Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine Max L) Di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut).
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI (Glycine max L.)
DI JAWA BARAT
(studi kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)
MUHAMAD HAMAJI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut) adalah benar karya saya dengan arahan dosen
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Muhamad Hamaji
NRP H34100147
ABSTRAK
MUHAMAD HAMAJI. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di
Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Dibimbing
oleh JUNIAR ATMAKUSUMA.
Kedelai merupakan bahan makanan di urutan ke tiga setelah beras dan
jagung yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonseia. Jawa barat merupakan
provinsi sentra kedelai urutan ke lima secara nasional, Kabupaten Garut adalah
kabupaten sentra produksi kedelai utama, dan Kecamatan Banyuresmi adalah
kecamatan yang memiliki produksi kedelai tertinggi se Kabupaten Garut. Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur,
dan perilaku pasar oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditi kedelai dan
menganalisis efisiensi saluran tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga
dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat lima saluran utama yang terbentuk dengan
lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Dari
lima saluran dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tujuan akhir penggunaan
kedelai. Kelompok satu yaitu saluran yang mendistribusikan kedelai untuk tujuan
akhir dikonsumsi yang terdiri dari saluran satu dan dua. Sedangkan kelompok dua
adalah saluran yang mendistribusikan kedelai untuk tujuan akhir benih yang
terdiri dari saluran tiga, empat, dan lima. Hasil indikasi analisis efisiensi
operasional dan indikator kualitatif menunjukkan bahwa saluran tataniaga yang
terbentuk cenderung mengarah ke efisien. Saluran yang dinilai paling efisien dari
kelima saluran yang ada adalah saluran dua dengan jumlah petani yang
memilihnya sebanyak 16 petani atau 53.33 persen, marjin Rp 800, farmer’s share
90.1, dan rasio keuntungan terhadap biayanya 1.34. Selain itu pada sauran dua
aktivitas tataniaganya dapat beralangsung secara kontinu dan volume penjualan
kedelai yang mampu mencapai 20 ton per bulannya.
Kata kunci: Kedelai, Kecamatan Banyuresmi, efisiensi, farmer’s share, tataniaga
kedelai
ABSTRACT
MUHAMAD HAMAJI. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di
Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Dibimbing
oleh JUNIAR ATMAKUSUMA
Soybean is a food in order to three after rice and corn are consumed many
Indonseia community. Java is a province of central western soy fifth nationally,
Garut district is the main soybean production center, and the district Banyuresmi
is the one that has the highest production of soybeans in Garut. The purpose of
this study was to analyze the channel trading system, function, structure, and
behavior of the market by institutions trading system on commodity soybeans and
soybean trading system to analyze the efficiency of the channel on each channel
trading system trading system margin approach, the farmer's share, and profit
ratios. Based on this research, there are five main channels formed by institutions,
functions, and different market structures on each channel. Of the five channels
grouped into two based on the use of soy final destination. Group one is the
channel that distributes soy consumption to final destination channel consisting of
one and two. While the two groups is the channel that distributes soybean seeds to
final destination channel consisting of three, four, and five. The results of the
analysis indicated operational efficiency and qualitative indicators show that the
channel formed trading system tends to lead to efficient. Channel is considered
efficient channel two the number of farmers who choose it as many as 16 farmers
or 53.33 percent, a margin of Rp 800, the farmer's share of 90.1, and the ratio of
benefit to cost is 1.34. Marketting proces in channel two can event continues and
marketing volume soybean can be 20 month even month.
Key words: Soybean, district Banyuresmi, efficiency, farmer's share, soybean
trading system
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI (Glycine max L.)
DI JAWA BARAT
(studi kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)
MUHAMAD HAMAJI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari - Mei 2014 ini adalah
tataniaga produk agribisnis, dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Kedelai
(Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten
Garut)”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Juniar Atmakusuma, MS
selaku pembimbing skripsi serta atas masukan, perhatian dan kesabarannya yang
telah membimbing penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu
Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama dan Bapak Dr. Ir Wahyu
Budi Priatna MS selaku dosen penguji Departemen Agribisnis yang telah
memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada seluruh civitas Departemen Agribisnis dan Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Riany Hidayah yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil
penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Jaja
yang telah membantu selama pengumpulan data primer. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada responden dalam penelitian ini yang telah
bersedia membantu proses penyelesaian karya tulis ini. Selanjutnya Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga
atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat
kepada teman-teman seperjuangan AGB 47 IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, September 2014
Muhamad Hamaji
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
8
Kegunaan Penelitian
8
Ruang Lingkup Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
10
Gambaran Umum Kedelai
10
Sistem Tataniaga
10
Studi Empirik Saluran Tataniaga dan Efisiensi tataniaga
11
Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar
13
KERANGKA PEMIKIRAN
15
Kerangka Pemikiran Teoritis
15
Konsep Sistem Tataniaga
15
Konsep Fungsi Tataniaga
16
Konsep Saluran dan Lembaga Tataniaga
17
Konsep Struktur, Keragaan dan Perilaku Pasar
20
Konsep Efisiensi Tataniaga
23
Konsep Margin Tataniaga
23
Konsep Farmer’s Share
25
Konsep Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Tataniaga
25
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
26
28
Lokasi dan Waktu
28
Jenis dan Sumber Data
28
Metode Pengumpulan Data
28
Metode Pengolahan dan Analisis Data
28
Analisis Saluran Tataniaga
29
Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga
29
Analisis Struktur dan Perilaku Pasar
30
Analisis Margin Tataniaga
30
Analisis Farmer’s Share
31
Analisis Rasio Keuntungan tarhadap Biaya Tataniaga
31
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
33
Gambaran Umum Kecamatan Banyuresmi
33
Karakteristik Petani Responden
35
Karakteristik Lembaga Tataniga Responden
38
Gambaran Umum Usahatani Kedelai
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Lembaga, Fungsi, dan Saluran Tataniaga
43
43
Analisis Lembaga Tatatniaga
43
Analisis Saluran Tataniaga
43
Analisis Struktur Pasar
48
Struktur Pasar di Tingkat Petani
48
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecil
49
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Besar
49
Analisis Perilaku Pasar
50
Praktik Pembelian dan Penjualan
50
Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi
50
Sistem Pembayaran
51
Sistem Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
51
Analisis Fungsi Tataniaga
52
Fungsi tataniga di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecil
52
Fungsi pertukaran pada pedagang pengumpul kecil
53
Fungsi fisik pada pedagang pengumpul kecil
53
Fungsi fasilitas pada pedagang pengumpul kecil
54
Fungsi Tataniaga Pedagang Pengumpul Besar
54
Fungsi pertukaran pada pedagang pengumpul besar
54
Fungsi fisik pada pedagang pengumpul besar
55
Fungsi fasilitas pada pedagang pengumpul besar
55
Analisis Keragaan Pasar
55
Analisis Marjin Tataniaga
56
Analisis Farmer’s Share
58
Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga
59
SIMPULAN DAN SARAN
62
Simpulan
62
Saran
62
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
80
DAFTAR TABEL
1
Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi
kedelai nasional tahun 2004-2012
2
Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional
tahun 2008-2012 (ton)
3
Produksi kedelai di kabupaten sentra produksi se Jawa Barat tahun
2010-2012 (ton)
3
4 Produksi kedelai di kecamatan sentra produksi di Kabupaten Garut tahun
2009-2013(ton)
4
2
3
5
Kebutuhan kedelai pada industri tahu-tempe di Kabupaten Garut setiap
tahunnya
5
Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di
KabupatenGarut tahun 2009-2013 (ha)
5
Perbedaan harga jual kedelai di tingkat petani dengan harga beli
konsumen akhir di Kabupaten Garut tahun 2014
6
8
Harga di tingkat petani kedelai nasional tahun 2005-2014 (Rp/kg)
7
9
Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut pembeli 21
6
7
10 Penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Banyuresmi tahun 2013
33
11 Mata pencaharian penduduk Kecamatan Banyuresmi tahun 2013
34
12 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2013
34
13 Sarana pendidikan Kecamatan Banyuresmi tahun 2013
35
14 Sebaran kategori status penguasaan lahan petani kedelai responden di
Kecamatan Banyursmi, Kabupaten Garut
35
15 Sebaran kategori umur petani kedelai responden di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
36
16 Tingkat pendidikan formal petani kedelai di Kecamatan Banyuresmi,
Kabupaten Garut
37
17 Kategori lama usahatani kedelai petani responden di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
37
18 Karakteristik pedagang pengumpul kecil responden Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
38
19 Karakteristik pedagang pengumpul besar responden Kabupaten Garut
39
20 Karakteristik industri tahu-tempe responden Kabupaten Garut
39
21 Analisis pendapatan usahatani kedelai petani responden untuk lahan
0,35 ha per musim tanam (3 – 4 bulan) Kecamatan Banyuresmi,
Kabupaten Garut
42
22 Struktur pasar yang dihadapi lembaga tataniaga di Kecamatan
Banyuresmi Kabupaten Garut tahun 2014
48
23 Fungsi tataniaga dari lemabaga tataniaga responden kedelai di
Kabupaten Garut
52
24 Analisis marjin tatniaga pada setiap saluran tataniaga kedelai untuk
konsumsi
di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut tahun
2014 (Rp/Kg)
56
25 Analisis marjin tatniaga pada setiap saluran tataniaga kedelai benih di
Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut tahun 2014 (Rp/Kg)
57
26 Farmer’s Share pada setiap saluran tataniaga kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut tahun 2014
59
27 Nilai rasio kentungan dan biaya tataniaga kedelai untuk konsumsi di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.
60
28 Nilai rasio kentungan dan biaya tataniaga kedelai untuk benih di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.
61
29 Marjin, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) dari
tataniaga kedelai di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut
61
DAFTAR GAMBAR
1. Proses terjadinya marjin dan nilai narjin tataniaga
24
2. Kerangka pemikiran operasional penelitian tataniaga kedelai
27
3. Saluran tataniaga kedelai di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut 47
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Rincian Perhitungan Marjin Tataniaga, Biaya Pemasaran, Keuntungan,
Harga Jual dan Beli Saluran Tataniaga kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
68
2.
Data 30 petani responden
70
3.
Jumlah benih, pupuk urea, pupuk organik, pestisida, dan tenaga kerja
petani responden
71
4.
Kuisoner untuk Petani
73
5.
Kuisoner untuk Lembaga Tataniaga
76
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai sumberdaya alam
melimpah dan beragam. Kekayaan alam tersebut terdiri dari kekayaan pertanian,
kekayaan hutan, kekayaan laut, dan kekayaan pertambangan. Selain itu Indonesia
juga memiliki kekayaan sumber daya manusia yang jumlahnya mencapai 250 juta
jiwa (BKKBN, 2013). Kondisi sumberdaya manusia yang melimpah dan diiringi
kekayaan alam yang juga melimpah seharusnya bisa menjadikan Indonesia
sebagai negara maju, tetapi faktanya berbeda karena kualitas sumberdaya manusia
yang masih rendah maka kekayaan alam terutama pertanian belum bisa
dimanfaatkan secara maksimal agar memperoleh hasil yang maksimal juga. Di
Indonesia kekayaan alam yang manfaatnya telah dirasakan oleh banyak
masyarakat yaitu dari sektor pertanian hal ini terlihat dari kontribusi persentase
produk domestik bruto dari sektor pertanian yang mencapai 15.04 persen dan
sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu 35.06 persen atau
sebanyak 39.96 juta penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian
(BPS, 2013). Oleh karena itu sektor pertanian dianggap mempunyai peran penting
dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satu komoditas pertanian
Indonesia yang saat ini mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah
komoditi kedelai.
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan sumber protein nabati andalan
bagi masyarakat Indonesia setelah beras dan jagung. Selain sebagai sumber
protein, kedelai juga mempunyai harga yang cukup murah bagi masyarakat
Indonesia maka normal jika permintaan kedelai di Indonesia dari tahun ketahun
mengalami peningkatan. Pada umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi
kedelai melalui produk olahannya seperti tempe, tahu, tauco, oncom, susu kedelai,
dan kecap. Kedelai mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dikarenakan
tingkat konsumsi masyarakat terhadap kedelai cukup besar dan permintaan
meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Sedangkan pasokan kedelai dalam
negeri masih belum mencukupi, maka hampir sebagian besar kebutuhan dipenuhi
oleh kedelai impor. Kondisi tersebut disebutkan juga oleh Siregar (2003) bahwa
kebutuhan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk
karena meningkatnya konsumsi per kapita terutama dalam bentuk olahan dan
tumbuhnya industri pakan ternak.
