Pengurangan Kadar Akrilamida Pada Stik Sukun Melalui Blansir Dan Perendaman Dalam Larutan Kalsium Klorida.

(1)

PENGURANGAN KADAR AKRILAMIDA PADA STIK SUKUN

MELALUI BLANSIR DAN PERENDAMAN DALAM

LARUTAN KALSIUM KLORIDA

SITI RAHAYU RACHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengurangan Kadar Akrilamida pada Stik Sukun melalui Blansir dan Perendaman dalam Larutan Kalsium adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Siti Rahayu Rachmawati


(4)

RINGKASAN

SITI RAHAYU RACHMAWATI. Pengurangan Kadar Akrilamida pada Stik Sukun melalui Blansir dan Perendaman dalam Larutan Kalsium Klorida. Dibimbing oleh SUGIYONO dan NANCY DEWI YULIANA.

Akrilamida merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari bahan pangan sumber pati yang diolah pada suhu tinggi. Akrilamida terbentuk dari komponen bahan pangan sebagai hasil reaksi Maillard antara asam amino asparagin dan gula pereduksi. Senyawa akrilamida berpotensi terbentuk pada proses pengolahan stik sukun karena buah sukun merupakan sumber pati dan memiliki prekursor akrilamida. Stik sukun merupakan irisan buah sukun yang diolah dengan proses penggorengan. Pengurangan kadar akrilamida pada stik sukun perlu dilakukan mengingat IARC mengklasifikasikan akrilamida ke dalam kelompok 2A (kemungkinan bersifat karsinogenik pada manusia).

Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi kadar akrilamida pada stik sukun melalui perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan CaCl2 dan

mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap stik sukun yang memiliki kadar akrilamida terendah. Penelitian terdiri dari empat tahap: (1) Analisis kimia buah sukun; (2) Validasi metode analisis akrilamida; (3) Perlakuan blansir (suhu 70 dan 80 ºC selama 5 dan 10 menit) dan perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2

(konsentrasi 0.4 dan 0.8% selama 15 dan 30 menit) dan analisis akrilamida stik sukun; dan (4) Analisis sensori terhadap stik sukun yang memiliki kadar akrilamida terendah dengan menggunakan uji hedonik.

Hasil analisis kadar akrilamida stik sukun kontrol (tanpa perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan CaCl2) diperoleh sebesar 663.84 µg/kg. Hasil

tersebut lebih tinggi dari pada stik sukun yang diberi perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan suhu blansir, lama blansir, konsentrasi larutan CaCl2 dan lama perendaman dalam larutan CaCl2 berpengaruh nyata terhadap

pengurangan kadar akrilamida pada stik sukun. Suhu blansir yang lebih tinggi, waktu blansir yang lebih lama, konsentrasi larutan CaCl2 yang lebih tinggi dan

waktu perendaman dalam larutan CaCl2 yang lebih lama menunjukkan

pengurangan kadar akrilamida yang lebih tinggi pada stik sukun.

Kombinasi perlakuan blansir pada suhu 80 °C selama 10 menit dan perendaman dalam larutan CaCl2 0.8% selama 30 menit menghasilkan kadar

akrilamida terendah yaitu 79.71 µg/kg atau pengurangan kadar akrilamida tertinggi yaitu 87.99%. Hasil uji sensori menunjukkan bahwa nilai kesukaan panelis terhadap stik sukun yang memiliki kadar akrilamida terendah tidak berbeda nyata dari produk kontrol terhadap warna dan aroma, tetapi berbeda nyata terhadap tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan.


(5)

SUMMARY

SITI RAHAYU RACHMAWATI. Acrylamide Reduction of Breadfruit Stick by Blanching and Soaking in Calcium Chloride Solution. Supervised by SUGIYONO and NANCY DEWI YULIANA.

Acrylamide is a chemical compound produced in starch-based foods processed at high temperatures. Acrylamide is formed in the foods as a result of Maillard reactions between the amino acid asparagine and reducing sugars. The acrylamide compound is potentially formed in the processing of breadfruit sticks because the breadfruit contains precrusors of acrylamide and the product is processed through frying. The reduction of acrylamide levels in the breadfruit sticks needs to be conducted since the IARC has classified acrylamide in group 2A (probably carcinogenic to humans).

This study was aimed to reduce acrylamide levels in the breadfruit sticks by blanching treatment and soaking in CaCl2 solutions, and to determine the level

of panelist preferences to the breadfruit sticks having the lowest acrylamide content. The study consisted of four phases: (1) Chemical analysis of breadfruit; (2) Validation of acrylmide analysis method; (3) Blanching treatments (temperatures of 70 and 80 °C for 5 and 10 minutes) and soaking treatments in CaCl2 solutions (concentration of 0.4 and 0.8% for 15 and 30 minutes) and

acrylamide analysis of the breadfruit sticks; and (4) The sensory analysis of the breadfruit sticks having the lowest acrylamide content using the hedonic test.

The acrylamide content of the control breadfruit sticks (without treatments of blanching and soaking in CaCl2 solution) was 663.84 µg/kg. The result was

higher than the breadfruit sticks with treatment. This showed that blanching temperature, blanching time, concentration of CaCl2 solution and soaking time in

CaCl2 solution treatments had significant effects in reducing the acrylamide level

in the breadfruit sticks. Higher blanching temperature, longer blanching time, higher concentration of CaCl2 solution and longer soaking time in CaCl2

solutions showed higher reductions of acrylamide level in the breadfruit sticks. The combination of blanching with water at 80 °C for 10 minutes and soaking in the solution of CaCl2 0.8% for 30 minutes resulted the lowest

acrylamide content of 79.71 µg/kg or the highest acrylamide reduction of 87.99%. The sensory test result showed that the panelist preferences to the breadfruit sticks having the lowest acrylamide content were not significantly different from the control product according to their color and aroma, but they were significantly different according to their texture, flavor and overall characteristics.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

PENGURANGAN KADAR AKRILAMIDA PADA STIK SUKUN

MELALUI BLANSIR DAN PERENDAMAN DALAM LARUTAN

KALSIUM KLORIDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Pengurangan Kadar Akrilamida pada Stik Sukun melalui Blansir dan Perendaman dalam Larutan Kalsium Klorida. Penelitian ini merupakan syarat menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof Dr Ir Sugiyono, MApp Sc dan Ibu Dr Ir Nancy Dewi Yuliana, MSc yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan pengarahan hingga selesainya penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Ibu Dr Ir Hanifah N. Lioe, MSi selaku dosen penguji yang telah membantu saya menjadi lebih paham dan menjadikan tesis ini lebih baik lagi.

3. Bapak Joko Sulistyo, ST Msi selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II, yang telah memberi izin tugas belajar dan bantuan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi Magister Sains.

4. Bapak Tri Wayudi, SKom yang telah banyak memberikan bantuan dan saran-saran selama pelaksanaan penelitian.

5. Bapak dan Ibu dosen di Program Studi Ilmu Pangan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

6. Suami, anak-anak, mantu serta cucu-cucu tersayang yang selalu memberikan semangat, doa dan kasih sayangnya untuk menyelesaikan studi S2.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pangan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan ke depannya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas segala bantuan serta dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

Bogor, Juli 2015


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA

Buah Sukun (Artocarpus altilis) 4

Akrilamida 5

Akrilamida dalam Makanan 6

Pembentukan Akrilamida 7

Dampak Akrilamida bagi Kesehatan 8

Regulasi dan Rekomendasi Akrilamida dalam Makanan 9

Pengurangan Kadar Akrilamida dalam Makanan 9

Blansir 10

Kalsium Klorida 11

Metoda Analisis Akrilamida 13

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian 14 Bahan dan Peralatan Penelitian 14 Prosedur Penelitian 14 Prosedur Analisis 19

Rancangan Penelitian 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Kimia Buah Sukun 26

Penentuan Kondisi Percobaan Instrumen HPLC 26

Validasi Metode Analisis 27

Pengaruh Perlakuan Blansir dan Perendaman dalam Larutan CaCl2 28

Analisis Sensori Stik Sukun 33

SIMPULAN DAN SARAN 37 DAFTAR PUSTAKA 38 LAMPIRAN 43


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komposisi kimia buah sukun per 100 gram bahan 5 Tabel 2 Kelarutan akrilamida pada berbagai pelarut 6

Tabel 3 Akrilamida dalam makanan 7

Tabel 4 Perlakuan blansir pada penelitian-penelitian sebelumnya 11 Tabel 5 Perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 pada

penelitian-penelitian sebelumnya 12

Tabel 6 Kombinasi perlakuan blansir dengan perendaman dalam larutan

CaCl2 18

Tabel 7 Penentuan jumlah gula pereduksi dengan metode Luff- Schoorl 23 Tabel 8 Kondisi Instrumen HPLC yang digunakan untuk analisis

akrilamida pada stik sukun 24

Tabel 9 Hasil analisis kimia dari buah sukun per 100 g bahan 26

Tabel 10 Nilai L*, a* dan b* pada stik sukun kontrol dan terpilih 35 Tabel 11 Nilai ΔE, Hue dan SI pada stik sukun kontrol dan terpilih 35

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Buah sukun muda (a) dan matang (b) 4

Gambar 2 Struktur kimia akrilamida 6

Gambar 3 Jalur pembentukan akrilamida 8

Gambar 4 Diagram alir penelitian 15

Gambar 5 Diagram alir pembuatan stik sukun kontrol 17 Gambar 6 Diagram alir pembuatan stik sukun kombinasi perlakuan

blansir dan perendaman dalam larutan CaCl2 18

Gambar 7 Kromatogram standar akrilamida 2000 ppb 27 Gambar 8 Kromatogram sampel stik sukun kontrol 28 Gambar 9 Kadar akrilamida stik sukun hasil perlakuan blansir suhu 70

dan 80 °C selama 5 menit (B1) dan 10 menit (B2) dengan

perendaman dalam larutan dalam CaCl2 konsentrasi 0.4% (C1)

dan 0.8% (C2) selama 5 menit (D1) dan 30 menit (D2) 29

Gambar 10 Kadar akrilamida stik sukun hasil perlakuan blansir selama

5 dan 10 menit pada blansir suhu 70 °C (A1) dan 80 °C (A2)

dengan perendaman dalam larutan CaCl2 konsentrasi 0.4%

(C1) dan 0.8% (C2) selama 5 menit (D1) dan 30 menit (D2) 30

Gambar 11 Kadar akrilamida stik sukun hasil perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 pada konsentrasi 0.4% dan 0.8% selama

15 menit (D1) dan 30 menit (D2) dengan perlakuan blansir

suhu 70 °C (A1) dan 80 °C (A2) selama 5 menit (B1) dan


(13)

Gambar 12 Kadar akrilamida stik sukun hasil perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 selama 15 dan 30 menit pada konsentrasi

0.4% (C1) dan 0.8% (C2) dengan perlakuan blansir suhu 70 °C

(A1) dan 80 °C (A2) selama 5 menit (B1) dan 10 menit (B2) 32

Gambar 13 Persentase pengurangan kadar akrilamida stik sukun hasil perlakuan blansir suhu 70 °C (A1) dan 80 °C (A2) selama

5 menit (B1) dan 10 menit (B2) dengan perendaman dalam

larutan CaCl2 konsentrasi 0.4% (C1) dan 0.8% (C2) selama

5 menit (D1) dan 30 menit (D2) 32

Gambar 14 Perbandingan rataan skor uji hedonik antara stik sukun

kontrol dan stik sukun terpilih 33


(14)

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sukun, kentang, pisang, singkong, ubi, dan talas merupakan bahan pangan tinggi pati yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Selain dijadikan makanan pokok, bahan pangan tersebut juga sering dijadikan makanan ringan yang diolah dengan digoreng atau dipanggang. Sukun merupakan salah satu bahan pangan tinggi pati yang banyak diolah menjadi makanan ringan dengan cara digoreng maupun dikukus (Wardany 2012). Salah satu produk industri rumah tangga berbahan dasar buah sukun yang diolah dengan cara penggorengan yaitu stik sukun banyak ditemui di daerah Cilacap, Jawa Tengah. Proses penggorengan stik sukun ini dilakukan secara tradisional, tanpa pengontrolan suhu dan waktu penggorengan sehingga sangat memungkinkan mengandung akrilamida.

