Analisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat: kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

(1)

ANALISIS MOTIVASI PEMANENAN KAYU RAKYAT

BERDASARKAN KARAKTERISTIK

PETANI HUTAN RAKYAT

(Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

ANDREA SHANDY PRABOWO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

ANALISIS MOTIVASI PEMANENAN KAYU RAKYAT

BERDASARKAN KARAKTERISTIK

PETANI HUTAN RAKYAT

(Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

ANDREA SHANDY PRABOWO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(3)

RINGKASAN

ANDREA SHANDY PRABOWO. Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat (Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat). Dibimbing oleh UJANG SUWARNA dan LETI SUNDAWATI.

Usaha kayu rakyat sampai saat ini umumnya masih dianggap sebagai usaha sampingan atau tabungan karena daur tanam yang panjang dan kontribusi pendapatan yang rendah. Pengelolaan hutan rakyat terfokus pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Mereka memiliki karakteristik masing-masing. Salah satu bagian dari pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat; (2) mengetahui motivasi pemanenan kayu rakyat; dan (3) menganalisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat.

Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan terhadap contoh atau responden dari suatu populasi. Adapun contoh atau responden penelitian ini ialah petani hutan rakyat yang pernah melakukan pemanenan kayu rakyat. Penentuan responden dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan keterjangkauan lokasi responden dan efektivitas waktu penelitian. Jumlah responden berjumlah 60 jiwa.

Petani hutan rakyat di Desa Padasari melakukan pemanenan kayu rakyat dengan motivasi beragam, dimana motivasi terbanyak ialah membangun rumah (38,67%). Selain itu, motivasi lainnya berurutan menurut persentasenya dari terendah hingga tertinggi ialah modal usaha (16%), memperbaiki rumah (14,67%), membeli tanah (10,67%), biaya pendidikan (9,33%), membayar utang (2,67%), membeli rumah (2,67%), biaya kesehatan (1,33%), biaya pernikahan (1,33%), kebutuhan sehari-hari (1,33%), dan ongkos naik haji (1,33%). Berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat, motivasi membangun rumah umumnya muncul pada responden berusia 40–44 tahun dan 60–64 tahun, berjenis kelamin pria, berpendidikan terakhir setingkat SD dan SLTP, jenis pekerjaan pokok sebagai petani, berpengalaman usaha tani selama 10–19 tahun, memiliki luas lahan di bawah 0,29 ha, memiliki jumlah anggota keluarga 3–4 jiwa, dan berpenghasilan rata-rata bulanan antara Rp 1.300.000,00/bulan hingga Rp 2.590.000,00/bulan.

Kata kunci: karakteristik, petani hutan rakyat, motivasi pemanenan, dan kayu rakyat.


(4)

iii

SUMMARY

ANDREA SHANDY PRABOWO. Motivation Analysis of Timber Harvesting Based on Characteristics of Community Forest Farmers (Study in the Village Padasari, District Cimalaka, Sumedang Regency, West Java). Supervised by UJANG SUWARNA and LETI SUNDAWATI.

Timber business from community forests untill today generally are still regarded as a side business or as savings because of long-time cycle of planting and low-income contribution. The management of community forests are focused at the housewifery level or community forest farming families. They have their own characteristics. One part of the management of community forests is timber harvesting. The objectives of this research are: (1) identify the characteristics of community forest farmers; (2) find out the motivation of timber harvesting; and (3) analyzing the motivation of timber harvesting based on characteristics of community forest farmers.

This research uses a survey method with purposive sampling. The samples or respondents are the community forest farmers who have harvested their timber. The respondents were selected puposively, totally 60 persons.

The community forest farmers in the village of Padasari harvested their timber with different motivations. The highest percentage of motivation is to build a house (38.67%). The other motivations sequentially according to its percentage from the highest untill the lowest are business capital (16%), repaire a house (14.67%), buying land (10.67%), education costs (9.33%), debts payment (2.67%), buy a house (2.67%), medical expenses (1.33%), wedding expenses (1.33%), daily necessities (1.33%), and pilgrim costs (1.33%). Based on characteristics of community forest farmers, the motivation to build a house generally appear in the respondents aged between 40–44 years old and 60–64 years old, male, elementary school and junior high school education, principal occupation as farmers, 10–19 years farming experience, land ownership below 0.29 ha, has family members 3–4 persons, and average monthly income Rp 1,300,000.00/month untill Rp 2,590,000.00/month.

Keywords : characteristics, community forest farmers, timber harvesting motivation, and community forest timber.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat (Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan para dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Andrea Shandy Prabowo NRP E14051574


(6)

v

Judul Skripsi : Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat

(Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

Nama : Andrea Shandy Prabowo NRP : E14051574

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua,

Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F NIP. 19720512 199702 1 001

Anggota,

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F NIP. 19640830 199003 2 001

Mengetahui,

Kepala Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan (Alm.) Bapak H. Untung Raharjo Ismail dan Ibu Nuryati. Pada tahun 2005 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Tanjungsari, Sumedang. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Setahun berikutnya, penulis mengambil Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (DPSDM) Forest Management Students Club (FMSC) 2006-2007, Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Anggota (DPSDA) Koperasi Mahasiswa IPB (Kopma IPB) 2006-2008, dan Ketua Badan Pengawas Kopma IPB 2008-2009. Pengalaman kepanitiaan penulis ialah sebagai Divisi Logistik dan Transportasi (Logstran) Bussines Plan Competiton, Campus Fair Kopma IPB 2005; Ketua Panitia Pendidikan Dasar Kopma IPB 2006; Ketua Rangkaian Acara Campus Fair Kopma IPB 2007; dan Steering Committee Rangkaian Acara Campus Fair Kopma IPB 2008.

Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2007 di Cagar Alam (CA) Leuweung Sancang, Garut; dan Taman Wisata Alam (TWA) Kamojang, Bandung. Tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi; dan di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pada tahun 2009, penulis juga mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat (Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) dengan bimbingan dari Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya dalam penyusunan skripsi ini. Adapun skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Salah satu bagian dari pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat. Kegiatan tersebut disebabkan motivasi tertentu berdasarkan kebutuhan rumah tangga petani tersebut. Perbedaan karakteristik petani hutan rakyat dapat menyebabkan perbedaan pengelolaan hutan rakyat.

Skripsi ini memuat gambaran motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat masing-masing. Gambaran tersebut disajikan dalam bentuk tabel sederhana dan teks deskriptif. Metode penelitian yang digunakan ialah metode survei dengan purposive sampling. Penelitian dilaksanakan di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober sampai November 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan, baik dari teknik penulisan maupun materi skripsi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, April 2011

Andrea Shandy Prabowo NRP E14051574


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui lembar ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku pembimbing. Nasehat, motivasi, dan bimbingan yang Bapak dan Ibu berikan kepada penulis telah membantu penyusunan skripsi ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih atas nasehat dan saran kepada Ir. Rita Kartika Sari, M.Si; Dr. Ir. Endes Nurfilmarasa Dachlan, MS; dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS selaku penguji pada saat sidang komprehensif.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih atas izin penelitian kepada Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Sumedang dan Dinas Kehutanan Sumedang. Selain itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada keluarga Bapak Entis Sutisna selaku Ketua Kelompok Petani Bagjamulya. Informasi, keikhlasan, dan keramahtamahan Bapak sekeluarga telah memperlancar proses penyusunan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis, yaitu Bapak (Alm.) H. Untung Raharjo Ismail, Ibu Nuryati, Truelly Meutia Khristina, SE, dan Keluarga Bapak dr. H. Zubair Dangkua, SpAn, KIC. Rasa terima kasih disampaikan atas segala doa, perhatian, nasehat, motivasi, keikhlasan, kasih sayang, dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis.

Berikutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Diana Dewi Setia Budhie, S.Pt yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, dan pengorbanan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada kawan-kawan kosan 3 Beruang (Wissa Hary Pamudji, S.Hut; Daryl Darussalam, S,Hut; Alfian Nugroho, S.Hut, dan Bagus Dwi Haryo, SE), kawan-kawan All Blue Community, keluarga besar Kopma IPB, dan keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB atas dukungan, motivasi, dan kerja samanya selama ini.

Bogor, April 2011

Andrea Shandy Prabowo NRP E14051574


(10)

ix

DAFTAR ISI

No. Halaman

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 1

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 2

II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Hutan Rakyat ... 3

2.2 Petani Hutan Rakyat ... 8

III METODE PENELITIAN ... 11

3.1 Kerangka Penelitian ... 11

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.3 Bahan dan Alat ... 14

3.4 Teknik Pengambilan Contoh ... 15

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.6 Jenis Data ... 16

3.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data ... 16

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

4.1 Letak Geografis ... 17

4.2 Iklim ... 18

4.3 Kependudukan ... 18

4.4 Tata Guna Lahan ... 19

4.5 Flora dan Fauna ... 19

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat ... 21

5.2 Pemanenan Kayu Rakyat ... 26

5.3 Karakteristik Petani Hutan Rakyat ... 32

5.4 Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat ... 40

5.5 Hubungan Karakteristik Responden dengan Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat ... 45


(11)

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1 Kesimpulan ... 81

6.2.Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(12)

xi

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Harga kayu rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor ... 7

2. Kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat menurut berbagai sumber ... 7

3. Karakteristik petani hutan rakyat menurut berbagai sumber ... 8

4. Motivasi pemanenan kayu rakyat menurut berbagai sumber ... 10

5. Alokasi penggunaan lahan di Desa Padasari ... 19

6. Potensi jenis tanaman kayu komersil di Desa Padasari ... 21

7. Kontribusi sumber pendapatan tahunan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat di Desa Padasari ... 24

8. Sebaran responden menurut kelompok usia ... 33

9. Sebaran responden menurut jenis kelamin ... 34

10. Sebaran responden menurut pendidikan terakhir ... 34

11. Sebaran responden menurut jenis pekerjaan pokok ... 35

12. Sebaran responden menurut pengalaman berusaha tani... 36

13. Sebaran responden menurut luas kepemilikan lahan ... 37

14. Sebaran responden menurut jumlah anggota keluarga ... 38

15. Sebaran responden menurut penghasilan rata-rata bulanan ... 39

16. Motivasi pemanenan kayu rakyat di Desa Padasari ... 40

17. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada kelompok usia responden ... 46

18. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada jenis kelamin responden ... 50

19. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada pendidikan terakhir responden ... 54

20. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada jenis pekerjaan pokok responden ... 58


(13)

21. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada pengalaman berusaha tani responden ... 62 22. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada luas

kepemilikan lahan responden ... 67 23. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada jumlah

anggota keluarga responden ... 71 24 Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 14 2. Jalan masuk menuju ke Desa Padasari ... 17 3. Kondisi tegakan hutan rakyat di Desa Padasari ... 22 4. Penerapan sistem agroforestry oleh petani hutan rakyat di Desa Padasari . 23 5. Alat penebangan yang digunakan ... 28 6. Proses pengangkutan kayu ... 29 7. Kondisi hutan rakyat pasca pemanenan kayu rakyat di Desa Padasari... 32 8. Kondisi rumah responden yang menyebabkan mereka membutuhkan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kuesioner penelitian... 88 2. Rekapitulasi data karakteristik petani hutan rakyat ... 90 3. Rekapitulasi pemanenan kayu rakyat ... 92


(16)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kayu rakyat merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu yang tidak dapat terpenuhi oleh kayu yang berasal dari hutan alam (Syahadat 2006). Hutan rakyat merupakan tabungan atau usaha sampingan, karena daur tanam yang panjang dan kontribusi pendapatan yang rendah (Hardjanto 2000).

Pengelolaan hutan rakyat terfokus pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Pemegang keputusan berada di kepala rumah tangga atau orang yang dituakan dalam rumah tangga. Petani hutan rakyat sebagai pemegang keputusan memiliki karakteristik yang beragam. Keragaman karakteristik membuat keragaman pola pengelolaan hutan rakyat (Awang 2007).

Salah satu bagian dari pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat. Perilaku pemanenan disebabkan oleh motivasi pemanenan yang muncul akibat adanya kebutuhan hidup yang mendesak pada rumah tangga petani sebagai pengelola hutan rakyat (Syahadat 2006). Kebutuhan tersebut menyebabkan petani memanen kayu lebih cepat daripada daur volume maksimum, sehingga nilai harga kayu yang dihasilkan lebih rendah. Hal ini juga berkaitan dengan status usaha kayu rakyat sebagai tabungan, sehingga melakukan pemanenan pada waktu yang tidak menentu.

Pola pemanenan kayu rakyat saat ini membuat petani tidak memperoleh manfaat secara ekonomi yang optimal. Hasil penjualan kayu saat dipanen sebelum mencapai daur volume maksimum akan lebih sedikit. Peran tanaman bagi lingkungan juga menjadi tidak optimal.

1.2 Perumusan Masalah

Pemanenan kayu rakyat oleh petani disebabkan motivasi yang beragam, bergantung kebutuhan yang terjadi pada rumah tangga masing-masing. Hal ini yang menyebabkan adanya daur butuh, yaitu pemanenan yang lebih cepat daripada daur optimalnya. Daur butuh tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan yang optimal.


(17)

Jika dikaitkan dengan karakteristik petani masing-masing, motivasi-motivasi pemanenan kayu rakyat akan berkelompok sesuai karakteristik tertentu atau akan menyebar merata. Hal ini manjadi gambaran bagi tindakan pembinaan yang harus dilakukan dan sasaran yang dituju.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat; 2. mengetahui motivasi pemanenan kayu rakyat; dan

3. menganalisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan rujukan bagi stakeholders hutan rakyat agar hutan rakyat tetap memiliki manfaat yang seimbang antara manfaat ekonomi dan ekologi. Manfaat ekonomi hutan rakyat berupa keberlanjutan produksi kayu rakyat. Sedangkan manfaat ekologi berupa fungsi hutan rakyat bagi lingkungan alam sekitar.


(18)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat

Suharjito (2000) menjelaskan bahwa hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut masyarakat hukum adat).

2.1.2 Karakteristik Hutan Rakyat

Karakteristik hutan rakyat menurut Ditjen RRL (2005) dalam Tinambunan (2008):

1. Lokasi hutan rakyat terbatas pada lahan milik, lahan marga atau adat, kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak berhutan dan tanah negara yang terlantar.

2. Usaha hutan rakyat ditinjau dari segi usaha, sebagian besar berskala kecil sampai menengah yang dalam pengembangannya menghadapi masalah pemilikan lahan yang sempit (di Pulau Jawa) dan status lahan sering belum jelas.

3. Pelaksana pengelolaan hutan rakyat biasanya adalah stratum masyarakat paling bawah yang mempunyai kemampuan teknis, ekonomis, dan manajemen minimal.

4. Pola penanaman hutan rakyat tidak monokultur (homogen) tetapi bersifat heterogen, yaitu penanaman berbagai jenis tanaman di satu areal lahan pada waktu bersamaan.

5. Pelaksana pengelolaan hutan rakyat umumnya kurang mempunyai keterampilan dalam pengelolaan hutan.

6. Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat belum berkembang ke taraf yang mantap.


(19)

7. Dalam peraturan perundangan yang ada, seperti dalam uraian kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat yang mencapai 10 butir, tidak ada yang mencakup keteknikan hutan.

8. Dimensi kayu yang dipanen biasanya kecil. Sebagai contoh di beberapa hutan rakyat Jawa Barat terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm.

9. Pola penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, seperti dikemukakan Simon (1995) dalam Tinambunan (2008), ada tiga pola, yaitu (1) penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik; (2) penanaman pohon di teras bangku; dan (3) penanaman pohon di seluruh lahan milik.

2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Windawati (2004), secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam dan berbeda di setiap daerah, baik cara memilih jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Pada umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh masyarakat petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu murni dan campuran.

1. Hutan Rakyat Murni

Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur), seperti di Pulau Jawa untuk jenis sengon, jati, dan di Lampung untuk jenis damar mata kucing. Dari jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan ekonominya kurang dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman.

2. Hutan Rakyat Campuran

a. Hutan rakyat campuran (polyculture) dengan 2–5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan, seperti sengon, mahoni, dan surian, yang dikombinasinya berbeda pada setiap daerah. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel, hasil yang diperoleh berkesinambungan dan


(20)

5

tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

b. Hutan rakyat campuran dengan sistem agroforestry atau wanatani, yaitu berbentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan, dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti jenis kayu-kayuan (sengon dan jati), sayur-sayuran (petai dan nangka), tanaman pangan (singkong dan jagung), hijauan makanan ternak (rumput gajah), tanaman obat-obatan (kapolaga dan jahe), lebah madu, dan lainnya. Kelebihan pola tanam ini yaitu mempunyai daya tahan yang kuat terhadap serangan hama, penyakit, dan angin. Secara ekonomis dapat diperoleh keuntungan ganda yang berkesinambungan melalui panen harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Tenaga kerja yang terserap akan lebih banyak dan berkelanjutan.

Selanjutnya menurut Djuwadi (2002) dalam Wijiadi (2007), pola penanaman hutan rakyat ialah sebagai berikut:

1. Pola pagar, yaitu pola penanaman tanaman kehutanan yang mengelilingi tanaman pertanian.

2. Pola selang-seling, yaitu pola penanaman tanaman kehutanan yang berselang-seling dengan tanaman pertanian. Contohnya: tanaman pertanian satu larik, tanaman kehutanan pada larik berikutnya.

3. Pola alley cropping, atau pola terowongan, penanaman tanaman kehutanan dan tanaman perkebuanan berkelompok pada larikan masing-masing.

4. Pola acak, yaitu pola penanaman yang menyebar.

5. Pola mozaik, yaitu pola penanaman tanaman pertanian dan tanaman kehutanan yang mengelompok masing-masing.


(21)

Umumnya pola penanaman dipengaruhi oleh ketersediaan lahan. Jika lahan berbukit-bukit, pola yang digunakan ialah mozaik atau acak. Sedangkan jika lahan datar, pola yang digunakan ialah pola pagar, selang-seling, atau alley cropping.

Menurut Djajapertjunda (2003) dalam Wardhana (2008), potensi hutan rakyat yang sudah berkembang sekarang ini mencapai luasan 1.265.000 ha yang tersebar di 24 propinsi, dan diantaranya diperkirakan seluas 500.000 ha terdapat di Jawa. Potensi tegakan tanaman kayu milik rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43.000.000 m3, yang terutama terdiri dari kayu sengon, jati, akasia, sonokeling, mahoni, dan jenis tanaman buah-buahan.

Witantriasti (2010) mengemukakan bahwa pelaksanaan penebangan dilakukan oleh tengkulak, karena petani menjual kayunya dalam bentuk tegakan. Hal ini membuat semua proses kegiatan termasuk biaya penebangan dan biaya angkut diserahkan kepada tengkulak.

Witantriasti (2010) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa persepsi petani dalam pembangunan hutan rakyat merupakan penilaian hutan rakyat terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat yang menyangkut penilaian terhadap lahan milik yang dimanfaatkan untuk hutan rakyat. Semakin baik persepsi, maka semakin baik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani.

2.1.4 Hasil Hutan Rakyat

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2004) dalam

Mile (2007) menyebutkan ragam produk dan jasa yang mempunyai nilai komersial untuk pengembangan hutan rakyat, antara lain: a) hasil hutan berupa kayu pertukangan untuk bangunan, meubel, perkakas kerajinan; b) kayu lapis,

pulp, dan kertas; c) hasil hutan bukan kayu yang dihasilkan dari tanaman serbaguna berupa buah-buahan, biji-bijian, bunga-bungaan, getah-getahan, rotan bambu, gaharu, damar, minyak resin, lebah madu, dan sutera alam; d) jasa lingkungan dari ekosistem hutan yang dapat dikembangkan sebagai obyek wisata alam wisata petualangan, hutan pendidikan, dan hutan penelitian.

