Erupsi Obat Alergik EOA .1 Definisi

12 2.2 Erupsi Obat Alergik EOA 2.2.1 Definisi Erupsi Obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik. Yang dimaksudakan dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, pofilaksis, dan pengobatan Hamzah, 2008.

2.2.2 Klasifikasi dan Mekanisme Erupsi Obat Alergi

Kejadian erupsi obat bisa disebabkan oleh hasil dari reaksi immunologik dan non-imunologik terhadap obat dan juga reaksi metabolit dari obat. Sekitar 80 kejadian erupsi obat dapat diprediksikan Breathnach, 2004. Tabel 2.2 Klasifikasi Erupsi Obat Alergi Non-Imunologik Imunologik Dapat diprediksi Reaksi tipe I anafilaksis Overdosis Reaksi tipe II sitostatik Efek samping Reaksi tipe III kompleks imun Toksisitas kumulatif Reaksi tipe IV tipe lambat Toksisitas tipe lambat Efek fakultatif Lain-lain Interaksi obat Reaksi Jarisch–Herxheimer Gangguan metabolik Reaksi mononukleosis-ampisilin Eksaserbesi penyakit Tidak dapat diprediksi Intoleransi Idiosinkrasi Sumber. Breathnach, 2004. Rook’s Textbook Of Dermatology Ed VII Universitas Sumatera Utara 13 A Erupsi obat non-imunologik 1. Overdosis obat Erupsi obat yang terjadi dapat diprediksikan berdasarkan reaksi farmakologis obat dan dosis obat yang dikonsumsi. Hal ini disebabkan pengambilan obat yang berlebihan dan melebihi dosis standar yang dibenarkan. Individu dengan penyakit ginjal juga berisiko mengalami overdosis walaupun diberikan dosis standar. Interaksi obat juga dapat mengakibatkan overdosis. 2. Efek samping obat Efek samping obat adalah reaksi tidak diinginkan yang berlaku bersamaan dengan efek terapeutik. Contohnya adalah efek mengantuk dari pengambilan obat anti-histamin, alopesia anagen karena obat sitotoksik dan lain-lain. 3. Toksisitas Kumulatif Penggunaan obat menahun bisa menyebabkan toksisitas kumulatif. Akumulasi obat pada kulit dapat menyebabkan perubahan warna kulit, hasil dari penumpukan obat di sel fagosit dan membran mukosa. Contohnya administrasi menahun obat bismuth, emas, perak, raksa dan klorpromazin. 4. Toksisitas tipe lambat Contoh gejala toksisitas tipe lambat adalah keratosis dan tumor kulit. Penyakit kulit ini berhubungan dengan pajanan arsenik inorganik dan terapi methotrexate yang membutuhkan waktu yang lama untuk menimbulkan efek toksik pada kulit. Universitas Sumatera Utara 14 5. Efek fakultatif Obat antibiotika dapat menyebabkan perubahan flora normal pada kulit dan membran mukosa. Antibiotika yang bekerja merusak bakteri gram positif pada kulit akan mempercepat pembiakan bakteri gram negatif yang resisten. Obat antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan pertumbuhan jamur pada kulit dan membran mukosa. Kortikosteroid dapat mempercepat penyebaran tinea dan eritrasma. Antibiotika seperti klindamisin dan tetrasiklin dihubungkan dengan penyakit enterocolitis pseudomembranosa disebabkan oleh bakteri Clostridium difficile Breathnach, 2004. 6. Interaksi obat Interaksi obat dapat berlaku pada pemberian dua atau lebih obat pada waktu yang bersamaan. Mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yakni interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik Setiawati, 2007. 7 . Perubahan status metabolisme tubuh Setengah obat dapat mengakibatkan erupsi obat melalui cara merubah status metabolisme dan nutrisi tubuh. Fenitoin akan mengganggu absorpsi dan metabolisme asam folat dan meningkatkan risiko penyakit stomatits aphthous. Isoretinoin akan meningkatkan kadar VLDLVery Low Density Lipoprotein dalam darah dan meningkatkan resiko terjadinya xanthoma. 