Akrilamida merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari bahan pangan yang diolah pada suhu tinggi seperti digoreng, dibakar atau dipanggang, namun tidak terdeteksi pada makanan yang direbus (Tareke et al. 2002). Akrilamida dapat terbentuk dalam makanan yang dipanaskan sebagai hasil reaksi antara asparagin dan gula atau senyawa karbonil lainnya (Yaylayan dan Stadler 2005). Gokmen dan Palazoglu (2008) menyatakan bahwa jalur utama dari pembentukan akrilamida berhubungan dengan reaksi Maillard dan khususnya keberadaan asam amino asparagin. Pedreschi et al. (2006) melaporkan bahwa kadar akrilamida

yang tinggi terbentuk pada saat terjadi proses browning sebagai hasil dari reaksi Maillard pada bahan makanan tinggi pati yang diolah pada suhu 150–190 °C yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan warna pada keripik kentang setelah digoreng. Perubahan warna produk keripik kentang menunjukkan adanya hubungan dengan jumlah akrilamida didalammya, makin pekat warna keripik kentang maka jumlah akrilamida semakin banyak (Pedreschi et al. 2005). Ciesarova et al. (2006) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pembentukan akrilamida pada makanan adalah kandungan gula pereduksi, asam amino asparagin, suhu dan waktu pemasakan serta kadar air.

International Agency for Research on Cancer mengklasifikasikan senyawa akrilamida ke dalam kelompok 2 A, yaitu kemungkinan bersifat karsinogenik pada manusia (IARC 1994). Hasil uji pada tikus menunjukkan bahwa akrilamida dapat memicu perkembangan sel kanker kolon (Zhang 2009), bersifat mutagenik dan karsinogenik pada sel kelenjar tiroid (Altaeva et al. 2011) serta bersifat neurotoksik (Guo etal. 2011). Pada penelitian secara in vitro, akrilamida bersifat genotoksik terhadap sel hati manusia (Jiang et al. 2007). Selain itu studi epidemiologi di Universitas Maastricht Belanda, menunjukkan adanya indikasi positif hubungan antara konsumsi akrilamida dengan risiko kanker endometrial dan kanker ovarium (Hogervorst et al. 2007) serta dapat meningkatkan risiko kanker ginjal sebesar 59% (Hogervorst et al. 2008).

Sampai dengan saat ini belum ada negara yang memiliki regulasi ambang batas akrilamida yang diperbolehkan dalam makanan. Jerman merupakan negara satu-satunya yang membuat rekomendasi terkait dengan pembatasan jumlah akrilamida pada makanan. Sejak tahun 2002 pemerintah Jerman bekerja sama dengan industri pangan setempat mendata makanan yang beredar di Jerman


(16)

2

berdasarkan kandungan akrilamida. Produsen yang memproduksi makanan mengandung akrilamida di atas 1000 µg/kg diminta untuk menerapkan prinsip reduksi akrilamida dalam proses produksinya (IFST 2012). Indonesia juga belum memiliki regulasi mengenai batas maksimum kandungan akrilamida pada makanan, namun Badan POM sudah menetapkan petunjuk cara meminimalkan kandungan akrilamida sebelum bahan pangan diolah (BPOM 2012).

Pengurangan kadar akrilamida dalam makanan olahan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) Penambahan enzim asparaginase (Pedreschi et al.

2008a); (2) Perlakuan blansir (Mestdagh et al. 2008a); (3) Penggunaan vacuum frying (Granda et al. 2004); (4) Iradiasi (Mulla et al. 2011); (5) Perendaman dalam asam amino lisin dan glisin (Kim et al. 2005); Perendaman dalam larutan asam sitrat (Ismial et al. 2013) serta (6) Perendaman dalam larutan garam: NaCl, CaCl2

dan MgCl2 (Ismial et al. 2013; Gokmen and Senyuva 2007). Blansir dapat

menurunkan kandungan glukosa dan asparagin pada irisan kentang masing masing sebesar 76 dan 68% dibandingkan dengan kontrol (Pedreschi et al. 2004). Penelitian Gokmen dan Senyuva (2007) mempelajari efek dari kation monovalen seperti natrium klorida dan divalen seperti kalsium klorida (CaCl2) terhadap

pembentukan akrilamida. Perendaman irisan kentang dalam larutan Ca Cl2 0.1 M

selama 15 dan 30 menit dapat menghambat pembentukan akrilamida pada kentang goreng masing-masing sebesar 79 dan 92% tanpa mempengaruhi warna dan tekstur kerenyahan.

Penelitian mengenai kadar akrilamida dan upaya untuk mengurangi kadar akrilamida pada stik sukun di Indonesia belum pernah dilaporkan. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh perlakuan kombinasi blansir dan perendaman dalam CaCl2 pada irisan buah sukun sebelum proses penggorengan terhadap kadar

akrilamida pada stik sukun. Produk yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan yang menghasilkan penurunan kadar akrilamida tertinggi diuji sensori untuk dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Berdasarkan aspek keamanan pangan, perlindungan konsumen, dan peningkatan teknologi proses dalam mengurangi terbentuknya akrilamida pada stik sukun, maka penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Akrilamida merupakan senyawa kimia yang terbentuk dari gula pereduksi dan asam amino yang terdapat secara alami pada bahan pangan sumber pati akibat pengolahan pada suhu tinggi. Buah sukun di Indonesia merupakan bahan pangan sumber pati yang sering diolah menjadi makanan ringan seperti stik sukun dengan proses penggorengan. Penelitian mengenai kadar akrilamida pada sukun pernah dilakukan oleh Bent et al. (2012) yang menjelaskan bahwa kadar akrilamida pada sukun panggang yang dikupas lebih tinggi daripada yang tidak dikupas. Hal ini disebabkan karena kontak langsung daging buah sukun dengan sumber panas. Hasil penelitian Hogervorst et al. (2007; 2008) menemukan bahwa ada indikasi positif hubungan antara diet akrilamida dengan risiko kanker endometrial, kanker ovarium dan kanker sel ginjal. Berdasarkan temuan dalam penelitian tersebut, maka upaya mengurangi kadar akrilamida perlu diterapkan pada stik sukun karena proses penggorengan stik sukun masih dilakukan secara tradisional tanpa


(17)

pengontrolan suhu dan waktu penggorengan sehingga berpotensi meningkatkan kadar akrilamida dalam produk stik sukun. Upaya pengurangan kadar akrilamida pada stik sukun diduga dapat dilakukan melalui blansir dan perendaman dalam larutan garam (Mestdagh et al. 2008a; Gokmen dan Senyuva 2007). Perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan garam kemungkinan berpengaruh terhadap sifat sensori stik sukun.

Tujuan Peneltian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mengurangi kadar akrilamida pada proses pembuatan stik sukun melalui perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan kalsium klorida.

2. Mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk stik sukun perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan kalsium klorida terpilih (menghasilkan pengurangan kadar akrilamida tertinggi).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan rekomendasi untuk perbaikan proses pembuatan stik sukun sehingga dapat dihasilkan produk dengan kadar akrilamida yang rendah serta dapat diterapkan pada industri pangan yang melibatkan proses penggorengan, khususnya pada produsen stik sukun.

Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan kalsium klorida pada proses pembuatan stik sukun dapat menurunkan kadar akrilamida.

2. Perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan kalsium klorida tidak berpengaruh terhadap sifat sensori produk stik sukun.


(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Buah Sukun (Artocarpus altilis)

Buah sukun atau breadfruit yang dalam bahasa latinnya disebut

Artocarpus altilis termasuk dalam kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), superdivisi Spermatophyta

(menghasilkan biji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga), kelas

Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil), ordo Urticales, famili Moraceae, genus

Artocarpus, spesies altilis (Deivanai dan Subhash 2010). Buah sukun berasal dari daerah Pasifik, yang kemudian berkembang hingga Indonesia. Penyebutan nama buah sukun ini berbeda-beda di tiap negara (Ragone 2006). Terdapat dua jenis sukun, yaitu yang berbiji (with seeds) dan tanpa biji (seedless) (Deivanai dan Subhash 2010). Buah sukun tanpa biji di Indonesia lebih populer dengan sebutan sukun dan dapat diolah menjadi berbagai produk makanan, sedangkan sukun dengan biji dikenal dengan sebutan kluwih dan biasanya dimanfaatkan sebagai sayur (Wardany 2012).

Buah sukun memiliki kandungan pati yang tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai sayur dan buah. Sukun yang digunakan sebagai buah dapat dimanfaatkan sebagai makanan penutup. Ciri-ciri sukun yang dapat digunakan sebagai sayur adalah berwarna hijau terang, permukaan kulit yang tidak rata, daging buah yang masih keras dan warna daging buah yang berwarna putih. Sedangkan ciri-ciri sukun yang digunakan sebagai buah adalah kulit berwarna hijau kekuningan dengan bercak coklat, permukaan kulit yang rata, daging buah yang lembut dan berwarna putih kekuningan (Deivanai dan Subhash 2010). Meskipun ada beberapa indikator kematangan buah sukun, namun indikator yang paling sering digunakan adalah adanya getah dipermukaan kulit buah. Ketika buah sedikit tergores, maka akan keluar sedikit getah dipermukaan kulit buah, yang menunjukkan bahwa buah siap dipanen sebagai sayur dan ketika semakin banyak bercak berwarna coklat pada permukaan kulit buah menandakan buah tersebut telah matang secara sempurna (Deivanai dan Subhash 2010). Buah sukun yang sudah matang sangat mudah dikenali melalui perubahan warna kulitnya (Gambar 1).

