Konsep dan aplikasii gadai Syariah (RAHN): (studi kasus pada bank Jabar Banten Syariah cabang Bandung dan BNI Syariah cabang Jakarta Selatan

”KONSEP DAN APLIKASI GADAI SYARIAH (RAHN);
(STUDI KASUS PADA BANK JABAR BANTEN SYARIAH CABANG
BANDUNG DAN BNI SYARIAH CABANG JAKARTA SELATAN)”

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE. Sy)

Oleh:
Annisa Auditasari
NIM: 106046101596

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PRODI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M

 

 

ABSTRAKSI

Annisa Auditasari, 106046101596, ”Konsep dan Aplikasi Gadai Syariah (Rahn);
Studi Kasus Pada Bank Jabar Banten Syariah Cabang Bandung dan BNI
Syariah Cabang Jakarta Selatan”, Program Strata I, Program Studi Muamalah,
Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
Sejak  diberlakukannya  UU  No.  10/1998,  perbankan  syariah  mulai  menggeliat 
naik.  Dalam  5  tahun  saja  sejak  diberlakukan  Dual  Banking  System,  Pendatang‐
pendatang  baru  perbankan  syariah  terus  bertambah  mengingat  pada  akhir  2003 
beberapa  bank  konvensional  sudah  mengantungi  ijin  Bank  Indonesia  untuk 
membuka  unit  atau  divisi  syariah.  Gadai  (rahn)  adalah  salah  satu  produk  syariah 
yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. ar‐rahn dalam istilah hukum positif disebut 
dengan  barang  jaminan,  agunan  dan  rungguhan.  Dalam  Islam  ar‐rahn  merupakan 
sarana saling tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa. 
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan
dokumen (content analisys) yaitu melakukan pengumpulan data dan informasi
melalui pengujian arsip dan dokumen. Data primer dalam penelitian ini diperoleh

melalui wawancara dengan membuat daftar pertanyaan yang diajukan kepada pihak
yang terkait yaitu, pada Bank Jabar Banten Syariah (Micro Finance Group Rahn

 

 
 

Manager) dan Bank BNI Syariah (Divisi Rahn). Sedangkan data sekunder diperoleh
dari data yang dipublikasikan berupa laporan keuangan dan laporan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Selain membandingkan produk gadai (rahn) pada Bank Jabar Banten Syariah
Cabang Bandung dan BNI Syariah Cabang Jakarta Selatan dari segi konsep dan
aplikasinya, penulis juga menjabarkan mekanisme kerja dan perkembangan produk
gadai (rahn) di kedua Bank tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa lebih
banyaknya persamaan di kedua Bank tersebut. Akan tetapi hasil penelitian juga
menunjukan adanya beberapa perbedaan yang terdapat pada penggadai (rahin),
barang gadaian (marhun), utang (marhun bih), ketentuan biaya, nilai taksiran dan
prosedur lelang.
Penulis menyarankan agar pihak bank syariah yang mempunyai produk gadai

(rahn) lebih meningkatkan kinerjanya dengan melakukan sosialisasi kepada
masyarakat luas dan sebaliknya bagi masyarakat luas atau calon nasabah agar lebih
mempercayai keberadaan bank syariah untuk melakukan investasi.

 

 
 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer, Granada Press, Jakarta: 2007.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari teori ke praktek, Gema Insani Press,
Jakarta: 2001.
Ascarya, Akad dan Produk Bak Syariah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta :2007.
Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002.
Farihah, Ipah Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007.

Habib Nazir dan Muhamad Hasan, Ensiklopedi Ekonomi Syari’ah, Kaki Langit,
Bandung : 2004.
Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2007.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta : 2004.
Lathif, Azharudin, Fiqih Muamalat, UIN Jakarta Press, Jakarta: 2005.
Manan, Abdul, Ekonomi Islam teori dan praktek, PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta ; 1997.
Moleong, Lexy j, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung : 2006.
Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamallah Kontekstual, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2002.

 

 
 

Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, PT. Rineka Cipta,
Jakarta: 2004.

Mustafa Edwin Nasution, et.al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta: 2007.
Ndraha, Taliziduhu, Research Teori Metodologi Administrasi, PT. Bina Aksara,
Jakarta: 1985.
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. Ke16, Jakarta: 1999.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, PT. Al Ma’arif, Cet.
Ke-7, jilid 12, Bandung: 1995.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi,
EKONISIA, Cet. Ke-1, Yogyakarta: 2003.
Asy-Syafi’, Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris I, Al-Umm, Daar al-Fikr,
jilid 3, Beirut: 1990.
Syafei, Rachmat, Fiqih Muamalah, CV Pustaka Setia, Cet. Ke-1, Bandung: 2001.
Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT.
Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-4, Jakarta: 2004.
Imam Kabiir Ali bin Umar Ad Daarulquthni, sunan Ad-Daaruquthni, (Beirut: Daar
Al-Fikr, 1994), Jilid 2
Transkip Wawancara dengan Bapak Endang Komarudin Selaku Micro Finance
Group Rahn Manager pada Bank Jabar Banten Syariah Bandung pada Tanggal
11 Agustus 2010 (09.00-11.00).
Transkip Wawancara dengan Bapak Mizwar Akmal Selaku Divisi Rahn pada Tanggal

7 Juli 2010 (16.00 – 17.00) Di BNI Syariah Kantor Cabang Jakarta Selatan.
Seminar Pegadaian Syariah For UIN, Oleh :Rudy Kurniawan, S.E, Manajer
UsahaRahn pada Divisi Usaha Syariah, PERUM Pegadaian.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.

 

 
 

(Data Perkembangan Gadai Emas iB

Bank Jabar BAnten Syariah Bandung
Maslahah SecaraTable).

