Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat)

(1)

ABSTRACT

DEVITA AYU DEWI. Perception Of Farmer On The Management Of Community Forests and It’s Contribution To Household Income (A Case in Cimalaka and Conggeang Sub-district Sumedang Regency West Java Province). Supervised by Leti Sundawati.

Community forest can play a vital role to sustain the forest because the ains provide raw materials for forestry industry, so create a sustainable environment ecosystem and improve the community welfare. This concept is also expected to be able to decrease the exploitation rate of natural forests. Based on it’s composition types, there are two management patterns of community forest monoculture and mixed. Different patterns certainly have different benefits. To find out the benefits, it is necessary to learn about the perception of farmers. This study was aimed to learn about the perception of farmers regarding the patterns of community forest, contribution of community forest to household income, and to analyze the factors which influenced their perception. This research was conducted from July to August 2011 using method of purposive sampling for the selection of the respondents. Number of respondent is 30 respondents of monoculture forest owner and 30 respondents of mixed forest owner. The factor which influenced the perception were analyzed using a correlation of Rank Spearman with SPSS 16.0.

The research results showed that the farmer perception to ecological benefit and social of monoculture and mixed forest has high category. Seen from calculating respondent percentage, the level of perception for ecological benefit more large on monoculture forest and the level of perception for social benefit more large on mixed forest. From the economic aspect, at the moment community forest fill give little benefit because there’s not harvest from the wood. The perception of farmer on monoculture forest is influenced by internal factor, such as: education level and extra jobs. The higher education level of a farmer is the more extra jobs in the field of agriculture will make the higher perception level. The perception of farmer on mixed forest is influenced by external factors, such as: the size of land and the frequency of meeting farmers. The larger land of a farmer owns and the less frequently meets other farmers will make the higher perception level.

Keywords: Farmer’s Perception, Community Forest, Management, Monoculture, Mixed.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alamnya. Salah satu sumberdaya alam yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia adalah hutan. Hutan dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai pelindung ekosistem dan plasma nutfah maupun dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Bagi masyarakat sekitar hutan, hutan memiliki peran sebagai tempat penyangga kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Peran hutan sebagai penyangga kehidupan akan optimal bila hutan dikelola secara lestari. Hutan rakyat dapat berperan dalam menjaga kelestarian hutan, karena pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk penyediaan bahan baku industri, sehingga tercipta kelestarian ekosistem lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan hutan rakyat yang terus meningkat diharapkan dapat menekan laju eksploitasi yang dilakukan pada hutan alam, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga.

Menurut Suharjito (2000) bahwa hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Artinya hutan tersebut dibangun, dikelola dan dimanfaatkan oleh rakyat di atas tanah milik atau tanah adat, sehingga dalam pengelolaannya petani atau masyarakat yang mengelola hutan tersebut memiliki peran yang besar. Petani hutan rakyat mengelola hutan rakyat tersebut dengan berbagai macam model pengelolaan. Menurut Awang (2001), dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat, yaitu: (1) Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada hutan ini cenderung tidak ada tanaman pangan di dalam hutan rakyat; (2) Hutan rakyat campuran, hutan rakyat ini ditumbuhi lebih dari satu jenis tanaman. Pada hutan ini mungkin ditanami tanaman pangan, buah-buahan, dan sayur-sayuran (agroforestri).

Hutan rakyat yang dikelola tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya bagi petani hutan rakyat yang berupa manfaat tangible dan intangible. Manfaat tangible merupakan manfaat yang berbentuk material,


(3)

sedangkan manfaat intangible merupakan manfaat yang berbentuk immaterial. Pada hutan rakyat manfaat tangible yang dirasakan dapat berupa manfaat berbentuk kayu, rotan, getah dan sebagainya. Sedangkan manfaat intangible dapat berupa jasa lingkungan, pemandangan, pendidikan, plasma nutfah, dan lain-lain.

Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang menerapkan pola hutan rakyat berbeda-beda. Petani hutan rakyat di Kabupaten Sumedang tentunya mempunyai pertimbangan untuk mengelola hutan rakyat dalam bentuk monokultur atau campuran. Pertimbangan yang dilakukan tersebut muncul dari manfaat yang dirasakan petani yang berinteraksi secara langsung selama mengelola hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pola hutan rakyat yang berbeda akan memberikan manfaat yang berbeda bagi petani hutan rakyat bila dilihat dari hasil yang diperoleh oleh petani, baik dari manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial. Hal tersebut dapat terjadi karena komposisi jenis yang ditanam di hutan rakyat monokultur dan campuran berbeda. Perbedaan dari manfaat yang dirasakan oleh masing-masing petani dapat diketahui dari persepsi petani hutan rakyat monokultur dan petani hutan rakyat campuran. Namun apakah benar perbedaan tersebut dapat membawa dampak yang berbeda pula terhadap kehidupan petani hutan rakyat. Dengan demikian, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan manfaat dari pola hutan rakyat antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran yang dirasakan oleh petani hutan rakyat dari manfaat ekonomi, sosial, maupun ekologi.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui persepsi petani hutan rakyat terhadap pola hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran dari manfaat ekologi dan sosial

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani hutan rakyat dilihat dari karakteristik masing-masing petani

3. Menghitung kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan instansi terkait, mengenai manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari pola


(4)

pengelolaan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Sehingga masyarakat dan instansi terkait dapat lebih mengembangkan ataupun memperbaiki pola pengelolaan hutan rakyat tersebut untuk kesejahteraan masyarakat khususnya petani hutan rakyat dan untuk lebih mengembangkan kerjasama dengan pihak luar agar hutan rakyat di daerah tersebut dapat lebih berkembang dan memberikan manfaat yang banyak bagi petani hutan rakyat.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat

Hutan rakyat sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam membantu perekonomian masyarakat. Menurut SK. Menteri Kehutanan Nomor 49/kpts-11/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman tahunan pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar. Sedangkan menurut Hardjanto (1990), hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik.

Terdapat beberapa karakteristik hutan rakyat menurut Ditjen RRL (2005) dalam Tinambunan (2008), sebagai berikut:

1. Lokasi hutan rakyat terbatas pada lahan milik, lahan marga atau adat, kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak berhutan dan tanah negara yang terlantar

2. Usaha hutan rakyat ditinjau dari segi usaha, sebagian besar berskala kecil sampai menengah yang dalam pengembangannya menghadapi masalah pemilikan lahan yang sempit (Pulau Jawa) dan status lahan sering belum jelas 3. Pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat biasanya adalah stratum masyarakat

paling bawah yang mempunyai kemampuan teknis, ekonomis dan manajemen minimal

4. Pola penanaman hutan rakyat tidak monokultur (homogen) tetapi bersifat heterogen, yaitu penanaman berbagai jenis tanaman di satu areal lahan pada waktu bersamaan

5. Pelaksana pengelolaan hutan rakyat umumnya kurang mempunyai keterampilan dalam pengelolaan hutan

6. Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat belum berkembang ke taraf yang mantap


(6)

7. Dalam peraturan perundangan yang ada, seperti dalam uraian kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat yang mencapai 10 butir, tidak ada yang mencakup keteknikan hutan

8. Dimensi kayu yang dipanen biasanya kecil, sebagai contoh dibeberapa hutan rakyat Jawa Barat terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm

9. Pola penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, seperti dikemukakan Simon (1995) dalam Tinambunan (2008), ada tiga pola, yaitu: (1) Penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik; (2) Penanaman pohon di teras bangku; dan (3) Penanaman pohon diseluruh lahan milik.

2.1.2 Ciri-ciri Hutan Rakyat

Balai Informasi Pertanian (1982) menyebutkan bahwa hutan rakyat mempunyai beberapa ciri yang khas, sebagai berikut:

1. Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar-pencar diantara lahan-lahan pedesaan lainnya

2. Bentuk usahanya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan barbagai tanaman seperti tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput makanan ternak dan tanaman pangan. Usaha seperti ini sering juga disebut sistem wanatani (agroforestry)

3. Terdiri dari tanaman yang mudah cepat tumbuh, cepat memberikan hasil bagi pemiliknya.

2.1.3 Bentuk Hutan Rakyat

Bentuk hutan rakyat yang terdapat di Indonesia terdiri dari berbagai macam. Menurut Balai Informasi Pertanian (1987) terdapat tiga bentuk hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur

2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.


(7)

3. Hutan rakyat agroforestry, hutan yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara terpadu.

2.1.4 Peran dan Manfaat Hutan Rakyat

Retna (2001) menjelaskan bahwa pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu program andalan Departemen Kehutanan yang telah digalakkan mulai Pelita VI yang diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:

1. Meningkatkan pendapatan petani sekaligus kesejahteraan hidupnya

2. Memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan mengelolanya agar menjadi lahan yang subur

3. Meningkatkan produksi kayu bakar dan menyediakan kayu perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga

4. Menyediakan bahan baku industri seperti kertas, korek api dan lain-lain. 5. Menambah lapangan kerja bagi penduduk pedesaan

6. Membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan kualitas lingkungan demi terwujudnya kelestarian sumberdaya alam.

2.2 Konsep Persepsi

Keberadaan hutan rakyat sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani hutan rakyat, terutama dalam pemenuhan kehidupan hidup petani. Untuk mengetahui manfaat dari hutan rakyat tersebut, maka diperlukan persepsi dari petani hutan rakyat. Penelitian Fitriani (2010) menjelaskan bahwa persepsi masyarakat Desa Burat terhadap hutan rakyat adalah lahan yang dikelola oleh masyarakat untuk menopang kebutuhan hidup. Masyarakat beranggapan bahwa dengan mengusahakan hutan rakyat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup terlebih yang sifatnya mendesak karena kayu rakyat mudah dipasarkan dengan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pertanian. Selain itu hutan rakyat juga dinilai sebagai salah satu upaya penyelamatan lingkungan yang berperan dalam mengatur tata air dan mencegah erosi.

Menurut Harihanto (2001), makna persepsi adalah pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi seseorang terhadap obyek. Persepsi dibentuk


(8)

melalui serangkaian proses (kognisi) yang diawali dengan menerima rangsangan atau stimulus dari obyek oleh indera (mata, hidung, telinga, kulit, dan mulut) dan dipahami dengan interpretasi atau penafsiran tentang obyek yang dimaksud. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan, dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang. Persepsi dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan tempat tinggal dan suku bangsa.

