Bertolak dari hal-hal di atas, Oemar Senoadji menyampaikan teori
mengenai delik agama sebagai berikut;
115
1.
Religionsschutz Theorie teori perlindungan “agama”, yaitu teori
yang memandang “agama” itu ansich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi diamankan oleh negara
2.
Gefuhlsschutz Theorie teori perlindungan “perasaan
keagamaan, yaitu teori yang memandang rasa perasaan, pen keagamaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
3.
Friedensschutz Theorie teori perlindungan “perdamaian
ketentraman umat beragama, yaitu yang memandang kedamaian ketentraman beragama interkonfessional di antara pemeluk
agama kepercayaan. Jadi lebih tertuju pada ketertiban ketentraman umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi
Jadi, substansi teori yang dibangun oleh Oemar Senoadji diatas, pada
hakikatnya ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap agama maupun “perasaan keagamaan” dan kedamaian ketentraman beragama
interkonfessional sebagai kepentingan hukum yang dilindungi.
A. 3.2 Ruang lingkup delik-delik agama terhadap aliran sesat
Secara garis besar, pengertian dan teori-teori sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, hakikatnya sudah tertuang dalam KUHP maupun di
luar KUHP. Barda Nawawi Arief memberi istilah sebagai ”Tindak
Pidanadelik agama” dengan berbagai pengertian, yaitu; 1 Tindak pidana delik ”menurut agama”; 2 Tindak pidana delik ”terhadap agama”; dan, 3
115
Oemar Senoadji, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta 1976 hal 75. Lihat juga, Barda awawi Arief, Barda awawi Arief, Delik-delik Agama dan Penghinaan Tuhan
Blasphemi di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 2007 hal 2
Tindak pidana delik ”yang berhubungan dengan agama” atau ”terhadap kehidupan beragama”.
116
Selanjutnya penjabaran dari istilah-istilah di atas, adalah sebagai berikut; 1. Tindak Pidana “Menurut Agama”
Delik agama dalam pengertian tindak pidana “menurut agama”, menurut
Barda Nawawi Arief, dapat mencakup perbuatan-perbuatan yang menurut
hukum yang berlaku merupakan tindak pidana dan dilihat dari sudut pandang agama juga merupakan perbuatan terlarang tercela, atau perbuatan lainnya
yang tidak merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku hukum pidana, pen tetapi dilihat dari sudut pandang agama merupakan perbuatan
terlarang tercela dosa, pen.
117
Melihat rumusan Barda Nawawi Arief di atas, ada beberapa hal yang
patut dipahami sebagai berikut;
Pertama , dalam pengertian perbuatan-perbuatan yang menurut hukum
agama dan hukum pidana merupakan perbuatan terlarang tercela dosa. Perbuatan dalam pengertian ini banyak tersebar di dalam KUHP, seperti
misalnya delik pembunuhan, pencurian, penipuanperbuatan curang, penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan zina, perkosaan dan sebagainya.
118
Dalam pengertian ini, baik dalam hukum agama maupun KUHP sama-sama mengatur sebagai perbuatan terlarang tercela dosa
116
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama, Makalah pada Forum “Debat Publik RUU Tentang KUHP”, diselenggarakan oleh Departemen
Kehakiman dan HAM, di Jakarta, tgl. 21 – 22 Nopember 2000. hal 2
117
Lihat, Barda awawi Arief, 2007, op.cit hal 1
118
Lihat, Barda Nawawi Arief, Makalah, 2000. op.cit hal 2
Kedua, perbuatan lainnya yang menurut hukum agama merupakan
perbuatan terlarang tercela dosa, tapi tidak merupakan perbuatan terlarang tercela dosa menurut hukum pidana. Contoh, orang yang tidak solat menurut
agama Islam merupakan perbuatan dosa terlarang tercela, tapi menurut KUHP bukan merupakan perbuatan terlarang tercela dosa.
Jadi, KUHP dan peraturan perudang-undangan lainnya, pada hakikatnya terdapat suatu norma kaedah agama yang memberi pedoman bagi segala
tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing- masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui
hak dan kewajiban masing-masing. Atau dengan kata lain, norma atau kaedah memberi petunjuk kepada
manusia, bagaimana harus bertindak dalam masyarakat, serta perbuatan- perbuatan mana yang harus dijalankan dan perbuatan-perbuatan mana yang
harus dihindari. Kaedah norma pada prinsipnya terdiri dari norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum, norma agama, dan lain sebagainya.
