Konservasi Kawasan

4.4 Konservasi Kawasan

4.4.1 Pengelolaan Kawasan Untuk mengelola Kawasan Konservasi Orangutan Sungai Lesan, pada

tahun 2004 telah dibentuk Badan Pengelola Kawasan Lindung Habitat Orangutan di Sungai Lesan melalui Surat Keputusan Bupati No. 251 tahun 2004 tanggal 7 Oktober 2004 (PEMDA Berau, 2005).

Untuk menguatkan status kawasan tersebut, Pemerintah Kabupaten Berau melalui surat Nomor 522.51/622/DKB-II tanggal 4 Agustus 2005 telah mengajukan Permohonan Rekomendasi untuk Peninjauan Kembali Status Kawasan Habitat Orangutan di Sungai Lesan Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur kepada Gubernur Kaltim. Rekomendasi dari Gubernur ini diperlukan untuk memperkuat usulan perubahan status kawasan ke Menteri Kehutanan RI (Marbyanto, 2006).

Rekomendasi dari Gubernur tersebut sudah diperoleh dalam bentuk Surat Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK tanggal 10 Nopember 2005, tentang Perubahan Kawasan. Dalam surat ini Gubernur mendukung perubahan status kawasan dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan di Kelompok Hutan Sungai Lesan menjadi Kawasan Konservasi Habitat Orangutan. Dalam surat ini luasan kawasan konservasi yang direkomendasikan mencapai 11.342,61 hektar dari luasan 12.192 hektar yang diusulkan oleh Bupati Berau. Menciutnya luasan Rekomendasi dari Gubernur tersebut sudah diperoleh dalam bentuk Surat Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK tanggal 10 Nopember 2005, tentang Perubahan Kawasan. Dalam surat ini Gubernur mendukung perubahan status kawasan dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan di Kelompok Hutan Sungai Lesan menjadi Kawasan Konservasi Habitat Orangutan. Dalam surat ini luasan kawasan konservasi yang direkomendasikan mencapai 11.342,61 hektar dari luasan 12.192 hektar yang diusulkan oleh Bupati Berau. Menciutnya luasan

Saat ini proses pengajuan rekomendasi ke Menteri Kehutanan RI masih dalam proses di Departemen Kehutanan. Dalam proses pengajuan ke Menteri Kehutanan ini, suatu dinamika telah terjadi di masyarakat dimana saat ini masyarakat menginginkan agar status kawasan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan nantinya merupakan suatu bentuk status yang mampu melindungi hutan yang ada namun tetap menjamin akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang ada (Marbyanto, 2006). Dukungan-dukungan penetapan kawasan dari berbagai institusi pada Lampiran 1.

4.4.2 Potensi Ekonomi Kawasan Kawasan Lindung Sungai Lesan selain dituntut untuk mampu

menjalankan fungsi ekologis, juga dituntut untuk mampu menjalankan fungsi sosial ekonomi kar ena selama ini masyarakat sekitar sudah memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan, obat-obatan dan sumber pendapatan mereka. Oleh karenanya pelestarian Kawasan Lindung Sungai Lesan harus dilakukan dengan mengkombinasikan pengembangan fungsi ekologis kawasan dengan fungsi sosial ekonominya.

Dari hasil kajian yang dilakukan Bina Swadaya (2006), beberapa potensi wisata yang bisa dikembangkan untuk mendukung aspek sosial ekonomi hutan di Kawasan Lindung Sungai Lesan sebagai berikut.

a) Pengelolaan Hasil Hutan secara lestari

Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat antara lain berupa; perburuan, bahan pangan, bahan obat tradisional, bahan kerajinan dan papan. Kegiatan perburuan ini lebih banyak dilakukan oleh kampung yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat Dayak seperti kampung Lesan Dayak dan Merapun. Babi hutan dan monyet sering diburu karena mereka juga merupakan hama tanaman pertanian masyarakat.