Produksi kedelai nasional sepanjang tahun
masih rendah jika dibandingkan dengan konsumsi. Seperti data pada tabel 1
bahwa dari sepanjang tahun 2004 – 2012 produksi kedelai nasional hanya mampu
memenuhi setengah dari total kebutuhan konsumsi kedelai nasional. Salah satu
faktor produksi kedelai nasional rendah dikarenakan produktivitas kedelai yang
ditanam petani masih rendah. Rendahnya produktivitas kedelai nasional masih
menjadi persoalan yang harus dituntaskan sebelum mencapai swasembeda kedelai
nasional. Rata-rata setiap tahunnya produktivitas kedelai dalam negeri hanya
mencapai 1.2 ton per Ha lahan. Sedangkan di negara seperti Amerika sebagai
negara pengimpor kedelai terbesar di dunia produktivitasnya mencapai 3 – 4 ton
per Ha lahan. Produksi yang masih rendah akan lebih mengkhawatirkan lagi jika
ditambah dengan menurunnya petani yang menanam kedelai. Jika dilihat pada
2
tabel 1 luas areal panen kedelai sepanjang 2004 – 2012 tidak mengalami kenaikan
yang signifikan terkadang mengalami penurunan. Besar kecilnya luas areal panen
dapat digunakan sebagai indikasi tinggi rendahnya jumlah petani penanam
kedelai. Semakin tinggi peningkatan luas areal panen bisa dikatakan semakin
banyak jumlah petani yang menanam kedelai. Ketika menanam kedelai lebih
menguntungakan dari pada menanam tanaman lainnya dengan sendirinya petani
akan menanam kedelai.
Tabel 1 Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi
kedelai nasional tahun 2004-2012
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Areal Panen
(juta ha)
0.56
0.62
0.58
0.46
0.59
0.70
0.66
0.63
0.56
Produktivitas
(ton/ha)
1.28
1.30
1.29
1.29
1.31
1.32
1.37
1.37
1.36
Produksi
(juta ton)
0.72
0.81
0.75
0.59
0.78
0.92
0.90
0.85
0.84
Konsumsi
(juta ton)
1.84
1.84
1.84
2.00
1.95
1.97
2.64
2.40
2.40
Sumber; Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2012)
Perbedaan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1 memunculkan aktivitas impor kedelai untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Kondisi tersebut menunjukka bahwa produksi
kedelai dalam negeri sangat berpeluang untuk di kembangkan, karena ketersedian
pasar yang banyak dan belum terpenuhinya pasar tersebut. Berdasarkan data dari
Dirjen Tanaman Pangan (2012) produksi kedelai nasional dari tahun 2004-2012
cenderung naik tapi lemah dan selalu dibawah konsumsi nasional. Selama 20042012 produksi kedelai nasional tertinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 0.92 juta
ton, sedangkan produksi terendah yaitu pada tahun 2007 sebesar 0.59 juta ton.
Konsumsi nasional kedalai selama 2004-2012 tertinggi yaitu pada tahun 2011 dan
2012 sebesar 2.40 juta ton.
Strategi pemerintah untuk memenuhi permintaan kedelai merupakan awal
munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia. Pada tahun 1978, volume impor
kedelai di Indonesia hanya mencapai 160 000 Ton, namun pada tahun 2008,
volume impor kedelai telah menjadi 1 169 016 Ton. Selama periode 1978-2008,
volume impor kedelai meningkat sebesar 14.56 persen per tahun. Impor kedelai
akan cenderung meningkat seiring denga pertumbuhan penduduk akibatnya akan
menambah tinggi tingkat kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai
nasional. Kondisi tersebut dibuktikan dengan Indonesia menjadi salah satu negara
pengimpor kedelai di dunia dengan pangsa yang cukup besar, selain Belanda,
Jepang, Korea Selatan dan Jerman (Adetama, 2011).
3
Tabel 2 Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional
tahun 2008-2012 (ton)
Provinsi
2009
Jawa Timur 355260
Jawa Tengah 175156
NTB
95846
Aceh
63538
Jawa Barat
60257
Tahun
2010
339491
187992
93122
53347
55823
2011
366999
112273
88099
50006
56166
2012
361986
152416
74156
51439
47426
2013
329461
99318
91065
45018
51172
Sumber: BPS (2013) dan Deptan (2012)
Adanya perbedaan yang cukup besar antara produksi dan konsumsi kedelai
nasional mengindikasikan diperlukannya perbaikan, pengembangan, dan
memperbanyak daerah sentra produksi kedelai supaya produksi dalam negeri
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya produksi adalah aktivitas tataniga yang kurang efisien
dan membuat keuntungan petani berkurang. Oleh karena itu diperlukan
mengarahkan proses tataniaga kedelai ke arah yang lebih efisien supaya
keuntungan yang seharusnya diperoleh petani tidak hilang ke pihak lain. Efisen
tataniga di tingkat petani dipengaruhi dari beberapa hal diantaranya; akses
terhadap informasi harga dan kebebasan petani menjual kedelainya ke siapa saja.
Menurut Departemen pertanian (2012) daerah sentra produksi kedelai nasional
daintaranya di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Aceh, dan Jawa Barat, seperti
pada tabel 2. Jawa Barat merupakan salah satu dari lima sentra produksi kedelai
nasional dengan urutan ke lima skala nasional. Di Jawa Barat sendiri terdapat
sentra-sentra produksi kedelai yang terletak di beberapa kabupaten/kota. Daerah
sentra produksi kedelai yang ada di Jawa Barat diantaranya; Garut, Cianjur,
Sumedang, Sukabumi, Ciamis, Majalengka, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan
produksi seperti pada tabel 3.
Tabel 3 Produksi kedelai di kabupaten sentra produksi se Jawa Barat
tahun 2010-2012 (ton)
Kabupaten/
Kota
Garut
Cianjur
Sumedang
Sukabumi
Ciamis
Majalengka
Indramayu
Tasikmalaya
Sumber; BPS (2013)
Tahun
2010
18647
10045
7259
3064
2455
2880
3249
1912
2011
15298
10330
5345
4985
5946
1978
3048
3087
2012
21610
6984
3802
3797
3601
2317
803
1717
4
Garut merupakan daerah sentra produksi kedelai yang mempunyai produksi
paling tinggi se Jawa Barat diikuti Cianjur, Sumedang, Sukabumi, Ciamis,
Majalengka, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan jumlah produksi masingmasing seperti pada tabel 3. Produksi kedelai di Kabupaten Garut tahun 2010
sebanyak 18 647 ton, tahun 2011 sebanyak 15 298 ton, dan tahun 2012 mencapai
21 610 ton. Angka produksi tersebut paling besar jika dibandingkan dengan
kabupaten sentra yang lain. Pertataniagan kedelai lokal di Jawa Barat didominasi
oleh kedelai dari petani garut. Kondisi tersebut dikarenakan produksi kedelai di
Kabupaten Garut mampu memenuhi 45 persen kebutuhan kedelai se Jawa Barat.
(Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulutura Kabupaten Garut, 2013). Sentra
produksi kedelai di Kabupaten Garut diantaranya terletak di Kecamatan
Banyuresmi, Cibolong, Karang Tengah, Karang Pawitan, dan Tarogong Kaler
seperti pada tabel 4.
Tabel 4 Produksi kedelai di kecamatan sentra produksi di Kabupaten Garut
tahun 2009-2013(ton)
Kecamatan
Banyuresmi
Cibolong
Karang Tengah
Karang Pawitan
Tarogong Kaler
2009
1241
498
847
632
624
2010
1286
1620
1145
990
1002
Tahun
2011
1439
1498
756
848
808
2012
1557
1880
1005
1137
935
2013
1570
459
1125
1140
749
Rata-rata
5 tahun
1419
1191
976
949
824
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013)
Banyuresmi merupakan kecamatan yang mempunyai produksi kedelai
tertinggi di Kabupaten Garut. Rata-rata selama 5 tahun terakhir produksi kedelai
di Kecamatan Banyuresmi mencapai 1 419 ton. Dari tahun 2009 – 2013 jumlah
produksi kedelai di Kecamatan Banyuresmi cenderung meningkat meskipun kecil.
Sedangkan di kecamatan lain produksinya fluktuatif, pada tahun 2011 produksi
kedelai di Kecamatan Cibolong, Karang Tengah, Karang Pawitan, dan Tarogong
Kaler mengalami penerunan dari tahun sebelumnya dan kondisi tersebut tidak
terjadi pada Kecamatan Banyuresmi, sebaliknya Kecamatan Banyuresmi
mengalami peningkatan jumlah produksi kedelai pada tahun tersebut jika
diabandingkan dari tahun sebelumnya seperti pada tabel 4. Tataniaga kedelai di
Kabupaten Garut Kecamatan Banyuresmi mendistribusikan kedelai jenis putih
(Glycine max l). Kedelai yang didistribusikan dari petani produsen primer sampai
ke konsumen akhir berupa kedelai yang akan diolah hingga dapat di konsumsi dan
kedelai benih yang akan di tanam kembali.
5
Tabel 5 Kebutuhan kedelai pada industri tahu-tempe di Kabupaten Garut setiap
tahunya
Jenis Industri
Tahu
Tempe
Total
Jumlah usaha (unit)
422
349
771
Kebutuhan Kedelai (ton)
5588
4494
10082
Sumber: Dinas Perindustrian Kabupaten Garut (2012)
Menurut data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten
Garut pada tahun 2012 total produksi kedelai mencapai 21 441 ton. Kebutuhan
kedelai paling tinggi terjadi pada industri tahu dan tempe. Hal ini didukung
dengan data Dinas Perindustrian Kabupaten Garut seperti pada tabel 5 bahwa
setiap tahunnya industri tahu dan tempe membutuhkan 10 082 ton kedelai untuk
diolah menjadi tahu dan tempe. Industri tahu merupakan penyerap kedelai paling
besar jika dibandingkan dengan industri tempe seperti pada tabel 5. Sebagai sentra
produksi kedelai terbesar di Jawa Barat, Kabupaten Garut mampu memenuhi
kebutuhan kedelai di daerahnya dan membantu menyuplai kedelai ke daerah lain
yang ada di Jawa Barat.
Tabel 6 Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di Kabupaten
Garut tahun 2009-2013 (Ha)
Kecamatan
Banyuresmi
Cibolong
Karang Tengah
Karang Pawitan
Tarogong Kaler
2009
805
330
550
409
424
2010
755
1.005
690
578
620
Tahun
2011
835
925
465
494
500
2012
895
1.135
610
647
567
2013
890
272
675
644
447
Rata-rata
5 tahun
836
733
598
554
512
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013)
Kecamatan Banyuresmi merupakan kecamatan yang mempunyai luas
panen kedelai tertinggi se Kabupaten Garut. Rata-rata luas panennya sebesar 836
Ha selama 2009-2013 (tebel 6). Luas panen tertinggi terjadi pada tahun 2012 (895
Ha), sedangkan luas panen terendah terjadi pada tahun 2010 (755 Ha). Luas panen
paling rendah selama 5 tahun terakhir terjadi di Kecamatan Tarogong Kaler
dengan rata-rata luas panen 512 Ha.
6
Tabel 7 Perbedaan harga jual kedelai di tingkat petani dengan harga beli
konsumen akhir di Kabupaten Garut tahun 2014
Uraian
Harga jual atau beli kedelai (Rp/Kg) Selisih harga (Rp/Kg)
Petani
7 500
Konsumen akhir
8 800
1 300
(industri tahu-tempe)
Sumber; data primer
Tabel 7 menunjukkan perbedaan rata-rata harga jual petani di Kabupaten
Garut dengan harga beli konsumen akhir yaitu industri tahu-tempe. Pada bulan
Mei tahun 2014 harga jual kedelai di petani Garut sebesar Rp 7 500 sedangkan
harga beli konsumen akhir sebesar Rp 8 800 yang artinya ada perbedaan harga
sebesar Rp 1 300 ditingkat petani dengan konsumen akhir. Perbedaan harga
tersebut terjadi dikarenakan ada lembaga tataniaga yang terlibat dalam aktivitas
tataniaga kedelai dari petani hingga ke konsumen akhir. Setiap lembaga yang
terlibat akan mengambil keuntungan dan mengeluarkan biaya terkait fungsi yang
dilakukan. Besarnya keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dari setiap lembaga
tataniaga tersebut akan meningkatkan harga jual dari lembaga tataniga. Sehingga
terjadi perbedaan harga di petani produsen primer dengan konsumen akhir.
