Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican).

i

PENGARUH TEBANG BUTUH TERHADAP KELESTARIAN
HASIL KAYU HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS
PROPINSI JAWA BARAT
(Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican)

FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Tebang Butuh

Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Propinsi
Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan
Pamarican) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Faridh Almuhayat Uhib Hamdani
NIM E151120031

iv

RINGKASAN
FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI. Pengaruh Tebang Butuh Terhadap
Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat
(Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican).
Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan TATANG TIRYANA.

Hutan rakyat telah lama diusahakan oleh petani di Jawa dan terbukti telah
berkontribusi terhadap suplai kayu nasional. Suplai tersebut ditunjukkan dengan
semakin bergeliatnya usaha hutan rakyat (HR) sehingga mampu memberikan
sumbangan pendapatan yang nyata bagi petani, serta dalam perbaikan kondisi
lingkungan. Hasil kayu HR Kabupaten Ciamis dapat menyuplai kebutuhan kayu
ke berbagai wilayah di Jawa khusunya ke wilayah Banten, Jawa Barat, dan DKI
Jakarta. Salah satu sumber produksi kayu HR yaitu dari kegiatan penebangan
berdasarkan desakan kebutuhan (tebang butuh). Kekhawatiran kelestarian HR
akan terganggu jika praktek tebang butuh (TB) terus dilakukan karena kebutuhan
yang terus meningkat. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap dan menganalisis
praktek TB di HR dengan pendekatan aspek produksi dan aspek-aspek lain yang
mendukung terciptanya kelestarian kayu di HR.
Penelitian dilakukan pada bulan Juli–Desember 2014 di Kabupaten Ciamis
Provinsi Jawa Barat dengan responden sebanyak 90 orang. Penelitian dilakukan
dengan mencermati kejadian TB selama 10 tahun (2004–2014) dan dianalisis
secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa HR merupakan pekerjaan sampingan
(subsisten), sehingga pengelolaan yang dilakukan kurang intensif. Tegakan HR
merupakan tabungan petani HR, oleh sebab itu pemanfaatan kayunya pada saat
memiliki kebutuhan yang harus segera terpenuhi. Kebutuhan tersebut yaitu

membangun/merenovasi rumah, biaya sekolah, konsumsi, modal usaha
(berdagang, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan peternakan), membeli tanah,
hajatan (tahlilan, pernikahan, khitanan), membeli kendaraan, berobat, membayar
hutang, serangan hama uter-uter (Xystrocera festiva), dan kebutuhan lain-lain
seperti adat, kegiatan desa, meubeler. Praktek TB di dua lokasi penelitian yaitu
Panumbangan dan Pamarican tidak menggangu kelestarian hasil kayu HR karena
intensitas dan jumlah penebangan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dan
intensitas penanaman. Sedangkan di wilayah Cijeungjing TB mengganggu
kelestarian karena jumlah dan intensitas penanaman lebih kecil dibandingkan
dengan jumlah dan intensitas TB, selain itu adanya faktor tekanan terhadap
kebutuhan lahan menjadi penyebab HR tidak lestari. Praktek TB yang lestari juga
didukung adanya pengetahuan lokal masyarakat tentang kelestarian HR yang
masih terjaga
Kata kunci: hutan rakyat, pengelolaan HR, tebang butuh, kelestarian hasil kayu.

v

SUMMARY
FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI. Effect of “Tebang Butuh” to
Timber Sustainability in Community Forest Ciamis District, West Java Province

(Case Study in Sub District Panumbangan, Cijeungjing, and Pamarican).
Supervised by DUDUNG DARUSMAN and TATANG TIRYANA.
Community forest (CF) had long been cultivated by farmers in Java and
had significantly contributed to the national timber supply. Supply was indicated
by the development of HR business so as to provide a real contribution income for
the farmers, as well as in the improvement environmental conditions.
Community forests in Ciamis District, West Java, had contributed to
supply timber various regions in Java (Banten, West Java, and DKI Jakarta). One
source of CFs timber was from community logging called “Tebang Butuh (TB)”,
meaning cutting for needs. Many parties had argued that TB practice would
negatively affect the sustainability of community forest. The objective of this study
was to investigate whether the commonly practiced TB could maintain the
sustainability of CFs.
The study had been conducted from July to December 2014 in three subdistricts of Ciamis, by interviewing 90 respondents concerning their activities
during the last 10 years in managing their CFs.
The results revealed that the communities perceived that CFs was a
subsistence resource, so that the management of CFs was less intensive. The
communities used CFs as a saving and investment, hence they conducted TB only
for an urgent need (e.g. house renovation, school fee of children, celebration,
medical needs, etc). This study of cutting for need at two location research

(Pamarican and Panumbangan) TB practice would not disrupt the sustainability
of CFs because the communities have local wisdom by implementing a selective
logging system with lower intensity and then regenerate their stands with higher
intensity. Location study at Cijeungjing TB practice would disrupt the
sustainability of CFs because the cultivation was smaller than TB and the factor
of pressure the land needs.
Keywords: community forest, management of CF, cutting for needs, timber
sustainability

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


i

PENGARUH TEBANG BUTUH TERHADAP KELESTARIAN
HASIL KAYU HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS
PROPINSI JAWA BARAT
(Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican)

FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Hardjanto, MS

iii

Judul Tesis
Nama
NIM

: Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu
Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi
Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican)
: Faridh Almuhayat Uhib Hamdani
: E151120031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA
Ketua


Dr Tatang Tiryana, SHut MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilm Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Tatang Tiryana, SHut Msi

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 7 Mei 2015

Tanggal Lulus:

iv


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Desember 2014 ini adalah Pengaruh
Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi
Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan
Pamarican). Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Si
selaku pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.Si selaku penguji luar
yang telah banyak memberikan banyak masukan.
2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Badan Pusat Statistik (BPS),
Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan (BP4K),
Aparatur Desa Sindang Herang, Desa Pamalayan, Desa Marga Jaya, dan
Kelompok Tani wilayah penelitian di Kabupaten Ciamis.
3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan bantuan beasiswa penelitian dan

tesis.
4. Sahabat-sahabat IPH yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama
perkuliahan dan penelitian berlangsung.
5. Istriku Luthfia Nuraini Rahman, S.Hut, M.Si dan putraku Muhammad Habib
Jalaluddin Rumi Al Hamdani atas doa dan dukungan serta kesabaran dalam
mengisi hari-hari penulis hingga meraih gelar M.Si.
6. Orang tuaku Bapak Abdul Hamid Sri Hartoyo S.Pd, M.Pd, Ibu Pariyah, Bapak
Asep Kusrahman, S.Pd, M.Pd dan Ibu Mursilah, S.Pd, M.Pd atas doa dan
dukungan selama penulis menyelesaikan studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan dapat memberikan semangat cinta tanah air Indonesia.
Bogor, Mei 2015
Faridh Almuhayat Uhib Hamdani

v

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup

1
1
2
4
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Hutan Rakyat
Pengertian Hutan Rakyat
Peran dan Manfaat Hutan Rakyat
Karakteristik Pengelolaan
Produksi Kayu dari HR
Tebang Butuh
Kelestarian Hasil Kayu

