Senyawa Kitin Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

Deuteromycetes merupakan kelompok jamur yang tidak memiliki fase seksual atau disebut fungi imperfect. Banyak spesies jamur yang tidak memiliki fase reproduksi seksual di siklus hidupnya. Umumnya kebanyakan jamur dari kelompok Deuteromycetes merupakan fase nonseksual atau anomorph dari kelompok jamur yang memiliki fase seksual seperti Ascomycetes dan Basidiomycetes. Setelah fase seksual ditemukan, kedua fase anomorph dan teleomorph, secara taksonomi dikelompokkan ke dalam teleomorph atau fase seksualnya. Curvularia sp. dengan genus Curvularia diklasifikasikan ke dalam kelompok Deuteromycetes karena memiliki konidia yang khas untuk genus Curvularia. Fase teleomorph atau fase seksualnya kemudian ditemukan, sehingga diklasifikasikan ke dalam kelompok Ascomycetes dengan genus Cochliobolus. Sejak itu jamur tersebuttelah dianggap ke dalam kelompok Ascomycetes dengan genus Cochliobolus dengan fase anamorph atau fase konidia dari genus Curvularia. Menurut Gilman 1972, berdasarkan bentuk konidianya Curvularia sp.terbagi atas beberapa spesies yaitu Curvularia subulata memiliki konidia berbentukseperti gada yang meruncing, C. tetramera dengan dua ujung konidianya runcing dan simetri berwarna kuning gelap, C. interseminata dengan bagian basal dan apikal sel konidia berwarna coklat transparan dengan ukuran konidia 15-23 X 5,5-7,5 µm, C. maculans denganbagian basal dan apikal konidia coklat gelap dengan ukuran konidia 19-26 X 11-17 µm, C. geniculata dengankonidia melengkung dengan empat sekat, C. lunata dengankonidia melengkung berwarna gelap dengan tiga sekat, dan C. pallescens dengankonidia melengkung berwarna agak terang dengan tiga sekat. Habitat Curvularia sp. banyak ditemukan di daerah tropis terutama pada tumbuh-tumbuhan, sawah, tanah hutan, lumpur hutan bakau, serasah, dan bahan organik lainnya yang mengandung keratin dan selulosa. Curvulariasp. hidup dengan suhu pertumbuhan yang optimal antara 24º-30ºC Gandjar, 1999.

2.4 Senyawa Kitin

Kitin merupakan polimer terbanyak kedua di alam, setelah selulosa. Secara luas, kitin terdapat sebagai komponen eksoskeleton crustacea seperti udang dan kepiting, Universitas Sumatera Utara mollusca, serangga, arthropoda, cacing, dan dinding sel fungi Emmawati et al., 2007.Polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi ini merupakan polimer berantai lurus dengan nama lain β–1,4-2-asetamida–2–dioksi-D-glukosa N-asetil-D- Glukosamin Suryanto et al., 2006. Kitin C 6 H 9 O 4. NHCOCH 3 n merupakan zat padat yang larut dalam asam- asam mineral pekat, tetapi tidak larut dalam air, pelarut organik, alkali pekat, dan asam mineral lemah. Dengan adanya ikatan hidrogen yang sangat kuat pada rantai kitin, membuat kitin tidak dapat larut dalam air dan membentuk fibril Dewi, 2008. Menurut Prasetyaningrum et al2007, sifat kitin umumnya tidak memiliki efek racun dan mudah teruraisehingga kitin banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang salah satunya bidang pertanian. Kitin pada fungi berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda, tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan struktur utama dari sel fungi yang terdiri atas jalinan rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Kandungan kitin pada fungi bervariasi dari 4-9 berat kering sel Rajarathanam et al., 1998. Pada bakteri, enzim kitinase diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, sementara pada tanaman kitinase digunakan untuk melawan jamur patogen maupun parasit. Degradasi kitin menjadi monomer glukosamin memerlukan enzim endokitinase dan eksokitinase yang bekerja sinergistik Rahayu et al., 2003.

2.5 Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

Mengingat pentingnya peranan enzim kitinase dalam industri, maka perlu dilakukan berbagai usaha untuk mencariserta mengembangkan mikroorganisme yang memiliki kemampuan memproduksi enzim kitinase serta menyeleksi strain mikroorganisme penghasil kitinase yang tinggi Muharni, 2009. Salah satunya adalah mikroorganisme kitinolitik yang merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi kitin dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau lingkungan air Universitas Sumatera Utara seperti laut, danau, kolam, atau limbah udang dan sebagiannya Herdyastuti et al.,2009. Bakteri kitinolitik merupakan jenis bakteri yang mampu memproduksi enzim kitinase. Kitinase dimanfaatkan untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon dan nitrogen Wu et al.,2001. Bakteri kitinolitik dapat memecah dan mendegradasi kitin penyusun dinding sel fungi sehingga bakteri ini sangat potensial untuk menghambat pertumbuhan fungi patogen pada tanaman. Beberapa bakteri tanah dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik. Kelompok bakteri tanah tersebut adalah Streptomyces, Bacillus, Enterobacter, Aeromonas, Serratia, danVibrio Ferniah et al., 2003. Kitinase merupakan hidrolase glikolisis yang mengkatalisis degradasi kitin yaitu senyawa polimer dari N-asetilglukos amin yang membentuk ikatan linier β-1,4. Enzim ini ditemukan dalam berbagai organisme, termaksud organisme yang tidak mengandung kitin dan mempunyai peran dalam fisiologi dan ekologi. Kitinase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur yang diperoleh dari berbagai sumber seperti tanah atau perairan dengan cara menumbuhkan pada media yang mengandung kitin koloidal. Enzim kitinase banyak dimanfaatkan sebagai agen biokontrol terutama bagi tanaman yang terserang infeksi jamur. Hal ini dikarenakan kitin merupakan komponen utama dinding sel fungi yang dapat didegradasi oleh enzim kitinase Herdyastuti, 2009. Mikroba kitinolitik dapat ditapis dengan menggunakan medium mengandung senyawa kitin. Mikroba diisolasi dari sampel dengan menggunakan medium garam koloidal kitin yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dari mana isolat berasal. Pembentukkan halo atau zona bening di sekitar koloni merupakan hasil degradasi kitin Suryanto Munir, 2006.

2.6 Potensi Bakteri Kitinolitik Sebagai Pengendali Hayati