Menurut Kayam (1985) dalam Puspasari (2010) menyatakan bahwa persepsi juga merupakan pandangan seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Selain itu Twikromo et al. (1995) menjelaskan bahwa terbentuknya suatu persepsi tidak dapat dilepaskan dari berbagai macam proses fisik, fisiologi dan psikologi yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pengalaman masa lalu memberikan dasar pada pemahaman, penerimaan, pandangan atau tanggapan manusia. Dengan demikian akan terbangun suatu pemikiran, keinginan, kehendak dan cita-cita dalam alam pikiran manusia pada khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang kehidupan di alam kodrati. Hal tersebut akan diwujudkan dan tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari mereka.

Rahmat (2007) menjelaskan bahwa persepsi dapat berupa kesan, penafsiran atau penilaian berdasarkan pengalaman yang diperoleh dan suatu proses pengambilan keputusan tentang pemahaman seseorang kaitannya dengan suatu obyek, stimuli atau individu yang lain. Kesan stimuli tersebut dapat dipandang sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Asngari (1984) dalam Puspasari (2010), menyatakan proses pembentukan suatu persepsi diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman terhadap obyek yang diamati.


(9)

Informasi yang sampai pada seseorang merupakan stimulus, kemudian diteruskan ke otak oleh syaraf sensoris, sehingga seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang tersebut melakukan tindakan.

Menurut Calhoun dan Acocella (1990) persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep dirinya, sebagai berikut:

1. Pengetahuan merupakan apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain-wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan motif dan sebagainya 2. Penghargaan merupakan gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau

melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa

3. Evaluasi merupakan kesimpulan kita tentang seseorang didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia.

Menurut Sadli (1976) dalam Susiatik (1988) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, sebagai berikut:

1. Faktor obyek rangsangan dengan ciri khas sebagai berikut:

a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari rangsangan seperti nilai bagi subyek yang mempengaruhi cara rangsangan tersebut dipersepsi

b. Arti emosional, yaitu sampai seberapa jauh rangsangan tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi individu yang bersangkutan

c. Familiaritas, yaitu pengenalan seberapa jauh rangsangan yang mengakibatkan rangsangan tersebut dipersepsi lebih akurat

d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai rangsangan tersebut.

2. Faktor pribadi

Faktor pribadi yang dapat memberikan persepsi yang berbeda seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain.

3. Faktor pengaruh kelompok

Dalam suatu kelompok manusia, respons orang lain akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang.


(10)

4. Faktor latar belakang kultural

Orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek karena latar belakang kultural yang berbeda.

Asngari (1984) dalam Puspasari (2010) berpendapat bahwa persepsi bukan hanya dipengaruhi oleh karakteristik pengalaman masa silam, tetapi karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status sosial berhubungan dengan persepsi responden, karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognisi orang tersebut.

Selain itu ada faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, terutama untuk persepsi petani hutan rakyat. Salah satu faktor tersebut adalah kekosmopolitan. Kekosmopolitan adalah keterbukaan petani pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Kekosmopolitan individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain di dalam komunitasnya, yaitu: 1) Individu tersebut memiliki status sosial, 2) Partisipasi sosial lebih tinggi, 3) Lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, 4) lebih banyak menggunakan media massa, 5) Memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya (Rogers 1989). Mosher (1987) berpendapat bahwa keterbukaan seseorang berhubungan dengan penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan perbaikan usaha tani mereka. Menurut Agussabti (2002) perilaku petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif mereka berinteraksi maka semakin banyak mendapatkan informasi baru untuk mengembangkan usaha taninya. Demikian pula pendapat Pambudy (1999) bahwa keterbukaan terhadap informasi peternak berhubungan dengan perilaku mereka. Dijelaskan pula bahwa semakin banyak media massa yang dipergunakan dan semakin banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan cara-cara untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan, karena berkaitan dengan banyaknya informasi yang didapatkan oleh petani.

Langevelt (1996) dalam Puspasari (2010) menyatakan, adanya persepsi berakibat terhadap timbulnya motivasi, kemauan, tanggapan, perasaan, fantasi


(11)

dari stimulasi yang diterima. Namun persepsi dua orang mengenai suatu obyek yang sama dapat berbeda. Hal tersebut dapat terjadi karena tiap orang berbeda kebutuhan, motif, minat dan lain-lain. Sedangkan Myers (1988) dalam Puspasari (2010) berpendapat, terbentuknya persepsi cenderung menurut kebutuhan, minat dan latar belakang masing-masing.

Menurut Susiatik (1998) hubungan dengan pelaksanaan kegiatan, tinggi rendahnya tingkat persepsi seseorang atau kelompok akan mendasari atau mempengaruhi tingkat peran serta dalam kegiatan. Tingkat persepsi yang tinggi akan merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, begitu pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah atau kurang dapat merupakan penghambat bagi seseorang atau kelompok orang untuk berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan.

2.3 Manfaat Ekologi

Menurut Ewusie (1990) dalam Sundawiati (2004), faktor-faktor ekologi digolongkan kedalam faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik terdiri atas curah hujan, suhu, kelembaban relatif (RH), angin, cahaya, kesetimbangan energi, topografi, tanah dan geologi. Sedangkan faktor biotik terdiri atas tumbuhan hijau atau tumbuhan lain, interaksi (seperti pemangsaan, simbiosis, parasitisme) hewan dan manusia.

Irwan (1992) menyatakan bahwa ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungan. Lingkungan adalah suatu kombinasi khusus dari keadaan luar yang mempengaruhi organisme. Pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan berarti semua faktor ekternal yang bersifat biologis dan fisik.

Menurut Irwan (1992) ekologi terbagi menjadi dua macam, yaitu: autekologi dan sinekologi. Autekologi membahas pengkajian individu organisme atau individu spesies yang penekanannya pada sejarah-sejarah hidup dan kelakuan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan, sedangkan sinekologi membahas pengkajian golongan atau kumpulan organisme-organisme yang berasosiasi bersama sebagai satuan.


(12)

2.4 Manfaat Ekonomi

Manfaat ekonomi dapat dirasakan dari kesejahteraan yang dirasakan oleh petani hutan rakyat. Menurut Twikromo et al. (1995) kesejahteraan dapat diartikan sebagai suatu kondisi kehidupan dimana keseimbangan lahir dan batin manusia dapat tercipta dalam kaitannya dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani mereka.


(13)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua Desa dengan pola hutan rakyat yang berbeda dimana, desa tersebut terletak di kecamatan yang berbeda juga, yaitu: Desa Naluk dengan pola hutan rakyat monokultur yang terletak di Kecamatan Cimalaka dan Desa Karanglayung dengan pola hutan rakyat campuran yang terletak di Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Agustus 2011.

3.2 Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang pola hutan rakyatnya monokultur dan hutan rakyat campuran.

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: alat tulis, alat hitung, kamera, daftar pertanyaan (kuisioner), alat perekam dan komputer.

3.4 Kerangka Pemikiran

Seiring dengan perkembangan teknologi, pola hutan rakyat yang berkembang berbeda-beda, ada hutan rakyat dengan pola hutan rakyat monokultur, campuran, dan ada juga hutan rakyat dengan pola agroforestri. Pada penelitian ini terdapat dua pola pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan di Kabupaten Sumedang, yaitu: hutan rakyat monokulur dan hutan rakyat campuran. Perbedaan pola pengelolaan hutan rakyat tersebut tentunya memberikan pengaruh yang berbeda antara petani hutan rakyat monokultur dan petani hutan rakyat campuran dilihat dari manfaat ekologi, ekonomi dan sosial. Pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran dikatakan berhasil apabila manfaat yang dirasakan petani hutan rakyat membawa dampak positif bagi kehidupan mereka. Alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.


(14)

♦Wawancara ♦Wawancara ♦Wawancara ♦Pengamatan

 

Gambar 1 Kerangka pemikiran konseptual.

HUTAN RAKYAT HUTAN RAKYAT MONOKULTUR HUTAN RAKYAT CAMPURAN Faktor Eksternal Faktor Internal PERSEPSI PETANI HUTAN RAKYAT MANFAAT SOSIAL MANFAAT EKONOMI MANFAAT EKOLOGI Pengaruh terhadap kehidupan sosial  masyarakat  Kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani Pengaruh lingkungan terhadap kehidupan petani 1.Perbandingan pendapatan total dengan pengeluaran total 2.Perbandingan pendapatan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran 3.Tingkat Kesejahteraan petani  1. Air 2.Suhu udara 3.Bencana alam 4.Keberadaan satwa liar 5. Kenyamanan Interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik dengan sesama warga ataupun pihak luar Dampak Positif


(15)

3.5 Sumber Data

Sumber data yang dikumpukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Petani hutan rakyat (responden)

2. Instansi yang terkait dalam perolehan data penelitian 3. Studi pustaka.

3.6 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik responden, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, pekerjaan pasangan, jumlah tanggungan keluarga

2. Data potensi ekonomi rumah tangga, meliputi: luas kepemilikan lahan, luas pemilikan lahan hutan rakyat, usaha di bidang pertanian, kehutanan, peternakan dan sebagainya

3. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat

4. Pendapatan rumah tangga, meliputi: besarnya pendapatan dan sumber-sumber pendapatan (dari hutan rakyat dan dari luar hutan rakyat seperti pertanian, peternakan dan pekerjaan sampingan atau sumber pendapatan lain)

5. Data biaya pengusahaan hutan rakyat, meliputi: biaya tetap (sewa tanah, peralatan penanaman dan sebagainya), biaya variabel (upah, pembelian bibit dan pupuk), pajak tanah dan biaya lainnya

6. Pengeluaran rumah tangga, meliputi: konsumsi untuk makanan beras dan non beras, pendidikan, sumbangan atau iuran dan kebutuhan lain seperti pakaian, transportasi, kesehatan

7. Data usaha tani, meliputi: pola tanam dan produktivitas usaha tani

8. Persepsi petani hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran terhadap pola pengelolaan hutan rakyat yang dirasakan dari manfaat ekologi dan sosial.