4
4
5
6
6
7
7
8

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis Data
Teknik Pengumpulan Data
Analisis Data

10
10
10
11
11

HASIL
Karakteristik Petani HR
Pengelolaan HR
Motivasi Penanaman Hutan Rakyat
Kelembagaan Kelompok Tani HR
Potensi HR
Praktek Tebang Butuh di Hutan Rakyat
Kelestarian Hasil Kayu di Hutan Rakyat

12
12
15
18
19
19
20
23

PEMBAHASAN
Pengelolaan Hutan Rakyat
Praktik Tebang Butuh

24
24
26

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA

33

RIWAYAT HIDUP

45

vi

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil penelitian mengenai produksi kayu rakyat

7

Tabel 2. Kelompok umur responden

12

Tabel 3. Tingkat pendidikan petani HR

13

Tabel 4. Jumlah anggota dan tanggungan keluarga

13

Tabel 5. Pendapatan dan pekerjaan responden

14

Tabel 6. Pola tanam yang dilakukan petani HR masing-masing wilayah

15

Tabel 7. Pengelolaan HR oleh Petani di Lokasi Penelitian

15

Tabel 8. Waktu penanaman yang dilakukan oleh petani HR

16

Tabel 9 Praktik Penanaman HR oleh Petani

16

Tabel 10. Sistem pemanenan yang diterapkan oleh petani HR.

17

Tabel 11. Persentase penjualan dan pemasaran kayu hasil pemanenan

17

Tabel 12. Persentase jumlah petani HR yang mengikuti kelompok tani

19

Tabel 13. Praktek tunda tebang oleh petani HR

23

Tabel 14. Hasil simulasi kelestarian hasil kayu

24

Tabel 14. Persamaan konsep tabungan antara bank dan tegakan pohon

29

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis

10

Gambar 3. Alur pemasaran kayu dari HR

18

Gambar 4. Motivasi masyarakat menanam tanaman HR

18

Gambar 5. (a) Potensi pohon tersedia per kecamatan hasil dari data primer, (b)
Data potensi pohon di tiga wilayah penelitian
20
Gambar 7. Intensitas penebangan di wilayah penelitian

21

Gambar 8. Intensitas penanaman HR di lokasi penelitian

21

Gambar 9. Jenis kayu yang sering ditebang saat TB di wilayah penelitian

22

Gambar 10. Jumlah kayu TB selama 10 tahun di wilayah penelitian

22

Gambar 11. Motivasi petani melakukan tebang butuh

23

Gambar 12. Produksi kayu dari HR di Kabupaten Ciamis selam 10 tahun

30

vii

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Simulasi kelestarian wilayah Panumbangan

39

Lampiran 2. Simulasi kelestarian wilayah Cijeungjing

41

Lampiran 3. Simulasi kelestarian wilayah Pamarican

43

viii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan negara yang dikelola oleh pemerintah serta swasta pernah mengalami
kejayaannya pada tahun 1960-an hingga 1970-an dengan mengelola areal seluas
1,3 juta hektar di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan melalui industri
pengolahan kayu mampu menghasilkan sebesar 4.294 juta meter kubik per tahun
ditambah 414.000 meter kubik kayu bakar. Pada tahun 1963 kapasitas produksi
ditingkatkan menjadi 6.823 juta meter kubik per tahun, sehingga terjadi
peningkatan devisa dari US$ 347 ribu pada tahun 1962 menjadi US$ 775 ribu
pada tahun 1963 (Kemenhut 2007).
Pada tahun-tahun tersebut sektor kehutanan terutama kayu mampu menjadi
sumber devisa negara terbesar setelah sektor minyak bumi. Hal tersebut menjadi
catatan penting bagi Indonesia bahwa sektor kehutanan memiliki peranan penting
dalam menggerakkan perekonomian bangsa Indonesia. Akan tetapi dari tahun
ketahun sampai saat ini sektor kehutanan semakin lesu dengan turunnya produksi
kayu dari hutan negara sehingga industri kehutanan kurang bergeliat. Kemenhut
(2012) menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai
832.126,9 ha/tahun akibat dari kegiatan kegiatan illegal seperti illegal logging,
perambahan, penjarahan. Jika kerusakan tersebut terus dibiarkan dan tidak diikuti
dengan usaha yang seimbang untuk merehabilitasinya maka kerusakan hutan terus
bertambah sedangkan kemampuan negara untuk merehabilitasi dan menghutankan
kembali jauh dari yang diharapkan (Darusman 2012). Hal tersebut menyisakan
keprihatinan karena upaya pelestarian hutan berjalan dengan lambat sedangkan
kerusakan hutan Indonesia terus terjadi dan menjadi sorotan dunia internasional
(Dephut 2007; FAO 2010; Darusman 2012).
Permintaan industri perkayuan yang sangat tinggi menyebabkan
kemampuan produksi kayu dari hutan negara tidak mencukupi permintaan
tersebut, sehingga suplai kayu di industri sebagian didapatkan dari hutan rakyat
(HR). Sebenarnya telah lama terjadi bahwa kebutuhan kayu untuk pertukangan,
kayu bakar, bahkan industri di pulau Jawa banyak disuplai dari HR (Suprapto
2005; Darusman dan Hardjanto 2006). Hal ini menunjukkan bahwa semakin
berkurangnya kemampuan produksi kayu dari hutan negara untuk menyuplai
kebutuhan kayu sehingga peran HR sangat tepat untuk mengisi kekurangan suplai
tersebut sehingga produksi kayu dari HR terus mengalami peningkatan (Winarno
2007).
Hutan rakyat secara tidak langsung telah memberikan peran sangat strategis
dalam mencukupi kebutuhan kayu khusunya di pulau Jawa. Kemenhut (2011)
menunjukkan bahwa pasokan kayu terbesar di pulau Jawa yaitu dari HR dengan
persentase sebesar 46,7%, Perhutani 26,7%, limbah industri 13,3%, hutan alam
10,0%, dan kebun masyarakat 3,3%. Data Kemenhut (2012) menyebutkan bahwa
industri perkayuan saat ini telah banyak menerima kayu dari HR baik untuk
meubel, bangunan, maupun kertas. Oleh karena itu kayu dari HR menjadi
perhatian bagi semua pihak sehingga banyak dilakukan penelitian, pemberdayaan,
dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk mendorong pengembangan HR
dan peningkatan sumberdaya manusia khususnya petani HR agar
membudidayakan tanaman kayu-kayuan di lahannya. Peran HR secara garis besar