119
Semua norma kaedah, memiliki nilai-nilai luhur. Norma agama misalnya, di dalamnya terdapat sumber kedamaian, membawa pesan kepada
seluruh ummat manusia tentang kasih sayang, keadilan, dan saling memahami. Sebagai berkah bagi semua makhluk, agama merupakan pengingat abadi bagi
seluruh umat manusia tentang adanya percikan Ilahiyah pada setiap orang
120
Pada abad pertegahan, orang berpendapat bahwa norma agama adalah satu-satunya norma yang mengatur peribadatan, yaitu kehidupan keagamaan
119
CST Kansil, 1989; op.cit hal 84
120
Kompas, Agama dan perdamaian, hentikan kekerasan atas nama agama, teropong
Internasional 18 Juni 2007 hal 39,
dalam arti sesungguhnya dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga memuat peraturan-peraturan hidup yang bersifat kemasyarakatan,
dikenal dengan istilah “muamalat”, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dan memberi perlindungan terhadap diri dan harta
bendanya.
121
Contoh norma agama yang memiliki persamaan dengan norma hukum pidana adalah misalnya larangan berbuat riba menurut Islam; barangsiapa
berbuat riba akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya Al-Qur’an Al Baqoroh; 275.
Selain itu dalam agama Kristen terdapat larangan misalnya; jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi
dusta tentang sesamamu dan lain sebagainya.
122
Sementara ajaran Hindu Budha di antaranya penekananan pada jalan penerangan untuk membantu
manusia menemukan kebahagiaan spiritual.
123
Jadi, norma agama itu bersifat umum universal serta berlaku bagi seluruh umat manusia di dunia.
KUHP sebagai aturan yang berlaku di negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, secara substansial, di dalamnya banyak terdapat norma-norma yang
bersumber dari norma agama, misalnya perbuatan-perbuatan yang menurut KUHP merupakan perbuatan terlarang tercela, dilihat dari sudut pandang
agama juga merupakan perbuatan terlarang tercela dosa.
124
121
CST Kansil, 1989; op.cit hal 85
122
Lihat, Sepuluh perintah Tuhan, Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, tanpa nama penerbit,
Jakarta, 2003: hal 80
123
Muhammad Wahyuni Nafis, 1999. op.cit. hal 203
124
Larangan yang ada di dalam KUHP pada hakikatnya sebagian besar dilarangtercela dosa menurut agama, seperti pembunuhan, penganiayaan, penipuan, pencurian, perjudian dan lain
2. Tindak Pidana “terhadap agama” Delik Agama dalam pengertian Delik Terhadap Agama, terlihat
terutama dalam UU No 1 Pnps 1965 dan khususnya Pasal 156a KUHP penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak
menganut agama . Pada delik agama dalam pengertian delik “terhadap agama” Pasal 156 KUHP awalnya tida tidak dijumpai dalam ketentuan
KUHP. Delik ini ditujukan khusus untuk melindungi Keagungan dan kemuliaan Tuhan, Sabda dan Sifatnya, Nabi Rasul, Kitab Suci, Lembaga-
lembaga Agama, Ajaran Ibadah Keagamaan, dan tempat beribadah atau tempat suci lainnya.
Perlu ditegaskan, bahwa delik agama dalam pengertian “delik terhadap agama” , yakni Pasal 156a dalam KUHP, sudah ada sejak dikeluarkannya UU
No. 1 Pnps 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, Lembaran Negara No. 3 Tahun 1965, tertanggal 27 Januari 1965, di mana
salah satu Pasalnya, yaitu Pasal 4 UU No 1 Pnps 1965 dimasukkan ke dalam KUHP menjadi Pasal 156 a.
Dikeluarkannya UU No. 1PNPS1965 berdasarkan pertimbangan timbulnya aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan kepercayaan yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Ajaran dan perbuatan aliran-aliran itu telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah
persatuan nasional, dan menodai agama,
125
sebagainya. Tipikal delik ini dalam KUHP WvS sudah diatur bahkan tersebar hampir di keseluruhan Pasal.
125
Lihat penjelasan UU No. 1PNPS1965 romawi I angka 1
Latar belakang yang mendasari dikeluarkannya UU No. 1 Pnps 1965 tidak terlepas dari aspek ideologis, integralistis nasionalis dan aspek sosial
kemasyarakatan keagamaan atau sosial relegius. Dengan kata lain, adalah ironis, sebuah negara yang masyarakatnya beragama tidak ada perangkat
hukum yang menjamin, melindungi agama dari perbuatan penyimpangan dan menodai agama bahkan ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang
banyak menimbulkan bahaya bagi persatuan nasional dan bahaya bagi agama serta ketentraman beragama.
