Ombudsman sebagai lembaga independen yang bersifat mengawasi diharapkan tetap pada komitmen awal pembentukannya yaitu memberi dorongan
agar pekerja publik mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Bagaimanapun Ombudsman sebagai institusi pengawasan tetap berjalan di tempatnya agar
penyelenggara negara yang memperoleh dorongan Ombudsman segera berjalan cepat menuju ke arah pemerintahan yang lebih baik good government.
6
Namun seiring dengan berjalannya waktu yang sudah hampir sebelas tahun sejak Ombudsman didirikan sejak pertama kali, masyarakat tidak begitu
memahami Ombudsman itu sendiri.sehinga Komisi Ombudsman terkesan berjalan di tempat.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis merasa tertarik dengan Komisi Ombudsman yang telah ada namun tidak banyak yang
mengetahuinya dan akan mengangkatnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul ”Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di
Indonesia”. Penulis sangat mengingginkan agar penulisan skripsi ini dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memberikan saran demi kemajuan penulis
sendiri khususnya.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penulisan skripsi dengan judul
“Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di Indonesia
” antara lain :
6
Budhi Masturi,Ombudsman Dalam Transisi Demokrasi di Indonesia,Google diakses tanggal 17 Maret 2013 http : perpustakaan bphn.go.id
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimanakah kedudukan dan Peranan Ombudsman dalam
pembagian kekuasaan menurut Hukum Tata Negara? 2.
Bagaimanakah kedudukan dan peranan Ombudsmaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia ?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan peranan Ombudsman dalam pembagian kekuasaan menurut Hukum Tata
Negara 2.
Untuk mengetahui kedudukan dan peranan Ombudsman Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia.
Selain untuk mencapai tujuan, penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara umum yaitu bagi perkembangan kemajuan hukum di Indonesia
khususnya Hukum Tata Negara. Penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian yang akan dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya ilmu hukum
Tata Negara. 2. Secara praktis
Penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi para pelaksana Ombudsman di
Indonesia, ahli Hukum Tata Negara, aparatur pemerintahan khususnya dalam hal
Universitas Sumatera Utara
birokrasi dan administrasi, sehingga dapat memperbaiki kinerja kerja para aparatur pemerintahan tersebut demi mewujudkan Indonesia yang bersih dari
berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
D. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas penulisan,sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan
Hukum di Indonesia”,penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat
tertanggal 18 Februari 2012 terlampir menyatakan tidak ada judul yang memiliki kesamaan.
Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Bapak Armansyah,S.H,M.Hum Ketua
Departemen Hukum Tata Negarauntuk menerima judul yang diajukan oleh penulis,karena belum pernah ada judul skripsi yang bersamaan dengan judul yang
saya ajukan. Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media
internet,dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan,belum ada penulis yang mengangkat topik tersebut Sekalipun ada,hal itu diluar sepengetahuan penulis dan
tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ininadalah murni hasil pemikiran Penulis yang
Universitas Sumatera Utara
didasarkan pada pegertian-pengertian,teori-teori,dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik.Oleh karena itu,Penulis
menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakan
Penulisan skripsi ini berkaitan dengan Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI Dalam Penegakan Hukum di Indonesia.Adapun Tinjauan
Kepustakaan tentang skripsi ini,adalah sebagai berikut : 1.
