn PJ, Markey BK. 2005. Concise Review of Veterinary Microbiology. Inggris: Blackwell Publishing.

Sarkar SK et al. 2005. Sero-Prevalence of Mycoplasma gallisepticum infection of chickens in model breeder poultry farms of Bangladesh. Int J Poul Sci

4(1):32-35.

Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sato S. 1996. Avian mycoplasmosis in Asia. Rev Sci Tech Off Int Epiz


(6)

22

Soeripto. 1988. Natural Mycoplasma gallisepticum infection in Tegal duck.

Penyakithewan 36(19):51-53.

Soeripto, Andriyani. 2006. Uji lapang vaksin Mycoli untuk pencegahan CRD pada ayam potong. J Sain Vet 1(24):84-92.

Soeripto. 2009. Chronic respiratory disease (CRD) pada ayam. Wartazoa

19(3):134-142.

Songer JG, Post KW. 2005. The genera Mycoplasma and Ureaplasma . Di dalam: Songer JG, Post KW, editor. Veterinary Microbiology “Bacterial and Fungal Agents of Animal Diseas”. China: Saunders Elsevier.

Suryana AH. 2008. Usaha tani ayam buras di Indonesia: permasalahan dan tantangan. Jurnal Litbang Pertanian 27(3):75-83.

Walker RL. 2004. Mollicutes. Di dalam: Hirst DC, Maclachlan NJ, Walker RL, editor. Veterinary Microbiology. Edisi ke-2. USA: Blackwell Publishing. Wihandoyo. 2009. Potensi Budaya dan Peluang Usaha Ayam Kampung.

Yogyakarta: Laboratorium Ternak Unggas UGM.

Whithear KG. 1996. Control of avian mycoplasmoses by vaccination. Rev Sci Tech Off Int Epiz 15(4):1527-1553.