Bank Jabar BAnten Syariah Bandung, (Data Perkembangan Gadai Emas iB
Maslahah Secara Kurva).
Bank Jabar BAnten Syariah Bandung, (Data Perkembangan Gadai Emas iB
Maslahah Secara Diagram).
www.eviyulianti/pengembangandunia islam.com

www.kompas.com,
http://kafebuku.com/himpunan-fatwa-dewan-syariah-nasional-mui/
http://www.bnisyariah.tripod.com/ind_gadai-emas
syariah.htmlhttp://www.bnisyariah.tripod.com/profil.html,
http://www.bankjabar.co.id/modules/article.php?lang=ID&action=preview&id=3&pa
rent_id=1,
http://www.google.co.id/#hl=id&q=%23+Fatwa+Dewan+Syariah+Nasional+No%3A
+25%2FDSNMUI%2FIII%2F2002+tentang+Rahn&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=d
c4b9ba5e001c2f8

 
 
 
 
 

 

 
 


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1

Resume Data Keuangan BNI Syariah

Tabel 4.2:

Data Perkembangan Gadai Emas iB Maslahah Secara Tabel

Tabel 5.3

Perbandingan Ketentuan Umum Antara Bank Jabar Banten Syariah
dan BNI Syariah

 

 
 


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Skema Transaksi Gadai Syariah

Gambar 4.2

Data Perkembangan Gadai Emas iB Maslahah Secara Kurva

Gambar 3.3

Data Perkembangan Gadai Emas iB Maslahah Secara Diagram

 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.


Latar Belakang Masalah
Sejak terjadinya krisis financial di Amerika pada tahun 1992 sehingga
membawa dampak buruk bagi negara-negara di dunia, tragedi ini sebagai bukti
tentang keburukan yang sebenarnya terjadi dari sistem ekonomi kapitalis yang
diterapkan pada perekonomian dunia. Hal ini juga berdampak akan hilangnya
kepercayaan dari kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang mana membuat para
intelektual muslim di Indonesia harus melihat kembali pemikiran-pemikiran
dari para pakar ekonomi Islam seperti Ibnu Taimiyah, yang pembahasannya
lebih menekankan pada karakter religius dan tujuan dari sebuah pemerintahan
yaitu:

“Tujuan

terbesar

dari

negara

adalah

mengajak

penduduknya

melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat mungkar”. 1 Dan Ibnu
Khaldun yang pemikirannya juga banyak memberikan kontribusi untuk
perekonomian yang membawa kemaslahatan masyarakat dalam suatu negara.
Hingga akhirnya para ahli ekonomi dunia melirik sistem yang ditawarkan dalam
ekonomi Islam yang konsepnya lebih kepada membawa keadilan dan
kemaslahatan umat.

1

Euis Amalia, M.Ag. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer. (Jakarta: Granada Press, 2007), h.179.

1

2

Seperti kita ketahui salah satu lembaga ekonomi yang berlandaskan pada
ekonomi Islam adalah perbankan syariah. Di Indonesia itu sendiri perbankan
syariah dimulai sejak tahun 1992 dengan digulirkannya UU No. 7/1992 yang
memungkinkan bank menjalankan operasional bisnisnya dengan sistem bagi
hasil. Pada tahun yang sama lahir bank syariah pertama di Indonesia yaitu,
Bank Muamalat Indonesia (BMI). Hingga tahun 1998 praktis bank syariah tidak
berkembang. Baru setelah diluncurkan Dual Banking System melalui UU No.
10/1998, perbankan syariah mulai menggeliat naik. Dalam 5 tahun saja sejak
diberlakukan Dual Banking System, pelaku bank syariah bertambah menjadi 10
bank dengan perincian 2 bank merupakan entitas mandiri (BMI dan Bank
Syariah Mandiri) dan lainnya merupakan unit atau divisi syariah bank
konvensional. Pendatang-pendatang baru perbankan syariah dipastikan terus
bertambah mengingat pada akhir 2003 beberapa bank konvensional sudah
mengantungi ijin Bank Indonesia untuk membuka unit atau divisi syariah tahun
ini.
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia,
tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis
syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pegadaian syariah atau dikenal
dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based
Income (FBI) atau Mudharabah (bagi hasil). Karena nasabah dalam
mempergunakan marhun bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda
misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja,

3

penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya,
pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. ar-rahn
dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan
rungguhan. Dalam Islam ar-rahn merupakan saran saling tolong menolong bagi
umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa 2 . Menurut beberapa mazhab, rahn
berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya kepada kreditur dan
dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagian. 3

Pada

dasarnya,

produk-produk

berbasis

syariah

memiliki

karakteristik seperti tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba.
Inti dari riba dalam pinjaman (riba dayn) adalah tambahan atas pokok baik
sedikit maupun banyak. 4 Yang membedakan antara gadai syariah (rahn) dan
konvensional diantaranya adalah dalam hal pengenaan bunga. Kemudian
menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan
atau bagi hasil.

