BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Defenisi Skizofrenia
Menurut Stuart 2002 Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan
kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta
memecahkan masalah sedangkan menurut Hawari 2001 skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat
mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat
dan biasanya dalam jangka panjang . Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan
penderita maupun anggota – anggota keluarganya. Gangguan ini dapat mengganggu persepsi, pikiran, pembicaraan, dan gerakan seseorang. Nyaris
hampir semua aspek fungsinya sehari – hari terganggu Durand, 2007.
1.2 Tipe Skizofrenia
Berikut ini adalah tipe-tipe dari skizofrenia dari DSM-IV-TR . Diantaranya yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.2.1 Tipe Paranoid
Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijmpai di negara manapun. Gambaran klinis di dominasi oleh waham-waham yang secara relatif
stabil, sering kali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Gangguan
afektif, dorongan kehendak volition dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.
Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum : 1.2.1.1 Waham-waham kejaran, rujukan reference, “exalted birth”
merasa dirinya tinggi, istimewa, misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan;
1.2.1.2 Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit whistling, mendengung humming, atau bunyi tawa laughing;
1.2.1.3 Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada
tetapi jarang menonjol. Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang akut, tetapi
sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat diberikannya deskripsi secara jelas mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif
biasanya kurang menumpul di bandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang ringan mengenai ketidakserasian incongruity umum dijumpai
Universitas Sumatera Utara
seperti juga gangguan suasana perasaan mood seperti iritabilitas, “negatif” seperti pendataran afektif, dan hendaya dalam dorongan kehendak volition
sering dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya PPDGJ III, 1993. Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodic,
dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus-kasus yang kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk
membedakan episode-episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia yang lebih tua dari pada bentuk-bentuk hebefrenik dan katatonik PPDGJ III,
1993.
1.2 Tipe Disorganized tidak terorganisasi
Kontras dengan skizofrenia tipe paranoid, para penderita skizofrenia tipe terdisorganisasi memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata dalam pembicaraan
dan perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau afek tidak pas, seperti tertawa dungu pada saat yang tidak tepat American Psychiatric
Association dalam Durand, 2007. Bila ada delusi atau halusinasi, mereka cenderung tidak di organisasikan diseputar vena sentral tertentu, seperti pada tipe
paranoid, tetapi lebih terfragmentasi. Tipe ini sebelumnya disebut tipe hebefrenik. Individu-individu dengan diagnosis ini menunjukkan tanda-tanda kesulitan sejak
usia dini, dan masalah mereka sering kali bersifat kronis, jarang menunjukkan remisi perbaikan gejala yang menjadi ciri bentuk-bentuk lain gangguan ini
Harley-Bayle, Sarfati, dan Passerieu dalam Durand, 2007.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tipe Katatonik
Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang essensial dan dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti
hiperkinesis dan stupor, atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan constrained dapat di pertahankan untuk
jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan violent mungkin merupakan gambaran keadaan yang mencolok. Gejala katatonik
terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada saat setiap subtipe skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu adalah lebih dari perilaku berikut
ini harus mendominasi gambaran klinisnya : 1.3.1
Stupor amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan atau autisme;
1.3.2 Kegelisahan aktivitas motor yang tampak tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal; 1.3.3
Berpose secara sukarela mengambil dan mempertahankan sikap tubuh tertentu tang tidak wajar atau “bizarre”;
1.3.4 Negativisme perlawanan yang jelas tidak bermotif
terhadap semua intruksi atau upaya untuk digerakkan, atau bergerak kearah yang berlawanan ;
1.3.5 Rigiditas rigidity : mempertahankan sikap tubuh yang
kaku melawan upaya untuk menggerakkannya; 1.3.6
“waxy flexibility” mempertahankan posisi anggota gerak dan tubuh yang dilakukan dari luar; dan
Universitas Sumatera Utara
1.3.7 Gejala-gejala lain seperti otomatisme terhadap perintah
command automatism : ketaatan secara otomatis terhadap perintah, dan perseverasi kata-kata serta kalimat-kalimat.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat suatu petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala-gejala
katatonik dapat juga diprovokasikan oleh penyakit otak, gangguan metabolic, atau alhokol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan
mood PPDGJ III, 1993.
1.4 Tipe Undifferentiated Tak Terbedakan
Orang-orang yang tidak pas benar dengan tipe-tipe di atas diklasifikasikan mengalami skizofrenia tipe tak terbedakan. Mereka meliputi
orang-orang yang memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, terdisorganisasihebefrenik, atau katatonik Durand, 2007.
1.5 Tipe Residual
Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut
yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun belum tentu irreversible.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan brikut ini harus dipenuhi :
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.1 Gejala “negatif” skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk; 1.5.1.2
Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia;
1.5.1.3 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun di mana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang minimal dan telah timbul sindrom “negatif”
skizofrenia; 1.5.1.4
Tidak terdapat demensia atau penyakitgangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya
negatif tersebut PPDGJ III, 1993.