(16)

Data Sekundernya adalah sebagai berikut:

1. Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi: letak, keadaan fisik lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat

2. Keadaan lahan, meliputi: jenis tanah, topografi, kelerengan lahan dan luasan lahan berdasarkan pemilikannya dan fungsi lahan

3. Keadaan penduduk, meliputi: umur, jenis kelamin, mata pencaharian masyarakat dan tingkat pendidikan

4. Data sekunder lain yang menunjang penelitian.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara sebagai berikut:

1. Teknik Observasi dengan cara mengadakan pengamatan langsung terhadap objek peneliti

2. Teknik Wawancara dengan cara melakukan wawancara terstruktur dan bebas dengan petani hutan rakyat (responden) serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan responden

3. Studi Pustaka dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian.

3.8 Metode Pemilihan Responden

Responden dipilih secara purposive sampling. Menurut Danim (2004), metode purposive sampling adalah metode dalam pengambilan sampel dengan atas dasar pertimbangan pribadi peneliti. Responden yang terpilih adalah petani hutan rakyat pola monokultur dan campuran yang aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Untuk petani hutan rakyat monokultur 30 responden dan petani hutan rakyat campuran 30 responden, dengan total responden yang dipilih adalah sebanyak 60 responden. Selain itu ada informan dari pihak instansi terkait yang memberikan informasi tambahan yaitu data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.


(17)

3.9 Metode Pengambilan Data

3.9.1 Persepsi Responden terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat

Untuk mengetahui persepsi responden terhadap pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara menggunakan kuisioner dan pengamatan di lapangan mengenai manfaat ekologi dan sosial yang dirasakan petani hutan rakyat dari pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Untuk manfaat ekologi, pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner tersebut mengenai persepsi responden tentang pengaruh pengelolaan terhadap perubahan lingkungan, dimana responden tersebut adalah petani hutan rakyat murni dan petani hutan rakyat campuran. Sehingga didapatkan manfaat yang berbeda antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Untuk data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan meliputi data-data fisik dari keadaan lokasi penelitian hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran (dari data sekunder dan wawancara bebas). Sedangkan untuk variabel yang diamati, meliputi: air, suhu udara, bencana alam dan jumlah satwa.

Untuk manfaat sosial, pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam kuisioner tersebut mengenai persepsi responden terhadap manfaat sosial yang diperoleh dari data interaksi yang terjadi antara petani hutan rakyat dengan petani hutan rakyat, petani hutan rakyat dengan warga desa maupun dengan pihak luar. Baik hutan rakyat monokultur maupun hutan rakyat campuran. Data yang diperoleh dapat berupa pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani, sedangkan data interaksi antara petani maupun dengan masyarakat desa diperoleh dari wawancara secara bebas kepada pihak-pihak yang diperkirakan mempunyai kedudukan yang kuat/petinggi-petinggi dalam masyarakat desa maupun anggota suatu organisasi atau lembaga desa. Interaksi dalam masyarakat desa dapat berupa sistem kelembagaan yang terdapat dalam desa tersebut, khususnya yang berhubungan dengan hutan rakyat.

3.9.2 Manfaat Ekonomi

Manfaat ekonomi dari pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran tersebut dapat dirasakan petani hutan rakyat dari kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat. Untuk data manfaat ekonomi tidak


(18)

dicari dengan menggunakan persepsi, karena data yang diperoleh bukan merupakan sebuah pernyataan berupa pendapat. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung terhadap responden dan juga instansi yang terkait. Daftar pertanyaan dalam kuisioner mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Besarnya pendapatan rumah tangga menggunakan variabel besarnya pendapatan dan sumber-sumber pendapatan (dari hutan rakyat dan dari luar hutan rakyat, antara lain: pertanian, peternakan dan pekerjaan sampingan atau sumber pendapatan lain) serta pengeluaran rumah tangga.

3.10 Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.10.1 Persepsi Responden terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat

Persepsi petani hutan rakyat terhadap pola pengelolaan hutan rakyat dapat diketahui dari manfaat ekologi dan sosial yang dirasakan petani. Persepsi manfaat ekologi dan sosial dari pengelolaan lahan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran dijawab dengan mengajukan pertanyaan yang disajikan dalam bentuk kuisioner, kemudian dari jawaban-jawaban tersebut diberikan skor.

Penentuan skors dapat dilakukan dengan menggunakan “Skala Likert”, dimana cara pengukuran adalah dengan menghadapkan seorang responden dengan sebuah pertanyaan berupa sebuah kuesioner pernyataan terlampir dan diminta untuk memberikan jawaban “sangat setuju”, “setuju”, “kurang setuju”, “tidak setuju” dan “sangat tidak setuju”. Jawaban-jawaban ini diberi skors 5, 4, 3, 2, 1 secara berurutan.

Setelah dibuat skors dari jawaban tersebut, kemudian dibuat skala. Dalam menentukan skala, terlebih dahulu dicari nilai intervalnya dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut:

Bobot nilai tertinggi – Bobot nilai terendah 5-1 Banyaknya Kelas 5

Setelah besarnya nilai interval diketahui, kemudian dibuat skala untuk mengetahui tingkatan persepsi, sehingga dapat diketahui dimana letak penilaian respon terhadap setiap unsur. Skala tingkatan persepsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.


(19)

Tabel 1 Tingkatan persepsi dari manfaat ekologi dan sosial berdasarkan rataan nilai terboboti

No Interval Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi

1 4,21-5,00 Sangat Tinggi

2 3,41-4,20 Tinggi 3 2,61-3,40 Sedang 4 1,81-2,60 Rendah

5 1,00-1,80 Sangat Rendah

Data yang diperoleh dari hasil kuisioner kemudian dicari nilai total skor dari setiap pertanyaan dengan cara menjumlahkan nilai dari setiap jawaban responden. Penentuan tingkat persepsi dikelompokan secara ordinal menjadi lima kategori yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah seperti tabel di atas, sehingga dapat diketahui tingkat persepsi dari tiap responden. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan data persepsi petani hutan rakyat monokultur dengan petani hutan rakyat campuran.

Untuk manfaat sosial, data diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan interaksi yang terjadi dalam masyarakat antara sistem pengelolaan hutan rakyat monokultur dengan sistem pengelolaan hutan rakyat campuran, baik sesama petani hutan rakyat, petani dengan masyarakat maupun dengan pihak luar. Sedangkan data hasil wawancara dengan mengajukan pertanyaan secara bebas kepada petani hutan rakyat dan instansi terkait diolah juga secara deskriptif sehingga tergambar interaksi yang terjadi antara petani hutan rakyat, petani dengan warga masyarakat ataupun pihak luar.

3.10.2 Manfaat Ekonomi

Manfaat ekonomi dari pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran tersebut dapat dirasakan dari kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani, dengan cara menghitung pendapatan yang diterima dari usaha hutan rakyat, usaha tani non hutan rakyat dan non usaha tani. Untuk manfaat ekonomi dicari dengan metode perhitungan sederhana, tidak menggunakan persepsi karena data yang diperoleh bukan berupa pendapat, melainkan berupa data angka yang harus dihitung dengan menggunakan rumus tertentu. Perhitungan pendapatan petani dilakukan dengan menggunakan


(20)

perhitungan sederhana. Data yang diperoleh disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Analisis data dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil tabulasi tersebut. Untuk menghitung pendapatan rumah tangga petani menggunakan rumus-rumus sebagai berikut : 1. Pendapatan petani dari hutan rakyat

I =

Σ

Pendapatan petani dari produk hutan rakyat Keterangan :

I =Pendapatan total petani dari produk hutan rakyat per tahun (Rp)

Pendapatan petani dari produk hutan rakyat = Pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu dan tanaman tumpangsari.

2. Pendapatan petani dari non hutan rakyat

I =

Σ

Pendapatan petani dari produk non hutan rakyat Keterangan :

I =Pendapatan total petani dari produk non hutan rakyat per tahun (Rp)

Pendapatan dari produk non hutan rakyat = Pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian dan perkebunan.

3. Pendapatan petani dari non usaha tani

I =

Σ

Pendapatan petani dari produk non usaha tani Keterangan :

I = Pendapatan total petani dari produk non usaha tani (Rp)

Pendapatan dari produk non usaha tani = Pendapatan yang diperoleh dari hasil peternakan, perdagangan, serta upah atau gaji dan sumber pendapatan lainnya.

4. Pendapatan total petani I = I + I + I

Keterangan :

I =Jumlah pendapatan total rumah tangga petani I = Pendapatan total dari produk hutan rakyat I = Pendapatan total dari produk non hutan rakyat I = Pendapatan total dari produk non usaha tani


(21)

5. Persentase pendapatan dari tiap kegiatan terhadap total pendapatan I % = I

I 100 %

Keterangan:

I % = Persentase pendapatan dari tiap kegiatan (n = hr, nhr, nut) I = Pendapatan total dari tiap kegiatan (n = hr, nhr, nut) I = Pendapatan total dari rumah tangga petani

6. Menghitung total pengeluaran C =

Σ

C

Keterangan :

C = Total pengeluaran rumah tangga selama periode satu tahun

Σ

C = Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan

Data yang telah disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan informasi dan gambaran yang diinginkan yaitu data pendapatan rumah tangga tersebut dibandingkan antara pendapatan hutan rakyat monokultur dengan pendapatan hutan rakyat campuran, sehingga diketahui sistem pengelolaan mana yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan rumah tangga petani.

3.10.3 Pengolahan Data Karakteristik Responden

Data karakteristik dari tiap responden diolah untuk menentukan skor dari tiap kategori. Skor tersebut akan digunakan dalam pengolahan data selanjutnya yaitu untuk mengetahui peubah yang mempengaruhi persepsi. Untuk lebih jelasnya data dapat dilihat pada Tabel 2.