Lembaga Negara Kelembagaan Negara berkaitan dengan “teori perjanjian masyarakat” yang
dikemukakan oleh sarjana-sarjana terkenal yaitu : A.Montesque
Menurut pendapat Montesque,kekuasaan Negara dibagi atau dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri,yaitu:
a.1.Kekuasaan Perundang-Undangan Legislatif a.2.Kekuasaan melaksanakan pemerintahan eksekutif
a.3.Kekuasaan kehakiman judikatif Ajaran ini kemudian terkenal dengan ajaran Trias Politika,dengan adanya
ajaran ini Montesque berpendapat bahwa,apabila kekuasaan Negara itu dipisahkan secara
tegas menjadi,yaitu:kekuasaan
perundang-undangan,kekuasaan melaksanakan pemerintahan,dan kekuasaan kehakiman,dan masing-masing
kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri,ini akan
Universitas Sumatera Utara
menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa,atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya
sistem pemerintahan absolutisme
7
. John Locke menyatakan keadaan alamiah adalah suatu keadaan di mana
manusia hidup bebas dan sederajat,keadaan disini sudah bersifat sosial,karenaa manusia hidup rukun dan tentram sesuai dengan hukum akal law of reason yang
mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik dari sesamanya
8
. Dalam bukunya yang berjudul “ two Treatises on Civil Government “
1690 John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap Negara dalam
9
: b.1.Kekuasaan legislatif,yaitu kekuasaan untuk membuat Undang-Undang;
b.2.Kekuasaan eksekutif,yaitu kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang b.3.Kekuasaan federatif,yaitu kekuasaan mengadakan perserikatan dan alliansi
serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar negeri. Van Vollenhoven menganjurkan teori Catur Praja Quarto Politica yang
terdiri atas penyelenggara pemerintahan bestuur, kepolisian, peradilan, dan legislatif. Menyelenggarakan pemerintahan mangandung makna proaktif, dan van
Vollenhoven memperkenalkan prinsip vrijbestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu kewajiban dan hak yang melekat pada diri pejabat publik
begitu diangkat
10
.
7
Soehini,S.H.Ilmu Negara,1986,hal117
8
Samidjo,S.H.Ilmu Negara,2002,hal 89
9
Ibid,hal 92.
10
Ibid,hal 102.
Universitas Sumatera Utara
Kewajibannya menganut stelsel residual theory, yaitu melaksanakan tugas apa saja meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, selain tugas-tugas kepolisian,
peradilan, dan legislatif. Untuk melaksanakan kewajiban ini pemerintah memiliki diskresi atau kebebasan bertindak dengan prinsip freies ermessen demi menjaga
kepentingan rakyat. Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya
“Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaanfungsi pemerintah menjadi
empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu: 1 Fungsi memerintah bestuur
Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksaan undang-undang saja. Pemerintah
banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik.
2 Fungsi polisi politie Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif
yaikni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya preventif, agar tata tertib dalam masyarakat
tersebut tetap terpelihara. 3 Fungsi mengadili justitie
Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan
berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.
Universitas Sumatera Utara
4 Fungsi mengatur regelaar Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh
seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil yang dibuat oleh presiden dan DPR,
melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian
penduduk wilayah dari suatu negara. 2.Sejarah Ombudsman di dunia
Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem
pengawasan seperti Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran
Romawi terdapat institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol
adalah ketika pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan
terhadap pejabat- pejabat kekaisaran pemerintah dan sebagai “perantara” bagi
masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada Kaisar.
Menurut Dean M Gottehrer[1] pada dasarnya Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam
Universitas Sumatera Utara
sistem ketatanegaraan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada masa Khalifah Umar 634-644 SM yang saat itu memposisikan diri sebagai Muhtasib, yaitu orang
yang menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan antara masyarakat dengan pejabat pemerintah. Tugas sebagai Muhtasib dijalankan
Khalifah Umar dengan cara melakukan “penyamaran”, mengunjungi berbagai wilayah secara diam-diam guna mendengar sendiri keluhan langsung dari rakyat
terhadap pemerintah . Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat Ketua Hakim Agung dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat
dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah .
Dalam literatur-literatur tentang Ombudsman umumnya disebutkan bahwa ide pembentukan Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII
1697-1718 di Swedia setelah pada tahun 1709 melarikan diri ke Turki karena kalah perang dengan Rusia dalam The Great Northern War 1700-1721. Sepulang
dari pengasingan tersebut, pada tahun 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles
XII membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman terpengaruh dengan
konsep pengawasan dalam sistem Turkish Office of Chief Justice. Pada sistem ketatanegaraan Turki saat itu, Office of Chief Justice sangat
berperan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna menjamin bahwa hukum Islam harus diikuti dan diterapkan oleh seluruh penyelenggara
negara, termasuk Sultan sebagai pimpinan . Bila dilihat dari mandat yang diberikan, kewenangan Chief Justice sangat mirip dengan Qadi Al Quadat pada
Universitas Sumatera Utara
masa Khalifah Umar 634-644 SM yang bertugas melidungi hak-hak rakyat dari perlakuan tidak adil serta tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara
negara. Saat itu keberadaan Chief Justice sangat berpengaruh dalam penegakkan
hukum terhadap penyelenggara negara di Turki. Masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil atau semena-mena oleh penyelenggara negara dapat
menyampaikan keluhan kepada Chief Justice guna memperoleh tindak lanjut. Mekanisme check and balance seperti ini kemudian mengilhami Raja Charles XII
membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Sebagai seorang raja, mungkin Charles XII menyadari apabila tidak ada pengawasan terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan Raja dan Pejabat Kerajaan saat itu berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan tirani yang justru akan sangat
merugikan posisinya sebagai seorang raja yang sempat terlupakan akibat lama di pengasingan.
