PENGARUH SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Yan Christin Br. Sembiring, Arifin Akhmad: Analisis Faktor-Faktor…
PENGARUH SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Hasan Basri Tarmizi*, Safaruddin**
*Dosen Fakultas Ekonomi USU **Kadis Pertanian dan Peternakan di Kabupaten Serdang Bedagai
Abstract: The main purpose of this study is to analyze the influence of Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) on farmers income at Serdang Bedagai, to analyze the impact of Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) on the development on the implementing the Sistem of Rice Livestock Integration (SIPT) at Serdang Bedagai.The result showed that the Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) effect to increasing the farmers’ income and the positively impact on regional development in Serdang Bedagai. It can be seen from the not significantly differences of rice production, the production cost savings (efficiency), employment and farming sustainable (environmentally). The implication of this study is the farmers need to apply the SIPT and the Serdang Bedagai Government order to develop the SIPT in Serdang Bedagai towards the organic farming to realize sustainable agriculture development.
Abstrak: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Serdang Bedagai, menganalisis dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan pada implementasi Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Serdang Bedagai. Hasil menunjukkan bahwa efek Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) untuk meningkatkan pendapatan para petani dan berdampak positif pada pembangunan daerah di Serdang Bedagai. Hal ini dapat dilihat dari tidak secara signifikan perbedaan produksi padi, penghematan biaya produksi (efisiensi), lapangan kerja dan pertanian yang berkelanjutan (lingkungan). Implikasi dari penelitian ini adalah para petani perlu menerapkan SIPT dan Pemerintah Serdang Bedagai dalam rangka untuk mengembangkan SIPT di Serdang Bedagai menuju ke arah pertanian organik untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Keywords: Productivity, Efficiency, Employment, Sustainable Agriculture, and Regional Development.
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian di Indonesia
mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar melalui peningkatan input-output-outcome antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian
besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian (Departemen Pertanian, 2005). Menurut BPS PDRB Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp.8,4 Triliyun, di mana konstribusi terbesar adalah dari sektor pertanian yaitu ± 41%.
Dalam operasionalnya pelaksanaan pembangunan pertanian di tingkat petani umumnya masih bersifat parsial (per subsektor), sehingga petani sebagai pelaku usaha tani dikelompokkan menjadi petani tanaman pangan, hortikultura, ikan, ternak, dan perkebunan. Hal tersebut membawa dampak negatif terutama bagi para petani
163
yang hanya memiliki atau menggarap lahan usaha sempit (0,1-0,5 Ha) karena tidak dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya secara optimal. Lahan sawah masih dipandang sebagai media untuk memproduksi bahan pangan berupa padi dan palawija saja. Padahal melalui pemanfaatan teknologi tepat guna, lahan sawah selain dapat dimanfaatkan untuk usaha tani tunggal (single community approach) juga dapat dimanfaatkan untuk usaha tani terpadu (integrated communities farming sistem approach) (Sugandi, 2002).
Dengan skala kepemilikan lahan yang sempit dan terbatas tersebut, usaha tani semakin diintensifkan yang memerlukan lebih banyak supply unsur hara dan perlindungan tanaman. Pengusahaan lahan yang intensif dengan menggunakan input luar berupa kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar, tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping membutuhkan biaya usaha tani yang tinggi juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan dan menyebabkan penurunan pendapatan petani (Salikin, 2003). Menurut Jumin, (2002), kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk nitrogen misalnya, di Indonesia selama tahun 1970-1980 terjadi peningkatan 3 kali lipat, penggunaan pestisida 6 kali lipat. Namun sayangnya produktivitas yang diperoleh hanyalah 1,5 kali lipat.
Pengusahaan pertanian yang intensif secara monokultur yang menerapkan teknologi high-input pada areal yang lebih subur, telah mengakibatkan lahan marjinal semakin luas (Reijntjes, 1999). Sejak akhir tahun delapan puluhan mulai tampak tandatanda kelelahan pada tanah dan penurunan produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman tidak menunjukkan kecenderungan meningkat walaupun telah digunakan varietas unggul yang memerlukan pemeliharaan dan pengelolaan hara secara intensif melalui bermacam-macam paket teknologi (Sutanto, 2002).
Menurut Naipospos (2004), sistem pertanian yang konvensional saat ini dilakukan secara tidak bijaksana. Sehingga menimbulkan permasalahan baru yang akhirnya menggagalkan kestabilan
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
produksi. Karena sistem pertanian yang tanpa memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan ekologi merupakan bagian dari upaya perusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem konvensional cenderung mengarah pada penanaman tanaman yang sama (monokultur) yang mengharuskan pemakaian pupuk kimia (anorganik) dan pestisida secara besarbesaran sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem dan pengolahan tanah secara intensif menyebabkan degradasi tanah secara luas dan juga mengakibatkan polusi air permukaan maupun air bawah tanah. Melihat kenyataan tersebut, perlu adanya upaya terobosan untuk mendorong perbaikan lingkungan hidup, dengan mengubah sistem pertanian konvensional menjadi sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Pertanian Ramah Lingkungan dapat dikembangkan melalui sistem integrasi tanaman dan ternak (crop livestock sistem), karena 2/3 (dua pertiga) dari penduduk miskin di negara-negara berkembang memelihara ternak dan hampir 60% diantaranya bergantung pada sistem tanaman-ternak. Usaha tani (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan) selalu dibarengi oleh usaha ternak artinya peternakan dilakukan sebagai usaha sampingan dengan tujuan sebagai tabungan petani, tenaga kerja (ternak besar), penyediaan pupuk kandang dan sebagainya. Keterkaitan dan keterpaduan usaha tani tersebut sejak dahulu berlangsung di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, tetapi masih sporadis atau berskala kecil dan individu. Ternak yang dipelihara dalam jangka panjang dengan pemeliharaan intensif akan meningkatkan pertambahan berat badan atau menghasilkan anak.
Kegiatan peternakan setiap hari menghasilkan kotoran yang merupakan substrat utama pembuatan kompos/bokashi sebagai pupuk organik. Sementara dari kegiatan pertanian tanaman pangan dan hortikultura akan memberikan pula sisa-sisa produksi yang dapat digunakan kembali sebagai pakan ternak, disamping adanya hijauan makanan ternak yang ditanam. Dengan demikian kebutuhan makanan ternak dapat terpenuhi sehingga pertumbuhan berat badan rata-rata ternak dapat terus meningkat. Hal ini
164
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
menunjukkan siklus atau rangkaian kegiatan ini memberikan nilai efisiensi yang tinggi di mana tidak adanya limbah dari kegiatan produksi yang terbuang.
Sebagai daerah agraris, Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai luas lahan sawah lebih kurang 41.000 hektar dan merupakan salah satu daerah penghasil atau lumbung beras di Sumatera Utara dengan surplus beras rata-rata pertahun 125.000 sampai 130.000 ton. Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani dalam rangka meningkatkan swasembada beras dan penyediaan protein hewani di Kabupaten Serdang Bedagai, secara berkelanjutan dengan tidak merusak lingkungan maka Sistem Integrasi Padi dan Ternak dapat menjadi salah satu pilihan sistem pembangunan pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mengadakan studi analisis Sistem Integrasi Padi Ternak dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka sebagai permasalahan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Apakah Sistem Integrasi Padi Ternak
(SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai?
