Gambaran Karakteristik Kejadian Erupsi Obat Alergi pada Penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakir Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2010-2012

(1)

GAMB

OBA

PUSY

BARAN

AT ALE

YANSUS

ADA

MUH

F

UNIV

KARAK

RGI PA

S RUMA

AM MA

HAMMA

FAKULT

VERSITA

KTERIS

ADA PEN

AH SAK

ALIK TA

Oleh

AD FAI

100100

TAS KE

AS SUM

MEDA

2013

STIK KE

NDERIT

KIT UMU

AHUN 20

h:

Z BIN H

0401

DOKTE

MATERA

AN

3

EJADIA

TA HIV/

UM PUS

010-2012

HASHIM

ERAN

A UTAR

AN ERUP

/AIDS D

SAT HAJ

2

M

RA

PSI

DI

JI


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah ini penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih sangat sederhana dan masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan tanggapan dari berbagai pihak guna memperbaiki kesalahan dan kekurangan tersebut pada masa yang akan datang.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Kristo A. Nababan, Sp.KK selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak membantu dan memberikan saran-saran selama penulisan karya tulis ilmiah sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Para staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh pegawai rumah sakit umum pusat Adam Malik Medan atas partisipasi dan bantuannya dalam proses pengumpulan data penelitian ini.

5. Orang tua tercinta, bapak Hashim Ahmad, SE, dan ibu Salmah Ibrahim, SKed, yang telah memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis.


(4)

6. Seluruh rekan mahasiswa/i yang telah membantu memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan pahala yang sebesar-besarnya.

Akhir kata dari penulis, semoga karya tulis ilmiah ini memiliki manfaat dan nilai bagi kita semua dan dimasa yang akan datang kiranya dapat menjadi rujukan untuk penulisan yang lebih baik lagi.

Medan, 5 Desember 2013

Penulis

Muhammad Faiz Bin Hashim


(5)

ABSTRAK

Penyakit kulit sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS sewaktu fase infeksi.Hal ini berlaku karena defisiensi imun dan efek samping dari pengobatan. Penyakit kulit seperti erupsi obat alergi lebih sering ditemukan pada penderita HIV/AIDS dan mempunyai resiko lebih tinggi berbanding populasi umum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS.

Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif. Jumlah sampel sebanyak 61 pasien erupsi obat alergi di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012. Teknik pengambilan sampel adalah teknik total sampling. Data diperoleh dari rekam medis di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

Hasil penelitian menunjukkan penderita erupsi obat alergi paling banyak berada pada usia 31-40 (45,9%), berjenis kelamin laki-laki (60,7%), gambaran klinis terbanyak berupa erupsi eksantematosa (82%) dan jumlah CD4 tersering adalah <200/mm³ (67,2%).

Data dan informasi hasil penelitian ini sebaiknya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi tim medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sehingga tim medis dapat segera mendiagnosis penyakit erupsi obat alergi berdasarkan data epidemiologi.


(6)

ABSTRACT

Skin diseases are commonly found in HIV/AIDS patient during infectious phase. It is caused by immune deficiency or by pharmacological intervention. Skin disease such as allergic drug eruption is more commonly found in HIV/AIDS patients and the risk are higher than normal population.

This aims of this study is find out the characteristic of allergic drug eruption among HIV/AIDS patients.

A descriptive retrospective study done in this study through the total sampling of 61 HIV/AIDS patients with allergic drug eruption in HIV Treatment Centre (Pusyansus) in General Hospital Haji Adam Malik within 2010-2012 . Total sampling was chosen as the sampling technique. The data were obtained from medical records in HIV Treatment Centre General Hospital Haji Adam Malik.

The result shows that patients with allergic drug eruptions mostly at the age of 31-40 years (45,9 %) , male sex (60,7%). The highest clinical manifestation is exanthematous eruption ( 82 % ) and most common at CD4 count <200/mm³ (67,2%).

The results of this study should be taken into consideration for practitioners in General Hospital Haji Adam Malik as they can immediately diagnose allergic drug eruption based on epidemiological data.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Bagi Rumah Sakit ... 3

1.4.2 Bagi Peneliti ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 HIV/AIDS ... 5

2.1.1 HIV ... 5

2.1.2 AIDS ... 6


(8)

2.1.4 Patogenesis dan Tahapan HIV/AIDS ... 6

2.1.5 Diagnosis HIV/AIDS ... 8

2.1.6 Pengobatan HIV/AIDS ... 10

2.1.7 Prognosis HIV/AIDS ... 11

2.2 Erupsi Obat Alergi ... 12

2.2.1 Definisi ... 12

2.2.2 Klasifikasi dan Mekanisme Erupsi Obat Alergi ... 12

2.2.3 Epidemiologi Erupsi Obat Alergi ... 17

2.2.4 Gambaran Erupsi Obat Alergi ... 18

2.2.5 Diagnosis Erupsi Obat Alergi ... 21

2.2.6 Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergi ... 21

2.3 Erupsi Obat Alergi Pada Penderita HIV/AIDS ... 22

2.3.1 Epidemiologi ... 22

2.3.2 Patogenesis ... 23

2.3.3 Etiologi ... 24

2.3.4 Distribusi karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Kulit ... 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 26

3.2 Definisi Operasional... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 29

4.1 Jenis Penelitian ... 29


(9)

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 29

4.3.1 Populasi ... 29

4.3.2 Sampel ... 29

4.4 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 29

4.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 29

4.4.2 Metode Pengolahan Data ... 30

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1Deskripsi Lokasi Penelitian ... 31

5.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 31

5.3Hasil Analisis Data dan Pembahasan ... 33

5.3.1 Hasil Analisis Data ... 33

5.3.2 Pembahasan ... 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1 Kesimpulan ... 40

6.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Kadar CD4 dan Derajat Keparahan Imunosupresi 10 2.2 Klasifikasi Erupsi Obat Alergik 12

5.1 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 32 HIV/AIDS menurut jenis kelamin

5.2 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 32 HIV/AIDS menurut umur

5.3 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 33 HIV/AIDS menurut gambaran klinis

5.4 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 34 HIV/AIDS menurut jumlah CD4

5,5 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 35 HIV/AIDS berdasarkan umur dan gambaran klinis

5.6 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 36 HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis

5.7 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita 37 HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4 dan gambaran klinis


(11)

DAFTAR GAMBAR


(12)

DAFTAR SINGKATAN

ACE Angiotensin Converting Enzyme

AGEP Acute Generalised Exanthematous Pustulosis

AIDS Acute Immunodeficiency Virus

AINS Anti Imflamasi Non Steroid

APC Antigen Presenting Cell

ART Antiretroviral Therapy

ASI Air Susu Ibu

CD4 Cluster of Differentiation 4

CMV Cytomegalovirus

CXCR-4 C-X-C Chemokine Receptor Type 4

DNA Deoxyribonucleic Acid

ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay

FDE Fixed Drug Eruption

HIV Human Immunodeficiency Virus

HLA Human Leucocyte Antigen

IgE Immunoglobulin E

MHC Major Histocompability Complex

NIAID National Institute Of Allergy And Infectious Diseases


(13)

NRTI Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor

PTU Propylthiouracil

RNA Ribonucleic Acid

SJS Steven Johnson Syndrome

SPSS Statistical Product and Service Solutions

SRSA Slow Reacting Substance Of Anaphylaxis

TEN Toxic Epidermal Necrolysis

TMP-SMX Trimetoprim-Sulfamethoxazole

UNAIDS United Nations Programmes On HIV/AIDS

VLDL Very Low Density Lipoprotein


(14)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar riwayat hidup

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Komisi Etik Lampiran 3. Data Induk (Master Data)


(15)

ABSTRAK

Penyakit kulit sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS sewaktu fase infeksi.Hal ini berlaku karena defisiensi imun dan efek samping dari pengobatan. Penyakit kulit seperti erupsi obat alergi lebih sering ditemukan pada penderita HIV/AIDS dan mempunyai resiko lebih tinggi berbanding populasi umum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS.

Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif. Jumlah sampel sebanyak 61 pasien erupsi obat alergi di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012. Teknik pengambilan sampel adalah teknik total sampling. Data diperoleh dari rekam medis di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

Hasil penelitian menunjukkan penderita erupsi obat alergi paling banyak berada pada usia 31-40 (45,9%), berjenis kelamin laki-laki (60,7%), gambaran klinis terbanyak berupa erupsi eksantematosa (82%) dan jumlah CD4 tersering adalah <200/mm³ (67,2%).

Data dan informasi hasil penelitian ini sebaiknya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi tim medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sehingga tim medis dapat segera mendiagnosis penyakit erupsi obat alergi berdasarkan data epidemiologi.


(16)

ABSTRACT

Skin diseases are commonly found in HIV/AIDS patient during infectious phase. It is caused by immune deficiency or by pharmacological intervention. Skin disease such as allergic drug eruption is more commonly found in HIV/AIDS patients and the risk are higher than normal population.

This aims of this study is find out the characteristic of allergic drug eruption among HIV/AIDS patients.

A descriptive retrospective study done in this study through the total sampling of 61 HIV/AIDS patients with allergic drug eruption in HIV Treatment Centre (Pusyansus) in General Hospital Haji Adam Malik within 2010-2012 . Total sampling was chosen as the sampling technique. The data were obtained from medical records in HIV Treatment Centre General Hospital Haji Adam Malik.