(a) (b)

Gambar 1 Buah sukun muda (a) (Meilleur et al. 2004) dan matang (b) (Postharvest Handling Technical Bulletin 2004)

Buah sukun memiliki bentuk, ukuran dan tekstur yang bervariasi. Umumnya buah sukun berbentuk bulat dan oval; lebar antara 9–20 cm; panjang lebih dari 30 cm serta berat 0.25–6 kg (Ragone 2006). Buah sukun memiliki kandungan pati yang tinggi, vitamin dan mineral seperti kalsium dan fospor


(19)

(Ragone 2006) serta dapat dijadikan sebagai sumber serat dan antioksidan (Deivanai dan Subhash 2010). Komposisi kimia pada buah sukun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia buah sukun per 100 gram bahan (Wardany 2012) Unsur unsur Sukun muda Sukun tua Air (g) 87.1 69.1 Kalori (kal) 46 108

Protein (g) 2.0 1.3

Lemak (g) 0.7 0.3

Karbohidrat (g) 9.2 28.3

Serat (g) 2.2 -

Abu (g) 1.0 0.9

Kalsium (g) 59 21

Fosfor (mg) 46 59

Besi (mg) - 0.4

Vitamin B1 (mg) 0.12 0.12

Vitamin B2 (mg) 0.06 0.06

Vitamin C (mg) 21 17

Pemanfaatan utama tanaman sukun adalah buahnya. Buah sukun dimanfaatkan sebagai makanan pokok ketika buah sudah matang. Menurut Bent et al. (2012) buah sukun di Karibia dikonsumsi sebagai makanan pokok dengan cara dipanggang. Buah sukun dapat juga dibuat tepung yang dapat digunakan dalam pembuatan roti, kue dan makanan ringan (Deivanai dan Subhash 2010). Di Jamaika tepung sukun diolah menjadi bubur untuk sarapan sedangkan di Trinidad dan Barbados buah sukun diolah dan telah dijual secara komersial menjadi makanan ringan dalam bentuk chip (Wardany 2012). Sebagian daerah di Indonesia memanfaatkan sukun dalam bentuk makanan ringan seperti digoreng, dikukus dan stik sukun. Stik sukun merupakan salah satu produk sejenis olahan keripik yang renyah dari daerah Cilacap, Jawa Tengah. Teknik pengolahan stik sukun dengan cara digoreng dengan irisan berbentuk persegi panjang. Menurut Balai Pasca Pertanian (2003) bahan baku yang digunakan untuk pembuatan stik sukun adalah buah sukun yang sudah tua, berukuran besar, tidak ada tanda bekas jatuh dan daging buah berwarna putih kekuningan.

Akrilamida

Akrilamida merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Akrilamida merupakan monomer dari poliakrilamida. Akrilamida dalam bentuk monomer bersifat toksik terhadap sistem syaraf dan bersifat karsinogen pada hewan coba, sedangkan dalam bentuk polimer akrilamida belum diketahui ketoksikannya (Otles dan Otles 2004).

Monomer akrilamida biasanya digunakan pada laboratorium penelitian untuk preparasi gel elektroforesis, bahan pembuatan cat warna, pembangunan pondasi bendungan, selokan dan terowongan. Akrilamida terdapat juga pada


(20)

6

tembakau dan asap rokok. Sedangkan polimer akrilamida digunakan sebagai bahan tambahan untuk menjernihkan air, bahan industri kertas, pengental, bahan tekstil, serta digunakan pada pengolahan biji timah dan minyak mentah (Otles dan Otles 2004; Moldoveanu dan Gerardi 2011).

Akrilamida dikenal sebagai acrylic amide atau 2-propenamida, berbentuk kristal padat berwarna putih, tidak berbau dengan titik leleh 84.5 °C, larut dalam air, etanol, metanol, dimetil eter dan aseton serta tidak larut dalam benzena dan heptana. Kelarutan akrilamida pada berbagai pelarut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kelarutan akrilamida pada berbagai pelarut (Erikson 2005)

Pelarut g/100 mL pada 30º C

Air 215.5

Metanol 155

Dimetil sulfoksida 124 Dimetil formamida 119

Etanol 86.2

Aseton 63.1

Piridin 61.9

Asetonitril 39.6

Etilen glikol monobutil eter 31

Dioksan 30

Etil asetat 12.6

Kloroform 2.66

1-2 dikloroetana 1.50

Benzena 0.35

Karbon tetraklorida 0.038

n-Heptana 0.0068

Akrilamida mudah terpolimerisasi ketika mencapai titik leleh atau terpapar sinar ultra violet dan stabil pada suhu ruang apabila berbentuk padat, namun pada bentuk cair dapat terpolimerisasi ketika teroksidasi (Otles dan Otles 2004). Akrilamida memiliki berat molekul yang rendah sebesar 71.08 dan volatilitas yang rendah serta memiliki gugus kromofor yang sedikit dan tidak dapat berpendar (Castle 2006). Rumus molekul akrilamida adalah C3H5NO dan

struktur kimia akrilamida seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia akrilamida (Otles dan Otles 2004)

Akrilamida dalam Makanan

Berdasarkan penelitian Tareke et al. (2002), bahan pangan sumber pati yang diolah pada suhu tinggi di atas 120 ºC seperti digoreng, dibakar dan dipanggang dapat menghasilkan akrilamida. Makanan tinggi protein mengandung


(21)

akrilamida sebesar 5–50 µg/kg dan makanan tinggi pati seperti produk olahan kentang dan roti kering mengandung akrilamida sebesar 150–4000 µg/kg. Namun akrilamida tidak terdeteksi pada makanan yang direbus atau tidak dipanaskan. Akrilamida pada produk makanan lainya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Akrilamida dalam makanan Produk Makanan Cara

Pengolahan

Akrilamida (g/kg)

Penelitian Keripik pisang Panggang 100–430 Bent et al. (2012) Sukun tidak dikupas Panggang 620–690 Bent et al. (2012) Sukun kupas kulit Panggang 1780–2210 Bent et al. (2012)

Sereal Panggang 130 Bent et al. (2012)

Sweet potato crisps Goreng 134 Wang et al. (2008)

Fried egg pastry Goreng 198 Wang et al. (2008)

Potato crisps Goreng 834 Olmez et al. (2008)

Kopi Panggang 266 Olmez et al. (2008)

Almond Panggang 582 Lukac et al. (2007)

Pembentukan Akrilamida

Jalur pembentukan akrilamida pada makanan dapat dilihat pada Gambar 3. Mekanisme reaksi menunjukkan reaksi asparagin dengan gula pereduksi sebagai jalur utama pembentukan akrilamida dalam makanan. Pada jalur A yaitu asparagin dan senyawa α-hidroksikarbonil seperti gula pereduksi dipanaskan bersama-sama, menghasilkan senyawa antara basa Schiff yaitu N-glikosil terkonjugasi. Basa Schiff terbentuk sebagai kunci perantara setelah dehidrasi. Basa Schiff akan berubah menjadi senyawa amadori yang akan membentuk 1 dan 3-deoksioson yang akan terdekomposisi untuk menghasilkan aroma dan warna. Senyawa amadori bukan prekursor yang efisien dalam pembentukan akrilamida. Basa Schiff dapat berubah menjadi akrilamida dengan dua tahap yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan membentuk azomethine ylide

untuk kemudian membentuk akrilamida. Sedangkan secara tidak langsung yaitu dengan melalui terbentuknya oksazolidin-5 yang kemudian membentuk senyawa

azomethine ylide (disebut juga basa Schiff yang terdekarboksilasi), kemudian

melalui β-eliminasi dari senyawa amadori terdekarboksilasi akan menjadi

akrilamida. Terbentuknya akrilamida dapat juga melalui deaminasi dari 3-aminopropionamida, yang merupakan prekursor inti terbentuknya akrilamida

(Granvogl dan Schieberle 2006).

Para peneliti menemukan bahwa senyawa yang memiliki gugus karbonil selain α- hidroksikarbonil dapat juga bereaksi dengan asparagin untuk membentuk akrilamida. Hal ini dapat dilihat pada jalur B. Asparagin dan senyawa karbonil membentuk senyawa antara basa Schiff dan dapat membentuk akrilamida melalui 3-APA atau tidak melalui 3-APA (Jin et al. 2013). Penelitian juga menemukan bahwa tidak semua senyawa karbonil dapat terlibat dalam terbentuknya jalur reaksi B (Zamora dan Hidalgo 2008). Senyawa glioksal, hidroksietanal dan gliseraldehidamerupakan senyawa karbonil yang terlibat dalam reaksi jalur B.


(22)

8

Gambar 3 Jalur pembentukan akrilamida pada makanan (Jin et al. 2013) Jalur C disebut jalur akrolein, pada jalur ini akrilamida terbentuk dari reaksi kimia antara amonia hasil degradasi stecker asparagin dan asam akrilat hasil oksidasi akrolein (Jin et al. 2013).

Dampak Akrilamida bagi Kesehatan

Akrilamida berdasarkan studi epidemiologi di universitas Maastricht Belanda selama 11.3 tahun pada 62573 wanita berusia 55 hingga 69 tahun dengan rata-rata diet akrilamida 8.9 µg/hari, menunjukkan adanya indikasi positif hubungan antara konsumsi akrilamida dengan risiko kanker endometrial dan kanker ovarium, namun tidak menunjukkan adanya indikasi positif terhadap kanker payudara (Hogervorst et al. 2007). Selain itu penelitian selama 13.3 tahun pada 120852 laki-laki dan wanita berusia 55 hingga 69 tahun dengan rata-rata diet akrilamida 9.5 µg/hari, menunjukkan bahwa peningkatan diet akrilamida juga dapat meningkatkan risiko kanker ginjal sebesar 59%, namun tidak menunjukkan adanya indikasi positif terhadap risiko kanker kandung kemih dan prostat (Hogervorst et al. 2008). Hasil uji pada tikus yang disuntik akrilamida dengan dosis 10 mg/kg berat badan dan diet minyak jagung 10% selama 8 minggu dan setelah itu tetap diberi diet minyak jagung 10% selama 48 minggu, menunjukkan bahwa akrilamida dapat memicu perkembangan sel kanker kolon (Zhang 2009). Altaeva et al. (2011) menyatakan bahwa tikus yang diberi akrilamida dengan dosis 0.496, 2.48 dan 12.4 mg/kg, menunjukkan bahwa akrilamida bersifat mutagenik dan karsinogenik pada sel kelenjar tiroid. Guo et al. (2011) juga menyatakan bahwa tikus yang diberi akrilamida dengan dosis 40 mg/kg selama 12 hari dapat menyebabkan pengaruh pada sistem syaraf tikus.


(23)

Regulasi dan Rekomendasi Akrilamida dalam Makanan

Hingga saat ini belum ada negara yang menetapkan batas jumlah akrilamida yang diperbolehkan dalam makanan. Jerman adalah satu satunya negara yang memiliki rekomendasi berkenaan dengan batas akrilamida dalam makanan, namun hal tersebut masih bersifat sukarela. Sejak tahun 2002, pemerintah Jerman bekerja sama dengan industri pangan setempat untuk membuat

data base makanan berdasarkan kandungan akrilamida, dimana produsen yang memproduksi makanan mengandung akrilamida di atas 1000 µg/kg diminta untuk menerapkan prinsip reduksi akrilamida (IFST 2012).