2. Bagaimana dampak Sistem Integrasi
Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai?
Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT)
berpengaruh terhadap pendapatan petani. 2. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berdampak terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.
METODE Penelitian ini dilakukan di Desa
Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu desa di Kecamatan Perbaungan yang melakukan pola usaha tani dengan Sistem Integrasi Padi Ternak, yaitu ternak sapi potong.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Desa Lubuk Bayas sebanyak 692 orang yang tersebar pada 6 (enam) kelompok tani. Jumlah petani yang menerapkan SIPT adalah sebanyak 70 petani pada dua kelompok tani, selebihnya sebanyak 622 petani belum melakukan SIPT.
Peneliti menetapkan sampel penelitian sebanyak 140 petani, yang terdiri dari 70 petani pelaksana SIPT dan 70 petani non SIPT.
Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh SIPT terhadap pendapatan petani, dilakukan dengan membandingkan pendapatan petani dengan SIPT dan pendapatan petani tanpa SIPT melalui uji beda rata-rata. Analisis uji beda rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus uji-t (Steel and Torrie, 1998) sebagai berikut:
dimana: = rata-rata pendapatan petani dengan pola SIPT = rata-rata pendapatan petani tanpa SIPT = varians gabungan
n = banyak sampel Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada 5%.
Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab hipotesis kedua, yaitu untuk mengetahui dampak SIPT terhadap pengembangan wilayah dilakukan dengan uji beda rata-rata. Analisis uji beda rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus uji-t (Steel and Torrie, 1998) sebagai berikut:
dimana: = rata-rata pertumbuhan produksi padi dan daya serap tenaga kerja dengan pola SIPT = rata-rata pertumbuhan produksi padi dan daya serap tenaga kerja tanpa SIPT = varians gabungan
n = banyak sampel Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada 5%.
165
HASIL Gambaran umum lokasi penelitian
Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2°57” Lintang Utara, 3°16” Lintang Selatan, 98°33” Bujur Timur, 99°27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut.
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis di mana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 340 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan AgustusSeptember, hari hujan per bulan berkisar 826 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agutus-September. Ratarata kecepatan udara berkisar 1,9 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,47 mm/hari. Temperature udara per bulan minimum 23,7°C dan maksimum 32,2°C.
Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 Kecamatan, dengan luas wilayah masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut (Tabel 1):
Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan di
Kabupaten Serdang Bedagai
No.
Kecamatan
Luas (Km2)
Rasio terhadap Luas Kabupaten (%)
01. Kotarih 02. Silinda 03. Bintang Bayu 04. Dolok Masihul 05. Serbajadi 06. Sipispis 07. Dolok Merawan 08. Tebing Tinggi 09. Tebing Syahbandar 10. Bandar Kalipah 11. Tanjung Beringin 12. Sei Rampah 13. Sei Bamban 14. Teluk Mengkudu 15. Perbaungan 16. Pegajahan 17. Pantai Cermin
78,024 56,740 95,586 237,417 50,690 145,259 120,600 182,291 120,297 116,000 74,170 198,900 72,260 66,950 111,620 93,120 80,296
4,11 2,99 5,03 12,49 2,67 7,64 6,35 9,59 6,33 6,10 3,90 10,47 3,80 3,52 5,87 4,90 4,23
Jumlah
1.900,220
100,00
Sumber: Kabupaten Serdang Bedagai Dalam Angka,
2010
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
Kecamatan Perbaungan adalah salah satu dari 17 kecamatan di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai. Secara geografis Kecamatan Perbaungan terletak antara : 98°54’0”-99°0’0” Bujur Timur dan 3°19’48”-3°28’48” Lintang Utara. Batasbatas administratif wilayah kecamatan Perbaungan adalah:
1. Sebelah timur berbatasan dengan
kecamatan Teluk Mengkudu
2. Sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan Pagar Merbau Kab. Deli Serdang.
3. Sebelah utara berbatasan dengan
kecamatan Pantai Cermin
4. Sebelah selatan berbatasan dengan
kecamatan Pegajahan. Secara administratif, kecamatan
Perbaungan terdiri dari 24 desa dan 4 kelurahan, dengan luas wilayah 111,620 km2. Luas desa di kecamatan Perbaungan adalah sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Luas Wilayah Kecamatan
Perbaungan Berdasarkan Desa
No. Desa / Kelurahan
Luas Jumlah (Km2) Dusun
1 Adolina
16,74
3
2 Melati II
11,80 23
3 Tanjung Buluh
7,39 2
4 Sei Buluh
1,23 4
5 Sei Sijenggi
2,71 4
6 Deli Muda Hulu
3,77 2
7 Melati 1
1,17 2
8 Citaman Jernih
1,62 7
9 Batang Terap
1,97 4
10 Simpang Tiga Pekan 1,78
7
11 Kota Galuh
3,00 4
12 Tualang
5,04 11
13 Bengkel
1,37 5
14 Deli Muda Hilir
4,63 3
15 Tanah Merah
3,39 3
16 Lubuk Bayas
4,81 4
17 Sungai Naga Lawan 5,58
3
18 Lubuk Rotan
3,64 5
19 Kesatuan
3,32 4
20 Lidah Tanah
4,60 6
21 Pematang Tatal
1,89 4
22 Lubuk Dendang
1,76 3
23 Suka Beras
3,26 3
24 Cinta Air
3,52 4
25 Pematang Sijonam
4,71
6
26 Lubuk Cemara
2,50 3
27 Jambur Pulau
2,47 4
28 Suka Jadi
1,95 3
Jumlah
111,62 136
Sumber: Kabupaten Serdang Bedagai Dalam
Angka, 2010
166
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
Jumlah penduduk di Kecamatan Perbaungan pada tahun 2009 adalah sebanyak 104,014 jiwa, yang terdiri dari 51,636 jiwa laki-laki dan 52,378 jiwa perempuan.
Desa Lubuk Bayas yang menjadi wilayah penelitian berjarak 15 km dari ibukota kecamatan, dan secara administratif berbatasan dengan: 1. Sebelah Timur berbatas dengan Desa
Tanah Merah 2. Sebelah Barat berbatas dengan Desa
Sei Naga Lawan 3. Sebelah Utara berbatas dengan Desa
Lubuk Rotan 4. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa
Pematang Tatal. Struktur penduduk Desa Lubuk
Bayas berdasarkan suku secara umum terdiri dari tiga suku, yaitu suku Jawa sebanyak 34,84%, Banjar sebanyak 30,69% dan suku Melayu 26,92%. Mayoritas penduduk (99%) menganut agama Islam. Sumber mata pencaharian utama penduduk di Desa Lubuk Bayas mayoritas (28.25%) adalah petani. Pada umumnya masyarakat mengusahakan tanaman padi sawah.
Deskripsi sistem integrasi padi-ternak
Pengembangan budidaya ternak
dalam suatu kawasan persawahan dapat
dilakukan dengan usaha pemeliharaan
ternak yang diketahui dapat memanfaatkan
secara optimal sumber daya lokal dan
produk samping tanaman padi. Pola
pengembangan tersebut telah dikenal
dengan sistem integrasi padi ternak (SIPT)
dan merupakan suatu sistem usaha tani
yang pengelolaannya saling terintegrasi
dengan berbagai komponen usaha tani padi-
ternak.