Tanaman sumber pangan yang dihasilkan dari hutan antara lain berupa buah-buahan dan madu. Produk buah-buahan dan madu ini sebagian dikonsumsi dan sebagian dijual. Bahan kerajinan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat selama ini antara lain rotan. Rotan ini diperlukan untuk membuat anyaman dan berbagai barang kerajinan lainnya. Meski demikian dengan semakin memudarnya ketrampilan menganyam rotan, konsumsi rotan juga semakin menurun. Pemenuhan kebutuhan kayu diharapkan dapat memanfaatkan sumber kayu dari kawasan lain dengan cara yang legal, mengingat di luar Kawasan Lindung Habitat Orangutan ini masih terdapat beberapa kawasan yang memiliki potensi kayu.

b) Wisata Alam

Sebagai kawasan yang berada di tengah kawasan hutan yang luas, Kawasan Lindung Sungai Lesan dan sekitarnya mempunyai beberapa keistimewaan yang dapat menarik wisatawan, baik wisatawan domestik maupun Internasional, yang antara lain meliputi: • Kondisi hutan Dipterocarpaceae yang sehat berupa hutan primer dan sekunder,

masih menyimpan kekayaan pohon-pohon dengan diameter yang besar (>1 m) merupakan salah satu pemandangan yang mulai langka di Kalimantan.

• Wisata sungai dengan pemandangan alam yang asri dan indah dengan berjenis primata seperti bekantan, monyet, dan lutung serta berbagai jenis

burung. • Wisata budaya dengan keberadaan masyarakat asli Dayak, dalam bentuk seni dan kehidupan tradisional sehari-hari. • Terdapat habitat orangutan, dimana sangat mudah untuk menemukan sarang

dan kemungkinan dapat berjumpa orangutan. • Di sekitar kawasan terdapat wisata petualangan menyusur sungai dan memasuki gua-gua pegunungan kapur (karst), dengan jutaan kelelawar dan

burung walet serta air telaga dari dalam gua dan air terjun.

c) Pengembangan Kegiatan Pendidikan dan Penelitian

Dengan potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, Kawasan Lindung Sungai Lesan juga potensial untuk dijadikan lokasi penelitian tentang Dengan potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, Kawasan Lindung Sungai Lesan juga potensial untuk dijadikan lokasi penelitian tentang

4.4.3 Ancaman terhadap Kawasan Menurut Marbyanto (2006) selama ini terdapat beberapa hal yang

mengancam kelestarian Kawasan Lindung Sungai Lesan yakni :

a) Konversi Hutan dan Lahan

Sejak reformasi bergulir dan terjadi perubahan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, masing-masing daerah kabupaten/kota dituntut untuk kreatif dalam menggali sumber pendanaan untuk membiayai pembangunan daerah. Hal ini kemudian disiasati oleh berbagai daerah dengan mengundang investor dan melakukan berbagai deregulasi perijinan bagi investor. Di Kalimantan Timur (termasuk Kabupaten Berau) salah satu sektor yang banyak ditawarkan kepada para investor adalah sektor perkebunan. Dalam prakteknya, lokasi perkebunan yang ditawarkan seringkali merupakan lokasi berhutan. Hal ini merupakan salah satu ancaman bagi kelestarian hutan di Berau.

Gambar 6 Peta 4 lokasi perkebunan sawit sekitar kawasan (TNC, 2007).

Di Kawasan Lindung Sungai Lesan, ancaman konversi ini relatif tinggi mengingat: (a) lokasi hutan tersebut cukup strategis dari sisi aksesibilitas dan kedekatan jarak dengan kota Tanjung Redeb (b) Kawasan tersebut belum memiliki tata batas yang jelas di lapangan (c) Di tengah tuntutan untuk menggali sumber pendapatan daerah, investasi di sektor perkebunan dan pertambangan memang lebih menjanjikan secara cash economy dibanding investasi kegiatan konservasi karena hasilnya bisa dipetik dalam waktu yang relatif lebih pendek. Walaupun bila dinilai dari sisi nilai total valuasi ekonomi sumberdaya hutan lebih menguntungkan karena hutan mempunyai nilai untuk menghindarkan banjir, menjamin ketersediaan air dan lain-lain.

