39
Menurut Kartasudirja
1999
85
2. Pengertian Cyber crime dalam Arti Sempit
, dalam pengertian luas, cyber crime adalah
tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan dengan memakai komputer hardware dan software sebagai sarana atau
alat, komputer sebagai objek,
baik untuk
memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan pihak lain.
Para ahli yang menganut pandangan yang sempit memberikan pengertian atau definisi kejahatan komputer sebagai tindak pidana yang dilaksanakan dengan
menggunakan teknologi canggih, tanpa penguasaan ilmu mana tindak pidana tidak
mungkin dapat dilaksanakan. …any illegal act for which knowledge of computer technology is essential for its perpetration.
86
Pakar hukum komputer, Don Parker dan Nycum, memberikan pengertian kejahatan komputer dalam arti sempit yaitu setiap perbuatan hukum yang
menjadikan pengetahuan khusus mengenai teknologi komputer sangat penting untuk pelaksanaan, penyidikan dan penuntutan.
Menurut Kartasudirja, dalam pengertian sempit, cyber crime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan
menggunakan teknologi komputer yang canggih.
87
3. Karakteristik Cyber crime
Ada beberapa karakteristik yang membedakan cyber crime dengan tindak
pidana konvensional. Karakteristik
cyber crime dibandingkan tindak pidana lain menurut Nitibaskara
88
85
Ibid, hal. 2.
ada empat yaitu :
86
Ibid, hal. 2.
87
Ibid, hal. 3.
88
Nitibaskara, Tb R, 2000. “Problema Yuridis Cyber Crime”, Makalah pada seminar Cyber Law, Bandung, diselenggarakan oleh Cipta Bangsa, hal. 1.
40
1. Penggunaan TI dalam modus operandi;
2. Korban cyber crime dapat menimpa siapa saja mulai dari perseorangan sampai
negara; 3.
Cyber crime bersifat non violence tanpa kekerasan; 4.
Karena tidak kasat mata maka fear of crime ketakutan atas kejahatan tidak mudah timbul.
Cyber crime berbeda dengan kejahatan komputer lainnya. Hal ini mempengaruhi dengan adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan
mendasar mengenai kejahatan ini. Pertama, karena kecanggihan cyberspace, kejahatan dapat dilakukan dengan cepat bahkan dalam hitungan detik. Kedua,
karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap ilegal di luar dunia
cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber. Ketiga, karena dunia
cyber yang universal memberikan kebebasan bagi seseorang mempublikasikan idenya termasuk yang ilegal seperti muncul bentuk kejahatan baru seperti
cyberterrorism. Keempat, karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik maka
konsep hukum yang digunakan menjadi kabur. Misalnya konsep batas wilayah Negara dalam
sistem penegakan
hukum suatu negara menjadi berkurang karena keberadaan dunia cyber dimana setiap orang dapat berinteraksi dari berbagi
tempat di dunia.
89
Keberadaan dunia cyber, sekarang ini menjadi urusan dunia internasional bukan domestik suatu negara lagi. Karena pengaruh yang ditimbulkan dapat
89
Clifford, Steven, 2006. Cybercrime Vandalizing The Information Society, United States of America: Pearson Education Limited, hal. 7-8.
41
menimpa siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Sebagai contoh yang
dikemukakan Schmidt adalah penyebaran virus “I love you” pada tahun 2000 yang meluas di luar perkiraan sebelumnya. Virus ini adalah salah satu virus
pertama yang menjangkiti kurang lebih 45 sistem jaringan di dunia dan membuat kerugian sekitar 10 milyar dollar US. Setelah diselidiki, pelakunya adalah seorang
mahasiswa suatu universitas komputer di Filipina yaitu Onel de Guzman yang beralasan itu semua dilakukan dalam rangka proyek penelitian kampus. Karena
pada tahun tersebut Filipina belum ada aturan yang mengatur hacking maka aparat penegak hukum membatalkan semua tuduhan terhadapnya.
90
Hal ini menandakan bahwa cyber crime bersifat global dalam artian akibat yang ditimbulkan tidak terbatas dalam satu wilayah suatu negara saja.