Menurut BPOM (2012), WHO belum menetapkan batas maksimum kandungan akrilamida di dalam makanan yang dapat menyebabkan risiko kesehatan pada manusia. Untuk mengurangi kandungan akrilamida dalam bahan pangan WHO menyarankan pola konsumsi makanan yang seimbang dan bervariasi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan; mengurangi konsumsi produk gorengan serta produk berlemak lainnya, sedangkan FDA menyarankan pola konsumsi makanan dengan menu seimbang dan memilih makanan kaya serat namun rendah kandungan asam lemak jenuh dan asam lemak trans.

Sampai saat ini BPOM (2012) belum menetapkan batas maksimum kandungan akrilamida pada produk makanan. Untuk mengurangi kandungan akrilamida dalam bahan pangan, BPOM telah menetapkan petunjuk cara meminimalkan cemaran akrilamida berdasarkan proses pengolahan pangan yaitu: a) Menggunakan api kecil untuk mendapatkan panas yang tidak terlalu tinggi b) Jangan memanaskan minyak goreng sampai berasap

c) Mengurangi waktu memasak (warna hasil gorengan jangan terlalu coklat) d) Menggunakan minyak goreng yang masih baru (maksimum 3 kali pemakaian)

Pengurangan Kadar Akrilamida dalam Makanan

Telah banyak penelitian mengenai pengurangan akrilamida dalam produk makanan yang diproses menggunakan suhu tinggi. Menurut Ismial et al. (2013) perlakuan blansir, perendaman, blansir yang diikuti dengan perendaman pada irisan kentang, penambahan berbagai daun pada minyak goreng mampu menurunkan kandungan akrilamida pada kentang goreng. Proses blansir irisan kentang pada suhu 65 ºC selama 5 menit dalam air, larutan asam sitrat, CaCl2,

MgCl2, NaCl masing-masing 0.1 M dan dalam asam amino L-cystein 0.05 M

dapat menurunkan kandungan akrilamida masing-masing sebesar 91.70, 93.43, 88.88, 97.97, 90.40 dan 97.17%. Perendaman irisan kentang dalam air, asam sitrat (0.01 M), asam asetat, larutan garam (CaCl2, MgCl2 dan NaCl), asam amino

(glisin, L-arginin, L-glutamin, L-cystein), larutan protein dan albumin telur dapat menurunkan kandungan akrilamida sebesar 61.61–97.47%. Penambahan daun oregano, rosemary, bambu, jambu biji dan zaitun yang ditambahkan pada minyak goreng dapat menurunkan kandungan akrilamida sebesar 56.5–92.8% dalam irisan kentang yang digoreng. Proses blansir irisan kentang suhu 85 ºC selama 5 menit yang diikuti dengan perendaman dalam larutan enzim kasar dan enzim semi purifikasi pada suhu 37 °C selama 60 menit, mampu menurunkan kandungan akrilamida sebesar 93.93–97.97%.


(24)

10

Penelitian Granda etal. (2004) menunjukkan bahwa penurunan kandungan akrilamida dapat dilakukan dengan cara pemilihan bahan baku yang memiliki gula pereduksi yang rendah, menurunkan suhu penggorengan dan penggorengan dengan menggunakan vaccum frying. Metode penggorengan vaccum frying

mampu menurunkan kandungan akrilamida sebesar 94% pada keripik kentang. Penurunan suhu penggorengan dari 180 menjadi 165 ºC dengan metoda penggorengan tradisional mampu menurunkan kandungan akrilamida pada keripik kentang sebesar 51%, sedangkan penurunan suhu penggorengan dari 140 menjadi 125 ºC dengan menggunakan vaccum frying mampu menurunkan kadar akrilamida pada keripik kentang sebesar 63%. Granda et al. (2005) meneliti tentang pengaruh dari kandungan asparagin dan gula pereduksi bahan baku kentang terhadap jumlah akrilamida pada keripik kentang. Semakin tinggi kandungan gula pereduksi dan asparagin pada bahan baku kentang, maka jumlah kandungan akrilamida keripik kentang semakin tinggi.

Berdasarkan penelitian Blom et al. (2009) fermentasi irisan kentang dengan bakteri asam laktat mampu menurunkan kadar akrilamida sebesar 90%. Hal ini disebabkan bakteri asam laktat mampu memetabolisme gula pereduksi dengan cepat hingga terbentuk asam laktat yang dapat menurunkan pH kentang dan mampu menurunkan reaksi Maillard ketika kentang digoreng.

Penggunaan asparaginase dapat menurunkan senyawa akrilamida dalam produk kentang goreng. Perendaman irisan kentang yang telah di blansir ke dalam larutan asparaginase 10000 ASNU/l pada suhu 40 ºC selama 20 menit, dapat menghambat terbentuknya akrilamida hingga 60% jika dibandingkan dengan irisan kentang yang tidak direndam dengan asparaginase (Pedreschi et al. 2008a). Anese et al. (2011) mengaplikasikan penambahan enzim asparaginase di industri biskuit. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi asparaginase 500 U/kg yang dikombinasikan dengan waktu 10 menit dan suhu 20 ºC pada proses inkubasi, dapat menurunkan terbentuknya akrilamida dalam adonan biskuit tanpa menyebabkan perubahan warna pada produk akhir.

Blansir

Blansir merupakan suatu proses pemanasan pada buah-buahan dan sayur-sayuran sebelum proses pembekuan, pengalengan, pengeringan dengan tujuan untuk menginaktifkan enzim, mengurangi jumlah mikroorganisme, perbaikan warna, pelayuan dan menghilangkan udara dalam matriks pangan (De Corcuera et al. 2004). Blansir yang dilakukan dengan media air menggunakan suhu 70–100 ºC (De Corcuera et al. 2004). Menurut Pedreschi et al. (2004) blansir pada suhu tinggi dengan waktu singkat dan blansir pada suhu rendah dengan waktu lama dapat menyebabkan penurunan kadar akrilamida pada keripik kentang sebesar 91 dan 97%. Sampel yang di blansir menghasilkan warna yang lebih cerah dibandingkan kontrol.

Air panas dan uap adalah media pemanas yang umum digunakan untuk blansir. Blansir menggunakan air panas dapat menghilangkan beberapa mineral, vitamin yang larut air dan komponen bahan pangan larut air lainnya (De Corcuera

et al. 2004). Proses blansir dapat menurunkan prekursor akrilamida, seperti gula pereduksi dan asparagin (Pedreschi et al. 2004; 2006; Mestdagh et al. 2008a).


(25)

Irisan kentang yang diblansir pada suhu 70 ºC selama 10 menit dapat mengurangi kadar gula pereduksi sebesar 10% dibandingkan irisan kentang yang tidak diblansir (Mestdagh et al. 2008a). Beberapa hasil penelitian perlakuan blansir dan kombinasi perlakuan blansir dengan perlakuan lain dalam menurunkan kandungan akrilamida pada produk pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perlakuan blansir pada penelitian-penelitian sebelumnya

No Perlakuan dan Hasil Percobaan Referensi 1 Blansir irisan kentang suhu 70 °C selama 10 menit

lebih efisien dibandingkan dengan blansir pada suhu yang lebih rendah dengan waktu yang lebih lama. Perlakuan tersebut dapat menurunkan kadar akrilamida hingga 65%.

Mestdagh et al.

(2008a)

2 Blansir pada bahan kentang goreng dilakukan dengan variasi suhu dan waktu yaitu 50 °C selama 40 dan 80 menit; 70 °C selama 10 dan 45 menit; 90 °C selama 3 dan 10 menit. Blansir suhu 50 °C selama 80 menit dan 70 °C selama 45 menit menghasilkan kadar akrilamida paling rendah yaitu 342 dan 538 µg/kg dibandingkan perlakuan lainya.

Pedreschi et al. (2007b)

3 Bahan kentang goreng diberi perlakuan blansir suhu 85 ºC dan perendaman NaCl selama 3.5 menit. Perlakuan tersebut dapat menurunkan kadar akrilamida sebesar 82–97% dibandingkan dengan kontrol (hanya blansir tanpa penambahan NaCl).

Pedreschi et al. (2007a)

4 Blansir irisan kentang pada suhu 65 ºC selama 5 menit dalam larutan CaCl2 0.1 M dapat menurunkan kadar

akrilamida sebesar 88.88%.

Ismial et al.

(2013)

Perlakuan blansir membuat asparagin bebas dan gula pereduksi akan keluar dari matrik pangan dan larut dalam air (Pedreschi et al. 2006). Semakin lama waktu blansir sebelum proses penggorengan, semakin banyak menurunkan kadar glukosa dan asparagin sehingga pembentukan akrilamida akan semakin lebih rendah pada keripik kentang setelah digoreng. Selain itu blansir juga memiliki efek menguntungkan terhadap warna produk pangan. Perlakuan blansir pada kentang dapat menurunkan nilai L* dan a* pada kentang goreng akibat terhambatnya reaksi browning non enzimatik sehingga warna kentang goreng lebih cerah (Pedreschi et al. 2004).

Kalsium Klorida

Zat aditif pada makanan seperti NaCl, CaCl2, MgCl2, asam sitrat yang

ditambahkan pada proses perendaman dan blansir irisan kentang mampu menurunkan kadar akrilamida pada keripik kentang (Ismial et al. 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perendaman irisan kentang dengan bahan kimia seperti larutan CaCl2 sebelum proses penggorengan, cukup efektif dalam


(26)

12

menurunkan kadar akrilamida yang terbentuk. Penggunaan zat aditif pada makanan tidak hanya untuk melihat pengurangan kadar akrilamida namun juga untuk melihat sifat sensori pada produk yang dihasilkan.

Ou et al. (2008) membuktikan bahwa perendaman dalam larutan CaCl2

0.5% merupakan larutan paling potensial dalam proses pengurangan kadar akrilamida pada keripik kentang. Hal ini disebabkan perlakuan tersebut mampu menurunkan kadar akrilamida lebih dari 85% pada keripik kentang, harga CaCl2

tergolong murah dan rasa keripik kentang dapat diterima secara sensori, walaupun penggunaan CaCl2 dapat meningkatkan kerapuhan produk. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Acar et al. (2012) pada produk cookies, menunjukkan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0.5% pada adonan cookies dapat menurunkan kadar

akrilamida sebesar 66.3% dan meningkatkan kecerahan cookies. Selain itu, penambahan CaCl2 0.5% pada adonan cookies tidak mempengaruhi diameter dan

ketebalannya dan tidak mempengaruhi nilai sensori berupa tingkat kemanisan, keasinan, dan kepahitan jika dibandingkan cookies kontrol. Mekanisme lain dari penambahan CaCl2 pada produk berbahan dasar gandum terhadap penurunan

akrilamida ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Levine dan Ryan (2009) yaitu penambahan CaCl2 0.04 M (~0.44%) dalam adonan dapat mereduksi

akrilamida sebanyak 36% jauh lebih baik dibandingkan dengan penambahan NaCl dengan konsentrasi yang sama. Beberapa perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 pada penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 pada penelitian-penelitian

sebelumnya

No Perlakuan dan hasil percobaan Referensi 1 Potongan kentang direndam dalam larutan CaCl2

0.1 M selama 15, 30 dan 60 menit pada suhu ruang sebelum digoreng dapat menurunkan akrilamida yang terbentuk sebesar 79, 92 dan 95% untuk 15, 30 dan 60 menit. Perlakuan tersebut tidak mempengaruhi kualitas sensori seperti warna kuning keemasan dan tekstur renyah.