The result shows that patients with allergic drug eruptions mostly at the age of 31-40 years (45,9 %) , male sex (60,7%). The highest clinical manifestation is exanthematous eruption ( 82 % ) and most common at CD4 count <200/mm³ (67,2%).

The results of this study should be taken into consideration for practitioners in General Hospital Haji Adam Malik as they can immediately diagnose allergic drug eruption based on epidemiological data.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kasus-kasus penyakit menular HIV/AIDS (Human Immunodeficiency

Virus/ Acute Immunodeficiency Syndrome) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi. Laporan UNAIDS (United Nations Programmes On HIV/AIDS) tahun 2011 menyebutkan sekitar 34.000.000 penduduk dunia telah terinfeksi penyakit HIV/AIDS dan 1.700.000 darinya termasuk dewasa dan anak-anak meninggal karena infeksi HIV/AIDS.

Indonesia menunjukkan peningkatan kasus HIV/AIDS sebanyak 25% pada kelompok umur 15-49 tahun dari tahun 2001 hingga 2011 (WHO ,2011). Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa jumlah kumulatif kasus HIV dari tahun 1987 sampai dengan September 2012 sebanyak 92.251 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu Jakarta (21.775 kasus), diikuti Jawa Timur (11.994 kasus), Papua (9.447 kasus), Jawa Barat (6.640 kasus), dan Sumatera Utara (5.935 kasus). Di Indonesia, persentase faktor risiko HIV tertinggi yaitu hubungan seks tidak aman pada heteroseksual, penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun, dan LSL (Lelaki Seks Lelaki) (DepKes, 2012).

AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV (Budimulja et al, 2007). HIV secara spesifik akan menginfeksi dan merusak limfosit T-Helper dan menyebabkan penurunan imunitas seluler. Probabilitas terjadinya infeksi oportunistik juga meningkat (Levinson et al, 2000).

Penyakit kulit sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS ketika fase infeksi, hasil dari defisiensi imun dan efek samping dari pengobatan. Gambaran klinis


(18)

penyakit kulit pada penderita HIV/AIDS termasuklah dari derajat ringan seperti

xerosis kutis hinggalah kondisi yang fatal seperti Stevens-Johnson syndrome ( Dwiyana et al, 2009).

Diperkirakan sekitar 90% penderita HIV/AIDS akan mengalami infeksi opportunistik, neoplasma opportunistik, dermatosis, erupsi obat, dan pruritus pada bagian kulit dan mukosa. Penyakit kulit seperti erupsi obat alergi(Adverse Cutaneous Drug Reaction) lebih sering ditemukan pada penderita HIV/AIDS dan insidensinya meningkat apabila fungsi imun semakin menurun (Saavedra et al, 2008). Penderita HIV/AIDS juga mempunyai resiko erupsi obat yang tinggi, mencapai 100 kali lipat berbanding populasi umum. Erupsi Obat yang paling banyak ditemukan adalah FDE( Fixed Drug Eruption), ruam makulopapular atau morbiliformis dan penyebab tersering adalah co-trimoxazole dan dapsone(Pudukadan et al, 2004).

Tidak luput dari perhatian terkait faktor risiko pada kejadian erupsi obat alergik, terutama faktor usia, jenis kelamin, jumlah CD4, dan lain sebagainya yang terkait. Sampai saat ini, masih belum ada data tentang distribusi karakteristik erupsi obat alergik yang akurat pada penderita HIV/AIDS di Sumatera Utara khususnya di RSUP Haji Adam Malik Medan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti besarnya distribusi proporsi kejadian erupsi obat pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan umur, jenis kelamin, gambaran klinis dan jumlah CD4 penderita sehingga dapat dilakukan pencegahan untuk mengurangi angka kejadian erupsi obat pada penderita HIV/AIDS.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana gambaran distribusi karakteristik kejadian Erupsi Obat pada Penderita HIV/AIDS di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010 – 2012.


(19)

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

     Mengetahui gambaran karakteristik kejadian erupsi obat pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010- 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui distribusi kejadian erupsi obat pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010-2012 berdasarkan :

1. Jenis Kelamin 2. Usia

3. Gambaran Klinis 4. Jumlah CD4 1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan

1. Sebagai informasi dan masukan tentang gambaran karakteristik erupsi obat pada penderita HIV/AIDS berdasarkan usia, jenis kelamin, gambaran klinis dan jumlah sel CD4 pasien sehingga dapat berguna sebagai dasar upaya pencegahan terjadinya erupsi obat.

2. Sebagai dasar ilmiah dalam memusatkan perhatian khusus pada penderita HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat sehingga dapat dilakukan pengobatan yang adekuat dan benar agar dapat mengurangi kejadian erupsi obat.


(20)

1.4.2. Bagi Peneliti

1. Sebagai kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan penelitian ilmiah di bidang kesehatan secara mandiri. 2. Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan pelbagai disiplin ilmu

kedokteran yang telah didapat di perkuliahan didalam satu penelitian ilmiah.

3. Memenuhi tugas mata kuliah Community Research Programme

pada semester VI dan VII sebagai prasyarat untuk menyelesaikan program pendidikan Sarjana Kedokteran di Indonesia.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS 2.1.1. HIV

HIV(Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyebabkan sindrom AIDS(Acquired Immunodeficiency Syndrome), yaitu sindrom penyakit infeksi yang menekan sistem imunitas tubuh. HIV merupakan retrovirus yang mengandung RNA(Ribonucleic Acid) sebagai materi genetik. Genom HIV mengandung dua untai tunggal RNA dan tiap satunya berikatan dengan enzim

reverse transcriptase (Wood, 2006). Virus HIV akan merusak sistem imunitas seluler dengan menginvasi sel limfosit dan makrofag, bereplikasi dalamnya dan seterusnya memusnahkan sel dan menyebar ke sel limfosit lain. Di dalam sel CD4(Cluster of Differentiation 4), retrovirus HIV akan menggunakan reverse transcriptase untuk menghasilkan salinan DNA(Deoxyribonucleic Acid) sebagai materi genetik untuk mensintesis komponen protein virus (Lerner et al., 2003).


(22)

HIV adalah berbentuk bulat dan berukuran 1/10,000 mm. Struktur utama partikel HIV terdiri dari 2 untai tunggal RNA, protein kapsul p24, protein matriks p17, dua lapis membran lipid ,protein sampul gp120, transmembran gp41, enzim

reverse transcriptase dan intergrase( NIAID, 2012).

2.1.2. AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. ( Djoerban, 2009). Menurut Wood, 2006, definisi AIDS secara klinis adalah munculnya infeksi oportunistik mayor atau penurunan jumlah sel CD4 dibawah 200 sel/μl darah. Penyebab kematian terkait AIDS adalah disebabkan kombinasi beberapa infeksi oportunistik tanpa adanya pengobatan yang adekuat.

2.1.3. Penularan HIV

HIV sering ditularkan melalui kontak seksual dengan individu yang terinfeksi, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh pengguna narkotika, transfusi darah yang terkontaminasi dan transmisi okupasional pada petugas kesehatan. Ibu yang terinfeksi HIV juga bisa menularkan HIV pada anak ketika fase intrapartum, perinatal, dan melalui pemberian ASI selepas kelahiran (Fauci,

2008). 2.1.4.Patogenesis HIV/AIDS

Sel CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul di permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif (Djoerban, 2009). Pada infeksi primer HIV, virus akan memasuki aliran darah dan menginvasi sel CD4. Virus akan berikatan melalui glikoprotein gp120 pada permukaan virus dan CD4 pada permukaan sel CD4. Glikoprotein gp41 akan berikatan dengan


(23)

koreseptor chemokine CXCR-4 pada permukaan sel CD4. Hasil interaksi ini akan memicu fusi antara membran virus dan membran sel CD4. Seterusnya nukleokapsid virus akan memasuki sitoplasma sel CD4 dan melepaskan RNA virus. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA virus akan ditranskripsi terbalik (reverse transcription) menjadi salinan DNA untai ganda virus. DNA virus yang terhasil akan berintergrasi dengan DNA sel CD4 dan kini dikenal sebagai provirus. Fase infeksi virus ini dikenal sebagai fase laten dan virus bisa hidup secara dorman pada waktu yang lama. Seterusnya RNA virus akan ditranskripsi dari DNA provirus dan seterusnya ditranslasi menggunakan mekanisme sintesis protein sel CD4. Komponen protein dan RNA virus yang terhasil akan berintergrasi didalam partikel virus baru dan dilepaskan melalui permukaan sel CD4 (Wood , 2006).

Sel langerhan merupakan sel dendritik yang berperan dalam menstimulasi sel CD4 dan memicu respons imunitas pada kulit. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh sel langerhan di epitelium terhadap munculnya manifestasi klinis pada kulit. Pada penderita HIV/AIDS, sel langerhan di epitelium akan terinfeksi oleh virus HIV dan menyebabkan fungsi imunitas akan terganggu. Penurunan fungsi imunitas pada kulit akan menyebabkan timbulnya manifestasi kulit pada penderita HIV/AIDS (Saavedra et al, 2008).

2.1.4. Tahapan Infeksi HIV

Tahapan klinis dari infeksi HIV bisa dibagi menjadi tiga tahapan: fase infeksi, fase laten dan AIDS.