1.6 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1 populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden
Universitas Sumatera Utara
skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural Sadock, 2003.
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan sekitar 0,2-1,5. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur
36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila
dibandingkan dengan laki-laki Durand, 2007.
1.7 Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain :
1.7.1 Faktor Genetik Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia, dilakukan di tahun
1930-an, menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang
menderita skizofrenia adalah berhubungan dekatnya persaudaraa tersebut. Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang di adopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orangtua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama
Universitas Sumatera Utara
besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh saudara kandungnya KaplanSadock, 2010.
Faktor genetik skizofrenia adalah Menurut Durand 2007 Sejumlah faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan dalam proses persalinan, dan stressor
psikologis. Penting untuk mempelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia mengembangkan
gangguan stresss. Stressor tekanan yang mengakibatkan stres dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan. Skizofrenia
melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa
gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang
yang mengalami gangguan ini dari ringan sampai berat dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah
anggota keluarga yang memiliki penyakit ini Durand, 2007. Kallman menunjukkan bahwa tingkat keparahan gangguan orangtua
mempengaruhi kemungkinan anaknya untuk mengalami skizofrenia. Semakin parah skizofrenia orangtuanya, semakin besar kemungkinan anak-anaknya untuk
mengembangkan gangguan yang sama. Memiliki keluarga yang mengalami skizofrenia juga membuat sesorang memiliki kemungkinan lebih besar untuk
Universitas Sumatera Utara
memiliki gangguan yang sama di banding seseorang dalam populasi secara umum yang tidak memiliki keluarga semacam itu hanya sekitar 1 Durand, 2007.
1.7.2 Faktor Biologis Pada penderita skizofrenia di temukan perubahan-perubahan atau
gangguan pada sistem tranmisi sinyal penghantar syaraf neuro-transmitter dan reseptor di sel-sel saraf otak neuron dan interaksi zat neuro-kimia seperti
dopamine dan serotonin; yang ternyata mempengaruhi fungsi-fungsi kognitif alam fikir, afektif alam perasaan dan psikomotor perilaku yang menjelma
dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif Skizofrenia.
1.7.3 Faktor Psikososial Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa
adalah adanya stressor psikososial. Stressor Psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang anak, remaja
atau dewasa sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan – keluhan di bidang kejiwaan
berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat Hawari, 2001. Pada sebahagian orang perubahan-perubahan sosial yang serba cepat
dapat merupakan stressor psikososial, yaitu antara lain : 1.7.3.1 Pola kehidupan masyarakat dari semula sosial-religius cenderung ke
arah pola kehidupan masyarakat individual, materialistis dan sekuler.
Universitas Sumatera Utara
1.7.3.2 Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.
1.7.3.3 Struktur keluarga yang semula keluarga besar extended family cenderung ke arah keluarga inti nuclear family bahkan sampai pada
pola orang tua tunggal single parent family. 1.7.3.4 Hubungan kekeluargaan silaturahmi yang semula erat dan kuat
cenderung menjadi longgar dan rapuh. Masing-masing anggota keluarga seolah-olah berjalan sendiri-sendiri nafsi-nafsi; sehingga
seakan-akan hidup dalam keterasingan alienation. 1.7.3.5 Nilai-nilai moral-etika agama dan tradisional masyarakat, cenderung
berubah menjadi masyarakat sekuler dan moder serta serba boleh permissive society.
1.7.3.6 Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.
1.7.3.7 Ambisi karier dan materi yang tak terkendali dapat menggangu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat
Hawari, 2001.
2.1 Pengetahuan Keluarga
Menurut Notoatmodjo 2003, pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu dimana penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing- masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya BailonMaglaya dalam
Rasmun, 2001. Pengetahuan keluarga adalah apa yang diketahui oleh keluarga dalam
memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan dan menjaga kesehatan fisik dan mental dimana keluarga memiliki fungsi yaitu dalam memberikan kasih
sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan keluarga tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya
karena keluarga memberikan pengaruh yang sangat bermakna bagi keadaan anggota keluarganya.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu, dalam posisi dan situasi
tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.Berbagai peranan yang terdapat didalam
keluarga menurut Effendy 1998, sebagai berikut: 2.1.1 Peranan ayah, ayah sebagai suami dari istri dan ayah bagi anak-
anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai angghota dari
kelompok sosial serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Peranan ibu, sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
2.1.3 Peranan anak, anak-anak melaksanakan peranan psikologis sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan
spiritual
Menurut Keliat 1996 Pentingnya peran serta keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa sangat penting maknanya karena :