2

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet, Ke-2. h. 251

3

www.eviyulianti/pengembangandunia islam.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2010

4

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafinda Persada, 2007), h. 14

4

Pandangan fuqaha tentang kebolehan akad gadai (rahn) didasarkan pada
Al Quran dan Hadist Nabi Saw. Antara lain sebagai berikut: 5
Al-Quran Surat Al Baqarah : 283













”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Adapun yang dapat dijadikan barang jaminan (agunan) dalam gadai
syariah (rahn) bukan saja yang bersifat materi, tetapi juga yang bersifat
manfaat. Benda yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan
5

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamallah Kontekstual, (PT Raja Grafindo Persada Jakarta,
2002), h. 176

5

secara actual, tetap boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti
menjadikan sawah atau kebun sebagai jaminan (agunan), sehingga yang
diserahkan adalah surat jaminanannya (sertifikat sawah atau tanah). 6 Adapun
barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar-rahn
bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Bila tidak dapat dilunasi, barang
jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang
jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.
Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahin, penggadai akan
mendapatkan surat bukti rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam meminjam
yang disebut akad gadai syariah dan akad sewa tempat (ijarah). Dalam akad
gadai syariah (rahn) disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang
maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh peneriama
gadai (murtahin) guna melunasi pinjaman. Sedangkan akad sewa tempat
(ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk
menyewa tempat penyimpanan dan penerima gadai dan akan mengenakan jasa
simpan.
Salah satu bentuk keberhasilan matrik dari pegadaian syariah yaitu, perum
pegadaian melalui unit usahanya gadai syariah hingga triwulan I 2009 telah
menyalurkan pembiayaan Rp 550,6 miliar atau naik sekitar 20 persen dari
periode yang sama 2008 hanya Rp 338,4 miliar. “Naiknya pinjaman sistem
syariah ini menunjukkan pertumbuhan usaha syariah cukup baik dan juga kredit
6

Azharudin Lathif, Fiqih Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 154

6

masyarakat dari konvensional beralih ke syariah,” kata Manajer Komunikasi
Perusahaan Kantor Pusat Perum Pegadaian Irianto di Jakarta. Menurutnya,
jumlah nasabah pada periode Januari-Maret 2009 sebanyak 161.397 orang,
lebih banyak dari jumlah tahun 2008 yang hanya 126.308 nasabah. 7
Dengan melihat perkembangan pesat yang terjadi di pegadaian, beberapa
lembaga keuangan khususnya perbankan syariah mulai membuka produk gadai
syariah atau disebut juga dengan rahn. Namun untuk saat ini lembaga keuangan
seperti perbankan syariah hanya menerima barang gadai berupa emas lantakan,
perhiasan ataupun koin emas. Hal ini disebabkan oleh kecilnya nilai resiko yang
akan terjadi dan keberadaan nilai emas itu sendiri yang tetap stabil bahkan
cenderung naik dari tahun ke tahun serta tidak terkena dampak inflasi..
Maka dengan melihat pemaparan yang singkat diatas, penulis merasa
tertarik untuk melakukan penelitian, dengan memberikan gambaran apa dan
bagaimana perbedaan konsep serta aplikasi gadai syariah (rahn) pada beberapa
aspek yang terdapat di beberapa perbankan syariah bukan pada perum
pegadaian syariah yang memang sudah umum. Sehingga penulis tertarik untuk
mengambil judul “KONSEP DAN APLIKASI GADAI SYARIAH (RAHN);
STUDI KASUS PADA BANK JABAR BANTEN SYARIAH CABANG
BANDUNG DAN BNI SYARIAH CABANG JAKARTA SELATAN.”

7

2010

www.kompas.com, Pembiayaan Pegadaian Syariah. (29/5), diakses pada tanggal 16 April

7

B.

Pembatasan dan Perumusan Permasalahan
1. Pembatasan Permasalahan
Apabila melihat pembahasan mengenai latar belakang yang telah di
uraikan diatas, maka akan banyak masalah yang memerlukan kajian secara luas.
Oleh karena itulah untuk lebih jelasnya, penulis akan membatasi ruang lingkup
kajian pembahasan hanya pada seputar konsep dan aplikasi gadai syariah (rahn)
yang penelitiannya dilakukan dengan studi deskriptif pada beberapa bank
syariah, yaitu Bank Jabar Banten Syariah Cabang Bandung dan BNI Syariah
Cabang Jakarta Selatan. Serta menganalisis perbandingan antara kedua bank
tersebut dari beberapa aspek serta memaparkan perkembangannya produk gadai
(rahn) tersebut.
2. Perumusan Permasalahan
Dari pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa pokokpokok permasalahan yang dibahas adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana mekanisme gadai syariah (rahn) pada Bank Jabar Banten
Syariah dan BNI Syariah?
2) Apa perbedaan dan persamaan gadai syariah (rahn) pada kedua bank syariah
tersebut?
3) Bagaimana perkembangan produk gadai syariah (rahn) pada Bank Jabar
Banten Syariah dan BNI Syariah dari segi aplikasinya?

8

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dirumuskan oleh penulis
diatas maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penyelesaian skripsi
ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi
setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana
program Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta fakultas Syariah dan Hukum dengan gelar Sarjana Ekonomi Syariah
(SE.Sy).
2) Mendapatkan pemahaman tentang bagaimana konsep gadai syariah (rahn)
secara teori dan prakteknya.
3) Lebih mengenal bagaimana konsep gadai di beberapa bank syairah.
4) Mengetahui perbedaan dan persamaan gadai syariah (rahn) pada kedua bank
syariah tersebut.
5) Melihat perkembangan produk gadai syariah (rahn) pada kedua bank
syariah tersebut dari segi beberapa aspek diantaranya adalah berdasarkan
jumlah nasabah dan juga berdasarkan besar pembiayaan yang sudah
diberikan kepada masyarakat luas.

9

2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi
beberapa pihak, antara lain :
1) Penulis
Penelitian ini merupakan studi awal dan menambah wawasan tentang
konsep dan aplikasi gadai syariah (rahn) pada beberapa bank syariah,
diantaranya ialah Bank Jabar Syariah Banten cabang Bandung dan BNI
Syariah Cabang Jakarta Selatan.
2) Fakultas
Menambah khazanah kepustakaan Ekonomi Islam dan sebagai sumber
referensi bagi mahasiswa, staf pengajar dan lainnya.
3) Masyarakat
Memberi masukan atau informasi kepada masyarakat khususnya masyarakat
ekonomi menengah kebawah yang membutuhkan bantuan dana atau
pembiayaan untuk segala keperluan, bahwa di perbankan syariah dan sama
halnya dengan di perum pegadaian syariah terdapat program yang dapat
membantu dan mengembangkan usahanya atau mengurangi beban mereka
dengan cara yang relative cepat dan aman serta tidak membebankan mereka.