(1)Fase Infeksi :

Kebanyakan penderita tidak mengalami sebarang simptom ketika fase infeksi namun sekitar 15% penderita menunjukkan adanya simptom seperti demam, malaise, nyeri otot & tenggorokan dan pembesaran kelenjar getah bening. Terdapat juga penderita yang mengalami pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya simptom klinis yang lain. Antibodi terhadap HIV dihasilkan melalui proses


(24)

serokonversi. Deteksi antibodi terhadap HIV dapat dilakukan pada fase ini untuk mendiagnosis HIV.

(2) Fase laten

Pada fase ini secara umumnya asimptomatis walaupun sekitar 33% penderita mengalami pembengkakan kelenjar getah bening. Durasi antara fase infeksi dan timbulnya simptom AIDS adalah sekitar 10 tahun. Namun durasi fase laten adalah sangat bervariasi. Tidak dapat dipastikan adakah tiap individu yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS.

(3) AIDS

Tahapan akhir dari infeksi HIV ditandai dengan munculnya berbagai simptom AIDS seperti penurunan berat badan, berkeringat malam, demam dan diare. Terdapat juga infeksi oportunistik seperti kandidiasis oral, herpes simpleks, herpes zoster dan lain-lain (Wood, 2006).

2.1.5 .Diagnosis HIV/AIDS

Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring sering digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Waktu jendela adalah waktu timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi (Djoerban, 2009).

Menurut WHO, 2005, infeksi HIV/AIDS bisa dibagi menjadi beberapa stadium. Tiap stadium mempunyai gejala klinis yang tertentu.


(25)

(1) Infeksi HIV primer  Asimptomatis

 Sindrom retroviral akut( demam, malaise, limfadenopati dan ruam kulit) (2) Stadium pertama

 Asimptomatis

 Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) (3) Stadium kedua (dini)

 Penurunan berat badan kurang dari 10%

 Infeksi saluran pernapasan berulang( bronkitis, sinusitis, otitis media, faringitis)

 Herpes zoster  Keilitis angularis

 Ulkus mulut yang berulang

 Ruam kulit berupa papul yang gatal( Papular pruritic eruption )  Dermatitis seboroik

 Infeksi jamur pada kuku (4) Stadium ketiga (menengah)

 Penurunan berat badan lebih dari 10%

 Diare kronis lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui penyebabnya  Demam menetap yang tidak diketahui penyebabnya

 Kandidiasis pada mulut yang menetap  Oral hairy leukoplakia


(26)

(5) Stadium keempat

 Sindrom wasting HIV  Pneumocsytic pneumonia

 Infeksi herpes simpleks kronis ( orolabia, genital atau anorektal )  Kandidiasis oesofageal

 Tuberkulosis ekstraparu  Sarkoma Kaposi

 Toksoplasmosis saraf pusat  HIV ensefalopati dll.

Derajat keparahan imunosupresi juga bisa ditentukan dengan cara menghitung kadar CD4 pasien. Kadar CD4 penting sebagai indikasi memulai terapi ART dan sebagai prognosis jangka panjang terhadap pengobatan HIV/AIDS (WHO, 2005).

Tabel 2.1. Kadar CD4 dan Derajat Keparahan Imunosupresi.

Derajat Imunosupresi Kadar CD4 sel/mm³

Imunosupresi tidak signifikan >500 sel/mm³

Imunosupresi ringan 350 – 499 sel/mm³

Imunosupresi sedang 200 – 349 sel/mm³

Imunosupresi Berat <200 sel/mm³

Sumber. WHO, 2005

2.1.6 Pengobatan HIV/AIDS

Dahulunya pengobatan HIV/AIDS tidak memberikan banyak harapan. Namun sekarang pengobatan HIV dapat memberi harapan sekiranya dilakukan skrining awal. Semua infeksi oportunistik pada penderita AIDS umumnya diobati sedini mungkin.

Penderita HIV/AIDS diberikan terapi antiretroviral(ART) dengan kombinasi penghambat reverse transcriptase dan penghambat protease. Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa obat-obat antivirus yaitu indinavir, retrovir dan


(27)

lamivudin yang diberikan sebagai kombinasi dapat meningkatkan jumlah CD4. Namun setelah pengobatan beberapa waktu, HIV akan bermutasi menjadi resisten dan toksisitas obat akan muncul sehingga memerlukan obat baru. Obat-obat yang sedang diteliti adalah antisense therapy, gene therapy dengan penghambat HIV yang ditujukan ke sel CD4 dan sel induk (stem cell). Penelitian lain tentang cara pengobatan dan obat baru anti HIV masih banyak dibutuhkan oleh karena penyakit ini banyak menelan jiwa penderita dan sangat merugikan sosio-ekonomi masyarakat luas terutamanya pada negara berkembang.

Di RSCM Jakarta, pengobatan HIV/AIDS dilakukan oleh Pukdisus RSCM. Obat yang digunakan ialah kombinasi tiga obat antiretroviral, yakni :

(1) Zidovudine (AZT)

Dosis : 500 – 600mg sehari per os (2) Lamivudin (3TC)

Dosis : 150mg sehari dua kali (3) Nevirapine

Dosis : 200mg sehari selama 14 hari, kemudian 200mg sehari dua kali (Budimulja, 2008).

2.1.7. Prognosis HIV/AIDS

Sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV, sekitar 50% penderita mengalami

AIDS. Prognosis HIV buruk karena menginfeksi sistem imun terutama sel CD4 dan akan menimbulkan destruksi sel tersebut, akibatnya banyak sekali penyakit oportunistik yang dapat menyertainya. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta , hasil penelitian pada tahun 2005 menunjukkan kematian berjumlah 34% (Budimulja, 2008).


(28)

2.2 Erupsi Obat Alergik (EOA) 2.2.1 Definisi

Erupsi Obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik. Yang dimaksudakan dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, pofilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2008).

2.2.2 Klasifikasi dan Mekanisme Erupsi Obat Alergi

Kejadian erupsi obat bisa disebabkan oleh hasil dari reaksi immunologik

dan non-imunologik terhadap obat dan juga reaksi metabolit dari obat. Sekitar 80% kejadian erupsi obat dapat diprediksikan (Breathnach, 2004).

Tabel 2.2 Klasifikasi Erupsi Obat Alergi

Non-Imunologik Imunologik

Dapat diprediksi Reaksi tipe I (anafilaksis) Overdosis Reaksi tipe II ( sitostatik ) Efek samping Reaksi tipe III ( kompleks imun) Toksisitas kumulatif Reaksi tipe IV ( tipe lambat) Toksisitas tipe lambat

Efek fakultatif Lain-lain

Interaksi obat Reaksi Jarisch–Herxheimer

Gangguan metabolik Reaksi mononukleosis-ampisilin Eksaserbesi penyakit

Tidak dapat diprediksi Intoleransi

Idiosinkrasi


(29)

(A) Erupsi obat non-imunologik 1. Overdosis obat

Erupsi obat yang terjadi dapat diprediksikan berdasarkan reaksi farmakologis obat dan dosis obat yang dikonsumsi. Hal ini disebabkan pengambilan obat yang berlebihan dan melebihi dosis standar yang dibenarkan. Individu dengan penyakit ginjal juga berisiko mengalami overdosis walaupun diberikan dosis standar. Interaksi obat juga dapat mengakibatkan overdosis.

2. Efek samping obat

Efek samping obat adalah reaksi tidak diinginkan yang berlaku bersamaan dengan efek terapeutik. Contohnya adalah efek mengantuk dari pengambilan obat anti-histamin, alopesia anagen karena obat sitotoksik dan lain-lain.

3. Toksisitas Kumulatif

Penggunaan obat menahun bisa menyebabkan toksisitas kumulatif. Akumulasi obat pada kulit dapat menyebabkan perubahan warna kulit, hasil dari penumpukan obat di sel fagosit dan membran mukosa. Contohnya administrasi menahun obat bismuth, emas, perak, raksa dan klorpromazin.

4. Toksisitas tipe lambat

Contoh gejala toksisitas tipe lambat adalah keratosis dan tumor kulit. Penyakit kulit ini berhubungan dengan pajanan arsenik inorganik dan terapi methotrexate yang membutuhkan waktu yang lama untuk menimbulkan efek toksik pada kulit.


(30)

5. Efek fakultatif

Obat antibiotika dapat menyebabkan perubahan flora normal pada kulit dan membran mukosa. Antibiotika yang bekerja merusak bakteri gram positif pada kulit akan mempercepat pembiakan bakteri gram negatif yang resisten. Obat antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan pertumbuhan jamur pada kulit dan membran mukosa. Kortikosteroid dapat mempercepat penyebaran tinea dan eritrasma. Antibiotika seperti klindamisin dan tetrasiklin dihubungkan dengan penyakit enterocolitis pseudomembranosa disebabkan oleh bakteri Clostridium difficile

(Breathnach, 2004).

6. Interaksi obat

Interaksi obat dapat berlaku pada pemberian dua atau lebih obat pada waktu yang bersamaan. Mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yakni interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik (Setiawati, 2007).

7. Perubahan status metabolisme tubuh

Setengah obat dapat mengakibatkan erupsi obat melalui cara merubah status metabolisme dan nutrisi tubuh. Fenitoin akan mengganggu absorpsi dan metabolisme asam folat dan meningkatkan risiko penyakit stomatits aphthous. Isoretinoin akan meningkatkan kadar VLDL(Very Low Density Lipoprotein) dalam darah dan meningkatkan resiko terjadinya xanthoma.