Witantriasti (2010) mengungkapkan harga kayu rakyat menurut diameter pada jenis sengon, mahoni, dan meranti di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (Tabel 1). Meranti dan mahoni merupakan jenis


(22)

7

yang memiliki nilai harga lebih mahal dibanding jenis kayu sengon. Hal ini menunjukkan bahwa meranti dan mahoni dianggap lebih berkualitas oleh pasar.

Tabel 1 Harga kayu rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor

Jenis kayu Nama ilmiah Diameter (cm) Harga (Rp/phn)

Sengon Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen

< 20 110.000

20-29 200.000-270.000

>30 300.000-340.000

Mahoni Swietenia mahagoni (L.) Jacq. 20-29 500.000-1.000.000

> 30 1.000.000-1.500.000

Meranti Shorea sp. 20-29 500.000-1.000.000

> 30 1.000.000-1.500.000

Sumber: Witantriasti (2010)

Pendapatan petani hutan rakyat berasal dari bermacam sumber. Persentase kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani menurut beberapa penelitian disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat menurut berbagai sumber

Sumber Tahun Lokasi Sumber pendapatan Kontribusi (%)

Nugroho 2010 Desa Kanekes, Kecamatan

Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten

Pertanian 12,07

Buah 21,19

Kebun 9,75

Gula aren 23,71

Tenunan 9,48

Buruh 16,22

Kayu sengon 7,73

Sultika 2010 Desa Sidamulih,

Kecamatan Pamarican, dan Desa Bojong, Kecamatan

Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Hutan rakyat 33,02

Pegawai 22,26

Tani pangan 16,01

Wiraswasta 9,53

Dagang 6,13

Ternak 5,68

Buruh 3,22

Lainnya 4,15

Suwardi 2010 Desa Sukaresmi,

Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

Hutan rakyat 54,15

Sawah dan ternak 25,85

Non-pertanian 19,99

Witantriasti 2010 Desa Gunung Sari,

Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Kayu rakyat 44,01

Hasil hutan bukan kayu 2,64

Sawah 4,69

Ternak 3,95

Buruh 20,78

Wiraswasta 23,94

Sumber: Nugroho (2010), Sultika (2010), Suwardi (2010), dan Witantriasti (2010)

Tanaman berkayu bagi masyarakat yang menanam ialah sebuah tabungan. Karena dianggap sebagai tabungan maka pemanenannya pun terjadi ketika


(23)

memang terdapat kebutuhan. Istilah tebang butuh pun menjadi dikenal untuk menandai pemanenan pada hutan rakyat. Syahadat (2006) mengungkapkan bahwa kayu rakyat adalah hasil hutan yang diperoleh dari lahan milik sendiri, maka pengolahan dan pemanfaatan hasil hutan sepenuhnya menjadi hak pemilik, sedangkan fungsi pemerintah dalam hal ini hanya melakukan pembinaan untuk menjamin kelestarian hutan dan melindungi kelancaran peredaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan.

2.2 Petani Hutan Rakyat

2.2.1 Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengelompokkan petani hutan rakyat berdasarkan karakteristik tertentu seperti terlihat pada Tabel 3. Diniyati et al.

(2008) membedakan petani berdasarkan tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama, besaran pendapatan, dan luas garapan. Karakteristik responden (petani hutan rakyat) dalam penelitian Sultika (2010) berkelompok menurut usia, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan luas hutan rakyat. Sedikit berbeda, penelitian Suwardi (2010) membedakan petani hutan rakyat berdasarkan umur, kepemilikan lahan, mata pencaharian, dan pendidikan.

Tabel 3 Karakteristik petani hutan rakyat menurut berbagai sumber

Sumber Tahun Lokasi penelitian Karakteristik

Diniyati et

al.

2008 Priangan Timur usia, tingkat pendidikan, jenis

pekerjaan utama, besaran pendapatan, dan luas garapan

Sultika 2010 Desa Sidamulih, Kecamatan

Pamarican, dan Desa Bojong, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

usia, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan

Suwardi 2010 Desa Sukaresmi, Kecamatan

Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

umur, kepemilikan lahan, mata pencaharian, dan pendidikan

Wijiadi 2007 Desa Sambirejo, Kecamatan

Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, luas lahan

Witantriasti 2010 Desa Gunung Sari, Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

usia, pendidikan, pengalaman usaha tani

Sumber: Diniyati et al. (2008), Sultika (2010), Suwardi (2010), Wijiadi (2007), dan Witantriasti


(24)

9

Witantriasti (2010) mengelompokkan karakteristik petani hutan rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor menjadi kelompok usia, pendidikan, dan pengalaman usaha tani. Pada karakteristik usia, dominansi terjadi pada kelompok usia 35–49 tahun, yang menunjukkan regenerasi usaha tani di lokasi tersebut. Dalam karakteristik pendidikan, dominansi terjadi di tingkat SD, yang menunjukkan keterbatasan sarana pendidikan di atas SD. Sedangkan dominansi yang terjadi di karakteristik pengalaman usaha tani ialah pada kelompok petani yang telah berusaha tani selama 20–30 tahun, yang menunjukkan bahwa mereka telah menggantungkan hidupnya kepada usaha tani untuk mencukupi kebutuhannya.

Karakteristik petani menurut Wijiadi (2007) meliputi usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, dan luas kepemilikan lahan. Karateristik usia menunjukkan hubungan usia produktif manusia dengan kenyataan usia petani hutan rakyat. Karakteristik pendidikan menunjukkan ketersediaan sarana pendidikan, tingkat perekonomian, dan kemampuan menerima inovasi. Karakteristik jumlah anggota keluarga menunjukkan jumlah tanggungan secara ekonomi rumah tangga petani. Karakteristik pekerjaan menunjukan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sedangan karakteristik luas kepemilikan lahan menunjukkan pemerataan luas kepemilikan lahan.

2.2.2 Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat

Motivasi menurut Sudaryanto et al. (1987) dalam Witantriasti (2010) merupakan faktor dalam (endogen) yang tumbuh dalam diri manusia yang berupa nilai-nilai yang mendorong untuk memanfaatkan kesempatan dan atau mengambil manfaat dari kondisi-kondisi yang menguntungkan. Secara singkat, motivasi dapat dikatakan sebagai motif yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Minat dari dalam tersebut akan tercermin dalam perilaku yang sebenarnya merupakan kumpulan fantasi dari berbagai aspek. Motivasi dalam diri manusia terdorong karena adanya keinginan untuk hidup, keinginan untuk memiliki sesuatu, dan keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan pengakuan.

Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan motivasi pemanenan kayu rakyat seperti terlihat pada Tabel 4. Hasil penelitian Suryandari dan Puspitojati (2003) mengemukakan bahwa keputusan pemanenan hutan rakyat


(25)

bukanlah berdasarkan pertimbangan ekonomi pohon, tetapi berdasarkan pertimbangan desakan ekonomi petani itu sendiri. Hal ini yang memunculkan istilah daur butuh, yaitu keputusan menebang ditentukan oleh kebutuhan petani. Jangka waktu periode penebangan masih belum teratur karena waktu penebangan dan jumlah pohon yang ditebang masih berdasarkan kebutuhan ekonomi yang mendadak seperti adanya hajatan pernikahan, khitanan, pendidikan, dan lain-lain.

Tabel 4 Motivasi pemanenan kayu rakyat menurut berbagai sumber

Sumber Tahun Lokasi penelitian Karakteristik

Butar-Butar 2006 Desa Burno, Kecamatan

Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur

membayar utang, biaya pendidikan, dan lain-lain Suryandari dan

Puspitojati

2003 Priangan Timur hajatan pernikahan, khitanan,

pendidikan, dan lain-lain

Witantriasti 2010 Desa Gunung Sari, Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

biaya sekolah, ongkos kesehatan, membangun rumah, maupun membangun masjid

Sumber: Butar-Butar (2006), Suryandari dan Puspitojati (2003), dan Witantriasti (2010)

Penelitian Butar-Butar (2006) mengatakan bahwa petani akan memanen tanaman apabila mereka anggap sudah menguntungkan, walaupun belum masak tebang, karena mereka berprinsip walaupun untungnya sedikit tetapi cepat hasil agar bisa menanam lagi. Desakan yang timbul seperti membayar utang, biaya pendidikan, dan lain-lain. Hal itu didukung oleh penelitian Handoko (2007), bahwa kegiatan pemanenan yang dilakukan petani hutan rakyat berupa pemilihan tegakan yang memiliki nilai jual yang dapat memenuhi kebutuhan yang jumlahnya cukup besar.

Penelitian Witantriasti (2010) menjelaskan bahwa kegiatan pemanenan di Desa Gunung Sari menerapkan sistem tebang pilih dengan kriteria umur yang cukup, walaupun tidak jarang yang belum memenuhi kriteria. Motivasi pemanenan kayu rakyat disebabkan oleh kebutuhan mendesak, seperti biaya sekolah, ongkos kesehatan, membangun rumah, maupun membangun masjid.

Kebutuhan mendesak diartikan sebagai kebutuhan yang pemenuhannya harus dilakukan dengan segera dalam jumlah yang besar. Pada saat yang sama, petani hutan rakyat tidak memiliki komoditas lain yang dapat digunakan untuk menutupi kebutuhannya tersebut. Itulah sebabnya hutan rakyat dinilai sebagai tabungan, dimana hasilnya untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut (Marlina 2010).


(26)

III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah melalui pengembangan hutan rakyat yang menghasilkan kayu rakyat (Syahadat 2006).

Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Jenis tanaman kayu-kayuan pada hutan rakyat umumnya dijadikan investasi yang bersifat jangka panjang. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil, biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia (Suharjito 2000). Hardjanto (2000) mengemukakan tentang kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan kurang penting dibanding komoditi lain oleh sebagian besar petani. Hal ini disebabkan karena kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian, dan sebagainya. Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan.