Dengan menggunakan teknologi komputer dan komunikasi, dalam hal ini jaringan
komputer melalui media internet, cyber crime dapat dilakukan dalam berbagai tempat yang terpisah dengan korbannya. Bahkan, korban dan pelaku cyber crime
dapat berasal dari negara yang berbeda. Sehingga cyber crime sering kali bersifat borderless tanpa batas wilayah bahkan transnasional lintas batas negara. Di
samping itu, cyber crime tidak meninggalkan jejak berupa catatan atau dokumen fisik dalam bentuk kertas paperless, akan tetapi semua jejak hanya tersimpan
dalam komputer jaringannya tersebut dalam bentuk data atau informasi digital log files.
91
90
R. Schmidt. 2006, Scence of the Cybercrime, United States of America: Syngress Publishing, hal. 123-124.
91
Ibid, hal. 126.
42
Dalam dunia maya, masalah keamanan merupakan suatu hal yang sangat penting. Tingginya tingkat kriminal dalam dunia internetcyber dan lemahnya
hukum dalam hal pengamanan dan penanganan kasus cyber crime ini, menyebabkan semakin maraknya kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia
cyber tersebut. Ditambah lagi kecilnya kemungkinan ditangkapnya pelaku dan kemajuan teknologi yang mempermudah aksi mereka. Seseorang yang melakukan
kejahatan jenis ini, terkadang tidak memiliki motif untuk meraup keuntungan ekonomis, tetapi juga karena unsur lain seperti tantangan, hobby dan bahkan
membuktikan tingkat intelijen yang dimilikinya dan kebolehan teknis yang terlibat di dalamnya. Yang pada intinya, pelaku menggunakan kekreativitasnya
untuk melakukan aksinya tersebut.
92
Dibalik dari semua itu, tidak semua cyber crime dapat disebutkan sebagai tindak kejahatan dalam arti yang sesungguhnya. Dimana, cyber crime sebagai
kejahatan yang murni kriminal seperti pencurian data, penipuan, penyebaran virus dan material bajakan dan lain sebagainya. Sedangkan cyber crime sebagai
kejahatan abu-abu yaitu dalam hal pengintaian guna untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya demi kepentingan pengintaian, termasuk
sistem pengintaian baik secara terbuka maupun tertutup. Kejahatan seperti ini disebut sebagai probing atau portscaning. Seperti layaknya dalam komunitas
dunia internasional pada umumnya, kebebasan dalam penggunaan internet memerlukan suatu aturan yang jelas dan melindungi setiap penggunaannya dan
menghindari kekacauan yang sangat mudah terjadi di dalam dunia cyber ini
92
Clifford, Opcit, hal. 11-12.
43
dimana batasan territorial suatu negara beserta juridiksi hukumnya menjadi tidak jelas dan rancu. Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas
menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang sangat luas. Cyber crime kini telah menjadi isu internasional, dimana tindak kejahatan ini sangat sulit
untuk ditanggulangi hingga saat ini. Aktivitas cyber crime dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak
hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Yang patut diperhatikan dan dikhawatirkan adalah bahwa aktivitas cyber crime justru banyak terjadi dan
berasal dari negara-negara berkembang seperti Ukraina, Pakistan dan Indonesia sendiri, yang tidak lain disebabkan karena hukum yang lemah dan kurangnya
perhatian terhadap masalah ini di negara tersebut dalam mengatur penggunaan akses informasi global tersebut. Dalam hal ini cyber law dan cyber policy.
93
C. Pengaturan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Negara Indonesia telah membuat kebijakan yang berhubungan dengan hukum teknologi informasi law of information technology setelah
diundangkannya Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE pada tanggal 21 April 2008 oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber cyber space atau mayantara ini dianggap oleh pemerintah perlu untuk memberikan
keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Kritik masyarakat baik
93
Olan Rinto, 2007. Prospek Penanganan Cyber Crime Dalam Kerangka Kerjasama Keamanan Asean, skripsi Universitas Hasanuddin, Makassar. hal 4.