(22)

Tabel 2 Pengolahan data karakteristik responden

No. Variabel Kategori Ranking Dasar Pengukuran

Faktor Internal

1. Umur 1. 30 - 39 tahun

2. 40 - 49 tahun 3. 50 - 59 tahun 4. 60 - 69 tahun 5. ≥ 70 tahun

5 4 3 2 1 Sebaran contoh 2. Tingkat pendidikan

1. Tidak sekolah 2. Sekolah Dasar

3. Sekolah Menengah Pertama 4. Sekolah Menengah Atas 5.Perguruan Tinggi 1 2 3 4 5 Sebaran Contoh 3. Pengalaman bertani

1. 15 tahun - 21 tahun 2. 22 tahun - 28 tahun 3. 29 tahun - 35 tahun 4. 36 tahun - 42 tahun 5. ≥ 43 tahun

1 2 3 4 5 Sebaran Contoh

4. Pekerjaan pokok 1. Petani 2. Buruh 3. Wiraswasta 4. Pegawai Negeri

1 2 3 4 Sebaran contoh 5. Pekerjaan sampingan

1. Tidak ada 2. Petani 3. Buruh 4. Wiraswasta 1 2 3 4 Sebaran contoh 6. Jumlah tanggungan keluarga

1. 0 - 1 orang 2. 2 - 3 orang 3. ≥ 4 orang

1 2 3

Sebaran Contoh

7. Pendapatan 1. Rp.0 - Rp.2.000.000

2. Rp.2.100.000 - Rp.4.000.000 3. Rp.4.100.000 - Rp.6.000.000 4. Rp.6.100.000 - Rp.8.000.000 5. ≥ Rp.8.100.000

1 2 3 4 5 Sebaran Contoh

Faktor Eksternal

8. Luas Kepemilikan Lahan

1. 700 m² - 1.900 m² 2. 2.000 m² - 3.200 m² 3. 3.300 m² - 4.500 m² 4. 4.600 m² - 5.800 m² 5. ≥ 5.900 m²

1 2 3 4 5 Sebaran Contoh

9. Kekosmopolitan 1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi 1 2 3 Sebaran Contoh

10. Kontak dengan penyuluh 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1 2 3 Sebaran Contoh 11. Frekuensi bertemu petani 1. Jarang 2. Sering 1 2 Sebaran Contoh 12. Bantuan pemerintah

1. Tidak ada 2. Ada

1 2


(23)

3.10.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, data diolah dengan analisis korelasi Rank Spearman dengan menggunakan program SPSS 16.0 FOR WINDOWS karena data tersebut berupa data kuantitatif. Menurut Sarwono (2006), untuk analisis kuantitatif digunakan uji hipotesa dengan uji korelasi peringkat Spearman. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung yang berskala ordinal (non-parametrik). Hasil uji korelasi tersebut dapat menghasilkan angka positif (+) atau negatif (-). Jika korelasi menghasilkan angka positif, maka hubungan kedua variabel bersifat searah, artinya jika variabel bebas besar maka variabel tergantung juga besar. Jika menghasilkan angka negatif maka hubungan kedua variabel tersebut tidak searah, artinya jika variabel bebas besar maka variabel tergantung akan kecil. Angka korelasi yang dihasilkan berkisar antara 0 s/d 1, dengan ketentuan jika angka mendekati satu maka hubungan kedua variabel semakin kuat dan jika angka mendekati 0 maka hubungan kedua variabel semakin lemah. Berikut ini adalah rumus uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman (Irianto 2008) :

r

s (rho) = 1- ∑ Keterangan :

r

s (rho)= Koefisien Rank Spearman n = Banyaknya sampel pengamatan di = Beda peringkat variabel X dan Y

Menurut Sarwono (2006), agar penafsiran dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan maka diperlukan kriteria yang menunjukkan korelasi kuat atau lemah, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat keeratan hubungan antar variabel

Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0 – 0,25

>0,25 – 0,5 >0,5 – 0,75 >0,75 – 1

Korelasi sangat lemah Korelasi cukup Korelasi kuat Korelasi sangat kuat

Sumber : Sarwono (2006)

Variabel tergantung yang akan di uji adalah persepsi dan variabel bebasnya adalah faktor internal dan eksternal yang diduga mempengaruhi


(24)

persepsi. Faktor internal terdiri dari umur, tingkat pendidikan pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan rumah tangga petani. Faktor eksternal terdiri dari luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh dan frekuensi bertemu petani.

Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi persepsi tersebut diperoleh dari hasil wawancara mengenai karakteristik responden. Untuk faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi yaitu tingkat kekosmopolitan dan kontak dengan penyuluh dihitung dengan menggunakan kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Budiono (2006), bahwa tingkat kekosmopolitan yang dimaksud ialah keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan pertanian konservasi dengan berbagai sumber informasi. Tingkat kekosmopolitan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Dikatakan mempunyai kategori tingkat kekosmopolitan rendah bila dalam sebulan tidak lebih satu kali keluar kampungnya, media cetak yang dibaca tidak lebih dari 2 kali dalam sebulan (bobot 20%), mendengarkan radio (bobot 20%), melihat dan mendengar Televisi (bobot 30%) dan lainnya (bobot 30%) tidak lebih dari 3 jam tiap harinya. Kategori tingkat kekosmopolitan sedang, jika dalam sebulan 3 - 6 kali ke luar kampungnya, media cetak yang dibaca 3-5 kali dalam sebulan, dan melihat dan mendengar Televisi/ Radio 4-7 jam tiap harinya. Sedangkan kategori tingkat kekosmopolitan tinggi apabila dalam sebulan lebih 7 kali keluar kampungnya, media cetak yang dibaca lebih dari 6 kali dalam sebulan, dan melihat dan mendengar TV/ Radio lebih dari 8 jam tiap harinya.

Faktor eksternal yang selanjutnya adalah kontak dengan penyuluh. Berdasarkan hasil penelitian Budiono (2006), kontak dengan penyuluh yaitu frekuensi petani tepi hutan berhubungan dengan penyuluh kehutanan dalam suatu pertemuan. Kontak penyuluh diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah 0-1 kali kontak dengan PPL dalam tiga bulan terakhir, sedang adalah 2 – 3 kali dalam tiga bulan terakhir dan kategori tinggi adalah lebih dari 4 kali dalam tiga bulan terakhir. Pengertian kontak disini adalah ikut hadir dalam forum pertemuan kelompok. Untuk frekuensi bertemu dengan petani hanya ditentukan sering atau jarang,


(25)

sedangkan untuk bantuan dari pemerintah ditentukan dengan ada atau tidaknya bantuan dan besar bantuan yang diberikan.

Setelah dilihat korelasinya kemudian dilakukan penarikan kesimpulan apakah asumsi dapat diterima atau ditolak dengan melihat nilai P value.

1. Jika P value (Sig 2-tailed) ≤ 0,05 maka tolak Ho dan terima H1 pada α = 5% 2. Jika P value (Sig 2-tailed) ≥ 0,05 maka terima Ho dan tolak H1 pada α = 5%

Asumsi yang digunakan pada penelitian ini:

Ho = Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel yang diuji H1 = Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang diuji

Selanjutnya dengan melihat kesimpulan tersebut, maka dapat diambil keputusan untuk menentukan variabel mana yang berhubungan erat.


(26)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis 4.1.1 Desa Naluk

Desa Naluk terletak di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang, dimana luas wilayahnya sebesar 294 ha. Masyarakat Desa Naluk melakukan budidaya hutan rakyat secara monokultur. Jarak dari kecamatan menuju kabupaten sekitar 5 km. Peta desa Naluk dapat diihat pada Gambar 2.

Peta Desa Naluk

Keterangan :

. . = Batas desa = Jalan desa

. . . = Batas dusun = Balai desa

= Jalan kabupaten

Gambar 2 Peta lokasi Desa Naluk.  

4.1.2 Desa Karanglayung

Desa Karanglayung terletak di Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang, dimana luas wilayahnya sebesar 699,67 ha. Jarak dari kecamatan menuju kabupaten sekitar 22,5 km. Masyarakat desa Karanglayung melakukan


(27)

budidaya hutan rakyat secara campuran. Lokasi Desa Karanglayung dapat dilihat pada Gambar 3.

Peta Desa Karanglayung

Keterangan :

. . = Batas kecamatan = Jalan desa

- - - = Batas desa = Balai desa

- - - = Jalan kabupaten

= Lokasi desa

Gambar 3 Peta lokasi Desa Karanglayung.

4.2 Kondisi Biofisik 4.2.1 Topografi

Kondisi topografi desa-desa tempat penelitian berbeda, yaitu: antara Desa Naluk dengan Desa Karanglayung. Berdasarkan data potensi desa dan kelurahan (2010), Desa Naluk secara umum merupakan wilayah berbukit-bukit dengan ketinggian 400-500 mdpl, sedangkan Desa Karanglayung terbagi ke dalam 3 wilayah yaitu wilayah dataran rendah, berbukit-bukit dan dataran tinggi dengan ketinggian 50-350 mdpl. Lahan di Desa Naluk didominasi oleh lahan persawahan (pertanian) seluas 105 ha dari total luas wilayah desa, sedangkan lahan Desa Karanglayung didominasi oleh lahan hutan dengan luas 307,45 ha dari total luas wilayah desa. Kedua desa tersebut memiliki kelerengan datar, agak curam dan curam. Untuk wilayah yang datar ditanami oleh tanaman pertanian dan kebun


(28)

campuran seperti padi, jeruk dan cengkeh sedangkan untuk wilayah yang agak curam dan curam dijadikan wilayah hutan dan ditanami mahoni, jati dan sengon.

4.2.2 Iklim

Menurut data potensi desa dan kelurahan (2010), curah hujan rata-rata di Desa Naluk Kecamatan Cimalaka adalah 100-200 mm/bulan dengan temperatur antara 24°-36° C, sedangkan Desa Karanglayung Kecamatan Conggeang curah hujan rata-ratanya sebesar 200-300 mm/bulan dengan temperatur 27° C. Berdasarkan hasil dari data yang dikumpulkan bahwa Kecamatan Cimalaka memiliki curah hujan rata-rata per tahun adalah 2188 mm/tahun atau rata-rata curah hujan per bulan adalah 182,3 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 103 hari. Untuk Kecamatan Conggeang, curah hujan rata-ratanya adalah 3092 mm/tahun atau rata-rata curah hujan per bulan adalah 257 mm/bulan dengan jumlah hari hujan sebanyak 114 hari.

4.2.3 Jenis Tanah

Berdasarkan data potensi desa dan kelurahan (2010) kedua desa tempat penelitian memiliki tiga jenis tanah yaitu aluvial, latosol coklat dan podsolik merah kuning. Tanah aluvial terdapat pada lahan basah (persawahan). Sedangkan untuk tanah latosol dan podsolik merah kuning terdapat pada lahan kering, yaitu: tanah hutan dan kebun campuran.