Pengelolaan hutan rakyat terletak pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Pemegang keputusan berada di kepala rumah tangga atau orang yang dituakan dalam rumah tangga. Kepala rumah tangga atau orang yang dituakan inilah yang kemudian dianggap sebagai petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat sebagai pemegang keputusan memiliki karakteristik yang beragam.

Petani hutan rakyat yang umumnya menganggap hutan rakyat sebagai usaha sampingan memiliki kebutuhan hidup masing-masing yang belum dapat tercukupi oleh pendapatan utama mereka atau bahkan kebutuhan yang bersifat mendesak (Witantriasti 2010). Kebutuhan mendesak diartikan sebagai kebutuhan yang pemenuhannya harus dilakukan dengan segera dalam jumlah yang besar (Marlina 2010). Selain itu, Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, petani hutan rakyat menggunakan hasil kayu rakyat dari lahan hutan rakyat


(27)

miliknya. Hal itulah yang membuat petani memiliki motivasi untuk melakukan salah satu tindakan pengelolaan hutan rakyat, yaitu pemanenan kayu rakyat.

Pola pemanenan kayu rakyat saat ini membuat petani tidak memperoleh manfaat secara ekonomi yang optimal. Hasil penjulan kayu saat dipanen sebelum mencapai daur volume maksimum akan lebih sedikit. Peran tanaman bagi lingkungan juga menjadi tidak optimal.

Menurut Awang (2007), keragaman karakteristik petani hutan rakyat membuat keragaman pola pengelolaan hutan rakyat. Salah satu kegiatan pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat, dimana di dalamnya terdapat motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan tertentu. Secara langsung, terdapat hubungan antara karakteristik petani hutan rakyat dan motivasi pemanenan kayu rakyat. Sejauh mana perbedaan karakteristik petani hutan rakyat dapat mempengaruhi kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat, sehingga dapat menggambarkan perilaku pemanenan kayu rakyat.

Sebagai contoh, jika petani berusia antara 40–44 tahun, motivasi pemanenan kayu rakyat dominan yang muncul ialah untuk biaya pendidikan, karena mereka memiliki anak yang akan atau sedang bersekolah di lembaga pendidikan yang membutuhkan biaya besar dan tidak tercukupi oleh pendapatan tetap mereka. Hal itu masih terkait dengan anggapan bahwa usaha hutan rakyat ialah usaha sampingan atau tabungan. Dengan demikian, karakteristik petani hutan rakyat dapat menjelaskan kondisi yang memungkinkan petani hutan rakyat melakukan pemanenan kayu rakyat miliknya.

Pemanenan kayu rakyat oleh petani disebabkan motivasi yang beragam, bergantung kebutuhan yang terjadi pada rumah tangga masing-masing. Hal ini yang menyebabkan adanya daur butuh, yaitu pemanenan yang lebih cepat daripada daur optimalnya. Daur butuh tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan yang optimal.

Jika dikaitkan dengan karakteristik petani masing-masing, motivasi-motivasi pemanenan kayu rakyat akan berkelompok sesuai karakteristik tertentu atau akan menyebar merata. Hal ini menjadi gambaran bagi tindakan pembinaan yang harus dilakukan dan sasaran yang dituju.


(28)

13

Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara. Hal ini menjelaskan bahwa hutan rakyat tidak hanya memiliki manfaat ekonomi semata, tetapi juga manfaat sosial, dan manfaat ekologi.

Hutan rakyat secara ekologis memiliki manfaat seperti mencegah erosi, menjaga ketersediaan air, mempertahankan suhu agar tetap stabil, penyerap sinar matahari yang mengganggu penglihatan, menjaga ketersediaan oksigen, pengurang karbon dioksida, dan habitat satwa. Pemanenan hutan rakyat menyebabkan kerusakan lingkungan kecil, seperti beberapa mata air yang mengering, perubahan cuaca di lingkungan sekitarnya, dan hilangnya habitat beberapa satwa. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan petani hutan rakyat sendiri yang tinggal di sekitar lahan hutan rakyatnya.

Kondisi petani yang kurang sejahtera membuat mereka akan meningkatkan frekuensi pemanenan, karena terkait status usaha hutan rakyat bagi mereka. Sementara kelestarian alam akan terganggu, yang pada saatnya akan membahayakan lingkungan tempat tinggal petani hutan rakyat dan menyebabkan potensi kayu rakyat berkurang. Pengendalian pemanenan hutan rakyat merupakan tindakan bijaksana dalam upaya menjaga manfaat hutan rakyat, yang salah satunya ialah sebagai penghasil kayu rakyat. Selain itu, perlu ada pembinaan keberlanjutan usaha hutan rakyat berupa upaya mempertahankan motivasi menanam dan meragamkan jenis tanaman yang ditanam oleh petani.

Secara ringkas, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. Bagan berawal dari kayu sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu selain dari hutan alam. Upaya mempertahankan manfaat hutan rakyat akan membuat keberlanjutan produksi kayu rakyat.


(29)

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitan ini dilaksanakan di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pada lokasi ini terdapat hutan rakyat yang dikelola oleh petani hutan rakyat yang telah berpengalaman dan pernah melakukan pemanenan kayu rakyat. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2010.

3.3 Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan terhadap petani pengelola hutan rakyat yang telah melakukan pemanenan kayu sebagai responden. Alat-alat yang digunakan antara lain: (1) daftar kuesioner, (2) alat tulis, (3) komputer, dan (4) perangkat lunak yang diperlukan, seperti Microsoft Office 2007.

Manfaat Ekonomi Manfaat Ekologi

Kayu Rakyat

Hutan Rakyat

Petani Hutan Rakyat

Motivasi Pemanenan Kayu Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Pembinaan Pengelolaan Hutan Rakyat

Kebutuhan Kayu Rakyat


(30)

15

3.4 Teknik Pengambilan Contoh

Metode penelitian ini ialah metode survei yang dilakukan terhadap cotoh atau responden dari populasi tertentu. Penentuan responden dilakukan secara

purposive dengan mempertimbangkan keterjangkauan lokasi responden dan efktivitas waktu penelitian. Responden penelitian ialah petani hutan rakyat yang pernah melakukan pemanenan kayu rakyat.

Populasi petani hutan rakyat di Desa Padasari sebanyak 110 jiwa. Dari jumlah tersebut, penelitian ini mengambil contoh secara purposive sebanyak 60 jiwa petani hutan rakyat sebagai responden penelitian. Dengan persentase contoh terhadap populasi sebesar 54,55%; contoh atau responden dianggap mewakili populasi karena lebih dari setengah jumlah populasi (> 50%)

3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Wawancara

Wawancara dilakukan dengan dua teknik, yaitu wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan melalui pertanyaan yang sesuai dengan yang tercantum dalam kuesioner (Lampiran 1). Sedangkan wawancara tidak terstruktur sifatnya lebih fleksibel serta terbuka untuk mendapatkan informasi tambahan atau pelengkap.

3.5.2 Observasi

Observasi dilakukan dalam wujud kegiatan pengamatan di lokasi penelitian. Selain itu, observasi juga dapat berwujud kegiatan pengukuran terhadap objek penelitian.

3.5.3 Pengumpulan literatur

Data-data sekunder yang dikumpulkan melalui pengutipan dan pencatatan data dari kantor desa, kantor kecamatan, dan kantor instansi-instansi terkait. Selain itu, studi pustaka dilakukan dengan cara mengamati, mempelajari atau mengutip hal-hal yang berhubungan dengan materi penelitian ini dari laporan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain.


(31)

3.6 Jenis Data

Pada penelitian ini diambil beberapa informasi yang diperlukan dan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) data primer, yaitu data yang diperoleh dari pertanyaan dalam kuesioner pada Lampiran 1; dan (2) data sekunder, yaitu data berupa (a) letak dan keadaan umum lokasi penelitian, seperti keadaan penduduk, jenis flora dan fauna, dan tata guna lahan; dan (b) data lain sebagai bahan penunjang.

3.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi sederhana. Metode pengolahan data yang digunakan ialah metode deskriptif untuk menggambarkan kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat.


(32)

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis

Menurut Monografi Desa Padasari (2009), Desa Padasari terletak di Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Adapun letak geografis wilayah Desa Padasari terletak antara 107°55'54" LU–6°46'11" LS. Selain itu, Desa Padasari merupakan kawasan pemukiman yang berada di kaki gunung sebelah barat daya Gunung Tampomas (1.684 mdpl). Kondisi topografi Desa Padasari yang berbukit-bukit sudah terlihat sejak dari jalan masuk menuju ke Desa Padasari seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Jalan masuk menuju ke Desa Padasari

Wilayah Desa Padasari seluas 159,87 ha, dengan ketinggian 1.600 mdpl. Menurut Rajati (2006), jenis tanah di Desa Padasari ialah tanah andisol (berasal dari endapan vulkanik dengan batuan breksi). Batas-batas Desa Padasari meliputi: sebelah utara berbatasan dengan Desa Boros, sebelah timur berbatasan dengan Desa Licin, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Citimun, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bayu Asih.


(33)

Menurut Monografi Desa Padasari (2009), jarak Desa Padasari dari pusat pemerintahan Kecamatan Cimalaka sejauh 7 km, jarak dari pemerintahan Kabupaten Sumedang sejauh 12 km, jarak dari Ibu Kota Propinsi Jawa Barat (Bandung) sejauh 47 km, dan jarak dari Ibukota Indonesia (Jakarta) sejauh 77 km.

4.2 Iklim

Menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Desa Padasari termasuk ke dalam tipe iklim B, curah hujan rata-rata 2.100 mm per tahun dan suhu udara 22 °C (Monografi Desa Padasari 2009). Menurut sistem klasifikasi Oldeman, Desa Padasari termasuk ke dalam tipe D3, artinya bahwa wilayah ini memiliki 3– 4 bulan basah selama setahun dan hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam (Rajati 2006).