10

D.

Kajian Pustaka
Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber,
kepustakaan, penulis meliput bahwa apa yang merupakan masalah pokok
penelitian tampaknya sangat penting dan prospektif, karena pembahasan
tentang konsep dan aplikasi gadai di bank syariah sangatlah berguna agar
masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah mengetahui bahwa di
perbankan syariah terdapat produk gadai yang dapat membantu mereka dalam
memperoleh modal guna meningkatkan kinerja usaha mereka ataupun
membantu pembiayaan kehidupan sehari-hari mereka.
Adapun kajian pustaka yang digunakan penulis adalah:
1. Pada tahun 2003 telah ditulis skripsi atas nama Aty Nurhayati dengan judul
“Konsep gadai (ar-rahn) dalam Islam serta Prospeknya di Indonesia.”
Dalam penelitian ini membahas tentang analisa pegadaian syariah yang
mempunyai prospek yang cerah, baik untuk pegadaian dengan sistem
syariah maupun pegadaian baru serta mengenai sekmentasi dan pangsa pasar
dari pegadaian ini sangat baik. Ini semua dianalisis dari analisa SWOT yang
telah ia teliti.
2. Pada tahun 2006 juga telah ditulis skripsi atas nama Agus Solehuddin
dengan judul “Analisa Pelaksanaan Gadai Syariah dalam Kajian Hukum
Islam (Studi Kasus pada Perum Pegadaian Cabang Dewi Sartika).” Dalam

11

penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan gadai pada perum pegadaian
syariah cabang dewi sartika dari proses pemberian pinjaman sampai dengan
proses pelelangan barang jaminan bagi nasabah yang tidak melaksanakan
tanggungjawabnya.
3. Pada tahun 2004 telah ditulis pula skripsi atas nama Eva Fatmawati dengan
judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Implementasi Gadai Emas pada
Cabang ULGS Perum Pegadaian Dewi Sartika.” Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif, impelementsi gadai emas pada perum
pegadaian yang terbentuk ULGS adalah system penyaluran pinjaman secara
gadai yang didasarkan pada prinsip syariah islam, yaitu guna menghindari
riba. Keberadaan gadai emas pada cabang ULGS berdasarkan akad rahn dan
ijarah perlu dilakukan peninjaun kembali tentang pemberlakuan biaya bagi
nasabah cabang ULGS di pegadaian cabang dewi sartika.
4. Pada tahun 2004 telah ditulis skripsi atas nama Nuraini dengan judul
“Konsep dan aplikasi gadai syariah pada Bank Syariah (Studi Kasus PT.
Bank Danamon Syariah).” Metode penelitian yang digunakan adalah
kulitatif dengan desain penelitiannya deskriptif. Analisis gadai dalam
perbankan syariah diterapkan dalam dua produk perbankan yaitu sebagai
produk pelengkap dan produk pinjaman atau produk tersendiri. Mekanisme
rahn dalam perbankan adalah nasabah menyerahkan barang gadai kepada
bank untuk ditaksir apabila nasabah setuju maka akad rahn terjadi dan
nasabah akan mendapatkan pinjaman yang dibutuhkan dan setalah jatuh

12

tempo nasabah harus melunasi pinjaman tersebut. Aplikasi gadai emas
syariah pada Bank Danamon Syariah telah sesuai dengan ketentuan syariat
Islam, seperti dalam rukun dan syarat gadai, penaksiran dan biaya penitipan
barang gadai, pemanfaatan barang gadai, penjualan barang gadai, setelah
jatuh tempo dan musnahnya barang gadai.
Sedangkan

yang

membedakan

penelitian

ini

dengan

penelitian

sebelumnya bahwa dalam penelitian skripsi ini membahas tentang konsep dan
aplikasi gadai syariah pada beberapa bank syariah diantaranya ialah, Bank Jabar
Syariah Banten Cabang Bandung dan BNI Syariah Cabang Jakarta Selatan.
Dengan melakukan penekanan pada mekanisme dan prosedur transaksi gadai
syariah serta analisa komparatif yang diterapkan dalam gadai syariah pada
lembaga keuangan tersebut dan melihat perkembangan produk gadai itu sendiri
dari beberapa aspek.

E.

Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan metodologi
kualitatif yang bersifat deskriptif. Metodologi kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada

13

suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah. 8
Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan
untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan mekanisme. 9 Yang
dimaksud disini adalah untuk memberikan gambaran tentang konsep dan
aplikasi gadai syariah (rahn) pada beberapa bank syariah diantaranya yaitu:
Bank Jabar Banten Syariah Cabang Bandung dan BNI Syariah Cabang Jakarta
Selatan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data yaitu data kualitatif
berupa kata-kata atau gambar bukan angka-angka, kalaupun ada angka-angka
sifatnya hanya sebagai penunjang. 10 Data kualitatif ini merupakan data yang
pada

umumnya

sukar

diukur

atau

menunjukkan

kualitas

tertentu. 11

Menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Ada dua sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
8

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2006), h. 6
9

Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 35
10

11

Sudarwaman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV. Pusaka Setia, 2002), h. 51

Taliziduhu Ndraha, Research Teori Metodelogi Administrasi, (Jakarta: PT. Bina Aksara,
1985), h. 60