Gokmen dan Senyuva (2007)

2 Pada pembuatan cookies yang dicampur dengan 0.5% CaCl2 dari bobot terigu dan dipanggang pada

suhu 205 °C selama 11 menit mampu menurunkan kadar akrilamida sebesar 66.3% dibandingkan kontrol.

Acar et al. (2012)

3 Perendaman irisan kentang dalam larutan CaCl2

0.1 M selama 60 menit pada suhu ruang menunjukkan penurunan yang signifikan dalam pembentukan akrilamida sebesar 93.43%.


(27)

Metode Analisis Akrilamida

Metode yang digunakan saat ini untuk analisis akrilamida dalam pangan diantaranya adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan berbagai detektor, Gas Chromatography–Mass Spectrometry (GC–MS), Liquid

Chromatograph–Mass Spectrometetry (LC–MS) dan Enzyme–Linked

Immunososorbent Assay (ELISA). Semua instrumen ini berguna dan hasilnya dapat diterima. Menurut Zhang et al. (2005) GC-MS dan LC-MS/MS merupakan metode yang paling baik untuk analisis akrilamida. Meskipun metode yang tekniknya didasarkan dengan MS menunjukkan kinerja analitik yang baik, namun metode tersebut memiliki tahap persiapan sampel yang cukup rumit, membutuhkan banyak waktu dan biaya besar (Wang et al. 2008). Metode ELISA merupakan metode cepat dan murah, namun kepekaannya lebih rendah (Xu et al. 2012).

Wang et al.(2013) telah mengembangkan sebuah metode dengan tahapan persiapan sampel yang sederhana, cepat dan hemat biaya dengan menggunakan HPLC dengan detektor Photo Deode array (PDA) untuk menganalisa kadar akrilamida dalam makanan goreng berbasis tepung dari Hong Kong serta sampel tersebut dimurnikan dengan kolom Solid Phase Extraction (SPE) yang dikombinasikan dengan Oasis HLB dan Bond Elut-Accucat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metoda HPLC dengan SPE merupakan metoda yang murah, sederhana dan dapat diterapkan pada industri makanan dalam memonitor keberadaan senyawa akrilamida selama proses produksi, sehingga metode ini cocok digunakan untuk menganalisis senyawa akrilamida pada produk makanan yang digoreng.

Menurut Xu et al. (2012) HPLC yang menggunakan SPE dan reversed phase merupakan metode yang mampu mengekstrak dan menganalisis senyawa akrilamida pada sampel makanan yang digoreng dengan tingkat akurasi yang baik serta penggunaan SPE cocok untuk mengukur akrilamida yang jumlahnya sedikit pada sampel makanan tersebut. Selain itu metoda HPLC menggunakan SPE dengan reversed phase kolom C18, menghasilkan daya adsorpsi yang baik dan cepat terhadap senyawa akrilamida. Penelitian Wang et al. (2008) menunjukkan bahwa SPE merupakan pendekatan yang baik untuk clean-up sampel karena dapat mengurangi senyawa pengganggu dalam pemisahan senyawa akrilamida dalam sampel.

Berbagai jenis detektor dapat digunakan pada metode HPLC seperti detektor ultra violet (UV), fluoresen (FLD) dan diode array (DAD atau lebih spesifik HPLC detektor PDA). Detektor PDA bekerja pada panjang gelombang yang sangat lebar pada area UV-Vis. Hampir semua senyawa dapat dideteksi dengan detektor ini karena range panjang gelombang yang lebar. Keunggulangan lainnya, PDA dapat sebagai pengkonfirmasi dari hasil yang dilakukan di instrumen lain misalnya GC-MS.


(28)

14

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di tempat produksi UKM stik sukun di Kabupaten Cilacap dan Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada. Penelitian ini dimulai sejak bulan Mei hingga Oktober 2014.

Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan utama yang digunakan adalah buah sukun jenis sukun gundul dengan umur panen sekitar tiga bulan, diperoleh dari Kabupaten Cilacap. Bahan lain adalah CaCl2 teknis (kadarCaCl2 71.50%) diperoleh dari toko kimia di Bogor

dan minyak goreng kelapa sawit. Bahan untuk analisis akrilamida adalah standar akrilamida (Sigma, USA), kalium heksasianoferat, seng sulfat, metanol HPLC

grade, akuabides (Kalbe, Indonesia). Bahan lain yang digunakan untuk analisis kimia adalah hexana, HCl 25%, H2SO4 pekat, NaOH, asam borat, buffer asetat,

aquades, KI, Na2SO3, larutan Luff-Schoorl (Merk, Jerman) dan batu didih.

Alat yang digunakan untuk analisis akrilamida antara lain HPLC (Knauer, Jerman) dilengkapi dengan detektor PDA-Spectra System UV 60000 LP dan kolom Eurospher 100-5 C18- reversed phase, 25 cm x 4.6 mm dengan ukuran partikel 5 µm, neraca analitik (Mettler Toledo, Switzerland), blender, mortar, vorteks, sentrifuge, freeze drying, mikropipet, penyaring vakum, syringe filter

0.45 µm, kolom Solid Phase Extraction (SPE) Oasis HLB (Waters, USA) 60 mg, 2 mL dan Bond Elut Accucat (Agilent Technology, USA) 200 mg, 3 mL. Alat yang digunakan untuk analisis warna yaitu chromameter CR-310 (Konica Minolta, Jepang). Selain itu juga digunakan berbagai jenis alat-alat seperti oven, desikator, cawan porselin, tanur listrik, penjepit cawan, alat ekstraksi soxhlet, labu lemak, labu kjehdal, alat destilasi, buret, labu takar, erlenmeyer. Peralatan yang digunakan pada pengolahan keripik sukun adalah baskom, pisau, deep fat fryer

(Princess, China) kapasitas 2.5 L yang dilengkapi dengan pengaturan suhu 140–190 °C.Analisis sensori menggunakan perlengkapan seperti form kuesioner dan wadah sampel.

Prosedur Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri dari empat tahap. Tahap pertama meliputi analisis kimia bahan baku buah sukun, terdiri dari proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat); kadar pati; kadar gula pereduksi dan asam amino asparagin. Pada tahap kedua dilakukan validasi metode analisis kadar akrilamida, terdiri dari penentuan linieritas, batas deteksi (limit of detection = LOD), batas kuantifikasi (limit of quantification = LOQ) dan akurasi. Pada tahap ketiga dilakukan pembuatan stik sukun kontrol dan stik sukun perlakuan kombinasi blansir (variasi suhu 70 dan 80 ºC selama 5 dan 10 menit) dan perendaman dalam larutan kalsium klorida (variasi konsentrasi 0.4 dan 0.8% selama 15 dan 30 menit). Selanjutnya dilakukan analisis akrilamida pada stik


(29)

sukun kontrol dan stik sukun perlakuan dengan dua kali ulangan menggunakan HPLC detektor PDA. Pada tahap keempat dilakukan analisis sensori dengan uji hedonik terhadap dua produk stik meliputi stik sukun kontrol dan stik sukun terpilih yaitu hasil kombinasi perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan CaCl2 yang menghasilkan pengurangan kadar akrilamida tertinggi. Parameter

yang diuji berupa warna, tekstur, aroma, rasa dan penerimaan secara keseluruhan kepada 69 panelis tidak terlatih. Pada parameter warna juga dilakukan analisis fisik produk dengan chromameter. Stik sukun kontrol dianggap sebagai perwakilan produk stik sukun komersial yang dijual di pasaran karena proses pembuatan stik sukun kontrol mengikuti tahapan proses yang dilakukan oleh produsen stik sukun komersil. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir penelitian Tahap 1. Analisis Kimia Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk analisis kimia pada tahapan ini yaitu buah sukun yang sudah tua yang diperoleh dari Kabupaten Cilacap, tidak ada tanda bekas jatuh dan ukuran yang relatif seragam. Analisis kimia terhadap buah sukun meliputi proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat); kadar pati; kadar gula pereduksi; dan asparagin.

Tahap 2. Validasi Metode Analisis Akrilamida

Untuk meyakinkan metode analisis akrilamida yang digunakan adalah benar (valid), maka perlu dilakukan serangkaian uji yang disebut dengan validasi metode analisis. Validasi metode analisis yang dilakukan antara lain:

Analisis akrilamida Tahap 3a. Pembuatan stik

sukun kontrol

Tahap 2. Validasi metode analisis akrilamida: uji linieritas, limit of detection (LOD), limit of quantification (LOQ), akurasi.

Tahap 1. Analisis kimia bahan baku

Analisis akrilamida

Tahap 3b. Pembuatan stik sukun dengan perlakuan blansir (variasi suhu, waktu) dan perendaman dalam kalsium klorida (variasi konsentrasi, waktu)

Pembuatan stik sukun dengan kombinasi perlakuan blansir dan kalsium klorida terpilih


(30)

16

a. Uji Linearitas

Uji linearitas diperoleh dengan membuat kurva standar hubungan antara luas puncak kromatogram dari standar akrilamida dengan konsentrasi akrilamida (µg/L). Kurva standar diukur dengan menginjeksi standar akrilamida sebanyak 8 kali pada konsentrasi 50, 100, 200, 300, 400, 500, 1000 dan 2000 µg/L, kemudian hasilnya diplotkan dalam bentuk kurva linear. Linearitas diukur dengan menggunakan nilai R2 dari kurva tersebut. Linearitas yang baik diharapkan lebih besar dari 0.990 (AOAC 2012a).

Larutan standar akrilamida disiapkan dengan melarutkan 100 mg akrilamida dalam 100 mL akuabides. Larutan induk tersebut diencerkan dengan akuabides untuk mendapat deret standar (50, 100, 200, 300, 400, 500, 1000 dan 2000 µ g/L). Untuk membuat larutan standar dengan konsentrasi yang lebih kecil dilakukan dengan pengenceran dari larutan induk ini.

b. Uji Batas Deteksi (Limit of detection, LOD) dan Batas Kuantifikasi (limit of quantification, LOQ)

Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat terdeteksi meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi, sedangkan batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (AOAC 2012b).

Penentuan batas deteksi dan batas kuatifikasi pengujian akrilamida dari sampel stik sukun dilakukan dengan menggunakan larutan standar akrilamida 50 µg/L yang diinjekkan langsung ke instrumen HPLC. Pengukuran dilakukan sebanyak 10 ulangan. Selanjutnya dihitung konsentrasi dan nilai standar deviasi dari sepuluh ulangan tersebut (AOAC 2012b).