44
dari akademisi, aparat penegak hukum, para bloggers terutama hackers pada saat disahkannya UU ITE adalah hal yang wajar di era demokratisasi seperti saat ini.
Karena dalam merumuskan peraturan hukum dewasa ini harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi persoalan. Di sini
orang akan mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi, kebebasan media, dan masalah-masalah HAM seperti : persoalan privasi, hak
untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah relevansi persoalan hak dan kewajiban
menjadi penting. Penanggulangan kejahatan mayantara tidak terlepas dari kebijakan
penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah ”politik kriminal” menurut Sudarto politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
94
Oleh karena itu tujuan pembuatan UU ITE tidak terlepas dari tujuan politik kriminal yaitu sebagai upaya untuk kesejahteraan sosial dan untuk
perlindungan masyarakat. Evaluasi terhadap kebijakan di dunia mayantara tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan hukum pidana dalam perundang-
undangan tersebut. Menurut Barda Nawawi Arief, evaluasi atau kajian ulang ini perlu
dilakukan, karena ada keterkaitan erat antara kebijakan hukum pidana perundang- undangan dengan kebijakan penegakan hukum dan kebijakan pemberantasan
penanggulangan kejahatan. Kelemahan kebijakan hukum pidana, akan
94
Sudarto, 1977. Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 38.
45
berpengaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan.
95
Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata ”setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1
sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan
hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum
Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang
Dilihat dari perspektif hukum pidana maka kebijakan hukum pidana harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan
pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasisinkronisasi apabila kebijakan hukum pidana berada di luar sistem
hukum pidana yang berlaku saat ini.
C.1. Subjek Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata ”setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1
sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan
hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum juga
95
Barda Nawawi Arief, 2007 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 214-215.
46
terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia
merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang ketentuan pidana, dalam Pasal 52 ayat 4 yang mengatur tentang
pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana yang dapat dipidana menurut UU ITE dapat berupa orang perorangan maupun
korporasi. Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi mengenai ketentuan
terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan tidak diatur secara jelas dan khusus dalam UU ITE,
tetapi Penjelasan Pasal 52 ayat 4 memberikan persyaratan terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah yang
dilakukan oleh korporasi dan atau oleh pengurus dan atau staf korporasi.
C.2. Perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dalam UUITE ini disebutkan dalam BAB VII tentang perbuatan yang dilarang yang terdapat dalam pasal 27 sampai dengan pasal 37. Tetapi di dalam
prakteknya, pasal demi pasal ini dianggap rancu oleh masyarakat. Karena pasal-pasal ini tidak menerangkan dengan pasti maksud dari penjelasan pasal
tersebut.
Pasal 27
1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
47
danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
danatau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau
mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau
pencemaran nama baik. 4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau
mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan danatau
pengancaman. Pada ayat 1, dilarang untuk mentransmisikan atau membuat dapat
diaksesnya suatu data dalam hal ini data tersebut berbentuk informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memuat unsur-unsur asusila, definisinya pada
pasal 1 UU ITE, yaitu : 1. Informasi Elektronik : merupakan satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange EDI, surat elektronik electronic mail,
telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
48
2. Dokumen Elektronik : setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan, dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, dan sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, danatau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk, tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi, yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
96
Sebenarnya pada ayat 1 ini terlihat jelas upaya negara untuk melindungi warga negaranya. Warga negara dapat terlindung dari suatu perbuatan yang
menjadikan mereka sebagai korban yang misalnya mengedit suatu foto warga negara yang tidak tahu apa-apa menjadi foto seorang yang sedang melakukan
tindakan asusila maupun melindungi warga negara dari suatu informasi elektronik yang mengandung tindakan asusila. Pada ayat 2, di sini juga terlihat upaya negara
untuk melindungi warga negaranya dari bahaya tindakan penjudian online yang makin marak pada masa sekarang ini karena teknologi semakin berkembang
serta untuk menekan laju perjudian online yang telah berkembang. Pada ayat 3, di sinilah mulai terjadi permasalahan. Pada ayat ini disebutkan tidak boleh
mendistribusikan atau mentransmisikan data suatu informasi elektronik dan dokumen elektronik yang mengandung unsur pencemaran nama baik. Bagaimana
kita tahu jika kita telah melakukan pencemaran nama baik, karena pencemaran
96
Lihat http:wartawarga.gunadarma.ac.id200911mengenai-pasal-27-uu-ite Di akses pada tanggal 26 Juni 2012.
