bea cukai yang sederhana dan terharmonisasi yang sesuai dengan standar dan praktek terbaik internasional, 3 membangun sistem transit bea cukai untuk
memfasilitasi pergerakan barang, membangun sistem bea cukai yang sesuai, 4 modernisasi klasifikasi tarif, sistem penetapan nilai dan sistem penetapan,
dan 5 mengadopsi standar dan praktek internasional untuk menjamin sistem klasifikasi tarif yang seragam, memperhalus penghapusan bea cukai serta
memperkuat pembangunan sumberdaya manusia. 7.
Standar dan kesesuaian dengan menjalankan skema regulasi, memonitor implementasi skema regulasi, badan penilai kesesuaian memonitor
implementasi rezim regulasi tunggal, menjalankan persyaratan teknis terharmonisasi, mengimplementasikan dan memperkuat kompetensi dan
kepercayaan antar otoritas, harmonisasi prasyarat teknis serta meningkatkan infrastruktur teknis.
2.2.2 Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA
Pelaksanaan CEPT-AFTA yang dimulai pada tahun 1993 ternyata dapat berpengaruh terhadap peningkatan perdagangan intra-ASEAN-5 dari US 81 068
miliar tahun 1993 menjadi US 326 128 miliar tahun 2006. Setelah krisis ekonomi di kawasan ASEAN-5 tahun 1997-1998, perdagangan intra-anggota
mengalami peningkatan cukup baik dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai sebesar US 163 538 miliar atau tumbuh 25.52 persen dari tahun
sebelumnya. Angka perdagangan tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2005 dan 2006 secara berurutan sebesar US 284 518 miliar dan US 326 128
miliar. Meskipun telah menunjukan peningkatan, perdagangan intra selama ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan dengan
negara-negara di luar kawasan ASEAN extra-ASEAN trade. Persentase perdagangan intra terhadap total perdagangan hanya berkisar antara 19-22 persen.
Secara jelas perdagangan intra sejak 1993 sampai 2008 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Total Nilai Perdagangan Intra-ASEAN Tahun 1993-2008
US juta Tahun
Negara Indonesia
Malaysia Filipina
Singapura Thailand
1993 7 655
21 890 2 678
37 166 11 679
1994 9 138
26 204 3 889
49 729 15 070
1995 10 694
30 958 4 846
56 308 19 430
1996 13 859
37 376 6 982
61 803 21 868
1997 14 264
38 088 8 309
66 190 21 647
1998 13 906
34 551 8 249
49 645 13 752
1999 13 061
34 297 9 450
55 510 17 889
2000 17 664
40 343 10 938
71 075 23 518
2001 15 233
36 278 9 650
61 806 22 596
2002 16 929
39 372 11 071
64 404 23 718
2003 18 755
47 039 12 979
91 328 29 199
2004 24 680
57 928 15 193
109 678 37 004
2005 33 153
65 797 16 024
124 125 45 419
2006 37 862
73 270 18 410
146 102 50 484
2007 46 084
82 611 20 907
160 853 57 886
2008 68 162
85 076 21 398
171 355 69 375
Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008. Perdagangan selama ini masih sangat mengandalkan mitra dagang negara-
negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Pada tahun 2003, perdagangan dengan Amerika Serikat mencapai 14.1 persen dari total nilai
perdagangan ASEAN, kemudian disusul berturut-turut dengan Jepang 13.7 persen, Uni Eropa 11.5 persen, dan Cina 7 persen. Hal ini mencerminkan
tingkat integrasi ekonomi kawasan masih relatif rendah dibandingkan misalnya, dengan integrasi NAFTA atau Uni Eropa.
Implementasi AFTA selama ini masih menghadapi beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain lemahnya komitmen negara anggota untuk mencapai
target liberalisasi perdagangan sebagaimana yang telah disepakati dalam CEPT merupakan hambatan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AFTA. Beberapa
negara anggota sampai saat ini masih belum bersedia menurunkan tarif dan menghapuskan hambatan non-tarif atas produk-produk tertentu dengan alasan
untuk melindungi industri dalam negeri yang dianggap masih belum siap. Masalah lain adalah adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi
nasional dan keterbatasan kemampuan sumberdaya dari sebagian negara anggota dalam memasuki era liberalisasi perdagangan regional. Di samping itu, masih
adanya keraguan dari sebagian negara anggota terhadap kemampuan AFTA dalam meningkatkan perdagangan dan investasi FDI di kawasan juga ikut menghambat
pelaksanaan AFTA. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa negara anggota yang
melakukan perdagangan bebas secara bilateral dengan negara maju. Singapura, misalnya menandatangani FTA dengan New Zealand 2002, Amerika Serikat
2001, Jepang 2002, dan Australia 2002. Demikian pula FTA Thailand dengan Australia 2005. Sedangkan Malaysia dan Indonesia sampai saat ini
masih merundingkan FTA bilateral dengan Jepang. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara ASEAN untuk
mengadakan perjanjian FTA bilateral. Pertama, untuk memberi tekanan kepada negara-negara ASEAN yang selama ini masih enggan untuk meliberalisasi
perdagangannya secara penuh. Kedua, krisis ekonomi dan keuangan tahun 1997- 1998 yang melanda sebagian negara anggota telah menyebabkan kemunduran
ekonomi kawasan, khususnya di sektor ekspor dan investasi. Ketiga,
perkembangan ekonomi Cina yang pesat dikhawatirkan akan mengancam industri manufaktur dan daya saing ekspor negara-negara ASEAN Aslam, 2003.
2.2.3. Kerjasama Investasi ASEAN