18
BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI
ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA
CYBER CRIME DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik
1. Alat Bukti
Pemeriksaan perkara pidana di muka pengadilan, maka hakim secara aktif memeriksa guna menemukan kebenaran materil sebagaimana apa yang menjadi
tujuan hukum acara pidana itu sendiri di lain pihak sebagaimana diketahui bahwa di dalam proses pemeriksaan perkara perdata hakim secara pasif dalam
pemeriksaan acara perdata tersebut yaitu hanya menilai apa yang dikemukakan oleh para pihak yakni antara penggugat dan tergugat.
Wirjono Projodikoro, menulis: “Maka suatu soal yang amat penting, tetapi juga amat sukar ialah
bagaimana hakim dapat menetapkan hal adanya kebenaran itu. Soal ini adalah mengenai pembuktian dari hal sesuatu. Kebenaran biasanya hanya
mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar untuk hakim untuk mengetahui kebenaran
atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputarbalikkan lagi, maka kepastian seratus persen bahwa apa
yang akan diyakini oleh hakim tentang suatu keadaan betul-betul suatu kebenaran tidak mungkin dicapai. Maka acara pidana sebetulnya hanya
dapat mewujudkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran yang sejati.
Untuk mendapat keyakinan ini, hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. Bagi
gambaran ini perlu tanda-tanda yang ditinggalkan oleh keadaan-keadaan itu. Tanda-tanda itu mungkin berwujud suatu barang, benda yang masih
dapat dilihat oleh hakim atau berada dalam ingatan orang-orang yang
19
mengalami keadaan itu. Ingatan orang-orang ini harus diberitahukan kepada hakim”.
65
Sistem HIR maupun dalam sistem KUHAP tidak diatur secara jelas tentang soal pembuktian, jika dibandingkan dengan ketentuan Hukum Acara
Perdata, seperti yang terlihat dalam pasal 163 HIR sebagai berikut :
“Barang siapa yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak atau mengajukan sesuatu peristiwa feit untuk memperoleh haknya atau untuk membatalkan
adanya hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
66
Seperti yang telah dikemukakan bahwa yang menjadi persoalan penting dalam proses perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran
materil atau kebenaran yang sesungguhnya. Sumber utama di dalam menemukan kebenaran materil tersebut ialah adanya pembuktian yang
menghendaki agar semua alat bukti yang diperlukan guna mendapatkan suatu kebenaran yang sesungguhnya dapat ditampilkan sedemikian rupa di muka
pengadilan agar supaya hakim dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang adanya suatu tindak pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang No.8 tahun 1981 pada pasal 84 ayat 1 menyebutkan tentang alat-alat bukti yakni:
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli;
c. Surat; d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
65
Wirjono Projodikoro, 1985. Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Cetakan Keduabelas, hal. 108
66
O. Bidara, 1984. Hukum Acara Perdata Pasal 118 sd Pasal 245 Dibandingkan Pasal 142 sd pasal 314, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, hal. 41.
20
Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang telah disebut dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, adalah sebagai berikut:
1. Keterangan saksi Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara
pidana, selalu mengacu kepada pemeriksaan saksi. Setidaknya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian
dengan alat bukti keterangan saksi.
67
Untuk menilai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, keterangan tersebut harus saling berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga dapat
membentuk keterangan yang menerangkan dan membenarkan atas adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran
keterangan dari saksi hakim harus dituntut kewaspadaanya. Dalam Pasal 185 ayat 6 KUHAP disebutkan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang
saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan : a.
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. b.
Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. c.
Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
67
M. Yahya Harahap, 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Harapan, hal. 265.
21
Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dapat dijelaskan sebagai berikut:
68
a. Bahwa keterangan saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya. b.
Bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dibantah oleh terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa
saksi yang meringankan maupun dengan keterangan ahli atau alibi. 2. Keterangan ahli
Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Pasal 184 ayat 1 KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat dicatat
sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum. Mungkin pembuat undang-undang menyadari dan sudah tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa pada
saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang pesat saat ini, keterangan ahli memiliki dan memegang peranan dalam
penyelesaian kasus pidana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap metode kejahatan, yang memaksa kita untuk
mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.
69
68
Subekti. 1995. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 79.
69
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 275.
22
Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli, pada prinsipnya adalah tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang mengikat dan menentukan. Jadi nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sama dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada alat bukti keterangan saksi. Sehingga nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah:
70
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian ”bebas” atau ”vrij bewijskracht”.
Tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Halim mempunyai kebebasan untuk menilainya.
b. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Jadi apabila keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka harus disertai lagi dengan alat bukti
yang lain. Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut
pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang jelas tentang hal atau suatu keadaan.
3. Surat
Dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah :
a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.
b. Surat yang dikuatkan dengan sumpah.
70
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 283-284.
23
Dalam Pasal tersebut telah diperinci secara luas mengenai surat-surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti
71
a. ”Berita acara” dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, dengan syarat, isi berita acara dan surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang itu
harus berisi: :
1 Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat,
atau yang dialami pejabat itu sendiri. 2
Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi, surat yang termasuk alat bukti surat yang disebutkan di sini adalah
”surat resmi” yang dibuat ”pejabat umum” yang berwenang untuk membuatnya, tetapi agar surat resmi yang bersangkutan dapat bernilai sebagai
alat bukti dalam perkara pidana, surat resmi itu harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh si
pejabat, serta menjelaskan dengan tegas alasan keterangan yang dibuatnya. b.