Demikian selanjutnya sistem pengawasan Ombudsman di Swedia terus mengalami perkembangan hingga secara res
mi The King’s Highest Ombudsman yang pada awalnya merupakan executive Ombudsman berkembang menjadi
parlianmentary Ombudsman dengan dimasukkannya Ombudsman dalam Konstitusi Swedia Tahun 1809. Sebelum resmi diatur dalam konstitusi, Parlemen
Swedia juga sempat membentuk lembaga yang fungsinya hampir sama dengan The King’s Highest Ombudsman bernama Chancellor of Justice. Sebagai institusi
pengawasan yang dibentuk Parlemen, Ombudsman Swedia secara independen menjalankan tugas menerima dan menyelidiki keluhan masyarakat terhadap
Universitas Sumatera Utara
penyelenggara negara. Selama satu setengah abad berlalu, institusi Ombudsman hanya dikenal di Swedia, dan baru setengah abad belakangan ini sistem
Ombudsman menyebar ke berbagai penjuru dunia
11
. Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan
Ombudsman terus berkembang dan saat ini telah ada lebih dari seratus negara yang memiliki Ombudsman. Kurang lebih lima puluh negara bahkan telah
mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko.
Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang
Ombudsman dalam Konstitusi
12
. Di Indonesia sendiri wacana pembentukan Ombudsman telah berkembang
lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan baru menjadi kenyataan pada tahun 2000. Belum banyak buku yang menceritakan sejarah terbentuknya Ombudsman
di Indonesia. Satu-satunya rekaman yang dapat kita kutip adalah dari buku yang ditulis Antonius Sujata dkk pada tahun 2002 berjudul “Ombudsman Indonesia,
Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang.” Dalam buku tersebut diceritakan bahwa pada awal November 1999 Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman
Wahid Gus Dur berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama
sekali baru. Diskusi tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan Jampidsus pada saat Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andi Ghalib. Setelah
11
Sujata dan Surachman , 2002:29
12
Masthuri: 2004
Universitas Sumatera Utara
melakukan serangkaian pembicaraan Gus Dur menyepakati sebuah konsep pengawasan untuk mendukung proses pemberantasan KKN yaitu Ombudsman.
Kemudian pada tanggal 8 Desember 1999 Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian
Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki
Darusman dan Antonius Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman
secara kongkrit tidak jadi dibentuk. Hal ini dirasakan Antonius Sujata sebagai sangat lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan
umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki
Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi
hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Sehingga akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres pengganti nomor 44
Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman
13
. Pembentukan Office of The King’s Highest Ombudsman oleh Raja
Charles XII di Swedia dapat dilihat sebagai bentuk kerendahan hati seorang penguasa. Tentu membutuhkan kebesaran jiwa dan kerendahan hati yang luar
biasa bagi Raja Charles XII karena dengan segala kekuasaan yang dimilikinya
13
Sujata, et al: 2002: hal 2-4
Universitas Sumatera Utara
sebagai seorang raja ia beserta jajaran orang-orang sekitar kerajaan dengan segudang previlegi yang selama ini diberikan kerajaan dengan rela hati membuka
diri terhadap pengawasan yang dilakukan masyarakat melalui Office of The King’s Highest Ombudsman. Pada awalnya The King’s Highest Ombudsman
adalah Ombudsman Kerajaan executive Ombudsman sehingga sah-sah saja apabila saat itu mungkin ada sebagian orang yang meragukan independensinya.