8. Aktivasi jalur efektor non-imunologik (Reaksi anafilaktoid)

Obat seperti opiat, kodein, amfetamin, polimiksin B, atropin, hidralazin, pentamidin , kuinin, dan zat radiokontras dapat memicu pelepasan mediator sel mast secara langsung dan menyebabkan


(31)

urtikaria dan angioedema. Zat radiokontras dapat memicu aktivasi komplemen melalui jalur antibodi independen.

9. Eksaserbasi dari suatu penyakit

Antara contoh obat yang menyebabkan eksaserbasi penyakit kulit adalah lithium, β-blocker, kortikosteroid, simetidin, penisilin dan sulfonamida. Penggunaan litium dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit akne dan psoriasis. β-blocker juga dapat menginduksi penyakit dermatitis psoriasiformis. Apabila penggunaan kortikosteroid dihentikan akan menyebabkan eksaserbasi psoriasis. Penggunaan simetidin, penisilin dan sulfonamid juga dapat menyebabkan eksaserbasi lupus eritematosus (LE) (Breathnach, 2004).

(B) Erupsi obat imunologik

Secara garis besar terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh

Coomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikut salah satu dari ke-4 jalur ini (Hamzah, 2008).

1. Tipe I (reaksi cepat, reaksi anafilaktik)

Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah IgE yang mempunyai affinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi mastosit dan basofil dengan dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain histamin, serotonin, bradikin , heparin dan SRSA(Slow Reacting Substance of Anaphylaxis). Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam efek antara lain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema dan


(32)

syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependent.

2. Tipe II ( Reaksi sitostatik)

Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel, sehingga reaksi tipe II tersebut disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Contohnya ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, sulfonamida dan isoniazid.

Erupsi obat yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe II ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida, analgesik dan antipiretik (Hamzah, 2008).

3. Tipe III (Reaksi kompleks imun )

Kompleks imun akan mengaktivasi kaskade komplemen dan pembentukan anafilatoksin seperti fragmen protein komplemen C3a dan C5a. Komplemen ini akan memicu pelepasan mediator dari mastosit dan basofil dan mengakibatkan urtikaria dan anafilaksis. Antara penyakit lain yang diperantarai reaksi tipe ini ialah serum sickness, vaskulitis dan reaksi arthus (Breathnach, 2004).

4. Tipe IV (Reaksi alergik seluler tipe lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit, APC(Antigen Presenting Cell) dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Seterusnya limfosit T akan tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam


(33)

setelah pajanan terhadap antigen. Reaksi ini seterusnya akan melepaskan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini ialah dermatitis kontak alergi (Hamzah, 2008).

(C) Lain –lain

1. Reaksi Jarisch–Herxheimer

Reaksi ini adalah reaksi eksaserbasi fokal pada luka infeksi apabila diberikan terapi lanjutan antimikroba. Reaksi ini dikaitkan dengan keluarnya zat-zat imunologis dan farmakologis dari mikroorganisme dan jaringan yang rusak. Contohnya seperti pemberian terapi lanjutan griseofulvin pada penderita sifilis yang diterapi awal dengan penisilin. Reaksi ini juga berlaku pada pemberian dietilcarbamazin pada pasien onchocerciasis dan terapi tiabendazol pada pasien strongiloidiasis.

2. Reaksi infeksius mononukleosis-ampisilin

Ampisilin merupakan penyebab tersering terjadinya erupsi obat pada pasien dengan mononukleosis dan leukemia limfatik. Dikatakan adanya reaksi sensitisasi terhadap obat ampisilin didalam tubuh (Breathnach, 2004).

2.2.3. Epidemiologi Erupsi obat alergi

Hasil penelitian yang melibatkan 25 pasien erupsi obat menyebutkan umur

pasien adalah 9-52 tahun dan umur rata-rata adalah 30 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita erupsi obat berbanding wanita dengan rasio 1:0,8. Golongan obat yang tesering adalah golongan antibiotika(56%), anti-konvulsan(24%) dan AINS(12%). Gambaran klinis yang tersering adalah fixed drug eruption (56%), erupsi eksantematosa (12%) dan urtikaria(12%)(Neuopane et al, 2012).

Hasil penelitian di Iran menyebutkan umur rata-rata pasien erupsi obat alergik adalah 30-39 tahun. Manifestasi kulit yang terbanyak adalah eritroderma (41.3%) dan ruam makulopapular(26%)(Jelvehgari et al, 2009).


(34)

Penelitian lain tentang karakteristik pasien erupsi obat alergik menyebutkan usia rata-rata pasien dengan erupsi obat alergik adalah sekitar 20-39 tahun dan rasio laki-laki dan wanita adalah 0,87:1 (Pudukadan et al, 2004).

2.2.4 Gambaran erupsi obat alergi

Gambaran erupsi obat alergik bisa berupa eksantematosa,

urtikaria/angioedema, reaksi anafilaksis dan anafilaktoid, fixed drug eruption dan

serum sickness. Gejalanya bisa juga menyerupai dermatosis, nekrosis kulit, pigmentasi, alopesia, hipertrikosis dan perubahan kuku (Wolff, 2009).

1. Erupsi eksantematosa

Erupsi eksantematosa juga dikenal sebagai erupsi morbiliformis dan makulopapular. Lesi ini adalah lesi tersering pada erupsi obat alergi. Lesi ini bermula dari batang tubuh dan seterusnya menyebar ke perifer dan kedua ekstremitas secara simetris. Lesi ini juga timbul selepas 1 minggu dimulainya terapi dan membaik dalam waktu 7 hingga 14 hari. Perubahan ini bisa terlihat dengan adanya perubahan warna kulit dari merah cerah ke merah kecoklatan disusuli dengan deskuamasi kulit. Diagnosa bandingnya adalah eksantem virus, penyakit vaskuler kolagen dan infeksi riketsia dan bakteri.

2. Erupsi urtikaria/angioedema

Erupsi urtikaria ditandai dengan papular pruritus kemerahan dengan ukuran yang bervariasi. Lesi ini bisa timbul dan menghilang dalam waktu 24 jam. Apabila lapisan dermis dan jaringan subkutan terjadi pembengkakan, ia disebut angioedema. Angioedema sering berlaku secara unilateral dan bisa berlangsung selama 1 - 2 jam. Urtikaria dan angiodema terkait obat sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe anafilaktik. Gejala dan simptom dari reaksi anafilaktik termasuklah pruritus, urtikaria, angioedema, mual muntah, diare, nyeri abdomen, edema laring, bronkospasme dan hipotensi.


(35)

3. Erupsi pustular

Erupsi pustular dikaitkan dengan penggunaan iodida, bromida, hormon adrenokortikotropik, glukokortikoid, isoniazid, litium, aktinomisin D dan fenitoin. Pustul sering timbul pada bagian atipikal seperti tangan dan kaki. AGEP (Acute Generalised Exanthematous Pustulosis) adalah lesi yang dikaitkan dengan leukositosis dan penggunaan antibiotika golongan β-laktam dan makrolida dan antihipertensi tipe penghambat kanal kalsium. Lesi ini muncul 1-3 minggu selepas pemberian obat dan disusuli dengan deskuamasi generalisata 2 minggu selepasnya.

4. Erupsi Bulosa

Pseudoporfiria merupakan gangguan fototoksik pada kulit yang menyerupai porfiria kutanea tarda pada dewasa dan protoporfiria eritropoeitik pada anak. Pseoporfiria dicirikan dengan fragilitas kulit, pembentukan bula dan sikatriks pada kulit yang terpajan sinar matahari dan berlaku pada kadar porfirin darah yang normal. Obat yang diduga menyebabkan pseudoporfiria adalah tetrasiklin, furosemid dan naproxen. Kelainan ini bisa timbul 1 hari selepas pemberian obat atau bisa muncul setelah 1 tahun terapi dimulai.

5. Fixed Drug Eruption (FDE)

Kelainan ini umumnya berupa bercak makula yang kemerahan, eritem, dan soliter dan bisa berkembang menjadi plak edematus dan lesi tipe bulosa. FDE sering dijumpai di bagian genitalia, perianal dan bagian kulit yang lain. Obat penyebab yang tersering adalah ibuprofen, sulfonamida, naproxen dan tetrasiklin.

6. Nekrosis kulit disebabkan antikoagulan

Kelainan ini timbul 3-5 hari setelah terapi antikoagulan dimulai. Obat-obat yang bisa menginduksi nekrosis kulit adalah kumarin dan heparin. Plak kemerahan dan nyeri akan timbul di bagian yang kaya


(36)

adiposa seperti di payudara dan pinggul. Plak ini akan membentuk vesikel, ulkus dan membentuk daerah nekrotik. Nekrosis kulit berlaku karena pembentukan trombi oklusif yang paradoksikal di venula subkutan karena status hiperkoagulasi sementara. Status ini diakibatkan oleh supresi dari antikoagulansia protein C melebihi dari supresi faktor prokoagulansia alami.

7. Erupsi likenoid disebabkan obat

Gejala klinis liken planus disebabkan obat hampir tidak dapat dibedakan dengan liken planus idiopatik. Gejala ini umumnya berupa ekzematosa dengan makula keunguan yang timbul di batang tubuh. Secara histologi, erupsi ini ditandai dengan parakeratosis fokal, gangguan fokal pada stratum granular, badan-badan sitoid pada stratum korneum dan granulosum, adanya eosinofil dan sel plasma pada infitrat imflamatori dan infiltrat disekitar pembuluh darah. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh obat β-bloker, penisilamin dan ACE-inhibitor.

8. Vaskulitis disebabkan obat

Obat penyebab vaskulitis adalah propiltiourasil(PTU), hidralazin, allopurinol, sefaklor, minosiklin, penisilamin, fenitoin dan isotretinoin. Gejala bagi vaskulitis atas purpura yang dijumpai di ekstremitas bawah. Onset bagi berlakunya vaskulitis adalah 7-21 hari setelah pemberian obat (Shear et al, 2008).

9. Nekrolisis epidermal

Stevens Johnsons Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah reaksi kulit bersifat fatal yang dicirikan dengan nekrosis meluas dan terkelupasnya jaringan epidermis dari kulit. Reaksi sitotoksik terhadap keratinosit menyebabkan apoptosis yang meluas. Lesi bermula dengan makula eritematosa, purpura dan kemerahan yang menyebar secara simetris di bagian wajah, batang tubuh dan extremitas atas. Kemudian ia


(37)

berlanjut menjadi lesi nekrotik dan seterusnya berkembang menjadi bula yang kendur dan mudah pecah. Epidermis yang nekrosis akan mudah terlepas dan menampakkan lapisan dermis yang kemerahan(Allanore et al,

2008).

2.2.5 Diagnosis Erupsi Obat Alergi

Diagnosis erupsi obat alergi adalah berdasarkan anamnesis yang teliti seperti riwayat obat-obatan, kelainan kulit yang timbul setelah penberian obat, dan adanya gatal disertai demam subfebril. Bisa juga dilakukan observasi bagi menentukan distribusi dan morfologi kelainan kulit yang timbul (Hamzah, 2008). Bagi menentukan penyebabnya, beberapa kriteria harus dikenalpasti. Antaranya riwayat pemakaian obat sebelumnya, jenis-jenis obat yang pernah dipakai, lama penggunaan obat, dosis obat dan efek dari penghentian dan pengambilan ulang obat. Bisa juga dilakukan tes kulit seperti uji tusuk, uji gores dan uji tempel jika diduga adanya reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat (Breathnach ,2004). 2.2.6 Penatalaksanaan erupsi obat alergi

Jelaslah bahwa pencegahan lebih baik dari mengobati. Penggunaan obat yang

menimbulkan erupsi sebelumnya haruslah dihentikan. Penderita harus ditanyakan tentang riwayat alergi obat dan riwayat peresepan obat yang diberikan. Obat yang diduga menyebabkan alergi haruslah digantikan dengan obat lain. Pemberian terapi farmakologi adalah berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Bagi kebanyakan gejala minor, cukup dihentikan penggunaan obat penyebab erupsi dan terapi simptomatis dengan emolien. Penggunaan kortisteroid topikal dan antihistamin sistemik juga harus diberikan sesuai indikasi (Breathnach, 2004). (A) Sistemik

1. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan ialah tablet prednison 5mg. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema


(38)

nodosum, eksantem fikstum,dan AGEP karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah 3x10 mg prednison perhari. Pada eritroderma dosisnya ialah 3x10 mg sampai 4x10 mg sehari.

2. Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedatif juga dapat diberikan jika ada pruritus. Pada urtikaria tidak diberikan antihistamin karena efeknya kurang berbanding pemberian kortikosteroid.

(B) Topikal

Pengobatan topikal tergantung kondisi lesi. Jika kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak , contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol 0,5-1% untuk megurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa, perlu digunakan kompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantem fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid seperti krim hidrokostison 1% -2%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi , dapat diberi salep lanolin 10% (Hamzah, 2008).

2.3. Erupsi obat alergi pada Penderita HIV/AIDS 2.3.1. Epidemiologi

Insidensi kejadian erupsi obat alergi terkait HIV/AIDS adalah sekitar 11,4%. Umur rata-rata bagi penderita HIV/AIDS yang mengalami gangguan kulit adalah 38±10 tahun dengan rasio antara laki-laki dan wanita adalah 1:1,4. Rata-rata jumlah CD4 pada penderita HIV/AIDS adalah 152-233 sel/μL (Salami et al, 2012). Penyebab tersering erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS adalah


(39)

trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX), sulfadiazin, trimetoprim-dapsone dan penisilin.Obat antiretroviral tersering adalah nevirapine, delavirdine, abacavir dan amprenavir (Saavedra et al, 2008).

2.3.2. Patogenesis

Patogenesis berlakunya erupsi obat alergi sehingga kini masih belum bisa

dijelaskan dengan tuntas. Peningkatan insidensi erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS mungkin disebabkan oleh disregulsi sistem imun yang menyebabkan rentan terhadap stress oksidatif. Penurunan sitokin Th1 dan peningkatan sitokin Th2, IgE, IgA dan eosinofil didalam darah akan memicu hipersensitivitas obat. Kebanyakan teori menyatakan bahwa erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS disebabkan oleh metabolit aktif dari obat.

Terdapat dua teori yang mendukung patogenesis ini. Teori pertama dikenal sebagai hipotesis hapten, dimana metabolit aktif dari obat akan berikatan secara kovalen pada makromolekul jaringan dan menjadi antigen. Seterusnya respons imun terhadap antigen akan terjadi dan bermanifestasi pada kulit. Teori kedua menyatakan bahwa kerusakan oksidatif sel yang disebabkan oleh metabolit aktif obat akan menyebabkan pelepasan sitokin dan pengaktifan respons imun untuk melisis sel yang rusak.

Insidensi hipersensivitas terhadap obat TMP-SMX yang tinggi pada penderita HIV/AIDS disebabkan oleh pelbagai faktor yang berhubungan dengan metabolisme SMX yang terganggu. Metabolit aktif SMX yang terhasil dari oksidasi oleh sitokrom P450 2C9 akan menyebabkan kerusakan sel. Seterusnya sel T akan mengaktifkan respons imun dan menyebabkan erupsi obat alergik. Pada penggunaan ART, didapatkan beberapa abnormalitas dari hasil laboratorium pada penderita HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat. Antaranya kadar enzim transaminase dan creatinine phosphokinase yang meningkat. Terdapat juga hubungan antara reaksi hipersensitivitas ART dan Major Histocompability Complex (MHC) kelas I alele HLA-B*5701, HLA-DR7 dan HLA-DQ3(Vanker et al, 2009).


(40)

2.3.3. Etiologi

(1) Obat antiretroviral

Reaksi hipersensitivitas terhadap obat antiretroviral sering berlaku. Antaranya adalah golongan nonnucleotide reverse transcriptase inhibitor

(nNRTI), nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan inhibitor protease. Gejala klinis yang tersering adalah erupsi eksantematosus. Indivavir mengakibatkan gejala seperti retinoid, keilitis, pruritus, dermatitis asteatopik pada batang tubuh, lengan dan paha dan granuloma piogenik. Zidovudin menyebabkan melanonikia longitudinal, lapisan berwarna kehitaman pada dasar kuku dan makula pigmen pada membran mukosa. Obat Enfuvirtide menyebabkan reaksi pada tempat injeksi. Sindroma lipodistrofi juga sering dikaitkan dengan penggunaan inhibitor protease. (2) Obat non antiretroviral

Sekitar 50-60% penderita HIV/AIDS yang diterapi dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) menimbulkan erupsi eksantematosus. Gejala ini timbul selepas 1-2 minggu dimulai terapi. Koadministrasi antara glukokortikoid oral dan TMP-SMX akan mengurangi insidensi erupsi obat alergi. Obat sulfa seperti sulfadiazin, TMP-SMX, sulfadoksin, pirimetamin bisa menyebabkan erupsi bulosa. Penggunaan foskarnet pada terapi retinitis cytomegalovirus (CMV) bisa menyebabkan erosi penis yang nyeri. Erosi ini juga disebabkan oleh konsentrasi metabolit foskarnet yang tinggi didalam urin (Wolff, 2009).

2.3.4. Distribusi karakteristik penderita HIV/AIDS dengan penyakit kulit

Penelitian yang dilakukan di Nigeria melibatkan 490 pasien HIV/AIDS

dengan penyakit kulit menyebutkan umur rata-rata pasien adalah 38±10 tahun. Rasio antara pasien laki-laki dan wanita adalah 1:1,4. Persentasi pasien HIV/AIDS dengan erupsi obat alergik adalah 11,4%(n=56). Jumlah CD4 rata-rata pasien adalah 152-233/mm³ (Salami et al, 2012).


(41)

Hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik melibatkan 227 pasien menyebutkan kelainan kulit yang paling banyak dideritai pasien HIV/AIDS adalah erupsi obat alergi(14,9%) dan folikulitis(14,6%). Kelainan kulit yang juga banyak dijumpai adalah dermatofitosis (10%) dan dermatitis seboroik(9,7%) (Simbolon, 2011).

Penelitian lain yang dilakukan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung melibatkan 121 pasien HIV/AIDS dengan kelainan kulit menyebutkan umur rata-rata pasien adalah 21-50 tahun. Laki-laki mempunyai persentasi tertinggi dengan 74.3%. Sekitar 37 pasien didiagnosis dengan erupsi obat alergi. Gambaran klinis pasien adalah erupsi eksantematosa(n=28), Steven Johnson syndrome(n=6), erupsi akneformis(n=2) dan eritroderma(n=1). Jumlah CD4 rata-rata pasien adalah 11-95/mm³(Dwiyana et al, 2009).

Hasil penelitian di Singapura melibatkan 96 pasien HIV/AIDS menyebutkan umur rata-rata pasien adalah 40,2 tahun. 86(89,6%) pasien adalah laki-laki. 17(17,7%) pasien didiagnosis dengan erupsi obat alergik. Rata-rata pasien dengan erupsi obat alergik memiliki jumlah CD4 < 200/mm³ (Goh et al, 2007).

Hasil penelitian di Thailand melibatkan 120 pasien HIV menyebutkan 5(4,2%) daripada pasien menderita erupsi obat alergik (Wiwanitkit, 2004). Hasil penelitian di Malaysia melibatkan 104 pasien HIV/AIDS dengan penyakit kulit menyebutkan kelompok umur tersering adalah 20-50 tahun. Persentasi pasien laki-laki adalah 96,2%(n=100). Persentasi pasien dengan erupsi obat alergi adalah 2,9%(n=3) dan jumlah CD4 rata-rata adalah 150,66/mm³ (Jing & Ismail, 1999).


(42)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Data Rekam Medis 

Penderita HIV/AIDS Yang 

Mengalami Erupsi Obat 

Alergi 

Distribusi Karakteristik   Kejadian Erupsi Obat Alergi 

Pada Penderita HIV/AIDS 

Berdasarkan  Umur 

Distribusi Karakteristik   Kejadian Erupsi Obat Alergi 

Pada Penderita HIV/AIDS 

Berdasarkan Jenis Kelamin 

Distribusi Karakteristik   Kejadian Erupsi Obat Alergi 

Pada Penderita HIV/AIDS 

Berdasarkan  Jenis Kelainan 

Kulit

Distribusi Karakteristik   Kejadian Erupsi Obat Alergi 

Pada Penderita HIV/AIDS 


(43)

3.2 Definisi Operasional

Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik.

Distribusi karakteristik pasien HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat alergi berdasarkan usia dikelompokkan menjadi:

Usia < 11 tahun Usia 11 – 20 tahun Usia 21 – 30 tahun Usia 31 – 40 tahun Usia 41 – 50 tahun Usia 51 – 60 tahun Usia 61 - 70 tahun Usia > 70 tahun

Distribusi karakteristik pasien HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat alergi berdasarkan jenis kelamin dikelompokkan menjadi:

Laki-laki Perempuan Usia


(44)

Distribusi karakteristik pasien HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat alergi berdasarkan gambaran klinis dikelompokkan menjadi:

Distribusi karakteristik pasein HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat alergi berdasarkan jumlah sel CD4 dikelompokkan menjadi:

>500 sel/mm³ 350 – 499 sel/mm³ 200 – 349 sel/mm³ <200 sel/mm³

Erupsi eksantematosa

Stevens johnsons syndrome Fixed drug eruption

Eritroderma Lain-lain Gambaran klinis


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif retrospektif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik selama bulan september 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi target penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat alergi. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat alergi di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik tahun 2010-2012.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah keseluruhan dari populasi terjangkau. 4.4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.4.1. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data yang diperoleh dari bagian rekan medik di Pusyansus RSUP Haji Adam Malik.


(46)

4.4.2. Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan SPSS. Analisis statistik untuk data deskriptif dilakukan persentase (data kategorik).

 

 


(47)

 

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang beralamat di jalan Bunga Lau, nomor 17 Medan Tuntungan, Kemenangan Tani.

5.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Dari penelitian didapatkan 61 data penderita HIV/AIDS dengan erupsi obat alergi di ruang rekam medis Pusyansus RSHAM. Dari keseluruhan penderita erupsi obat alergi, gambaran karakteristik yang diamati meliputi usia, jenis kelamin, gambaran klinis dan jumlah CD4. Tabel 5.1 menggambarkan distribusi karakterisrik penderita erupsi obat alergi berdasarkan jenis kelamin sedangkan tabel 5.2 menggambarkan distribusi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan umur.


(48)

Tabel 5.1. Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS menurut jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 37 60,7

Perempuan 24 39,3

Total 61 100

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa menurut jenis kelamin didapatkan kejadian erupsi obat alergi pada laki-laki sebanyak 37 kasus (60,7%). Sedangkan pada kejadian erupsi obat alergi pada perempuan didapatkan 24 kasus (39,3%). Tabel 5.2. Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS

menurut umur

Umur Jumlah %

11-20 tahun 1 1,6

21-30 tahun 22 36,1

31-40 tahun 28 45,9

41-50 tahun 9 14,8

51-60 tahun 1 1,6

Total 61 100

Berdasarkan tabel 5.2 maka tampak bahwa kejadian erupsi obat alergi terbanyak pada kelompok umur 31-40 tahun dengan 28 kasus (45,9%), sedangkan kasus pada kelompok umur 11-20 tahun dan 51-60 berjumlah paling sedikit yakni masing-masing hanya 1 kasus. Didapatkan rata-rata usia adalah 33,62 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 52 tahun.


(49)

5.3 Hasil Analisis Data dan Pembahasan 5.3.1 Hasil analisis data

Hasil uji terhadap gambaran karakteristik erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan gambaran klinis dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS

menurut gambaran klinis

Berdasarkan tabel 5.3 maka tampak bahwa gambaran klinis yang timbul paling banyak berupa erupsi eksantematosa yaitu sebanyak 50 kasus (82%), diikuti Steven Johnsons Syndrome yaitu sebanyak 6 kasus (9,8%), gambaran lain-lain berupa hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan erupsi makulopapular sebanyak 4 kasus (6,6%) dan paling sedikit pada eritroderma yaitu sebanyak 1 kasus (1,6%).

Hasil uji terhadap gambaran karakteristik erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4 dapat dilihat pada tabel 5.4.

Gambaran klinis Jumlah %

Erupsi eksantematosa 50 82

Steven Johnsons Syndrome 6 9,8

Eritroderma 1 1,6

Lain-lain 4 6,6


(50)

Tabel 5.4. Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS menurut jumlah CD4

Jumlah CD4/mm³ Jumlah %

>500 1 1,6

350-499 3 4,9

200-349 16 26,2

<200 41 67,2

Total 61 100

Dari tabel 5,4 didapatkan bahwa kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS timbul paling banyak yaitu pada jumlah CD4 <200 sel/mm³ dengan 41 kasus (67,2%), diikuti jumlah CD4 200-349 sel/mm³ yaitu sebanyak 16 kasus (26,2%), kelompok CD4 350-499 sel/mm³ yaitu sebanyak 3 kasus (4,9%) dan paling sedikit pada jumlah CD4 >500 sel/mm³ yaitu sebanyak 1 kasus (1,6%). Didapatkan rata-rata jumlah CD4 adalah 154,8 sel/mm³ dengan nilai minimum 3 sel/mm³ dan nilai maksimum 999 sel/mm³.

Distribusi gambaran karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan usia dan gambaran klinis erupsi obat alegi dapat dilihat pada tabel 5.5


(51)

Tabel 5.5 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS berdasarkan umur dan gambaran klinis

Gambaran klinis

Usia (Tahun)

11-20 21-30 31-40 41-50 51-60

f f f f f

Erupsi eksantematosa 1 18 21 9 1

Steven Johnsons Syndrome

0 2 4 0 0

Eritroderma 0 1 0 0 0

Lain-lain 0 1 3 0 0

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pada usia 11-20 tahun, gambaran klinis terbanyak adalah erupsi eksantematosa, usia 21-30 tahun dan 31-40 tahun dengan gambaran klinis terbanyak berupa erupsi eksantematosa, Steven Johnsons Syndrome, eritroderma dan lain-lain, 41-50 tahun dan 51-60 tahun adalah erupsi eksantematosa.

Gambaran klinis eksantematosa paling banyak dialami pada usia 31-40 tahun, Steven Johnson Syndrome paling banyak pada usia 31-40 tahun, eritroderma ditemukan pada usia 21-30 tahun, dan gambaran lain-lain paling banya pada usia 31-40 tahun.

Distribusi gambaran karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis erupsi obat alergi dapat dilihat pada tabel 5.6.


(52)

Tabel 5.6 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS

berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis

Dari tabel diatas dapat dilihat erupsi obat alergi pada laki-laki paling banyak berupa gambaran klinis erupsi eksantematosa yaitu 28 orang (45,9%) dan pada wanita berupa erupsi eksantematosa yaitu 22 orang (36,1%).

Dari tabel diatas dapat dilihat gambaran klinis Steven johnsons Syndrome

lebih banyak terjadi pada laki-laki, gambaran klinis eritroderma lebih banyak terjadi pada laki-laki dan gambaran klinis lain-lain berupa hipopigmentasi dan hiperpigmentasi lebih banyak terjadi pada laki-laki.

Distribusi gambaran karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan gambaran klinis dan jumlah CD4 dapat dilihat pada tabel 5.7.

Gambaran klinis

Jenis kelamin

Laki-laki Wanita

f(%) f(%)

Erupsi eksantematosa 28 (45,9) 22 (36,1)

Stevens Johnsons Syndrome 5 (8,2) 1 (1,6)

Eritroderma 1 (1,6) 0 (0)

Lain-lain 3 (4,9) 1 (1,6)


(53)

Tabel 5.7 Distribusi kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4 dan gambaran klinis

Gambaran klinis

Jumlah CD4/mm³

>500 350-499 200-349 <200

f f f f

Erupsi eksantematosa 1 2 14 33

Steven Johnsons Syndrome 0 1 0 5

Eritroderma 0 0 0 1

Lain-lain 0 0 2 2

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada jumlah CD4 >500 sel/mm, ditemukan hanya 1 kasus dengan gambaran klinis erupsi eksantematosa. Pada jumlah CD4 350-499 sel/mm³, ditemukan gambaran klinis berupa erupsi eksantematosa dan Steven Johnsons Syndrome, diikuti jumlah CD4 200-349 sel/mm³ berupa gambaran klinis erupsi eksantematosa dan gambaran lain-lain, jumlah CD4 <200 sel/mm³ dengan gambaran klinis terbanyak adalah erupsi eksantematosa , Steven Johnsons Syndrome, eritroderma dan gambaran lain-lain.

Gambaran klinis erupsi eksantematosa paling banyak ditemukan pada jumlah CD4 <200 sel/mm³, Stevens Johnson Syndrome paling banyak ditemukan pada jumlah CD4 <200 sel/mm³, eritroderma ditemukan pada jumlah CD4 <200 sel/mm³ dan gambaran lain-lain ditemukan pada jumlah CD4 200-349 dan <200 sel/mm³.

5.3.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 paling banyak berada pada usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 28


(54)

orang (45,9%), dan paling sedikit pada usia 11-20 tahun dan 51-60 tahun yang masing-masing berjumlah 1 orang (1,6%). Didapatkan usia rata-rata adalah 33,62 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 52 tahun. Penelitian yang dilakukan di Nigeria menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien HIV/AIDS yang menderita erupsi obat alergi adalah 38±10 tahun (Salami et al, 2012). Penelitian lain yang dilakukan di Malaysia menunjukkan bahwa kasus erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS terbanyak pada kelompok umur 30-39 tahun (Jing & Ismail,1999). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh peneliti.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kejadian erupsi obat alergi terbanyak pada laki-laki yaitu sebanyak 37 orang (60,7%). Sedangkan kejadian erupsi obat alergi pada perempuan didapatkan sebanyak 24 orang (39,3%). Penelitian yang dilakukan di Bandung menunjukkan kasus erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS terbanyak berlaku pada laki-laki yaitu sebanyak 74,3% (Dwiyana et al, 2009). Penelitian lain yang dilakukan di Singapura menunjukkan kasus erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS terbanyak pada laki-laki yaitu sekitar 89,6% (Goh et al,.2007). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh peneliti.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa gambaran klinis tersering adalah erupsi eksantematosa yaitu sebanyak 50 kasus (82%), diikuti Steven Johnsons Syndrome yaitu sebanyak 6 kasus (9,8%), gambaran lain-lain yaitu hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan erupsi makulopapular sebanyak 4 kasus (6,6%) dan paling sedikit pada eritroderma yaitu sebanyak 1 kasus (1,6%). Menurut penelitian Dwiyana et al, (2009), gambaran klinis terbanyak adalah erupsi eksantematosa yaitu sebanyak 75,7%, diikuti Stevens Johnson Syndrome

yaitu sekitar 16,2%, erupsi akneformis yaitu sebanyak 5,4% dan eritroderma yaitu sebanyak 2,7%. Hal ini sesuai dengan hasil yamg didapatkan oleh peneliti.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS timbul paling banyak pada jumlah CD4 <200 sel/mm³ dengan 41 kasus (67,2%) dan paling sedikit pada jumlah CD4 >500 sel/mm³ yaitu


(55)

sebanyak 1 kasus (1,6%). Didapatkan rata-rata jumlah CD4 adalah 154,8 sel/mm³ dengan nilai minimum 3 sel/mm³ dan nilai maksimum 999 sel/mm³. Menurut penelitian Salami et al, (2012) di Nigeria, jumlah CD4 rata-rata adalah 152 sel/mm³. Penelitian lain yang dilakukan di Singapura menunujukkan jumlah CD4 rata-rata adalah <200 sel/mm³ (Goh et al, 2007). Menurut penelitian Jing & Ismail, (1999), jumlah CD4 rata-rata pasien adalah 150,66 sel/mm³. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan peneliti.


(56)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

1. Kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 paling banyak berada pada usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 28 orang (45,9%) dan paling sedikit pada usia 11-20 dan 51-60 tahun (3,2%). Didapatkan rata-rata usia penderita adalah 33,62 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 52 tahun.

2. Jumlah penderita erupsi obat alergi pada laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita yaitu 37 orang (60,7%) laki-laki dan 24 orang (39,3%) wanita.

3. Gambaran klinis tersering adalah erupsi eksantematosa yaitu sebanyak 50 kasus (82%), dan paling sedikit pada eritroderma yaitu sebanyak 1 kasus (1,6%).

4. Didapatkan bahwa kejadian erupsi obat alergi timbul paling banyak pada jumlah CD4 <200 sel/mm³ yaitu sebanyak 41 kasus (67,2%) dan paling sedikit pada jumlah CD4 >500 sel/mm³ yaitu sebanyak 1 kasus (1,6%). Didapatkan rata-rata jumlah CD4 penderita adalah 154,8 sel/mm³ dengan nilai minimum 3 sel/mm³ dan nilai maksimum 999 sel/mm³.


(57)

6.2 Saran

1. Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para dokter yang merawat pasien HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik agar lebih berhati-hati apabila melakukan pengobatan yang bersifat sistemik kepada pasien yang beresiko tinggi berdasarkan data epidemiologi.

2. Bagian Pusyansus RSUP HAM diharapkan agar dapat memperlengkap dan menyusun data rekam medis pasien dengan teratur agar penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih baik.

3. Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian selanjutnya dengan memperluas variabel-variabel lainnya.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Allanore L.V., Roujeau J.C., 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill Companies Inc. 349.

Breathnach S.M., 2004. Drug Reaction. In: Burns T., Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. USA: Blackwell Publishing Company. 73,1.

Budimulja U., Daili S.F., 2007. Human Immunodefficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Defficiency Syndrome (AIDS). In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed 5. Jakarta: FKUI. 427-432.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Laporan Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2012. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Djoerban Z., Djauzi S., 2010. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Samidibrata K.M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed 5. Jakarta: Internal Publishing. 2861-2862.

Dwiyana R.F., Rowawi R., Lestari M., Aliajahbana B., Ven A.J.A.M., Djajakusumah T.S., 2009. Skin Disorder in HIV-infected Patients from West Java. Acta Medica Indonesiana 41(1).

Fauci A.S., Lane H.C., 2008. Human Immunodefficiency Virus Disease: AIDS and Related Disorder. In: Kasper, Braunwald E., Fauci A.S., Hauser S.L., Jameson J.L., Loscalzo J. Harrison’s Principles Of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies Inc. 1137, 1142.


(59)

Goh B.K., Chan R.K.W., Sen P., Theng C.T.S., Tan H.H., Wu Y.J., Paton N.I., 2007. Spectrum of skin disorders in human immunodeficiency virus-infected patients in Singapore and the relationship to CD4 lymphocyte counts. International Journal of Dermatology, 46: 695-699.

Hamzah M., 2007. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed 5. Jakarta: FKUI. 154-158.

Ho K.M., Wong K.H., 2001. Dermatologic manifestation in HIV disease. In: Chan K.C.W., Wong K.H., Lee S.S. HIV manual 2001. 231-245.

Jelvehgari M., Azimi H., Montazam H., 2009. Prevalence of Cutaneous Drug Eruption in Hospitalized Patients: A Report from Sina Hospital at Tabriz.

Iran J Dermatol, 12(1).

Jing W., Ismail R., 1999. Mucocutaneous manifestations of HIV infection: a retrospective analysis of 145 cases in a Chinese population in Malaysia.

International Journal of Dermatology, 38: 457-463.

Lerner K.L., Lerner B.W., 2003. World Of Microbiology & Immunology. USA: The Gale Group Inc. 7-8.

Levinson W., Jawetz E., 2000. Medical Microbiology & Immunology. 6th ed. Singapore: McGraw-Hill Companies Inc. 271.

Neupane S., Sarma S.R., 2012. Cutaneous Adverse Drug Reaction: A 6-Month Teaching Hospital Based Study From Mid Western Nepal. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6(3): 445-448

NIAID, 2012. Structure of HIV. Available from: .http://www.niaid.nih.gov/topics/hivaids/understanding/biology/Pages/struct ure.aspx [ Acessed May 2013].

Nnoruka E., Chukiwuka J., Anisuiba B., 2007. Correlation of Mucocutaneous Manifestation of HIV/AIDS Infection with CD4 Count and Disease Progression. The International Society of Dermatology, 46(2): 14-18.


(60)

Pudukkadan D., Thappa D.M., 2004. Adverse Cutaneous Drug Reaction: Clinical Pattern and Causative Agent in Tertiary Care Centre in South India. India J Dermatol Venereol Leprol, 70(1): 20-24. Available from:

http://www.ijdvl.com/text.asp?2004/ 70/1/20/6813[Accessed March 2014].