8. Aktivasi jalur efektor non-imunologik Reaksi anafilaktoid Obat seperti opiat, kodein, amfetamin, polimiksin B, atropin, hidralazin, pentamidin , kuinin, dan zat radiokontras dapat memicu pelepasan mediator sel mast secara langsung dan menyebabkan Universitas Sumatera Utara 15 urtikaria dan angioedema. Zat radiokontras dapat memicu aktivasi komplemen melalui jalur antibodi independen. 9. Eksaserbasi dari suatu penyakit Antara contoh obat yang menyebabkan eksaserbasi penyakit kulit adalah lithium, β-blocker, kortikosteroid, simetidin, penisilin dan sulfonamida. Penggunaan litium dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit akne dan psoriasis. β-blocker juga dapat menginduksi penyakit dermatitis psoriasiformis. Apabila penggunaan kortikosteroid dihentikan akan menyebabkan eksaserbasi psoriasis. Penggunaan simetidin, penisilin dan sulfonamid juga dapat menyebabkan eksaserbasi lupus eritematosus LE Breathnach, 2004. B Erupsi obat imunologik Secara garis besar terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh Coomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikut salah satu dari ke-4 jalur ini Hamzah, 2008. 1. Tipe I reaksi cepat, reaksi anafilaktik Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah IgE yang mempunyai affinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi mastosit dan basofil dengan dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain histamin, serotonin, bradikin , heparin dan SRSASlow Reacting Substance of Anaphylaxis . Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam efek antara lain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema dan Universitas Sumatera Utara 16 syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependent. 2. Tipe II Reaksi sitostatik Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat antigen yang memerlukan penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel, sehingga reaksi tipe II tersebut disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Contohnya ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, sulfonamida dan isoniazid. Erupsi obat yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe II ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida, analgesik dan antipiretik Hamzah, 2008. 3. Tipe III Reaksi kompleks imun Kompleks imun akan mengaktivasi kaskade komplemen dan pembentukan anafilatoksin seperti fragmen protein komplemen C3a dan C5a. Komplemen ini akan memicu pelepasan mediator dari mastosit dan basofil dan mengakibatkan urtikaria dan anafilaksis. Antara penyakit lain yang diperantarai reaksi tipe ini ialah serum sickness, vaskulitis dan reaksi arthus Breathnach, 2004. 4. Tipe IV Reaksi alergik seluler tipe lambat Reaksi ini melibatkan limfosit, APCAntigen Presenting Cell dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Seterusnya limfosit T akan tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam Universitas Sumatera Utara 17 setelah pajanan terhadap antigen. Reaksi ini seterusnya akan melepaskan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini ialah dermatitis kontak alergi Hamzah, 2008. C Lain –lain 1. Reaksi Jarisch–Herxheimer Reaksi ini adalah reaksi eksaserbasi fokal pada luka infeksi apabila diberikan terapi lanjutan antimikroba. Reaksi ini dikaitkan dengan keluarnya zat-zat imunologis dan farmakologis dari mikroorganisme dan jaringan yang rusak. Contohnya seperti pemberian terapi lanjutan griseofulvin pada penderita sifilis yang diterapi awal dengan penisilin. Reaksi ini juga berlaku pada pemberian dietilcarbamazin pada pasien onchocerciasis dan terapi tiabendazol pada pasien strongiloidiasis. 2. Reaksi infeksius mononukleosis-ampisilin Ampisilin merupakan penyebab tersering terjadinya erupsi obat pada pasien dengan mononukleosis dan leukemia limfatik. Dikatakan adanya reaksi sensitisasi terhadap obat ampisilin didalam tubuh Breathnach, 2004.