Batas deteksi = 3 standar deviasi Batas kuantifikasi = 10 standar deviasi c. Akurasi

Akurasi merupakan ukuran kedekatan hasil uji terhadap nilai sebenarnya dan dinyatakan dalam nilai perolehan kembali (recovery). Pada penelitian ini akurasi ditentukan dengan banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada sampel. Uji recovery dihitung denganrumus (AOAC 2012b):

Recovery (%) = x 100%

3 2 1

c c

c

dimana:

C1 = konsentrasi sampel yang ditambahkan standar akrilamida

C2 = konsentrasi sampel yang tidak ditambahkan standar akrilamida

C3 = konsentrasi dari standar akrilamida yang ditambahkan ke dalam sampel

Uji recovery dilakukan dengan cara menimbang sejumlah 1 gram sampel stik sukun yang sudah dihancurkan dan dihomogenkan kemudian ditambahkan standar akrilamida sebanyak 0.4 µg/g sampel dan dilakukan tiga kali ulangan. Sampel stik sukun tersebut kemudian mengalami proses ekstraksi dan clean-up

sama seperti sampel stik sukun tanpa penambahan standar akrilamida. Kemudian dilakukan analisis kandungan akrilamida dengan menggunakan HPLC. Persentase nilai recovery yang diperoleh dibandingkan dengan nilai perolehan kembali yang dipersyaratkan oleh AOAC yaitu 80–110% (AOAC 2012b).


(31)

Tahap 3. Perlakuan Blansir dan Perendaman dalam Larutan Kalsium Klorida

a. Pembuatan Stik Sukun kontrol

Buah sukun dikupas kulitnya, kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan getah/lendir yang menempel dan ditiriskan. Buah sukun diiris membentuk persegi panjang dimensi 5 x 1 x 1 cm. Hasil irisan ditimbang sebanyak 100 g selanjutnya digoreng pada suhu 160 oC selama 27 menit dengan metode penggorengan rendam (deep fat frying). Minyak goreng yang digunakan sebanyak 1 L untuk sampel sebanyak 100 g bahan (Grob et al.

2003). Minyak goreng digunakan untuk satu kali penggorengan. Sampel diangkat dan ditiriskan. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan akrilamida pada stik sukun kontrol. Pembuatan stik sukun kontrol dapat dilihat pada Gambar 5.

Buah sukun

Dikupas

Dicuci, ditiriskan

Diiris dimensi 5 x 1 x 1 cm

Digoreng suhu 160 °C selama 27 menit

Ditiriskan

Stik sukun

Analisis akrilamida

Gambar 5 Diagram alir pembuatan stik sukun kontrol

b. Perlakuan Kombinasi Blansir dengan Air dan Perendaman dalam Larutan Kalsium Klorida (Modifikasi; Gokmen dan Senyuva 2007; Mestdagh et al. 2008a; Acar et al. 2012; Ismial et al. 2013;)

Pada tahapan perlakuan ini, tahap pra perlakuan sama dengan yang dilakukan pada pembuatan stik sukun kontrol, hanya saja ditambahkan tahapan blansir setelah pencucian. Perlakuan blansir ditetapkan pada dua titik suhu yang berbeda yaitu 70 dan 80 ºC (100 g irisan buah sukun dalam 1 L air) yang divariasikan dengan perbedaan waktu blansir 5 dan 10 menit. Selanjutnya dilakukan perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 (100 g irisan buah sukun


(32)

18

direndam dalam 1 L larutan CaCl2 konsentrasi 0.4% (5.55 g CaCl2 teknis dalam

1 L air) dan 0.8% (11.10 g CaCl2 teknis dalam 1 L air) yang divariasikan dengan

lama perendaman selama 15 dan 30 menit. Pembuatan stik sukun kombinasi perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan kalsium klorida dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir pembuatan stik sukun perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan CaCl2

Irisan buah sukun yang diblansir pada suhu 70 dan 80 °C masing-masing selama 5 dan 10 menit, kemudian direndam dalam larutan CaCl2 konsentrasi 0.4

dan 0.8% masing masing selama 15 dan 30 menit menghasilkan 16 kombinasi perlakuan. Kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6

Tabel 6 Kombinasi perlakuan blansir pada suhu 70 dan 80 °C dengan perendaman dalam larutan CaCl2 0.4 dan 0.8%

Kombinasi perlakuan

A1 A2

B1 B2 B1 B2

C1 D1 A1 B1 C1 D1 A1 B2 C1 D1 A2 B1 C1 D1 A2 B2 C1 D1

D2 A1 B1 C1 D2 A1 B2 C1 D2 A2 B1 C1 D2 A2 B2 C1 D2

C2 D1 A1 B1 C2 D1 A1 B2 C2 D1 A2 B1 C2 D1 A2 B2 C2 D1

D2 A1 B1 C2 D2 A1 B2 C2 D2 A2 B1 C2 D2 A2 B2 C2 D2

Keterangan: A1 = suhu 70 °C; A2 = suhu 80 °C; B1 = lama blansir 5 menit;

B2 = lama blansir 10 menit; C1 = CaCl2 0.4%; C2 = CaCl2 0.8%;

D1 = lama perendaman 15 menit; D2 = lama perendaman 30 menit.

Buah sukun

Dikupas, dicuci dan ditiriskan Diiris dimensi 5x1x1cm

Blansir

(100 g irisan buah sukun dalam 1 L air)

Ditiriskan

70 oC

80 oC

0.4%

0.8%

15 menit 30 menit

15 menit 30 menit Ditiriskan

Analisis akrilamida Stik sukun

5 menit 10 menit 5 menit 10 menit

Digoreng 160 oC selama 27 menit Perendaman dalam larutan CaCl2 (100 g irisan buah sukun dalam 1 L larutan ) 0.4% = 5.55 g CaCl2teknis dalam 1 L air 0.8% = 11.10 g CaCl2 teknis dalam 1 L air


(33)

Tahap 4. Analisis Sensori Stik Sukun (Setyaningsih et al. 2010)

Pada tahap ini dilakukan analisis sensori dengan uji hedonik untuk menilai kesukaan panelis terhadap dua produk stik meliputi stik sukun kontrol dan stik sukun terpilih yaitu stik sukun hasil perlakuan blansir dan perendaman dalam larutan CaCl2 yang menghasilkan pengurangan kadar akrilamida tertinggi.

Parameter sensori yang diujikan adalah warna, tekstur, aroma, rasa dan keseluruhan. Nilai kesukaan panelis dimulai dari skor 1 (sangat tidak suka) sampai skor 7 (sangat suka). Panelis yang digunakan dalam penilaian uji hedonik adalah panelis tidak terlatih sebanyak 69 orang.

Selain analisis sensori pada parameter warna juga dilakukan analisis obyektif chromameter. Skala yang digunakan dalam mengukur warna stik sukun terpilih adalah skala L*, a* dan b*. Chromameter yang digunakan adalah

chromameter Konica CR-310 Minolta. Sebelum mengukur sampel, chromameter

dikalibrasi terlebih dahulu dengan nilai Y, x, dan y pada penutup plat kalibrasi. Setelah dikalibrasi, sampel diukur warnanya di tiga titik permukaan. Data L* a*

b* diolah dan dihitung nilai ΔE, Hue, dan Saturation Index (SI) sampel dengan

rumus sebagai berikut (Hutchings 1999):

Keterangan:

ΔE = perubahan total warna

L*₀, a*₀, b*₀ = nilai L*, a*, dan b* kontrol

L*,a*, b* = nilai L*, a*, dan b* sampel SI = Saturation index atau nilai chroma (C)

Prosedur Analisis 1. Analisis Proksimat Bahan Baku

a. Kadar Air (BSN 1992)

Botol timbang dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ºC selama 15 menit, kemudian diletakkan di dalam desikator, didinginkan dan ditimbang. Sampel sebanyak 1–2 g ditimbang dengan seksama pada botol timbang tersebut. Botol timbang berisi sampel dikeringkan pada oven suhu 105 ºC selama 3 jam. Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator, didinginkan dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus: Kadar air (%) = x 100%

W -W

W -W

1 2

3 2

Keterangan:

W1 = Berat botol timbang kosong (gram)

W2 = Berat botol timbang yang diisi sampel (gram)


(34)

20

b. Kadar Abu (BSN 1992)

Cawan porselen kosong dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ºC selama 15 menit. Cawan tersebut kemudian didinginkan dalam desikator. Timbang cawan porselin kering tersebut dan bobotnya dicatat. Sampel sebesar 2-3 g ditimbang dengan seksama dan dimasukkan ke dalam cawan porselen tersebut. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu pengabuan 550 ºC selama 6 jam (sampai pengabuan sempurna). Cawan dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang hingga tercapai bobot tetap. Perhitungan kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%) = x 100% W W W 1 2 3 Keterangan:

W1 = Berat sampel sebelum diabukan (gram)

W2 =Berat cawan porselen kosong (gram)

W3 = Berat cawan porselen dengan sampel setelah diabukan (gram)

c. Kadar Protein (BSN 1992)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi.

(a)Tahap Destruksi

Sampel ditimbang sebesar 0.51 g kemudian dimasukkan ke dalam labu destruksi. Sebanyak 2 g campuran selen (2.5 g serbuk SeO2, 100 g K2SO4

dan 30 g CuSO4.H2O) dan 25 mL H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam

tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dipanaskan diatas alat pemanas listrik sampai mendidih. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna jernih kehijau-hijauan, kemudian didinginkan.

(b)Tahap Destilasi

Sampel yang telah didestruksi, diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, lalu ditepatkan sampai tanda garis. Dipipet 5 mL larutan dan dimasukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Sulingkan selama kurang lebih 10 menit, sebagai penampung, digunakan 10 mL larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator BCG:MM (5:1). Destilasi dilakukan sampai diperoleh berwarna hijau kebiruan.

(c)Tahap Titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCL 0.01 N sampai warna larutan di erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Lakukan penetaban blanko.

Perhitungan kadar nitrogen ditentukan dengan rumus:

Kadar N (%) = x100%

sampel mg FP x 14 x HCl N x ) blanko HCl mL -sampel HCl (mL Keterangan:

FP = Faktor pengeceran Kadar protein = % N x 6.25


(35)

d. Kadar Lemak (BSN 1992)

Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 200 mL. Ditambahkan 30 mL larutan HCl 25%, 20 mL aquades panas, beberapa batu didih dan aduk hingga homogen. Ditutup Erlenmeyer dengan corong dan dididihkan di atas pemanas listrik selama 15 menit dari mendidih. Hasil hidrolisis tersebut disaring dan dicuci dengan aquades panas sampai bebas Cl atau asam. Kertas saring yang berisi residu dikeringkan dalam oven suhu 105 ºC sampai kering, kemudian dimasukkan kedalam timbel yang telah dialasi dengan kapas. Sumbat timbel yang berisi sampel dengan kapas pada bagian atasnya, kemudian dimasukkan ke dalam soxtec yang telah dihubungkan dengan pinggan lemak dan telah diketahui bobot kosongnya. Ekstrak dengan 50 mL pelarut heksan (2/3 dari tinggi pinggan) selama 1 jam. Sulingkan pelarut lemak dan hasil ekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 jam, didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang sampai bobot tetap.