2

dapat terlihat dari kontribusi terhadap perekonomian petani HR dan terhadap
pemenuhan bahan baku industri perkayuan (Hardjanto 2001). Adanya berbagai
peran tersebut menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk terus mendorong
pengembangan HR dengan melibatkan berbagai pihak agar HR terus berkembang
(Sukrianto dan Subarudi 2007; Winarno 2007).
Menurut Mulyana (2000), Suharjito (2000), Nugroho (2010), bahwa
beberapa faktor yang mendukung pengembangan HR antara lain permintaan panel
cukup tinggi, tersedianya bahan baku, adanya modal sosial, kebutuhan ekonomi
dan budaya masyarakat, adanya dorongan dari pemerintah seperti halnya
pengembangan hutan tanaman industri (HTI) dan hutan tanaman rakyat (HTR)
yaitu pinjaman dana bergulir.
Data Kemenhut (2011) menyebutkan bahwa wilayah Provinsi Jawa Barat
memiliki luas HR mencapai 419.041,93 ha yang tersebar di 21 kabupaten/kota,
salah satunya yaitu Kabupaten Ciamis dengan luas HR 43.043,64 ha. Potensi HR
di Kabupaten Ciamis dengan jenis tanaman HR di Kabupaten Ciamis didominasi
oleh kayu sengon, mahoni, jati, mindi, dan karet dengan pola tanam sistem
agroforestri (Sudiana et al. 2009). Produksi kayu dari HR Kabupaten Ciamis
cenderung mengalami peningkatan, sebagai contoh tahun 2004 mencapai 214.070
m3, tahun 2005 mencapai 326.000 m3, dan tahun 2006 mencapai 447.000 m3
(Sukrianto 2009). Menurut Hakim et al. (2009) bahwa kayu HR dari Kabupaten
Ciamis dapat menyuplai ke berbagai industri perkayuan di wilayah Banten, Jawa
Barat dan DKI Jakarta. Akan tetapi produksi kayu dari HR tidak seperti layaknya
produksi kayu dari hutan produksi yang memiliki perencanaan matang untuk
memenuhi permintaan pasar. Sementara permasalahan dalam kelestarian hasil
kayu di HR belum dapat dijawab dan diterapkan.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan kelestarian HR karena berbagai
permasalahan yang ada, terutama tentang produksi kayu HR yang berasal dari
tebang butuh (TB) dan belum diterapkannya prinsip-prinsip kelestarian hutan.
Namun disisi lain harapan terhadap HR sangat besar terutama dalam membantu
mencukupi kebutuhan kayu di industri dan mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Maka sangat menarik jika dilakukan penelitian mengenai praktik TB
di HR untuk menjawab kekhawatiran tersebut.
Perumusan Masalah
Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mengalami perkembangan yang cukup
pesat baik luas maupun produksi kayunya dengan ciri-ciri pengusahaannya yaitu
dibudidayakan dalam luasan lahan yang kecil, sebagai pekerjaan sampingan, pola
tanam dengan campuran, serta pemanenan dilakukaan berdasarkan kebutuhan
(Achmad 2010, Diniyati et al. 2005, Fauziah dan Diniyati 2010, Hardjanto 2000).
Pengusahaan HR di Kabupaten Ciamis sejak lama telah menjadi objek
penelitian dan pengembangan HR karena perannya yang strategis dalam
memenuhi kebutuhan kayu baik untuk industri lokal, regional maupun nasional
yang terus meningkat. Saat ini terdapat sekitar 800 – 900 buah industri perkayuan
di Kabupaten Ciamis yang memanfatkan bahan baku kayu rakyat (Dishutbun
Kabupaten Ciamis 2013). Kehadiran industri kecil maupun besar yang tersebar di
berbagai tempat, memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah
khususnya di pedesaan sehingga mendorong semakin berminatnya masyarakat

3

melakukan pengusahaan HR. Akan tetapi permasalahan HR di Kabupaten Ciamis
menjadi bagian dari permasalahan HR yang dihadapi di berbagai wilayah
terutama di Jawa Barat. Peran-peran HR yang telah lama dirasakan oleh
masyarakat maupun industri perkayuan dalam perjalanannya menjadi perhatian
oleh berbagai kalangan baik peneliti, pengusaha, pemerintah, lembaga swadaya
masyrakat (LSM), dan pihak-pihak lainnya terutama dalam hal kelestarian HR di
Kabupaten Ciamis dimasa yang akan datang. Kekhawatiran tersebut berdasarkan
pada temuan-temuan permasalahan yang sering ditemui didalam praktik
pengusahaan HR yang selama ini dilakukan oleh petani HR.
Hardjanto (2003), Mile (2010), Mustari (2000), Nugroho (2010), Pramesti
dan Haryanto (2010), Siswoyo (2007), Sudiana et al. (2009) mengungkapkan
bahwa permasalahan yang sering ditemui yaitu kayu yang belum mencapai daur
optimal dan kayu berdiameter kecil ditebang oleh petani, tidak dilakukan
penghitungan riap pohon, kelas umur tidak menyebar secara merata dan tidak
lengkap, bibit yang berkualitas kurang tersedia, rendahnya tingkat penguasaan
teknologi, pengelolaan belum mempunyai manajemen formal dan bersifat
individual, penanaman dan pemanenan dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda
sesuai dengan kondisi dan tujuan masing-masing, dan kecenderungan penebangan
karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Menurut BPKH (2009)
masalah di HR yaitu kelestarian hasil kayu belum berdasarkan pada kontinuitas
hasil yang diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan
pertumbuhan (riap) tanaman.
Kelestarian di HR belum dapat terjawab karena pengelolaan dan
pengusuhaannya sangat bersifat individu, dimana unit manajemen tekecil
pengelolaan HR yaitu tegakan pohon yang dimiliki oleh petani. Maka praktik
pemanenan yang sering dilakukan petani yaitu TB merupakan ciri khas dari
pemanenan di HR. Kondisi tersebut berbeda dengan kelestarian hutan produksi
yang pengaturan hasilnya telah ditetapkan dengan perhitungan daur dan etat
penebangan sesuai dengan potensi hutan serta memperhatikan aspek kontinyuitas
yaitu adanya kesatuan tempat untuk diberlakukannya pengaturan hasil agar
tegakan hutan dapat terus lestari (Suhendang 1995, Tasman 1995).
Penelitian Hardjanto (2003) menunjukkan bahwa jika dilihat dari struktur
tegakan HR maka tegakan HR dapat menunjukkan struktur tegakan normal yang
mengarah pada kelestarian, namun karena petani menjual pohon dengan diameter
yang bervariasi sehingga dapat mengancam kelestarian tegakan kayu rakyat dan
akan berdampak pada kelestarian usahanya. Lastini (2012) juga menunjukkan
bahwa HR di Kabupaten Ciamis pengelolaan belum lestari karena prinsip
kelestarian belum terpenuhi, seperti belum adanya pengaturan hasil dan kesatuan
kawasan HR yang relatif kecil yaitu berupa blok di suatu dusun yang berbentuk
satu hamparan yang relatif luas.
Kondisi HR tidak memungkinkan untuk dilakukannya perhitunganperhitungan yang rumit seperti di hutan produksi, karena pada dasarnya produksi
kayu yang dapat mencukupi kebutuhan petani HR merupakan motivasi utama
petani dalam mengusahakan HR. Disisi lain permasalahan HR terutama dalam
produksi kayu yang bersumber dari TB perlu segera dijawab agar harapan
masyarakat terhadap HR semakin besar. Suryaningsih et al. (2012), Nugroho dan
Tiryana (2013) menyatakan bahwa TB dilakukan ketika masyarakat memiliki
kebutuhan seperti biaya sekolah anaknya, hajatan, dan kegiatan desa/adat. Praktik