49
nama baik adalah salah satu hal yang diambil berdasar sudut pandang tertentu, Pada pasal 23 ayat 3 ini, sebenarnya sangat berhubungan dengan blogger dan
orang yang seringkali mengikuti mailing list karena mereka biasanya memberitahukan suatu informasi dengan tujuan agar userreader yang lain dapat
mengambil suatu keputusan berdasarkan informasi yang diberikan oleh orangblogger yang memposting informasi tersebut. Namun, ada kalanya
informasi yang diberikan blogger yang sebenarnya berharga untuk reader dianggap sebagai salah satu cara untuk mencemarkan nama baik
seseorangorganisasi tertentu. Mereka kadangkala menganggap hal ini sebagai pencemaran nama agar nama baik yang telah mereka bangun tidak cepat jatuh
meskipun kita tidak tahu, apakah ternyata informasi yang diberikan blogger kepada reader sebenarnya adalah hal yang sebenarnya terjadi sesuai fakta atau
tidak. Ayat ini juga dapat dipakai oleh seseorangorganisasi nakal karena tidak suka terhadap suatu orangorganisasi tertentu yang terus bersuara terhadap mereka
dapat mereka kenakan ayat ini dengan alasan pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat 3 ini terus menuai kontroversi, sehingga banyak orang yang menginginkan
agar pasal ini mendapat judicial review.
Pasal 28
1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik. 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
50
danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan SARA.
Pasal ini didasari oleh adanya First Additional Protocol to the Convention on Cyber crime concerning the criminalization of acts of racist and xenophobic
nature committed through computer system 2006, yang pada esensinya menghendaki jangan sampai ada penyebaran informasi yang bersifat menyebarkan
rasa kebencian hatred ataupun permusuhan berdasarkan SARA melalui sistem komputer danatau internet.
97
Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi
Pasal 30
1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer danatau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer danatau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan
untuk memperoleh Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik. 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer danatau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
97
Lihat http:wiki.harisonly.web.iddoku.php?id=cc_uuite di akses pada tanggal 26 Juni 2012.
51
Pasal 31
1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik danatau Dokumen
Elektronik dalam surat Komputer danatau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik
yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer danatau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan
perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, danatau penghentian Informasi Elektronik danatau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan. 3 Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, intersepsi
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, danatau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang. 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer, hukuman:
Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 31 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun danatau denda paling Rp 800 juta Pasal
47 UU ITE
.
98
98
Lihat http:www.lawskripsi.comindex.php?option=com_contentview=articleid= 103Itemid=103 diakses pada tanggal 26 Juni 2012.
52
Pasal 32
1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik danatau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. 3 Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya Pasal ini merupakan kejahatan penyalahgunaan data Data inference
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dimana orang atau kelompok tersebut mengubah atau menyalahgunakan data yang sudah
ada menjadi berbeda.
99
Pasal 33
Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 32 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 hingga 10 tahun danatau
denda antara Rp miliar hingga Rp 5 miliar Pasal 48 UU ITE.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik
99
Lihat http:novaaaal.blogspot.com201011penyalahgunaan-data.html diakses pada tanggal 26 Juni 2012.
53
danatau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 33 UU ITE,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun danatau denda Rp10 miliar rupiah. Pasal 49 UU ITE.
Pasal 34
1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau
secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
2 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik,
untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.
Pasal ini disebut kejahatan penyalahgunaan alat Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 34 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun danatau denda Rp 10 miliar Pasal 50 UU ITE.