Berdasarkan uraian di atas, maka agama dilihat sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi, hal ini merupakan sebuah konsekuensi logis
dari adanya sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tidak bisa dipisahkan dengan agama, merupakan landasan moral dan landasan
kesatuan nasional. 3. Tindak Pidana “yang berhubungan dengan agama” atau “terhadap
kehidupan beragama” Adapun delik agama dalam pengertian”yang berhubungan dengan
agama” atau “terhadap kehidupan beragama”, tersebar antara lain di dalam Pasal 175-181 dan 503 ke-2 KUHP yang meliputi perbuatan-perbuatan :
126
merintangi pertemuanupacara agama dan upacara penguburan
jenazah Psl. 175;
mengganggu pertemuanupacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah Psl. 176;
menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang
diijinkan Psl. 177 ke-1;
menghina benda-benda keperkuan ibadah Psl. 177 ke-2;
126
Barda Nawawi Arief, makalah, 2000. op.cit hal 2
merintangi pengangkutan mayat ke kuburan Psl. 178;
menodai.merusak kuburan Psl. 179; menggali, mengambil, memindahkan jenazah Psl. 180; menyembunyikan menghilangkan
jenazah untuk menyembunyikan
kematiankelahiran Psl. 181;
membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu
ibadah dilakukan Psl. 503 ke-2 Delik yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan
beragama ditujukan untuk menciptakan rasa aman dan ketentraman umat beragama dalam melaksanakan aktifitas agama dan keagamaan. Keamanan
dan ketentrman dalam menjalankan agama dan keagamaan, merupakan kepentingan hukum yang harus dilindungi dalam rangka ketertiban umum.
Agama dalam delik ini tidak menjadi obyek perlindungan, karena dianggap bukan kepentingan hukum, yang menjadi kepentingan hukum adalah
aktifitas agama dan keagamaan, seperti merintangi upacara agama dan upacara penguburan jenazah atau membuat suasana gaduh ditempat ibadah sehingga
menggangu jalannya ibadah. Bertolak dari uraian di atas, delik-delik agama secara skematis tampak
sebagai berikut;
Delik Agama KUHP
Di luar KUHP
Terhadap Agama :
melecehkan, merendahkan, menistakan, memusuhi,
meniadakan agama dll
Berhubkehidupan beragama; merintangi upacara, mengganggu,
menertawakan petugas agama, membuat gaduh, jenazah dll
ALIRAN SESAT Hukum Pidana
Delik-delik agama yang terdapat dalam KUHP misalnya; penistaan dan peniadaan agama pasal 156 a, merintangi pertemuanupacara agama dan
upacara penguburan jenazah Psl. 175; mengganggu pertemuanupacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah Psl. 176; menertawakan
petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diijinkan Psl. 177 ke-1; menghina benda-benda keperkuan ibadah Psl. 177 ke-2; merintangi
pengangkutan mayat ke kuburan Psl. 178; menodai.merusak kuburan Psl. 179; menggali, mengambil, memindahkan jenazah Psl. 180;
menyembunyikan menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematiankelahiran Psl. 181; membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah
atau pada waktu ibadah dilakukan Psl. 503 ke-2 Pasal 175-181 dan 503 ke-2 KUHP
127
Delik-delik agama yang terdapat di luar KUHP misalnya UU No 1 Pnps 1965 tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama,
Lembaran Negara No. 3 Tahun 1965, tertanggal 27 Januari 1965. Selain UU No 1 Pnps 1965, terdapat UU No. 32 tahun 2002 Penyiaran.
Pasal 57 jo. 36 6 terdapat UU No. 32 tahun 2002 Penyiaran
mengancam pidana terhadap siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan danatau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia
Indonesia. Psl. 58 jo. 46 3 mengancam pidana terhadap siaran iklan niaga yang di dalamnya memuat antara lain : hal-hal yang bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama.