4.3 Kependudukan

Berdasarkan Monografi Desa Padasari (2009), jumlah penduduk desa tersebut sejumlah 2.306 jiwa, terdiri dari 1.145 jiwa pria, 1.161 jiwa wanita, dan 728 Kepala Keluarga (KK). Seluruh penduduk Desa Padasari memeluk Agama Islam. Rasio kepadatan penduduk Desa Padasari sebesar 14.424 jiwa per km2, dengan luas 0,15987 km2. Sebagai perbandingan, rasio kepadatan penduduk Propinsi Jawa Barat sebesar 1.126 jiwa per km2, dengan luas 34.816,96 km² (BPS 2010a). Jika diperbandingkan, rasio kepadatan penduduk Desa Padasari 1.280,99% rasio kepadatan penduduk Propinsi Jawa Barat, sementara luas Desa Padasari 0,00046% luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian, kepadatan penduduk Desa Padasari termasuk jarang, karena persentase rasio kepadatan penduduk tidak sesuai dengan persentase luas wilayah (BPS 2010b).

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, secara umum mata pencaharian umum masyarakat Desa Padasari ialah bertani dan berkebun. Hasil pertanian berupa padi umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sedangkan hasil perkebunan berupa cengkeh, kopi, lada, cabai merah, cabai rawit, vanili, dan buah-buahan umumnya dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Selain mata pencaharian di atas, dijumpai pula mata pencaharian seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat


(34)

(TNI-19

AD), pengusaha, supir, buruh, pedagang, pengajar, dan sebagainya. Jenis mata pencaharian yang beragam tersebut tersebar dengan jumlah yang sedikit (data kuantitatif tidak ada).

4.4 Tata Guna Lahan

Menurut Tabel 5, persentase alokasi lahan terluas ialah sawah dan ladang, yakni seluas 70,09 ha (43,84%). Alokasi lahan untuk hutan rakyat termasuk ke dalam alokasi sawah dan ladang.

Tabel 5 Alokasi penggunaan lahan di Desa Padasari

No. Alokasi Luas (ha) Persentase (%)

1. Sawah dan Ladang 70,09 43,84

2. Jalur Hijau 40,00 25,02

3. Pemukiman 16,00 10,01

4. Jalan 5,00 3,13

5. Bangunan Umum 2,00 1,25

6. Pemakaman 1,00 0,63

7. Empang 0,16 0,10

8. Lain-lain 25,62 16,03

Total 159,87 100,00

Sumber: Monografi Desa Padasari (2009)

Persentase lokasi terbesar kedua ialah jalur hijau, seluas 40 ha (25,02%). Adapun jalur hijau ialah kawasan yang harus tetap ditanami dan ditumbuhi pepohonan, seperti daerah kanan kiri sungai (kakisu), sisi danau, dan sisi jalan.

4.5 Flora dan Fauna

Flora kawasan ini termasuk tipe hujan hujan pegunungan, floranya terdiri dari beraneka ragam jenis pohon-pohonan berkayu serta jenis-jenis dari golongan liana dan epifit. Flora yang mendominasi kawasan antara lain jamuju (Podocarpus imbricatus), rasamala (Altingia excelsea), dan saninten (Castanea argentea). Fauna yang hidup dalam kawasan ini antara lain kancil (Tragullus javanicus), lutung (Trachypithecus auratus), babi hutan (Sus vitatus), dan beberapa jenis burung.


(35)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat

Potensi jenis tanaman kayu komersil (komoditas perdagangan) yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat di Desa Padasari antara lain seperti tercantum pada Tabel 6. Sedangkan tanaman perkebunan yang dikembangkan petani hutan rakyat antara lain: kopi, lada, cengkeh, vanili, dan tanaman buah-buahan.

Tabel 6 Potensi jenis tanaman kayu komersil di Desa Padasari

No. Nama lokal Nama umum Nama ilmiah*

1. Antopeka Mahoni uganda Khaya anthotheca

2. Bayur Bayur Pterospermum javanicum Jungh.

3. Dahu Dahu Dracontomelon mangiferum Bl.

4. Durian Durian Durio zibethinus Murr

5. Jati Jati Tectona grandis L.f.

6. Kamper Kamper Dryobalanops aromatica Gaertn.

7. Kelapa Kelapa Cocos nucifera L.

8. Ki Hiang Wangkal Albizia procera (Roxb.) Benth

9. Mahoni Mahoni Swietenia mahagoni (L.) Jacq.

10. Manglid Manglid Magnolia Blumei Prantl.

11. Matoa Matoa Pometia pinnata J.R.& G.Forst

12. Menteng Menteng Baccaurea racemosa Muell. Arg

13. Mindi Mindi Melia azedarach L.

14. Nangka Nangka Artocarpus heterophyllus Lam

15. Picung Kluwak Pangium edule

16. Puspa Puspa Schima wallichii (DC.) Korth.

17. Salam Salam Syzygium polyanthum Wigh Walp

18. Sengon merah Sengon Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen

19. Sobsi Kayu afrika Maesopsis eminii Engl.

20. Surian Surian Toonasp.

21. Teureup Benda Artocarpus elastica Reinw

22. Tisuk Waru Gunung Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem

* Sumber: Plantamor (2010)

Berdasarkan hasil pengamatan, hutan rakyat di Desa Padasari merupakan usaha turun temurun, sehingga petani pemilik lahan saat ini tidak membangun hutan rakyat dari awal. Tanaman kehutanan yang terdapat di lahan petani umumnya berasal dari tanaman alami yang tumbuh di tempat tersebut atau ditanam oleh orang tua petani saat ini. Dengan kata lain, hutan rakyat di Desa Padasari berusia cukup tua.

Gambar 3 memperlihatkan salah satu lokasi tegakan hutan rakyat di Desa Padasari. Tegakan yang terlihat cukup rapat dan tinggi. Pada gambar juga dapat


(36)

22

dilihat tanaman muda yang berada di bawah naungan sebagai tanda bahwa terdapat permudaan pada tegakan hutan rakyat di Desa Padasari.

Gambar 3 Kondisi tegakan hutan rakyat di Desa Padasari

Adapun teknik silvikultur yang diterapkan petani ialah teknik permudaan campuran antara alami dan buatan. Permudaan alami berasal dari perkembangbiakan tanaman-tanaman itu sendiri. Sedangkan permudaan buatan dilakukan dengan menanami kembali lahan yang kosong setelah pemanenan.

Pada proses permudaan tanaman kehutanan, teknik-teknik yang diterapkan masih sederhana. Teknik persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan dari rumput dan tanaman liar sampai mencukupi untuk penanaman bibit tanaman kehutanan. Bibit yang diperoleh berasal dari persemaian sederhana milik kelompok tani Bagjamulya.


(37)

Teknik penanaman cukup sederhana, yaitu dengan teknik cabutan. Tidak ada keterangan jelas mengenai waktu yang khusus untuk melakukan penanaman. Jarak tanam yang diterapkan petani beragam, berkisar antara 11 m sampai 66 m, namun pada umumnya jarak tanam yang diterapkan ialah 33 m. Petani juga tidak mengkhususkan jenis tertentu dengan jarak tanam tertentu, pada prinsipnya bahwa tanaman kehutanan ditanam cukup renggang agar dapat tumbuh dengan baik. Jika terdapat jarak tanam yang renggang, itu merupakan alokasi untuk penanaman tanaman perkebunan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, petani di Desa Padasari menerapkan sistem

agroforestry dengan pola penanaman acak dan mosaik. Hal ini disebabkan oleh topografi lahan yang cenderung miring dan berbukit-bukit akibat keberadaan wilayah Desa Padasari yang terletak di kaki Gunung Tampomas.

Gambar 4 Penerapan sistem agroforestry oleh petani hutan rakyat di Desa Padasari

Penerapan sistem agroforestry dapat dilihat pada Gambar 4, dimana tanaman kehutanan ditanam berkelompok pada celah antara kumpulan tanaman kehutanan. Tanaman perkebunan yang dibudidayakan oleh petani di Desa


(38)

24

Padasari antara lain cengkeh, kopi, lada, vanili, cabai merah, cabai rawit, dan buah-buahan. Pemanenan tanaman tersebut umumnya dilakukan tahunan. Pada gambar juga dapat dilihat bahwa penanaman tanaman perkebunan dilakukan pada lahan yang datar, sedangkan tanaman kehutanan tidak terpengaruhi topografi.

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani hanya sebatas memberikan ruang yang cukup bagi tanaman agar bisa tumbuh tanpa hambatan dari tanaman sekitarnya. Bentuk pemeliharaan seperti pembersihan rumput dan tanaman pengganggu lain di sekitar tanaman tersebut. Jika sudah cukup besar, pemangkasan batang dilakukan untuk membentuk tajuk yang rapi dan batang utama yang lurus. Kegiatan penyulaman juga dilakukan apabila terdapat tanaman yang kering atau mati, bibit untuk penyulaman berasal dari anakan tanaman di sekitarnya. Frekuensi pemeliharaan tidak dilakukan secara teratur.

Di samping menerapkan sistem agroforestry, petani juga mengolah lahannya untuk sawah. Hasil dari sawah umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sendiri. Hal ini disebabkan harga gabah yang cenderung rendah, gangguan hama, dan cuaca yang sulit diprediksi sehingga petani terkadang merugi jika menjual hasil sawah mereka. Akan tetapi, untuk petani yang memiliki lahan sawah luas, mereka tetap akan menjual sebagian hasilnya. Kontribusi pendapatan dari sawah sebesar 14,25%, seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kontribusi sumber pendapatan tahunan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat di Desa Padasari

Sumber pendapatan Jumlah pendapatan tahunan (Rp/th) Kontribusi (%)

Kebun 126.658.000 8,06

Gula aren 27.000.000 1,72

Kayu rakyat 32.654.024 2,08

Sawah 223.800.000 14,25

Ternak 110.100.000 7,01

Buruh 177.500.000 11,30

Gaji 493.460.000 31,41

Dagang 298.850.000 19,02

Jasa 81.000.000 5,16

Total 1.571.022.024 100,00

Tabel 7 memperlihatkan struktur kombinasi sumber pendapatan tahunan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat. Sumber pendapatan terbesar berasal dari gaji, yaitu 31,41%. Kontribusi sumber pendapatan dari usaha hutan rakyat sebesar 11,48%. Hasil dari hutan rakyat mencakup hasil kebun


(39)

(8,06%), gula aren (1,72%), dan kayu rakyat (2,08%). Kontribusi usaha kayu rakyat yang rendah diakibatkan oleh banyaknya pemakaian kayu rakyat untuk penggunaan pribadi (Lampiran 3).