4.3 Kondisi Demografi 4.3.1 Kependudukan

Menurut data potensi desa dan kelurahan (2010) bahwa jumlah penduduk di Desa Naluk pada tahun 2010 adalah 3.193 jiwa yang terdiri dari 1.584 orang laki-laki (49,61%) dan 1.609 orang perempuan (50,39%) dengan jumlah Kepala Keluarga 1065 KK. Desa Naluk memiliki kepadatan penduduk sebesar 103 jiwa/ km. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Karanglayung pada tahun 2010 adalah 3.131 jiwa yang terdiri dari 1.546 orang laki-laki (49,38%) dan 1.585 orang perempuan (50,62%) dengan jumlah Kepala Keluarga 1069 KK. Desa


(29)

Karanglayung memiliki kepadatan penduduk sebesar 184 jiwa/ km. Adapun klasifikasi jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi penduduk Desa Naluk dan Desa Karanglayung berdasarkan umur

No Umur

(tahun)

Jumlah Jiwa

Jumlah Persentase (%)

Laki-laki Perempuan

Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang- layung Desa Naluk Desa Karang- Layung Desa Naluk Desa Karang-layung

1 0-4 135 86 106 85 241 171 7,55 5,46

2 5-9 140 80 109 82 249 162 7,80 5,17

3 10-14 101 83 118 85 219 168 6,86 5,37

4 15-19 112 75 113 91 225 166 7,05 5,30

5 20-24 129 85 152 93 281 178 8,80 5,68

6 25-29 120 99 109 97 229 196 7,17 6,26

7 30-34 130 96 138 89 268 185 8,39 5,91

8 35-39 127 100 132 90 259 190 8,11 6,07

9 40-44 90 96 110 94 200 190 6,26 6,07

10 45-49 113 95 116 96 229 191 7,17 6,10

11 50-54 113 88 120 98 233 186 7,30 5,94

12 55-59 107 88 99 86 206 174 6,45 5,56

13 60-64 58 85 72 94 130 179 4,07 5,72

14 65-69 50 85 42 81 92 166 2,88 5,30

15 70-75 24 76 30 88 54 164 1,69 5,24

16 ≥75 35 229 43 236 78 465 2,44 14,85

Jumlah 1.584 1.546 1.609 1.585 3.193 3.131 100 100

Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010)

4.3.2 Mata Pencaharian

Masyarakat Desa Naluk memiliki mata pencaharian pokok yang beragam. Sebagian besar masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani karena jumlah lahan pribadi yang dijadikan areal persawahan tinggi. Desa Karanglayung memiliki mata pencaharian pokok yang beragam juga. Sama halnya dengan Desa Naluk, masyarakat Desa Karanglayung sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, karena lahan milik yang dijadikan wilayah persawahan tinggi. Mata pencaharian masyarakat Desa Naluk dan Desa Karanglayung dapat dilihat pada Tabel 5.


(30)

Tabel 5 Klasifikasi penduduk Desa Naluk dan Karanglayung berdasarkan mata pencaharian

No Jenis

Pekerjaan

Jumlah Jiwa

Jumlah Persentase (%)

Laki-laki Perempuan Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang-layung

1 Petani 956 519 965 502 1.921 1.021 76,17 55,67

2 Buruh Tani 158 312 160 209 318 521 12,61 28,41

3 Buruh Migran

- 3 - 156 - 159 - 8,67

4 Pegawai Negeri Sipil

28 29 28 17 56 46 2,22 2,51

5 Pengrajin industri rumah tangga

2 13 - - 2 13 0,08 0,71

6 Pedagang keliling

- 3 9 5 9 8 0,36 0,44

7 Peternak 2 21 - 5 2 26 0,08 1,42

8 Montir 6 - - - 6 - 0,24 -

9 Pembantu rumah tangga

- - 2 - 2 - 0,08 -

10 TNI 10 6 - - 10 6 0,40 0,33

11 POLRI 3 2 - - 3 2 0,12 0,11

12 Pensiunan PNS/TNI/ POLRI

65 17 63 4 128 21 5,07 1,14

13 Pengusaha kecil dan menengah

4 6 - - 4 6 0,16 0,33

14 Dukun kampung terlatih

- - 1 - 1 - 0,04 -

15 Jasa pengobatan alternatif

- 3 - 1 - 4 - 0,22

16 Karyawan perusahaan swasta

42 - 18 - 60 - 2,38 -

17 Seniman/ Artis

- 1 - - - 1 - 0,05

Jumlah 1.276 935 1.246 899 2.522 1.834 100 100

Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010)

4.3.3 Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh masyarakat desa mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mayoritas pendidikan masyarakat Desa Naluk adalah sekolah dasar. Hal ini dapat dipengaruhi dari mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar petani,


(31)

sehingga ekonominya rendah dan tidak mampu membiayai sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Desa kedua yang dijadikan lokasi penelitian adalah Desa Karanglayung. Desa ini letaknya lebih jauh dari kabupaten dibandingkan dengan Desa Naluk. Sebagian besar masyarakat Desa Karanglayung tingkat pendidikanya adalah sekolah dasar, sama dengan masyarakat Desa Naluk. Selain disebabkan oleh mata pencaharian penduduk yang sebagian besar petani, hal ini disebabkan juga oleh jauhnya akses menuju kota. Data tingkat pendidikan di Desa Naluk dan Desa Karanglayung dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat pendidikan penduduk Desa Naluk dan Desa Karanglayung

No Tingkat Pendidikan

Jumlah Jiwa

Jumlah Persentase (%)

Laki-laki Perempuan Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang-layung Desa Naluk Desa Karang-layung

1 SD/ Sederajat 590 669 876 682 1.466 1.351 52,39 65,36

2 SMP/ Sederajat

261 175 271 184 532 359 19,01 17,37

3 SMA/ Sederajat

316 143 307 152 623 295 22,27 14,27

4 Akademi dan Perguruan Tinggi

75 37 102 25 177 62 6,33 3,00

Jumlah 1.242 1.024 1.556 1.043 2.798 2.067 100 100

Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010)

4.3.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang dilakukan di dalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai rencana. Kegiatan di Desa Naluk dan Karanglayung akan berlangsung dengan baik apabila sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan tersedia. Sarana dan prasarana umum di Desa Naluk dan Desa Karanglayung dapat dilihat pada Tabel 7.


(32)

Tabel 7 Sarana dan prasarana Desa Naluk dan Desa Karanglayung

No Sarana dan Prasarana

Jumlah (buah) Desa

Naluk

Desa Karanglayung

1 Peribadatan Jumlah masjid

Jumlah mushola

4 15

6 23

2 Kesehatan Balai pengobatan

Posyandu

1 1

1 1

3 Pendidikan Gedung SD/sederajat

Gedung SMP/sederajat Gedung TK

Lembaga pendidikan agama

1 - 1 3

1 1 2 6 -

4 Olahraga Lapangan sepak bola

Lapangan voli Lapangan basket

1 2 1

1 2 1


(33)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang

Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang (2010), luas lahan pertanian yaitu sekitar 51.906,02 ha, sedangkan luas hutan rakyat sekitar 14.338.72 ha. Melihat luas pemanfaatan lahan tersebut, berarti masyarakat lebih memilih lahannya untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian.

Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan kayu semakin meningkat sehingga stok kayu berkurang dan harga kayu semakin mahal. Melihat keadaan seperti itu masyarakat berpikir bahwa hutan rakyat memiliki prospek yang bagus kedepannya karena diharapkan kayu rakyat dapat memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Jika dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua pola pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan di Kabupaten Sumedang yaitu hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran.

5.1.1 Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat monokultur merupakan hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman yang dikembangkan. Desa yang terpilih sebagai tempat penelitian dengan bentuk hutan rakyat monokultur adalah Desa Naluk yang terletak di Kecamatan Cimalaka dengan luas hutan rakyat sebesar 78 ha. Hutan rakyat monokultur ini dikembangkan diatas lahan milik pribadi.

Kelompok tani hutan rakyat yang terdapat di Desa ini bernama kelompok tani Sariwangi dengan jumlah petani hutan rakyat sebanyak 300 orang tetapi yang aktif sebagai anggota kelompok tani hanya 30 orang. Terbentuknya kelompok tani Sariwangi ini pada tahun 1991, tetapi mulai bergerak di bidang hutan rakyat pada tahun 1999 dengan ketuanya yang bernama Bapak Nana. Pada awalnya sebelum menjadi kelompok tani hutan rakyat, kelompok tani ini lebih menonjolkan komoditas pertaniannya yaitu vanili dan pada waktu itu ketuanya adalah Bapak Syarif. Setelah harga vanili anjlok, kemudian kepengurusan berganti dan menjadi


(34)

perkumpulan petani hutan rakyat karena semua petani beralih ke hutan rakyat. Hal tersebut terjadi karena menurut ketua kelompok tani yaitu Bapak Nana, bahwa harga kayu memiliki prospek yang tinggi kedepannya dan sampai saat ini tidak ada harga kayu yang turun karena harga kayu tersebut tidak tergantung pada nilai tukar dolar dan makin bertambah harganya karena kebutuhan terhadap kayu semakin meningkat. Komoditas yang dikembangkan di hutan rakyat monokultur yaitu mahoni, jati dan sengon. Kondisi hutan rakyat monokultur dapat dilihat pada

Gambar 4.

a. Tanaman utama mahoni b. Tanaman utama jati

c. Tanaman utama sengon

Gambar 4 Kondisi tanaman pada hutan rakyat monokultur.  


(35)

Jenis utama yang dikembangkan di hutan rakyat ini pada awalnya adalah pohon sengon (Paraserianthes falcataria). Tapi setelah pohon sengon mulai gampang terserang oleh hama penyakit, banyak petani yang berlalih untuk menanam pohon mahoni (Swietenia mahagoni) karena harga jualnya lebih tinggi. Selain itu dalam pemeliharaan lahannya tidak terlalu sulit, petani tidak perlu repot-repot untuk membersihkan lahan karena jarang rumput yang tumbuh di bawah tegakan mahoni akibat dari tumpukan daun mahoni yang tebal bisa menghambat pertumbuhan rumput. Sehingga komoditas utama yang dikembangkan di hutan rakyat monokultur ini adalah pohon mahoni.

 

5.1.2 Hutan Rakyat Campuran

Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang di dalamnya terdiri dari lebih satu jenis pohon. Desa yang terpilih sebagai tempat penelitian untuk jenis hutan rakyat campuran adalah Desa Karanglayung dengan luas hutan rakyat sebesar 60 ha. Hutan rakyat ini dikembangkan di atas lahan desa bukan lahan milik pribadi karena hutan rakyat ini terbentuk melalui program penghijauan yang diadakan di desa tersebut. Pada awalnya sebelum hutan rakyat terbentuk lahan yang terdapat di desa ini merupakan lahan desa yang terbengkalai yang dipenuhi oleh rerumputan dan alang-alang serta tanaman buah yang tidak terawat.