127
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama, Makalah pada Forum “Debat Publik RUU Tentang KUHP”, diselenggarakan oleh Departemen
Kehakiman dan HAM, di Jakarta, tgl. 21 – 22 Nopember 2000 hal 2
Selain itu, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 18 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat 1 , jo. Pasal 13 huruf a menyatakan ;
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Sedangkan Pasal 5 ayat 1 mewajibkan Pers nasional memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama
dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Selanjutnya Pasal 13 huruf a menyebutkan bahwa Perusahaan pers
dilarang memuat iklan: a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama
dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta
bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Jadi, secara teoritis maupun yuridis, aliran sesat sebagai bagian dari
masalah “agama” dan masalah yang “berhubungan dengan agama” maupun “kehidupan beragama”, merupakan bagian dari cakupan ruang lingkup delik-
delik agama sebagaimana terdapat dalam KUHP dan tersebar di luar KUHP,
khusunya Pasal 156a KUHP dan UU No Pnps 1965. Oleh karena itu Muladi
menyatakan; Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam
Bab Khusus Bab VII RUU merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan nation state yang religius, di mana semua agama religion
yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan hukum yang besar yang harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari
ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup beragama.
128
128
Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru. Makalah. Disampaikan
pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam, 17 Januari 2004. hal 8
A.3.3. Hakikat Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Aliran Sesat
Indonesia sebagai suatu negara yang rakyatnya menganut keragaman agama, wajar kalau kemudian dalam aspek-aspek dasar Negara Republik
Indonesia tercantum hal-hal sebagai berikut;
Pancasila sila pertama menyatakan, “ Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan nama Tuhan agama tertentu.
alinea ke-4 Pembukaan UUD45 yang intinya menyatakan : ...,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD negara Indonesia ...... dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa ...., .
Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 , menyatakan : “Negara berdasarkan
atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti, bahwa Negara Indonesia bukanlah negara agama. Oleh
karena itu Menurut Munawir Sadzali
129
, “ Orde Baru telah memberikan penafsiran terhadap Pancasila, bahwa negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Tafsiran tersebut diikuti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan
politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama” .
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa tidak ada sesuatu agama yang dijadikan agama resmi negara serta tidak hanya satu agama yang
129
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara. Jakarta Press, 1990, halaman 210
dijadikan sebagai sumber moral dan sumber hukumnya. Oleh karena itu penjelasan UUD 1945 menyatakan;
Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-
lain penyelenggara Negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.
Bertolak dari hal demikian, Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 , menyatakan; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu Aspek-aspek mendasar Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 adalah sebagai
berikut; -
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agama dan kepercayaan merupakan salah satu
Hak Asasi Manusia yang senantiasa dirumuskan dalam setiap konstitusi dan dokumen deklarasi adalah kebebasan beragama.
- negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Terhadap pasal 29 UUD 1945 di atas, pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno sebagai anggota bukan ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, menyampaikan pidatonya tentang
”Philosofische Grandslag” atau ”Landasan dasar falsafah” Undang - Undang Dasar yang sedang disiapkan,
130
Soekarno menyatakan,
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat Indonesia ber- Tuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada egoisme agama. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber Tuhan.
131
Soekarno menekankan bahwa menjalankan sikap beragama haruslah
dengan cara berkeadaban yang diartikan dengan sikap hormat-menghormati satu sama lain atau beragama dengan penuh toleransi seperti yang
diteladankan oleh Nabi Muhammad. Dengan kalimat lain, Soekarno menyatakan;
“Dasar negara ke lima pancasila dalam konsep Soekarno, pen dari negara ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, dalam artian hormat-
menghormati, “ Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini
akan mendapat sebaik-baiknya. Dan negara kita akan ber-Tuhan pula”.
132
Bertolak dari pernyataan Soekarno di atas, diperoleh pengertian, bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia. Namun
demikian, walaupun kebebasan seseorang di dalam berideologi, beragama, berkepercayaan dan berkeyakinan, melakukan ibadah sesuai dengan
agamanya dan lain sebagainya, merupakan hak asasi manusia. Namun
menurut UUD 1945 bukanlah kebebasan yang liar dan tanpa tujuan. Harun
130
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Bulan
Bintang, Jakarta, 1977, ha12.
131
Sumber, dari Yamin. Naskah. 1, hal. 115-11G, dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, 1981, op.cit hal. 77
132
ibid hal 78
Utuh menyatakan bahwa,” kebebasan itu pasti selalu bersyarat dan tidak
melampaui batas, batasnya adalah hukum undang-undang, pen”.
133
Pasal 28J UUD 1945 amandemen ke-2 menyatakan; Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Bertitik tolak dari Pasal 28J UUD 1945, kebebasan dalam berideologi, beragama, berkepercayaan dan berkeyakinan, melakukan ibadah sesuai
dengan agamanya dan lain sebagainya, selanjutnya di atur dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia, di antaranya sebagaimana terdapat dalam
KUHP dan UU No 1 Pnps 1965. Menurut penjelasan UU No. 1PNPS1965, negara pemerintah
mengeluarkan UU No. 1PNPS1965 dengan tujuan; 1.