Pada tahun 1991, beberapa petani di Desa Padasari membentuk kelompok tani yang bernama Bagjamulya. Saat ini, Kelompok Tani Bagjamulya dipimpin oleh Bapak Entis Sutisna dan memiliki anggota berjumlah 33 jiwa petani. Adapun petani yang terdapat di Desa Padasari sejumlah 110 jiwa petani. Kegiatan Kelompok Tani Bagjamulya ialah melakukan pembinaan kepada anggota tentang teknik budidaya tanaman-tanaman komersil yang cocok dengan kondisi lingkungan di desa tersebut. Manfaat keanggotaan kelompok tani ialah kemudahan akses bantuan yang berbentuk bibit tanaman dari Dinas Kehutanan Sumedang; dan bimbingan teknik budidaya tanaman komersil, baik tanaman kehutanan maupun tanaman perkebunan.

Keanggotaan kelompok tani Bagjamulya hanya 30% dari seluruh petani yang terdapat di Desa Padasari. Hal itu disebabkan oleh dua sebab, yaitu kekurangan kesadaran tentang manfaat keanggotaan kelompok tani, atau rasa kekecewaan terhadap kelompok tani Bagjamulya yang dianggap tidak aspiratif dan kurang adil.

Petani di Desa Padasari terdiri dari tiga jenis, yaitu petani lokal petani hamparan, dan petani penggarap. Petani lokal ialah petani yang bertempat tinggal dan memiliki lahan di wilayah Desa Padasari. Petani hamparan ialah petani yang hanya memiliki lahan di wilayah Desa Padasari, sementara tempat tinggal mereka di desa lain. Petani penggarap ialah petani yang menggarap lahan milik orang lain. Umumnya, petani hamparan bekerja sama dengan petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Menurut penuturan masyarakat setempat, lahan petani hamparan lebih luas, karena lahan tersebut diperoleh dari hasil pembelian, sementara petani lokal memperoleh lahan dari warisan yang umumnya sudah dibagi-bagi.

Kegiatan inventarisasi tegakan yang dilakukan petani berupa penaksiran sederhana terhadap besar batang (diameter) dan tinggi pohon. Petani jarang sekali melakukan pengukuran diameter dan tinggi dengan menggunakan alat-alat khusus seperti meteran atau pengukur tinggi. Jika sudah diukur dengan salah satu alat


(40)

26

pengukur tersebut, terutama pengukur diameter, maka mereka sudah dapat menaksir pertumbuhan dan perkembangan pohon tersebut selanjutnya.

Berdasarkan keterangan masyarakat setempat, petani di Desa Padasari memiliki pemahaman mengenai kelestarian alam lingkungan mereka. Petani berpandangan bahwa mereka akan berusaha memelihara lokasi lahan yang terletak di hulu sungai, karena merupakan sumber air bagi lingkungan tempat tinggal mereka. Jika lahan mereka berada di daerah tersebut, maka mereka akan mengolahnya dengan bijaksana, walaupun tetap mengusahakan lahan tersebut agar dapat memberikan nilai ekonomi bagi mereka. Setidaknya, mereka tidak akan membiarkan lahan tersebut tidak terawat. Bentuk kebijaksanaan mereka ialah dengan memanen tanaman kayu jika memang terpaksa sekali.

Pada bulan Agustus 2010, di Desa Padasari telah terjadi bencana tanah longsor. Lokasi bencana terjadi pada lahan bukan pemukiman. Kejadian tersebut telah mengubur lahan perkebunan milik sejumlah petani. Menurut keterangan beberapa peneliti yang memberitahukan kepada masyarakat setempat, tanah di Desa Padasari didominasi kandungan pasir, sehingga mudah longsor bila terguyur hujan yang cukup lama. Kejadian ini juga membuat pemerintah setempat membuat himbauan untuk mengungsi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah yang topografinya cukup curam. Relokasi pemukiman saat ini sedang direncanakan untuk menjamin keselamatan masyarakat.

5.2 Pemanenan Kayu Rakyat

Potensi tanaman kayu komersil di Desa Padasari terdiri dari beberapa jenis (Tabel 6). Berdasarkan hasil wawancara, jenis yang menjadi unggulan ialah jenis mahoni, karena harga jualnya yang lebih tinggi dibandingkan tanaman kayu lain (Lampiran 3). Harga jual kayu jenis mahoni berkisar antara Rp 250.000,00/pohon sampai Rp 1.667.000,00/pohon, bergantung pada besar diameter dan umur. Sebagian besar petani hutan rakyat di Desa Padasari memiliki jenis tisuk atau waru gunung di lahan mereka, karena jenis ini memang tumbuh secara alami.

Morfologi tisuk (Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem) dicirikan oleh bentuk batang yang lurus dengan tinggi pohon sekitar 20 m, tinggi batang bebas cabang 7,5 m dan berdiameter 35 cm. kulit pohon berwarna abu-abu kecoklatan. Tajuk pohon tisuk ini bersifat terbuka, tidak teratur dan bercabang sedikit. Daun


(41)

penumpunya besar dan menutup kuncup daun yang bila gugur meninggalkan bekas berbentuk gelang mengelilingi ranting. Daunnya tunggal, bundar dengan ujung lancip dan berukuran besar, berbulu halus dan bertangkai panjang. Urat daun utamanya sekitar 7 buah yang tersusun seperti jari.

Kayu tisuk memiliki potensi yang cukup besar dari segi manfaatnya, maupun kegunaannya. Salah satu manfaat kayu tisuk dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, batang, dan kotak korek api.

Seperti telah diungkapkan oleh Hardjanto (2000), bahwa kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan kurang penting dibanding komoditi lain oleh sebagian besar petani hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian. Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan. Petani hutan rakyat di Desa Padasari memiliki pandangan yang sama pula. Mereka hanya melakukan pemanenan kayu rakyat hanya pada kondisi tertentu. Kontribusi pendapatan tahunan dari kayu rakyat hanya sebesar 2,08% dari pendapatan total tahunan (Tabel 7).

Dalam proses pemanenan, para petani menunggu tawaran dari pihak yang mereka sebut sebagai bandar atau pedagang pengumpul untuk membeli kayu milik mereka yang masih berupa tegakan. Setelah muncul tawaran dari pedagang pengumpul, petani melakukan negosiasi harga jual. Dalam proses negosiasi ini, petani jarang menggunakan data fisik tegakan mereka seperti diameter dan tinggi hasil pengukuran. Pedagang pengumpul terkadang tidak jauh berbeda, mereka sebelumnya hanya melakukan survei pendahuluan tentang kondisi lokasi, keadaan tegakan, dan jumlah tegakan di sana. Dasar penentuan harga yang digunakan oleh petani ialah besar batang utama pohon, jenis, dan jumlah pohon yang akan dijual. Secara umum ketika pedagang pengumpul sudah mencukupi kewajibannya terhadap petani, maka petani tidak ikut campur terhadap masalah proses penebangan dan pengangkutan.

Sebagai pembeli tahap pertama, pedagang pengumpul bertanggung jawab terhadap proses penebangan dan pengangkutan termasuk biaya-biaya di dalamnya. Dalam proses penebangan, pedagang pengumpul telah memiliki jaringan terhadap


(42)

28

sumber daya manusia, peralatan penebangan, dan peralatan pengangkutan. Gambar 5 memperlihatkan alat yang biasa digunakan untuk proses penebangan kayu rakyat (chainsaw) di Desa Padasari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedagang pengumpul sebelum bernegosiasi harga dengan petani belum memiliki data pengukuran yang pasti atau tepat. Ketika dalam proses penebangan, mereka melakukan pengukuran dimensi kayu masing-masing tegakan. Hasil pengukuran tersebut hanya menjadi rahasia mereka sendiri.

Setelah proses penebangan, pedagang pengumpul mengangkut kayu yang telah berupa sortimen ke lokasi-lokasi penumpukan yang berbeda-beda menurut jaringan yang mereka miliki. Gambar 6 memperlihatkan proses pengangkutan kayu rakyat dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu rakyat semsntara. Kayu hutan rakyat tersebut kemudian menunggu permintaan dari industri perkayuan baik di daerah sekitar maupun dari daerah lain. Industri yang umumnya membeli kayu rakyat tersebut ialah industri furnitur skala kecil sampai menengah.


(43)

Selain dijual dalam bentuk tegakan, petani hutan rakyat di Desa Padasari pun melakukan pemanenan kayu untuk digunakan sendiri. Petani menyewa tenaga kerja harian untuk menebang pohon yang akan dipanen. Biaya yang ditimbulkan proses pemanenan menjadi tanggung jawab petani sendiri. Kayu hasil pemanenan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk membangun rumah, memperbaiki rumah, atau sebagai bahan baku produksi usaha furnitur mereka sendiri.

Syahadat (2006) memberikan penjelasan bahwa untuk lebih mengoptimalkan dalam pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam pemberian izin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu: (a) pemanfaatan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri; dan (b) pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan.