Surat yang berbentuk ”menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu kejadian.
c. Surat ”keterangan dari seorang ahli” yang memuat pendapat berdasar
keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
71
Subekti. Opcit, hal. 85.
24
d. ”Surat lain” yang dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain. Mengenai hal ini lebih tepat apabila disebut sebagai alat bukti petunjuk.
Mengenai nilai kekuatan pembuktian pada alat bukti surat. Dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, surat dinilai sebagai alat bukti yang ”sempurna”, dan
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang ”mengikat” bagi hakim. Sepanjang hal itu tidak dilumpuhkan dengan ”bukti lawan”.
Oleh karena alat bukti surat resmi atau otentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat volledig en beslissende bewijskracht, hakim tidak bebas
lagi untuk menilainya, dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara perdata yang bersangkutan. Demikian secara ringkas
gambaran dari kekuatan pembuktian surat resmi atau otentik yang diatur dalam hukum acara perdata.
Untuk menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat dalam hukum acara pidana seperti yang telah diatur dalam KUHAP. Maka dapat
ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.
72
a Ditinjau dari segi formal Alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti
”sempurna”. Karena, bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya, serta
72
Ibid, hal. 86-87.
25
dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan, maka
ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang bernilai ”sempurna”. Oleh karena itu,
alat bukti surat resmi mempunyai nilai ”pembuktian formal yang sempurna”. b Ditinjau dari segi materiil
Dari sudut materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187, ”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada alat bukti surat
itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi dan ala bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat ”bebas”. Tanpa mengurangi sifat
kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c, sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya
mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat
mempergunakan atau menyingkirkannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut berdasarkan pada beberapa asas, antara lain :
1 Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau ”kebenaran sejati”, bukan mencari kebenaran formal.
Dengan asas ini, hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat. Walaupun dari segi formal, alat bukti surat telah benar
dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal tersebut
26
”dapat” disingkirkan demi untuk mencari kebenaran materiil. Kebenaran dan kesempurnaan formal harus mengalah berhadapan dengan kebenaran
sejati. 2 Asas keyakinan hakim, asas ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yang
menganut ajaran sistem pembuktian ”menurut undang-undang secara negatif”. Berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahannya telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim ”yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya.
3 Asas batas minimum pembuktian. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat resmi otentik berbentuk surat yang dikeluarkan berdasar ketentuan
undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat tidak mendukung
untuk berdiri sendiri. Alat bukti surat masih tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya.
Artinya, sifat kesempurnaan formalnya harus tunduk pada asas ”batas minimum pembuktian” yang telah ditentukan Pasal 183, dimana Pasal
tersebut menyatakan bahwa sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Berdasar dari asas batas minimum pembuktian, bagaimanapun
sempurnanya ”satu” alat bukti surat, kesempurnaannya tidak dapat berdiri sendiri. Dan harus dibantu lagi dengan dukungan paling sedikit ”satu” alat
27
bukti yang lain untuk memenuhi apa yang telah ditentukan oleh asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
4. Petunjuk
73
Dalam Pasal 188 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
Rumusan Pasal tersebut, agak sulit ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa kata ke
dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut: Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian
atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak
pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu
tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Dalam Pasal 188 ayat 2 membatasi kewenangan hakim dalam cara
memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti
petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat 2. Menurut Pasal 188 ayat 2, petunjuk hanya dapat diperoleh
dari:
73
M. Yahya Harahap, Opcit, hal. 283
28
a. Keterangan saksi, b. Surat,
c. Keterangan terdakwa. Petunjuk sebagai alat bukti, baru mungkin dicari dan ditemukan jika telah
ada alat bukti yang lain. Persidangan pengadilan tidak mungkin terus melompat mencari dan memeriksa alat bukti petunjuk, sebelum sidang pengadilan
memeriksa alat bukti yang lain, sebab petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk substansi tersendiri. Dia tidak mempunyai wadah
sendiri jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain. Alat bukti keterangan saksi misalnya, jelas mempunyai bentuk objektif atau wadah sendiri, yaitu orang yang
memberikan keterangan itu. Demikian juga alat bukti surat. Mempunyai bentuk wadah sendiri yakni surat yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan alat
bukti petunjuk. Dia tidak mempunyai bentuk wadah sendiri. Bentuknya sebagai alat bukti adalah asessor tergantung pada alat bukti keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga alat bukti yang lain tersebut. Kalau alat bukti
yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk.
Mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk kekuatan
pembuktiannya sama dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat, yaitu hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas.
29
a Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya
sebagai upaya pembuktian. b Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan
terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup,
harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. 5. Keterangan terdakwa
74
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat 1. Penempatannya pada urutan terakhir ini merupakan salah satu alasan
yang digunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.
Dalam Pasal 189 ayat 1 menjelaskan tentang pengertian dari alat bukti keterangan terdakwa. Pasal ini menjelaskan bahwa keterangan terdakwa adalah
apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.
2. Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik Dalam Undang-Undang RI No.11 tahun 2008