Semakin banyak lembaga tataniga yang terlibat maka akan semakin banyak
pengambilan keuntungan yang terjadi akibatnya harga jual menjadi naik.
Perumusan Masalah
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mempunyai peran penting
dalam perkedelaian nasional. Produksi kedelai di Jawa Barat menempati urutan ke
lima secara nasional, ini mengindikasikan bahwa Jawa Barat termasuk daerah
sentra produksi nasional. Di Jawa Barat sendiri terdapat beberapa kabupaten yang
mempunyai peran penting dalam memproduksi kedelai salah satunya adalah
Garut. Pada tahun 2013 pemerintah provinsi Jawa Barat memberikan apresiasi
atas tingginya produksi kedelai dari Garut, selain itu Garut juga menjadi daerah
pemasok sebanyak 45 persen kebutuhan kedelai yang ada di Jawa Barat.
Kedelai memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Potensi
tersebut terlihat dari beberapa hal, dianataranya permintaannya yang tinggi dan
cenderung naik, produksi dalam negeri yang masih rendah, ketersediaan
sumberdaya yang melimpah, dan adanya kebijakan pemerintah yang mendukung
berupa program swasembada kedelai. Sekilas pertanian kedelai terlihat
menjanjikan, namun kenyataannya produksi masih rendah karena banyak peteni
yang lebih memilih menanam komoditi lain seperti beras dan jagung. Ada
kemungkinan permasalahan yang mungkin dihadapin petani apakah dari sisi
usahataninya atau sistem tataniaganya yang kurang menguntungakan. Beberapa
permasalahan yang pada umumnya terjadi di tingkat petani kedelai tradisional;
produktivitas yang masih rendah, hambatan dari faktor fisik dan biologis (sulitnya
pengairan dan hama tanaman yang cukup tinggi), dan lemahnya posisi tawar
petani.
7
Tataniaga kedelai yang ada di Indonesia harus diteliti lebih lanjut karena
sistem tataniaga yang terjadi akan berpengaruh terhadap produksi kedelai
nasional. Keuntungan yang merata ke semua pihak adalah salah satu indikasi
sistem tataniaga yang efisien. Sistem tataniaga yang tidak efisien cenderung akan
merugikan petani yang pada akhirnya petani lebih memilih menanam komoditi
lain. Harga kedelai nasional selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami
kenaikan seperti pada tabel 8. Pada tahun 2005 sampai 2007 harga kedelai stabil
di angka kisaran Rp 3 500. Sedangkan mulai tahun 2008 sampai 2014 harga
kedelai mengalami kenaikan 100 persen dari harga sebelumnya Rp 3500 menjadi
7 500 per Kg nya. Harga kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu mencapai
Rp 9 000 per Kg. Tingginya harga kedelai nasional disebabkan naikknya harga
kedelai impor. Sisi positif dari harga kedelai yang tinggi adalah keuntungan petani
kedelai akan meningkat karena kenaikan harga output yang cukup tinggi tidak
diiringi kenaikan input. Petani kedelai nasional yang saat ini masih konsisten
menanam kedelai tentunya diuntungkan dengan kenaikkan harga kedelai yang
tinggi. Seharusnya kondisi tersebut menjadikan jumlah petani kedelai meningkat
dan produksi menigkat.
Tabel 8 Harga di tingkat petani kedelai nasional tahun 2005-2014 (Rp/Kg)
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Harga (Rp/Kg)
3500
3500
3450
7500
5950
7500
7000
7000
9000
8000
Pertumbuhan Harga (Rp/Kg)
0
-50
4050
-1550
1550
-500
0
2000
-1000
Sumber: BPS, 2014
Petani kedelai nasional sebagian besar adalah petani gurem yang
pendapatannya tidak begitu besar ditambah lagi posisi tawar petani yang masih
rendah akan menambah resiko kecilnya pendapatan petani. Permasalahan lain
yang dihadapi petani kecil/gurem/tradisonal dalam sistem tataniaga adalah
kesulitan dalam mengakses informasi harga kedelai dipasaran, sehingga petani
tidak mengetahui apakah harga yang diterapkan oleh pengumpul sesuai harga
pasar atau jauh lebih rendah dari harga di pasaran. Dari kondisi tersebut dapat di
indikasikan bahwa ada kemungkinan petani kedelai tidak diuntungkan dengan
proses pemasaran yang terjadi di daerahnya. Sehingga timbul permasalahan yang
ada di lapangan terutama dalam alur tataniaga yang kurang efisien bagi petani
kedelai yang ada di Garut.
Berkenaan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam
studi ini diformulasikan sebagai berikut:
8
1. Bagaimana saluran, lembaga, struktur dan perilaku pasar, serta fungsi tataniaga
kedelai yang ada di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut?
2. Bagaimana efisiensi tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut dengan pendekatan marjin tataniaga,
farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya (π/c).?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah
1. Menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur dan perilaku pasar oleh
lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut.
2. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga
di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut dengan pendekatan marjin
tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c).
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang
bermanfaat dan bersifat membangun bagi;
1. Petani, diharapkan dapat menjadi referensi agar dapat memilih saluran
tataniaga yang paling efisien sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dari proses tataniaga kedelai yang dilakukan.
2. Peneliti, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis serta
mengaplikasikan bidang keilmuan Agribisnis yang sudah diterima selama
mengikuti kuliah di Institut Pertanian Bogor.
3. Pengusaha, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pembentukan atau memilih saluran pemasaran yang paling menguntungkan.
4. Pemerintah, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait kedelai.
5. Pembaca, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan bisa menjadi
referensi, pedoman, dan litelatur mengenai saluran pemasaran kedelai.
Ruang Lingkup Penelitian
Peneltian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga kedelai di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penelitian ini difokuskan
untuk menganalisis mengenai saluran tataniaga, lembaga dan fungsi tataniaga,
analisis struktur pasar, prilaku pasar, marjin tataniaga farmer’s share dan rasio
keuntungan terhadap biaya dari sistem tataniaga kedelai. Petani yang menjadi
responden adalah petani yang melakukan usaha budidaya kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Pedagang yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini adalah
pedagang yang yang melakukan pembelian dan penjualan kedelai di Garut dan
masih ada hubungan aktivitas jual-beli dengan petani kedelai Kecamatan
9
Banyuresmi. Pedagang yang menjadi responden adalah pedagang yang membeli
kedelai pada tingkat petani, pedagang yang membeli dan menjual kedelai antar
pedagang, pedagang yang menjual ke produsen, serta pedagang yang menjual
kedelai hingga ke konsumen akhir. Data yang digunakan adalah data penjualan
kedelai dan musim panen terakhir yang terjadi pada 2013 - Mei 2014
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kedelai
Komoditi yang diteliti dalam penelitian ini adalah kedelai, kedelai
merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh dengan tegak dan pada
umumnya dibudidyakan di lahan sawah dan lahan kering. Terdapat dua spesies
kedelai yang biasa dibudidayakan, yaitu kedelai kuning (Glycine max L) dan
kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai kuning biasanya digunakan sebagai bahan
dasar untuk membuat tempe, tahu, susu kedelai sedangkan kedelai hitam
digunakan untuk bahan dasar membuat kecap. Kedelai dapat tumbuh dengan baik
didaerah subtropis dan tropis. Di Indonesia sendiri tanaman kedelai dapat tumbuh
dan dibudidayakn dengan teknologi dan cara sederhana. Saat ini tanaman kedelai
sudah dibudidayakan di sebagian wilayah Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan sebagian daerah Sumatra.
Kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi
tanah yang cukup baik serta air yang cukup selama pertumbuhannya. Selain itu
faktor iklim juga sangat mempengaruhi, kedelai tumbuh subur pada curah hujan
100-200 mm/bulan, temperatur 25-27 derajat Celcius, dan ketinggian 0-900 m
dari permukaan air laut, ketinggian optimal sekitar 600 m (Deptan, 2014). Kedelai
dipanen biasanya setelah umur 75-110 hari untuk dapat dikonsumsi sedangkan
kedelai yang diperuntukkan benih dipetik pada umur 100-110 hari. Ciri-ciri
kedelai yang siap dipanen adalah buah berwarna kecoklatan dan retak, polong
sudah kelihatan, sebagain besar daun sudah menguning, dan batang berwarna
kuning kecoklatan (BPP Teknologi, 2000). Berdasarkan lamanya periode waktu
tumbuh dari sejak tanam sampai kematangan polong, varietas kedelai dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu (1) umur genjah (kurang dari 80
hari), (2) umur sedang (80 – 85 hari), dan (3) umur dalam (lebih dari 85 hari) (Nora,
2008).
Menurut Susanto dan Saneto (1994), ukuran biji kedelai ter-golong kecil
bila memiliki bobot 8−10 g/100 biji, sedang jika bobotnya 10−13 g/100 biji, dan
besar bila > 13 g/100 biji. Kedelai dengan varietas unggul ditandai dengan hasil
panen tinggi (> 2 ton/ha), berbiji kuning dan berukuran besar mirip dengan
kedelai impor. Di Indonesia jenis kedelai unggul diantaranya adalah varietas
Bromo, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Panderman, dan Grobogan yang
semuanya memliki ukuran biji sama atau lebih besar dan kadar protein (37-43
persen) lebih baik dibanding kedelai impor (35-37 persen). Saat ini kedelai yang
dijual di pasaran umumnya merupakan varietas lokal atau varietas unggul lama,
seperti Wilis yang ukuran bijinya lebih kecil dibanding kedelai impor (Litbang
pertanian, 2009).
Sistem Tataniaga
Penelitian yang membahas topik tentang
tataniaga kedelai bukan
merupakan hal yang baru karena sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.
Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan beberapa hasil dari penelitian
terdahulu sebagai referensi, rujukan, dan pedoman dalam penyusunannya. Hasil
11
penelitian terdahulu yang dijadikan referensi antara lain berasal dari jurnal,
skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian. Penelitian terdahulu yang dijadikan
referensi atau rujukan diantaranya;
1. Permata (2002) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem Agribisnis
Kedelai (Kasus Desa Hergamanah, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat)”
2. Meryani (2008) penelitianya yang berjudul “Analisis Usahatani dan Tataniaga
Kedelai (Kasus Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”
3. Kertawati (2008) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem tataniaga
Tembakau Mole (kasus Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa
Barat)”
4. Purba (2010) penelitiannya yang berjudul “Analisis Tataniaga Ubi Jalar
(kasus Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat)”
5. Soetrisniati (2011) penelitiannya yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu
(kasus Desa Pulorejo, Kecamatan, Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”
6. Alang (2013) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Kedelai
(kasus Desa Cipeuyum, Kecamtan Haurawangi, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat)”
Studi Empirik Saluran Tataniaga dan Efisiensi tataniaga
Saluran tataniaga kedelai masih dicirikan oleh banyaknya lembaga perantara
yang terlibat. Studi terdahulu umumnya menggunakan metode tabulasi dan
deskriptif dalam mengidentifikasi setiap fungsi dan lembaga saluran tataniaga
yang terlibat. Dalam menentukan saluran tataniaga yang paling efisien dapat
dilhat dari dari segi volume penjualan, marjin tataniaga, farmer’sshare, dan rasio
keuntungan terhadap biaya (Fikri, 2013). Secara umum lembaga tataniaga
dikelompokkan menjadi petani, pedagang pengumpul, kelompok tani, pengumpul
luar daerah, pedagang grosir, pedagang ritel, komisioner/broker, dan eksportir.
Aliran komoditi pada saluran tataniaga tersebut dikarenkan lokasi sentra produksi
berbeda dengan lokasi pusat konsumsinya (Wiboonpongse et.al, 2001).