Perhitungan kadar lemak ditentukan dengan rumus: Kadar lemak (%) =

1 2 3

W W -W

x 100% Keterangan:

W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat pinggan lemak tanpa lemak (gram)

W3 = Berat pinggan lemak + lemak setelah ekstraksi (gram)

e. Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus:

Karbohidrat (%) =100% – % (kadar air+kadar abu+kadar lemak+kadar protein)

2. Analisis Kadar Pati (BSN 1992)

Ditimbang dengan seksama sampel sebanyak 5 g, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 mL, kemudian ditambahkan 200 mL HCl 3%, didihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Dinginkan dan dinetralkan dengan NaOH 30% (menggunakan kertas lakmus), ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar

suasana larutan sedikit asam. Dipindahkan isinya ke dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan aquades sampai tanda batas kemudian disaring. Dipipet 10 mL hasil saringan, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 mL, ditambahkan 25 mL larutan luff schoorl dan beberapa butir batu didih serta 15 ml air suling. Dipanaskan campuran tersebut dengan pendingin tegak, usahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit, didihkan terus selama 10 menit, kemudian diidnginkan dengan cepat dalam bak berisi es. Tambahkan 15 mL larutan KI 20% dan 25 mL larutan H2SO4 25%. Dititrasi secepatnya dengan

larutan Na2S2O3 0.1 N menggunakan indikator kanji 0.5%. Dilakukan


(36)

22

Volume Na2S2O3 0.1 N (ml) =

0.1 dipakai yang O S Na N x ) V

-(Vb c 2 2 3

Kadar glukosa (%) = G x faktor pengenceran x 100% berat sampel (mg)

Keterangan:

Vb = Volume blanko (ml)

Vc = Volume Na2S2O3 (ml)

G = Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert (mg), dilihat dari Tabel 7 Kadar pati (%) = 0.90 x kadar glukosa

3. Analisis Gula Pereduksi (BSN 1992)

Sebanyak 2 g sampel yang telah halus ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL, kemudian ditambahkan 50 mL aquades dan diaduk hingga homogen. Sebanyak 5 mL larutan Pb-asetat setengah basa ditambahkan, kemudian diaduk hingga homogen. Penambahan bahan penjernih diberikan tetes demi tetes sampai penetesan dari regensia tidak menimbulkan pengeruhan lagi. Aquades ditambahkan sampai tanda batas, dikocok sampai homogen dan disaring. Hasil saringan dipipet sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Ditambahkan 15 mL aquades dan 25 mL larutan luff schoorl serta beberapa butir batu didih. Setelah ditambah batu didih, Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak, kemudian didihkan diatas pemanas listrik dan diusahakan 3 menit sudah mendidih. Pendidihan larutan dipertahankan selama 10 menit. Selanjutnya segera didinginkan dalam bak berisi air es. Setelah dingin, campuran dalam Erlenmeyer ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL KI 20%. Lalu dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1N

menggunakan larutan kanji 1% sebagai indikator sebanyak 2–3 mL. Titrasi diakhiri setelah terbentuknya warna putih susu. Penetapan blanko dilakukan dengan 25 mL aquades dan 25 mL larutan luff schoorl. Kadar gula pereduksi dalam sampel dapat dicari dengan mengetahui selisih volume titran pada titrasi blanko dan titrasi larutan sampel dalam mL, kemudian dengan menggunakan tabel luff schoorl, hitung kesetaraan selisih volume titran (natrium tiosulfaf 0.1 N) dalam mL dengan kadar gula invert dalam mg.

Volume Na2S2O3 0.1 N (mL) =

0.1 dipakai yang O S Na N x ) V

-(Vb c 2 2 3

Kadar gula pereduksi (%) = G x faktor pengenceran x 100% berat sampel (mg)

Keterangan:

Vb = Volume blanko (mL)

Vc = Volume Na2S2O3 (mL)


(37)

Tabel 7 Penentuan jumlah gula pereduksi dengan metode luff schoorl

Selisih volume (mL) Na2S2O3

0.1 N

Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert

mg C6H12O6

Selisih volume (mL) Na2S2O3

0.1 N

Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert

mg C6H12O6

1.0 2.4 13.0 33.0

2.0 4.8 14.0 35.7

3.0 7.2 15.0 38.5

4.0 9.7 16.0 41.3

5.0 12.2 17.0 44.2

6.0 14.7 18.0 47.1

7.0 17.2 19.0 50.0

8.0 19.8 20.0 53.0

9.0 22.4 21.0 56.0

10.0 25.0 22.0 59.1

11.0 27.6 23.0 62.2

12.0 30.3 24.0 -

4. Analisis Asam Amino Asparagin (Fisher et al. 2001) a. Preparasi Sampel

Sampel sebanyak 5 g ditimbang seksama dan dimasukkan kedalam tabung reaksi kaca bertutup, kemudian ditambahkan 10 mL HCL 6 N dan divortex hingga homogen. Selanjutnya sampel dihidrolisis dengan autoklaf pada suhu 110 ºC selama 8 jam. Sampel tersebut didinginkan pada suhu ruang, kemudian dinetralkan dengan NaOH 6 N hingga pH menjadi 6.5–7.5. Larutan timbal asetat 40% ditambahkan sebanyak 2.5 mL dengan perlahan sambil digoyang hingga tidak terbentuk endapan lagi. Kelebihan timbal asetat dihilangkan dengan penambahan asam oksalat 15% sebanyak 1.0 mL. Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL untuk ditepatkan sampai tanda tera menggunakan aquabides. Sejumlah 3 mL larutan yang jernih diambil dan disaring dengan millex 0.45 µm. Pengenceran dilakukan sebanyak 5 kali. Sampel 25 µL direaksikan dalam pereaksi OPA 475 µL, kemudian tepat setelah 3 menit diinjeksikan sebanyak 50 µL ke HPLC. b. Pembuatan Standar

Asam amino standar (18 jenis asam amino) masing-masing ditimbang sebanyak 10 mg dan dilarutkan dengan HCL 0.1 N dalam labu ukur 10 mL (larutan standar 1:1000 ppm). Sebanyak 100 µL diambil dari masing-masing larutan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kolonikal 15 mL. Sebanyak 50 µL diambil dan ditambahkan 950 µL pereaksi OPA. Selanjutnya tepat setelah 3 menit diinjeksikan sebanyak 50 µL ke HPLC dengan kondisi sebagai berikut:

Kolom : Eurospher 100-5 C18, 250 x 4.6 mm Eluen : A = buffer asetat 0.01 M pH 5.9

B = metanol : buffer asetat 0.01 M pH 5.9: THF (80:15:5) Laju alir : 1.5 mL/menit

Detektor : fluorescence


(1)

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Buah sukun yang diolah menjadi stik sukun terbukti mengandung akrilamida karena merupakan sumber pati dan diolah dengan suhu penggorengan yang tinggi. Perlakuan suhu blansir, lama blansir, konsentrasi larutan CaCl2 dan lama perendaman dalam larutan CaCl2 berpengaruh nyata terhadap pengurangan kadar akrilamida pada stik sukun. Semakin tinggi suhu blansir, semakin lama waktu blansir, semakin tinggi konsentrasi larutan CaCl2 dan semakin lama waktu perendaman dalam larutan CaCl2 menunjukkan pengurangan kadar akrilamida yang lebih tinggi pada stik sukun. Stik sukun hasil perlakuan blansir pada suhu 80 °C selama 10 menit dengan perendaman dalam larutan CaCl2 0.8% selama 30 menit merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan kadar akrilamida terendah yaitu 79.71 µg/kg atau persentase pengurangan kadar akrilamida tertinggi yaitu 87.99%.

Hasil analisis sensori menunjukkan bahwa nilai penerimaan panelis terhadap parameter warna dan aroma stik sukun terpilih tidak berbeda nyata dengan stik sukun kontrol, namun pada parameter tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan stik sukun terpilih memiliki nilai yang lebih rendah dari stik sukun kontrol.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada stik sukun terpilih dengan nilai sensori yang disukai oleh panelis, seperti perbaikan pada tekstur dengan mengecilkan ukuran dimensi stik sukun serta perbaikan pada rasa dengan penambahan perisa rasa seperti keju, pedas manis, dan lain-lain.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Açar OC, Pollio M, Di Monaco R, Fogliano V, Gökmen V. 2012. Effect of calcium on acrylamide level and sensory properties of cookies. Food

Bioprocess Technol. 5:519–526. doi:10.1007/s11947-009-0317-5.

Akanbi TO, Nazamid S, Adebowale AA. 2009. Functional and pasting properties of tropical breadfruit (Artocarpus altilis) starch from Ile-ife, Osun state, Nigeria. Int Food Res J. 16:151–157.

Alemán P, Meléndez RM, Guzmán VM, Castro JJ, De la Torre L, Terrazas BR, Barnard J, Ramos AQ. 2005. Improving textural quality in frozen jalapeño pepper by low temperature blanching in calcium chloride solution. Int. J.

Food Sci. Technol. 40(2005):401–410.

Altaeva AA, Sycheva LP, Belyaeva NN. 2011. Mutagenic activity of acrylamide in the rat thyroid cell under conditions of a subacute experiment. Bulletin of

experimental Biology and Medicine. 152(2):275–277.

Anese M, Quarta B, Frias JM. 2011. Modelling the effect of asparaginase in reducing acrylamide formation in biscuits. Food Chem. 126.2(15):435–440. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2012a. AOAC guidelines

for single laboratory validation of chemical methods for dietary supplements and botanicals. Arlington (US): Association of Official Analytical of Chemists Inc.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists 2012b. Guidelines for standard method performance requirements. Arlington (US): The Association of Official Analytical of Chemists Inc.

Bakhtiary D. 2014. Impact of soaking in salt solutions after blanching on acrylamide formation and sensorial quality of potato chips. ICP Engineering

and Technology.1(1):5p.

Bent GA, Maragh P, Dasgupta T. 2012. Acrylamide in caribbean foods–residual levels and their relation to reducing sugar and asparagine content. Food

Chem. 133:451–457. doi:10.1016/j.foodchem.2012.01.067.

Blom H, Baardseth P, Sundt TW, Slinde E. 2009. Lactic acid fermentation reduces acrylamide formed during production of fried potato products.

Aspects Applied Biol. 97:67–73.

Borda D, Alexe P. 2010. Acrylamide levels in food. Romanian J Foods Sci.

1(1):3–15.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Meminimalkan terbentuknya cemaran kimia pada pangan siap saji dan pangan industri rumah tangga sebagai pangan jajanan anak sekolah. Jakarta: Direktorat Standarisasi Produk Pangan Deputi III, Badan POM RI.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara uji makanan dan minuman SNI

01-2891-1992. Jakarta: BSN.

[BPPP] Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. 2003. Laporan tahunan: penelitian dan pengembangan teknologi pasca panen pertanian. Jakarta: BPPP.

Castle L. 2006. Analysis for acrylamide in foods: Acrylamide and other hazardous compounds in heat treated foods. Skog K and Alexander J (Eds). Cambridge (UK): Woodhead Publishing. Chapt. 6:117–131.


(3)

Ciesarova Z, Kiss E, Kolek E. 2006. Study of factors affecting acrylamide levels in model systems. Czech J Food Sci. 24(3):133–137.

