Pembagian Keuntungan dan Kerugian Sesudah Diinvestasikan

B. Pembagian Keuntungan dan Kerugian Sesudah Diinvestasikan

dalam Sistem Bagi Hasil

Bank syariah dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening dengan menggunakan prinsip wadiah. Dalam hal ini bank syariah menggunakan prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai bank kustodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadiah, dan sebaliknya pemegang rekening juga tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening wadiah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana (pemegang rekening wadiah).

Prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu- waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran Prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu- waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran

Namun jika dana mengendap yang dipergunakan oleh bank tersebut mengalami sesuatu yang tidak diinginkan maka di sini nasabah juga ikut menanggung kerugian tersebut sebagai konsekuensi diterapkannya sistem bagi hasil. Karena dengan menggunakan prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah, maka nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi atas kehendaknya sendiri bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank.

Menurut penulis, penerapan sistem bagi hasil pada akad wadi’ah yad adz- dhamanah dalam produk giro dan tabungan sudah tepat. Hal ini dikarenakan pada bank syariah terdapat prinsip syariah yang mengutamakan keadilan. Apabila ada keuntungan dinikmati bersama, dan apabila ada kerugian maka ditanggung bersama antara nasabah pemilik dana dan bank syariah.

Dalam praktiknya nisbah antara bank (shohibul maal) dengan deposan (mudharib) berupa bonus. Bonus untuk giro wadiah biasanya sebesar 30% dan nisbah 40:60 untuk simpanan tabungan. Berikut ini contoh perhitungan giro wadiah dan tabungan (Kasmir, 2002: 181-182):

1. Contoh perhitungan rekening giro wadiah: Tuan Seron Sidik memiliki rekening giro wadiah di bank syariah dengan saldo rata-rata pada bulan September 2009 sebesar Rp 1.000.000,-. Bonus yang diberikan pihak bank syariah sebesar 30% dengan saldo rata-rata minimal sebesar Rp 500.000,-. Total dana giro wadiah di bank syariah diasumsikan Rp

1.000.000.000,-. Pendapatan bank syariah dari pemanfaatan dana giro wadiah sebesar Rp. 100.000.000,-.

Maka bonus yang diterima Tuan Seron Sidik pada akhir bulan September 2009 adalah sebesar:

X Rp 100.000.000,- X 30% = Rp 30.000,-* * Sebelum dipotong pajak

2. Contoh perhitungan simpanan tabungan: Tuan Armil Arup memiliki simpanan tabungan di bank syariah dengan saldo rata-rata pada bulan September 2009 sebesar Rp 1.000.000,-. Perbandingan bagi hasil (nisbah) antara bank syariah dengan nasabah adalah 40:60. Saldo rata- rata tabungan per bulan di seluruh bank syariah adalah Rp 5.000.000.000,-. Pendapatan bank syariah yang dibagikan adalah sebesar Rp. 800.000.000,-.

Maka bonus yang diterima Tuan Armil Arup pada akhir bulan September 2009 adalah sebesar:

X Rp 800.000.000,- X 60% = Rp 96.000,- * * Sebelum dipotong pajak

C. Implikasi Hukum Bagi Nasabah dan Bank Atas Keuntungan dan Kerugian Bagi Nasabah dan Bank Sesudah Diinvestasikan Dalam Sistem Bagi Hasil Beserta Cara Penyelesaian Terhadap Sengketa yang Mungkin Timbul Sehubungan dengan Keuntungan dan Kerugian Tersebut

Kegiatan usaha bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dalam hal ini kegiatan tersebut lazim dinamakan dengan kegiatan pembiayaan. Kegiatan pembiayaan ini sangat beragam jenis akadnya dan juga sangat beragam resikonya. Karena terdapatnya resiko tersebut sangat mungkin di kemudian hari terjadi masalah yang dapat berujung kepada persengketaan baik yang Kegiatan usaha bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dalam hal ini kegiatan tersebut lazim dinamakan dengan kegiatan pembiayaan. Kegiatan pembiayaan ini sangat beragam jenis akadnya dan juga sangat beragam resikonya. Karena terdapatnya resiko tersebut sangat mungkin di kemudian hari terjadi masalah yang dapat berujung kepada persengketaan baik yang

Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Muhammad Syafei Antonio, 2000: 160-168):

1. Pembiayaan Produktif Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.

Pembiayaan produktif ini menurut keperluannya dibagi menjadi dua:

a. Pembiayaan modal kerja yaitu pembiayaan yang diberikan guna memenuhi kebutuhan modal usaha untuk peningkatan produksi secara kuantitatif dan kualitatif serta untuk keperluan perdagangan atau utility place dari suatu barang, termasuk dalam jenis ini adalah mudharabah (kerja sama pemilik modal dan pengusaha) dan musyarakah (bagi hasil berserikat) yang menggunakan sistem bagi hasil;

b. Pembiayaan investasi yaitu pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam pengadaan barang-barang modal dan sarana atau prasarana usaha yang erat kaitannya dengan itu, misal: untuk pengadaan kendaraan, bangunan, kantor, pabrik, mesin dan lain-lain termasuk dalam jenis ini adalah al musyarakah mutanaqishah, al ijarah al muntahia bit- tamlik .

2. Pembiayaan konsumtif Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang digunakan untuk kebutuhan konsumsi yang akan habis untuk memenuhi kebutuhan pribadi, misal: pembelian rumah, mobil, peralatan elektronik dan lain-lain, termasuk jenis ini adalah: al-qardhul hasan, bai bithaman ajil, al musyarakah mutanaqisah dan ar rahn .

Selain itu terdapat beberapa jenis pembiayaan yang lain, yaitu (Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syafei Antonio, 1992: 21-33):

1. Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan mudharabah yaitu suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dengan pengusaha, di mana pihak pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha yang dilakukan. Hasil dari kegiatan usaha ini dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati misalnya 70:30. Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan resiko bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari kesepakatan) maka pihak penyedia dana akan menanggung kerugian manakala pengusaha akan menanggung kerugian managerial skill dan waktu serta kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya.

2. Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan musyarakah yaitu suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa pemilik modal untuk menyertakan modalnya pada suatu proyek, di mana masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan, atau menggugurkan haknya dalam manajemen proyek. Keuntungan dari hasil usaha bersama ini dapat dibagikan baik menurut proporsi penyertaan modal masing- masing maupun sesuai dengan kesepakatan bersama. Jika hasilnya rugi kewajiban hanya terbatas pada modal yang disetor.

3. Pembiayaan Murabahah Pembiayaan murabahah yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi. Pembiayaan murabahah mirip dengan kredit modal kerja yang biasa diberikan bank konvensional, dan oleh karena itu pembiayaaan murabahah ini berjangka waktu kurang dari satu tahun.

4. Pembiayaan Al-Ba‘i Bitsaman Ajil Ba‘i Bitsaman Ajil artinya pembelian barang dengan pembayaran cicilan. Pembiayaan Ba‘i Bitsaman Ajil adalah pembiayaan yang diberikan kepada 4. Pembiayaan Al-Ba‘i Bitsaman Ajil Ba‘i Bitsaman Ajil artinya pembelian barang dengan pembayaran cicilan. Pembiayaan Ba‘i Bitsaman Ajil adalah pembiayaan yang diberikan kepada

5. Pembiayaan Ijarah Ijarah ialah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil kemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.

Para cendekiawan muslim membagi ijarah menjadi dua jenis, yaitu:

a. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu;

b. Menyewa untuk suatu proyek atau usaha tertentu.

6. Pembiayaan Ba‘i at Takjiri Ba’i at takjiri atau sewa beli yaitu suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga sebagian dari pembayaran tersebut juga termasuk angsuran guna pembelian barang yang menjadi obyek sewa beli.