4

TB dianggap kurang memperhatikan prinsip kelestarian karena tidak
menggunakan pengaturan hasil selayaknya di hutan produksi dikhawatirkan akan
menggeser daur panen dan kelestarian hasil kayu. Akan tetapi disisi lain beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya HR mampu menunjukkan struktur
tegakan normal dan mampu mencukupi kebutuhan kayu industri dalam beberapa
dekade terakhir
Berkaitan dengan rumusan masalah diatas maka :
1. Apakah penebangan di HR karena kebutuhan dengan tidak memperhitungkan
selayaknya di hutan produksi skala besar tersebut akan mengganggu
kelestarian HR.
2. Bagaimana keteraturan dari praktek TB dan sifat kebutuhan petani dalam
mengelola tegakan HR .
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis pengelolaan HR yang dilakukan petani HR
2. Menganalisis praktek TB dan kelestarian hasil kayu HR
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan data dan informasi tentang pengelolaan HR yang dilakukan
masyarakat yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam proses
penentuan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan HR.
2. Mendapatkan informasi mengenai TB yang diharapakan dapat digunakan
untuk pertimbangan manajemen HR yang lestari
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu :
1. Wilayah populasi penelitian ini adalah HR Kabupaten Ciamis bagian utara,
tengah dan selatan.
2. Substansi penelitian adalah manajemen hutan yang dikelola oleh rakyat di
lahan miliknya.
3. Hasil produksi yang akan diteliti berupa hasil kayu milik petani HR
4. Petani hutan yang dijadikan sampel adalah petani yang telah mengusahakan
HR dan pernah melakukan TB di areal pengelolaannya.

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Hutan Rakyat
Hutan Rakyat sudah sejak lama memberikan sumbangan ekonomi maupun
ekologis baik langsung kepada pemiliknya maupun kepada masyarakat sekitar.
Perhatian banyak diberikan pada sumbangan hutan alam yang pada masa-masa
awal kekuasaan orde baru dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan negara,

5

walaupun hanya dengan dukungan program dan pendanaan yang relative terbatas
menunjukkan hasil yang luar biasa (Suprapto 2010).
Hutan rakyat di Indonesia sangat berhubungan erat dengan sejarah panjang
bangsa Indonesia. Kemenhut (2011), LP IPB (1990) mengungkapkan bahwa sejak
era kolonial Belanda pada tahun 1930-an HR dikembangkan untuk mendukung
pembangunan kehutanan, kemudian setelah era kemerdekaan tahun 1952 di Jawa
terlahir Gerakan Karang Tiri yaitu gerakan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian
Rakyat yang bertujuan untuk melindungi tanah dari bahaya erosi dengan
menanami pohon di tanah-tanah kosong oleh rakyat atau pemilik tanah dan pada
tahun 1987 HR dibangun dengan program Inpres Penghijauan yang bertujuan
untuk menekan meluasnya lahan kritis.
Penyelenggaraan kehutanan berbasis masyarakat menjadi landasan
pembangunan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 70 bahwa pemerintah wajib mendorong
peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan. Kemenhut
(2011) menekankan tentang peran masyarakat dimaksud yaitu HR yang secara
tidak langsung didorong dengan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti Peraturan
Menteri Kehutanan No. 26/Menhut-II/2005 tentang pemanfaatan hutan hak yang
telah lama berkembang di kalangan masyarakat Indonesia khususnya di Pulau
Jawa.
Keberadaan HR sampai saat ini telah diakui secara formal oleh pemerintah
sehingga HR saat ini menjadi perhatian berbagai pihak karena perannya yang
strategis baik secara ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya. Tujuan pengembangan
HR adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis, memperbaiki tata air
dan lingkungan dan membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan,
bahan perabotan rumah tangga dan sumber kayu bakar.
Pengertian Hutan Rakyat
Definisi HR menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan Bab I Pasal 1 Ayat 5 mendefinisikan HR jika dilihat dari
kepemilikan lahan, maka dapat dikategorikan ke dalam hutan hak. Hutan hak
yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Definisi lain HR
menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 menyebutkan lebih
rinci bahwa HR adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik
atau hak lainnya dengan luas minimum 0,25 ha serta penutupan tajuk tanaman
kayu lebih dari 50% atau jumlah pohon minimum 500 batang/ha.
Para akademisi mendefinisikan HR merupakan hutan yang dimiliki oleh
masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya HR disebut hutan
milik (Hardjanto 2000). Awang et al. (2002) mendefinisikan HR adalah hutan
yang tumbuh di atas lahan milik, baik petani perorangan maupun bersama-sama.
Suharjito et al. (1998) mengartikan HR sebagai hutan yang dibangun di atas tanah
milik yang kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah
milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta.
Penekanan kata “rakyat” ditujukan kepada pengelolanya yaitu rakyat kebanyakan
bukan pada status pemilikan lahannya.
Secara singkat bahwa HR yaitu hutan yang tumbuh diatas lahan milik baik
secara perorangan maupun secara kelompok yang diusahakan dengan berbagai