Suatu keuntungan dari status kawasan yang ada saat ini adalah Kawasan Lindung Sungai Lesan sudah dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Berau sebagai Kawasan Lindung. Namun pengalaman selama ini seringkali membuktikan bahwa RTRWK seringkali hanya bersifat dokumentatif dan sering dirubah-rubah. Oleh karenanya dalam hal ini Political Will dan konsistensi Pemerintah Kabupaten Berau untuk mentaati RTRWK yang ada sangat diperlukan.

b) Konflik Pemanfaatan Areal

Walaupun Kawasan Lindung Sungai Lesan sudah ditunjuk sebagai Kawasan Lindung dalam RTRWK Kabupaten Berau, dalam kenyataannya lokasi ini masih penuh klaim dari berbagai pihak. Hal ini terjadi tidak terlepas dari faktor sejarah kawasan yang tidak pernah ditata batas. Klaim tersebut antara lain muncul dari masyarakat kampung Lesan Dayak, kampung Merapun, kampung Sido Bangen, Muara Lesan dan perusahaan HTI Belantara Pusaka.

Klaim-klaim tersebut bila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam kelestarian kawasan hutan tersebut. Untuk klaim dari masyarakat, ada kemungkinan diselesaikan melalui mekanisme pengelolaan hutan secara collaborative management dimana pola pengelolaan hutan juga mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Namun klaim dari perusahaan HTI, akan sulit untuk dikompromikan dengan kepentingan konservasi karena pengelolaan HTI pasti akan merubah fungsi hutan yang ada. Oleh karenanya dalam hal ini Klaim-klaim tersebut bila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam kelestarian kawasan hutan tersebut. Untuk klaim dari masyarakat, ada kemungkinan diselesaikan melalui mekanisme pengelolaan hutan secara collaborative management dimana pola pengelolaan hutan juga mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Namun klaim dari perusahaan HTI, akan sulit untuk dikompromikan dengan kepentingan konservasi karena pengelolaan HTI pasti akan merubah fungsi hutan yang ada. Oleh karenanya dalam hal ini

c) Penebangan Liar

Ancaman lain terhadap kelestarian kawasan ini adalah penebangan liar (illegal logging). Dari hasil monitoring tahun 2008, pengambilan gaharu dalam kawasan marak dilakukan. Penebangan liar walau belum banyak terjadi, namun melihat potensi kayu yang cukup besar serta aksesibilitas yang relatif mudah membuat kawasan ini rentan terhadap adanya penebangan liar. Apabila penebangan liar ini terjadi maka habitat akan rusak sehingga kehidupan flora dan satwa liar akan terganggu. Dampak lain yang potensial timbul adalah terjadinya kebakaran hutan karena penebangan liar akan mengganggu keseimbangan alam di tingkat lokal dan meninggalkan limbah yang potensial menjadi sumber bahan bakar terjadinya kebakaran hutan.

Untuk mengatasi penebangan liar ini, beberapa upaya yang perlu dilakukan antara lain: (a) tindakan pengamanan yang melibatkan aparat penegak hukum dan masyarakat lokal (b) meningkatkan fungsi kontrol sosial oleh masyarakat (c) tindakan penegakan hukum secara konsisten (d) penyadaran publik dan kampanye (e) pengembangan usaha ekonomi alternatif bagi masyarakat sehingga masyarakat tidak mudah tergiur untuk terlibat dalam kegiatan penebangan liar.

d) Perburuan Satwa

Perburuan satwa dalam skala kecil yang biasa dilakukan oleh masyarakat adalah berburu babi hutan, payau, monyet, kijang atau kancil. Perburuan ini sebagian dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan sumber pendapatan, juga dilakukan dalam memberantas hama tanaman. Dalam melakukan perburuan ini alat yang digunakan sebagian masih berupa alat tradisional seperti jerat, racun atau tombak.