Menurut Kotler (2005) saluran tataniaga didefinisikan sebagai sarana untuk
mencapai pasar sasaran. Ada tiga jenis saluran tataniaga yang digunakan meliputi:
(1) saluran komunikasi yang digunakan untuk memberi dan menerima informasi
dari konsumen sasaran. (2) Saluran distribusi digunakan untuk manyampaikan
produk atau jasa dari produsen kepada konsumen. Lembaga yang terlibat dalam
saluran ini diantaranya distributor, grosir, pengecer dan agen. (3) Saluran jasa
untuk melakukan transaksi dengan calon konsumen. Saluran ini mencakup
pergudangan, sarana transportasi, lembaga keuangan dan perusahaan asuransi
yang memberikan kemudahan dalam transaksi. Secara umum saluran tataniaga
awal yang dipilih petani paling dominan adalah pengumpul karena beberapa
alasan, diantaranya posisi pengumpul yang lebih dekat dengan petani, adanya
hutang-piutang petani dengan pengumpul, kurangnya akses pasar dan informasi
pasar oleh petani, kurangnya infrastruktur yang memadai untuk petani dapat
melakukan distribusi ke pasar pusat, dan sifat individualis antar petani.
Meryani (2008) dalam penelitianya menemukan enam saluran pemasaran
dan proses tataniaga kedelai dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan
12
beberapa pelaku pasar yaitu pedagang pengumpul, pedagang kecamatan,
pedagang kabupaten, pedagang propinsi dan pedagang pengecer. Saluran
tataniaga dari penelitian Meryani cukup unik karena komoditi kedelai yang
didistribusikan ada dua jeni yaitu kedelai polong muda dan kedelai polong tua.
Saluran tataniaga kedelai yang memberikan keuntungan adalah saluran tataniaga
enam dengan marjin yang paling rendah yaitu Rp 1 000, farmer’s share paling
tinggi sebesar 77.78 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 6,30.
Alang (2013) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga.
Pada saluran 1 kedelai dari petani langsung didistribusikan ke konsumen akhir.
Pada saluran 2 kedelai harus melewati pedagang pengumpul kecil dan pedagang
pengumpul besar sebelum sampai ke konsumen akhir. Sedangkan pada saluran 3
dan 4 lembaga tataniga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul kecil,
pedagang pengumpul besar, grosir, agen, dan pengecer. Dari keempat saluran
menurut Alang yang paling efisien adalah saluran 2 karena Berdasarkan analisis
kuantitatif, saluran tataniaga yang cenderung paling efisien untuk penjualan
kedelai tidak dengan sistem borong adalah saluran 2 karena nilai marjin yang
relatif kecil yaitu Rp 917 walaupun bukan yang terkecil dan nilai farmer’s share
yang relatif besar yaitu 85.89 persen walaupun bukan yang terbesar. Marjin
terkecil dan farmer’s share terbesar diperoleh dari saluran 1 (Rp 0 dan 100
persen) , tetapi saluran ini tidak menjadi saluran paling efisien dikarenakan
adanya hambatan masuk berupa akses terhadap pembeli. Nilai rasio keuntungan
terhadap biaya pada saluran 2 juga memperlihatkan nilai yang relatif besar, yaitu
7.06.
Permata (2002) dalam penelitiannya menemukan tujuh saluran tataniag.
Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul, pedagang
grosir, pedagang pengecer, dan primkopti. Saluran 1 dan 2 melibatkan 3 lembaga
tataniaga, saluran 3, 4, dan 5 melibatkan 2 lembaga tataniaga, sedangkan saluran 6
dan 7 tidak melibatkan lembaga tataniaga karena kedelai dari petani langsung di
distribusikan ke konsumen akhir. Saluran pemasaran yang paling efisien yaitu
saluran 7 dengan nilai marjin tataniaga paling kecil Rp 50/kg farmer share
terbesar 97,7 persen.
Purba (2010) dalam penelitian komoditi ubi jalar menemukan tiga saluran
tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul
tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, pedagang grosir, dan
pegadang pengecer. Saluran 1 memiliki 1 lembaga tataniaga, saluran 2 memiliki 5
lembaga tataniaga, dan saluran 3 memiliki 2 lembaga tataniaga yang terlibat.
Saluran tataniaga 1 merupakan saluran yang relatif lebih efisien karena memiliki
marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 325/Kg, persentase farmer’s share
terbesar yaitu 74,51 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu
1,17
Soetrisniati (2011) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga
tebu. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; Asosiasi Petani Tebu Rakyat
(APTRI), kelompok tani, kontraktor tebu, dan pedagang sari tebu. Saluran 1
sampai 4 semuanya hanya memiliki 1 lembaga tataniaga. Saluran tataniaga yang
efisien adalah saluran 1 dengan nilai margin tataniaga terkecil yaitu Rp
8.802/kwintal, farmer’s share terbesar yaitu 84,60 persen, dan rasio keuntungan
terhadap biaya 2,86.
13
Kertawati (2008) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga
tembakau mole. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; bandar, pedagang
pengumpul, pabrik guntingan, dan pedagang pengecer. Saluran 1 dan 4 hanya
memiliki 1 lembaga tataniaga, sedangkan saluran 2 dan 3 memiliki 3 lembaga
tataniaga. Saluran 1 merupakan saluran tataniaga petani yang terikat dengan
perjanjian modal sedangkan Saluran 2, 3, dan 4 saluran petani tidak terikat
perjanjian modal. Saluran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai
margin tataniaga terkecil yaitu Rp 3.815/kg, farmer’s share terbesar yaitu 78,26
persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 6,81.
Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar
Struktur pasar dapat dianilisis berdasarkan beberapa indikator, yaitu (1)
jumlah lembaga tataniaga yang bertindak sebagai penjual, (2) sifat dan keadaan
(homogenitas) produk, (3) tingkat keleluasaan suatu pihak untuk masuk atau
keluar pasar yang ada, (4) pengaruh penjual dalam menentukan harga, serta (5)
kemudahan dalam memperoleh informasi dalam pasar tersebut. Perilaku pasar
dapat dianilisis dengan pengamatan terhadap sistem penjualan dan pembelian,
mekanisme penentuan harga dan pembayaran yang dilakukan oleh masing-masing
lembaga, serta kerja sama yang tercipta dalam suatu pasar (Alang, 2013). Menurut
Winarno et al (1976) karakteristik pedagang kedelai dari hasil penelitiannya
adalah;
1. Pedagang tingkat desa menangani 3,33-41,5 ton kedelai per tahun; para
pedagang di daerah-daerah penghasil kedelai utama, seperti Jawa Timur,
menangani bagianterbesar.
2. Di Jawa Barat, Bali, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, petani menjual
produk mereka secara lokal; sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
beberapa transaksi terjadi di tempat pembeli.
3. Pedagang tingkat kecamatan membeli kedelai langsung dari para petani, dan
menangani 8,3-81,7 ton kedelai setiap tahun. Pembayaran umumnya tunai,
beberapa dengan panjar.
4. Para pedagang tingkat kabupaten dan propinsi setiap tahun membeli 14,4118,7 ton kedelai. Dari jumlah kedelai yang ditangani, kedua golongan
pedagang itu tidak bisa dibedakan. Demikian juga halnya dengan para
pedagang tingkat kecamatan.
Meryani (2008) menyatakan sebagian besar petani kedelai sebagai price
taker karena kesulitan untuk mendapatkan informasi harga di pasaran sehingga
petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam penentuan harga. Jumlah
pedagang pengumpul lebih sedikit dari jumlah petani tapi lebih banyak dari
pedagang besar di Kecamatan. Posisi tawar petani yang rendah dibanding pelaku
tataniaga akan menguntungkan pada level pelaku pasar yang lebih tinggi.
Penentuan harga di tingkat petani dan pedagang pengumpul ditentukan oleh
pedagang besar, sedangkan di tingkat pedagang kecamatan dan pedagang
kabupaten harga ditentukan oleh pedagang besar propinsi. Sistem pembayaran
yang terjadi umumnya nota dan tunai. Kerjasama antara pelaku pasar umumnya
dalam bentuk pinjaman modal.
14
Purba (2010) menyatakan struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga
tataniaga berbeda-beda dimana petani dan pedagang grosir cenderung mendekati
pasar persaingan sempurna, sedangkan pedagang pengumpul tingkat pertama,
pedagang pengumpul tingkat kedua, dan pedagang pengecer cenderung mendekati
pasar oligopoli.
Alang (2013) menyimpulkan dari Analisis struktur pasar menunjukkan
bahwa petani pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengecer menghadapi
struktur mendekati pasar persaingan sempurna, sementara pedagang pengumpul
besar, pedagang grosir, dan agen menghadapi struktur pasar yang cenderung
oligopoli dan oligopoli terdeferensiasi. Tidak semua tingkatan lembaga
menghadapi struktur pasar mendekati persaingan sempurna menandakan bahwa
sistem tataniaga cenderung kurang efisien. Struktur pasar ini mempengaruhi
perilaku petani dan setiap lembaga tataniaga dalam melakukan penjualan dan
pembelian, penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama. Hal yang paling
menonjol pada perilaku pasar persaingan sempurna adalah penjual (petani,
pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengecer) berperan sebagai price taker.
Sementara itu, lembaga yang menghadapi struktur pasar oligopoli atau pun
oligopoli terdeferensiasi, yaitu pedagang pengumpul besar, pedagang grosir, dan
agen, merupakan pihak yang mendominasi pasar.
Soetrisniati (2011) menyatakan struktur pasar yang dihadapi petani,
kontraktor tebu dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan karena
terdapat banyak penjual, barang yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk
keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani
karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan ada kesulitan untuk keluar
masuk pasar. Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan,
sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antara lembaga
tataniaga. Praktek pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara
langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah melalui tawar menawar
antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan kontraktor
tebu berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah.
Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama
antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan
kredit bagi petani untuk usahatani tebu.
Kertawati (2008) menyatakan struktur pasar yang terbentuk yaitu pasar
persaingan tidak sempurna dan lebih mengarah pada struktur pasar oligopsoni.
Perilaku pasar didalam sistem tataniaga tembakau mole bersifat tertutup. Sistem
pembayaran dilakukan dengan tunai dan dibayar kemudian. Kerjasama petani
dengan lembaga tataniaga sudah terjalin dengan baik dan saling memberikan
kepercayaan. Penentuan harga ditentukan oleh pembeli pada petani terikat dengan
perjanjian modal. Petani yang tidak terikat perjanjian modal ditentukan
berdasarkan kesepakatan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori-teori yang berhubungan dengan
analisis sistem tataniaga komoditi kedelai yang diteliti dan akan digunakan
sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Teori-teori tersebut menjelaskan
tentang variabel-variabel yang berfungsi untuk menganalisis proses terjadinya
tataniaga sekaligus sebagai batasan dalam penelitian. Variabel yang akan
digunakan dalam penelitian analisis tataniaga kedelai (Glycine max L.) di Jawa
Barat adalah konsep saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga,
struktur, perilaku, dan keragaan pasar, dan konsep efisiensi tataniaga yang
meliputi biaya dan nilai marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan
terhadap biaya.
Konsep Sistem Tataniaga
Tataniaga lebih dikenal dalam penjualan komoditi pertanian secara umum
istilah tataniaga sama artinya dengan pemasaran, dimana terjadinya jual-beli
mulai dari awal dihasilkannya sebuah barang sampai barang tersebut dikonsumsi
oleh konsumen terakhir. Dalam proses tataniaga sebuah barang akan
didistribusikan dari petani atau produsen primer hingga ke konsumen akhir
dengan melalui beberapa pihak (pengumpul, broker, agen, reseller, grosir,
industri, pabrik, toko, swalayan, dll), setiap pihak akan melakukan perlakuan
(penyimpanan, pendistribusian, pengolahan, pengepakan) baik yang akan
menambah nilai atau tidak terhadap produk tersebut dengan tujuan untuk
memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen akhir.
Pendefinisian kata tataniaga atau pemasaran banyak dilakukan oleh bebrap
ilmuan diantaranya, Seperich et al (1994) mendefinisikan tataniaga merupakan
semua aktivitas bisnis yang membantu memuaskan kebutuhan konsumen dengan
mengkoordinasikan aliran barang dan jasa dari produsen hingga kekonsumen
akhir untuk digunakan. Dahl and Hammond (1977) mendefinisikan tataniaga
adalah rangkain tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau
membentuk i
DI JAWA BARAT
(studi kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)
MUHAMAD HAMAJI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut) adalah benar karya saya dengan arahan dosen
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Muhamad Hamaji
NRP H34100147
ABSTRAK
MUHAMAD HAMAJI. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di
Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Dibimbing
oleh JUNIAR ATMAKUSUMA.