Pelaksanaan program SIPT antara
lain dapat dilakukan melalui penerapan
berbagai macam teknologi pengolahan
bahan baku pakan dan kotoran ternak
sebagai sumber bahan baku pupuk organik.
Produk teknologi pengolahan diharapkan
mampu mendukung kegiatan usaha tani
padi melalui penyediaan pupuk organik dan
penyediaan bahan pakan yang
berkelanjutan untuk sapi potong.
Secara
keseluruhan
maka
pengembangan SIPT dilaksanakan dengan
tujuan untuk antara lain (i) mendukung
upaya mempertahankan dan sekaligus
memperbaiki struktur dan tekstur lahan pertanian serta menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman pertanian yang seimbang, (ii) mendukung upaya peningkatan produktifitas tanaman padi (sebagai produk utama) dan daging (sebagai produk ikutan), (iii) peningkatan populasi ternak, yang sekaligus, (iv) meningkatkan pendapatan petani.
Dalam pelaksanaan SIPT di Desa Lubuk Bayas, petani membentuk kelompok dengan jumlah anggota 5–8 petani per kelompok. Setiap petani memiliki 2–4 ekor sapi, sehingga untuk satu kelompok terdapat 10–32 ekor sapi. Setiap kelompok peternak mempunyai satu kandang bersama, dan dalam pemberian pakan, mereka mengatur jadwal secara bersama. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pakan sapi yang diberikan oleh petani adalah rumput, bukan jerami padi sebagaimana konsep SIPT. Hal ini dlakukan petani karena masih tersedianya rumput di sekitar mereka, dan keterbatasan ketersediaan jerami padi yaitu hanya setelah musim panen.
Dalam pola SIPT, beberapa keuntungan yang diperoleh petani dalam hubungannya dengan pertanaman padi adalah: a. Petani menggunakan kotoran sapi
sebagai pupuk kandang untuk areal sawah dengan dosis 500 kg/ha, sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik. b. Urine sapi digunakan sebagai pestisida alami sehingga mengurangi biaya pembelian pestisida.
Penggunaan faktor produksi Faktor-faktor produksi yang
digunakan dalam usaha tani padi diantaranya adalah bibit, pupuk dan tenaga kerja. Penggunaan faktor-faktor produksi tersebut disajikan per petani dan per ha, sebagaimana Tabel 3.
167
Tabel 3. Persentase
Responden
Berdasarkan Penggunaan Faktor-
faktor Produksi Tanaman Padi
Sawah
No.
Faktor Produksi
Per Petani
Per Ha
SIPT
Non SIPT
SIPT
Non SIPT
1. Bibit (kg)
21,2 24,2 40 40
2. Pupuk (kg)
Urea 53 121,6 100 202
TSP/SP36 53 90,4 100 149
Ponska
26,5 60,6 50 100
ZA 0 59,4 0 95
Kandang 265 0 500 0
3. Tenaga Kerja 60,87 66,37 115 110
Dalam Keluarga
9
2 17 5
Luar Keluarga
52 65 97 104
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Penggunaan bibit per petani pada SIPT rata-rata sebanyak 21,2 kg dan non SIPT sebanyak 24,2 kg. Hal ini berhubungan dengan perbedaan rata-rata luas sawah yang diusahakan petani. Namun penggunaan bibit per ha adalah sama, yaitu 40 kg per ha. Hal ini disebabkan karena lahan sawah yang diusahakan oleh petani adalah lahan irigasi teknis dan petani membentuk kelompok tani, di mana dalam kelompok ini aktif mengikuti penyuluhan sistem usaha tani padi sawah.
Dalam penggunaan pupuk, dilihat bahwa dalam SIPT jumlah pupuk yang digunakan petani lebih sedikit dibandingkan dengan non SIPT. Tiga jenis pupuk yang digunakan petani adalah sama, yaitu Urea, TSP/SP36 dan Ponska, dengan dosis penggunaan yang lebih rendah pada SIPT. Perbedaan jenis pupuk yang digunakan adalah bahwa petani non SIPT menggunakan pupuk ZA, sedangkan petani SIPT menggunakan pupuk kandang, dalam hal ini adalah kotoran sapi.
Dalam hal penggunaan tenaga kerja, dapat dilihat bahwa per petani penggunaan tenaga kerja lebih rendah pada SIPT dibandingkan dengan non SIPT, tetapi per ha bahwa penggunaan tenaga kerja lebih besar pada SIPT daripada non SIPT. Namun demikian dapat dilihat bahwa penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih efektif pada SIPT dibandingkan dengan non SIPT, dengan demikian penggunaan tenaga kerja luar keluarga lebih banyak pada petani non SIPT dibandingkan
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
SIPT. Penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usaha tani akan mengurangi angka pengangguran tersembunyi dalam keluarga. Dengan demikian bahwa tenaga kerja dalam keluarga menjadi produktif.
Selanjutnya berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, maka dapat diketahui jumlah biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam usaha tani padi sawah, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Dalam hal ini biaya produksi dihitung untuk dua kali musim tanam, karena seluruh petani melakukan pola tanam dua kali dalam satu tahun.
Sesuai dengan penggunaan faktor produksi per petani yang lebih banyak pada petani non SIPT, maka biaya produksi juga lebih besar yaitu Rp. 8.398.136, sedangkan petani SIPT adalah Rp. 7.065.324. Demikian juga dalam perhitungan biya per ha, untuk petani non SIPT adalah sebesar Rp. 13.834.680, dan untuk petani SIPT adalah sebesar Rp. 13.315.254. Komponen biaya yang paling banyak berbeda adalah komponen biaya pupuk. Hal ini sesuai dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak pada petani non SIPT.
Tabel 4. Rata-rata Biaya Faktor Produksi
per Tahun (Rp)
No
Faktor Produksi
Per Petani SIPT Non SIPT
Per Ha SIPT Non SIPT
1. Bibit 127.200 144.943 240.000 239.143
2. Pupuk 614.266 863.686 1.141.771 1.423.508
3. Pestisida 158.443 161.443 305.444 272.368
4.
Tenaga Kerja
2.419.4292.785.186 4.567.912 4.579.806
5. Iuran Air 147.075 168.096 277.500 277.515
6. PBB 66.250.00 75.714 125.000 125.000
Total 7.065.3248.398.136 13.315.254 13.834.680
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Produksi dan pendapatan Produksi padi yang dihasilkan petani
dihitung dalam dua kali musim tanam (total) per tahun, demikian juga dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Jumlah produksi padi dan pendapatan petani dari usaha tani padi sawah di Desa Lubuk Bayas per tahun disajikan pada Tabel 5.
168
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
Tabel 5. Rata-rata Produksi dan Pendapatan Responden
Per Petani
Per Ha
No. Uraian
SIPT
Non SIPT
SIPT
Non SIPT
1. Produksi (ton) 6,93 7,86 13,06 13,02
2. Penjualan (Rp)25.646.28269.067.20408.317.97438.170.476
3.