14

1) Sumber Data Primer
Merupakan sumber data yang diperoleh langsung kepada pengumpul data.
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan pihak bank
syariah (Bank Jabar Banten Syariah Cabang Bandung dan BNI Syariah
Cabang Jakarta Selatan) yang memiliki kemampuan serta pengetahuan
mengenai produk gadai syariah (rahn)dimasing-masing bank tersebut.
2) Sumber Data Sekunder
Merupakan sumber data yang tidak langsung diberikan data kepada
pengumpul data. Data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan
seperti buku-buku, majalah, artikel atau literatur lain yang relevan dengan
pembahasan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a) Penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
mempelajari data-data atau bahan-bahan dari berbagai daftar kesusastraan
yang ada. Dengan cara membaca, mempelajari, mencatat, dan merangkum
teori-teori yang ada kaitannya dengan masalah pokok pembahasan melalui
buku-buku, skripsi terdahulu, majalah, surat kabar, artikel, buletin, brosur,
internet dan media lainnya yang berhubungan dengan pembahasan
penelitian ini.

15

b) Penelitian Lapangan (field research)
Penulis melakukan peninjauan langsung ke lokasi, dalam hal ini konsep dan
aplikasi gadai syariah (rahn) pada beberapa bank syariah (Bank Jabar
Syariah Cabang Bandung dan BNI Syariah Cabang Jakarta Selatan),
sehingga penulis dapat melakukan observasi langsung kegiatan-kegiatan
yang terjadi disana. Penulis juga menggunakan teknik wawancara atau
interview dengan nara sumber yang cakap dan berkompeten pada bidangnya
untuk memberikan keterangan dari masalah yang sedang dibahas.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan dalam skripsi ini adalah berdasarkan ”Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2007”.

F.

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini terdiri
dari lima bab dan tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab yang terinci sebagai
berikut :
BAB I

Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Teoritis, bab ini membahas tentang pengertian, landasan
syariah, rukun dan syarat, mekanisme dan operasional, serta hal-hal

16

yang berkaitan dengan gadai berdasarkan fatwa DSN meliputi; status
barang gadai, pemanfaatan barang gadai, penjualan barang gadai
setelah jatuh tempo, musnahnya barang gadai dan berakhirnya barang
gadai.
BAB III Gambaran Umum Profil Produk Rahn pada Beberapa Bank
Syariah, bab ini membahas sekilas tentang profil singkat bank dan
juga produk gadai (rahn) yang terdapat di ketiga lembaga keuangan
tersebut.
BAB IV Konsep dan Aplikasi Gadai Syariah; Studi Kasus pada Bank
Jabar Banten Syariah Cabang Bandung dan BNI Syariah Cabang
Jakarta Selatan, merupakan bagian pembahasan mekanisme dan
prosedur transaksi gadai syariah (rahn) pada kedua bank tersebut,
analisis komparatif dari segi konsep dan aplikasi transaksi gadai
syariah (rahn) pada kedua bank dan analisis perkembangan produk
gadai syariah (rahn) pada kedua bank tersebut.
BAB V Penutup
Merupakan bagian terakhir penulisan yang akan menunjukkan pokokpokok penting dari keseluruhan pembahasan ini. Bagian ini
menunjukkan jawaban ringkas dari permasalahan yang dibahas pada
bagian permasalahan di atas yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN)

A.

Pengertian Gadai
Secara terminologi gadai adalah pinjam meminjam uang dengan
menyerahkan barang dan batas waktu (bila telah sampai waktunya tidak ditebus,
barang itu menjadi hak orang yang memberi pinjaman). 1 Gadai dalam bahasa
Arab disebut ar-Rahn, secara etimologi rahn adalah tetap, kekal, dan jaminan. 2
Begitu pula gadai dinamai al-habsu yang artinya ”penahanan.” Seperti
dikatakan Ni’matun Rahinah, artinya ”karunia yang tetap dan lestari.” Untuk alhabsu sebagaiaman dalam firman Allah SWT : 3





Artinya:
”tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al
Mudatsir/ 74: 38)

Adapun pengertian rahn secara terminologi didefinisikan beberapa ulama
fiqih sebagai berikut:
1

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
Cet. Ke-16, h. 286.
2

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.251.

3

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 139

17

18

1. Ulama Malikiyah 4

‫ﻻزم‬

‫ﻰد‬

‫ﺎ ﻜ ﻮﺛ ﺎ‬

‫ﻮل ﺆﺧﺬ‬

Artinya:
”Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat
mengikat”
2. Ulama Hanafiyah 5

‫ﮑ‬

‫ﺔ ﺎ ﺔ ﻰ ﻈﺮ ا ﺮع وﺛ ﺔ ﺪ‬
‫ﻚا‬

‫ﻬﺎ‬

‫ﻬﺎ‬
‫آ ﻬﺎ او‬

‫أﺧﺬ ا ﺪ‬

Artinya:
”Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagainnya”.

3. Ulama Syafi’iyah 6

4

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.252

5

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 139
6

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 140

19

‫ﺪ ﺰر و ﺎ‬

‫ﻮ ﻰ ﻬﺎ‬

‫وﺛ ﺔ ﺪ‬

Artinya:
”Menjadikan materi (barang) sebgai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnnya
itu.”
4. Ulama Hanabilah 7

‫ﺬر‬

‫إن‬

‫ﺛ‬

‫ﻮﻰ‬

‫وﺛ ﺔ ﺎ ﺪ‬

‫ا ﺎل ا ﺬى‬
‫هﻮ‬

‫ﺎؤ‬

‫ا‬

Artinya:
”Harta yang dijadikan jaminan hutang dan dapat dijadikan sebgai pembayar
hutang jika penghutang gagal membayar hutangnya kepada pemiutang”.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang,
hingga yang bersangkutan boleh mengambil atau bisa mengambil sebagai
(manfaat) barang itu”. 8
B.