Meski demikian perburuan ini di masa mendatang perlu ditertibkan untuk menghindarkan adanya kepunahan satwa liar tersebut, apalagi beberapa jenis satwa yang diburu merupakan jenis satwa yang dilindungi menurut undang- undang. Selain penertiban atau pengaturan perburuan, hal lain yang perlu dilakukan adalah penyadaran publik tentang jenis-jenis satwa yang dilindungi. Dari hasil monitoring sampai tahun 2008 sebagian besar masyarakatnya tidak mengetahui jenis- jenis satwa yang dilindungi sehingga ketika berburu mereka menangkap semua satwa yang bisa mereka tangkap.

Antisipasi lain yang diperlukan adalah antisipasi terhadap perburuan orangutan, mengingat dalam beberapa kasus di tingkat nasional sering dijumpai perburuan orangutan untuk diperjualbelikan sebagai satwa peliharaan. Dalam konteks masyarakat sekitar kawasan, hasil monitoring tahun 2007 – 2009 ini menurut informasi dari masyarakat telah banyak orangutan yang masuk ke ladang atau kampung untuk mencari makan. Sejauh ini penanganan hanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat lokal.

e) Kebakaran Hutan

Gambar 7 Salah satu ancaman (kebakaran hutan). Sumber : The Nature Conservancy

Kebakaran hutan merupakan potensi ancaman terhadap kelestarian Kawasan Lindung Sungai Lesan. Dari penelitian Proyek Integrated Forest Fire Management di Samarinda, pada kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas sekitar 5,2 juta hektar di Kalimantan Timur yang terkonsentrasi di wilayah Kabupaten Kutai (termasuk Kutai Kertanegara, Kutai Barat dan Kutai Timur) serta kabupaten Pasir. Sedangkan kebakaran di wilayah Utara Kalimantan Timur (termasuk Kab. Berau) relatif sangat sedikit. Namun sejak maraknya penebangan liar dan konversi hutan pada tahun 1999 di wilayah utara Kalimantan Timur mulai sering ada kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Adanya perubahan kondisi lingkungan di Kabupaten Berau akibat penebangan liar dan konversi lahan/hutan, potensial meningkatkan ancaman kebakaran hutan dan lahan. Hal ini terjadi karena penebangan dan konversi hutan akan mengakibatkan kelembaban hutan menjadi berkurang sehingga api lebih mudah tersulut dan tidak terkendali. Selain itu kegiatan penebangan liar akan meninggalkan limbah serasah yang potensial menjadi sumber bahan bakar terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Upaya yang perlu dilakukan dalam mengantisipasi bahaya kebakaran hutan ini antara lain berupa (a) penyadaran publik (b) penyiapan sumberdaya manusia yang trampil (c) pengembangan sistem deteksi bahaya kebakaran (d) pengembangan kegiatan teknis pencegahan kebakaran seperti patroli, pembuatan sekat bakar (e) pengembangan sistem mobilisasi pemadaman kebakaran dan lain- lain.

4.4.4 Badan Pengelola Kawasan Pemerintah Kabupaten Berau telah menerbitkan Peraturan Daerah

Kabupaten Berau Nomor 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Berau Tahun 2001-2011, yang antara lain mengatur tentang rencana peruntukan Hutan Sungai Lesan sebagai areal Kawasan Perlindungan Habitat Orangutan. Menindaklanjuti Perda No. 3 tahun 2004 tersebut, melalui Keputusan Bupati Berau Nomor 251 Tahun 2004 tanggal 7 Oktober 2004 dibentuk Badan Pengelola Kawasan Lindung Habitat Orangutan di Sungai Lesan, Kecamatan

Kelay - Kabupaten Berau. Badan Pengelola ini merupakan sebuah lembaga yang keanggotaannya dari berbagai unsur dan ditugaskan untuk melakukan kegiatan pengelolaan Kawasan Lindung Habitat Orangutan Sungai Lesan melalui model pengelolaan hutan yang kolaboratif (collaborative management) (PEMDA Berau, 2005).

a). Tugas dan Fungsi Badan Pengelola

Secara umum tugas Badan Pengelola Kawasan Lindung Sungai Lesan adalah:

1. Mengkoordinasikan kepentingan perencanaan dan program antar berbagai pihak yang terkait dengan kawasan.

2. Melakukan pengelolaan untuk kepentingan pelestarian kawasan.

3. Melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan. Dalam melaksanakan tugas di atas, Badan Pengelola menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai wadah koordinasi dan konsultasi antar instansi terkait (Pemerintah Kabupaten Berau) dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pengusaha dan Masyarakat.