Biaya (Rp)
Produksi7.065.3248.398.13163.315.25143.834.680
4.
Pendapatan (Rp)
18.580.96210.669.06345.002.71394.335.796
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Produksi padi per petani lebih tinggi pada petani non SIPT, hal ini sesuai dengan lahan sawah yang diusahakan lebih luas dibandingkan dengan petani SIPT. Tetapi dalam hal jumlah produksi per ha, diketahui bahwa produksi petani SIPT lebih tinggi dibandingkan dengan non SIPT. Total produksi petani SIPT dalam dua kali musim tanam adalah 13,06 ton per ha, sedangkan total produksi petani non SIPT adalah 13,02 ton per ha. Hal ini berarti bahwa dengan pola SIPT dan dengan penggunaan pupuk anorganik yang lebih rendah, produksi padi SIPT masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi padi non SIPT.
Padi yang dihasilkan petani pada umumnya dijual dalam keadaan basah kepada agen, dengan harga rata-rata Rp. 3.700 per kg. Tidak terdapat perbedaan harga jual gabah antara petani SIPT dan non SIPT, karena lokasi lahan sawah yang berada di desa yang sama dan dijual kepada agen. Sesuai dengan perbedaan produksi antara petani SIPT dan non SIPT, maka nilai penjualan padi juga berbeda, yaitu Rp. 48.317.973 per ha/tahun pada petani SIPT dan Rp. 48.170.476 per ha/tahun pada petani non SIPT.
Setelah dikurangi dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam satu tahun untuk usaha tani padi sawahnya, maka diperoleh pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pendapatan petani SIPT per Ha dalam satu tahun lebih tinggi dari pendapatan petani non SIPT. Jumlah pendapatan petani SIPT dari usaha tani padi sawah adalah Rp. 35.002.719,- sedangkan pendapatan petani non SIPT adalah sebesar Rp. 34.335.796. Selain pendapatan dari usaha tani padi sawah, petani SIPT juga memperoleh pendapatan dari penjualan sapi, yang diperkirakan rata-rata Rp.
5.476.000 per tahun. Untuk lengkapnya disajikan pada tabel berikut:
Tabel 6. Rata-rata Pendapatan Responden
dari Penjualan Sapi
No. Uraian
Jumlah Sapi
2 ekor
4 ekor
Rata-rata
Lama 1. dipelihara
(tahun) Biaya 2. produksi (Rp.)
222 5.640.000 14.600.000 10.248.000
3.
Penjualan (Rp)
14.000.000 28.000.000 21.200.000
4.
Pendapatan (Rp)-2 thn
8.360.000
13.400.000 10.952.000
5.
Pendapatan (Rp) / thn
4.180.000
6.700.000
5.476.000
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
PEMBAHASAN Pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pendapatan petani dengan pola SIPT dan non SIPT, di mana pendapatan petani SIPT per hektar lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SIPT. Untuk menguji signifikansi perbedaan pendapatan tersebut, dialukan uji t sebagai berikut:
Tabel 7. Uji Beda Pendapatan Petani
Uraian
Sig. Mean t df (2- Differen
tailed) ce
Pendapa tan
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2,567 2,567
138 123,451
,011 666923.1 0000
,011 666923,1 0000
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar 2,567 dengan signifikansi 0.011 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α=5%. Dengan demikian terdapat perbedaan antara pendapatan per hektar petani SIPT dengan pendapatan petani non SIPT. Perbedaan pendapatan adalah sebesar Rp. 666.923 per hektar.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa faktor utama yang menyebabkan pendapatan lebih tinggi pada SIPT adalah karena biaya produksi SIPT lebih rendah dibandingkan dengan petani non SIPT. Hal ini disebabkan karena petani SIPT memanfaatkan pupuk kompos berupa
169
pupuk organik dari ternak sapi sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
Tabel 8. Uji Beda Biaya Pupuk Petani
Uraian
t
Sig. df (2-
tailed)
Mean Difference
Pupuk
Equal variances assumed
Equal variances not assumed
-17,413 -17,413
138
72,8 92
,000 -281736,22857 ,000 -281736,22857
Berdasarkan hasil analisis dengan uji
t diperoleh nilai t-hitung sebesar 17,413
dengan signifikansi 0,00 yang berarti
terdapat perbedaan signifikan pada α 5%.
Dengan demikian terdapat perbedaan antara
biaya pupuk per hektar petani SIPT dengan
petani non SIPT. Perbedaan biaya pupuk
adalah sebesar Rp. 281.736,23 per hektar,
dengan demikian pola SIPT dapat
menurunkan biaya pupuk sebesar Rp.
281.736,23 per hektar.
Menurut Sutanto (2002), beberapa
manfaat penggunaan kompos dalam jangka
panjang mampu meningkatkan N, P, K dan
Si tanah, disamping itu juga mampu
meningkatkan aktivitas mikrobia penyemat
nitrogen melalui peningkatan kandungan
bahan organik tanah yang mudah
terdekomposisi,
meningkatkan
pembentukan agregat yang stabil dan
pertukaran kation. Selanjutnya Poniman
(2003) menyatakan bahwa pemberian
pupuk kandang dapat meningkatkan dan
mempertahankan keanekaragaman dan
kehidupan organisme tanah. Bahan organik
merupakan sumber energi bagi kehidupan
organisme tanah.
Meskipun pupuk kandang banyak
memberikan
keuntungan,
tetapi
pemakaiannya di lapangan juga harus
memperhatikan kondisi setiap jenis bahan
orgnik yang dikandungnya. Penggunaan
pupuk organik yang tidak tepat juga bisa
mencemari lingkungan. Dengan demikian
harus diketahui jenis bahan organik, jumlah
yang harus diberikan, kapan pupuk kandang
digunakan secara tepat melalui teknologi
diperlukan untuk men-treatment limbah
organik pertanian. Menurut Rochayati, at al
((2003) penggunaan pupuk organik di
Korea Selatan memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah. Persentase agregat berukuran
1 mm atau lebih, prositas, permeabilitas,
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
pH, kandungan bahan organik dan KTK meningkat, sebaliknya bulk density dan kekerasan tanah berkurang dengan pemberian pupuk organik. Selanjutnya dikatakan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah perlu terus ditingkatkan sehingga penggunaan pupuk dapat lebih rasional dan efisien berdasarkan analisis tanah, sifat-sifat tanah dan kebutuhan tanaman serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Perimbangan pupuk organik dan pupuk annorganik yang tepat menyebabkan tanaman tumbuh optimal dan produksi meningkat. Berdasarkan penelitian Sutardi et.al (2002) jumlah pupuk anorganik yang tinggi tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi, namun yang menentukan tingkat produksi adalah perimbangan pupuk organik dan anorganik dengan perlakuan kurang 30% atau 105 kg/ha Urea, 45 kg/ha SP-36, dan 30 kg/ha KCL dengan perimbangan pupuk organik 2,5 ton/ha. Faktor genetik juga menentukan berat gabah pertanaman. Keseimbangan pupuk dengan perbandingan
PENGARUH SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Hasan Basri Tarmizi*, Safaruddin**
*Dosen Fakultas Ekonomi USU **Kadis Pertanian dan Peternakan di Kabupaten Serdang Bedagai
Abstract: The main purpose of this study is to analyze the influence of Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) on farmers income at Serdang Bedagai, to analyze the impact of Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) on the development on the implementing the Sistem of Rice Livestock Integration (SIPT) at Serdang Bedagai.The result showed that the Rice Livestock Integration Sistems (SIPT) effect to increasing the farmers’ income and the positively impact on regional development in Serdang Bedagai. It can be seen from the not significantly differences of rice production, the production cost savings (efficiency), employment and farming sustainable (environmentally). The implication of this study is the farmers need to apply the SIPT and the Serdang Bedagai Government order to develop the SIPT in Serdang Bedagai towards the organic farming to realize sustainable agriculture development.