Gambar 6 Proses pengangkutan kayu

Dengan merujuk pada Pasal 33, ayat (1) SK Menteri Kehutanan No. 126/2003 menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum yang memiliki hutan


(44)

30

hak atau rakyat yang akan melakukan penebangan pohon wajib melaporkan rencana penebangan kepada Kepala Desa setempat atau pejabat setara yang diangkat Kepala Dinas Propinsi dengan tembusan Kepada Kepala Dinas Kabupaten, kemudian pada ayat (2) Penyampaian rencana penebangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan: a) bukti kepemilikan hak atas tanah; b) peta areal hutan hak atau rakyat yang berisi letak, luas dan batas-batasnya diketahui oleh camat setempat; dan c) potensi tegakan hutan hak atau rakyat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/2005 pasal 17, ayat (1) yang menyatakan bahwa semua hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berupa rotan dan gaharu dari areal hutan hak yang akan digunakan dan atau diangkut ke daerah lainnya dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setara.

Untuk lebih mengoptimalkan dalam penatausahaan hasil hutan umumnya dan khususnya di hutan rakyat, maka dalam upaya menjaga kelestarian hutan sesuai dengan PP No. 34/2002, pejabat yang berwenang dalam menerbitkan bukti kepemilikan kayu rakyat atau SKAU dalam hal ini adalah Kepala Desa atau pejabat yang setara diberikan pelatihan setingkat pejabat penerbit lainnya seperti Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan (P2LHP), Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) dan kemudian diberikan sertifikat serta Surat Ijin Penerbitan SKAU (SIPSKAU), sedangkan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap pejabat tersebut dilakukan oleh Dinas Kabupaten setempat yang membidangi kehutanan.

Selanjutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 126/2005, pasal 33 ayat (3) huruf (d), yaitu kayu yang akan diterbitkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) untuk diangkut atau dijual ke industri pengolahan kayu wajib dilakukan pengukuran oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi Penguji Hasil Hutan (PHH), dan kemudian dalam huruf (e), dinyatakan bahwa hasil pemeriksaan dituangkan dalam Daftar Hasil Hutan dengan cap Kayu Rakyat (DHH-KR), dengan prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditandatangani oleh petugas bersangkutan sebagai dasar penerbitan SKSHH oleh


(45)

P2SKSHH. DHH-KR dibuat atas dasar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh PHH, dan harus disahkan oleh petugas Kehutanan yang berkualitas PHH, dan ini merupakan dasar dalam permohonan penerbitan SKSHH. Kemudian pada pasal 35, ayat (1) SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, dinyatakan bahwa pemilik hutan hak atau rakyat termasuk pemilik kebun yang memanfaatkan kayu bulat dari

land clearing wajib membuat dan melaporkan realisasi penebangan atau pemanenan dan pengangkutan kayu bulat dengan menggunakan format blanko Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB), dan kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten dengan tembusan Kepala Dinas Propinsi.

SKSHH sendiri terdiri dari tujuh lembar. Lembar pertama dan kedua menyertai perjalanan perjalanan kayu. Lembar ketiga dikirim ke Dinas Kehutanan Pusat sebagai arsip. Lembar keempat dikirim ke Kepala Dinas daerah yang dituju. Lembar kelima menjadi arsip penerbit, yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan (UPTD Kehutanan). Lembar keenam diberikan kepada pembeli kayu. Lembar terakhir dikirim ke Dinas Kehutanan Propinsi.

Walaupun prosedur telah disusun, tetapi pada pelaksanaan seringkali terjadi beberapa hal yang diluar prosedur. Petani seringkali tidak melakukan koordinasi dengan Kepala Desa atau UPTD Kehutanan setempat, karena menganggap bahwa kayu yang dijual ialah milik mereka dan berada di tanah mereka yang legal. Selain itu, tidak sedikit pula terdapat oknum yang mengatasnamakan UPTD Kehutanan dan melakukan pungutan liar terhadap petani maupun pedagang pengumpul. Tidak hanya itu, proses yang dilakukan oleh UPTD Kehutanan tidak jarang sangat memakan waktu, sementara petani tidak dapat menunggu lama karena kebutuhan mereka tidak dapat ditangguhkan. Jumlah tegakan yang dipanen juga terkadang menjadi penyebab petani tidak mau berkoordinasi dengan UPTD Kehutanan setempat, karena jumlah tegakan yang dipanen hanya sedikit.

Gambar 5 memperlihatkan kondisi tegakan hutan rakyat pasca pemanenan. Petani akan menanami kembali lokasi ini dengan dua pilihan yang bergantung pada kebutuhan mereka. Jika lahan perkebunan mereka saat ini dirasakan terlalu sempit, mereka akan menanami lahan pasca pemanenan ini dengan tanaman


(46)

32

perkebunan. Bila mereka sudah merasa cukup memiliki lahan untuk perkebunan, mereka menanami lokasi ini dengan tanaman kehutanan.

Gambar 7 Kondisi hutan rakyat pasca pemanenan kayu rakyat di Desa Padasari Selain hasil hutan kayu, hutan rakyat di Desa Padasari memiliki potensi lain walaupun tidak banyak berupa hasil hutan bukan kayu, yaitu gula aren dan bambu. Prioritas usaha gula aren lebih menonjol dibandingkan dengan bambu, karena mereka membudidayakan tanaman aren secara teratur.

5.3 Karakteristik Petani Hutan Rakyat 5.3.1 Kelompok Usia

Karakteristik kelompok usia dapat menunjukkan beberapa hal, antara lain regenerasi usaha tani di lokasi tersebut (Witantriasti 2010) dan hubungan usia produktif manusia dengan kenyataan usia responden (Wijiadi 2007). Pada Tabel 8, penyajian data disesuaikan dengan penyajian data yang dilakukan oleh BPS (2005). Responden penelitian ini menyebar antara kelompok usia 30–34 tahun sampai kelompok usia 80–84 tahun. Sebaran responden terbanyak ialah pada kelompok usia 60–64 tahun sebanyak 14 jiwa (23,33%).


(47)

Menurut BPS (2010c), usia produktif berkisar antara usia 15–64 tahun. Pada Tabel 8, terdapat 41 jiwa (68,33%) responden yang berada pada usia produktif. Dengan demikian, sebagian besar responden memiliki kemampuan untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dirinya pribadi atau keluarganya.

Tabel 8 Sebaran responden menurut kelompok usia

Kelompok usia (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

30–34 2 3,33

35–39 0 0,00

40–44 6 10,00

45–49 6 10,00

50–54 6 10,00

55–59 7 11,67

60–64 14 23,33

65–69 7 11,67

70–74 7 11,67

75–79 3 5,00

80–84 2 3,33

Total 60 100,00

Terdapat beberapa hal menarik yang ditemukan di lokasi penelitian berkaitan dengan kelompok usia. Penyebaran dominan kelompok usia 60–64 tahun menunjukkan bahwa pemegang keputusan dalam lembaga pengelolaan hutan rakyat di Desa Padasari masih berada pada orang-orang yang sudah berusia cukup lanjut, walaupun mereka masih termasuk ke dalam usia produktif. Dengan kata lain, kepemilikan lahan masih dimiliki oleh petani-petani yang sudah berusia lanjut. Menurut mereka, kepemilikan akan diwariskan setelah mereka sudah tidak mampu lagi mengelola lahan yang ada, atau jika anak-anak mereka mengalami kesulitan keuangan. Adapun pemuda-pemudi di Desa Padasari lebih memilih untuk mencari nafkah lain di daerah lain seperti kawasan perkotaan atau desa lain. Mereka tidak terlalu tertarik untuk menjadi petani, karena dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman, cenderung kurang sejahtera, dan identik dengan orang yang berusia lanjut.

5.3.2 Jenis Kelamin

Karakteristik jenis kelamin dapat memberikan gambaran pengelolaan hutan rakyat berdasarkan jenis kelamin (Suwardi 2010). Pada Tabel 9, Sebaran responden terbanyak terjadi pada jenis kelamin pria sebanyak 56 jiwa (93,33%). Secara umum petani hutan rakyat ialah seseorang yang berperan sebagai kepala


(1)

No. Usia (thn)

Jenis

Kela-min

Jumlah Anggota Keluarga

(jiwa)

Pengalaman Berusaha

Tani (thn)

Pendidikan Terakhir

Luas (ha)

Penghasilan bulanan (Rp/bln)

Pekerjaan Pokok

1. 50 L 4 16 SD 1.752 4,309,583 Petani

2. 48 L 4 7 SMA 0.376 8,971,667 Pengusaha

3. 70 L 4 10 SLTP 0.500 1,323,333 Petani

4. 58 P 4 20 SLTP 0.602 470,556 Petani

5. 40 L 4 10 SMA 0.280 729,048 Petani

6. 70 L 5 40 SMA 0.420 1,731,667 Petani

7. 56 L 4 30 SD 0.112 1,191,944 Petani

8. 34 L 4 11 SMA 0.350 1,641,875 Tukang Servis

9. 56 L 4 43 SD 0.350 893,333 Petani

10. 56 L 3 30 SLTP 1.640 8,727,778 Pedagang

11. 43 L 3 20 SD 0.105 2,532,500 Pedagang

12. 60 L 2 40 SD 0.273 631,667 Petani

13. 53 L 3 10 SD 0.070 2,154,167 Pengojek

14. 51 L 3 20 SD 0.105 3,083,333 Petani

15. 60 L 4 40 SD 0.490 790,000 Petani

16. 67 L 3 43 SD 0.280 971,389 Pedagang

17. 64 L 3 30 SD 0.175 365,833 Petani

18. 50 L 4 15 SD 0.210 883,750 Petani

19. 63 L 4 30 SD 1.210 2,460,000 Petani

20. 43 L 3 15 S1 0.140 4,333,333 Guru SD

21. 43 L 3 15 SLTP 0.252 1,620,000 Pesuruh

22. 61 L 3 25 SMA 0.434 1,944,792 Petani

23. 53 L 5 20 SMA 1.000 7,260,000 Petani

24. 63 L 5 48 SD 0.308 1,032,372 Petani

25. 40 L 4 18 SMA 0.780 3,691,190 Kepala Desa

26. 63 L 5 20 S1 1.092 4,999,740 Petani

27. 70 L 8 25 SMA 0.420 1,375,000 Petani

28. 65 L 3 30 SD 0.140 933,333 Petani

29. 49 L 5 12 SLTP 0.322 5,525,556 TNI-AD

30. 65 P 2 10 SLTP 0.371 1,556,250 Pedagang

31. 56 L 3 26 SD 0.112 1,068,333 Petani

32. 70 L 4 52 SD 0.182 1,833,333 Petani

33. 45 L 4 15 SD 0.420 180,000 Petani

34. 56 L 6 20 SLTP 0.140 651,667 Pengrajin

35. 62 L 4 6 SLTP 0.630 2,250,000 Petani

36. 69 L 6 29 S1 1.078 3,703,167 Petani

37. 48 L 4 23 SD 0.168 73,333 Petani

38. 75 L 3 45 SD 0.210 655,556 Petani

39. 84 L 10 26 S1 0.980 4,410,000 Petani

40. 61 L 3 41 SD 1.750 2,816,667 Petani

41. 45 L 4 4 SLTP 0.154 990,000 Petani

42. 63 L 3 7 SLTP 0.350 1,522,917 Petani

43. 64 L 2 10 SD 0.280 1,220,000 Petani

44. 75 L 3 60 SD 0.049 1,381,944 Petani

45. 63 L 2 40 SD 0.056 1,375,000 Petani

46. 67 L 2 45 SD 0.490 429,167 Petani

47. 67 L 2 43 SD 1.280 1,118,229 Petani

48. 61 L 2 54 SD 0.556 531,449 Petani


(2)

