2.3.3 Pelatihan Cepat Fast Learning dan Pelatihan Lambat Slow Learning
Pada pelatihan cepat fast learning, jaringan dianggap telah stabil ketika setiap pola telah memilih unit kelompok yang benar ketika proses dijalankan tanpa menyebabkan
unit reset. Untuk ART1, dikarenakan polanya adalah biner, bobot yang berasosiasi dengan setiap unit kelompok juga stabil pada pelatihan cepat. Vektor hasil akhir tepat
untuk tipe masukan yang digunakan pada ART1. Dan juga, keseimbangan bobotnya mudah ditentukan.
Pada pelatihan lambat, perubahan bobot belum mencapai keseimbangan selama proses pelatihan tertentu dan proses
– proses lain dibutuhkan sebelum jaringan stabil. Walaupun secara teori pelatihan lambat mungkin digunakan pada ART1, tetapi
pelatihan ini biasanya tidak digunakan. Untuk ART2, bobot yang diproduksi oleh pelatihan lambat kemungkinan lebih tepat dibandingkan pelatihan cepat untuk data
tertentu Fausett, 1993.
2.4 Pengenalan Pola
Secara umum pengenalan pola pattern recognition adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif
fitur ciri atau sifat utama dari suatu objek. Pola sendiri adalah suatu entitas yang terdefenisi dan dapat diidentifikasikan serta diberi nama. Pola bisa merupakan
kumpulan hasil pengukuran atau pemantauan dan bisa dinyatakan dalam notasi vektor atau matrik.
Gambar 2.7 Struktur sistem pengenalan pola Putra, 2010
Universitas Sumatera Utara
2.5 Citra Digital
Citra digital merupakan sebuah larik yang berisi nilai – nilai real maupun komplek yang
direpresentasikan dengan deretan bit tertentu. Suatu citra dapat didefenisikan sebagai fungsi fx, y berukuran M baris dan N kolom,
dengan x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat x, y dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x,
y dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga dan bernilai diskrit maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital. Gambar 2.8 menunjukkan posisi
koordinat citra digital.
Gambar 2.8 Koordinat citra digital Putra, 2010
Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut.
, = [
, ,
… , −
, ,
… , −
⋮ ⋮
… ⋮
− , − ,
… − , −
] .......................... 2.11
Universitas Sumatera Utara
Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom pada posisi x,y disebut dengan picture elements, image elements, pels atau piksel. Istilah terakhir piksel paling sering
digunakan pada citra digital Putra, 2010. Gambar 2.9 menunjukkan ilustrasi digitalisasi citra dengan M = 20 baris dan N = 20 kolom.
Gambar 2.9 Ilustrasi digitalisasi citra
2.5.1 Citra RGB
Pada citra RGB, masing – masing piksel mempunyai sebuah warna khusus. Warna
dideskripsikan oleh kombinasi warna merah red, hijau green dan biru blue.
2.5.2 Citra Abu – abu Grayscale
Citra abu – abu Grayscale terdiri dari piksel – piksel yang berisikan warna abu – abu
dengan nilai normal antara 0 hitam sampai 255 putih. Rentang tersebut berarti masing
– masing piksel dapat direpresentasikan oleh nilai 8 bit Wahana Komputer, 2013.
2.5.3 Citra Biner
Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai piksel yaitu hitam dan putih. Citra biner juga disebut sebagai citra BW black and white atau citra
monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap piksel dari citra biner Putra, 2010.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Prapengolahan Citra Teknik prapengolahan citra digunakan untuk mempersiapkan citra agar dapat
menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap pemisahan ciri terhadap proses pengujian pola Putra, 2009.
2.6.1 Konversi RGB ke Abu – abu Grayscale
Sebuah citra berwarna mempunyai 3 lapisan matrik yaitu lapisan warna Red merah, Green hijau, Blue biru. Dengan demikian bila proses perhitungan dilakukan
menggunakan tiga lapisan, berarti diperlukan tiga kali perhitungan yang sama. Ini artinya waktu proses lebih lama. Dengan demikian, konsep dengan mengubah 3 lapisan
RGB menjadi 1 lapisan matrik abu - abu, akan menghemat waktu pemrosesan dan kebutuhan memori.
Secara umum, untuk mengubah citra berwarna yang memiliki matrik masing - masing RGB menjadi citra abu - abu dengan nilai S, dapat dilakukan dengan mengambil rata -
rata dari nilai R, G, dan B, sehingga dapat dituliskan dengan rumus Basuki et al. 2005: =
�+�+�
............................................................................................................. 2.12 Dimana:
S : citra abu - abu R : red warna merah
G : green warna hijau B : blue warna biru
2.6.2 Pengambangan Tresholding
Proses pengambangan akan menghasilkan citra biner, yaitu citra yang memiliki dua tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Secara umum proses pengambangan citra abu
– abu untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut.