Namun, setidaknya dalam praktek-praktek kakuasaan yang ada selama ini, umumnya jarang sekali kita menemukan seorang penguasa dengan rela hati
membentuk suatu lembaga yang berwenang penuh mengawasi ia sendiri beserta jajaran di sekitarnya.
Bukankah semestinya berlaku “hukum” bahwa kekuasaan memiliki kecendrungan untuk melakukan apa saja baca: menghalalkan segala cara dalam
rangka mempertahankan diri dari segala hal yang dapat merongrongnya, termasuk upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Biasanya seorang
penguasa akan segera melakukan pemberangusan terhadap upaya-upaya pengawasan dan kritik yang dilakukan masyarakat, karena hal tersebut berpotensi
mengganggu kelanggengan kekuasaan. Berbeda dengan di Swedia, pembentukan Komisi Ombudsman
Nasional Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi suasana transisi menuju demokrasi. Dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kita patut memuji
keputusan Gus Dur karena telah berani membentuk Ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan termasuk dirinya
sendiri dan pelayanan umum lembaga peradilan. Tentu saja kita tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
mensejajarkan sejarah pembentukan Ombudsman Swedia dengan Ombudsman di Indonesia. Masing-masing memiliki nilai kesejarahannya sendiri-sendiri. Tetapi
setidaknya kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hal kerendahan hati seorang pemimpin yang sedang berkuasa karena bersedia membentuk Ombudsman yang
akan mengawasi dirinya sendiri. Kita percaya saat itu Gus Dur sadar betul bahwa Ombudsman yang ia bentuk tersebut nantinya dapat saja bersebrangan dengannya
ketika ia membuat kebijakan ataupun keputusan baik yang bersifat administratif maupun politis.
Namun hal itu tidak menjadikan Gus Dur membatalkan niatnya membentuk Ombudsman. Memang pada awalnya ada perubahan dari rencana
semula, karena Kepres Nomor 155 Tahun 1999 yang semestinya dimaksudkan menjadi landasan hukum pembentukan Ombudsman justru “berbelok” menjadi
pembentukan Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya tampak seperti ada keraguan dari
orang-orang sekitar Gus Dur apakah dalam kondisi politik saat itu, tanpa dipersiapkan sedemikian rupa, Ombudsman dapat efektif menjalankan fungsi
pengawasannya. Namun secara substansi pada dasarnya Gus Dur tidak pernah menolak pembentukan Ombudsman yang telah ia persiapkan bersama Marzuki
Darusman dan Antonius Sujata, hingga akhirnya dikeluarkanlah Keppres pengganti Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman
Nasional. Dalam perkembangannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden,
Ombudsman memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai
Universitas Sumatera Utara
Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung.
Saat itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Dalam
hal ini, Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, khususnya pasal 8 ayat 1, yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala
Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat
dilakukan Gus Dur sebagai seorang Presiden . Oleh karena itu kemudian Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur
selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan
memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di
masyarakat. Sejak awal Ombudsman memang memilih untuk bersikap low profile.
Sikap ini didasari atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses membangun kapasitas kerja dan secara politis kedudukan Keputusan Presiden
juga sangat rentan terhadap “fluktuasi” politik yang berkembang saat itu. Tindakan high profile tanpa didasari perhitungan matang justru akan menjadi
kontra produktif bagi Ombudsman yang sedang membangun eksistensi.
Universitas Sumatera Utara
Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan Undang-Undang, Keputusan Presiden lebih lemah kedudukannya karena dapat dan lebih mudah dicabut sewaktu-waktu.
Strategi low profile tersebut membuahkan hasil bagi semakin kuatnya dukungan terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai pencantuman ombudsman dalam
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas[2] sampai dengan diterbitkannya TAP MPR Nomor VIIIMPR2001 yang memberi mandat kepada
eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undang Ombudsman. Bahkan yang terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal
tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam
Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat 1, berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang
mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat 2 berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman
Republik Indonesia diatur dengan Undang-Undang. Sampai saat ini telah terbentuk dua lembaga Lembaga Ombudsman
Daerah di Indonesia. Dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih dari dua puluh daerah yang berniat membentuk Ombudsman Daerah. Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah propinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman Daerah, dan Asahan Sumatera Utara adalah Kabupaten pertama yang
membentuk Ombudsman Daerah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama diperkirakan Pangkalpinang Bangka Belitung juga akan membentuk
Ombudsman Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan Ombudsman Daerah di Yogyakarta seakan mengulang cerita sejarah tentang kerendahan hati seorang Raja Charles XII di Swedia,
karena berangkat dari keinginan kuat Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Sebagai seorang Raja dan sekaligus seorang Gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwono X
tentu memegang kekuasaan yang sangat besar, baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, prakarsa pembentukan Ombudsman Daerah di DI
Yogyakarta merupakan cerminan dari sikap rendah hati seorang penguasa yang merelakan diri dan jajarannya diawasi oleh masyarakat melalui Ombudsman.