De Corcuera JIR, Cavalieri RP, Powers JR. 2004. Blanching of foods.

Encyclopedia of Agricultural, Food and Biological Engineering. New York:

Marcel Dekker Inc.

Deivanai S dan Subhash JB. 2010. Breadfruits (Artocarpus altilis Fosb.)-an underutilized and neglected fruit plant species. Middle-East J Sci Res.

6(5):418–428.

Erikson S. 2005. Acrylamide in food products: identification, formation, and analytical methodology [tesis]. Sweden: Department of Environmental Chemistry, Stockholm University.

Fisher GH, Arias I, Quesada I, D’Aniello S, Errico F, Di Fiore MM, D’Aniello A.

2001. A fast and sensitive method for measuring picomole levels of total free amino acids in very small amounts of biological tissues. Amino Acids 20:163– 173.

Gokmen V, Senyuva H Z. 2007. Acrylamide formation is prevented by divalent cations during the maillard reaction. Food Chem. 103:96–203. doi:10.1016/ j.foodchem. 2006.08.011.

Gokmen V, Palazoglu TK. 2008. Acrylamide formation in foods during thermal processing with a focus on frying. Food Bioprocess Technol. 1:35–42. doi:10.1007/s11947-007-0005-2.

Granda C, Moreira RG, Tichy SE. 2004. Reduction of acrylamide formation in potato chips by low-temperature vacuum frying.J Food Sci.69(8):405–411. doi:10.1007/s00217-003-0753-9.

Granda C, Moreira RG, Perez EC. 2005. Effect of raw potato composition on acrylamide formation in potato chips. J Food Sci. 70(9):519–525.

Granvogl M, Schieberle P. 2006. Thermally generated 3-aminopropionamid as a transient intermediate in the formation of acrylamide. J Agric Food Chem.

54(16):5933–5938. doi:10.1021/jf061150h

Grob K, Biedermann M, Biedermann-Brem S, Noti A, Imhof D, Amrein T, Pfefferle A, Bazzocco D. 2003. French fries with less than 100 mg/kg acrylamide: a collaboration between cooks and analysts. Eur Food Res

Technol. 217:185–194.

Guo X, Yan H, Zhu L, Zeng L, Xiong F, Yan H. 2011. Effects of acrylamide on rat neurobehavior, the contents of dopamine and its metabolites in nigrostriatal dopaminergic pathways. J Hyg Res. 40:441–444.

Hogervorst JG, Schouten LJ, Konings EJ, Goldbohm RA, Van den Brandt PA. 2007. A prospective study on dietary acrylamide intake and the risk of endometrial, ovarian and cancer breast. Cancer Epidemiology Biomarkers

and Prevention 16(11):2304–2313.

Hogervorst JG, Schouten LJ, Konings EJ, Goldbohm RA, Van den Brandt PA. 2008. Dietary acrylamide, intake and the risk of renal cell, bladder, and prostate cancer. Am J Clin Nutr. 87:1428–1438.

Hutchings JB. 1999. Food color and appearance 2nd edition. USA: Aspen Pulisher Inc.

[IARC] International Agency for Research on Cancer. 1994. Acrylamide. IARC Monographs on the evaluation of the carcinogenic risk of chemicals to humans. 60:389–433.


(4)

[IFST] Institute of Food Science dan Technology. 2012. Acrylamide in foods [diunduh 2013 Juli 7]. Tersedia pada: http://www.gencat.cat /salut/acsa/html/ca/ dir2925/acrylamide_ifst2012.

Ismial SA-MA, Ali RFM, Askar M, Samy WM. 2013. Impact of pre-treatments on the acrylamide formation and organoleptic evolution of fried potato chips.

Am J Biochem Biotech. 9(2):90–101. doi:10.3844/ajbbsp.

Jiang L, Cao J, An Y, Geng C, Qu S, Jiang L, Zhong L. 2007. Genotoxicity of acrylamide in human hepatoma G2 (HepG2) cells. Toxicol. In Vitro.

21:1486–1492.

Jin C, Wu X, Zhang Y. 2013. Relationship betweeen antioxidant and acrylamide formation: a review. Food Res Int. 51:61–620.

Kim CT, Hwang ES, Lee HJ. 2005. Reducing acrylamide in fried snack products by adding amino acids. J Food Sci. 70(5):354–358.

Levine RA, Ryan SM. 2009. Determining the effect of calcium cations on acrylamide formation in cooked wheat products using a model system. J

Agric Food Chem. 57(15):6823–6829. doi:10.1021/jf901120m.

Lukac H, Amrein TM, Perren R, Petit BC, Amado R, Escher F. 2007. Influence of roasting conditions on the acrylamide content and the color of roasted almonds. Food Chem. Toxicol. 72(1):33–38.

Meilleur BA, Jone RR, Titchenal CA, Huang AS. 2004. Hawaiian breadfruits ethrobotany, nutrition and human ecology. Hawaii: College of Tropical Agriculture and human resourches, University of Hawaii at Manoa Honolulu. Mestdagh F, De Wilde T, Fraselle S, Govaert Y, Ooghe W, Degroodt JM, Verhe

R, Van Peteghem C, De Meulenaer B. 2008a. Optimization of the blanching process to reduce acrylamide in fried potatoes. Food Sci Technol. 41:1648– 1654. doi:10.1016 /j.lwt.2007.10.007.

Mestdagh F, De Wilde T, Delporte K, Van Peteghem C, De Meulenaer B. 2008b. Impact of chemical pre-treatments on the acrylamide formation and sensorial quality of potato crisps. Food Chem. 106(2008):914–922.

Moldoveanu SC, Gerardi AR. 2011. Acrylamide analysis in tobacco, alternative tobacco products, and cigarette smoke. J Chromatogr Sci. 49:234–242.

Mulla MZ, Bharadwaj VR, Annapure US, Variyar PS, Sharma A, Singhal RS. 2011. Acrylamide content in fried chips prepared from irradiated and non-irradiated stored potatoes. J Food Chem. 127(2011):1668–1672.

Olmez H, Tuncay F, Ozcan N, Demirel S. 2008. A survey of acrylamide levels in foods from the Turkish market. J Food Comp Anal. 21(7):564–568.

Otles S, Otles S. 2004. Acrylamide in food (chemical structure of acrylamide).

Electron J Environ Agric Food Chem. 3(5):8p.

Ou S, Lin Q, Zhang Y, Huang C, Sun X, Fu L. 2008. Reduction of acrylamide formation by selected agents in fried potato crisps on industrial scale. Innov

Food Sci Emerg Technol. 9:116–121. doi:10.1016/j.ifset.2007.06.008.

Pedreschi F, Kaack K, Granby K. 2004. Reduction of acrylamide formation in potato slices during frying. Food Sci Technol. 37:679–685. doi:10.1016/j.lwt.2004.03.001.

Pedreschi F, Moyano P, Kaack K, Granby K. 2005. Color changes and acrylamide formation in fried potato slices. Food Res Int. 38:1–9. doi:10.1016/j.foodres. 2004.07.002.


(5)

Pedreschi F, Kaack K, Granby K. 2006. Acrylamide content and color development in fried potato chips. Food Res Int. 39:40–46. doi:10.1016/ j.foodres.2005.06.001.

Pedreschi F, Bustos O, Mery D, Moyano P, Kaack K, Granby K. 2007a. Color kinetics and acrylamide formation in NaCl soaked potato chips. J Food Eng. 79(3):989–997. doi:10.1016/j.jfoodeng.2006.03.020.

Pedreschi F, Kaack K, Granby K, Troncoso E. 2007b. Acrylamide reduction under different pre-treatments in french fries. J Food Eng. 79:1287–1294. doi:10.1016/ j.jfoodeng.2006.04.014.

Pedreschi F, Kaack K, Granby K. 2008a. The effect of asparaginase on acrylamide formation in French fries. Food chem. 109(2):386–392. doi: 10.1016/ j.foodchem 2007.12.057.

Pedreschi F, Kaack K, Granby K. 2008b. Acrylamide generation in preteated potato chips. Agro Food Industry Hi-Tech. 19:4–6.

Postharvest Handling Technical Bulletin. 2004. Breadfruits: post-harvest care

and market preparation. Georgetown (US): Ministry of Fisheres Crops and

Livestock.

Ragone D. 2006. Species profiles for pacific island agroforestry: Artocarpus

altilis (breadfruit) [diunduh 2013 Des 25]. Tersedia pada: http// www.

traditionaltree.org.

Stakauskaite V. 2008. Technological ways to reduce the amount of acrylamide during potato chips processing [Dissertation]. Turkey: Kaunas University of Technology.

Setyaningsih D, Apriyantoro A, Sari MP. 2010. Analisis sensori untuk industri pangan dan agro. Bogor: IPB Press.

Tareke E, Rydberg P, Karlsson P, Eriksson S, Tornqvist. 2002. Analysis of acrylamide, a carcinogen formed in heated foodstuffs. J Agric Food Chem.

50:4996–5006.

Varela P, Salvador A, Fiszman SM. 2007. The use of calcium chloride in minimally processed apples: a sensory approach. Eur Food Res Technol

224:461–467. doi:10.1007/s00217-006-0344-7.

Vesela H, Sucman E. 2013. Determination of acrylamide in food using adsorption stripping voltammetry. Czech J Food Sci. 4(31):401–406.

Wang H, Lee AWM, Shuang S, Choi MMF. 2008. SPE/HPLC/UV studies on acrylamide in deep fried flour based indigenous chinesse foods. Microchem J.

89:90–97. doi:10.1016/j.microc.2007.12.006.

Wang H, Feng Feng, Guo Y, Shuang S, Choi MMF. 2013. HPLC-UV quantitative analysis of acrylamide in baked and deep-fried Chinese foods. J Food

Composit Anal.31:7–11.

Wardany KH. 2012. Khasiat istimewa sukun. Yogyakarta: Rapha Publishing. Xu L, Zhang L, Qiao X, Xu Z, Song J. 2012. Detemination of trace acrylamide in

potato chip and bread crust based on SPE and HPLC. Chromatographia

75:269–274. doi:10.1007/s10337-012-2195-7.

Yaylayan VA, Stadler RH. 2005. Acrylamide formation in food: a mechanistic perspective. JAOAC Int. 88(1):262–267.

Zamora R, Hidalgo FJ. 2008. Contribution of lipid oxidation products to acrylamide formation in model systems. J Agric Food Chem. 56(15):6075– 6080. doi:10.1021/jf073047d.


(6)

Zavala DJP, Ramos AQ, Castro JJ, Abbud RT, Barnard J, Quintana RRB, Martinez FS. 2009. Effect of stepwise blanching and calcium chloride solution on texture and structural properties of Jalapeño peppers in Brine.

Food Technol Biotechnol. 47(4):464–470.

Zhang X. 2009. Simultaneous exposure to dietary acrylamide and corn oil developed carcinogenesis through cell proliferation and inhibition of apoptosis by regulating p53-mediated mitochondria dependent signaling pathway. Toxicol IndHealth. 25:101–109. doi:10.1177/0748233709102948.