Abstrak: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Serdang Bedagai, menganalisis dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan pada implementasi Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Serdang Bedagai. Hasil menunjukkan bahwa efek Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) untuk meningkatkan pendapatan para petani dan berdampak positif pada pembangunan daerah di Serdang Bedagai. Hal ini dapat dilihat dari tidak secara signifikan perbedaan produksi padi, penghematan biaya produksi (efisiensi), lapangan kerja dan pertanian yang berkelanjutan (lingkungan). Implikasi dari penelitian ini adalah para petani perlu menerapkan SIPT dan Pemerintah Serdang Bedagai dalam rangka untuk mengembangkan SIPT di Serdang Bedagai menuju ke arah pertanian organik untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Keywords: Productivity, Efficiency, Employment, Sustainable Agriculture, and Regional Development.
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian di Indonesia
mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar melalui peningkatan input-output-outcome antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian
besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian (Departemen Pertanian, 2005). Menurut BPS PDRB Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp.8,4 Triliyun, di mana konstribusi terbesar adalah dari sektor pertanian yaitu ± 41%.
Dalam operasionalnya pelaksanaan pembangunan pertanian di tingkat petani umumnya masih bersifat parsial (per subsektor), sehingga petani sebagai pelaku usaha tani dikelompokkan menjadi petani tanaman pangan, hortikultura, ikan, ternak, dan perkebunan. Hal tersebut membawa dampak negatif terutama bagi para petani
163
yang hanya memiliki atau menggarap lahan usaha sempit (0,1-0,5 Ha) karena tidak dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya secara optimal. Lahan sawah masih dipandang sebagai media untuk memproduksi bahan pangan berupa padi dan palawija saja. Padahal melalui pemanfaatan teknologi tepat guna, lahan sawah selain dapat dimanfaatkan untuk usaha tani tunggal (single community approach) juga dapat dimanfaatkan untuk usaha tani terpadu (integrated communities farming sistem approach) (Sugandi, 2002).
Dengan skala kepemilikan lahan yang sempit dan terbatas tersebut, usaha tani semakin diintensifkan yang memerlukan lebih banyak supply unsur hara dan perlindungan tanaman. Pengusahaan lahan yang intensif dengan menggunakan input luar berupa kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar, tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping membutuhkan biaya usaha tani yang tinggi juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan dan menyebabkan penurunan pendapatan petani (Salikin, 2003). Menurut Jumin, (2002), kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk nitrogen misalnya, di Indonesia selama tahun 1970-1980 terjadi peningkatan 3 kali lipat, penggunaan pestisida 6 kali lipat. Namun sayangnya produktivitas yang diperoleh hanyalah 1,5 kali lipat.
Pengusahaan pertanian yang intensif secara monokultur yang menerapkan teknologi high-input pada areal yang lebih subur, telah mengakibatkan lahan marjinal semakin luas (Reijntjes, 1999). Sejak akhir tahun delapan puluhan mulai tampak tandatanda kelelahan pada tanah dan penurunan produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman tidak menunjukkan kecenderungan meningkat walaupun telah digunakan varietas unggul yang memerlukan pemeliharaan dan pengelolaan hara secara intensif melalui bermacam-macam paket teknologi (Sutanto, 2002).
Menurut Naipospos (2004), sistem pertanian yang konvensional saat ini dilakukan secara tidak bijaksana. Sehingga menimbulkan permasalahan baru yang akhirnya menggagalkan kestabilan
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
produksi. Karena sistem pertanian yang tanpa memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan ekologi merupakan bagian dari upaya perusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem konvensional cenderung mengarah pada penanaman tanaman yang sama (monokultur) yang mengharuskan pemakaian pupuk kimia (anorganik) dan pestisida secara besarbesaran sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem dan pengolahan tanah secara intensif menyebabkan degradasi tanah secara luas dan juga mengakibatkan polusi air permukaan maupun air bawah tanah. Melihat kenyataan tersebut, perlu adanya upaya terobosan untuk mendorong perbaikan lingkungan hidup, dengan mengubah sistem pertanian konvensional menjadi sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Pertanian Ramah Lingkungan dapat dikembangkan melalui sistem integrasi tanaman dan ternak (crop livestock sistem), karena 2/3 (dua pertiga) dari penduduk miskin di negara-negara berkembang memelihara ternak dan hampir 60% diantaranya bergantung pada sistem tanaman-ternak. Usaha tani (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan) selalu dibarengi oleh usaha ternak artinya peternakan dilakukan sebagai usaha sampingan dengan tujuan sebagai tabungan petani, tenaga kerja (ternak besar), penyediaan pupuk kandang dan sebagainya. Keterkaitan dan keterpaduan usaha tani tersebut sejak dahulu berlangsung di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, tetapi masih sporadis atau berskala kecil dan individu. Ternak yang dipelihara dalam jangka panjang dengan pemeliharaan intensif akan meningkatkan pertambahan berat badan atau menghasilkan anak.
Kegiatan peternakan setiap hari menghasilkan kotoran yang merupakan substrat utama pembuatan kompos/bokashi sebagai pupuk organik. Sementara dari kegiatan pertanian tanaman pangan dan hortikultura akan memberikan pula sisa-sisa produksi yang dapat digunakan kembali sebagai pakan ternak, disamping adanya hijauan makanan ternak yang ditanam. Dengan demikian kebutuhan makanan ternak dapat terpenuhi sehingga pertumbuhan berat badan rata-rata ternak dapat terus meningkat. Hal ini
164
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
menunjukkan siklus atau rangkaian kegiatan ini memberikan nilai efisiensi yang tinggi di mana tidak adanya limbah dari kegiatan produksi yang terbuang.
Sebagai daerah agraris, Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai luas lahan sawah lebih kurang 41.000 hektar dan merupakan salah satu daerah penghasil atau lumbung beras di Sumatera Utara dengan surplus beras rata-rata pertahun 125.000 sampai 130.000 ton. Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani dalam rangka meningkatkan swasembada beras dan penyediaan protein hewani di Kabupaten Serdang Bedagai, secara berkelanjutan dengan tidak merusak lingkungan maka Sistem Integrasi Padi dan Ternak dapat menjadi salah satu pilihan sistem pembangunan pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mengadakan studi analisis Sistem Integrasi Padi Ternak dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka sebagai permasalahan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Apakah Sistem Integrasi Padi Ternak
(SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai?
2. Bagaimana dampak Sistem Integrasi
Padi Ternak (SIPT) terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai?
Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT)
berpengaruh terhadap pendapatan petani. 2. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berdampak terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.
METODE Penelitian ini dilakukan di Desa
Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu desa di Kecamatan Perbaungan yang melakukan pola usaha tani dengan Sistem Integrasi Padi Ternak, yaitu ternak sapi potong.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Desa Lubuk Bayas sebanyak 692 orang yang tersebar pada 6 (enam) kelompok tani. Jumlah petani yang menerapkan SIPT adalah sebanyak 70 petani pada dua kelompok tani, selebihnya sebanyak 622 petani belum melakukan SIPT.
Peneliti menetapkan sampel penelitian sebanyak 140 petani, yang terdiri dari 70 petani pelaksana SIPT dan 70 petani non SIPT.
Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh SIPT terhadap pendapatan petani, dilakukan dengan membandingkan pendapatan petani dengan SIPT dan pendapatan petani tanpa SIPT melalui uji beda rata-rata. Analisis uji beda rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus uji-t (Steel and Torrie, 1998) sebagai berikut:
dimana: = rata-rata pendapatan petani dengan pola SIPT = rata-rata pendapatan petani tanpa SIPT = varians gabungan
n = banyak sampel Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada 5%.
Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab hipotesis kedua, yaitu untuk mengetahui dampak SIPT terhadap pengembangan wilayah dilakukan dengan uji beda rata-rata. Analisis uji beda rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus uji-t (Steel and Torrie, 1998) sebagai berikut:
dimana: = rata-rata pertumbuhan produksi padi dan daya serap tenaga kerja dengan pola SIPT = rata-rata pertumbuhan produksi padi dan daya serap tenaga kerja tanpa SIPT = varians gabungan
n = banyak sampel Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada 5%.
165
HASIL Gambaran umum lokasi penelitian
Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2°57” Lintang Utara, 3°16” Lintang Selatan, 98°33” Bujur Timur, 99°27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut.
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis di mana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 340 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan AgustusSeptember, hari hujan per bulan berkisar 826 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agutus-September. Ratarata kecepatan udara berkisar 1,9 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,47 mm/hari. Temperature udara per bulan minimum 23,7°C dan maksimum 32,2°C.
Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 Kecamatan, dengan luas wilayah masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut (Tabel 1):
Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan di
Kabupaten Serdang Bedagai
No.
Kecamatan
Luas (Km2)
Rasio terhadap Luas Kabupaten (%)
01. Kotarih 02. Silinda 03. Bintang Bayu 04. Dolok Masihul 05. Serbajadi 06. Sipispis 07. Dolok Merawan 08. Tebing Tinggi 09. Tebing Syahbandar 10. Bandar Kalipah 11. Tanjung Beringin 12. Sei Rampah 13. Sei Bamban 14. Teluk Mengkudu 15. Perbaungan 16. Pegajahan 17. Pantai Cermin
78,024 56,740 95,586 237,417 50,690 145,259 120,600 182,291 120,297 116,000 74,170 198,900 72,260 66,950 111,620 93,120 80,296
4,11 2,99 5,03 12,49 2,67 7,64 6,35 9,59 6,33 6,10 3,90 10,47 3,80 3,52 5,87 4,90 4,23
Jumlah
1.900,220
100,00
Sumber: Kabupaten Serdang Bedagai Dalam Angka,
2010
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
Kecamatan Perbaungan adalah salah satu dari 17 kecamatan di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai. Secara geografis Kecamatan Perbaungan terletak antara : 98°54’0”-99°0’0” Bujur Timur dan 3°19’48”-3°28’48” Lintang Utara. Batasbatas administratif wilayah kecamatan Perbaungan adalah:
1. Sebelah timur berbatasan dengan
kecamatan Teluk Mengkudu
2. Sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan Pagar Merbau Kab. Deli Serdang.
3. Sebelah utara berbatasan dengan
kecamatan Pantai Cermin
4. Sebelah selatan berbatasan dengan
kecamatan Pegajahan. Secara administratif, kecamatan
Perbaungan terdiri dari 24 desa dan 4 kelurahan, dengan luas wilayah 111,620 km2. Luas desa di kecamatan Perbaungan adalah sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Luas Wilayah Kecamatan
Perbaungan Berdasarkan Desa
No. Desa / Kelurahan
Luas Jumlah (Km2) Dusun
1 Adolina
16,74
3
2 Melati II
11,80 23
3 Tanjung Buluh
7,39 2
4 Sei Buluh
1,23 4
5 Sei Sijenggi
2,71 4
6 Deli Muda Hulu
3,77 2
7 Melati 1
1,17 2
8 Citaman Jernih
1,62 7
9 Batang Terap
1,97 4
10 Simpang Tiga Pekan 1,78
7
11 Kota Galuh
3,00 4
12 Tualang
5,04 11
13 Bengkel
1,37 5
14 Deli Muda Hilir
4,63 3
15 Tanah Merah
3,39 3
16 Lubuk Bayas
4,81 4
17 Sungai Naga Lawan 5,58
3
18 Lubuk Rotan
3,64 5
19 Kesatuan
3,32 4
20 Lidah Tanah
4,60 6
21 Pematang Tatal
1,89 4
22 Lubuk Dendang
1,76 3
23 Suka Beras
3,26 3
24 Cinta Air
3,52 4
25 Pematang Sijonam
4,71
6
26 Lubuk Cemara
2,50 3
27 Jambur Pulau
2,47 4
28 Suka Jadi
1,95 3
Jumlah
111,62 136
Sumber: Kabupaten Serdang Bedagai Dalam
Angka, 2010
166
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
Jumlah penduduk di Kecamatan Perbaungan pada tahun 2009 adalah sebanyak 104,014 jiwa, yang terdiri dari 51,636 jiwa laki-laki dan 52,378 jiwa perempuan.
Desa Lubuk Bayas yang menjadi wilayah penelitian berjarak 15 km dari ibukota kecamatan, dan secara administratif berbatasan dengan: 1. Sebelah Timur berbatas dengan Desa
Tanah Merah 2. Sebelah Barat berbatas dengan Desa
Sei Naga Lawan 3. Sebelah Utara berbatas dengan Desa
Lubuk Rotan 4. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa
Pematang Tatal. Struktur penduduk Desa Lubuk
Bayas berdasarkan suku secara umum terdiri dari tiga suku, yaitu suku Jawa sebanyak 34,84%, Banjar sebanyak 30,69% dan suku Melayu 26,92%. Mayoritas penduduk (99%) menganut agama Islam. Sumber mata pencaharian utama penduduk di Desa Lubuk Bayas mayoritas (28.25%) adalah petani. Pada umumnya masyarakat mengusahakan tanaman padi sawah.
Deskripsi sistem integrasi padi-ternak
Pengembangan budidaya ternak
dalam suatu kawasan persawahan dapat
dilakukan dengan usaha pemeliharaan
ternak yang diketahui dapat memanfaatkan
secara optimal sumber daya lokal dan
produk samping tanaman padi. Pola
pengembangan tersebut telah dikenal
dengan sistem integrasi padi ternak (SIPT)
dan merupakan suatu sistem usaha tani
yang pengelolaannya saling terintegrasi
dengan berbagai komponen usaha tani padi-
ternak.