6

kepentingan dan tujuan masing-masing pemilik. Lahan milik meliputi pekarangan,
kebun, talun, tegalan, ladang, huma, lahan tidak diusahakan, dan hutan rakyat (LP
IPB 1990).
Peran dan Manfaat Hutan Rakyat
Peran dan manfaat HR menurut Mindawati et al. (2006) antara lain
memperbaiki kondisi lingkungan hidup, meningkatkan kesejahteraan, keamanan
dan keutuhan hutan. Menurut Djajapertjunda (2003) HR sama halnya seperti
hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon sebagai jenis utamanya,
maka peranannya pun tidak banyak berbeda, yaitu:
1. Ekonomi, untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai
upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat.
2. Sosial, untuk membuka lapangan pekerjaan.
3. Ekologi, sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mengatur tata air,
mencegah bencana banjir, erosi, dan sebagai prasarana untuk memelihara
kualitas lingkungan hidup (penyerap Karbon dioksida dan produsen oksigen).
4. Estetika, berupa keindahan alam.
5. Sumber, merupakan sumberdaya alam untuk pengetahuan, antara lain ilmu
biologi, ilmu lingkungan dan lain-lain.
6. Sitem pengelolaan. Pengelolaan bersifat individu dengan luasan yang kecil.
Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat
Menurut Mustari (2000) faktor-faktor yang mendukung dalam budidaya HR
di Jawa yaitu faktor ekonomi, ekologis, dan budaya. Budidaya HR bukan pilihan
utama bagi masyarakat pedesaaan Jawa, pada umumnya yaitu tanaman yang cepat
menghasilkan dan menguntungkan. Menurut Awang (2007) karakteristik
pengelolaan hutan rakyat adalah :
1. Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti
lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas,
kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil.
2. Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas
kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi
lahan.
3. Pengelolaan HR berbasis keluarga, yaitu masing-masing keluarga melakukan
pengembangan dan pengaturan secara terpisah.
4. Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem “tebang butuh”, sehingga konsep
kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh
dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap)
tanaman.
5. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan
HR.
6. Belum ada perencanaan pengelolaan HR, sehingga tidak ada petani HR yang
berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri
7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani HR sebagai
produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak
dirasakan petani HR.

7

1.
2.
3.
4.

Menurut Hardjanto (2000), beberapa ciri pengusahaan HR sebagai berikut :
Usaha HR dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih
memiliki posisi tawar yang lebih rendah.
Petani belum dapat melakukan usaha HR menurut prinsip usaha dan prinsip
kelestarian yang baik.
Bentuk HR sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan
dengan cara-cara sederhana.
Pendapatan dari HR bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan
sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari
pendapatan total.

Menurut Nugroho (2010) karakteristik pengelolaan HR yaitu dilakukan oleh
tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer.
Lahan pekarangan dan kebun dimanfaatkan dengan sistem agrohutani berbasis
pengelolaan pohon per pohon. Keputusan pemanfaatan hasil atau pemanen
kayunya didasarkan pada kebutuhan keluarga atau secara umum disebut TB.
Produksi Kayu dari Hutan Rakyat
Produksi kayu dari HR sangat bervariasi, jika dilihat dari jenis tanaman
yang diusahakan maka HR dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu HR murni
dan campuran. Jenis yang dominan di HR murni yaitu sengon (Paraserianthes
falcataria) dan jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.), sedangkan jenis
tanaman di HR campuran yaitu mahoni (Swetenia mahagoni), sengon, jengkol
(Archidendron pauciflorum (Benth.) Nielsen), petai (Parkia speciosa Hassk), aren
(Arenga pinnata Merr). Menurut Sudiana et al. (2009) jenis tanaman HR di
Kabupaten Ciamis didominasi oleh jenis sengon, mahoni, jati (Tectona grandis),
mindi (Melia sp.), dan karet (Havea brasiliensis) dengan pola tanam sistem
agroforestri. Beberapa penelitian mengenai produksi kayu dari HR (Tabel 1).
Produksi kayu di Kabupaten Ciamis mengalami peningkatan dari tahunketahun, terutama jenis kayu sengon dikarenakan sengon memiliki banyak
peminat baik industri maupun petani (Mulayana 2010).
Tabel 1. Hasil penelitian mengenai produksi kayu rakyat di Kabupaten Ciamis
Penelitian
Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan di
Kabupaten Ciamis
Oleh: Eming Sudiana et al.
Kajian Peredaran Kayu Rakyat di Wilayah
Jawa Bagian Barat
Oleh: Ismatul Hakim et al.
Kontribusi Perkembangan Hutan Rakyat
Terhadap Pertumbuhan Industri Pengolahan
Kayu di Kabupaten Ciamis
Oleh: Sholeh Mulayan

Tahun
2009

Hasil
Produksi kayu 2,08 m3/tahun

2009

Produksi kayu tahun
mencapai 1.751.330 m3

2005

2010

Produksi kayu tahun 2003–2009
mengalami peningkatan 119,64%
terutama jenis kayu sengon.

Tebang Butuh
Tebang butuh merupakan kegiatan pemanenan yang yang dilakukan
berdasarkan pada kebutuhan dari pemilik seperti anggota keluarga yang sakit,
biaya anak sekolah, menikahkan anak, dan membangun rumah untuk keluarga