Pada tahun 2004 Dinas Perkebunan dan Kehutanan setempat melaksanakan program penghijauan dan mengubah lahan desa yang terbengkalai menjadi hutan rakyat. Bibit pohon yang ditanam di hutan rakyat tersebut berasal dari Dinas Kehutanan setempat. Tujuan dari pembentukan hutan rakyat ini adalah untuk menghijaukan lahan desa, karena ketika tidak ada hutan kondisi udara dan lingkungan disekitar menjadi panas dan kering. Selain itu untuk membantu warga setempat yang mengalami kesulitan ekonomi.

Setelah itu dibentuklah kelompok tani hutan rakyat dengan nama kelompok Tani Bahagia II yang diketuai oleh Bapak Ujin Sutarji. Jumlah anggota kelompok tani tersebut sebanyak 43 orang. Hasil kayu yang didapat dari hutan rakyat tersebut nantinya di bagi hasil dengan pemerintah desa karena tanah yang digunakan adalah tanah desa. Pembagian hasil tersebut adalah 30% dari hasil penjualan kayu akan diberikan kepada pemerintah desa dan sisanya untuk petani.


(36)

Petani juga bisa menanami hutan rakyat tersebut dengan tanaman tumpang sari dan buah-buahan. Hasil dari tanaman tumpang sari ini sepenuhnya milik petani dan pemerintah desa setempat tidak akan memungut hasil.

Pada program penghijauan ini komoditas tanaman utama yang diberikan adalah jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahagoni). Selain itu pemerintah juga memberikan tanaman tumpang sari yaitu kelapa, jagung, mangga dan petai tetapi tanaman tumpang sari itu tidak tumbuh dengan baik karena dirusak oleh babi hutan. Tanaman tumpang sari yang tumbuh hanya petai dan mangga dan itupun hanya 2-3 pohon saja, sehingga petani lebih banyak memanfaatkan kayu bakarnya saja karena kayu yang ditanam belum bisa dimanfaatkan mengingat umur tanaman tersebut baru sekitar 7 tahun. Kondisi hutan rakyat campuran dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Hutan rakyat campuran dengan tanaman utama jati dan mahoni.

5.2 Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Karakteristik yang dipilih dari tiap petani hutan rakyat monokultur di Desa Naluk dan hutan rakyat campuran di Desa Karanglayung, meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan rumah tangga, luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh, frekuensi bertemu petani dan bantuan pemerintah. Karakteristik tersebut merupakan faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan


(37)

rakyat. Jumlah responden yang terpilih untuk tiap desa sebanyak 30 responden, sehingga jumlah keseluruhan responden untuk dua desa sebanyak 60 responden.

5.2.1 Umur Responden

Umur responden yaitu usia yang diukur dengan menghitung selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilakukan penelitian. Dalam menentukan kategori umur responden yaitu berdasarkan sebaran umur responden dan usia produktif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan rakyat monokultur bahwa sebaran umur tertinggi responden, yaitu: terdapat pada umur 50-59 tahun sebanyak 13 responden (43,33) dan terendah antara umur 40-49 tahun sebanyak 2 responden (6,67%). Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan di hutan rakyat campuran bahwa sebaran umur responden tertinggi terdapat pada umur 50-59 tahun sebanyak 10 responden (33,33%), tetapi untuk sebaran umur terendah yaitu antara umur 30-39 tahun sebanyak 2 responden (6,67%), berbeda dengan sebaran umur terendah pada hutan rakyat monokultur (Tabel 8).

Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan umur

Umur (tahun) Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

30-39 0 0,00 2 6,67

40-49 2 6,67 6 20,00

50-59 13 43,33 10 33,33

60-69 9 30,00 9 30,00

≥70 6 20,00 3 10,00

Total 30 100,00 30 100,00

Tabel 8 menunjukkan bahwa di hutan rakyat monokultur dan campuran rata-rata masyarakat yang bertanggung jawab mengelola hutan rakyat ada pada umur produktif antara 50-59 tahun. Hal ini berarti bahwa umur tua produktif paling banyak menjadi petani hutan rakyat dan berperan dalam mengelola hutan rakyat dibandingkan dengan umur muda. Rendahnya umur muda dibandingkan dengan umur tua karena umur muda lebih memilih mengadu nasib diluar kota dibandingkan menjadi petani dan tinggal di desa. Selain itu petani yang berumur tua mempunyai pengalaman yang lebih banyak dalam hal bertani karena sejak


(38)

mereka muda sudah bertani. Menurut Budiarti (2011), bahwa umur juga merupakan salah satu indikator kematangan berpikir, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Biasanya kematangan berpikir, pengetahuan dan pengalaman seseorang berbanding lurus terhadap umur yang dimilikinya. Salah satu kriteria dalam penokohan seseorang dimasyarakat adalah kematangan seseorang dilihat dari segi usianya. Oleh sebab itu petani yang lebih banyak berperan aktif dalam mengelola hutan rakyat adalah yang berumur tua.

5.2.2 Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan responden adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik petani hutan rakyat yang mempengaruhi persepsi petani karena bisa dijadikan tolak ukur kualitas sumberdaya manusia dalam memberikan pendapat mengenai pengelolaan hutan rakyat yang baik. Tingkat pendidikan responden pada hutan rakyat monokultur yang terbanyak adalah pada tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) sebanyak 17 responden (56,67%) dan yang terendah pada tingkat pendidikan perguruan tinggi sebanyak 2 responden (6,67%). Begitu juga dengan tingkat pendidikan responden di hutan rakyat campuran, paling banyak jenjang pendidikan responden adalah sekolah dasar sebanyak 26 responden (86,67%), tetapi untuk yang paling sedikit ada pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas yaitu sebanyak 2 responden (6,67%) (Tabel 9).

Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan Terakhir Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

Tidak sekolah 0 0,00 0 0,00

SD 17 56,67 26 86,67

SMP 3 10,00 2 6,67

SMA 8 26,67 2 6,67

PT 2 6,67 0 0,00

Total 30 100,00 30 100,00

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan petani di hutan rakyat monokultur dan campuran tergolong rendah karena rata-rata responden tingkat pendidikannya sampai sekolah dasar. Namun jika dilihat dari jumlah persentase,


(39)

hutan rakyat campuran memiliki persentase yang paling besar pada tingkat pendidikan sekolah dasar dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Selain itu pada hutan rakyat campuran tidak ada responden yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi. Hal ini disebabkan tingkat perekonomian petani di hutan rakyat campuran lebih rendah dibandingkan dengan petani di hutan rakyat monokultur karena lahan yang dijadikan hutan rakyat merupakan lahan desa untuk membantu masyarakat yang kekurangan dalam hal ekonomi, sedangkan pada hutan rakyat monokultur semua lahannya merupakan lahan milik pribadi. Bantuan tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian, karena dengan meningkatnya tingkat perekonomian diharapkan dapat meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat sehingga kualitas sumberdaya manusia dalam mengelola hutan akan lebih baik.

5.2.3 Pengalaman Bertani Responden

Pengalaman bertani yaitu waktu yang ditempuh oleh responden dalam melakukan kegiatan bertani dari pertama menjadi petani hingga saat ini. Pengalaman bertani merupakan salah satu karakteristik yang mempengaruhi persepsi responden, karena merupakan unsur yang ada dalam diri pribadi yang dapat menambah ilmu pengetahuan sehingga mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan. Pengalaman bertani responden di hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan pengalaman bertani Pengalaman

Bertani (tahun)

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

15-21 11 36,67 7 23,33

22-28 9 30,00 4 13,33

29-35 6 20,00 13 43,33

36-42 3 10,00 4 13,33

≥43 1 3,33 2 6,67

Total 30 100,00 30 100,00

Tabel 10 memperlihatkan bahwa pengalaman bertani di desa yang pengelolaan hutannya monokultur paling tinggi adalah antara 15-21 tahun berjumlah 11 responden (36,67%) dan yang paling rendah jumlah respondennya ≥


(40)

43 tahun, yaitu: sebanyak 1 responden (3,33%). Di desa yang pengelolaan hutannya campuran memiliki pengalaman bertani yang berbeda dengan desa yang pengelolaan hutannya monokultur. Pada hutan rakyat campuran pengalaman bertani tertinggi ada di antara 29-35 tahun sebanyak 13 reponden (43,33%) dan yang paling rendah jumlah respondennya sama dengan hutan rakyat monokultur ≥ 43 tahun sebanyak 2 responden (6,67%). Perbedaan pengalaman bertani antara hutan rakyat monokultur dan campuran dapat terjadi karena pada hutan rakyat monokultur jumlah rata-rata pekerjaan pokok responden di bidang usaha tani paling kecil dibandingkan dengan hutan rakyat campuran yang jumlah pekerjaan pokok responden di bidang usaha tani jauh lebih banyak karena pada hutan rakyat campuran rata-rata responden sejak masih muda dan lajang sudah menjadi petani.

5.2.4 Jenis Pekerjaan Responden

Jenis pekerjaan responden merupakan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian. Jenis pekerjaan ini terdiri dari dua, yaitu: pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan.

1. Pekerjaan Pokok

Pekerjaan pokok merupakan sumber mata pencaharian pokok responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan pokok di kedua tempat penelitian ini digolongkan menjadi 4, yaitu: buruh, petani, wiraswasta dan pegawai negeri. Pekerjaan sebagai buruh, yaitu: buruh tani dan buruh serabutan. Untuk wiraswasta jenis pekerjaannya diusahakan sendiri terdiri dari usaha ternak, dagang, dan lain-lain.

Pada hutan rakyat monokultur, responden yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah yang paling tinggi, yaitu: sebanyak 19 responden (63,33%) dan jumlah responden yang paling rendah bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 2 responden (6,67%). Pada hutan rakyat campuran jumlah responden yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah responden yang paling banyak yaitu sebanyak 28 responden (93,33%) dan jumlah responden yang paling sedikit bekerja sebagai pegawai negeri yaitu sebanyak 1 responden (3,33%). Tapi pekerjaan pokok sebagai petani lebih banyak dilakukan oleh responden pada hutan rakyat campuran dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Hal ini dapat terjadi


(41)

karena rendahnya tingkat pendidikan dan perekonomian pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran, sehingga masyarakatnya lebih memilih bekerja sebagai petani.

Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan pokok

Pekerjaan Pokok Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

Petani 19 63,33 28 93,33

Buruh 0 0,00 0 0,00

Wiraswasta 2 6,67 1 3,33

Pegawai Negeri 9 30,00 1 3,33

Total 30 100,00 30 100,00

2. Pekerjaan Sampingan

Pekerjaan sampingan merupakan sumber mata pencaharian sampingan responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan ini dapat menunjang pekerjaan pokok, sehingga menambah pendapatan keluarga. Sama halnya dengan pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan di kedua tempat penelitian ini digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu: tidak ada pekerjaan, buruh, petani dan wiraswasta. Tidak semua responden memiliki pekerjaan sampingan sehingga ada penggolongan yang tidak memiliki pekerjaan sampingan. Untuk jenis pekerjaan yang termasuk sebagai buruh sama halnya pada pekerjaan pokok yaitu buruh tani dan buruh serabutan. Jenis pekerjaan yang termasuk wiraswasta pun sama yaitu usaha ternak, dagang dan lain-lain (Tabel 12).

Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan sampingan Pekerjaan

Sampingan

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

Tidak ada 2 6,67 3 10,00

Petani 11 36,67 2 6,67

Buruh 11 36,67 15 50,00

Wiraswasta 6 20,00 10 33,33

Total 30 100,00 30 100,00

Tabel 12 menunjukkan bahwa pada hutan rakyat monokultur, responden terbanyak bekerja sebagai buruh dan petani yaitu sebanyak 11 responden (36,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit tidak mempunyai pekerjaan sampingan sebanyak 2 responden (6,67%). Berbeda dengan pekerjaan sampingan


(42)

pada hutan rakyat campuran, responden terbanyak bekerja sebagai buruh yaitu sebanyak 15 responden (50,00%) dan jumlah responden yang paling rendah mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani sebanyak 2 responden (6,67%). Pada hutan rakyat campuran, pekerjaan sampingan sebagai buruh lebih banyak dibandingkan pada hutan rakyat monokultur. Hal tersebut terjadi karena pada hutan rakyat campuran pekerjaan pokok responden lebih banyak bekerja sebagai petani, selain itu tingkat perekonomiannya lebih rendah dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur.

5.2.5 Jumlah Tanggungan Responden

Karakteristik responden selanjutnya adalah jumlah tanggungan responden. Jumlah tanggungan responden adalah jumlah individu dalam keluarga responden yang masih menjadi tanggungan responden, terdiri dari istri, anak, cucu dan saudara. Sebaran jumlah tanggungan responden yang dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa pada hutan rakyat monokultur jumlah responden terbanyak memiliki jumlah tanggungan antara 0-1 orang sebanyak 20 responden (66,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit memiliki jumlah tanggungan ≥ 4 orang sebanyak 3 responden (10%).

Jumlah tanggungan responden pada hutan rakyat campuran berbeda dengan hutan rakyat monokultur. Pada hutan rakyat campuran jumlah responden tertinggi memiliki jumlah tanggungan antara 2-3 orang sebanyak 17 responden (56,67%), tetapi untuk jumlah responden terendah sama dengan hutan rakyat monokultur memiliki jumlah tanggungan ≥ 4 orang yaitu sebanyak 1 responden (3,33%). Dari tabel 17 dapat dilihat bahwa petani di desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih besar dibandingkan dengan petani di desa yang pengelolaan hutan rakyatnya monokultur.


(43)

Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga Jumlah

Tanggungan (Jiwa)

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

0-1 20 66,67 12 40,00

2-3 7 23,33 17 56,67

≥4 3 10,00 1 3,33

Total 30 100,00 30 100,00

5.2.6 Pendapatan Bersih Responden

Pendapatan yang diterima oleh responden merupakan manfaat ekonomi terhadap kontribusi pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat. Menurut Budiarti (2011), pendapatan responden merupakan penerimaan ataupun pemasukan berupa uang yang diterima karena telah melakukan kegiatan (bekerja) dalam kurun waktu tertentu dengan perhitungan tertentu pula. Pendapatan ini dapat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat desa dengan terpenuhinya kebutuhan hidup. Pendapatan responden berasal dari tiga kegiatan yaitu hutan rakyat, non hutan rakyat usaha tani dan non usaha tani. Karakteristik pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan bersih karena pendapatan total telah dikurangi pengeluaran rumah tangga petani (Tabel 14).

Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan pendapatan bersih rumah tangga Pendapatan

(Juta Rp/tahun)

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

0 – 2 10 33,33 12 40,00

2,1 – 4 3 10,00 7 23,33

4,1 – 6 3 10,00 4 13,33

6,1 – 8 0 0,00 2 6,67

≥ 8,1 14 46,67 5 16,67

Total 30 100,00 30 100,00

Tabel 14 menunjukkan bahwa pada hutan rakyat monokultur, jumlah responden terbanyak memiliki pendapatan ≥ Rp 8.100.000/tahun sebanyak 14 responden (46,67%) dan jumlah responden terendah memiliki pendapatan antara Rp 2.100.000 – Rp 4.000.000/tahun dan Rp 4.100.000 – Rp 6.000.000/tahun yaitu sebanyak 3 responden (10%). Berbeda dengan pendapatan responden pada hutan rakyat campuran, bahwa jumlah responden terbanyak memiliki pendapatan antara Rp 0 – Rp 2.000.000/tahun yaitu sebanyak 12 responden (40%) dan jumlah


(44)

responden terendah memiliki pendapatan Rp 6.100.000 – Rp 8.000.000/tahun yaitu sebanyak 2 responden (6,67%).

Pada Tabel 14 dapat dilihat juga bahwa pendapatan rumah tangga yang paling tinggi adalah pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat monokultur dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat campuran. Hal tersebut terjadi karena faktor mata pencaharian petani, pendidikan dan jarak ke pusat kota lebih baik pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya monokultur dibandingkan dengan desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran.

5.2.7 Luas Kepemilikan Lahan

Luas kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden. Pada hutan rakyat monokultur, luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masing-masing responden bervariasi, ditunjukkan oleh Tabel 15. Luas kepemilikan lahan antara 700-1.900 m² memiliki jumlah responden yang paling banyak, 16 responden (53,33%) dan luas lahan antara 4.600-5.800 m² dan ≥ 3.500 m² memiliki jumlah responden yang paling sedikit 1 responden (3,33%). Untuk hutan rakyat campuran, luas lahan antara 3.300-4.500 m² memiliki jumlah responden yang terbanyak 11 responden (36,67%) dan luas lahan antara 2.000-3.200 m² dan ≥ 3.500 m² memiliki jumlah responden yang paling sedikit 6 responden (20%).

Pada hutan rakyat monokultur lebih banyak petani yang memiliki luas lahan antara 700-1.900 m². Hal ini berarti bahwa petani pada hutan rakyat campuran memiliki luas lahan yang lebih luas dibandingkan dengan petani pada hutan rakyat monokultur, karena lahan yang dimiliki oleh petani pada hutan rakyat campuran merupakan lahan milik desa atau pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu agar memiliki pendapatan tambahan dari hasil hutan. Selain itu potensi lahan desa tersebut untuk dijadikan hutan rakyat luas, maka pembagian luasan untuk tiap petani cukup luas.


(45)

Tabel 15 Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan Luas

Kepemilikan Lahan (m²)

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

700-1900 16 53,33 0 0,00

2000-3200 10 33,33 6 20,00

3300-4500 2 6,67 11 36,67

4600-5800 1 3,33 7 23,33

≥ 5900 1 3,33 6 20,00

Total 30 100,00 30 100,00

5.2.8 Kekosmopolitan

Kekosmopolitan merupakan karakteristik petani yang termasuk faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur. Kekosmopolitan adalah interaksi petani dengan dunia luar. Tingkat kekosmopolitan petani ini dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Untuk lebih jelasnya tingkat kekosmopolitan petani pada hutan rakyat monokultur dan campuran dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan tingkat kekosmopolitan Tingkat

Kekosmopolitan

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

Tinggi 7 23,33 5 16,67

Sedang 6 20,00 6 20,00

Rendah 17 56,67 19 63,33

Total 30 100,00 30 100,00

Pada hutan rakyat monokultur jumlah responden terbanyak ada pada kategori rendah sebanyak 17 responden (56,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit ada pada kategori sedang sebanyak 6 responden (20%). Begitu juga tingkat kekosmopolitan pada hutan rakyat campuran, jumlah responden terbanyak ada pada kategori rendah sebanyak 19 responden (63,33%) dan jumlah responden terendah ada pada kategori tinggi sebanyak 5 responden (16,67%). Rata-rata tingkat kekosmopolian di kedua pengelolaan hutan rakyat tergolong rendah karena seluruh aktivitas sehari-hari petani adalah berladang ataupun mencari rumput untuk ternak dari pagi hari sampai sore hari, sehingga tidak ada waktu untuk keluar desa. Saat sore hari ketika berada di rumah petani lebih memilih untuk beristirahat dan menonton televisi juga tidak lama karena aktivitas


(46)

berladang membuat lelah dan tidur pun lebih awal. Selain itu karena letak desa jauh dari kota sehingga media cetak seperti koran jarang dibaca oleh petani karena tidak ada yang berjualan koran ke desa-desa tersebut. Akibatnya interaksi dengan dunia luar pun jarang dan pengetahuan petani tentang kemajuan di dunia luar kurang. Faktor umur juga menyebabkan tingkat kekosmopolitan rendah karena semakin tinggi umur maka kemampuan untuk membaca ataupun melihat akan semakin kurang.

5.2.9 Kontak dengan Penyuluh

Kontak dengan penyuluh adalah bertatap muka langsung dengan penyuluh pada suatu pertemuan atau perkumpulan yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat dalam tiga bulan terakhir. Kontak dengan penyuluh disini terdiri dari 3 kategori, yaitu: tinggi sedang, dan rendah. Pada hutan rakyat monokultur, jumlah responden terbanyak memiliki kategori sedang dalam hal bertemu atau kontak dengan penyuluh sebanyak 16 responden (53,33%). Sama halnya pada hutan rakyat campuran, jumlah responden terbanyak ada pada kategori sedang sebanyak 13 responden (43,33%). Hal ini berarti baik pada hutan rakyat monokultur maupun campuran, kontak petani dengan penyuluh tergolong sedang, karena rata-rata petani menjawab bahwa dalam 1 bulan mereka bertemu dengan penyuluh sebanyak 1 kali, berarti dalam 3 bulan terakhir 3 kali bertemu dengan penyuluh. Menurut petani jika ada kegiatan di hutan rakyat, 1 bulan bisa 2 atau 3 kali bertemu dengan penyuluh. Sebaiknya kegiatan penyuluhan harus lebih sering lagi dilakukan dan tidak hanya jika ada kegiatan saja, agar pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan lebih bertambah dan semakin banyak masyarakat yang mengelola hutan karena peran hutan sangat penting bagi kehidupan manusia salah satunya dalam mengatasi masalah cuaca yang tidak menentu sekarang-sekarang ini akibat lahan hutan sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida semakin berkurang. Kontak dengan penyuluh tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.