Pelaksanaan program SIPT antara
lain dapat dilakukan melalui penerapan
berbagai macam teknologi pengolahan
bahan baku pakan dan kotoran ternak
sebagai sumber bahan baku pupuk organik.
Produk teknologi pengolahan diharapkan
mampu mendukung kegiatan usaha tani
padi melalui penyediaan pupuk organik dan
penyediaan bahan pakan yang
berkelanjutan untuk sapi potong.
Secara
keseluruhan
maka
pengembangan SIPT dilaksanakan dengan
tujuan untuk antara lain (i) mendukung
upaya mempertahankan dan sekaligus
memperbaiki struktur dan tekstur lahan pertanian serta menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman pertanian yang seimbang, (ii) mendukung upaya peningkatan produktifitas tanaman padi (sebagai produk utama) dan daging (sebagai produk ikutan), (iii) peningkatan populasi ternak, yang sekaligus, (iv) meningkatkan pendapatan petani.
Dalam pelaksanaan SIPT di Desa Lubuk Bayas, petani membentuk kelompok dengan jumlah anggota 5–8 petani per kelompok. Setiap petani memiliki 2–4 ekor sapi, sehingga untuk satu kelompok terdapat 10–32 ekor sapi. Setiap kelompok peternak mempunyai satu kandang bersama, dan dalam pemberian pakan, mereka mengatur jadwal secara bersama. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pakan sapi yang diberikan oleh petani adalah rumput, bukan jerami padi sebagaimana konsep SIPT. Hal ini dlakukan petani karena masih tersedianya rumput di sekitar mereka, dan keterbatasan ketersediaan jerami padi yaitu hanya setelah musim panen.
Dalam pola SIPT, beberapa keuntungan yang diperoleh petani dalam hubungannya dengan pertanaman padi adalah: a. Petani menggunakan kotoran sapi
sebagai pupuk kandang untuk areal sawah dengan dosis 500 kg/ha, sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik. b. Urine sapi digunakan sebagai pestisida alami sehingga mengurangi biaya pembelian pestisida.
Penggunaan faktor produksi Faktor-faktor produksi yang
digunakan dalam usaha tani padi diantaranya adalah bibit, pupuk dan tenaga kerja. Penggunaan faktor-faktor produksi tersebut disajikan per petani dan per ha, sebagaimana Tabel 3.
167
Tabel 3. Persentase
Responden
Berdasarkan Penggunaan Faktor-
faktor Produksi Tanaman Padi
Sawah
No.
Faktor Produksi
Per Petani
Per Ha
SIPT
Non SIPT
SIPT
Non SIPT
1. Bibit (kg)
21,2 24,2 40 40
2. Pupuk (kg)
Urea 53 121,6 100 202
TSP/SP36 53 90,4 100 149
Ponska
26,5 60,6 50 100
ZA 0 59,4 0 95
Kandang 265 0 500 0
3. Tenaga Kerja 60,87 66,37 115 110
Dalam Keluarga
9
2 17 5
Luar Keluarga
52 65 97 104
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Penggunaan bibit per petani pada SIPT rata-rata sebanyak 21,2 kg dan non SIPT sebanyak 24,2 kg. Hal ini berhubungan dengan perbedaan rata-rata luas sawah yang diusahakan petani. Namun penggunaan bibit per ha adalah sama, yaitu 40 kg per ha. Hal ini disebabkan karena lahan sawah yang diusahakan oleh petani adalah lahan irigasi teknis dan petani membentuk kelompok tani, di mana dalam kelompok ini aktif mengikuti penyuluhan sistem usaha tani padi sawah.
Dalam penggunaan pupuk, dilihat bahwa dalam SIPT jumlah pupuk yang digunakan petani lebih sedikit dibandingkan dengan non SIPT. Tiga jenis pupuk yang digunakan petani adalah sama, yaitu Urea, TSP/SP36 dan Ponska, dengan dosis penggunaan yang lebih rendah pada SIPT. Perbedaan jenis pupuk yang digunakan adalah bahwa petani non SIPT menggunakan pupuk ZA, sedangkan petani SIPT menggunakan pupuk kandang, dalam hal ini adalah kotoran sapi.
Dalam hal penggunaan tenaga kerja, dapat dilihat bahwa per petani penggunaan tenaga kerja lebih rendah pada SIPT dibandingkan dengan non SIPT, tetapi per ha bahwa penggunaan tenaga kerja lebih besar pada SIPT daripada non SIPT. Namun demikian dapat dilihat bahwa penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih efektif pada SIPT dibandingkan dengan non SIPT, dengan demikian penggunaan tenaga kerja luar keluarga lebih banyak pada petani non SIPT dibandingkan
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
SIPT. Penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usaha tani akan mengurangi angka pengangguran tersembunyi dalam keluarga. Dengan demikian bahwa tenaga kerja dalam keluarga menjadi produktif.
Selanjutnya berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, maka dapat diketahui jumlah biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam usaha tani padi sawah, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Dalam hal ini biaya produksi dihitung untuk dua kali musim tanam, karena seluruh petani melakukan pola tanam dua kali dalam satu tahun.
Sesuai dengan penggunaan faktor produksi per petani yang lebih banyak pada petani non SIPT, maka biaya produksi juga lebih besar yaitu Rp. 8.398.136, sedangkan petani SIPT adalah Rp. 7.065.324. Demikian juga dalam perhitungan biya per ha, untuk petani non SIPT adalah sebesar Rp. 13.834.680, dan untuk petani SIPT adalah sebesar Rp. 13.315.254. Komponen biaya yang paling banyak berbeda adalah komponen biaya pupuk. Hal ini sesuai dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak pada petani non SIPT.
Tabel 4. Rata-rata Biaya Faktor Produksi
per Tahun (Rp)
No
Faktor Produksi
Per Petani SIPT Non SIPT
Per Ha SIPT Non SIPT
1. Bibit 127.200 144.943 240.000 239.143
2. Pupuk 614.266 863.686 1.141.771 1.423.508
3. Pestisida 158.443 161.443 305.444 272.368
4.
Tenaga Kerja
2.419.4292.785.186 4.567.912 4.579.806
5. Iuran Air 147.075 168.096 277.500 277.515
6. PBB 66.250.00 75.714 125.000 125.000
Total 7.065.3248.398.136 13.315.254 13.834.680
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Produksi dan pendapatan Produksi padi yang dihasilkan petani
dihitung dalam dua kali musim tanam (total) per tahun, demikian juga dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Jumlah produksi padi dan pendapatan petani dari usaha tani padi sawah di Desa Lubuk Bayas per tahun disajikan pada Tabel 5.
168
Hasan Basri Tarmizi, Safaruddin: Pengaruh Sistem Integrasi…
Tabel 5. Rata-rata Produksi dan Pendapatan Responden
Per Petani
Per Ha
No. Uraian
SIPT
Non SIPT
SIPT
Non SIPT
1. Produksi (ton) 6,93 7,86 13,06 13,02
2. Penjualan (Rp)25.646.28269.067.20408.317.97438.170.476
3.