2.2.3. Epidemiologi Erupsi obat alergi

Hasil penelitian yang melibatkan 25 pasien erupsi obat menyebutkan umur pasien adalah 9-52 tahun dan umur rata-rata adalah 30 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita erupsi obat berbanding wanita dengan rasio 1:0,8. Golongan obat yang tesering adalah golongan antibiotika56, anti-konvulsan24 dan AINS12. Gambaran klinis yang tersering adalah fixed drug eruption 56, erupsi eksantematosa 12 dan urtikaria12Neuopane et al, 2012. Hasil penelitian di Iran menyebutkan umur rata-rata pasien erupsi obat alergik adalah 30-39 tahun. Manifestasi kulit yang terbanyak adalah eritroderma 41.3 dan ruam makulopapular26Jelvehgari et al, 2009. Universitas Sumatera Utara 18 Penelitian lain tentang karakteristik pasien erupsi obat alergik menyebutkan usia rata-rata pasien dengan erupsi obat alergik adalah sekitar 20-39 tahun dan rasio laki-laki dan wanita adalah 0,87:1 Pudukadan et al, 2004.

2.2.4 Gambaran erupsi obat alergi

Gambaran erupsi obat alergik bisa berupa eksantematosa, urtikariaangioedema, reaksi anafilaksis dan anafilaktoid, fixed drug eruption dan serum sickness . Gejalanya bisa juga menyerupai dermatosis, nekrosis kulit, pigmentasi, alopesia, hipertrikosis dan perubahan kuku Wolff, 2009. 1. Erupsi eksantematosa Erupsi eksantematosa juga dikenal sebagai erupsi morbiliformis dan makulopapular. Lesi ini adalah lesi tersering pada erupsi obat alergi. Lesi ini bermula dari batang tubuh dan seterusnya menyebar ke perifer dan kedua ekstremitas secara simetris. Lesi ini juga timbul selepas 1 minggu dimulainya terapi dan membaik dalam waktu 7 hingga 14 hari. Perubahan ini bisa terlihat dengan adanya perubahan warna kulit dari merah cerah ke merah kecoklatan disusuli dengan deskuamasi kulit. Diagnosa bandingnya adalah eksantem virus, penyakit vaskuler kolagen dan infeksi riketsia dan bakteri. 2. Erupsi urtikariaangioedema Erupsi urtikaria ditandai dengan papular pruritus kemerahan dengan ukuran yang bervariasi. Lesi ini bisa timbul dan menghilang dalam waktu 24 jam. Apabila lapisan dermis dan jaringan subkutan terjadi pembengkakan, ia disebut angioedema. Angioedema sering berlaku secara unilateral dan bisa berlangsung selama 1 - 2 jam. Urtikaria dan angiodema terkait obat sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe anafilaktik. Gejala dan simptom dari reaksi anafilaktik termasuklah pruritus, urtikaria, angioedema, mual muntah, diare, nyeri abdomen, edema laring, bronkospasme dan hipotensi. Universitas Sumatera Utara 19 3. Erupsi pustular Erupsi pustular dikaitkan dengan penggunaan iodida, bromida, hormon adrenokortikotropik, glukokortikoid, isoniazid, litium, aktinomisin D dan fenitoin. Pustul sering timbul pada bagian atipikal seperti tangan dan kaki. AGEP Acute Generalised Exanthematous Pustulosis adalah lesi yang dikaitkan dengan leukositosis dan penggunaan antibiotika golongan β-laktam dan makrolida dan antihipertensi tipe penghambat kanal kalsium. Lesi ini muncul 1-3 minggu selepas pemberian obat dan disusuli dengan deskuamasi generalisata 2 minggu selepasnya. 4. Erupsi Bulosa Pseudoporfiria merupakan gangguan fototoksik pada kulit yang menyerupai porfiria kutanea tarda pada dewasa dan protoporfiria eritropoeitik pada anak. Pseoporfiria dicirikan dengan fragilitas kulit, pembentukan bula dan sikatriks pada kulit yang terpajan sinar matahari dan berlaku pada kadar porfirin darah yang normal. Obat yang diduga menyebabkan pseudoporfiria adalah tetrasiklin, furosemid dan naproxen. Kelainan ini bisa timbul 1 hari selepas pemberian obat atau bisa muncul setelah 1 tahun terapi dimulai. 5. Fixed Drug Eruption FDE Kelainan ini umumnya berupa bercak makula yang kemerahan, eritem, dan soliter dan bisa berkembang menjadi plak edematus dan lesi tipe bulosa. FDE sering dijumpai di bagian genitalia, perianal dan bagian kulit yang lain. Obat penyebab yang tersering adalah ibuprofen, sulfonamida, naproxen dan tetrasiklin. 6. Nekrosis kulit disebabkan antikoagulan Kelainan ini timbul 3-5 hari setelah terapi antikoagulan dimulai. Obat-obat yang bisa menginduksi nekrosis kulit adalah kumarin dan heparin. Plak kemerahan dan nyeri akan timbul di bagian yang kaya Universitas Sumatera Utara 20 adiposa seperti di payudara dan pinggul. Plak ini akan membentuk vesikel, ulkus dan membentuk daerah nekrotik. Nekrosis kulit berlaku karena pembentukan trombi oklusif yang paradoksikal di venula subkutan karena status hiperkoagulasi sementara. Status ini diakibatkan oleh supresi dari antikoagulansia protein C melebihi dari supresi faktor prokoagulansia alami. 7. Erupsi likenoid disebabkan obat Gejala klinis liken planus disebabkan obat hampir tidak dapat dibedakan dengan liken planus idiopatik. Gejala ini umumnya berupa ekzematosa dengan makula keunguan yang timbul di batang tubuh. Secara histologi, erupsi ini ditandai dengan parakeratosis fokal, gangguan fokal pada stratum granular, badan-badan sitoid pada stratum korneum dan granulosum, adanya eosinofil dan sel plasma pada infitrat imflamatori dan infiltrat disekitar pembuluh darah. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh obat β-bloker, penisilamin dan ACE-inhibitor. 8. Vaskulitis disebabkan obat Obat penyebab vaskulitis adalah propiltiourasilPTU, hidralazin, allopurinol, sefaklor, minosiklin, penisilamin, fenitoin dan isotretinoin. Gejala bagi vaskulitis atas purpura yang dijumpai di ekstremitas bawah. Onset bagi berlakunya vaskulitis adalah 7-21 hari setelah pemberian obat Shear et al, 2008. 9. Nekrolisis epidermal Stevens Johnsons Syndrome SJS dan Toxic Epidermal Necrolysis TEN adalah reaksi kulit bersifat fatal yang dicirikan dengan nekrosis meluas dan terkelupasnya jaringan epidermis dari kulit. Reaksi sitotoksik terhadap keratinosit menyebabkan apoptosis yang meluas. Lesi bermula dengan makula eritematosa, purpura dan kemerahan yang menyebar secara simetris di bagian wajah, batang tubuh dan extremitas atas. Kemudian ia Universitas Sumatera Utara 21 berlanjut menjadi lesi nekrotik dan seterusnya berkembang menjadi bula yang kendur dan mudah pecah. Epidermis yang nekrosis akan mudah terlepas dan menampakkan lapisan dermis yang kemerahanAllanore et al, 2008.