8

yang baru menikah (Hardjanto 2003; Siswoyo 2007; Awang 2007; Hakim et al.
2009; Nugroho 2010; Purwanto et al. 2009; Suryaningsih 2012).
Istilah pertama kali tebang butuh diberikan kepada para petani berdasarkan
hasil penelitian LP IPB tahun 1989–1990 dengan istilah “daur butuh”. Daur
butuh mucul karena petani HR sering melakukan pemanenan pohon sebelum daur
tanaman belum mencapai umur dikarenakan kebutuhan petani. Kemudian diikuti
oleh penelitian-penelitian HR baik yang dilakukan oleh pemerintah, akademisi,
LSM hingga sekarang istilah “tebang butuh” diberikan kepada petani yang
menebang pohon pada saat kebutuhan mendesak dengan mengesampingkan umur
pohon telah mencapai ataupun belum mencapai daur tanaman. Beberapa
penelitian seperti Hardjanto (2003), Awang (2007) Hakim et al. (2009), Nugroho
(2010), Suryaningsih (2012), Nugroho dan Tiryana (2013), menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan dilakukannya TB antara lain desakan kebutuhan
ekonomi, permintaan kayu meningkat, tidak memiliki akses pinjaman bergulir,
kurang hadirnya pemerintah dan tidak ada lembaga pinjaman keuangan mikro,
hambatan birokrasi dalam pengurusan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH) dan Surat Ijin Tebang (SIT), bahkan menjadi budaya panen petani
Penebangan merupakan benteng terakhir untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, apabila masih ada sumber-sumber pendapatan lain yang masih dapat
diusahakan dibandingkan dengan pendapatan menjual kayu. Purwanto et al.
(2009) mengemukakan bahwa tegakan HR merupakan konsep tabungan skala
rumah tangga petani, karena tabungan tersebut digunakan untuk persiapan hari tua
atau berjaga-jaga apabila diperlukan biaya yang mendesak untuk keluarga.
Penanaman pohon oleh petani pada awalnya sebagai tabungan dan kegiatan
sampingan, namun seiring permintaan kayu meningkat maka masyarakat semakin
banyak yang menanam pohon sebagai usaha yang dikomersialkan (Hardjanto
2003).
Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat
Pengaturan Hasil Kayu
Di hutan produksi kelestarian hasil kayu dapat dicapai jika dilakukan
pengaturan hasil sehingga hasil kayunya dapat kontinyu. Hal tersebut diperlukan
untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun agar
jumlah tebangan selama periode tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh
tegakan. Metode pengaturan hasil di hutan produksi dilakukan mengingat luasan
lahan yang dikelola sangat luas sehingga pengaturan hasil dilakukan untuk
mendapat hasil yang kontinyu. Kontinyuitas hasil kayu di hutan produksi
menunjukkan adanya kelestarian hasil kayu dari areal tersebut. Davis dan Jhonson
(1987) mengemukakan bahwa hasil tegakan yaitu banyaknya dimensi tegakan
yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah komulatif
sampai waktu tertentu.
Davis dan Jhonson (1987), Suhendang (1995), Tasman (1995) menyatakan
bahwa pengaturan hasil dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari
struktur tegakan yaitu tegakan seumur dan dan tidak seumur, dimana struktur
tegakan seumur biasanya pengaturan hasilnya menggunakan metode jumlah
pohon (metode Brandis) yang secara garis besar tegakan disusun berlandaskan

9

beberapa sifat tegakan. Sedangkan di hutan tidak seumur pengaturan hasilnya
dilakukan berdasarkan pada perhitungan riap.
Pengaturan hasil yang dilakukan di hutan produksi berbeda dengan
pengaturan hasil di HR. LP IPB (1990), Hardjanto (2003) menyatakan bahwa
pengaturan hasil di HR lebih sulit daripada pengaturan hasil di hutan negara
(hutan produksi), karena di HR memiliki keragaman yang sangat besar baik dalam
struktur tanaman, perilaku pemilik, dan luas lahan yang relatif kecil. Suatu
kawasan HR terdiri dari banyak pemilik dan setiap pemilik mempunyai perilaku
yang berbeda sehingga perilaku pemilik pada hutan rakyat sangat beragam,
dengan beragamnya perilaku menyebabkan keputusan dalam penebangan
pohonpun berbeda-beda (LP IPB 1990). Mustari (1998) memberikan contoh dari
daur optimal HR di Sukabumi bahwa secara finansial di setiap kecamatan contoh
yaitu 7 tahun, maka dipastikan 48 responden dari 66 responden yang menebang
pohon pada umur dibawah daur. Hal tersebut dikarenakan keputusan menebang
berdasarkan kebutuhan ekonomi pemilik. Maka secara umum bahwa belum ada
metode pengaturan hasil di HR, karena pengaturan hasil di HR dilakukan oleh
petani berdasarkan pada pengaturan tegakan yang diatur berdasarkan jumlah dan
besar kebutuhan.
Kelestarian Hasil Kayu
Menurut ITTO (1992) pengelolaan hutan secara lestari yaitu proses
pengelolaan lahan hutan permanen untuk mencapai satu atau lebih tujuan-tujuan
pengelolaan secara terinci yang meliputi produksi berkesinambungan dari hasilhasil hutan dan jasa-jasa hutan, tanpa banyak menyebabkan penurunan nilai dan
produktivitas serta tanpa banyak memberikan pengaruh yang merugikan terhadap
lingkungan fisik dan sosial. Sedangkan menurut LEI (2006) menyatakan ukuran
kelestarian untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipengaruhi
oleh empat faktor, yaitu status penguasaan lahan, status tataguna lahan di dalam
tataruang, komoditas yang diusahakannya, dan orientasi pengusahaan produkproduk tesebut. Namun dari perbandingan tersebut memberikan gambaran bahwa
pada hasilnya kelestarian hutan dengan kriteri dan indikator tersebut dapat
terwujud di hutan produksi, sedangkan di HR sulit diterapkan karena HR berada
lahan milik (private) petani sehingga perilaku dalam pengelola tergantung pada
pemiliknya.
Kelestarian hutan tidak dapat dicapai tanpa mengetahui tujuan dari
pengelolaan hutan yang dilakukan. Tujuan pengelolaan HR yaitu untuk
meningkatkan pendapatan pemilik secara berkesinambungan. LP IPB (1990)
mengungkapkan bahwa kelestarian pendapatan diperoleh dalam periode waktu 1
tahun agar HR dapat memberikan hasil yang kontinyu. Namun Mustari (2000)
mengemukakan bahwa HR belum memberikan hasil yang lestari karena periode
pengambilan hasil masih bervariasi, struktur tegakan yang dimiliki responden
belum normal, kelas diameter pohon belum menyebar secara merata dan tidak
lengkap.
Terlihat bahwa perbedaan hutan produksi dengan HR yaitu pada aspek
luasan areal dan pengelolaan. Hutan tanaman areal pengelolaannya sangat luas
dan pengelolaannya berdasarkan prinsip kontinuitas, sedangkan HR areal
pengelolaannya kecil dan pengelolaannya berdasarkan kebutuhan rumah tangga.

10

Sehingga kelestarian HR belum dapat diukur berdasarkan pada ukuran-ukuran
hutan skala besar.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Juli–Desember
2014 di tiga wilayah Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat (Gambar 1).
Pertama, wilayah utara di Desa Sindang Herang, Kecamatan Panumbangan yang
mewakili dengan topografi pegunungan. Kedua, wilayah tengah di Desa
Pamalayan Kecamatan Cijeungjing dengan topografi landai dan sedikit berbukit.
Ketiga, wilayah selatan di Desa Margajaya Kecamatan Pamarican dengan
topografi sebagian besar datar dan sedikit berbukit.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis
Jenis Data
Data Primer meliputi :
1) Data karakteristik petani dan pengelolaan HR
Data karakateristik petani meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
luas lahan, jumlah anggota dan tanggungan keluarga. Data pengelolaan hutan
rakyat meliputi kepemilikan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, saluran pemasaran, dan kelembagaan petani HR.