Lampiran 2 Lanjutan

No. Usia (tahu n)

Jenis

Kela-min

Jumlah Anggota Keluarga

(jiwa)

Pengalaman Berusaha

Tani (tahun)

Pendidikan Terakhir

Luas (hektar

e)

Penghasilan bulanan (Rp/bln)

Pekerjaan Pokok

49. 43 L 4 15 SD 0.640 440,000 Petani

50. 62 P 3 33 SD 1.420 953,333 Petani

51. 82 L 3 63 SD 0.280 2,963,542 Petani

52. 72 L 3 25 SLTP 0.140 2,000,000 Petani

53. 33 L 3 7 SLTP 0.140 2,183,333 Petani

54. 55 L 3 20 SD 0.210 1,343,833 Petani

55. 77 L 3 10 SLTP 0.280 3,096,250 Supir

56. 49 L 5 13 SLTP 0.350 1,668,667 Pengusaha

57. 67 P 1 44 SLTP 0.336 1,555,000 Petani

58. 71 L 2 12 SMA 0.280 2,800,000 Petani

59. 50 L 3 10 SLTP 0.210 4,166,667 Mandor

Bangunan

60. 71 L 3 30 SMA 1.850 3,823,333 Petani


(3)

No. Resp.

Tahun Tebang

Jenis Jumlah Pohon

Harga Jual (Rp)

Umur Tegakan

(tahun)

Harga Jual Pohon (Rp/phn)

Motivasi

1. 2007 salam

mahoni

picung

rambutan

hantap

Sub-total 17 17.000.000 40 1.000.000 Membeli tanah

2. 2010 mahoni 11 10 Membangun rumah

3. 2004 sengon 25 7,5

ki hiang 6 70

mahoni 2 25

Sub-total 33 75.000.000 2.272.727 Membeli tanah Membangun rumah 4. 2009 mahoni 20 5.500.000 15 275.000 Biaya penidikan 5. 2010 mahoni 6 3.000.000 7 500.000 Membangun rumah

6. 2009 surian 5 15 Membangun rumah

7. 2009 mahoni 15 5.000.000 15 333.333 Biaya kesehatan

8. 2010 surian

mindi

Sub-total 6 4.500.000 8 750.000 Membangun rumah

2009 sobsi

surian

antopeka

Sub-total 15 23 Membangun rumah

9. 2010 surian 5 Membangun rumah

10. 2009 mahoni 20 20.000.000 15 1.000.000 Ongkos naik haji 11. 2009 mahoni 4 2.100.000 15 525.000 Modal usaha 12. 2009 surian 15 6.000.000 12 400.000 Memperbaiki rumah 13. 2009 mahoni 2 2.000.000 20 1.000.000 Modal usaha

14. 2008 surian 5 11 Membangun rumah

15. 2007 antopeka

mahoni

Sub-total 30 15.000.000 15 500.000 Membeli tanah 16. 2009 surian 5 3.250.000 15 650.000 Modal usaha 17. 2010 antopeka 4 1.500.000 10 375.000 Modal usaha 18. 2009 surian 11 7.500.000 20 681.818 Modal usaha 19. 2010 surian 6 3.000.000 15 500.000 Membangun rumah

20. 2010 sengon 3 8 Membangun rumah

21. 2003 mahoni

manglid

Sub-total 6 6.000.000 25 1.000.000 Membangun rumah

2002 bayur

tisuk

surian

Sub-total 10 20 Membangun rumah


(4)

Lampiran 3 Lanjutan

No. Resp.

Tahun Tebang

Jenis Jumlah Pohon

Harga Jual (Rp)

Umur Tegakan

(tahun)

Harga Jual Pohon (Rp/phn)

Motivasi

22. 2010 mahoni 35 15.000.000 16 428.571 Membeli tanah

23. 2010 mindi 6 8 Modal usaha

1996 sengon 50 10.000.000 5 200.000 Biaya pendidikan

24. 2010 kelapa

sobsi

albasia

Sub-total 5 7 Memperbaiki rumah

2008 surian

tisuk

alpukat

sobsi

Sub-total 6 1.300.000 39 216.667 Membayar utang

2006 alpukat

sobsi

surian

nangka

Sub-total 19 1.300.000 37 68.421 Membayar utang

25. 2010 mahoni 4

tisuk 9

sobsi 10

alpukat 2

nangka 2

sampang 2

Sub-total 29 5.000.000 7 172.414 Membeli tanah

2007 mahoni 10

surian 4

tisuk 6

teureup 1

sobsi 2

nangka 2

Sub-total 25 10 Membangun rumah

26. 2007 tisuk 4

sobsi 2

durian 1

puspa 2

salam 2

nangka 2

Sub-total 13 15 Membangun rumah

2006 mahoni 18 30.000.000 35 1.666.667 Biaya pernikahan

2005 sobs 4

kamper 1

teureup 1

dahu 1

Sub-total 7 8.000.000 41 1.142.857 Biaya pendidikan 2004 mahoni 12 15.000.000 39 1.250.000 Biaya pendidikan


(5)

Lampiran 3 Lanjutan

No. Resp.

Tahun Tebang

Jenis Jumlah Pohon

Harga Jual (Rp)

Umur Tegakan

(tahun)

Harga Jual Pohon (Rp/phn)

Motivasi

27. 2005 salam 1

mahoni 7

surian 2

Sub-total 10 10 Membangun rumah

28. 2008 tisuk 4.000.000 20 Membeli tanah

29. 2002 mahoni 30

surian 20

Sub-total 50 3.100.000 15 62.000 Memperbaiki rumah

1997 surian

mahoni

tisuk

Sub-total 25 30 Membangun rumah

30. 2003 mahoni 3 5.000.000 40 1.666.667 Modal usaha

31. 2009 surian

mindi

tisuk

sobsi

Sub-total 20 25 Memperbaiki rumah

32. 2010 2.000.000 Kebutuhan sehari-hari

33. 2010 mindi

tisuk

mahoni

Sub-total 15 1.500.000 5 100.000 Biaya pendidikan

2008 mahoni

tisuk

Sub-total 25 900.000 15 36.000 Biaya pendidikan 34. 1997 15 2.600.000 40 173.333 Biaya pendidikan

35. 2010 surian 6

bayur 2

tisuk 4

mahoni 3

albasia 3

Sub-total 18 30 Membangun rumah

2010 mahoni 20 15.000.000 30 750.000 Membangun rumah

36. 2009 albasia

mahoni

sobsi

Sub-total 29 34.500.000 15 1.189.655 Membeli rumah

37. 2010 bayur

kelapa

Sub-total 2 20 Memperbaiki rumah

2006 tisuk 2 15 Membangun rumah

38. 1998 11.000.000 30 Membangun rumah

39. 2008 jati 28 Membangun rumah


(6)

Lampiran 3 Lanjutan

No. Resp.

Tahun Tebang

Jenis Jumlah Pohon

Harga Jual (Rp)

Umur Tegakan

(tahun)

Harga Jual Pohon (Rp/phn)

Motivasi

40. 2008 30 Membangun rumah

41. 2007 9.000.000 Membangun rumah

42. 2010 randu

nangka

Sub-total 2 500.000 20 250.000 Modal usaha

43. 2000 tisuk 2 30 Memperbaiki rumah

44. 1999 mahoni 4 1.250.000 15 312.500 Modal usaha

45. 2008 mahoni 2 20 Memperbaiki rumah

46. 2008 mahoni 30 15.000.000 20 500.000 Membeli tanah 47. 2010 surian 6 3.500.000 16 583.333 Membangun rumah 48. 2010 mahoni 15 5.000.000 23 333.333 Membeli tanah

49. 2010 surian 10 15 Membangun rumah

mahoni

50. 2009 surian

mahoni

bayur

tisuk

Sub-total 10 23 Membangun rumah

51. 2007 mahoni 15 5.000.000 16 333.333 Modal usaha

52. 2010 tisuk

mahoni

Sub-total 4 17 Memperbaiki rumah

53. 2010 mahoni 11 23 Membangun rumah

54. 2009 mahoni 5 27 Memperbaiki rumah

55. 2009 sobsi

mahoni

Sub-total 11 23 Membangun rumah

56. 2010 surian 2

mahoni 5

Sub-total 7 16 Modal usaha

2009 mahoni 3 15 Modal usaha

57. 2010 surian

tisuk

mindi

Sub-total 3 12 Memperbaiki rumah

58. 2008 mahoni 15 26 Membangun rumah

59. 2010 mahoni 4 23 Memperbaiki rumah

60. 2010 surian 7 26

mahoni 30 7