Di Swedia Ombudsman lebih dahulu terbentuk sebelum negara tersebut melakukan proses demokratisasi. Swedia baru melakukan proses demokratisasi
antara tahun 1890 sampai dengan tahun 1920 Mas’oed:2003:23, sementara Parlianmentary Ombudsman sudah terbentuk pada tahun 1809. Bahkan Office of
The King’s Highest Ombudsman telah dibentuk Raja Charles XII sejak tahun 1718. Dengan demikian Ombudsman di Swedia ketika itu tentunya juga menjadi
bagian yang sangat penting dalam mendorong berjalannya proses demokratisasi. Selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah rezim Orde Baru, peran
kekuasaan pemerintah eksekutif sungguh amat dominan sehingga masyarakat lebih banyak menjadi objek yang diawasi daripada sebagai subjek yang
mengawasi Sujata dan Surachman: 2002:4. Setelah kekuasaan rejim Orde Baru runtuh, proses demokratisasi mengalami masa transisi yang panjang dan berliku.
Pada masa itulah Ombudsman di Indonesia lahir dan menjadi bagian penting
Universitas Sumatera Utara
dalam sejarah transisi menuju demokrasi. Kondisi transisional seperti itu sebenarnya memberikan peluang bagi Ombudsman di Indonesia menjadi aktor
penting yang ikut mendorong jalannya proses demokratisasi dan memperjuangkan jaminan adanya transparansi publik dari pemerintah dalam setiap proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
14
. 3. Praktek Maladministrasi Publik
Maladministrasi adalah suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi,atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian
tujuan administrasi.Selama ini banyak kalangan yang terjebak dalam memahami maladministrasi ,yaitu semata-mata hanya dianggap sebagai penyimpangan
administrasi dalam arti sempit,penyimpangan yang hanya berkaitan dengan ketatabukuan dan tulis menulis.Bentuk-bentuk penyimpangan diluar hal-hal yang
bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi.Padahal terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekadar penyimpangan yang
bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang. Maladministrasi dimaknai secara luas sebagai bagian penting dari pengertian
administrasi itu sendiri.Sampai di sini,sebelum kita menelaah lebih lanjut tentang maladministrasi, ada baiknya diuraikan tentang apa itu administrasi.
Secara leksikal,administrasi mengandung empat arti,yaitu: 1 usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta cara penyelenggaraan dan
pembinaan organisasi; 2 usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan; 3 kegiatan yang berkaitan
14
Budhi Masturi,Ombudsman Dalam Transisi Demokrasi di Indonesia,http : perpustakaan.bphn.go.id
Universitas Sumatera Utara
dengan penyelenggaraan pemerintahan; 4kegiatan kantor dan tata usaha
15
.Prajudi Atmosudirdjo membagi pengertian administrasi dalam dua kelempok,yaitu secara
sempit dan secara luas.Secara sempit administrasi memang diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan operasional terbatas pada surat-
menyurat,ketik-mengetik,catat-mencatat,pembukuan ringan dan kegiatan kantor yang bersifat teknis ketatausahaan.Dalam arti yang lebih luas administrasi
dimaknai sebagai suatu proses kerja sama dari kelompok manusia orang- orangdengan cara-cara yang berdaya guna efisien untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan terlebih dahulu.Sedangkan The Liang Gie memaknai administrasi sebagai usaha manusia yang secara teratur bejerja sama dalam kelompok untuk
mencapai satu tujuan tertentu,terdiri dari administrasi kenegaraan,administrasi perusahaan,dan administrasi kemasyarakatan .
F. Metode Penelitian