Kedelai merupakan bahan makanan di urutan ke tiga setelah beras dan
jagung yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonseia. Jawa barat merupakan
provinsi sentra kedelai urutan ke lima secara nasional, Kabupaten Garut adalah
kabupaten sentra produksi kedelai utama, dan Kecamatan Banyuresmi adalah
kecamatan yang memiliki produksi kedelai tertinggi se Kabupaten Garut. Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur,
dan perilaku pasar oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditi kedelai dan
menganalisis efisiensi saluran tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga
dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat lima saluran utama yang terbentuk dengan
lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Dari
lima saluran dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tujuan akhir penggunaan
kedelai. Kelompok satu yaitu saluran yang mendistribusikan kedelai untuk tujuan
akhir dikonsumsi yang terdiri dari saluran satu dan dua. Sedangkan kelompok dua
adalah saluran yang mendistribusikan kedelai untuk tujuan akhir benih yang
terdiri dari saluran tiga, empat, dan lima. Hasil indikasi analisis efisiensi
operasional dan indikator kualitatif menunjukkan bahwa saluran tataniaga yang
terbentuk cenderung mengarah ke efisien. Saluran yang dinilai paling efisien dari
kelima saluran yang ada adalah saluran dua dengan jumlah petani yang
memilihnya sebanyak 16 petani atau 53.33 persen, marjin Rp 800, farmer’s share
90.1, dan rasio keuntungan terhadap biayanya 1.34. Selain itu pada sauran dua
aktivitas tataniaganya dapat beralangsung secara kontinu dan volume penjualan
kedelai yang mampu mencapai 20 ton per bulannya.
Kata kunci: Kedelai, Kecamatan Banyuresmi, efisiensi, farmer’s share, tataniaga
kedelai
ABSTRACT
MUHAMAD HAMAJI. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di
Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Dibimbing
oleh JUNIAR ATMAKUSUMA
Soybean is a food in order to three after rice and corn are consumed many
Indonseia community. Java is a province of central western soy fifth nationally,
Garut district is the main soybean production center, and the district Banyuresmi
is the one that has the highest production of soybeans in Garut. The purpose of
this study was to analyze the channel trading system, function, structure, and
behavior of the market by institutions trading system on commodity soybeans and
soybean trading system to analyze the efficiency of the channel on each channel
trading system trading system margin approach, the farmer's share, and profit
ratios. Based on this research, there are five main channels formed by institutions,
functions, and different market structures on each channel. Of the five channels
grouped into two based on the use of soy final destination. Group one is the
channel that distributes soy consumption to final destination channel consisting of
one and two. While the two groups is the channel that distributes soybean seeds to
final destination channel consisting of three, four, and five. The results of the
analysis indicated operational efficiency and qualitative indicators show that the
channel formed trading system tends to lead to efficient. Channel is considered
efficient channel two the number of farmers who choose it as many as 16 farmers
or 53.33 percent, a margin of Rp 800, the farmer's share of 90.1, and the ratio of
benefit to cost is 1.34. Marketting proces in channel two can event continues and
marketing volume soybean can be 20 month even month.
Key words: Soybean, district Banyuresmi, efficiency, farmer's share, soybean
trading system
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI (Glycine max L.)
DI JAWA BARAT
(studi kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)
MUHAMAD HAMAJI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari - Mei 2014 ini adalah
tataniaga produk agribisnis, dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Kedelai
(Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten
Garut)”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Juniar Atmakusuma, MS
selaku pembimbing skripsi serta atas masukan, perhatian dan kesabarannya yang
telah membimbing penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu
Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama dan Bapak Dr. Ir Wahyu
Budi Priatna MS selaku dosen penguji Departemen Agribisnis yang telah
memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada seluruh civitas Departemen Agribisnis dan Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Riany Hidayah yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil
penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Jaja
yang telah membantu selama pengumpulan data primer. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada responden dalam penelitian ini yang telah
bersedia membantu proses penyelesaian karya tulis ini. Selanjutnya Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga
atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat
kepada teman-teman seperjuangan AGB 47 IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, September 2014
Muhamad Hamaji
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
8
Kegunaan Penelitian
8
Ruang Lingkup Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
10
Gambaran Umum Kedelai
10
Sistem Tataniaga
10
Studi Empirik Saluran Tataniaga dan Efisiensi tataniaga
11
Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar
13
KERANGKA PEMIKIRAN
15
Kerangka Pemikiran Teoritis
15
Konsep Sistem Tataniaga
15
Konsep Fungsi Tataniaga
16
Konsep Saluran dan Lembaga Tataniaga
17
Konsep Struktur, Keragaan dan Perilaku Pasar
20
Konsep Efisiensi Tataniaga
23
Konsep Margin Tataniaga
23
Konsep Farmer’s Share
25
Konsep Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Tataniaga
25
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
26
28
Lokasi dan Waktu
28
Jenis dan Sumber Data
28
Metode Pengumpulan Data
28
Metode Pengolahan dan Analisis Data
28
Analisis Saluran Tataniaga
29
Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga
29
Analisis Struktur dan Perilaku Pasar
30
Analisis Margin Tataniaga
30
Analisis Farmer’s Share
31
Analisis Rasio Keuntungan tarhadap Biaya Tataniaga
31
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
33
Gambaran Umum Kecamatan Banyuresmi
33
Karakteristik Petani Responden
35
Karakteristik Lembaga Tataniga Responden
38
Gambaran Umum Usahatani Kedelai
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Lembaga, Fungsi, dan Saluran Tataniaga
43
43
Analisis Lembaga Tatatniaga
43
Analisis Saluran Tataniaga
43
Analisis Struktur Pasar
48
Struktur Pasar di Tingkat Petani
48
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecil
49
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Besar
49
Analisis Perilaku Pasar
50
Praktik Pembelian dan Penjualan
50
Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi
50
Sistem Pembayaran
51
Sistem Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
51
Analisis Fungsi Tataniaga
52
Fungsi tataniga di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecil
52
Fungsi pertukaran pada pedagang pengumpul kecil
53
Fungsi fisik pada pedagang pengumpul kecil
53
Fungsi fasilitas pada pedagang pengumpul kecil
54
Fungsi Tataniaga Pedagang Pengumpul Besar
54
Fungsi pertukaran pada pedagang pengumpul besar
54
Fungsi fisik pada pedagang pengumpul besar
55
Fungsi fasilitas pada pedagang pengumpul besar
55
Analisis Keragaan Pasar
55
Analisis Marjin Tataniaga
56
Analisis Farmer’s Share
58
Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga
59
SIMPULAN DAN SARAN
62
Simpulan
62
Saran
62
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
80
DAFTAR TABEL
1
Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi
kedelai nasional tahun 2004-2012
2
Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional
tahun 2008-2012 (ton)
3
Produksi kedelai di kabupaten sentra produksi se Jawa Barat tahun
2010-2012 (ton)
3
4 Produksi kedelai di kecamatan sentra produksi di Kabupaten Garut tahun
2009-2013(ton)
4
2
3
5
Kebutuhan kedelai pada industri tahu-tempe di Kabupaten Garut setiap
tahunnya
5
Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di
KabupatenGarut tahun 2009-2013 (ha)
5
Perbedaan harga jual kedelai di tingkat petani dengan harga beli
konsumen akhir di Kabupaten Garut tahun 2014
6
8
Harga di tingkat petani kedelai nasional tahun 2005-2014 (Rp/kg)
7
9
Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut pembeli 21
6
7
10 Penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Banyuresmi tahun 2013
33
11 Mata pencaharian penduduk Kecamatan Banyuresmi tahun 2013
34
12 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2013
34
13 Sarana pendidikan Kecamatan Banyuresmi tahun 2013
35
14 Sebaran kategori status penguasaan lahan petani kedelai responden di
Kecamatan Banyursmi, Kabupaten Garut
35
15 Sebaran kategori umur petani kedelai responden di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
36
16 Tingkat pendidikan formal petani kedelai di Kecamatan Banyuresmi,
Kabupaten Garut
37
17 Kategori lama usahatani kedelai petani responden di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
37
18 Karakteristik pedagang pengumpul kecil responden Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
38
19 Karakteristik pedagang pengumpul besar responden Kabupaten Garut
39
20 Karakteristik industri tahu-tempe responden Kabupaten Garut
39
21 Analisis pendapatan usahatani kedelai petani responden untuk lahan
0,35 ha per musim tanam (3 – 4 bulan) Kecamatan Banyuresmi,
Kabupaten Garut
42
22 Struktur pasar yang dihadapi lembaga tataniaga di Kecamatan
Banyuresmi Kabupaten Garut tahun 2014
48
23 Fungsi tataniaga dari lemabaga tataniaga responden kedelai di
Kabupaten Garut
52
24 Analisis marjin tatniaga pada setiap saluran tataniaga kedelai untuk
konsumsi
di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut tahun
2014 (Rp/Kg)
56
25 Analisis marjin tatniaga pada setiap saluran tataniaga kedelai benih di
Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut tahun 2014 (Rp/Kg)
57
26 Farmer’s Share pada setiap saluran tataniaga kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut tahun 2014
59
27 Nilai rasio kentungan dan biaya tataniaga kedelai untuk konsumsi di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.
60
28 Nilai rasio kentungan dan biaya tataniaga kedelai untuk benih di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.
61
29 Marjin, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) dari
tataniaga kedelai di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut
61
DAFTAR GAMBAR
1. Proses terjadinya marjin dan nilai narjin tataniaga
24
2. Kerangka pemikiran operasional penelitian tataniaga kedelai
27
3. Saluran tataniaga kedelai di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut 47
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Rincian Perhitungan Marjin Tataniaga, Biaya Pemasaran, Keuntungan,
Harga Jual dan Beli Saluran Tataniaga kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut
68
2.
Data 30 petani responden
70
3.
Jumlah benih, pupuk urea, pupuk organik, pestisida, dan tenaga kerja
petani responden
71
4.
Kuisoner untuk Petani
73
5.
Kuisoner untuk Lembaga Tataniaga
76
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai sumberdaya alam
melimpah dan beragam. Kekayaan alam tersebut terdiri dari kekayaan pertanian,
kekayaan hutan, kekayaan laut, dan kekayaan pertambangan. Selain itu Indonesia
juga memiliki kekayaan sumber daya manusia yang jumlahnya mencapai 250 juta
jiwa (BKKBN, 2013). Kondisi sumberdaya manusia yang melimpah dan diiringi
kekayaan alam yang juga melimpah seharusnya bisa menjadikan Indonesia
sebagai negara maju, tetapi faktanya berbeda karena kualitas sumberdaya manusia
yang masih rendah maka kekayaan alam terutama pertanian belum bisa
dimanfaatkan secara maksimal agar memperoleh hasil yang maksimal juga. Di
Indonesia kekayaan alam yang manfaatnya telah dirasakan oleh banyak
masyarakat yaitu dari sektor pertanian hal ini terlihat dari kontribusi persentase
produk domestik bruto dari sektor pertanian yang mencapai 15.04 persen dan
sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu 35.06 persen atau
sebanyak 39.96 juta penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian
(BPS, 2013). Oleh karena itu sektor pertanian dianggap mempunyai peran penting
dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satu komoditas pertanian
Indonesia yang saat ini mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah
komoditi kedelai.
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan sumber protein nabati andalan
bagi masyarakat Indonesia setelah beras dan jagung. Selain sebagai sumber
protein, kedelai juga mempunyai harga yang cukup murah bagi masyarakat
Indonesia maka normal jika permintaan kedelai di Indonesia dari tahun ketahun
mengalami peningkatan. Pada umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi
kedelai melalui produk olahannya seperti tempe, tahu, tauco, oncom, susu kedelai,
dan kecap. Kedelai mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dikarenakan
tingkat konsumsi masyarakat terhadap kedelai cukup besar dan permintaan
meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Sedangkan pasokan kedelai dalam
negeri masih belum mencukupi, maka hampir sebagian besar kebutuhan dipenuhi
oleh kedelai impor. Kondisi tersebut disebutkan juga oleh Siregar (2003) bahwa
kebutuhan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk
karena meningkatnya konsumsi per kapita terutama dalam bentuk olahan dan
tumbuhnya industri pakan ternak.
Produksi kedelai nasional sepanjang tahun
masih rendah jika dibandingkan dengan konsumsi. Seperti data pada tabel 1
bahwa dari sepanjang tahun 2004 – 2012 produksi kedelai nasional hanya mampu
memenuhi setengah dari total kebutuhan konsumsi kedelai nasional. Salah satu
faktor produksi kedelai nasional rendah dikarenakan produktivitas kedelai yang
ditanam petani masih rendah. Rendahnya produktivitas kedelai nasional masih
menjadi persoalan yang harus dituntaskan sebelum mencapai swasembeda kedelai
nasional. Rata-rata setiap tahunnya produktivitas kedelai dalam negeri hanya
mencapai 1.2 ton per Ha lahan. Sedangkan di negara seperti Amerika sebagai
negara pengimpor kedelai terbesar di dunia produktivitasnya mencapai 3 – 4 ton
per Ha lahan. Produksi yang masih rendah akan lebih mengkhawatirkan lagi jika
ditambah dengan menurunnya petani yang menanam kedelai. Jika dilihat pada
2
tabel 1 luas areal panen kedelai sepanjang 2004 – 2012 tidak mengalami kenaikan
yang signifikan terkadang mengalami penurunan. Besar kecilnya luas areal panen
dapat digunakan sebagai indikasi tinggi rendahnya jumlah petani penanam
kedelai. Semakin tinggi peningkatan luas areal panen bisa dikatakan semakin
banyak jumlah petani yang menanam kedelai. Ketika menanam kedelai lebih
menguntungakan dari pada menanam tanaman lainnya dengan sendirinya petani
akan menanam kedelai.
Tabel 1 Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi
kedelai nasional tahun 2004-2012
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Areal Panen
(juta ha)
0.56
0.62
0.58
0.46
0.59
0.70
0.66
0.63
0.56
Produktivitas
(ton/ha)
1.28
1.30
1.29
1.29
1.31
1.32
1.37
1.37
1.36
Produksi
(juta ton)
0.72
0.81
0.75
0.59
0.78
0.92
0.90
0.85
0.84
Konsumsi
(juta ton)
1.84
1.84
1.84
2.00
1.95
1.97
2.64
2.40
2.40
Sumber; Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2012)
Perbedaan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1 memunculkan aktivitas impor kedelai untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Kondisi tersebut menunjukka bahwa produksi
kedelai dalam negeri sangat berpeluang untuk di kembangkan, karena ketersedian
pasar yang banyak dan belum terpenuhinya pasar tersebut. Berdasarkan data dari
Dirjen Tanaman Pangan (2012) produksi kedelai nasional dari tahun 2004-2012
cenderung naik tapi lemah dan selalu dibawah konsumsi nasional. Selama 20042012 produksi kedelai nasional tertinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 0.92 juta
ton, sedangkan produksi terendah yaitu pada tahun 2007 sebesar 0.59 juta ton.
Konsumsi nasional kedalai selama 2004-2012 tertinggi yaitu pada tahun 2011 dan
2012 sebesar 2.40 juta ton.
Strategi pemerintah untuk memenuhi permintaan kedelai merupakan awal
munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia. Pada tahun 1978, volume impor
kedelai di Indonesia hanya mencapai 160 000 Ton, namun pada tahun 2008,
volume impor kedelai telah menjadi 1 169 016 Ton. Selama periode 1978-2008,
volume impor kedelai meningkat sebesar 14.56 persen per tahun. Impor kedelai
akan cenderung meningkat seiring denga pertumbuhan penduduk akibatnya akan
menambah tinggi tingkat kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai
nasional. Kondisi tersebut dibuktikan dengan Indonesia menjadi salah satu negara
pengimpor kedelai di dunia dengan pangsa yang cukup besar, selain Belanda,
Jepang, Korea Selatan dan Jerman (Adetama, 2011).
3
Tabel 2 Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional
tahun 2008-2012 (ton)
Provinsi
2009
Jawa Timur 355260
Jawa Tengah 175156
NTB
95846
Aceh
63538
Jawa Barat
60257
Tahun
2010
339491
187992
93122
53347
55823
2011
366999
112273
88099
50006
56166
2012
361986
152416
74156
51439
47426
2013
329461
99318
91065
45018
51172
Sumber: BPS (2013) dan Deptan (2012)
Adanya perbedaan yang cukup besar antara produksi dan konsumsi kedelai
nasional mengindikasikan diperlukannya perbaikan, pengembangan, dan
memperbanyak daerah sentra produksi kedelai supaya produksi dalam negeri
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya produksi adalah aktivitas tataniga yang kurang efisien
dan membuat keuntungan petani berkurang. Oleh karena itu diperlukan
mengarahkan proses tataniaga kedelai ke arah yang lebih efisien supaya
keuntungan yang seharusnya diperoleh petani tidak hilang ke pihak lain. Efisen
tataniga di tingkat petani dipengaruhi dari beberapa hal diantaranya; akses
terhadap informasi harga dan kebebasan petani menjual kedelainya ke siapa saja.
Menurut Departemen pertanian (2012) daerah sentra produksi kedelai nasional
daintaranya di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Aceh, dan Jawa Barat, seperti
pada tabel 2. Jawa Barat merupakan salah satu dari lima sentra produksi kedelai
nasional dengan urutan ke lima skala nasional. Di Jawa Barat sendiri terdapat
sentra-sentra produksi kedelai yang terletak di beberapa kabupaten/kota. Daerah
sentra produksi kedelai yang ada di Jawa Barat diantaranya; Garut, Cianjur,
Sumedang, Sukabumi, Ciamis, Majalengka, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan
produksi seperti pada tabel 3.
Tabel 3 Produksi kedelai di kabupaten sentra produksi se Jawa Barat
tahun 2010-2012 (ton)
Kabupaten/
Kota
Garut
Cianjur
Sumedang
Sukabumi
Ciamis
Majalengka
Indramayu
Tasikmalaya
Sumber; BPS (2013)
Tahun
2010
18647
10045
7259
3064
2455
2880
3249
1912
2011
15298
10330
5345
4985
5946
1978
3048
3087
2012
21610
6984
3802
3797
3601
2317
803
1717
4
Garut merupakan daerah sentra produksi kedelai yang mempunyai produksi
paling tinggi se Jawa Barat diikuti Cianjur, Sumedang, Sukabumi, Ciamis,
Majalengka, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan jumlah produksi masingmasing seperti pada tabel 3. Produksi kedelai di Kabupaten Garut tahun 2010
sebanyak 18 647 ton, tahun 2011 sebanyak 15 298 ton, dan tahun 2012 mencapai
21 610 ton. Angka produksi tersebut paling besar jika dibandingkan dengan
kabupaten sentra yang lain. Pertataniagan kedelai lokal di Jawa Barat didominasi
oleh kedelai dari petani garut. Kondisi tersebut dikarenakan produksi kedelai di
Kabupaten Garut mampu memenuhi 45 persen kebutuhan kedelai se Jawa Barat.
(Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulutura Kabupaten Garut, 2013). Sentra
produksi kedelai di Kabupaten Garut diantaranya terletak di Kecamatan
Banyuresmi, Cibolong, Karang Tengah, Karang Pawitan, dan Tarogong Kaler
seperti pada tabel 4.
Tabel 4 Produksi kedelai di kecamatan sentra produksi di Kabupaten Garut
tahun 2009-2013(ton)
Kecamatan
Banyuresmi
Cibolong
Karang Tengah
Karang Pawitan
Tarogong Kaler
2009
1241
498
847
632
624
2010
1286
1620
1145
990
1002
Tahun
2011
1439
1498
756
848
808
2012
1557
1880
1005
1137
935
2013
1570
459
1125
1140
749
Rata-rata
5 tahun
1419
1191
976
949
824
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013)
Banyuresmi merupakan kecamatan yang mempunyai produksi kedelai
tertinggi di Kabupaten Garut. Rata-rata selama 5 tahun terakhir produksi kedelai
di Kecamatan Banyuresmi mencapai 1 419 ton. Dari tahun 2009 – 2013 jumlah
produksi kedelai di Kecamatan Banyuresmi cenderung meningkat meskipun kecil.
Sedangkan di kecamatan lain produksinya fluktuatif, pada tahun 2011 produksi
kedelai di Kecamatan Cibolong, Karang Tengah, Karang Pawitan, dan Tarogong
Kaler mengalami penerunan dari tahun sebelumnya dan kondisi tersebut tidak
terjadi pada Kecamatan Banyuresmi, sebaliknya Kecamatan Banyuresmi
mengalami peningkatan jumlah produksi kedelai pada tahun tersebut jika
diabandingkan dari tahun sebelumnya seperti pada tabel 4. Tataniaga kedelai di
Kabupaten Garut Kecamatan Banyuresmi mendistribusikan kedelai jenis putih
(Glycine max l). Kedelai yang didistribusikan dari petani produsen primer sampai
ke konsumen akhir berupa kedelai yang akan diolah hingga dapat di konsumsi dan
kedelai benih yang akan di tanam kembali.
5
Tabel 5 Kebutuhan kedelai pada industri tahu-tempe di Kabupaten Garut setiap
tahunya
Jenis Industri
Tahu
Tempe
Total
Jumlah usaha (unit)
422
349
771
Kebutuhan Kedelai (ton)
5588
4494
10082
Sumber: Dinas Perindustrian Kabupaten Garut (2012)
Menurut data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten
Garut pada tahun 2012 total produksi kedelai mencapai 21 441 ton. Kebutuhan
kedelai paling tinggi terjadi pada industri tahu dan tempe. Hal ini didukung
dengan data Dinas Perindustrian Kabupaten Garut seperti pada tabel 5 bahwa
setiap tahunnya industri tahu dan tempe membutuhkan 10 082 ton kedelai untuk
diolah menjadi tahu dan tempe. Industri tahu merupakan penyerap kedelai paling
besar jika dibandingkan dengan industri tempe seperti pada tabel 5. Sebagai sentra
produksi kedelai terbesar di Jawa Barat, Kabupaten Garut mampu memenuhi
kebutuhan kedelai di daerahnya dan membantu menyuplai kedelai ke daerah lain
yang ada di Jawa Barat.
Tabel 6 Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di Kabupaten
Garut tahun 2009-2013 (Ha)
Kecamatan
Banyuresmi
Cibolong
Karang Tengah
Karang Pawitan
Tarogong Kaler
2009
805
330
550
409
424
2010
755
1.005
690
578
620
Tahun
2011
835
925
465
494
500
2012
895
1.135
610
647
567
2013
890
272
675
644
447
Rata-rata
5 tahun
836
733
598
554
512
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013)
Kecamatan Banyuresmi merupakan kecamatan yang mempunyai luas
panen kedelai tertinggi se Kabupaten Garut. Rata-rata luas panennya sebesar 836
Ha selama 2009-2013 (tebel 6). Luas panen tertinggi terjadi pada tahun 2012 (895
Ha), sedangkan luas panen terendah terjadi pada tahun 2010 (755 Ha). Luas panen
paling rendah selama 5 tahun terakhir terjadi di Kecamatan Tarogong Kaler
dengan rata-rata luas panen 512 Ha.
6
Tabel 7 Perbedaan harga jual kedelai di tingkat petani dengan harga beli
konsumen akhir di Kabupaten Garut tahun 2014
Uraian
Harga jual atau beli kedelai (Rp/Kg) Selisih harga (Rp/Kg)
Petani
7 500
Konsumen akhir
8 800
1 300
(industri tahu-tempe)
Sumber; data primer
Tabel 7 menunjukkan perbedaan rata-rata harga jual petani di Kabupaten
Garut dengan harga beli konsumen akhir yaitu industri tahu-tempe. Pada bulan
Mei tahun 2014 harga jual kedelai di petani Garut sebesar Rp 7 500 sedangkan
harga beli konsumen akhir sebesar Rp 8 800 yang artinya ada perbedaan harga
sebesar Rp 1 300 ditingkat petani dengan konsumen akhir. Perbedaan harga
tersebut terjadi dikarenakan ada lembaga tataniaga yang terlibat dalam aktivitas
tataniaga kedelai dari petani hingga ke konsumen akhir. Setiap lembaga yang
terlibat akan mengambil keuntungan dan mengeluarkan biaya terkait fungsi yang
dilakukan. Besarnya keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dari setiap lembaga
tataniaga tersebut akan meningkatkan harga jual dari lembaga tataniga. Sehingga
terjadi perbedaan harga di petani produsen primer dengan konsumen akhir.