2.1.1 Keluarga adalah tempat klien belajar dan mengembangkan berbagai perilaku.
2.1.2 Keluarga merupakan lingkungan yang dikenal klien. 2.1.3 Keluarga merupakan system pendukung utama yang merawat
klien. 2.1.4 Program pendidikan klien dan keluarga dapat mengurangi angka
kambuh. 2.1.5 Perawatan paripurna menyangkut pasien dan system yang terkait
keluarga dan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu pengetahuan yang harus di miliki keluarga dalam pengobatan pasien gangguan jiwa adalah sebagai berikut siregar, 2006 :
2.1.1 Terapi Multi Obat Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang
digunakan pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat
terjadi. Kesamaan penampilan misalnya, ukuran, warna, dan bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi
dalam penggunaan multi obat. 2.1.2 Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal
kerja pasien akan terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat
demikian. Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka
juga perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh
dengan suatu regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan. Oleh karena itu pasien perlu di yakinkan bahwa suatu obat yang kerja lebih lama
adalah sama efektif dengan obat yang kerja lebih singkat dan pemberian
Universitas Sumatera Utara
obat dalam jangka waktu yang kurang sering tidak hanya tepat, tetapi juga di inginkan.
2.1.3 Durasi dan Terapi Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi
lebih besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam
pasien yang mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau
memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang berguna untuk
meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan
diskusi kelompok.
2.1.4 Efek Merugikan Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan,
memungkinkan menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan faktor penting sebagaimana
diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek merugikan.
Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko.Penurunan
Universitas Sumatera Utara
mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka
tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi
seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu
peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.
2.1.5 Pasien Asimtomatik Tidak Ada Gejala atau Gejala Sudah Reda Dapat dimengerti adalah sulit meyakinkan seorang pasien tentang
nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada situasi lain, manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata,
termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis profilaksis, dimana ketidakpatuhan ditemukan pada anak-anak yang mendapatkan
penissilin dan di tulis sebagai profilaksis mencegah terjadinya demam rematik.
Dalam keadaan lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama
menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama
terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien
Universitas Sumatera Utara
wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
2.1.6 Harga Obat Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat
yang relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya
yang terlibat telah disebut oleh beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus lain obat
digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.
2.1.7 PemberianKonsumsi Obat Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk
patuh pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau
penggunaan alat ukur yang tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL. Ketidakakurasian
penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok
teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur
bagi pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk
Universitas Sumatera Utara
penggunaan cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting
untuk memberikan informasi serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah obat yang dimaksudkan.
3.2.8. Rasa Obat Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan
penggunaan cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum
dilakukan oleh industri farmasi untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah pemberian obat kepada pasien.
Masalah kepatuhan berkaitan dengan rasa obat-obatan tidak terbatas . Keberatan terhadap rasa sediaan cair kalium klorida sering di
ajukan, sejumlah pasien menghentikan penggunaan obat ini karena alasan rasa.
3.1 Kepatuhan Pasien
Kepatuhan Compliance, juga dikenal sebagai ketaatan adherence adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang
mengobatinya. Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program pengobatan , menggunakan medikasi secara tepat,
dan mengikuti anjuran perubahan perilaku atau diet. Perilaku kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan Kaplan Sadock, 2010.
Kepatuhan dalam pengobatan medication compliance adalah
mengkonsumsi obat-obatan yang di resepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat dan pengobatan hanya akan efektif apabila anda mematuhi peraturan dalam
penggunaan obat Maharani, 2007. Sackett dalam Niven 2002 mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai
“Sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”. Berikut ini 5 faktor yang mendukung kepatuhan pasien,
Feuerstein et al, 1986 dalam Niven 2002 juga menyampaikan suatu program tindakan yang terdiri dari 5 elemen :
3.1.1 Pendidikan Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan
tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
3.1.2 Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan. 3.1.3 Modifikasi faktor lingkungan dan Sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
kepatuhan terhadap program-program pengobatan. 3.1.4 Perubahan Model Terapi
Universitas Sumatera Utara
Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini
komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang
lebih kompleks. 3.1.5 Meningkatkan Interaksi professional kesehatan dengan pasien.
Merupakan suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien mebutuhkan
penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang di resepkan serta pemberiannya di ikuti dengan benar. Jika terapi ini akan di lanjutkan setelah
pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu dengan benar dan tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-
penyakit menahun. Menurut Tambayong 2002 terdapat 5 faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan yaitu kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan
tersebut, tidak mengertinya tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang di tetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar
rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat
itu kepada pasien. Menurut Siregar 2006 yang dimaksud dengan kepatuhan dalam
pengobatan adalah mengkonsumsi obat-obatan yang di resepkan pada waktu dan
Universitas Sumatera Utara
dosis yang tepat. Kepatuhan dapat didefenisikan sebagai tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat media atau kesehatan, pasien yang
berpengetahuan tentang obatnya menunjukkan ketaatan yang meningkat terhadap regimen obat yang ditulis sehingga menghasilkan hasil terapi yang meningkat.