2.2.5 Diagnosis Erupsi Obat Alergi

Diagnosis erupsi obat alergi adalah berdasarkan anamnesis yang teliti seperti riwayat obat-obatan, kelainan kulit yang timbul setelah penberian obat, dan adanya gatal disertai demam subfebril. Bisa juga dilakukan observasi bagi menentukan distribusi dan morfologi kelainan kulit yang timbul Hamzah, 2008. Bagi menentukan penyebabnya, beberapa kriteria harus dikenalpasti. Antaranya riwayat pemakaian obat sebelumnya, jenis-jenis obat yang pernah dipakai, lama penggunaan obat, dosis obat dan efek dari penghentian dan pengambilan ulang obat. Bisa juga dilakukan tes kulit seperti uji tusuk, uji gores dan uji tempel jika diduga adanya reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat Breathnach ,2004.

2.2.6 Penatalaksanaan erupsi obat alergi

Jelaslah bahwa pencegahan lebih baik dari mengobati. Penggunaan obat yang menimbulkan erupsi sebelumnya haruslah dihentikan. Penderita harus ditanyakan tentang riwayat alergi obat dan riwayat peresepan obat yang diberikan. Obat yang diduga menyebabkan alergi haruslah digantikan dengan obat lain. Pemberian terapi farmakologi adalah berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Bagi kebanyakan gejala minor, cukup dihentikan penggunaan obat penyebab erupsi dan terapi simptomatis dengan emolien. Penggunaan kortisteroid topikal dan antihistamin sistemik juga harus diberikan sesuai indikasi Breathnach, 2004. A Sistemik 1. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan ialah tablet prednison 5mg. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema Universitas Sumatera Utara 22 nodosum, eksantem fikstum,dan AGEP karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah 3x10 mg prednison perhari. Pada eritroderma dosisnya ialah 3x10 mg sampai 4x10 mg sehari. 2. Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif juga dapat diberikan jika ada pruritus. Pada urtikaria tidak diberikan antihistamin karena efeknya kurang berbanding pemberian kortikosteroid. B Topikal Pengobatan topikal tergantung kondisi lesi. Jika kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak , contohnya bedak salisilat 2 ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol 0,5-1 untuk megurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa, perlu digunakan kompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantem fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid seperti krim hidrokostison 1 -2. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi , dapat diberi salep lanolin 10 Hamzah, 2008. 2.3. Erupsi obat alergi pada Penderita HIVAIDS 2.3.1. Epidemiologi