, = {
, ≥
, }
............................................................................. 2.13
Dengan , adalah citra biner dari citra abu – abu
, dan T menyatakan
Universitas Sumatera Utara
nilai ambang. Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengambangan. Kualitas hasil citra biner sangat tergantung pada nilai T yang
digunakan. Terdapat dua jenis pengambangan yaitu pengambangan global global
thresholding dan pengambangan secara lokal adaptif locally adaptive thresholding. Pada pengambangan global, seluruh piksel pada citra dikonversikan menjadi hitam atau
putih dengan satu nilai ambang T. Pada pengambangan lokal adaptif, suatu citra dibagi menjadi blok
– blok kecil dan kemudian dilakukan pengambangan lokal pada setiap blok dengan nilai T yang berbeda Putra, 2010.
2.6.3 Thinning
Thinning merupakan suatu operasi morfologi. Thinning mengubah bentuk asli citra biner menjadi citra yang menampilkan batas
– batas objek hanya setebal satu piksel Putra, 2010.
2.7 Ekstraksi Fitur
Ekstraksi fitur merupakan bagian fundamental dari analisis citra. Fitur adalah karakteristik unik dari suatu objek. Karakteristik fitur yang baik sebisa mungkin
memenuhi persyaratan berikut. 1.
Dapat membedakan suatu objek dengan yang lainnya. 2.
Memperhatikan kompleksitas komputasi dalam memperoleh fitur. Kompleksitas komputasi yang tinggi tentu akan menjadi beban tersendiri dalam menemukan
suatu fitur. 3.
Tidak terikat dalam arti bersifat invarian terhadap berbagai transformasi rotasi, penskalaan, pergeseran, dan lain sebagainya.
4. Jumlahnya sedikit karena fitur yang jumlahnya sedikit akan dapat menghemat
waktu komputasi dan ruang penyimpanan untuk proses selanjutnya proses pemanfaatan fitur.
Beberapa metode ekstraksi fitur yaitu amplitudo, histogram, matriks co-occurrence, gradient, wavelet dan lainnya Putra, 2010.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Transformasi Wavelet 2D
Transformasi Wavelet pada citra 2D dilakukan pada baris terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan transformasi pada kolom, seperti yang ditunjukkan pada gambar
2.10. Pada gambar , LL menyatakan bagian koefisien yang diperoleh melalui proses tapis
Low pass dilanjutkan dengan Low pass. Citra pada bagian ini mirip dan merupakan versi lebih halus dari citra aslinya sehingga koefisien pada bagian LL sering disebut
dengan komponen aproksimasi. LH menyatakan bagian koefisien yang diperoleh melalui proses tapis Low pass kemudian dilanjutkan dengan High pass. Koefisien pada
bagian ini menunjukkan citra tepi dalam arah horisontal. Bagian HL menyatakan bagian yang diperoleh melalui proses High pass kemudian dilanjutkan dengan Low pass.
Koefisien pada bagian ini menunjukkan citra tepi dalam arah vertikal. HH menyatakan proses yang diawali dengan High pass dan dilanjutkan dengan High pass dan
menunjukkan citra tepi dalam arah diagonal. Ketiga komponen LH, HL dan HH disebut juga komponen detil. Hasil Transformasi Wavelet 2D satu level, sering dibuat dalam
bentuk skema seperti dalam gambar 2.11.
Gambar 2.10 Transformasi Wavelet 2D 1 level
CA, CV, CH dan CD berturut – turut menyatakan komponen aproksimasi, vertikal,
horisontal dan diagonal.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11 Skema hasil Transformasi Wavelet 2D 1 level
2.8 Format File Citra JPEG .jpg
.jpg adalah format yang sangat umum digunakan saat ini khususnya untuk transmisi citra. Format ini digunakan untuk menyimpan citra hasil kompresi dengan metode JPEG
Putra, 2010.
2.9 Verifikasi Tanda Tangan
Verifikasi tanda tangan terdiri dari dua jenis yaitu Putra, 2009: 1.
Verifikasi tanda tangan dinamis Metode verifikasi tanda tangan dengan akuisisi data secara dinamis disebut juga
metode online. Dalam metode ini proses akuisisi data dilakukan bersamaan dengan proses penulisan. Data yang diambil umumnya bermacam
– macam, tidak hanya berupa koordinat posisi titik - titik penulisan tetapi juga informasi dinamis lain
seperti tekanan, kecepatan, gaya penekanan tangan pada pena dan lainnya. Jenis data yang dapat diambil sangat bergantung pada kemampuan peralatan masukan
yang digunakan. Peralatan masukan yang sering digunakan untuk mengakuisisi data secara dinamis ini disebut digitizer.
2. Verifikasi tanda tangan statis
Metode verifikasi dengan akuisisi data secara statis disebut juga dengan metode offline. Berbalikan dengan metode dinamis, metode statis melakukan akuisisi data
setelah proses penulisan selesai dilakukan atau bahkan kemungkinan lama setelah proses penulisan dilakukan. Seseorang menuliskan tanda tangannya pada kertas,
yang kemudian diubah menjadi citra digital dengan menggunakan scanner. Dari citra inilah selanjutnya diproses untuk menentukan otentik atau tidaknya tanda
tangan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.10 Penelitian Terdahulu