Semakin banyak lembaga tataniga yang terlibat maka akan semakin banyak
pengambilan keuntungan yang terjadi akibatnya harga jual menjadi naik.
Perumusan Masalah
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mempunyai peran penting
dalam perkedelaian nasional. Produksi kedelai di Jawa Barat menempati urutan ke
lima secara nasional, ini mengindikasikan bahwa Jawa Barat termasuk daerah
sentra produksi nasional. Di Jawa Barat sendiri terdapat beberapa kabupaten yang
mempunyai peran penting dalam memproduksi kedelai salah satunya adalah
Garut. Pada tahun 2013 pemerintah provinsi Jawa Barat memberikan apresiasi
atas tingginya produksi kedelai dari Garut, selain itu Garut juga menjadi daerah
pemasok sebanyak 45 persen kebutuhan kedelai yang ada di Jawa Barat.
Kedelai memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Potensi
tersebut terlihat dari beberapa hal, dianataranya permintaannya yang tinggi dan
cenderung naik, produksi dalam negeri yang masih rendah, ketersediaan
sumberdaya yang melimpah, dan adanya kebijakan pemerintah yang mendukung
berupa program swasembada kedelai. Sekilas pertanian kedelai terlihat
menjanjikan, namun kenyataannya produksi masih rendah karena banyak peteni
yang lebih memilih menanam komoditi lain seperti beras dan jagung. Ada
kemungkinan permasalahan yang mungkin dihadapin petani apakah dari sisi
usahataninya atau sistem tataniaganya yang kurang menguntungakan. Beberapa
permasalahan yang pada umumnya terjadi di tingkat petani kedelai tradisional;
produktivitas yang masih rendah, hambatan dari faktor fisik dan biologis (sulitnya
pengairan dan hama tanaman yang cukup tinggi), dan lemahnya posisi tawar
petani.
7
Tataniaga kedelai yang ada di Indonesia harus diteliti lebih lanjut karena
sistem tataniaga yang terjadi akan berpengaruh terhadap produksi kedelai
nasional. Keuntungan yang merata ke semua pihak adalah salah satu indikasi
sistem tataniaga yang efisien. Sistem tataniaga yang tidak efisien cenderung akan
merugikan petani yang pada akhirnya petani lebih memilih menanam komoditi
lain. Harga kedelai nasional selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami
kenaikan seperti pada tabel 8. Pada tahun 2005 sampai 2007 harga kedelai stabil
di angka kisaran Rp 3 500. Sedangkan mulai tahun 2008 sampai 2014 harga
kedelai mengalami kenaikan 100 persen dari harga sebelumnya Rp 3500 menjadi
7 500 per Kg nya. Harga kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu mencapai
Rp 9 000 per Kg. Tingginya harga kedelai nasional disebabkan naikknya harga
kedelai impor. Sisi positif dari harga kedelai yang tinggi adalah keuntungan petani
kedelai akan meningkat karena kenaikan harga output yang cukup tinggi tidak
diiringi kenaikan input. Petani kedelai nasional yang saat ini masih konsisten
menanam kedelai tentunya diuntungkan dengan kenaikkan harga kedelai yang
tinggi. Seharusnya kondisi tersebut menjadikan jumlah petani kedelai meningkat
dan produksi menigkat.
Tabel 8 Harga di tingkat petani kedelai nasional tahun 2005-2014 (Rp/Kg)
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Harga (Rp/Kg)
3500
3500
3450
7500
5950
7500
7000
7000
9000
8000
Pertumbuhan Harga (Rp/Kg)
0
-50
4050
-1550
1550
-500
0
2000
-1000
Sumber: BPS, 2014
Petani kedelai nasional sebagian besar adalah petani gurem yang
pendapatannya tidak begitu besar ditambah lagi posisi tawar petani yang masih
rendah akan menambah resiko kecilnya pendapatan petani. Permasalahan lain
yang dihadapi petani kecil/gurem/tradisonal dalam sistem tataniaga adalah
kesulitan dalam mengakses informasi harga kedelai dipasaran, sehingga petani
tidak mengetahui apakah harga yang diterapkan oleh pengumpul sesuai harga
pasar atau jauh lebih rendah dari harga di pasaran. Dari kondisi tersebut dapat di
indikasikan bahwa ada kemungkinan petani kedelai tidak diuntungkan dengan
proses pemasaran yang terjadi di daerahnya. Sehingga timbul permasalahan yang
ada di lapangan terutama dalam alur tataniaga yang kurang efisien bagi petani
kedelai yang ada di Garut.
Berkenaan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam
studi ini diformulasikan sebagai berikut:
8
1. Bagaimana saluran, lembaga, struktur dan perilaku pasar, serta fungsi tataniaga
kedelai yang ada di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut?
2. Bagaimana efisiensi tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut dengan pendekatan marjin tataniaga,
farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya (π/c).?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah
1. Menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur dan perilaku pasar oleh
lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut.
2. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga
di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut dengan pendekatan marjin
tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c).
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang
bermanfaat dan bersifat membangun bagi;
1. Petani, diharapkan dapat menjadi referensi agar dapat memilih saluran
tataniaga yang paling efisien sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dari proses tataniaga kedelai yang dilakukan.
2. Peneliti, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis serta
mengaplikasikan bidang keilmuan Agribisnis yang sudah diterima selama
mengikuti kuliah di Institut Pertanian Bogor.
3. Pengusaha, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pembentukan atau memilih saluran pemasaran yang paling menguntungkan.
4. Pemerintah, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait kedelai.
5. Pembaca, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan bisa menjadi
referensi, pedoman, dan litelatur mengenai saluran pemasaran kedelai.
Ruang Lingkup Penelitian
Peneltian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga kedelai di
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penelitian ini difokuskan
untuk menganalisis mengenai saluran tataniaga, lembaga dan fungsi tataniaga,
analisis struktur pasar, prilaku pasar, marjin tataniaga farmer’s share dan rasio
keuntungan terhadap biaya dari sistem tataniaga kedelai. Petani yang menjadi
responden adalah petani yang melakukan usaha budidaya kedelai di Kecamatan
Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Pedagang yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini adalah
pedagang yang yang melakukan pembelian dan penjualan kedelai di Garut dan
masih ada hubungan aktivitas jual-beli dengan petani kedelai Kecamatan
9
Banyuresmi. Pedagang yang menjadi responden adalah pedagang yang membeli
kedelai pada tingkat petani, pedagang yang membeli dan menjual kedelai antar
pedagang, pedagang yang menjual ke produsen, serta pedagang yang menjual
kedelai hingga ke konsumen akhir. Data yang digunakan adalah data penjualan
kedelai dan musim panen terakhir yang terjadi pada 2013 - Mei 2014
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kedelai
Komoditi yang diteliti dalam penelitian ini adalah kedelai, kedelai
merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh dengan tegak dan pada
umumnya dibudidyakan di lahan sawah dan lahan kering. Terdapat dua spesies
kedelai yang biasa dibudidayakan, yaitu kedelai kuning (Glycine max L) dan
kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai kuning biasanya digunakan sebagai bahan
dasar untuk membuat tempe, tahu, susu kedelai sedangkan kedelai hitam
digunakan untuk bahan dasar membuat kecap. Kedelai dapat tumbuh dengan baik
didaerah subtropis dan tropis. Di Indonesia sendiri tanaman kedelai dapat tumbuh
dan dibudidayakn dengan teknologi dan cara sederhana. Saat ini tanaman kedelai
sudah dibudidayakan di sebagian wilayah Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan sebagian daerah Sumatra.
Kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi
tanah yang cukup baik serta air yang cukup selama pertumbuhannya. Selain itu
faktor iklim juga sangat mempengaruhi, kedelai tumbuh subur pada curah hujan
100-200 mm/bulan, temperatur 25-27 derajat Celcius, dan ketinggian 0-900 m
dari permukaan air laut, ketinggian optimal sekitar 600 m (Deptan, 2014). Kedelai
dipanen biasanya setelah umur 75-110 hari untuk dapat dikonsumsi sedangkan
kedelai yang diperuntukkan benih dipetik pada umur 100-110 hari. Ciri-ciri
kedelai yang siap dipanen adalah buah berwarna kecoklatan dan retak, polong
sudah kelihatan, sebagain besar daun sudah menguning, dan batang berwarna
kuning kecoklatan (BPP Teknologi, 2000). Berdasarkan lamanya periode waktu
tumbuh dari sejak tanam sampai kematangan polong, varietas kedelai dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu (1) umur genjah (kurang dari 80
hari), (2) umur sedang (80 – 85 hari), dan (3) umur dalam (lebih dari 85 hari) (Nora,
2008).
Menurut Susanto dan Saneto (1994), ukuran biji kedelai ter-golong kecil
bila memiliki bobot 8−10 g/100 biji, sedang jika bobotnya 10−13 g/100 biji, dan
besar bila > 13 g/100 biji. Kedelai dengan varietas unggul ditandai dengan hasil
panen tinggi (> 2 ton/ha), berbiji kuning dan berukuran besar mirip dengan
kedelai impor. Di Indonesia jenis kedelai unggul diantaranya adalah varietas
Bromo, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Panderman, dan Grobogan yang
semuanya memliki ukuran biji sama atau lebih besar dan kadar protein (37-43
persen) lebih baik dibanding kedelai impor (35-37 persen). Saat ini kedelai yang
dijual di pasaran umumnya merupakan varietas lokal atau varietas unggul lama,
seperti Wilis yang ukuran bijinya lebih kecil dibanding kedelai impor (Litbang
pertanian, 2009).
Sistem Tataniaga
Penelitian yang membahas topik tentang
tataniaga kedelai bukan
merupakan hal yang baru karena sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.
Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan beberapa hasil dari penelitian
terdahulu sebagai referensi, rujukan, dan pedoman dalam penyusunannya. Hasil
11
penelitian terdahulu yang dijadikan referensi antara lain berasal dari jurnal,
skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian. Penelitian terdahulu yang dijadikan
referensi atau rujukan diantaranya;
1. Permata (2002) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem Agribisnis
Kedelai (Kasus Desa Hergamanah, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat)”
2. Meryani (2008) penelitianya yang berjudul “Analisis Usahatani dan Tataniaga
Kedelai (Kasus Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”
3. Kertawati (2008) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem tataniaga
Tembakau Mole (kasus Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa
Barat)”
4. Purba (2010) penelitiannya yang berjudul “Analisis Tataniaga Ubi Jalar
(kasus Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat)”
5. Soetrisniati (2011) penelitiannya yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu
(kasus Desa Pulorejo, Kecamatan, Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”
6. Alang (2013) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Kedelai
(kasus Desa Cipeuyum, Kecamtan Haurawangi, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat)”
Studi Empirik Saluran Tataniaga dan Efisiensi tataniaga
Saluran tataniaga kedelai masih dicirikan oleh banyaknya lembaga perantara
yang terlibat. Studi terdahulu umumnya menggunakan metode tabulasi dan
deskriptif dalam mengidentifikasi setiap fungsi dan lembaga saluran tataniaga
yang terlibat. Dalam menentukan saluran tataniaga yang paling efisien dapat
dilhat dari dari segi volume penjualan, marjin tataniaga, farmer’sshare, dan rasio
keuntungan terhadap biaya (Fikri, 2013). Secara umum lembaga tataniaga
dikelompokkan menjadi petani, pedagang pengumpul, kelompok tani, pengumpul
luar daerah, pedagang grosir, pedagang ritel, komisioner/broker, dan eksportir.
Aliran komoditi pada saluran tataniaga tersebut dikarenkan lokasi sentra produksi
berbeda dengan lokasi pusat konsumsinya (Wiboonpongse et.al, 2001).