7. Pembiayaan Al-Qardhul Hasan Al-Qardhul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.

Masalah yang sering terjadi dalam kegiatan Perbankan Syariah yang merupakan lembaga keuangan dimana sistem kerja dan juga produk pelayanannya didasarkan syariah tidak lepas dari adanya pembiayaan yang bermasalah. Bank syariah bertugas menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Penghimpunan dana yang dilakukan bank syariah salah satunya menggunakan produk simpanan wadiah. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan oleh pihak bank Masalah yang sering terjadi dalam kegiatan Perbankan Syariah yang merupakan lembaga keuangan dimana sistem kerja dan juga produk pelayanannya didasarkan syariah tidak lepas dari adanya pembiayaan yang bermasalah. Bank syariah bertugas menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Penghimpunan dana yang dilakukan bank syariah salah satunya menggunakan produk simpanan wadiah. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan oleh pihak bank

1. Pembiayaan yang tidak lancar;

2. Pembiayaan di mana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang disyaratkan;

3. Pembiayaan yang tidak menepati jadwal angsuran;

4. Pembiayaan yang memiliki potensi merugikan;

5. Pembiayaan yang memiliki potensi menunggak dalam satu waktu tertentu.

Pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah tidak lepas dari fungsi Perbankan Syariah itu sendiri yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada Pasal 4 , sebagai berikut:

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat; (2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat;

(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif);

(4) pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut penulis, ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut mencerminkan perbankan syariah tidak hanya beroperasi dengan dasar profit oriented atau orientasi keuntungan semata, namun juga falah oriented. Perbankan Syariah sebagai lembaga keuangan bank memiliki fungsi menghimpun dana dan menyalurkan dana. Selain itu perbankan syariah juga berfungsi sebagai lembaga syiar Islam dengan menjalankan fungsi sosial seperti menghimpun dan menyalurkan dana sosial dari dana zakat, infak, sedekah.

Adapun manfaat dari pembiayaan yaitu:

1. Manfaat bagi nasabah peminjam

a. Sebagai sumber permodalan yang dapat membiayai sebuah usaha;

b. sebagai sarana memperkuat kegiatan usaha yang ada;

c. sebagai sarana memenuhi faktor produksi;

d. sebagai sarana meningkatkan pendapatan sebagai akibat penambahan faktor produksi.

2. Manfaat bagi bank syariah

a. Merupakan sumber pembentuk kekayaan bagi bank syariah;

b. Memungkinkan bank syariah untuk memiliki unit usaha yang produktif di luar usaha bank syariah.

Bagi bank syariah dalam menyalurkan dana pembiayaan maka sebelumnya perlu memperhatikan prinsip-prinsip (prinsip 5C), sebagai berikut (Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita, 2000: 34-36):

1. Character (watak/kepribadian) dari calon debitur yang merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan sebagai hal yang paling penting sebelum memutuskan/menetapkan akan memberikan kredit padanya, sehingga calon debitur yang mempunyai reputasi baik sajalah yang dapat diteruskan permohonan kreditnya.

2. Capacity (Kemampuan) kemampuan seseorang/badan/pengusaha akan memberikan kejelasan kepada analis, sampai sebatas mana jumlah besar atau kecilnya pendapatan seseorang/badan/pengusaha dari waktu ke waktu atau dari musim ke musim.

3. Capital (modal) calon debitur perlu diketahui dan diteliti oleh calon kreditor selain dari jumlahnya juga strukturnya.

4. Conditional of economy (kondisi ekonomi) tentang kemungkinan tedapat kondisi atau situasi yang memberikan dampak positif ataupun negatif terhadap usaha calon debitur.

5. Collateral (jaminan/agunan) adalah jaminan berupa harta benda milik debitur atau pihak lain yang menjaminnya, diikat sebagai agunan/tanggungan. Andai pada 5. Collateral (jaminan/agunan) adalah jaminan berupa harta benda milik debitur atau pihak lain yang menjaminnya, diikat sebagai agunan/tanggungan. Andai pada

Pembiayaan yang sudah disetujui terkadang juga memiliki kendala-kendala yang menyebabkan pembiayaan tersebut menjadi bermasalah sehingga memiliki konsekuensi hukum terhadap dana nasabah peminjam yang salah satunya berasal dari produk simpanan wadiah. Pembiayaan tersebut bermasalah terhadap pengembalian dana pembiayaannya dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Faktor intern bank syariah

a. Analisis terhadap faktor-faktor yang terkait dalam pembiayaan yang kurang/tidak akurat;

b. Kelemahan pengawasan terhadap kegiatan pembiayaan;

c. Lemahnya mutu sumber daya manusia karyawan bank syariah;

d. Terdapat kekeliruan atau tidak sempurnanya akad dan jaminan pembiayaan;

f. Pembiayaan yang tidak tepat sasaran serta terkonsentrasi hanya pada beberapa pihak saja.

2. Faktor ekstern bank syariah

a. Nasabah peminjam menyalahgunakan pinjamannya;

b. Nasabah peminjam tidak mampu mengelola dana pinjamannya;

c. Terjadi keadaan dimana kondisi perekonomian tidak kondusif sehingga mempengaruhi kegiatan usaha nasabah peminjam maupun mempengaruhi kemampuan nasabah peminjam untuk membayar;

d. Adanya itikad tidak baik dari nasabah peminjam;

f. Adanya wanprestasi dari nasabah peminjam.

3. Terjadi keadaan yang bersifat Force Majeur Keadaan ini merupakan keadaan yang berada di luar kontrol dan kemampuan pihak bank syariah maupun pihak nasabah peminjam. Hal ini bisa disebabkan oleh peristiwa bencana alam, huru-hara, kebakaran, perang, dan lain- lain.

Faktor-faktor tersebut dapat terjadi dalam kegiatan pembiayaan bank syariah. Apabila faktor-faktor tersebut terjadi, maka akan menimbulkan kerugian baik bagi bank syariah, nasabah peminjam, maupun nasabah penyimpan dana. Hal ini karena uang yang berasal dari nasabah penyimpan digunakan untuk kegiatan usaha dalam hal ini penyaluran dana melalui kegiatan pembiayaan namun ternyata kegiatan pembiayaan tersebut bermasalah dan pada akhirnya nasabah peminjam tidak dapat mengembalikan dana pinjamannya kepada bank syariah dan kemudian pihak bank syariah mengalami kerugian sehingga kesulitan mengembalikan dana nasabah penyimpan.

Implikasi hukum terkait pembagian keuntungan dan kerugian dalam simpanan wadiah ialah bahwa apabila dana nasabah yang dimanfaatkan oleh pihak bank ternyata menghasilkan keuntungan maka bank dengan inisiatifnya sendiri dapat memberikan sebagian keuntungan tersebut kepada nasabah pemilik dana, namun apabila dana yang dimanfaatkan tersebut mengalami kerugian maka nasabah juga ikut menanggung kerugian tersebut sebagai konsekuensi diterapkannya sistem bagi hasil. Apabila akibat kerugian tersebut terjadi persengketaan antara nasabah dan bank, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sudah mengatur perihal tata cara penyelesaiannya yang menyatakan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad;

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan “penyelesaian

1. musyawarah;

2. mediasi perbankan;

3. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

4. melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.

Dalam hal ini, apabila dalam akad sudah ditentukan cara penyelesaiannya selain di Pengadilan Agama maka merujuk kepada alternatif penyelesaian sengketa sesuai Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di mana menentukan penyelesaian sengketa dengan cara:

1. Dengan menggunakan musyawarah atau yang dikenal dengan perdamaian;

2. Dengan menggunakan mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia;

3. Dengan menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional yang yang diresmikan oleh MUI lewat keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 didasarkan pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase atau melalui lembaga arbitrase lain;

4. Dengan jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Apabila dalam akad tidak ditentukan maupun sudah ditentukan cara penyelesaiannya maka merujuk kepada alternatif penyelesaian sengketa sesuai Pasal

55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di mana menentukan penyelesaian sengketa dengan cara beracara di depan pengadilan 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di mana menentukan penyelesaian sengketa dengan cara beracara di depan pengadilan

Dari uraian langkah yang dapat diambil guna menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa di perbankan syariah tergantung pada isi akad. Apabila isi akad menyebutkan maupun tidak menyebutkan cara penyelesaian sengketa, maka penyelesaian sengketa dilakukan dengan beracara di Pengadilan Agama. Sedangkan apabila isi akad menyebutkan cara penyelesaian sengketa selain dengan cara beracara di Pengadilan Agama, maka cara tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan tidak boleh bertentangan dengan isi dari Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di mana menyebutkan bahwa cara penyelesaiannya ialah melalui jalan musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase syariah nasional atau lembaga arbitrase lain, dan melalui beracara di pengadilan dalam lingkup Pengadilan Umum.

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah yang menyebutkan melalui beracara di Pengadilan Agama maupun tidak disebutkan cara penyelesaiannya dalam isi akad dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tantang Perbankan Syariah).

Pengadilan Agama memiliki kewenangan memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah sejak dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa:

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syariah. Dalam Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah (Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah (Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

c. asuransi syariah;

d. reasuransi syariah;

e. reksa dana syariah;

f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;

g. sekuritas syariah;

h. pembiayaan syariah;

i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah.

Menurut penjelasan tersebut bank syariah termasuk dalam kategori kegiatan ekonomi syariah sehingga penyelesaian permasalahan pembiayaan yang terjadi dapat menggunakan cara penyelesaian melalui Peradilan Agama. Namun cara penyelesaian ini hanya terbatas apabila kegiatan ekonomi syariah yang bermasalah dan terjadi persengketaan tidak menyebutkan cara penyelesaian sengketa di dalam akadnya, atau pun juga disebutkan dalam akad.

Menurut penulis, hingga saat ini, sumber daya manusia para hakim Pengadilan Agama belum cukup siap untuk menangani perkara ekonomi syariah ini. Diperlukan adanya pelatihan-pelatihan bagi hakim Pengadilan Agama untuk mengantisipasi apabila ada perkara ekonomi syariah.

2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain dengan cara beracara di Pengadilan Agama, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai 2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain dengan cara beracara di Pengadilan Agama, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai

Selain penyelesaian sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah dengan jalan beracara di Pengadilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 20008 tentang Perbankan Syariah juga mencantumkan klasula alternatif penyelesaian sengketa yang lain yaitu dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu:

a. Dengan menggunakan musyawarah atau yang dikenal dengan perdamaian;

Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bank syariah menggunakan cara musyawarah. Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara mengadakan musyawarah antara pihak pemilik simpanan wadiah dengan pihak bank syariah yang bertujuan untuk mendapatkan solusi penyelesaian atas masalah yang terjadi. Solusi atas penyelesaian masalah tersebut diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan baik dari pihak bank syariah maupun pihak nasabah pemilik simpanan wadiah. Apabila setelah diadakannya musyawarah dan dihasilkan suatu keputusan namun ada salah satu pihak yang tidak menghendaki hasil musyawarah, atau pun musyawarah tidak menghasilkan keputusan apa pun maka dapat ditempuh upaya hukum yang lain baik melalui Peradilan Agama, Mediasi Perbankan, Arbitrase, maupun beracara di Pengadilan Umum. Hal ini dimungkinkan sebab hasil dari musyawarah tersebut tidak mengikat salah satu pihak maupun keduanya untuk menjalankan kesepakatan tersebut, melainkan pelaksanaan hasil musyawarah tersebut didasarkan kepada kesadaran dan hati nurani para pihak.

b. Dengan menggunakan mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia;

Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bank syariah menggunakan cara mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara mengadakan mediasi antara pihak pemilik simpanan wadiah dengan pihak bank syariah yang bertujuan untuk mendapatkan solusi penyelesaian atas masalah yang terjadi. Mediasi yang dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Mediasi Perbankan ini memiliki keunggulan yaitu proses penyelesaian sengketanya berbiaya ringan, prosesnya cepat dan sederhana karena ( http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6EEDF369- 83F5-4CA4-8F34-A581CF139CC2/1487/MediasiPerbankan.pdf ):

1) Tidak dipungut biaya;

2) Jangka waktu proses mediasi paling lama 60 hari kerja; dan

3) Proses mediasi dilakukan secara informal/fleksibel.

Proses mediasi yang dilakukan melalui Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut ( http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6EEDF369-83F5-4CA4- 8F34-A581CF139CC2/1487/MediasiPerbankan.pdf ):

1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi Perbankan hanya sengketa yang menyangkut aspek transaksi keuangan antara nasabah 1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi Perbankan hanya sengketa yang menyangkut aspek transaksi keuangan antara nasabah

2) Sebelum melakukan proses mediasi, nasabah dan bank harus menandatangani perjanjian mediasi yang memuat:

a) Kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa; dan

b) Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi.

3) Bank Indonesia selaku mediator akan memfasilitasi pertemuan antara bank dengan nasabah guna mencari penyelesaian. Dalam pertemuan tersebut, mediator akan:

a) Bersikap netral;

b) memotivasi para pihak untuk menyelesaikan sengketa;

c) tidak memberikan rekomendasi atau keputusan. Hasil penyelesaian terhadap sengketa merupakan kesepakatan antara nasabah dengan bank.

4) Apabila dicapai kesepakatan, maka nasabah dan bank akan menandatangani akta kesepakatan;

5) Apabila tidak dicapai kesepakatan, nasabah dapat melakukan upaya penyelesaian lanjutan melalui arbitrase atau pengadilan.

Adapun definisi mediasi adalah sebagai berikut:

“Mediation is a process of dispute resolution in which a neutral third party, the mediator, helps the disputing parties to settle their conflict. The mediator does not have either the power or the resources to impose a settlement on the disputingparties or to make a decision that the parties are either required to consider or to accept. Rather, the mediator is limited to facilitating a resolution among the parties themselves .” (Gerald Turkel, 1996: 211)

Menurut pendapat penulis, proses mediasi perbankan ini terdapat kelemahan di dalamnya. Kelemahan tersebut yaitu adanya batasan nilai nominal obyek sengketa yaitu setinggi-tingginya Rp 500 juta. Ketentuan ini menyebabkan nasabah yang bersengketa dengan obyek nominal sengketa di atas Rp 500 juta tidak dapat menggunakan alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi perbankan.

c. Dengan menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional yang yang diresmikan oleh MUI lewat keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 maupun lembaga arbitrase lain didasarkan pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase;

Penyelesaian masalah sengketa ekonomi syariah juga dapat melalui lembaga Arbitrase. Baik itu lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional yang diresmikan oleh Dewan Syariah Nasional dengan keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 yang Penyelesaian masalah sengketa ekonomi syariah juga dapat melalui lembaga Arbitrase. Baik itu lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional yang diresmikan oleh Dewan Syariah Nasional dengan keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 yang

Yang dimaksud dengan arbitrase adalah pemutusan suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak- pihak yang bersengketa diluar hakim atau pengadilan, dalam praktiknya disebut pula perwasitan (Subekti dalam Suhrawardi K. Lubis, 1999: 84).

Dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat didasarkan kepada Al Quran yang antara lain terdapat dalam surat An-Nisa ayat 35 (ayat-ayat lain yang dapat dijadikan sandaran arbitrase ini seperti Surat Al-Hujarat ayat 9, an-Nisa’ ayat 114 dan 128) yang artinya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Subdinas Pembinaan Mental Dinas Perawatan Personil Angkatan Udara, 2002: 155).

Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat ini adalah juru damai diantara kedua suami istri yang bersengketa tersebut. Namun demikian, kalaupun yang disebutkan dalam ayat ini juru damai terhadap persengketaan suami istri, tentunya dapat dikembangkan atau diperluas kedalam persengketaan bidang-bidang lain (seperti bidang ekonomi). Hal itu dapat Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat ini adalah juru damai diantara kedua suami istri yang bersengketa tersebut. Namun demikian, kalaupun yang disebutkan dalam ayat ini juru damai terhadap persengketaan suami istri, tentunya dapat dikembangkan atau diperluas kedalam persengketaan bidang-bidang lain (seperti bidang ekonomi). Hal itu dapat

Hasil keputusan dari arbitrase tersebut dapat dimintakan eksekusi melalui ketua pengadilan negeri tempat sengketa itu terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 60 dan Pasal 61 yang diperkuat pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, sebagai berikut:

1) Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”

2) Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”

3) Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase: “Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah ketua pengadilan negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Menurut penulis, alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa terbaik. Hal ini dikarenakan dalam arbitrase selalu diusahakan sebuah keputusan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak yang bersengketa (win-win solution ). Dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa melalui jalan arbitrase, tidak ada pihak yang kalah.

d. Dengan jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bank syariah menggunakan cara beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara beracara di Pengadilan Negeri antara pihak pemilik simpanan wadiah dengan pihak bank syariah yang bertujuan untuk mendapatkan solusi penyelesaian atas masalah yang terjadi. Solusi atas penyelesaian masalah tersebut diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan baik dari pihak bank syariah maupun pihak nasabah pemilik simpanan wadiah.

Menurut penulis, alternatif penyelesaian sengketa melalui jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum ini dimungkinkankan sebab nasabah bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi umat muslim saja. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam merupakan Rahmatan Lil Alaamiin atau rahmat bagi semesta alam. Maka kegiatan perbankan syariah termasuk produk simpanan wadiah di dalamnya maupun produk pembiayaan tidak hanya dikhususkan bagi umat muslim saja, namun uman nonmuslim pun boleh menikmati produk dan jasa perbankan syariah. Apabila di kemudian hari terjadi persengketaan antara nasabah dan bank, maka nasabah yang beragama nonmuslim dapat mengajukan alternatif penyelesaian sengketa yang dialaminya dengan jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Lembaga penegak hukum tidak dapat dipisahkan dari keadaan masyarakat sekitarnya seperti yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev: “Legal Lembaga penegak hukum tidak dapat dipisahkan dari keadaan masyarakat sekitarnya seperti yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev: “Legal

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Sistem bagi hasil produk simpanan wadiah pada bank syariah a. Aplikasi prinsip wadiah dalam produk perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.

b. Jika dikaitkan dengan bank syariah, untuk prinsip wadiah yang digunakan adalah wadi’ah yad adz-dhamanah, artinya pihak yang menerima titipan (dalam hal ini adalah pihak bank) boleh menggunakan obyek titipan. Namun ada syaratnya, yaitu pihak yang menerima titipan itu harus mendapat izin dari pihak penitip (dalam hal ini adalah pihak nasabah bank).

2. Pembagian keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi hasil

a. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi, atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.

b. Jika dana mengendap yang dipergunakan oleh bank tersebut mengalami sesuatu yang tidak diinginkan maka disini nasabah tidak ikut menanggung kerugian yang disebabkan oleh bank. Karena prinsip wadi’ah yad adz- dhamanah nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya b. Jika dana mengendap yang dipergunakan oleh bank tersebut mengalami sesuatu yang tidak diinginkan maka disini nasabah tidak ikut menanggung kerugian yang disebabkan oleh bank. Karena prinsip wadi’ah yad adz- dhamanah nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya

3. Implikasi hukum atas keuntungan dan kerugian bagi nasabah dan bank sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi hasil beserta cara penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin timbul sehubungan dengan keuntungan dan kerugian tersebut Apabila terjadi persengketaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah menyertakan aturan mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi akibat kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank syariah. Dalam aturan tersebut, cara penyelesaian sengketa perbankan syariah terbagi menjadi dua bagian yaitu (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah):

a. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya-upaya sebagai berikut:

a. musyawarah; b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.

B. Saran

1. Untuk bank syariah sebagai lembaga keuangan perbankan yang bergerak berdasarkan syariat Islam perlu berhati-hati dalam memanfaatkan dana yang berasal dari produk simpanan wadiah. Hal ini dikarenakan prinsip wadiah yang digunakan adalah wadi’ah yad adz-dhamanah di mana pihak bank boleh memanfaatkan dana tersebut namun nasabah sewaktu-waktu dapat mengambilnya kembali.

2. Untuk bank syariah dalam menyalurkan dana yang berasal dari produk simpanan wadiah hendaknya benar-benar selektif dalam menentukan calon nasabah peminjam dalam kegiatan pembiayaannya. Hal ini untuk meminimalisir kemungkinan adanya pembiayaan bermasalah yang menyebabkan macetnya pengembalian dana pembiayaan yang berasal dari produk simpanan wadiah.

3. Untuk lembaga peradilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan hendaknya menyiapkan sumber daya manusia para hakim yang baik dan mengerti prinsip penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Hal ini dikarenakan kedua lembaga peradilan tersebut baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adnan M. Abdeen and Dale N. Shook. 1984. The Saudi Financial System: In The Context of Western and Islamic Finance. Chichester: John Wiley and Sons.

Burhan Ashshofa. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Dahlan Siamat. 1992. Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Bank Umum. Yogyakarta:

Penerbit BPFE. Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita. 2000. Analisis Kredit. Bandung: CV. Pionir Jaya.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah . Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI, Cetakan Pertama.

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing.

Karnaen Perwaatmadja. 1997. Pembangunan dan Upaya Perbaikan Taraf Hidup: Sekilas Pandangan K.H. Alie Yafie, dalam Wacana Baru Fiqh Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

dan Muhammad Syafei Antonio. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam . Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. . 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. Muhammad Najatullah Siddiqi. 1983. Issues in Islamic Banking: Selected Paper.

Leicester UK: The Islamic Foundation. Muhammad Syafei Antonio. 2000. Bank Syariah: Teori dan Praktek. Jakarta: Gema

Insani Press.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

dan Sri Mamuji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat . Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subdinas Pembinaan Mental Dinas Perawatan Personil Angkatan Udara. 2002.

Alquran Terjemah Indonesia . Semarang: Karya Toha Putra Semarang. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum.

Yogyakarta: PT. Citra Aditya Bakti. Suhrawardi K Lubis. 1999. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Sutan Remy Sjahdeni. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum

Perbankan Indonesia . Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, Cetakan Pertama. Syafruddin Prawiranegara. 1988. Ekonomi dan Keuangan; Makna Ekonomi Islami,

Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II . Jakarta: CV Masagung, Cetakan Pertama.

Warkum Sumitro. 1997. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait

(BAMUI dan Takaful) di Indonesia . Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wirdyaningsih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Zainuddin Ali. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2005 tentang Mediasi Perbankan. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan.

Makalah

Achmad Baraba. 2001. “Memahami Lembaga Keuangan Syariah”. Makalah.

Disampaikan pada Kursus Singkat dan Lokakarya II Ekonomi Islam. Burhanudin Harahap. 2008. “Kajian Yuridis Efektifitas Undang-Undang Perbankan

Syariah di Indonesia”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Implikasi dan Implementasi Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia, pada tanggal 11 Desember di Solo.

Jurnal

Daniel S. Lev. 1972. Islamic Courts in Indonesia: A Study in The Political Bases of Legal Institutions. California: University of California.

Gerald Turkel. 1996. Law and Society:Critical Approaches. Boston: Allyn and Bacon. Warkum Sumitro. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait

BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia . Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI:

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 02/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Tabungan.

Internet:

Mike Rini. Simpanan Bagi Hasil di Bank. <http:// perencanakeuangan.com/ files/Simp.BagiHasilSyariah.html>. (Diakses pada tanggal 1 Mei 2009 pukul 23.00 WIB).

Pembiayaan

dan Penanganan. < http://74.125.95.132/search?q=cache:LlJ- GkRHe5cJ:images.hasbulloh.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SLQ

Bermasalah

Pencegahan

VxAoKCDEAADYybS01/Penanganan%2520Pembiayaan%2520Bermasalah.p pt%3Fnmid%3D112417041+Pengertian+Pembiayaan+bermasalah&cd=1&hl= id&ct=clnk&gl=id >. (Diakses pada tanggal 17 November 2009 pukul 14.05 WIB).

Mediasi Perbankan. < http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6EEDF369-83F5-4CA4- 8F34-A581CF139CC2/1487/MediasiPerbankan.pdf >. (Diakses pada tanggal 17 November 2009 pukul 14.03 WIB).