(47)

Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan tingkat kontak dengan penyuluh

Kontak Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

dengan Penyuluh n % n %

Tinggi 7 23,33 12 40,00

Sedang 16 53,33 13 43,33

Rendah 7 23,33 5 16,67

Total 30 100,00 30 100,00

5.2.10 Frekuensi Bertemu Petani

Frekuensi bertemu petani adalah intensitas bertatap muka langsung dengan petani. Frekuensi bertemu dengan petani merupakan salah satu karakteristik faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, dimana frekuensi bertemu dengan petani terdiri dari dua kategori, yaitu: sering dan jarang. Rata-rata responden di kedua pola pengelolaan hutan rakyat yaitu monokultur dan campuran mempunyai kategori sering bertemu, untuk hutan rakyat monokultur sebanyak 21 (70%) dan hutan rakyat campuran sebanyak 18 responden (60%), ditunjukkan pada Tabel 18. Hal ini terjadi karena jarak rumah petani yang berdekatan dan masih tinggal dalam satu desa, kadang-kadang bertemu di mesjid dan ladang. Tapi yang paling sering mereka bertemu di ladang karena aktivitas sehari-hari mereka dari pagi hingga sore hari berada di ladang.

Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan tingkat frekuensi bertemu petani Frekuensi

Bertemu Petani

Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

n % n %

Sering 21 70,00 18 60,00

Jarang 9 30,00 12 40,00

Total 30 100,00 30 100,00

5.2.11 Bantuan Pemerintah

Bantuan pemerintah termasuk karakteristik faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani, karena semakin banyak bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani berupa fasilitas yang menunjang keberhasilan pengelolaan hutan rakyat, maka akan semakin baik pengelolaan hutan rakyat tersebut. Tanggapan petani mengenai adanya bantuan dari pemerintah dapat dilihat pada Tabel 19.


(48)

Tabel 19 Distribusi responden berdasarkan tanggapan terhadap bantuan pemerintah

Bantuan Petani HR Monokultur Petani HR Campuran

Pemerintah n % n %

Ada 23 76,67 21 70,00

Tidak ada 7 23,33 9 30,00

Total 30 100,00 30 100,00

Rata-rata petani untuk masing-masing pola hutan rakyat, menjawab bahwa ada bantuan dari pemerintah yang diberikan kepada petani hutan rakyat. Pada hutan rakyat monokultur jumlah responden yang menjawab ada bantuan sebanyak 23 responden (76,67%) dan pada hutan rakyat campuran sebanyak 21 responden (70%). Bantuan pemerintah tersebut berupa bibit, pupuk dan dana. Untuk hutan rakyat monokultur, banyaknya bibit yang diberikan tergantung dari kebutuhan petani karena untuk saat ini tidak semua petani mendapatkan bibit dari pemerintah karena kebanyakan petani sudah bisa membuat bibit sendiri. Sedangkan untuk hutan rakyat campuran, rata-rata petani masih mendapatkan bibit dari pemerintah untuk kegiatan penyulaman, jadi banyaknya bibit yang diberikan pemerintah tergantung banyaknya tanaman yang mati. Untuk bantuan pupuk anorganik diberikan pemerintah pada saat tanaman masih berumur kurang dari 1 tahun. Banyaknya pupuk yang diberikan tergantung dari luasan hutan rakyat yang dimiliki petani. Jika tanaman sudah berumur lebih dari tahun, petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang. Dana dari pemerintah tersebut digunakan oleh petani untuk keperluan membeli obat-obatan jika tanaman terserang hama dan juga digunakan untuk kegiatan di hutan rakyat seperti GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Banyaknya dana yang diberikan tergantung dari seberapa banyak obat yang dibutuhkan dan seberapa besar kegiatan yang dilaksanakan.

5.3 Persepsi Petani Hutan Rakyat

Persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran terdiri dari dua, yaitu persepsi ekologi dan persepsi sosial. Persepsi ekologi dicari yaitu untuk mengetahui manfaat ekologi yang dirasakan petani dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran.


(1)

Lanjutan Lampiran 7

Correlations

persepsi

pekerjaan sampingan Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.174

Sig. (2-tailed) . .358

N 30 30

pekerjaan sampingan

Correlation Coefficient -.174 1.000

Sig. (2-tailed) .358 .

N 30 30

Correlations

Persepsi

jumlah tanggungan

keluarga Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.250

Sig. (2-tailed) . .182

N 30 30

jumlah tanggungan keluarga

Correlation Coefficient -.250 1.000

Sig. (2-tailed) .182 .

N 30 30

Correlations

Persepsi

pendapatan rumah tangga Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 .032

Sig. (2-tailed) . .865

N 30 30

pendapatan rumah tangga

Correlation Coefficient .032 1.000

Sig. (2-tailed) .865 .


(2)

persepsi lahan Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 .224

Sig. (2-tailed) . .234

N 30 30

luas kepemilikan lahan

Correlation Coefficient .224 1.000

Sig. (2-tailed) .234 .

N 30 30

Correlations

persepsi Kekosmopolitan Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.221

Sig. (2-tailed) . .240

N 30 30

kekosmopolitan Correlation Coefficient -.221 1.000

Sig. (2-tailed) .240 .

N 30 30

Correlations

persepsi

kontak dengan penyuluh Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 .319

Sig. (2-tailed) . .085

N 30 30

kontak dengan penyuluh

Correlation Coefficient .319 1.000

Sig. (2-tailed) .085 .

N 30 30

Correlations

persepsi

frekuensi bertemu petani Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.111

Sig. (2-tailed) . .559

N 30 30

frekuensi bertemu petani

Correlation Coefficient -.111 1.000

Sig. (2-tailed) .559 .


(3)

Lanjutan Lampiran 8

Correlations

persepsi

bantuan pemerintah Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.189

Sig. (2-tailed) . .317

N 30 30

bantuan pemerintah Correlation Coefficient -.189 1.000

Sig. (2-tailed) .317 .

N 30 30


(4)

persepsi lahan Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 .639**

Sig. (2-tailed) . .000

N 30 30

luas kepemilikan lahan

Correlation Coefficient .639** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Correlations

persepsi Kekosmopolitan Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.018

Sig. (2-tailed) . .924

N 30 30

kekosmopolitan Correlation Coefficient -.018 1.000

Sig. (2-tailed) .924 .

N 30 30

Correlations

persepsi

kontak dengan penyuluh Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.021

Sig. (2-tailed) . .912

N 30 30

kontak dengan penyuluh

Correlation Coefficient -.021 1.000

Sig. (2-tailed) .912 .

N 30 30

Correlations

persepsi

frekuensi bertemu petani Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.577**

Sig. (2-tailed) . .001

N 30 30

frekuensi bertemu petani

Correlation Coefficient -.577** 1.000

Sig. (2-tailed) .001 .

N 30 30


(5)

Lanjutan Lampiran 9

Correlations

persepsi

bantuan pemerintah Spearman's rho persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.279

Sig. (2-tailed) . .136

N 30 30

bantuan pemerintah Correlation Coefficient -.279 1.000

Sig. (2-tailed) .136 .


(6)

Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan Leti Sundawati.

Hutan rakyat dapat berperan dalam menjaga kelestarian hutan karena pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk penyediaan bahan baku industri, sehingga tercipta kelestarian ekosistem lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan hutan rakyat yang terus meningkat diharapkan dapat menekan laju eksploitasi yang dilakukan pada hutan alam. Menurut komposisi jenisnya pola pengelolaan hutan rakyat terdiri dari dua, yaitu: hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pola pengelolaan yang berbeda tentunya akan memberikan manfaat yang berbeda pula. Untuk mengetahui perbedaan tersebut diperlukan persepsi petani tentang hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani dari pola hutan rakyat monokultur dan campuran, menghitung kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani hutan rakyat dilihat dari karakteristik petani. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011 dengan pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling. Responden yang diambil, yaitu: petani hutan rakyat monokultur 30 responden dan petani hutan rakyat campuran 30 responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dianalisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman dengan SPSS 16.0.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa persepsi petani terhadap manfaat ekologi dan sosial hutan rakyat baik yang monokultur maupun campuran ada pada kategori tinggi. Dilihat dari persentase jumlah responden, tingkat persepsi untuk manfaat ekologi lebih besar pada hutan rakyat monokultur dan tingkat persepsi untuk manfaat sosial lebih besar pada hutan rakyat campuran. Dari segi ekonomi, hutan rakyat saat ini masih memberikan manfaat yang kecil karena belum ada pemanenan dari hasil kayu. Pada hutan rakyat monokultur persepsi petani hutan rakyat dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu: tingkat pendidikan dan pekerjaan sampingan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi. Pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi dan semakin banyak pekerjaan sampingan pada usaha tani, maka akan semakin tinggi tingkat persepsinya. Pada hutan rakyat campuran persepsi petani dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu: luas kepemilikan lahan dan frekuensi bertemu petani yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi. Semakin luas lahan yang dimiliki dan semakin jarang frekuensi bertemu dengan sesama petani, maka akan semakin tinggi tingkat persepsinya.

Kata kunci : Persepsi Petani, Hutan Rakyat, Pola Pengelolaan, Monokultur, Campuran.


Dokumen yang terkait

Kontribusi Hutan Rakyat Kemenyan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

2 53 66

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI (Studi Kasus Desa Kutoarjo Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung)

1 11 137

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI (Studi Kasus Desa Kutoarjo Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung)

1 5 7

Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Sub DAS Cimanuk Hulu

0 9 15

Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Wilayah Das Cimanuk Hulu

0 13 25

Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bogor (Studi Kasus Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Nanggung)

0 22 80

Analisis pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat studi kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

3 13 66

Sistem Pengelolaan dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Kasus di Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur)

0 19 97

Analisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat: kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

2 12 107

Analisis Finansial dan Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (di Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

2 48 142