Landasan Hukum Gadai
Hukum gadai dalam Islam adalah Jaiz (boleh), berdasarkan al Qur’an, Assunnah dan Ijma ulama.

7

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 140
8

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 139

20

1. Al Qur’an 9





Artinya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
2. Al Hadits 10

‫و‬
.‫ﺣﺪ ﺪ‬

‫ﺻ ﻰ اﷲ‬
‫وره در ﺎ‬

‫ﻬﺎ أن ا‬

‫اﷲ‬

‫ﻬﻮدي إ ﻰ أ‬

‫ﺎ ﺔ ر‬
‫ا ﺮى ﻃ ﺎ ﺎ‬

Artinya:
”Rasulullah saw. Membeli makanan dari seorang yahudi dengan menjadikan
baju besinya sebagai barang jaminan, (HR al-Bukhari dan Muslim dari
’Aisyah).”

3. Ijma
Berdasarkan ayat dan hadist-hadist diatas, para ulama fiqih sepakat bahwa
gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan

9

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h. 253

10

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.253

21

kebolehannya, demikian juga tentang landasan hukumnya, 11 disamping itu juga
karena kemaslahatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan
antar sesama manusia. 12
Di Indoneia hukum mengenai gadai tertuang dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang
mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang
atau oleh orang lain atas nama yang mempunyai utang. Sesorang yang berutang
tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang utuk . apabila
pihak yang berutang tidak memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. 13
Sedangkan Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional
mengenai hukum gadai (rahn) tertuang dalam fatwa DSN No. 25/DSNMUI/III/2002, bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan yang ada. Adapun
penjabaran mengenai Fatwa Dewan Syariah Nasional mengenai hukum gadai
syariah (rahn) yang tertuang dalam fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002.
Tentang rahn menetapkan Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
11

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: EKONISIA, 2003), Cet. Ke-1, h. 156
12

13

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.254

Transkip wawancara dengan Bapak Endang Komarudin selaku Micro Finance Group Rahn
Manager pada Bank Jabar Banten Syariah Bandung pada tanggal 11 Agustus 2010 (09.00-11.00)

22

jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan dgn ketentuan sebagai berikut: 14
(fatwa terlampir dilampiran)
Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) s.d. hutang rahin (yg menyerahkan barang) dilunasi
Barang tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin tanpa seizin rahin
Ongkos dan biaya penyimpanan barang gadai (marhun) di tanggung
oleh penggadai (rahin).
Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya tidak boleh didasarkan
pada besarnya pinjaman.
Murtahin tidak dpt melunasi hutang -> marhun dijual paksa atau
Dilelang.
Fatwa mengenai gadai emas tetuang dalam fatwa DSN No. 26/DSNMUI/III/2002. Fatwa DSN No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
Menetapkan: 15 (fatwa terlampir dilampiran)
Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat Fatwa DSN
nomor : 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn,
Ongkos dan Biaya Penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh
penggadai (rahin).

14

Seminar Pegadaian Syariah For UIN, Oleh :Rudy Kurniawan, S.E, Manajer Usaha Rahn
pada Divisi Usaha Syariah, PERUM Pegadaian.
15

Seminar Pegadaian Syariah For UIN, Oleh :Rudy Kurniawan, S.E, Manajer Usaha Rahn
pada Divisi Usaha Syariah, PERUM Pegadaian.

23

Ongkos sebagai mana dimaksud dalam butir b besarnya didasarkan pada
pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad
ijarah.

C.

Rukun dan Syarat Gadai
1. Rukun gadai (rahn): 16
1. Rahin (yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu gadai emas
syariah adalah nasabah.
2. Murtahin (yang menerima gadai) yaitu bank.
3. Marhun (barang yang digadaikan), adalah emas dan berlian.
4. Marhun Bih (utang), yaitu pembiayaan
5. Sighat (Ijab Qabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasbah
dengan pihak bank
2. Syarat-syarat gadai:
1. Rahin dan Murtahin:
a. Harus cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orangorang yang telah baligh dan berakal, karena itu tidak sah rungguhan
anak kecil dan orang gila. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua
belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal
16

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), h. 215

24

saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh
melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari
walinya. 17
b. Harus layak untuk melakukan transakasi pemilikan. Setiap orang yang
sah melakukan jual beli, ia juga sah untuk melakukan gadai, karena
gadai seperti juga jual beli merupakan pengelolaan harta (tasarruf).
2. Sighat (Ijab Qabul)
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
sewaktu-waktu di masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti
halnya akad jual beli. Maka, tidak boleh diikat dengan syarat tertentu
atau dengan suatu waktu di masa depan.
3. Marhun Bih (utang)
a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada
pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi utang itu
tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
c. Harus dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat
diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan, maka tidak sah. 18

17

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.254

25

d. Utang boleh dilunasi dengan agunanan itu. 19
4. Marhun (barang yang digadaikan)
Aturan pokok dalam madzhab Maliki tentang barang yang digadaikan
ialah, bahwa gadai itu dapat dilakukan pada semua macam harga pada semua
macam jual beli, kecuali pada jual beli mata uang (sharf) dan pokok modal
salam yang berkaitan dengan tanggungan. Karena pada sharf diisyaratkan tunai
(yakni kedua belah pihak saling menerima), oleh karenanya tidak boleh terjadi
akad gadai, begitu pula pada harta modal gadai salam. 20
Menurut ulama syafi’iyah gadai bisa sah dengan dipenuhinnya tiga syarat
atau pertama, harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaiakan. Kedua,
penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaian tidak terhalang.
Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tidak masa
pelunasan utang gadai.

Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a. Harus diperjualbelikan.