54
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan
Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang
otentik. Pasal ini merupakan kejahatan perbuatan memanipulasi data sehingga
menjadi data otentik. Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 35 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun danatau denda
hingga Rp 12 miliar Pasal 51 UU ITE
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah
Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
C.3. Perumusan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Sanksi pidana dalam UU ITE dirumuskan secara kumulatif, dimana pidana penjara diakumulasikan dengan pidana denda. Ketentuan pidana dalam UU ITE
55
tertulis dalam Bab XI Pasal 45 sampai dengan Pasal 52, dengan rumusan sebagai berikut:
Pasal 45:
1 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1, ayat 2, ayat 3, atau ayat 4 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
2 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam
tahun danatau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 3 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun danatau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 dua miliar rupiah.
Pasal 46 :
1 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun danatau
denda paling banyak Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah. 2 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun danatau denda paling banyak Rp700.000.000,00 tujuh ratus juta rupiah.
3 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun
danatau denda paling banyak Rp800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah.
56
Pasal 47:
- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat 1 atau ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh
tahun danatau denda paling banyak Rp800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah.
Pasal 48:
1 Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun
danatau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 dua miliar rupiah. 2 Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 sembilan tahun danatau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah.
3 Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun
danatau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
Pasal 49:
- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
Pasal 50:
- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun
danatau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
57
Pasal 51:
1 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun danatau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 dua belas miliar rupiah. 2 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun danatau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 dua belas miliar rupiah.
Pasal 52:
1 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer danatau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Pemerintah
danatau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.
3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer danatau Sistem Elektronik serta
Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Pemerintah danatau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga
pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana
pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga.
58
4 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok
ditambah dua pertiga. Perumusan tindak pidana kedua subjek hukum yang diatur dalam satu
pasal yang sama dengan satu ancaman pidana yang sama dalam UU ITE hendaknya dipisahkan karena pada hakikatnya subjek hukum ”orang” dan
”korporasi” berbeda baik dalam hal pertanggungjawaban pidana maupun terhadap ancaman pidana yang dikenakan.
Perumusan secara kumulatif dapat menimbulkan masalah karena dengan perumusan kumulatif kaku. Sanksi pidana dalam UU ITE adalah antara pidana
penjara dan denda yang cukup besar, tetapi tidak ada dalam redaksi pasal-pasal dalam UU ITE yang mengatur apabila denda tidak dibayar. Ini berarti, berlaku
ketentuan umum dalam KUHP Pasal 30, bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 enam bulan atau dapat menjadi maksimum 8 delapan bulan
apabila ada pemberatan. Apabila mengacu kepada Pasal 30 KUHP maka adanya ancaman pidana
denda yang sangat besar dalam UU ITE yaitu antara Rp.600.000.000,00- enam ratus juta rupiah hingga Rp.12.000.000.000,00- dua belas miliar rupiah, tidak
akan efektif, karena kalau tidak dibayar hanya terkena pidana kurungan maksimal 8 delapan bulan. Bagi terdakwa, ancaman pidana kurungan pengganti denda itu
mungkin tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena apabila denda itu dibayar, ia pun akan tetap terkena pidana penjara karena diancamkan secara kumulatif.
Oleh karena itu, kemungkinan besar ia tidak akan membayar dendanya
59
C.4. Aturan Pemidanaan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Aturan pemidanaan terhadap penyertaan, percobaan, permufakatan jahat, perbarengan, pengulangan dan alasan peringanan tidak diatur dalam UU ITE,
Karena tidak diaturnya penyertaan, percobaan dan peringanan tindak pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab I sampai dengan Bab
VIII dalam KUHP. Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP tidak hanya
ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk “percobaan”, “permufakatan jahat”,
“penyertaan”, “perbarengan” , dan “pengulangan” . Hanya saja di dalam KUHP, “permufakatan jahat” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam
Aturan Khusus Buku II atau Buku III. Pasal 52 UU ITE membuat aturan dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri
sendiri, yaitu:
Pasal 52:
1 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer danatau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Pemerintah
danatau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.