2. Pusat informasi dan program terkait dengan pelestarian kawasan.

3. Penggalangan dana dalam rangka pengelolaan kawasan Lingkup kegiatan yang dikembangkan oleh Badan Pengelola kawasan yaitu:

• Pemantauan dan pelestarian sumberdayaalam. • Pemantapan kawasan. • Perlindungan, pengawasan dan penegakan hukum. • Penelitian dan pendidikan. • Ekowisata serta kegiatan ekonomi pendukung lainnya sesuai dengan fungsi

kawasan. • Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. • Penyadaran lingkungan. • Pembangunan sarana dan prasarana. • Monitoring dan evaluasi.

b). Struktur dan Komponen Badan Pengelola

Untuk menjalankan tugas dan fungsi Badan Pengelola terdapat beberapa komponen-komponen dalam struktur organisasi, yaitu pelindung, pengarah dan pelaksana.

Pelindung adalah salah satu komponen dalam struktur organisasi yang terdiri atas Bupati dan Wakil Bupati Berau yang mempunyai tugas: memberikan nasehat dan perlindungan kepada Pengarah, mengesahkan Badan Pengelola, mengesahkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), mengesahkan Rencana Pengelolaan Kawasan, dan mengambil keputusan tentang Badan Pengelola.

Pengarah adalah bagian dari organisasi Badan Pengelola dan merupakan pengambil keputusan dan menentukan kebijakan umum tentang kegiatan operasional di kawasan. Ketua Pengarah adalah Dinas Kehutanan yang berfungsi sebagai Ketua Umum Badan Pengelola. Anggota Pengarah terdiri dari unsur Dinas Kehutanan, Bappeda, Bapelda, BKSDA, unsur Universitas Mulawarman, unsur Camat Kelay dan tokoh masyarakat dari 4 kampung.

Pengarah mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: membentuk, mengangkat dan memberhentikan pelaksana; membuat perencanaan dan pengelolaan kawasan bersama dengan pelaksana; menyusun dan mengusulkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) untuk disyahkan oleh Bupati; memonitor dan mengevaluasi kegiatan pelaksana; mempertanggung jawabkan pelaksanaan kegiatan kepada pelindung; melakukan penggalangan dana; mempertimbangkan dan memberikan arahan ke pelaksana; mengkoordinasikan antara mitra kerja dengan pelaksana; dan melakukan mediasi konflik antar para pihak.

Secara lengkap struktur organisasi Badan Pengelola Kawasan Lindung Sungai Lesan adalah sebagai berikut: Pelaksana merupakan kelompok pekerja profesional dan penuh waktu yang menjalankan kegiatan operasional pengelolaan kawasan. Tugas pelaksana ini antara lain:

• Membuat perencanaan dan pengelolaan kawasan bersama pengarah. • Melaksanakan program pengelolaan.

• Menjalin kerjasama dengan pihak luar dan mitra kerja. • Membuat laporan dan pertanggung jawaban kepada pengarah. • Melaksanakan AD/ART. • Melakukan penggalangan dana bersama Pengarah. • Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan.

Dalam Badan Pelaksana ini komponen yang ada meliputi: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, Wakil Bendahara, Seksi Penelitian dan Pengembangan, seksi Perlindungan dan Pengawasan, Seksi Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi, Seksi Pendanaan, Seksi Penyadaran Lingkungan dan Seksi Pemberdayaan Masyarakat.