11

2) Data Tebang Butuh
Data kejadian TB yang dilakukan petani HR selama 10 tahun terakhir (20042014) meliputi waktu TB, jumlah kayu yang ditebang, jenis kebutuhan, dan
total uang yang diperoleh
3) Data produksi kayu
Data produksi kayu selama 10 tahun terakhir (2004–2014) dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis.
Data sekunder meliputi kondisi umum lokasi penelitian seperti keadaan
geografis, iklim, data monografi, dll. Selain itu hasil-hasil penelitian tentang HR
yang diperoleh dari instansi dan lembaga terkait.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara bertahap. Pertama, memilih tiga lokasi
penelitian berdasarkan keterwakilan wilayah dengan kondisi topografi Kabupaten
Ciamis yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Kedua, setiap wilayah dipilih satu
kecamatan dan dipilih satu desa contoh yang memiliki luas HR paling besar di
masing-masing wilayah. Pertimbangan lain pemilihan lokasi adalah kemudahan
menuju lokasi, kemudahan teknis pelaksanaan, pertimbangan dari pihak terkait
yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis dan penyuluh
kehutanan di wilayah penelitian. Ketiga, setiap desa diambil responden sebanyak
30 responden yang mengusahakan HR dan pernah melakukan penebangan yang
dipilih secara purpossive sampling. Singarimbun dan Sufian (1995) menyatakan
bahwa dalam penelitian survei standar minimal, responden yang diambil sebanyak
30 orang masing-masing wilayah penelitian.
Analisis Data
Data karakteristik petani, pengelolaan HR, dan kegiatan TB selama 10 tahun
(2004–2014) dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan tabel, grafik, dan
diagram. Potensi HR yaitu jumlah keseluruhan tegakan kayu yang dimiliki petani
HR tanpa membedakan jenis pohon yang dimiliki. Kelestarian hasil kayu HR
dianalisis melalui simulasi sederhana jumlah tegakan yang dimiliki petani selama
50 tahun (2024–2064) menggunakan rumus:


dengan:



=



Asumsi:





=�



=�



−1+


×



∑ pohon ditanam = ∑ pohon ditebang

×













Kelestarian hasil kayu HR dikelompokkan berdasarkan perbandingan antara
jumlah tegakan tersedia dengan jumlah penebangan, yaitu:

12

� �

� �



� =

� =





� ≥

� <













Batasan kelestarian hasil dalam penelitian ini yaitu jumlah tegakan kayu
yang tersedia (standing stock) lebih besar atau sama dengan jumlah kayu yang
ditebang (USDA Forest Service 2002; Wisconsin DNR 2009). Hipotesis yang
dibangun yaitu: 1) Semakin tinggi kebutuhan petani maka semakin tinggi
produksi kayu melalui TB, 2) Hasil kayu HR lestari walaupun dilakukan TB.

HASIL
Karakteristik Petani Hutan Rakyat
Umur Petani
Umur penduduk dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok
umur muda yaitu dibawah 15 tahun, (b) kelompok umur produktif yaitu usia 15–
64 tahun, dan (c) kelompok umur tua yaitu usia 65 tahun ke atas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa petani HR lebih banyak pada kelompok umur produktif
dibandingkan dengan umur yang tidak produktif. (Tabel 2).
Tabel 2. Kelompok umur responden
Karakteristik
30-39
40-49
50-59
60-69
70-79
80- up
Total

Jumlah Responden/Kecamatan
Panumbangan Cijeungjing Pamarican
10
3
10
27
13
27
30
17
40
17
53
17
13
13
7
3
0
0
100
100
100

Persentase (%)
8
22
29
29
11
1
100

Pendidikan Petani
Hasil wawancara mengungkapkan bahwa sebagian besar generasi usia tua
berpendidikan SD dan SMP, sedangkan generasi usia muda berpendidikan SMA
dan D3 (Tabel 3). Persentase tingkat pendidikan petani HR tertinggi yaitu sekolah
dasar (SD) dan yang paling rendah yaitu Diploma tiga (D3).

13

Tabel 3. Tingkat pendidikan petani HR
Karakteristik
SD
SMP
SMA
D3

Kecamatan
Panumbangan Cijeungjing
77
13
10
0
100

Total

80
7
7
7
100

Pamarican

Persentase (%)
80
10
8
2
100

83
10
7
0
100

Jumlah Anggota dan Tanggungan Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anggota keluarga petani yang
tinggal dalam satu rumah paling banyak yaitu 3–4 orang (68%), sedangkan
jumlah tanggungan keluarga sebanyak 2–3 orang (46%) (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah anggota dan tanggungan keluarga
Kecamatan
Panumbangan
Cijeungjing
Jumlah Anggota Keluarga (orang)
1-2
20
33
3-4
77
60
5-up
3
7
Total
100
100
Tanggungan (orang)
0-1
17
60
2-3
63
37
4-up
20
3
Total
100
100
Karakteristik

Pamarican

Persentase (%)

23
67
10
100

26
68
7
100

57
37
7
100

44
46
10
100

Jenis Pekerjaan dan Pendapatan
Perkerjaan utama masyarakat yang dominan yaitu petani sawah (70%),
sedangkan pekerjaan sampingan yang dominan yaitu sebagai pedagang (17%).
Sebagian besar kegiatan sampingan berdagang dilakukan di luar wilayah Ciamis
seperti di Sukabumi, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yaitu dengan
menjual barang-barang yang dikreditkan (tukang kredit). Pekerjaan sampingan
beternak (8%) dilakukan di sekitar tempat tinggal dengan beternak ayam. Petani
yang beternak sebagian besar telah bekerjasama dengan perusahaan peternakan
yang bersedia menampung hasil ternak baik telur maupun daging.
Tingkat pendapatan petani bervariasi dari ≤ Rp. 499.000/bulan hingga ≥ Rp.
3.100.000/bulan yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti konsumsi,
biaya sekolah anak, kegiatan sosial, dll. Penghasilan petani terbesar antara Rp.
500.000-Rp. 1.000.000/bulan (54%) (Tabel 5).

14

Tabel 5. Pendapatan dan pekerjaan responden
Kecamatan
Panumbangan Cijeungjing

Karakteristik

Tingkat Pendapatan (Rp)
≤ 499.000
500.000 - 1.000.000
1.100.000 - 2.000.000
2.100.000 - 3.000.000
3.100.000 – up
Total
Jenis Pekerjaan Utama (orang)
Petani sawah
Pedagang
Wiraswata
Pengrajin kayu
Perangkat desa
Pensiunan
Total
Pekerjaan Sampingan (orang)
Berdagang
Beternak
Penjahit
Tengkulak
Total

Pamarican

Persentase (%)

3
57
23
10
7
100

20
53
23
3
0
100

0
53
30
13
3
100

8
54
26
9
3
100

47
23
17

93
0
0

93
0
0

70
9
9

3

0

7

2

10
0
100

7
0
100

0
0
100

6
4
100

100
0
0
0
100

50
36
7
7
100

71
29
0
0
100

74
21
2
2
100

Kepemilikan Lahan dan Pola Tanam

1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0

(a)

Luas (Ha)

Luas (Ha)

Kepemilikan Lahan
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata luas lahan HR yang dimiliki
masyarakat Panumbangan dan Pamarican seluas 0,6 ha dan masyarakat Pamarican
1,2 ha (Gambar 2). Lahan HR yang dimiliki petani dapat dibagi menjadi dua tipe
yaitu: 1) Tipe menyebar yang terbagi-bagi dalam beberapa lokasi, 2) Tipe
mengelompok dalam satu hamparan daratan.