Saavedra A., Johnson R.A., 2008. Cutaneous Manifestation of Human Immunodefficiency Virus Disease. In: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill Companies. 1927.

Salami T.A.T., Adewuyi G.M., Enchekwube P., Affusim C., 2013. Pattern of Cutaneous Pathology Among A Cohort of HIV/AIDS Patients Accessing Care In Rural/Suburban Adult ART Clinic in Nigeria. British Journal of Medicine & Medical Research, 3(4): 1199-1207.

Setiawati A.,2007. Interaksi Obat. In: Farmakologi Dan Terapi, ed 5. Jakarta: FKUI. 800.

Shear N.H., Knowles S.R., Shapiro L.,2008. Cutaneous Reaction to Drug. In: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill Companies. 355.

Simbolon E., 2010. Pola Kelainan Kulit Pada Pasien HIV/AIDS Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Available from:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448 [ Accessed May 2013]. UNAIDS, 2012. UNAIDS Report On The Global AIDS Epidemics: Changes In

The Incidence Rate Of HIV Infection Among Adults 15-49 Years Old,

2001-2011. Available from:

http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/document

/epidemiology/2012/gr2012/20121120_UNAIDS_Global_Report_2012_en.


(61)

Vanker A., Rhode D., 2009. Human Immunodefficiency Virus and Allergic Disease. Current Allergy & Clinical Immunology, 22(4).

Wiwanitkit V., 2004. Prevalence of dermatological disorders in Thai HIV-infected patients correlated with different CD4 lymphocyte count statuses: a note on 120 cases. International Journal of Dermatology, 46: 265-268.

Wolff K., Johnson R.A., 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed. USA: McGraw-Hill Companies Inc. 554.

Wood P., 2006. Understanding Immunology, 2nd ed. England: Pearson Education Limited Inc. 263.

World Health Organisation, 2005. Interim WHO Clinical Staging of HIV/AIDS and HIV/AIDS Case Definitions for Surveillance. 5-6.

World Health Organisation, 2011. Global Summary of AIDS Epidemics. Available from: http://www.who.int/hiv/data/2012_epi_core_en.png [Accessed April 2013].


(62)

Lampiran 1 :

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Faiz Bin Hashim

Tempat/ Tanggal lahir : Selangor/ 6 Disember 1991

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : ISLAM

Alamat : Jl. DI Panjaitan No. 28 Medan

Nomor Telepon : (062) 85761067181 Orang Tua (Ayah) : Hashim Bin Ahmad,SE Orang Tua (Ibu) : Salmah Bt. Hj. Ibrahim, MD Riwayat Pendidikan : 1. SK Sungai serdang

2. SM Islam Hira’ 3. SMK Jeram

4. Kolej MARA Kuala Nerang

Kegiatan : 1. Anggota PHBI FK USU

2. Anggota BADAR PKPMI-CM

3. Ketua Panitia Leadership Training BADAR PKPMI-CM 2012-2013


(63)

(1)

Lampiran 2:

Data induk

Data Kejadian erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS

N0

 

Nama

 

jenis

 

kelamin

 

      

cd4

 

umur

 

MORFOLOGI

 

1

 

bud

      

L

 

47

 

39

 

1

2

 

belind

   

P

 

229

 

31

 

1

3

 

bis

 

ha

   

P

 

29

 

52

 

1

4

 

b

 

fran

   

L

 

239

 

33

 

5

5

 

a

 

s

      

P

 

76

 

47

 

1

6

 

teringet

 

P

 

346

 

37

 

5

7

 

ain

      

P

 

174

 

39

 

1

8

 

ast

      

L

 

171

 

30

 

2

9

 

am

       

L

 

999

 

30

 

1

10

 

and

      

L

 

231

 

47

 

1

11

 

ana

      

P

 

94

 

27

 

1

12

 

A

 

fad

    

L

 

17

 

30

 

5

13

 

d

 

sah

    

L

 

12

 

29

 

1

14

 

doriana

  

P

 

225

 

31

 

1

15

 

dop

      

L

 

7

 

31

 

1

16

 

deri

     

L

 

142

 

32

 

1

17

 

dew

      

P

 

326

 

26

 

1

18

 

ern

      

P

 

59

 

39

 

1

19

 

est

      

P

 

147

 

37

 

1

20

 

follito

  

L

 

45

 

37

 

1

21

 

fer

      

L

 

18

 

33

 

1

22

 

fan

      

P

 

208

 

48

 

1

23

 

hend

 

to

  

L

 

129

 

27

 

1

24

 

hadi

 

i

   

L

 

22

 

37

 

1


(2)

26

 

helv

     

P

 

140

 

26

 

1

27

 

her

 

andr

 

L

 

279

 

32

 

1

28

 

hendry

   

L

 

15

 

30

 

1

29

 

hendri

 

d

 

L

 

20

 

36

 

1

30

 

hasnb

    

L

 

61

 

31

 

5

31

 

hary

     

L

 

160

 

36

 

2

32

 

jepper

   

L

 

50

 

26

 

1

33

 

jonip

    

L

 

90

 

32

 

1

34

 

jeffg

    

L

 

94

 

30

 

4

35

 

julia

 

t

  

L

 

374

 

38

 

1

36

 

Bangkit

  

L

 

38

 

33

 

2

37

 

juhari

   

L

 

364

 

29

 

1

38

 

pawen

    

P

 

159

 

46

 

1

39

 

pardis

   

L

 

24

 

28

 

1

40

 

mirna

    

P

 

185

 

37

 

1

41

 

nurmi

    

P

 

160

 

27

 

1

42

 

mart

     

P

 

287

 

25

 

1

43

 

ramat

    

L

 

6

 

29

 

1

44

 

rudica

   

L

 

97

 

28

 

1

45

 

roh

      

P

 

51

 

32

 

1

46

 

rudi

     

L

 

157

 

36

 

2

47

 

siti

 

A

   

P

 

287

 

27

 

1

48

 

suw

 

gun

  

L

 

231

 

46

 

1

49

 

supri

    

L

 

82

 

43

 

1

50

 

yahya

    

L

 

143

 

42

 

1

51

 

vicky

    

L

 

285

 

21

 

1

52

 

yusi

     

P

 

40

 

18

 

1

53

 

girang

   

P

 

12

 

45

 

1

54

 

wantua

   

L

 

3

 

31

 

1

55

 

rebecca

  

P

 

115

 

27

 

2


(3)

57

 

parningo

 

P

 

27

 

25

 

1

58

 

martin

   

L

 

312

 

38

 

1

59

 

mariani

  

P

 

269

 

42

 

1

60

 

marheani

 

P

 

248

 

36

 

1

61

 

frans

 

a

  

L

 

17

 

27

 

1

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan umur

Statistics

Umur pasien

N Valid 61

Missing 0

Mean 33.62

Median 32.00

Mode 27

Std. Deviation 7.076

Variance 50.072

Range 34

Minimum 18


(4)

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 37 60.7 60.7 60.7

Perempuan 24 39.3 39.3 100.0

Total 61 100.0 100.0

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan gambaran klinis

morfologi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid erupsi eksantematosa 50 82.0 82.0 82.0

stevens johnsons syndrome 6 9.8 9.8 91.8

eritroderma 1 1.6 1.6 93.4

lain-lain 4 6.6 6.6 100.0


(5)

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4

cd4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid >500 1 1.6 1.6 1.6

350-499 3 4.9 4.9 6.6

200-349 16 26.2 26.2 32.8

<200 41 67.2 67.2 100.0

Total 61 100.0 100.0

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis

morfologi * jeniskelamin Crosstabulation

jeniskelamin

Total

Laki-laki Perempuan

morfologi erupsi eksantematosa Count 28 22 50

% of Total 45.9% 36.1% 82.0%

stevens johnsons syndrome Count 5 1 6

% of Total 8.2% 1.6% 9.8%

eritroderma Count 1 0 1

% of Total 1.6% .0% 1.6%

lain-lain Count 3 1 4

% of Total 4.9% 1.6% 6.6%

Total Count 37 24 61


(6)

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan kelompok usia dan gambaran klinis

Distribusi karakteristik kejadian erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4 dan gambaran klinis

morfologi * cd4 Crosstabulation

cd4

Total

>500 350-499 200-349 <200

morfologi erupsi eksantematosa Count 1 2 14 33 50

% of Total 1.6% 3.3% 23.0% 54.1% 82.0%

stevens johnsons syndrome

Count 0 1 0 5 6

% of Total .0% 1.6% .0% 8.2% 9.8%

eritroderma Count 0 0 0 1 1

% of Total .0% .0% .0% 1.6% 1.6%

lain-lain Count 0 0 2 2 4

% of Total .0% .0% 3.3% 3.3% 6.6%

Total Count 1 3 16 41 61

% of Total 1.6% 4.9% 26.2% 67.2% 100.0%

morfologi * umur Crosstabulation

umur

Total 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60

morfologi erupsi eksantematosa Count 1 18 21 9 1 50

% of Total 1.6% 29.5% 34.4% 14.8% 1.6% 82.0% stevens johnsons

syndrome

Count 0 2 4 0 0 6

% of Total .0% 3.3% 6.6% .0% .0% 9.8%

eritroderma Count 0 1 0 0 0 1

% of Total .0% 1.6% .0% .0% .0% 1.6%

lain-lain Count 0 1 3 0 0 4