Kelompok Kerja. Dari struktural Badan Pengelola, pada akhir tahun 2005 posisi yang sudah terisi baru pada posisi Pelindung dan Pengarah. Sedangkan posisi Pelaksana belum terisi karena kegiatan Badan Pengelola masih fokus pada konsolidasi internal Badan Pengarah serta pengembangan kebijakan makro pengelolaan kawasan. Mengingat beberapa kegiatan operasional perlu segera dilaksanakan, sedangkan jabatan Pelaksana belum terisi maka Badan Pengarah kemudian membentuk Kelompok Kerja Badan Pengelola (Pokja BP) yang berfungsi sebagai caretaker (pelaksana operasional sementara). Sebelum personil untuk berbagai jabatan dalam Unit Pelaksana tersedia, kegiatan teknis operasional untuk sementara ditangani oleh Pokja BP dengan dukungan The Nature Conservancy.

Tugas dan fungsi Kelompok Kerja Hutan Lindung Sungai Lesan, yaitu:

1. Menyusun proposal awal pelaksanaan kegiatan Badan Pengelola

2. Membuat sistem administrasi keuangan serta sekretariatan

3. Mempersiapkan dan mengkoordinasikan penyusunan rencana strategis

4. Mengkoordinasikan pembangunan stasiun riset Sungai Lesan

5. Melakukan koordinasi dalam monitoring kawasan

6. Penyusunan sistem informasi, data base dan publikasi tentang kawasan

7. Melakukan koordinasi dalam penguatan status kawasan di tingkat pusat Mitra Kerja. Pengelolaan Kawasan Lindung Sungai Lesan diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan hutan secara kolaborasi (collaborative management). Pendekatan kolaborasi ini menuntut 7. Melakukan koordinasi dalam penguatan status kawasan di tingkat pusat Mitra Kerja. Pengelolaan Kawasan Lindung Sungai Lesan diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan hutan secara kolaborasi (collaborative management). Pendekatan kolaborasi ini menuntut

Unsur-unsur yang menjadi mitra kerja badan pengelola kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan antara lain Dinas Pariwisata, Dinas Perkebunan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pertanian, HPH, Lembaga Swadaya Masyarakat, Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian, TNI, Forum Kampung, Perguruan Tinggi, pihak swasta, Lembaga penelitian, dan institusi lainnya yang relevan.

Petugas Konservasi Kampung. Petugas konservasi kampung (pekoka) merupakan petugas konservasi kampung yang direkrut Badan Pengelola dari 4 kampung sekitar, sejak Maret 2006 yang berjumlah 7 orang. Keberadaan pekoka ini pada dasarnya merupakan konsep pengamanan kawasan berbasis masyarakat.

Secara garis besar tujuan dari Program Pengamanan Berbasis Masyarakat ini adalah sebagai berikut :

• Menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengamanan kawasan • Menurunkan ancaman terhadap kawasan dengan pengawasan yang insentif

dari masyarakat • Masyarakat memahami pentingnya perlindungan dan pengamanan kawasan.

Gambar 8 Pelatihan Petugas Konservasi Kampung (PEKOKA).

Sumber : The Nature Conservancy

Petugas konservasi kampung ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: • Melakukan patroli terhadap kawasan, mencatat aktivitas illegal seperti,

penebangan liar, pengumpulan gaharu, perburuan satwa dilindungi, pembukaan lahan di dalam kawasan.

• Membantu pembuatan trail dan pemeliharaan, pembangunan dan pemeliharaan perlengkapan, batas kawasan, memungut sampah di dalam kawasan, dan pemindahan spesies unik (jika diperlukan).

• Mendokomentasikan penyebaran orangutan dan spesies dilindungi lainnya di dalam kawasan dengan mengikuti survey lapangan. • Membantu survey biologi lainnya. • Melakukan kegiatan-kegiatan pendukung pelaksanaan survey, seperti bangun

tenda, transportasi keperluan lapangan, perlengkapan survey, membersihkan alat survey, meyakinkan alat lengkap dan aman.

• Membantu mengkomunikasikan penggunaan lahan disekitar kawasan kepada masyarakat melalui metode pemetaan partisipatif.