Panumba - Cijeung - Pamari ngan
jing
can
Luas Kepemilikan HR (Ha)

3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
-

(b)

Panumba - Cijeung - Pamari ngan
jing
can
Luas Hutan Rakyat (Ha)

Gambar 2 (a) Luas rata kepemilikan HR (Sumber: Pengolahan data primer),
(b) Luas HR per kecamatan (Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Ciamis 2013)

15

Pola Tanam
Pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat yaitu policulture dan
monoculture (Tabel 6)
Tabel 6. Pola tanam yang dilakukan petani HR masing-masing wilayah
Sistem
Pengelolaan

Kecamatan

Persentase (%)

Panumbangan

Cijeungjing

Pamarican

Monoculture

90
10

87
13

93
7

90
10

Total

100

100

100

100

Policulture

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam yang terapkan oleh
masyarakat yaitu: 1) Sistem campuran (Polyculture) sebesar 90% dengan jenis
tanaman kehutanan terdiri dari sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen), jati
(Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), jati putih (Gmelina arborea),
afrika (Maesopsis eminii Engl.), manglit (Michelia velutina), Pulai (Alstonia sp).
2) Sistem HR murni (monoculture) dilakukan masyarakat sebesar 10% dengan
jenis tanaman yaitu sengon, jati, mahoni, gaharu (Aquilaria moluccensis) (Gambar
5). Masyarakat juga melakukan pemanfaatan lahan dengan sistem Agroforestri
yaitu dengan menanam tanaman buah-buahan seperti durian, petai, duku,
rambutan, serta tanaman semusim seperti jahe, ubi, singkong, pisang, kunyit,
cabe, terong, di pinggir lahan atau sela-sela tanaman kayu.
Pengelolaan Hutan Rakyat
Kegiatan pengelolaan HR (Pengelola, pengadaan bibit, penanaman,
pemeliharaan, dan pemanenan) di lokasi penelitian secara umum dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengelolaan HR oleh Petani di Lokasi Penelitian
Kecamatan

Kegiatan Pengelolaan HR
Pengelola

Pembibitan

Penanaman

Perawatan

Panumbangan

Sendiri
(70%)

Sendiri dan
stump (80%)

Tidak setelah
panen (53%)

Dirawat
(93%)

Cijeungjing

Sendiri
(97%)

Sendiri dan
stump (90%)

Tidak setelah
panen (60%)

Dirawat
(87%)

Pamarican

Sendiri
(73%)

Sendiri dan
stump (75%)

Tidak setelah
panen (83%)

Dirawat
(100%)

Pemanenan
Tidak ada
perencanaan
(83%)
Tidak ada
perencanaan
(87%)
Tidak ada
perencanaan
(80%)

Petani HR dalam pengelolaan lahannya bertindak sebagai buruh sekaligus
manajer. Pengelolaan HR sebagian besar dilakukan sendiri oleh kepala rumah
tangga, sedangkan anggota keluarga lainnya hanya membantu. Tenaga lainnya
yang melakukan pengelolaan HR adalah buruh tani. Hasil wawancara dengan
petani menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembibitan terdapat beberapa cara
pengadaaan bibit, yaitu dengan cara trubusan yaitu memelihara tunas baru dari

16

bekas tebangan, membeli bibit di tempat pembibitan tanaman yang berada di
wilayah dusun, desa, atau kecamatan, atau dengan membibitkan sendiri (benih dan
stump). Mayoritas petani memilih membibitkan sendiri dan stump karena
dianggap lebih mudah didapatkan dan murah. Benih pohon diperoleh dari sekitar
tanaman pada saat musim berbuah, kemudian benih dikeringkan, disimpan, dan
disemai pada saat menjelang musim penghujan. Jenis bibit yang umum di semai
oleh masyarakat antara lain sengon, mahoni, dan afrika.
Tabel 8 menunjukkan bahwa petani HR di tiga lokasi melakukan
penanaman tidak setelah panen dengan alasan bahwa petani mengandalkan adanya
trubusan dari bekas tebangan, serta mengandalkan anakan yang tumbuh liar di
lahan. Selain itu lahan akan digunakan untuk penanaman tanaman pertanian atau
tanaman semusim dalam jangka waktu tertentu kemudian penanaman dilakukan
setelah panen tanaman semusim.
Tabel 8. Waktu penanaman yang dilakukan oleh petani HR
Kecamatan
Waktu Tanam
Setelah panen
Tidak setelah panen
Belum menanam
Jumlah

Panumbangan

Cijeungjing

Pamarican

33

13

17

53
13
100

60
27
100

83
0
100

Rata-rata (%)
21
66
13
100

Praktik penanaman yang dilakukan petani dapat dilihat pada Tabel 9. Bibit
tanaman yang dominan ditanam yaitu sengon, mahoni, jati, sedangkan tanaman
lain merupakan pengayaan yang dilakukan masyarakat baik dengan ditanam atau
membiarka

Dokumen yang terkait

Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi Kasus Di Desa Kuta Rakyat, Desa Dolat Rakyat, Desa Jaranguda, Dan Desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)

2 38 114

Studi Kasus Hutan Rakyat di Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak Jawa Barat

0 9 94

Stud1 Tataniaga Kayu Hutan Rakyat (Studi Kasus Di Desa Sukawening Kecamatan Cipaku Sub Das Cimuntur Dan Desa Sidamulih Kecamatau Pamarican Sub Das Ciseel, Das Citanduy, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)

0 7 108

Kinerja Petani Hutan Rakyat Dan Penyuluh Kehutanan Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah

0 17 287

Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat)

1 10 205

Pemasaran Kayu Rakyat di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

0 12 169

Analisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat: kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

2 12 107

Pengelolaan Hutan Rakyat dan Dinamika Kelompok Tani Hutan (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Sidamulih, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis)

1 5 158

Efektivitas Implementasi Kebijakan Sertifikasi Legalitas Kayu di Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah)

2 11 72

Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Usaha Tani di Desa Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat

0 6 47