Biaya (Rp)
Produksi7.065.3248.398.13163.315.25143.834.680
4.
Pendapatan (Rp)
18.580.96210.669.06345.002.71394.335.796
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
Produksi padi per petani lebih tinggi pada petani non SIPT, hal ini sesuai dengan lahan sawah yang diusahakan lebih luas dibandingkan dengan petani SIPT. Tetapi dalam hal jumlah produksi per ha, diketahui bahwa produksi petani SIPT lebih tinggi dibandingkan dengan non SIPT. Total produksi petani SIPT dalam dua kali musim tanam adalah 13,06 ton per ha, sedangkan total produksi petani non SIPT adalah 13,02 ton per ha. Hal ini berarti bahwa dengan pola SIPT dan dengan penggunaan pupuk anorganik yang lebih rendah, produksi padi SIPT masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi padi non SIPT.
Padi yang dihasilkan petani pada umumnya dijual dalam keadaan basah kepada agen, dengan harga rata-rata Rp. 3.700 per kg. Tidak terdapat perbedaan harga jual gabah antara petani SIPT dan non SIPT, karena lokasi lahan sawah yang berada di desa yang sama dan dijual kepada agen. Sesuai dengan perbedaan produksi antara petani SIPT dan non SIPT, maka nilai penjualan padi juga berbeda, yaitu Rp. 48.317.973 per ha/tahun pada petani SIPT dan Rp. 48.170.476 per ha/tahun pada petani non SIPT.
Setelah dikurangi dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam satu tahun untuk usaha tani padi sawahnya, maka diperoleh pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pendapatan petani SIPT per Ha dalam satu tahun lebih tinggi dari pendapatan petani non SIPT. Jumlah pendapatan petani SIPT dari usaha tani padi sawah adalah Rp. 35.002.719,- sedangkan pendapatan petani non SIPT adalah sebesar Rp. 34.335.796. Selain pendapatan dari usaha tani padi sawah, petani SIPT juga memperoleh pendapatan dari penjualan sapi, yang diperkirakan rata-rata Rp.
5.476.000 per tahun. Untuk lengkapnya disajikan pada tabel berikut:
Tabel 6. Rata-rata Pendapatan Responden
dari Penjualan Sapi
No. Uraian
Jumlah Sapi
2 ekor
4 ekor
Rata-rata
Lama 1. dipelihara
(tahun) Biaya 2. produksi (Rp.)
222 5.640.000 14.600.000 10.248.000
3.
Penjualan (Rp)
14.000.000 28.000.000 21.200.000
4.
Pendapatan (Rp)-2 thn
8.360.000
13.400.000 10.952.000
5.
Pendapatan (Rp) / thn
4.180.000
6.700.000
5.476.000
Sumber: Data Primer, Diolah, 2011
PEMBAHASAN Pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pendapatan petani dengan pola SIPT dan non SIPT, di mana pendapatan petani SIPT per hektar lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SIPT. Untuk menguji signifikansi perbedaan pendapatan tersebut, dialukan uji t sebagai berikut:
Tabel 7. Uji Beda Pendapatan Petani
Uraian
Sig. Mean t df (2- Differen
tailed) ce
Pendapa tan
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2,567 2,567
138 123,451
,011 666923.1 0000
,011 666923,1 0000
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar 2,567 dengan signifikansi 0.011 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α=5%. Dengan demikian terdapat perbedaan antara pendapatan per hektar petani SIPT dengan pendapatan petani non SIPT. Perbedaan pendapatan adalah sebesar Rp. 666.923 per hektar.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa faktor utama yang menyebabkan pendapatan lebih tinggi pada SIPT adalah karena biaya produksi SIPT lebih rendah dibandingkan dengan petani non SIPT. Hal ini disebabkan karena petani SIPT memanfaatkan pupuk kompos berupa
169
pupuk organik dari ternak sapi sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
Tabel 8. Uji Beda Biaya Pupuk Petani
Uraian
t
Sig. df (2-
tailed)
Mean Difference
Pupuk
Equal variances assumed
Equal variances not assumed
-17,413 -17,413
138
72,8 92
,000 -281736,22857 ,000 -281736,22857
Berdasarkan hasil analisis dengan uji
t diperoleh nilai t-hitung sebesar 17,413
dengan signifikansi 0,00 yang berarti
terdapat perbedaan signifikan pada α 5%.
Dengan demikian terdapat perbedaan antara
biaya pupuk per hektar petani SIPT dengan
petani non SIPT. Perbedaan biaya pupuk
adalah sebesar Rp. 281.736,23 per hektar,
dengan demikian pola SIPT dapat
menurunkan biaya pupuk sebesar Rp.
281.736,23 per hektar.
Menurut Sutanto (2002), beberapa
manfaat penggunaan kompos dalam jangka
panjang mampu meningkatkan N, P, K dan
Si tanah, disamping itu juga mampu
meningkatkan aktivitas mikrobia penyemat
nitrogen melalui peningkatan kandungan
bahan organik tanah yang mudah
terdekomposisi,
meningkatkan
pembentukan agregat yang stabil dan
pertukaran kation. Selanjutnya Poniman
(2003) menyatakan bahwa pemberian
pupuk kandang dapat meningkatkan dan
mempertahankan keanekaragaman dan
kehidupan organisme tanah. Bahan organik
merupakan sumber energi bagi kehidupan
organisme tanah.
Meskipun pupuk kandang banyak
memberikan
keuntungan,
tetapi
pemakaiannya di lapangan juga harus
memperhatikan kondisi setiap jenis bahan
orgnik yang dikandungnya. Penggunaan
pupuk organik yang tidak tepat juga bisa
mencemari lingkungan. Dengan demikian
harus diketahui jenis bahan organik, jumlah
yang harus diberikan, kapan pupuk kandang
digunakan secara tepat melalui teknologi
diperlukan untuk men-treatment limbah
organik pertanian. Menurut Rochayati, at al
((2003) penggunaan pupuk organik di
Korea Selatan memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah. Persentase agregat berukuran
1 mm atau lebih, prositas, permeabilitas,
Jurnal Ekonom, Vol 15, No 4, Oktober 2012
pH, kandungan bahan organik dan KTK meningkat, sebaliknya bulk density dan kekerasan tanah berkurang dengan pemberian pupuk organik. Selanjutnya dikatakan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah perlu terus ditingkatkan sehingga penggunaan pupuk dapat lebih rasional dan efisien berdasarkan analisis tanah, sifat-sifat tanah dan kebutuhan tanaman serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Perimbangan pupuk organik dan pupuk annorganik yang tepat menyebabkan tanaman tumbuh optimal dan produksi meningkat. Berdasarkan penelitian Sutardi et.al (2002) jumlah pupuk anorganik yang tinggi tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi, namun yang menentukan tingkat produksi adalah perimbangan pupuk organik dan anorganik dengan perlakuan kurang 30% atau 105 kg/ha Urea, 45 kg/ha SP-36, dan 30 kg/ha KCL dengan perimbangan pupuk organik 2,5 ton/ha. Faktor genetik juga menentukan berat gabah pertanaman. Keseimbangan pupuk dengan perbandingan