60
3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer danatau Sistem Elektronik serta
Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Pemerintah danatau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga
pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana
pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga. 4 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
Perumusan Pasal 52 UU ITE hanya mengatur pemberatan pidana yang khusus terhadap delik-delik tertentu dalam UU ITE tersebut, tetapi tidak mengatur
pemberatan apabila terjadi pengulangan residive. Mengacu kepada KUHP Bab.II Pasal 12 ayat 3 dalam aturan umum menyatakan: Pidana penjara selama
waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana
seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga
dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
C.5. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dijadikannya korporasi sebagai subjek tindak pidana UU ITE, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi.
61
Menurut Barda Nawawi Arief apabila korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam suatu undang-undang ini berarti, harus ada ketentuan khusus mengenai:
100
a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana; b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.
Redaksi pasal-pasal dalam UU ITE Pasal 1 sampai dengan Pasal 54 tidak mengatur kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan
melakukan tindak pidana, tetapi dalam penjelasan Pasal 52 4 memberikan persyaratan kapasitas terhadap korporasi danatau oleh pengurus danatau staf
melakukan tindak pidana, yaitu: a. mewakili korporasi;
b. mengambil keputusan dalam korporasi; c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi
d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi. Penjelasan Pasal 52 ayat 4 di atas merupakan norma kapan, siapa dan
bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, seharusnya norma-norma tersebut tidak berada dalam ”penjelasan”, tetapi
dirumuskan dalam perumusan pasal tersendiri, yaitu dalam aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi.
Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi menurut UU ITE adalah pidana pokok berupa penjara dan denda yang dirumuskan secara kumulatif
100
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Op.Cit., hal.151
62
serta ada pemberatan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat 4 yang isinya “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga”.
Pemberatan pidana terhadap korporasi dalam UU ITE yakni penjatuhan denda ditambah dua pertiga tidak memiliki aturan yang khusus, terutama
mengenai pidana pengganti untuk denda yang tidak dibayar. Ini berarti dikenakan ketentuan umum KUHP Pasal 30, yaitu denda kurungan pengganti denda
maksimal 6 bulan, yang dapat menjadi 8 bulan apabila ada pemberatan pidana. Hal ini menjadi masalah, apabila diterapkan terhadap korporasi, karena tidak
mungkin korporasi menjalani pidana penjarakurungan pengganti. Hal yang lebih pokok dalam KUHP sekarang belum mengatur
pertanggungjawaban korporasi, hendaknya dibuat suatu aturan khusus dalam UU ITE yang mengatur pertanggungjawaban korporasi terutama mengenai aturan
terhadap korporasi yang tidak dapat membayar denda. Penerapan sanksi pidana pokok berupa penjara dan denda terhadap korporasi dalam UU ITE hendaknya
ditambahkan jenis pidana tambahan atau tindakan yang ”khas” untuk korporasi, seyogianya terhadap korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan misalnya
pencabutan izin usaha, penutupanpembubaran korporasi dan sebagainya.
63
BAB III KEDUDUKAN INTERNET PROTOKOL SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA CYBER CRIME
A. Sejarah Internet Protokol dan Perkembangannya 1. Internet Protokol
Internet merupakan singkatan dari Interconnection Networking. Internet berasal dari bahasa latin “inter” yang berarti antara. Secara kata per kata internet
berarti jaringan antara atau penghubung, sehingga kesimpulan dari defenisi internet ialah merupakan hubungan antara berbagai jenis komputer dan jaringan di
dunia yang berbeda sistem operasi maupun aplikasinya dimana hubungan tersebut memanfaatkan kemajuan komunikasi telepon dan satelit yang menggunakan
protokol standar dalam berkomunikasi yaitu protokol TCPIP Transmission ControlInternet Protocol.
101
Internet sebagai suatu bentuk jaringan komputer mempunyai beberapa keunikan yang tidak dipunyai oleh suatu bentuk jaringan komputer yang lain yang
ada pada saat ini. Internet terdiri dari suatu kelompok jaringan yang terus tumbuh yang terdiri baik jaringan publik maupun jaringan privat, Local Area Networks
LANs, Wide Area Networks WANs yang satu sama lain saling terhubung interconnect. Secara teknis internet adalah a network of many networks, all
running the TCPIP protocol suite…, connected through gateways, and sharing
101
Agus Raharjo, 2002, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 73.