Menurut Kotler (2005) saluran tataniaga didefinisikan sebagai sarana untuk
mencapai pasar sasaran. Ada tiga jenis saluran tataniaga yang digunakan meliputi:
(1) saluran komunikasi yang digunakan untuk memberi dan menerima informasi
dari konsumen sasaran. (2) Saluran distribusi digunakan untuk manyampaikan
produk atau jasa dari produsen kepada konsumen. Lembaga yang terlibat dalam
saluran ini diantaranya distributor, grosir, pengecer dan agen. (3) Saluran jasa
untuk melakukan transaksi dengan calon konsumen. Saluran ini mencakup
pergudangan, sarana transportasi, lembaga keuangan dan perusahaan asuransi
yang memberikan kemudahan dalam transaksi. Secara umum saluran tataniaga
awal yang dipilih petani paling dominan adalah pengumpul karena beberapa
alasan, diantaranya posisi pengumpul yang lebih dekat dengan petani, adanya
hutang-piutang petani dengan pengumpul, kurangnya akses pasar dan informasi
pasar oleh petani, kurangnya infrastruktur yang memadai untuk petani dapat
melakukan distribusi ke pasar pusat, dan sifat individualis antar petani.
Meryani (2008) dalam penelitianya menemukan enam saluran pemasaran
dan proses tataniaga kedelai dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan
12
beberapa pelaku pasar yaitu pedagang pengumpul, pedagang kecamatan,
pedagang kabupaten, pedagang propinsi dan pedagang pengecer. Saluran
tataniaga dari penelitian Meryani cukup unik karena komoditi kedelai yang
didistribusikan ada dua jeni yaitu kedelai polong muda dan kedelai polong tua.
Saluran tataniaga kedelai yang memberikan keuntungan adalah saluran tataniaga
enam dengan marjin yang paling rendah yaitu Rp 1 000, farmer’s share paling
tinggi sebesar 77.78 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 6,30.
Alang (2013) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga.
Pada saluran 1 kedelai dari petani langsung didistribusikan ke konsumen akhir.
Pada saluran 2 kedelai harus melewati pedagang pengumpul kecil dan pedagang
pengumpul besar sebelum sampai ke konsumen akhir. Sedangkan pada saluran 3
dan 4 lembaga tataniga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul kecil,
pedagang pengumpul besar, grosir, agen, dan pengecer. Dari keempat saluran
menurut Alang yang paling efisien adalah saluran 2 karena Berdasarkan analisis
kuantitatif, saluran tataniaga yang cenderung paling efisien untuk penjualan
kedelai tidak dengan sistem borong adalah saluran 2 karena nilai marjin yang
relatif kecil yaitu Rp 917 walaupun bukan yang terkecil dan nilai farmer’s share
yang relatif besar yaitu 85.89 persen walaupun bukan yang terbesar. Marjin
terkecil dan farmer’s share terbesar diperoleh dari saluran 1 (Rp 0 dan 100
persen) , tetapi saluran ini tidak menjadi saluran paling efisien dikarenakan
adanya hambatan masuk berupa akses terhadap pembeli. Nilai rasio keuntungan
terhadap biaya pada saluran 2 juga memperlihatkan nilai yang relatif besar, yaitu
7.06.
Permata (2002) dalam penelitiannya menemukan tujuh saluran tataniag.
Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul, pedagang
grosir, pedagang pengecer, dan primkopti. Saluran 1 dan 2 melibatkan 3 lembaga
tataniaga, saluran 3, 4, dan 5 melibatkan 2 lembaga tataniaga, sedangkan saluran 6
dan 7 tidak melibatkan lembaga tataniaga karena kedelai dari petani langsung di
distribusikan ke konsumen akhir. Saluran pemasaran yang paling efisien yaitu
saluran 7 dengan nilai marjin tataniaga paling kecil Rp 50/kg farmer share
terbesar 97,7 persen.
Purba (2010) dalam penelitian komoditi ubi jalar menemukan tiga saluran
tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul
tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, pedagang grosir, dan
pegadang pengecer. Saluran 1 memiliki 1 lembaga tataniaga, saluran 2 memiliki 5
lembaga tataniaga, dan saluran 3 memiliki 2 lembaga tataniaga yang terlibat.
Saluran tataniaga 1 merupakan saluran yang relatif lebih efisien karena memiliki
marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 325/Kg, persentase farmer’s share
terbesar yaitu 74,51 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu
1,17
Soetrisniati (2011) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga
tebu. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; Asosiasi Petani Tebu Rakyat
(APTRI), kelompok tani, kontraktor tebu, dan pedagang sari tebu. Saluran 1
sampai 4 semuanya hanya memiliki 1 lembaga tataniaga. Saluran tataniaga yang
efisien adalah saluran 1 dengan nilai margin tataniaga terkecil yaitu Rp
8.802/kwintal, farmer’s share terbesar yaitu 84,60 persen, dan rasio keuntungan
terhadap biaya 2,86.
13
Kertawati (2008) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga
tembakau mole. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; bandar, pedagang
pengumpul, pabrik guntingan, dan pedagang pengecer. Saluran 1 dan 4 hanya
memiliki 1 lembaga tataniaga, sedangkan saluran 2 dan 3 memiliki 3 lembaga
tataniaga. Saluran 1 merupakan saluran tataniaga petani yang terikat dengan
perjanjian modal sedangkan Saluran 2, 3, dan 4 saluran petani tidak terikat
perjanjian modal. Saluran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai
margin tataniaga terkecil yaitu Rp 3.815/kg, farmer’s share terbesar yaitu 78,26
persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 6,81.
Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar
Struktur pasar dapat dianilisis berdasarkan beberapa indikator, yaitu (1)
jumlah lembaga tataniaga yang bertindak sebagai penjual, (2) sifat dan keadaan
(homogenitas) produk, (3) tingkat keleluasaan suatu pihak untuk masuk atau
keluar pasar yang ada, (4) pengaruh penjual dalam menentukan harga, serta (5)
kemudahan dalam memperoleh informasi dalam pasar tersebut. Perilaku pasar
dapat dianilisis dengan pengamatan terhadap sistem penjualan dan pembelian,
mekanisme penentuan harga dan pembayaran yang dilakukan oleh masing-masing
lembaga, serta kerja sama yang tercipta dalam suatu pasar (Alang, 2013). Menurut
Winarno et al (1976) karakteristik pedagang kedelai dari hasil penelitiannya
adalah;
1. Pedagang tingkat desa menangani 3,33-41,5 ton kedelai per tahun; para
pedagang di daerah-daerah penghasil kedelai utama, seperti Jawa Timur,
menangani bagianterbesar.
2. Di Jawa Barat, Bali, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, petani menjual
produk mereka secara lokal; sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
beberapa transaksi terjadi di tempat pembeli.
3. Pedagang tingkat kecamatan membeli kedelai langsung dari para petani, dan
menangani 8,3-81,7 ton kedelai setiap tahun. Pembayaran umumnya tunai,
beberapa dengan panjar.
4. Para pedagang tingkat kabupaten dan propinsi setiap tahun membeli 14,4118,7 ton kedelai. Dari jumlah kedelai yang ditangani, kedua golongan
pedagang itu tidak bisa dibedakan. Demikian juga halnya dengan para
pedagang tingkat kecamatan.
Meryani (2008) menyatakan sebagian besar petani kedelai sebagai price
taker karena kesulitan untuk mendapatkan informasi harga di pasaran sehingga
petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam penentuan harga. Jumlah
pedagang pengumpul lebih sedikit dari jumlah petani tapi lebih banyak dari
pedagang besar di Kecamatan. Posisi tawar petani yang rendah dibanding pelaku
tataniaga akan menguntungkan pada level pelaku pasar yang lebih tinggi.
Penentuan harga di tingkat petani dan pedagang pengumpul ditentukan oleh
pedagang besar, sedangkan di tingkat pedagang kecamatan dan pedagang
kabupaten harga ditentukan oleh pedagang besar propinsi. Sistem pembayaran
yang terjadi umumnya nota dan tunai. Kerjasama antara pelaku pasar umumnya
dalam bentuk pinjaman modal.
14
Purba (2010) menyatakan struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga
tataniaga berbeda-beda dimana petani dan pedagang grosir cenderung mendekati
pasar persaingan sempurna, sedangkan pedagang pengumpul tingkat pertama,
pedagang pengumpul tingkat kedua, dan pedagang pengecer cenderung mendekati
pasar oligopoli.
Alang (2013) menyimpulkan dari Analisis struktur pasar menunjukkan
bahwa petani pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengecer menghadapi
struktur mendekati pasar persaingan sempurna, sementara pedagang pengumpul
besar, pedagang grosir, dan agen menghadapi struktur pasar yang cenderung
oligopoli dan oligopoli terdeferensiasi. Tidak semua tingkatan lembaga
menghadapi struktur pasar mendekati persaingan sempurna menandakan bahwa
sistem tataniaga cenderung kurang efisien. Struktur pasar ini mempengaruhi
perilaku petani dan setiap lembaga tataniaga dalam melakukan penjualan dan
pembelian, penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama. Hal yang paling
menonjol pada perilaku pasar persaingan sempurna adalah penjual (petani,
pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengecer) berperan sebagai price taker.
Sementara itu, lembaga yang menghadapi struktur pasar oligopoli atau pun
oligopoli terdeferensiasi, yaitu pedagang pengumpul besar, pedagang grosir, dan
agen, merupakan pihak yang mendominasi pasar.
Soetrisniati (2011) menyatakan struktur pasar yang dihadapi petani,
kontraktor tebu dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan karena
terdapat banyak penjual, barang yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk
keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani
karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan ada kesulitan untuk keluar
masuk pasar. Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan,
sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antara lembaga
tataniaga. Praktek pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara
langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah melalui tawar menawar
antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan kontraktor
tebu berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah.
Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama
antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan
kredit bagi petani untuk usahatani tebu.
Kertawati (2008) menyatakan struktur pasar yang terbentuk yaitu pasar
persaingan tidak sempurna dan lebih mengarah pada struktur pasar oligopsoni.
Perilaku pasar didalam sistem tataniaga tembakau mole bersifat tertutup. Sistem
pembayaran dilakukan dengan tunai dan dibayar kemudian. Kerjasama petani
dengan lembaga tataniaga sudah terjalin dengan baik dan saling memberikan
kepercayaan. Penentuan harga ditentukan oleh pembeli pada petani terikat dengan
perjanjian modal. Petani yang tidak terikat perjanjian modal ditentukan
berdasarkan kesepakatan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori-teori yang berhubungan dengan
analisis sistem tataniaga komoditi kedelai yang diteliti dan akan digunakan
sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Teori-teori tersebut menjelaskan
tentang variabel-variabel yang berfungsi untuk menganalisis proses terjadinya
tataniaga sekaligus sebagai batasan dalam penelitian. Variabel yang akan
digunakan dalam penelitian analisis tataniaga kedelai (Glycine max L.) di Jawa
Barat adalah konsep saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga,
struktur, perilaku, dan keragaan pasar, dan konsep efisiensi tataniaga yang
meliputi biaya dan nilai marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan
terhadap biaya.
Konsep Sistem Tataniaga
Tataniaga lebih dikenal dalam penjualan komoditi pertanian secara umum
istilah tataniaga sama artinya dengan pemasaran, dimana terjadinya jual-beli
mulai dari awal dihasilkannya sebuah barang sampai barang tersebut dikonsumsi
oleh konsumen terakhir. Dalam proses tataniaga sebuah barang akan
didistribusikan dari petani atau produsen primer hingga ke konsumen akhir
dengan melalui beberapa pihak (pengumpul, broker, agen, reseller, grosir,
industri, pabrik, toko, swalayan, dll), setiap pihak akan melakukan perlakuan
(penyimpanan, pendistribusian, pengolahan, pengepakan) baik yang akan
menambah nilai atau tidak terhadap produk tersebut dengan tujuan untuk
memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen akhir.
Pendefinisian kata tataniaga atau pemasaran banyak dilakukan oleh bebrap
ilmuan diantaranya, Seperich et al (1994) mendefinisikan tataniaga merupakan
semua aktivitas bisnis yang membantu memuaskan kebutuhan konsumen dengan
mengkoordinasikan aliran barang dan jasa dari produsen hingga kekonsumen
akhir untuk digunakan. Dahl and Hammond (1977) mendefinisikan tataniaga
adalah rangkain tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau
membentuk i