Perlindungan terhadap kesatuan nasional Dalam penjelasan umum angka 1 aliena kedua dinyatakan,
“.......tetapi juga memastikan kesatuan nasional”. Jadi yang menjadi objek perlindungan adalah persatuan nasional
2. perlindungan terhadap ketentraman beragama,
Dalam penjelasan umum Bab I angka 4 UU No 1 tahun 1965,
tujuannya adalah ketentraman beragama. Jadi yang menjadi titik
133
Lihat, Saiful Abdullah, Tindakan Pamswakarsa dan Oknum ABRI pada saat Sidang Istimewa MPR 1998 Ditinjau Dari Segi Perundang-undangan dan Peradilan Yang
Berwenang Mengadili , Skripsi, Universitas Bangkalan, 1999, hal 14
fokus tujuan undang-undang ini adalah ketentraman. Berbicara masalah ketentraman, pasti selalu terkait dengan masalah ketertiban
umum, yang jika dibiarkan bisa memecah persatuan nasional.
3. perlindungan ansich terhadap agama.
Dalam penjelasan umum Bab I angka 4 UU No 1 tahun 1965 menyatakan, bahwa tujuan dari dikeluarkannya UU No 1 tahun 1965
adalah ;
mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan- penyelewengan dari “ajaran agama” yang dianggap sebagai ajaran
pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan.
Melindungi dari penodaan penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa Bertitik tolak dari tujuan-tujuan sebagaimana penjelasan umum UU
No 1 tahun 1965, terlihat bahwa substansi yang hendak dilindungi oleh UU No 1 tahun 1965 ini sebenarnya adalah perlindungan;
1. “ketentraman beragama” baca; perasaan kehidupan beragama;
penjelasan umum angka 4 alinea pertama. namun demikian kalau dicermati sekali lagi, maka UU No 1 tahun 1965 ini juga
hendak memberi pelindungan; 2.
“terhadap agama”, penjelasan umum angka 4 alinea pertama. Di samping secara tesirat bertujuan menjaga
3. “persatuan nasional”. penjelasan umum angka 1 alinea kedua
Tujuan dikeluarkannya UU No 1 tahun 1965, hakikatnya memiliki tujuan yang sama seperti tujuan hukum pidana pada umumnya dalam
menanggulangi kejahatan yaitu menciptakan tata tertib di dalam masyarakat
sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram.
134
Bertolak dari hal demikian, salah satu wujud dari kebijakan perlindungan masyarakat social defence policy, adalah melindungi masyarakat dari
kejahatan. Oleh karena itu dalam rangka melindungi masyarakat dan menanggulangi kejahatan diperlukan suatu kebijkan rasional yang kemudian
dikenal dengan istilah kebijakan kriminal criminal policy.
Menurut G P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan tersebut
adalah
135
dengan cara ; penerapan hukum pidana criminal law application; pencegahan tanpa pidana prevention without punishment; mempengaruhi
pandangan masyarakat tentang kejahatan. dan pemidanaan melalui media masa influencing views of society on crime and punishmentmass media
Selanjutnya, jika pendekatan pertama yang ditempuh “penerapan hukum pidana criminal law application, maka ini berarti bahwa penanggulangan
suatu kejahatan dilakukan dengan menggunakan hukum pidana penal policycriminal law policystrafrechtspolitiek, artinya, hukum pidana
difungsikan sebagai sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana untuk dijadikan sarana menanggulangi kejahatan.
Implikasi berikutnya, dengan difungsikannya hukum pidana, diharapkan norma-norma sosial dapat ditegakkan dengan sanksi yang dimiliki hukum
pidana terhadap seseorang yang berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma
134
Ajaran moderen berpendapat bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Masyarakat perlu memperoleh perlindungan dengan jelas, tersirat, apa yang
dapat dijatuhkan kepada pelanggar ketertiban. Lihat Lili Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, 1990, hal 65
135
ibid. hal. 48
yang telah ditetapkan dalam hukum pidana, khususnya Pasal 156a KUHP dan UU No 1 Pnps 1965.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, pencegahan dan penanggulangan suatu kejahatan termasuk tindak pidanadelik agama dengan
menggunakan hukum pidana, hakekatnya berarti, bahwa hukum pidana difungsikan sebagai sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang
berupa pidana untuk dijadikan sarana menanggulangi kejahatan, sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B. LANDASAN PEMAHAMAN TENTANG KEBIJAKAN UPAYA