18

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), h. 215
19

20

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.255

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), h. 215

26

b. Harus berupa harta yang bernilai.
c. Marhun harus bias dimanfaatkan secara syariah.
d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan
harus berupa barang yang diterima secara langsung.
e. Harus memiliki rahin (peminjaman atau penggadai) setidaknya harus seizin
pemiliknya. 21
Adapun mengenai penggadaian barang milik bersama, fuqaha bersilisih
pendapat. Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya, tetapi Imam Malik dan
Imam Syafi’I membolehkannya. 22
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama sepakat menyatakan bahwa
rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di rahn kan itu secara
hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan utang yang dibutuhkan telah
diterima peminjam uang. Dan syarat terakhir (kesempurnaan rahn) oleh para
ulama disebut qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hokum oleh
pemberi utang/kreditur). Syarat ini menjadi penting karena firma Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 283 yang menyatakan, bahwa “barang jaminan itu
dipegang atau dikuasai (secara hukum)”. Apabila barang jaminan itu telah
dikuasai oleh kreditur, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah

21

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: EKONISIA, 2003), Cet. Ke-1, h. 158
22

Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Al-Umm, (Beirut: Daar al-Fikr,
1990), jilid 3, h. 120.

27

pihak. Oleh sebab itu, utang terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila
utang tidak dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang itu dibayar. 23
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sahnya akad rahn adalah berakal, baligh,
barang yang dijadikan jaminan itu ada pada saat akad sekalipun tidak satu jenis,
barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau
wakilnya. 24

D.

Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Gadai (Rahn)
1. Status Barang Gadai
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak hutang piutang
bersamaan dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual
meminta pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian suatu
barang dengan kredit.
Status gadai sah setelah terjadinya hutang. Para ulama pun menilai hal ini
sah karena hutang tetap memang manuntut pengambilan jaminan. Maka
dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
Status gadai bisa terbentuk sebulam muncul hutang. Misalnya seseorang
berkata: ”Saya gadaikan barang ini dengan uang pinjaman dari anda sebesar Rp.

23

24

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h. 255

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 168

28

10 juta”. Gadai tersebut sah setidaknya demikian pendapat mazhab Maliki dan
mazhab Hanafi, karena barang tersebut merupakan jaminan bagi hak tertentu. 25
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan
hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang
mengadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi sebagainya, maka
keseluruhan barang gadai masih tetap berada di tangan penerima gadai sampai
orang yang menggadaikan melunasi seluruh hutangnya.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada di
tangan penerima gadai hanya sebagiannya saja, yaitu sebesar hak yang belum
dilunasi.
2. Pemanfaatan Barang Gadai
Mengenai penggunaan barang gadai oleh pegadaian terdapat perbedaan
pandangan di kalangan musilm. Menurut madzhab Hanafi dan Hambali
penerima gadai boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang
atas izin pemiliknya, karena barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja
yang dikehendaki untuk menggunakan hak miliknya. 26 Sedangkan menurut
Imam Syafi’I dan Imam Malik bahwa manfaat barang jaminan secara mutlak

25

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), h. 215
26

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), h. 215

29

adalah hak bagi yang menggadaikan barang. Demikian pula biaya pengurusan
terhadap barang jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan barang.
Akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin utang,
bukan mencari keuntungan dan hasil. Namun, para ulama fiqih sepakat
mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh
dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu
termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulallah saw. 27
Akan tetapi pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang
jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang jaminan hilang atau rusak.
Hanya saja diwajibkan untuk mengambil manfaat ketika berlangsungnya
rahn. 28 Namun siapakah yang mengambil manfaat gadai, rahin atau murtahin?
a) Pemanfaatan rahin terhadap barang gadaian.
Dalam masalah ini ada dua pendapat, pertama pendapat jumhur ulama selain
ulama syafi’I melarang rahn untuk memanfaatkan barang gadaian, dan
kedua ulama syafi’i: membolehkan selama tidak memadharatkan murtahin.
b) Pemanfaat dari murtahin.
Mayoritas ulama, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin
tidak boleh mempergunakan barang rahn.
3. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo

27

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h. 256

28

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), Cet. Ke-1, h. 172

30

Sebelum Islam datang, tradisi orang Arab, jika orang yang menggadaikan
barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka barang gadaiannya keluar
dari miliknya dan kemudian dikuasai oleh pemegang gadaian tesebut. Setelah
Islam datang, maka melarang dan membatalkan cara tersebut. Sebagai mana
dalam hadits dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: Bahwa sesorang
menggadaiakan sebuah rumah di Madinah untuk waktu tertentu. Kemudian
masanya telah lewat. lalu si pemegang gadaian menyatakan bahwa ini menjadi
rumahku. Rasullah kemudian bersabda: 29

‫ﺮ‬

‫و‬

، ‫ﺻﺎﺣ ا ﺬي ره‬

‫ا ﺮه‬

‫ﻻ‬

Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata Rasullah SAW bersabda: ”Barang yang
digadaiakan itu tidak tertutup bagi pemiliknya, ia mendapat keuntungan dan
bertanggung jawab atas kerugiannya”. (HR. Ad-Daruquthni).

Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan
pelunasan utang melalui harga barang yang digadaiakan, kalau rahin gagal
melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. 30 Jika telah jatuh tempo, maka orang
yang menggadaikan barang berkewajiban melunasi hutangnya, jika ia tidak
melunasinya dan dia tidak mengijinkan barangnya dijual untuk kepentingannya
maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang
29

Imam Kabiir Ali bin Umar Ad Daarulquthni, sunan Ad-Daaruquthni, (Beirut: Daar Al-Fikr,
1994), Jilid 2, h. 26
30

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 144 - 145

31

jadikan jaminan. Jika hakim telah menjualnya, kemudian terdapat kelebihan
dari kewajiban yang harus dibayar oleh rahin, maka kelebihan itu milik rahin,
dan jika masih belum bisa untuk melunasi hutangnya, maka rahin berkewajiban
melunasi sisanya. 31
Para fuqaha berpendapat jika telah jatuh tempo, murtahin boleh menuntut
rahin untuk melunasi hutangnya jika hutangnya dibayar maka permasalahannya
berakhir. Namun, jika rahin tidak melunasi hutangnya dengan melambatlambatkan waktu, mempersulit atau menghilangkan diri hakim boleh
memerintahakan murtahin menjual barang gadaian.
4. Musnahnya Barang Gadai
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang barang gadai
apabila rusak atau hilang di tangan penerima gadai.
Menurut sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan
kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan
(amanat), dan merupakan barang dari orang yang menggadaikan. pemegang
gadai sebagai pemegang amanat tidak dapat mengambil tanggung jawab atas
kehilangan tanggungan. Maka jika terjadi pemusnahan ditangan murtahin yang
dipegangi dengan kata-kata murtahin diikuti dengan sumpahnya bahwa dia
tidak melalaikan dan tidak menganiaya barang tersebut. Secara jelasnya
31

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 144 - 145

32

menurut pendapat ini barang gadaian sebagai titipan yang tidak harus
ditanggung oleh murtahin. 32
Sebagian fuqaha yaitu, Imam Abu Hanifa dan Jumhur fuqaha Kufah
berpendapat bahwa murtahin yang bertanggung jawab jika barang gadai rusak
atau musnah ditangan murtahin. Mereka beralasan bahwa barang tersebut
merupakan jaminan atas hutang, maka jika barang itu hilang atau rusak
kewajiban melunasi hutang juga hilang dikarenakan barang tersebut hilang atau
musnah. 33
Mereka yang menetapkan tanggungan atas murtahin terbagi kepada dua
golongan. Golongan pertama dikemukakan oleh Imam Abu Hanifa, Sufyan dan
segolongan fuqaha berpendapat bahwa barang gadai tersebut diganti dengan
harga yang terendah atau dengan harga hutang. Dan golongan kedua yang
dikemukakan oleh Ali bin Abu Tholib ra., Atha’ dan Ishaq berpendapat bahwa
barang gadai tersebut diganti dengan harganya, yakni sebesar harga barang baik
sedikit ataupun banyak. Jika nilai tanggungan itu lebih besar dari hutang rahin,
maka ia bisa mengambil kelebihannya dari murtahin. 34
32

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 145 - 146
33

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 146- 147

34

Imam Kabiir Ali bin Umar Ad Daarulquthni, sunan Ad-Daaruquthni, (Beirut: Daar Al-Fikr,
1994), Jilid 2, h. 27

33

5. Berakhirnya Akad Gadai
Akad rahn dipandang berakhir atau habis dengan beberapa keadaan
seperti hal-hal berikut: 35
1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
dengan penyerahan tersebut maka dengan sendirinya akad rahn berakhir,
hal ini mengikut pendapat jumhur ulama selain syafi’i, karena barang
gadai merupakan jaminan hutang, maka jika diserahkan kepada
pemiliknya tidak ada lagi jaminan.
2. Rahin membayar hutangnya.
3. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin.
4. Pembebasan hutang.
Pembebasan hutang dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya rahn
meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
5. Pembatalan oleh murtahin.
Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa
seizin rahin. sebaliknya dipandang tidak batal jika rahin membatalkannya.
6. Rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan atau pennggunaan murtahin
7. Memanfaatkan barang rahn dengan penyewaan, hibah atau shadaqah, baik
dari pihak rahin maupun murtahin.
Ada pun skema transaksi gadai syariah dapat dilihat dibawah ini: 36
35

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 217

34

Penjelasan skema:
Penggadai (rahin) melakukan akad transaksi gadai dengan penerima gadai
(murtahin) dengan akad ijarah. Kemudian rahin menyerahkan barang gadai
(marhun) kepada murtahin. Setelah barang di taksir nilai gadainya murtahin
memberikan utang (marhun bih) kepada rahin.
Gambar 2.1: Skema Transaksi Gadai Syariah

 

Pengamat ekonomi syariah, mengatakan kendati layanan gadai di
perbankan syariah sama seperti di Pegadaian Syariah, tetapi risiko bisnis gadai
syariah di perbankan agak berbeda. ”Dalam settlement management ada
perbedaan mendasar antara lelang yang dilakukan di Pegadaian Syariah dan
36

Seminar Pegadaian Syariah For UIN, Oleh :Rudy Kurniawan, S.E, Manajer Usaha Rahn
pada Divisi Usaha Syariah, PERUM Pegadaian.

35

bank syariah. Dalam UU Pegadaian boleh dilakukan lelang, sementara di bank
syariah karena hubungannya kontraktual dengan nasabah maka serta merta tidak
bisa melakukan lelang karena memiliki dasar hukum berbeda. Sementara dalam
colateral management resikonya terdapat di penaksiran. Ia menuturkan, alat
terbaik untuk menghitung adalah tangan kita sendiri, tetapi bank tidak bisa
andalkan itu saja. Karena itu harus ada kompromi untuk menggunakan alat
untuk standarisasi. 37
Di sisi lain perbankan juga harus berhati-hati menjaga emas yang
digadaikan oleh nasabah. Pasalnya, berbeda dengan uang yang hilang dan bisa
digantikan dengan jumlah yang sama, emas memiliki nilai historis atau ikatan
emosional dengan nasabah. Misalnya emas yang digadaikan adalah warisan dari
orang tuanya jadi akan sulit bagi bank jika emas itu hilang karena biasanya
emas yang digadaikan itu punya nilai historis atau ikatan emosional bagi
nasabah.