Dibawah ini terdapat jenis kepatuhan, akibat dari ketidakpatuhan dan peningkatan kepatuhan yaitu sebagai berikut :
3.1.1 Jenis Ketidakpatuhan Pengobatan akan efektif apabila mematuhi aturan dalam pengobatan,
Menurut Siregar 2006 adapun beberapa jenis ketidakpatuhan yang terjadi adalah disebabkan oleh sebagai berikut :
3.1.2 ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu
pemberian konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya.
3.1.3 tidak menebus resep obatnya , yaitu karena pasienkeluarga pasien tidak merasa memerlukan obat atau tidak menghendaki
mengambilnya. Ada juga pasien tidak menebus resepnya karena tidak mampu membelinya.
3.1.4 Kesalahan pada waktu konsumsi obat, yaitu dapat mencakup situasi yang obatnya di konsumsi tidak tepat dikaitkan dengan
waktu makan. contohnya : 1 jam sebelum makan dan 2 jam setelah makan
Universitas Sumatera Utara
3.1.5 Penghentian pemberian obat sebelum waktunya,pasien harus di beritahu pentingnya penggunaan obat antibiotik yang di konsumsi
sampai habis selama terapi 3.1.6 Pemberian obat kurang dari dosis yang tertulis dan penghentian
obat sebelum waktunya, faktor lain yaitu ketidakpatuhan mencakup pengetiketan yang tidak benar dan penggunaan “sendok
teh” yang mempunyai berbagai volume yang berbeda. 3.1.7 pasien rawat jalan yang tidak patuh karena tidak mengerti instruksi
penggunaan dengan benar dan ada yang salah menginterpretasikan, Selain itu kemungkinan ketidakpatuhan
pasien rawat jalan karena kurangnya pengawasan terapi.
3.1.2 Akibat Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang
kurang. Dengan cara demikian, pasien kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara
bertahap menjadi buruk. Seorang pasien menghentikan penggunaan antibiotik untuk
pengobatan suatu infeksi apabila gejala telah mereda, dan karenanya tidak menggunakan semua obat yang ditulis, Hal ini menyebabkan kembali
kekambuhan, penyakit kambuh lagi karena diakibatkan oleh ketidakpatuhan dari pada disebabkan timbulnya resisten terhadap obat.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakpatuhan juga dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis berlebih digunakan atau apabila obat diberikan
lebih sering dari pada yang dimaksudkan, akan ada resiko reaksi merugikan yang meningkat. Masalah yang berkaitan dengan salah
penggunaan dan penyalahgunaan obat, baik tidak disengaja maupun disengaja telah benar-benar diketahui. walaupun biasanya tidak di anggap
berkaitan dengan ketidakpatuhan, masalah penyalahgunaan obat kadang- kadang adalah akibat penggunaan obat yang berlebihan yang ditulis untuk
suatu penyakit tertentu. Implikasi lain berkenaan dengan penyimpanan obat yang tidak
digunakan sepenuhnya selama periode pengobatan yang dimaksudkan. Menyimpan obat-obatan dapat mengakibatkan ketidaktepatan
penggunaannya dikemudian hari.
3.1.3 Peningkatan Kepatuhan Dalam meningkatkan kepatuhan komunikasi merupakan cara
antara tim medis dan pasien dalam berbicara mengenai obat yang di tulis. Keefektifan komunikasi akan menjadi penentu utama kepatuhan pasien.
Dibawah ini merupakan peranan dalam menghadapi masalah ketidakpatuhan yaitu :
3.1.3.1 mengidentifikasi faktor resiko yaitu mengenal individu yang mungkin tidak patuh, sebagaimana di duga oleh suatu pertimbangan
berbagai faktor resiko yang perlu diperhitungkan dalam
Universitas Sumatera Utara
merencanakan terapi pasien, agar regimen sejauh mungkin kompatibel dengan kegiatan normal pasien.
3.1.3.2 Pengembangan rencana pengobatan yaitu rencana pengobatan harus di dasarkan pada kebutuhan pasien, apabila mungkin pasien harus
menjadi partisipan dalam keputusan pemberian regimen terapi. Untuk membantu ketidaknyamanan dan kelalaian, regimen harus
disesuaikan agar dosis yang diberikan pada waktu yang sesuai dengan jadwal pasien.
3.1.3.3 Alat bantu kepatuhan yang meliputi pemberian label dan kalender pengobatan dan kartu pengingat obat sehingga pasien mengerti
tentang penggunaan dalam membantu pasien mengerti obat yang digunakan, kapan digunakan, dan mengenai dosis obat yang
digunakan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN