PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN (STUDI KASUS PADA POLRESTA BANDAR LAMPUNG)

ABSTRACT
APPLICATION OF PROGRESSIVE LAW IN SETTLEMENT
CRIMINAL CASE ON INVESTIGATION STAGE
(CASE STUDY ON BANDAR LAMPUNG RESORT POLICE)
By
Y. AGUSTIANDARU, SH., SIK

Police duties in law enforcement has always put forward the principle of legality in a
formal investigation . Investigators face a dilemma choice to advance or stop the case
when there's peace between the victim and the suspect . If the investigator is always
pursuing legal certainty , the entire case will be forwarded to the judicial process .
Such conditions can add to the burden of the criminal justice system that is
characterized by over- capacity Pemasyarakatan institutions in Indonesia . Problems
in the study discusses the implementation of progressive laws relating to the form ,
limitations , reasons , and barriers found Bandar Lampung Resort Police investigator.
Research using normative juridical and empirical jurisdiction . Data obtained from
primary data and secondary data . The data collection procedures with literature
studies, field studies, and study documentation. After going through the process of
data collection and processing qualitative analysis.
The results showed that the Bandar Lampung Police investigator in implementing
progressive law in the form: penal mediation, applying discretion, and by

empowering community policing. Furthermore, there are limitations of criminal
cases that can be solved with progressive law. Sub-system within the criminal justice
system found police investigators need to implement progressive laws. Constraints
identified are the absence of legal rules governing the implementation of penal
mediation, the possibility of deviation possessed discretionary authority
investigators, as well as an understanding of law enforcement officers who have
always adhered to the principle of formal legalistic.
Finally, it is suggested to police investigators that promote progressive law at this
stage of the investigation . Investigators also must have a shared understanding about
the limitations of the application of progressive law . In addition there is need for
synergy in the criminal justice system sub progressive application of the law.
Suggestions recommended that the need for written rules on penal mediation in
criminal law in Indonesia . To avoid distortion , boss investigator needs to monitor
the steps taken by the investigator through his case.

Keywords : Application of Progressive Law , Investigation , Criminal Case

i

ABSTRAK

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENYELESAIAN
PERKARA PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN
(STUDI KASUS PADA POLRESTA BANDAR LAMPUNG)

Oleh
Y. AGUSTIANDARU, SH., SIK

Tugas Polri dalam penegakan hukum selama ini selalu mengedepankan asas legalitas
formal dalam suatu penyidikan. Penyidik menghadapi suatu pilihan dilematis untuk
memajukan atau menghentikan perkara ketika sudah ada perdamaian antara korban
dan tersangka. Apabila penyidik selalu mengejar kepastian hukum, maka seluruh
perkara akan dimajukan ke proses peradilan. Kondisi seperti ini dapat menambah
beban sistem peradilan pidana yang ditandai dengan over kapasitas lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini membahas tentang
penerapan hukum progresif terkait dengan bentuk, batasan, alasan, dan hambatan
yang ditemukan Penyidik Polresta Bandar Lampung.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
diperoleh dari data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi dokumentasi. Setelah melalui
proses pengumpulan dan pengolahan data dilakukan analisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyidik di Polresta Bandar Lampung
menerapkan hukum progresif dalam bentuk: mediasi penal, menerapkan diskresi, dan
dengan memberdayakan Polmas. Selanjutnya ada batasan perkara pidana yang dapat
diselesaikan dengan hukum progresif. Sub sistem dalam sistem peradilan pidana
berpendapat bahwa penyidik Polri perlu menerapkan hukum progresif. Hambatan
yang ditemukan adalah tidak adanya aturan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan mediasi penal, kemungkinan terjadinya penyimpangan kewenangan
diskresi yang dimiliki penyidik, serta pemahaman aparat penegak hukum yang selalu
berpegang pada azas legalistik formal.
Akhirnya disarankan kepada penyidik Polri agar mengedepankan hukum progresif
pada tahap penyidikan. Penyidik juga harus mempunyai persamaan persepsi tentang
batasan penerapan hukum progresif. Selain itu perlu adanya sinergitas dalam sub
sistem peradilan pidana mengenai penerapan hukum progresif. Saran yang
direkomendasikan bahwa perlu adanya aturan tertulis tentang mediasi penal dalam
hukum pidana di Indonesia. Untuk menghindari penyimpangan, atasan penyidik
perlu melakukan pengawasan terhadap langkah yang diambil penyidik melalui gelar
perkara.
Kata Kunci : Penerapan Hukum Progresif, Penyidikan, Perkara Pidana
ii


PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
PADA TAHAP PENYIDIKAN
(Studi Kasus Pada Polresta Bandar Lampung)

Oleh:
Y. AGUSTIANDARU, SH., SIK

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Program Studi Pasca Sarjana Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014


Judul Tssis

: PENERATAN HUK$nil PA{IGRESIF

$ALAM

PBNYELESATAN PERKARA P[I}AI{A PAI}A
TAEAP TTilYIDIXAI{
(Studi Kasus Pad* polrecta Baudsr Lampung)

Ifuffi

Mahasisra

: Y. Agtrstiandaru, S.H., SIK

No. Pokok Mahasiswa

: l222}fiA4l


Program Kekhususaa

: Hukum Pidana

Program Studi

: Program Paseasagana Magister Hukum

Paktrltas

:

Hekutrr

MINYETUJTiI
Dosen-Pembimbing

Pembimbiag Pgadam


r. Suna

s.H., M.H.

Eddy Rifai, S.8., M.H.
l%tagt21986S3 1003

*IENGSTAHUI
Ketua Proglaln Fascasarj ana
ister Hukum Fakultas Hukum

shffi

pi n g,

war, S.H., M.Hum.
550314 198603 t 001

MENGESAHKAN


l. Tim Penguji
Prd. Ilr. uaert+rS.H.,M.II.

Peabimbing{

:

Pembrnbingtr

: Dr. Eddy

Penguii

: Ih. NikmahBoeidah, g.Eo M.E

Penguji

:

P€r+gqii


: Dr, H+ai Sfuryaat+, S"H., M.H,

Rifai, S.H., M.H.

:'

Ilr, Eraaliewi, S.8., M.II.

"ffi$
s,H., M.S.
1987fr3 I 003

198f*3 t W2

4. Tanggal Lulus ldian:Tesis : 26 Mei 2Al4

PERNYATAAI{

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa


l.

:

Tesis dengan judul "Penerapan Hukum Progresif Dalam Penyelesaian

Perkara Fidana Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus Pada Polresta
Bandar Lampung)n adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan
penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak
sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau

yang disebut plagiarisme;

2.

Bahwa hak intelektual atas karya ilmiah ini, saya serahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.


Atas pernyataan

ioi, apabila di

kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya,
dan saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandarlampung, Mei2014

Y. AGUSTIANDARU, SII SIK
NPM. 1222011041

v1

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, tanggal 19 Agustus 1981 yang merupakan anak
pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Fransiskus X. Gimun dan Ibu
Marseline Kasinem.

Penulis menyelesaikan sekolah di SD Santa Maria Pekanbaru pada tahun 1993, SMP
Santa Maria Pekanbaru pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA
Taruna Nusantara Magelang dan tamat tahun 1999. Setelah selesai menjalani
pendidikan di Akademi Kepolisian Semarang pada tahun 2002, penulis melanjutkan
pendidikan S1 Hukum di Universitas Bhayangkara Surabaya pada tahun 2006, dan
S1 Ilmu Kepolisian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta pada tahun 2008.
Pada tahun 2012, penulis diterima pada Program Pasca Sarjana Program Studi
Magister Hukum Universitas Lampung. Saat tulisan ini dibuat, penulis sedang
melaksanakan tugas sebagai Kapolsek Natar Polres Lampung Selatan Polda
Lampung.

vii

MOTO

“Jadilah orang biasa yang melakukan hal-hal yang luar biasa”

“Menjadi orang penting itu baik, tapi lebih penting menjadi orang baik”
(Hoegeng Imam Santoso)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
Tesis ini dipersembahkan oleh penulis untuk orang-orang yang telah dengan tulus
dan sabar memberikan semangat, pengertian, ilmu, dan do’a bagi keberhasilan dan
kesuksesan dalam meraih ilmu dan gelar S2 bagi penulis.
Mereka adalah:

1.

Ayahanda Fransiskus Xaverius Gimun dan Ibunda Marseline Kasinem, yang
penuh dengan cinta dan kasih sayangnya, telah mendidik dan selalu berdo‟a
untuk keberhasilanku;

2.

Mertuaku : Ayahanda (almarhum) Hendro Purnomo dan Ibunda Erna Jogawati
selalu membimbing, menasehati, dan mendo‟akanku;

3.

Yang paling kucintai dan yang teristimewa dalam hidupku : Isteriku Veronica
Chandra Wati, yang selalu setia menemaniku dalam suka dan duka, serta
memberikan semangat, dan do‟a dalam segala hal;

4.

Anak-anakku yang kucintai dan sayangi : Nathania Ardelia Putri dan Dionisius
Evanjatra Wicaksana yang selalu menjadi pelipur hati dan pendorong
semangatku.

5.

Adik yang kusayangi: Dominikus Heri Handoko dan seluruh saudara dari istri
yang selalu memberi dukungan;

6.

Almamater tercinta Universitas Lampung.

ix

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRACT-----------------------------------------------------------------------------

i.

ABSTRAK-------------------------------------------------------------------------------

ii.

HALAMAN SAMPUL----------------------------------------------------------------

iii.

PERSETUJUAN------------------------------------------------------------------------

iv.

PENGESAHAN-------------------------------------------------------------------------

v.

PERNYATAAN------------------------------------------------------------------------

vi.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP--------------------------------------------------------

vii.

PERSEMBAHAN----------------------------------------------------------------------

viii.

MOTTO----------------------------------------------------------------------------------

ix.

KATA PENGANTAR-----------------------------------------------------------------

x.

DAFTAR ISI----------------------------------------------------------------------------

xi.

BAB I.

PENDAHULUAN---------------------------------------------------------

1.

A. Latar Belakang Masalah-----------------------------------------------

1.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup-----------------------------------

10.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian-------------------------------------

11.

D. Kerangka Teori dan Konseptual--------------------------------------

12.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA---------------------------------------------------

19.

A. Tugas dan Wewenang Polri dalam Penegakan Hukum-----------

19.

B. Diskresi Kepolisian----------------------------------------------------

23.

C. Konsep Pemolisian Masyarakat/ Community Policing------------

28.

D. Teori Keadilan dan Hukum Progresif-------------------------------

31.

E. Teori Teori Pemidanaan-----------------------------------------------

44.

F. Sistem Peradilan Pidana-----------------------------------------------

47.

BAB III. METODE PENELITIAN-------------------------------------------------

50.

A. Pendekatan Masalah---------------------------------------------------

50.

B. Sumber dan Jenis Data-------------------------------------------------

50.

xii

C. Prosedur Pengumpulan Data------------------------------------------

52.

D. Analisis Data------------------------------------------------------------

53.

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN------------------------

54.

A. Penerapan Hukum Progresif dalam Penyelesaian Perkara

54.

Pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung------------------B. Kategori Perkara Pidana yang penyelesaiannya menggunakan

71.

penerapan Hukum Progresif-----------------------------------------C. Alasan

Perlunya

Penerapan

Hukum

Progresif

dalam

76.

Penyelesaian Perkara Pidana oleh Penyidik Polresta Bandar
Lampung----------------------------------------------------------------D. Hambatan yang Dihadapi Penyidik dalam Penyelesaian Perkara

86.

Pidana dengan Menerapkan Hukum Progresif---------------------

BAB V. PENUTUP

92.

A. Simpulan-----------------------------------------------------------------

92.

B. Saran----------------------------------------------------------------------

95.

DAFTAR PUSTAKA

xiii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang
diancam dengan pidana. Syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah
kenyataan bahwa ada aturan yang melarang. Pengertian demikian mengenai
perbuatan pidana dipakai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disebut
kejahatan. Istilah kejahatan pada hakekatnya merupakan kegiatan prilaku manusia
yang bertentangan dengan hukum dan norma sosial, sehingga masyarakat
mencelanya, namun istilah kejahatan tidak dapat digunakan begitu saja untuk
pengganti perbuatan pidana yang ada dalam pengertian stratbaar feit. Perumusan
Staartbaar Feit merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang, dan
diancam dengan hukuman, seperti diterangkan oleh Simon dalam pendapatnya
tentang Strafbaar Feit yang harus memuat beberapa unsur yaitu:
1. suatu perbuatan manusia (menselijkt handeling en) dengan hendeling
dimaksudkan tidak saja "een doen" (perbuatan), akan tetapi juga "een
nulaten" (mengabaikan);
2. perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabaikan) dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang;
3. perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersilahkan karena melakukan
perbuatan tersebut.1
Suatu kejahatan dapat dipidana hanya dalam kapasitas ukuran normal untuk suatu
perbuatan pidana, tetapi dalam arti yang lebih penting perbuatan tersebut adalah

1

Satochid Kartanegara, Telah Dikupas Dalam Bahasa Belanda Indonesia dari Bahasa
Belanda Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1992, hlm. 74

2

suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum. Hukum pidana diperlukan untuk
mengatur sanksi dari perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Hukum pidana di Indonesia sesuai dengan Pasal 10 Kitab Undang Undang
Hukum Pidana mengatur jenis pidana terdiri atas: Pidana pokok yg terbagi
menjadi pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda; sedangkan Pidana
tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Seseorang sebelum menjalani pidana, terlebih dahulu harus melewati proses
peradilan pidana yang tidak sederhana. Untuk memutuskan seseorang bersalah
atau tidak, maka sebelumnya harus menjalani proses penyidikan dari
kepolisian/penyidik lainnya, penuntutan dari kejaksaan, dan terakhir melalui
proses pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang dan jenis
dan berat hukuman yang akan diberikan. Rangkaian proses ini merupakan tahapan
dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Sistem peradilan pidana merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk guna
menjalankan upaya penegakan hukum (khususnya hukum pidana) yang dalam
pelaksanaannya dibatasi oleh suatu mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan
tentang prosedur hukum. Sistem peradilan pidana berjalan dengan tujuan
menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan
jaminan atas pelaksanaan hukum di suatu negara.

3

Menurut Muladi, tujuan sistem peradilan pidana terdiri dari:
1. tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana;
2. tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni
pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal
(criminal policy);
3. tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan
masyarakat(social welfare), dalam konteks politik sosial (social policy).2
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana ini terdiri dari 4(empat) sub sistem,
yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Berbicara tentang tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana yaitu resosialisasi
dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, maka sub sistem Lembaga Pemasyarakatan
mempunyai peranan yang lebih besar dibanding sub sistem yang lainnya.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
dan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir sistem peradilan
pidana, dan juga merupakan rangkaian penegakan hukum, bertujuan agar Warga
Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Fungsi Lembaga Pemasyarakatan akhir-akhir ini patut dipertanyakan kembali
mengingat tidak optimalnya pembinaan kepada narapida. Salah satunya yang
menjadi hambatan adalah terjadinya over kapasitas dari Lembaga Pemasyarakatan
yang ada di Indonesia.

2

Muladi, Pembinaan Narapidana dalam kerangka Rancangan Undang Undang Hukum
Pidana di Indonesia, Makalah FH-UI, Jakarta, 1998, hlm.1.

4

Pada akhir tahun 2012, Kementerian Hukum dan HAM merilis data bahwa
kapasitas LP atau rumah tahanan yang ada di Indonesia hanya mampu
menampung tahanan sebanyak 102.466 orang, namun jumlah napi sekarang
ini mencapai 152.071 orang atau kelebihan kapasitas sebesar 50%.
Berdasarkan data dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham sampai Juli
2013, ada beberapa LP yang mengalami over kapasitas yaitu LP Kelas I
Tangerang dengan kapasitas 800 orang, namun dihuni 1.437 orang tahanan,
LP Kelas I Cipinang dengan kapasitas 880 orang, namun dihuni 2.933
orang, LP Kelas II Salemba dengan kapasitas 572 orang, dihuni 1.917
orang, LP Kelas II A Karawang dengan kapasitas 590 orang, dihuni 1.102
orang, LP Kelas II Cibinong dengan kapasitas 924 orang, dihuni 1.215
orang, LP Kelas I Semarang dengan kapasitas 530 orang, dihuni 1.204
orang, LP Kelas I Madiun dengan kapasitas 536 orang, dihuni 1.473 orang,
LP Kelas I Medan dengan kapasitas 700, dihuni 3.082 orang, LP Kelas II
Lubuk Pakam dengan kapasitas 350 orang, dihuni 1.022 orang, LP Kelas II
A Pekanbaru dengan kapasitas 361 orang, dihuni 1.581 orang, LP Kelas I
Palembang dengan kapasitas 540 orang, dihuni 1.136 orang, LP Kelas II A
Banjarmasin dengan kapasitas 366 orang, dihuni 2.411 orang. Rutan Kelas I
Surabaya dengan kapasitas 504 orang, dihuni 1.695 orang dan Rutan Kelas I
Medan dengan kapasitas 1.054 orang, dihuni 2.600 orang.3
Indikator terjadinya over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan adalah dengan
terjadinya kerusuhan di beberapa Lapas yang ada di Indonesia selama kurun
waktu 2103. Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Medan yang terjadi pada 11 Juli
2013 telah menyebabkan sekitar 240 orang narapidana kabur termasuk
didalamnya 5 narapidana kasus teroris. Kerusuhan tersebut juga merenggut nyawa
2 orang sipir dan 3 orang tahanan. Beberapa berita di media massa menyebutkan
bahwa pemicu terjadinya kerusuhan di LP Tanjung Gusta ini disebabkan karena
pasokan listrik dan air yang kurang mencukupi. Disamping itu, LP ini juga
mengalami over capacity disebabkan LP ini seharusnya hanya mampu
menampung 1.054 orang, tapi faktanya dihuni 2.600 orang tahanan sehingga
overloaded sebanyak 240%. 4

3

Sisi Lain di balik rusuh Lapas Tanjung Gusta, kamis 18 juli 2013, diakses dari www.
Tribunnews.com
4
Ibid.

5

Ketidakmampuan

Lembaga

Pemasyarakatan

untuk

menampung

jumlah

narapidana yang ada tidak bisa lepas dari Sub sistem lainnya dalam sistem
peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kepolisian dalam
hal ini adalah pintu pertama atau gerbang untuk memasuki suatu proses peradilan
pidana, sehingga Polri mempunyai andil yang cukup besar sehingga terjadi over
kapasitas di Lapas. Menurut penilaian Wakapolri Komjen Oegroseno dalam apel
Kasatwil Kepolisian se-Indonesia di Mako Brimob Kelapa Dua, Rabu, 15
September 2013, kondisi Lapas yang overload tidak lepas dari peran polisi. Polisi
terlalu mudah menahan seseorang, sehingga jumlah tahanan membludak. Menurut
beliau, intensitas kepolisian dalam menahan orang akhir-akhir ini sudah
keterlaluan. Tidak jarang tersangka yang menurut aturan boleh tidak ditahan
namun dipaksakan untuk ditahan.5

Polri harus lebih dapat bijak dalam menentukan suatu perkara untuk dapat atau
tidaknya maju ke pengadilan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa bagi polisi,
menjalankan hukum pidana tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik,
tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan.6 Polisi-polisi yang
mempersepsikan perpolisian bukan sekedar sebagai pelaksana komando undang
undang, menjalankan tugasnya dengan memanfaatkan institusi diskresi, dimana ia
dapat

memilih

antara

meneruskan

prosesnya

secara

hukum

atau

menghentikannya. Untuk memilih menghentikan atau tidak memperkarakan

5

Warning Kapolres, Tahanan Tewas, Copot, Radar lampung, Kamis, 15 September 2013
Satjipto Rahardjo, Membagun Polisi Sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan,
PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm. 261.
6

6

seseorang membutuhkan suatu visi yang lebih kompleks daripada sekedar
menerapkan hukum saja.7

Penyidik menghadapi pilihan antara memajukan atau menghentikan perkara
apabila sudah ada perdamaian antara korban dan terlapor. Pihak yang terlibat pada
umumnya menginginkan proses hukum tidak usah dilanjutkan, namun ketika
penyidik tetap mengajukan perkaranya ke persidangan dengan alasan bukan delik
aduan, maka rasa keadilan dari korban dan terlapor tidak akan terpenuhi.

Penyidik pada situasi ini dihadapkan pilihan dilematis antara kepastian hukum dan
keadilan. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga nilai dasar yang terdapat dalam
hukum, yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.8 Penegak hukum
secara ideal memang harus mengedepankan nilai dasar hukum tersebut secara
berimbang, akan tetapi realitasnya ketiga nilai hukum ini akan mengalami
pertentangan yang satu dengan yang lain. Aparat penegak hukum semestinya
tidak memahami nilai adil dan pasti itu pada pemahaman yang tunggal, karena
pemahaman yang tunggal inilah yang dapat menghambat penegakan hukum. Para
penegak hukum diharapkan harus memiliki keberanian memperluas cara
berhukum yang tidak hanya mengedepankan peraturan (rule), tetapi juga perilaku
(behaviour).

Aparat penegak hukum dalam hal ini instansi Kepolisian masih selalu
mengedepankan aspek peraturan (rule) dengan berpegang teguh pada asas
legalitas formal dalam setiap penyidikan perkara pidana. Penggunaan asas yuridis

7
8

Ibid, hlm. 227.
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 84

7

formal ini, membuat Polri rigid dalam menegakkan Undang Undang. Adanya
suatu kecendrungan ketika penyidik Polri tidak melakukan penyidikan sesuai
dengan yang diamanatkan dalam undang undang, maka penyidik tersebut
dianggap melakukan suatu penyimpangan. Anggapan itu tetap akan muncul
walaupun penyidik melakukan dengan alasan keadilan dan kemanfaatan. Akibat
penyidik selalu mengejar kepastian hukum, seluruh tindak pidana yang memenuhi
unsur materiil dan formal akan diteruskan ke proses Sistem Peradilan Pidana
berikutnya. Penuntut umum dan hakim tidak akan bisa menolak perkara yang
diajukan penyidik Polri. Hal inilah yang menyebabkan jumlah narapidana akan
bertambah terus dari waktu ke waktu, sehingga terjadi over kapasitas di Lembaga
Pemasyarakatan. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan untuk melakukan resosialisasi
dan rehabilitasi narapidana agar siap kembali ke masyarakat tidak akan bisa
berjalan optimal.

Seorang terpidana dalam menjalani keputusan hukum, akan merasakan dampak
negatif yang cukup besar dalam hidupnya. Pemutusan hubungan kerja dan
kehilangan kesempatan untuk mencari pekerjaan di masa depan adalah salah satu
contoh dari dampak negatif dari pelaksanaan pidana seseorang. Dampak negatif
yang lain adalah perceraian dan hilangnya hak politik seseorang. Perlakuan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sampai saat ini juga belum bisa seperti
yang kita harapkan. Masih ditemukan adanya perlakuan kekerasan dari petugas
Lapas maupun sesama narapidana. Ditambah lagi penyimpangan sexual yang
timbul dari sesama narapidana membuat sisi kelam dari pemidanaan menjadi
dampak yang buruk bagi kepribadian seseorang. Akumulasi dari hal-hal tersebut
di atas akan menimbulkan rasa dendam bagi seseorang terpidana akan suatu

8

putusan hukum, sehingga memungkinkan terjadinya pengulangan tindak pidana
atau peningkatan ekskalasi tindak pidana yang dilakukan. Proses ini akan terus
berulang, sehingga kejahatan di masyarakat tidak akan pernah berhenti. Apabila
hal ini terjadi maka tujuan sistem peradilan pidana jangka

menengah yaitu

sebagai pencegah dan pengendali kejahatan tidak akan berhasil. Ketika kejahatan
terus berkembang maka masyarakat akan merasa tidak aman dalam menjalankan
aktivitas perekonomian sehari-hari. Terganggunya mata pencaharian masyarakat,
akan menyebabkan tujuan jangka panjang dari Sistem Peradilan Pidana yaitu
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak akan tercapai.

Dalam rangka mengurangi beban sistem peradilan pidana seperti yang diuraikan
di atas, penyidik Polri sebagai lini terdepan dari Sistem Peradilan Pidana
sebenarnya mempunyai andil yang cukup besar. Penyidik seharusnya tidak selalu
mengedepankan asas Legalistik Formal yang mengejar kepastian hukum dalam
setiap penanganan perkara pidana. Cara berhukum penyidik Polri hendaknya tidak
hanya semata-mata menggunakan logika dan undang-undang saja, melainkan juga
dengan hati nurani. Disinilah nilai-nilai yang lain dapat masuk seperti: empati,
kejujuran, dan keberanian.9 Gagasan cara berhukum seperti ini dipelopori oleh
Satjipto Rahardjo, yang dikenal sebagai gagasan hukum progresif. Asumsi dasar
hukum progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Karena
hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi untuk nilai-nilai kemanusiaan
dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.

9

Faisal, Op. Cit., hlm. 85.

9

Penyidik Polri dapat menerapkan hukum progresif dalam mengambil keputusan
apabila dihadapkan pilihan antara kepastian hukum dengan keadilan dan
kemanfaatan. Kewenangan diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan
pilihan tindakan yang akan dilakukan. Memahami konsep diskresi kepolisian
secara sederhana adalah memahami bahwa kewenangan anggota Polri untuk
mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan
perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas dasar situasi
dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri demi
kepentingan umum. Oleh karena itu, secara tidak langsung diskresi kepolisian
dapat dikatakan sebagai salah satu penerapanan hukum progresif dalam
penyelesaian perkara pidana. Tak heran apabila Satjipto Raharjo berpendapat
bahwa polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum
progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi
pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya.10

Penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana di kepolisian
selain juga untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, juga dapat mendukung
keberhasilan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga
Pemasyarakatan tidak akan mampu membina

narapidana yang hanya

menjalankan masa hukuman yang cukup singkat. Output yang dihasilkan dapat
menjadi lebih buruk karena narapida terkontaminasi dengan pelaku kejahatan
lainnya di dalam lembaga Pemasyarakatan. Semula dihukum karena mencuri
ayam, setelah keluar dari lapas menjadi pencuri sepeda motor karena bergaul
dengan narapida lainnya, ataupun yang semula hanya pemakai narkoba, setelah
10

Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm 262.

10

keluar menjadi pengedar narkoba. Hal ini tidak akan terjadi ketika penyidik
menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga kasuskasus tindak pidana ringan yang sudah didamaikan tidak lagi diajukan ke
pengadilan. Kondisi ini akan memperingan beban Lembaga Pemasyarakatan
dalam membina narapidananya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul : Penerapan Hukum
Progresif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan
(Studi Kasus Pada Polresta Bandar Lampung)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah:
a. Bagaimanakah penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara
pidana oleh penyidik Polresta Bandar Lampung?
b. Perkara pidana apa sajakah yang penyelesaiannya dapat menggunakan
penerapan hukum progresif?
c. Mengapa diperlukan penerapan hukum progresif dalam penyelesaian
perkara pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung?
d. Hambatan apa sajakah yang dihadapi penyidik Polresta Bandar Lampung
dalam menyelesaikan perkara pidana dengan menerapkan hukum
progresif?

11

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan hukum
pidana yang dibatasi dalam tahap penyidikan di kepolisian terutama
mengenai dasar hukum, pertimbangan, dan tolak ukur penyidik Polresta
Bandar Lampung untuk menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian
perkara pidana selama kurun waktu tahun 2013, yang dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam upaya untuk mengurangi beban sistem peradilan
pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk:
a. Menganalisis penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara
pidana oleh penyidik Polresta Bandar Lampung.
b. Menganalisis

perkara

pidana

yang

dapat

diselesaikan

dengan

menggunakan penerapan hukum progresif yang dilakukan oleh penyidik
Polresta Bandar Lampung.
c. Menganalisis alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam
penyelesaian perkara pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung.
d. Menganalisis hambatan yang dihadapi penyidik Polresta Bandar Lampung
dalam penyelesaian perkara pidana dengan menerapkan hukum progresif.

12

2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya dalam memberikan
argumentasi tentang perlunya Penyidik Polri menerapkan hukum progresif
dalam penyidikan Tindak Pidana, sehingga dapat mengurangi beban
Sistem Peradilan Pidana khususnya terkait tugas dan fungsi Lembaga
Pemasyarakatan dalam membina narapidana.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
acuan dan pertimbangan bagi penyidik Polri dalam menyelesaikan perkara
pidana yang sedang dihadapinya sebagai sub sistem Sistem Peradilan
Pidana yang tidak terlepas dari tugas tanggung jawab Lembaga
Pemasyarakatan dalam membina narapidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1.

Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan di
dalam penelitian ini antara lain:
a.

Teori Tujuan Hukum

Hukum adalah alat, bukan tujuan. Yang mempunyai tujuan adalah manusia, akan
tetapi karena manusia sebagai anggota masyarakat tidak mungkin dapat
dipisahkan dengan hukum, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah
manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan hukum tersebut.

13

Ada begitu banyak grand teori tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Teori
tujuan hukum yang dipakai penulis untuk membahas permasalahan di tulisan ini
adalah teori dari Gustav Radbruch. Gustav Radbruch adalah seorang filosof
hukum dari Jerman yang mengajarkan konsep tiga ide dasar hukum.

Gustav mengajarkan bahwa ada tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar
pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tiga tujuan
hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit), dan
kepastian hukum (rechtssicherkeit).11 Radburch mengajarkan bahwa diperlukan
penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas
pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah
kepastian hukum. Ketika hakim dihadapkan dengan pilihan antara keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka ia harus mengutamakan keadilan,
barulah kemanfaatan, dan yang terakhir kepastian hukum.

Teori Radbruch yang semula dipandang sebagai teori yang maju dan arif, ternyata
dalam kasus tertentu tidak sesuai dengan kebutuhan hukum. Dalam kasus tertentu
dipandang bahwa keadilan harus diutamakan daripada kemanfaatan dan kepastian
hukum, akan tetapi dalam kasus lain mungkin kemanfaatan lebih harus
didahulukan daripada keadilan dan kepastian hukum. Melihat kenyataan tersebut,
timbulah teori prioritas kasuistik dimana tujuan hukum mencakupi keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan urutan prioritas secara proporsional
sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.

11

Achmad Ali, Menyibak Tabir Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 3.

14

b.

Konsep Hukum Progresif

Munculnya

gagasan

hukum

progresif

pada

dasarnya

didasarkan

pada

ketidakpuasan penggunaan cara pandang positivistik dalam penegakan hukum
karena seringkali dirasa gagal memenuhi keadilan. Sekalipun diakui bahwa
hukum yang berdimensi positivistik bermanfaat guna menjamin kepastian hukum,
tapi karena sifat dasarnya yang kaku, hukum yang demikian berpotensi
mengabaikan masyarakat tempat hukum itu hidup.

Atas dasar keprihatinan ini, Satjipto Rahardjo menggagas suatu ide tentang
hukum progresif. Asumsi dasar yang diajukan oleh Satjipto Rahardjo adalah
mengenai pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia. Hukum
progresif memiliki prinsip utama bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum itu tidak ada untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar, yaitu
untuk nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan,
dan kebahagiaan manusia.12

Konsekuensi dari prinsip ini adalah setiap kali ada masalah dalam dan dengan
hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Maka hukum tidak menjadi
suatu yang final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the
making) dalam rangka menuju hukum yang berkeadilan, yakni hukum yang
mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat.

12

I Gede Wiranata, Membedah Hukum Progresif, Pt Kompas Media Nusantara, Jakarta,
2006, hlm. 114

15

Berdasarkan asumsi asumsi di atas, Faisal, menyusun landasan konseptual dari
hukum progresif adalah sebagai berikut13:

1) Hukum sebagai institusi yang dinamis
Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai
institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa
institusi hukum selalu berada dalam proses untuk menjadi (law as process,
law in the making). Dalam konteks demikian , hukum akan tampak selau
bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini
akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar
terjebak dalam “kepastian hukum”, status quo, dan hukum sebagai skema
yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan
dinamis baik itu melalui perubahan undang-undang maupun pada kultur
hukumnya.

2) Hukum sebagai ajaran kemanusiaan dan keadilan
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum
hanyalah sebagai „alat‟ untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan
bahagia bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum
bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat sehingga
keadilan substantif harus lebih didahulukan daripada keadilan prosedural.

3) Hukum sebagai aspek peraturan dan perilaku
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules
and behaviour). Peraturan akan membangun suatu sistem hukum positif yang
13

Faisal, Op. Cit. hlm. 72.

16

logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan
menggerakkan peraturan dan sistem yang telah (akan) terbangun itu. Karena
asumsi yang dibangun di sini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial
penegak hukum dan masyarakatnya. Mengutamakan faktor perilaku
(manusia) dan kemanusiaan di atas faktor peraturan, berarti melakukan
pergeseran pola pikir, sikap, dan perilaku dari asas legalistik-positivistik ke
asas kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai individu dan
makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai
tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan
keadilan kepada siapapun.

4) Hukum sebagai ajaran pembebasan
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu
membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yamg
legalistik-positivistik. Dengan ciri “pembebasan” itu, hukum progresif lebih
mengutamakan tujuan daripada prosedur. Dalam konteks demikian, untuk
melakukan penegakan hukum, perlu dilakukan langkah-langkah kreatif,
inovatif, dan bila perlu melakukan mobilisasi hukum maupun rule breaking.
Paradigma pembebasan yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada
tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada
“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata
berdasarkan “ logika peraturan” saja.

17

2. Konseptual
Untuk membatasi istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini, dirumuskan
pengertian-pengertian sebagai berikut:
a. Hukum Progresif
Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari Bahasa Inggris
yang berarti kemajuan. Jika kata hukum dan progresif digabung, maka bermakna
bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu
melayani kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para
penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif digabungkan dengan
penafsiran hukum, hal ini berarti bahwa penafsiran progresif memahami proses
hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep kuno yang tidak dapat
digunakan dalam melayani kehidupan masa kini.14
b.

Perkara pidana adalah suatu kasus atau permasalahan yang diancam dengan

pidana.15
c.

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya
perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dianggap baik dan adil.16
d.

Penyidikan menurut Pasal 1 butir 3 KUHAP adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk

14

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press,
Yogyakarta, 2009, hlm. 128.
15
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 56
16
Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 56.

18

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
e.

Sistem Peradilan Pidana (SPP) menurut Rusli Muhammad adalah jaringan

peradilan yang bekerja sama secara terpadu di antara bagian-bagiannya untuk
mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.17
f.

Narapidana menurut Pasal 1 Ayat 7 UU No. 12 tahun 1995 adalah terpidana

yang menjalani hilang kemerdekaan di Lapas.

17

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tugas dan Wewenang Polri dalam Penegakan Hukum

Pengertian Kepolisian menurut Pasal 1 Undang Undang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepolisan langsung
bertanggungjawab kepada Presiden. Sejak dikeluarkannya Undang Undang Nomor 2
Tahun 2002, status kepolisian Republik Indonesia sudah berdiri sendiri dan tidak lagi
menjadi bagian dari ABRI. Hal ini dikarenakan adanya perubahan paradigma dalam
sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan
fungsi masing-masing.

Polisi merupakan institusi hukum yang tua, setua usia timbulnya kehidupan
bermasyarakat dalam sejarah manusia (ubi societas ubi politic)18. Dalam
menjalankan tugasnya, polisi memiliki dua peran sekaligus, yang pertama Polisi
adalah institusi yang bertugas menjaga dan memelihara ketertiban atau order
masyarakat agar tercapai suasana kehidupan yang aman , tentram, dan damai (Police
as maintenance order officer). Yang kedua polisi adalah institusi yang berperan
dalam penegakan hukum dan norma hidup dalam masyarakat (Police as an

18

Khoidin, Polisi, Masyarakat dan Penegakan Hukum (Dalam Buku Merenungi Kritik terhadap
Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, hlm. 85

20

enforcement officer)19. Pada pelaksanaan demikian, polisi adalah sebagai institusi
yang dapat melaksanakan berlakunya hukum, manakala hukum dilanggar, terutama
oleh perilaku menyimpang (kejahatan), maka diperlukan peran polisi untuk
memulihkan keadaan (restitution in integruman) pemaksa agar si pelanggar hukum
menanggung akibat dari perbuatannya.

Berkaitan dengan hal di atas, tugas Kepolisian di Republik Indonesia sesuai dengan
Pasal 13 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum, dan:
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Penjelasan Pasal 13 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa
rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya
sama penting, sedangkan dalam pelaksaannya tugas pokok mana yang akan
dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang
dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara
simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini
harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan
kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.20

Tugas Pokok Polri tersebut memuat tiga substansi yaitu: memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,
19

Ibid
Republik Indonesia, Undang Undang No.2 Th. 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Fokus Media, Bandung, 2003, hlm. 38
20

21

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Substansi tugas pokok memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat bersumber dari kewajiban umum kepolisian
yaitu memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Substansi tugas pokok
menegakkan hukum bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang
memuat tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan
peradialan pidana, contoh KUHP, KUHAP, dan berbagai undang undang tertentu
lainnya. Substansi tugas pokok memberikan perlindungan pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat bersumber dari kedudukan fungsi kepolisian sebagai
bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada hakikatnya bersifat pelayanan
publik (public service) dan termasuk dalam kewajiban umum kepolisian.21

Pasal 14 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, menyebutkan bahwa dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas:
1.
2.
3.

4.
5.
6.

7.

21

Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan.
Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan.
Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa.
Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Momo Kelana, Memahami Undang Undang Kepolisian, PTIK Press, Jakarta, 2002, hlm. 77.

22

8.

Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium foresnik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian.
9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dan gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
10. Melayani kepentingan watga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang.
11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian, serta;
12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 14 Ayat (1) huruf g, memuat substansi tentang rincian tugas Polri di
bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara
Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tugas penyelidikan dan
penyidikan yang harus dilaksanakan oleh penyelidik dan penyidik Polri meliputi
kegiatan:
1.
2.
3.
4.
5.

Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana.
Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Mencari serta mengumpulkan bukti.
Membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
Menemukan tersangka pelaku tindak pidana

Pasal 16 Ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 menjabarkan wewenang
Polri dalam rangka mendukung pelaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana, yaitu sebagai berikut bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian
Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
1.
2.
3.

Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyelidikan.
Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan.

23

4.

Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
8. Mengadakan penghentian penyidikan.
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkap orang yang disangka
melakukan tindak pidana.
11. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

B. Diskresi Kepolisian

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih
berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara
pidana yang ditanganinya. Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari Bahasa
Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan
sesuatu tindakan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang undang atau
hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan, atau keadilan.22
Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi dalam pengertian: “discretion is power
authority conferred by law to action on the basic of judgement of conscience and its
use is more than idea of morals than law” yang dapat diartikan sebagai suatu
kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan

22

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2004, hlm. 84.

24

keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada
pertimbangan hukum.23

Diskresi yang ada pada tugas polisi dikarenakan pada saat polisi menindak, lalu
dihadapkan pada 2 macam pilihan apakah memprosesnya sesuai dengan tugas dan
kewajibannya sebagai penegak hukum pidana ataukah mengenyampingkan perkara
itu dalam arti mengambil tindakan diskresi kepolisian. Tindakan diskresi ini
mempunyai arti tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku penegak hukum
pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum.
Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku demi ketertiban atau karena alasanalasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-alasan inipun erat kaitannya
atau masuk dalam kerangka tugas preventif polisi. Tindakan kepolisian yang berupa
menindak (represif) yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan diskresi ini, disebut
dengan tindakan diskresi kepolisian aktif. Sedangkan keputusan kepolisian yang
berupa sikap kepolisian yang umumnya mentolerir (mendiamkan) suatu tindak pidana
atau pelanggaran hukum disebut diskresi kepolisian pasif.24

Menurut Satjipto Rahardjo, salah satu alasan mengapa diskresi diperlukan bagi
petugas kepolisian karena sifat tugasnya yang mendesak dan mendadak, dimana
polisi harus bekerja dalam bilangan detik, tidak ada kemewahan untuk berpikir dan
menimbang-nimbang seperti hakim, jaksa, dan advodkat. Jika polisi tidak cepat dan
tepat bertindak, dalam bilangan detik dapat terjadi aneka peristiwa, kecelakaan,
23

M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,
Jakarta, 1991, hlm. 16.
24
Ibid, hlm. 45.

25

bunuh diri, dan lainnya. Jadi keleluasaan dan kelonggaran diperlukan bagi pekerjaan
polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal. Diskresi diberikan kepada
polisi untuk menentukan pilihan tindakan (course of action) yang akan dilakukan.25

Status polisi sebagai penyidik utama di dalam sistem peradilan pidana atau sebagai
pintu gerbang di dalam proses, menempatkan polisi sebagai tempat menerima dan
mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang polisi sebagai penyidik
menerima terlalu bany