PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA RANSUM KOMERSIAL TERHADAP PENAMPILAN AYAM JANTAN TIPE MEDIUM UMUR 8—12 MINGGU

(1)

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA RANSUM KOMERSIAL TERHADAP PENAMPILAN AYAM JANTAN TIPE MEDIUM

UMUR 8—12 MINGGU Oleh

Yuni Utami Putri R(1) Dr. Ir. Farida Fathul, M.Sc.(2) Ir. Tintin Kurtini,M.S.(3) ABSTRAK

Pemilihan ransum berpengaruh terhadap penampilan ternak termasuk ayam jantan tipe medium. Hal ini karena komposisi zat nutrien dalam ransum akan

dimetabolisme di dalam tubuh ayam menjadi glikogen, protein, dan lemak jika zat nutrien yang dikonsumsi lebih besar dari batas kebutuhan dasar. Oleh karena itu, pemilihan ransum harus diperhatikan dalam pemeliharaan ayam jantan tipe medium agar mendapatkan konsumsi ransum, konsumsi energi, pertambahan berat tubuh, efisiensi protein, konversi ransum, dan income over feed cost yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh pemberian beberapa ransum komersial terhadap penampilan ayam jantan tipe medium; (2) mengetahui pemberian ransum komersial yang terbaik terhadap penampilan ayam jantan tipe medium.

Penelitian ini dilaksanakan pada 18 Februari sampai dengan 18 Maret 2011, di kandang ayam Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri atas tiga perlakuan pemberian ransum yaitu BR-1, HP 611, CP-611 M. Setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali dan ayam yang digunakan ayam jantan tipe medium umur 8 minggu sebanyak 108 ekor yang dipelihara pada 18 petak kandang sistem litter. Data yang diperoleh dianalisis kovarian pada taraf nyata 5% dan atau 1% dan dilanjutkan dengan uji lanjut menggunakan uji Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan : terdapat perbedaan tidak nyata (P>0,05) pada pengaruh pemberian ransum komersial BR-1, HP 611, dan CP-611 M terhadap jumlah konsumsi ransum, konsumsi energi, pertambahan berat tubuh, efisiensi protein, konversi ransum, dan income over feed cost, serta semua ransum

perlakuan dapat dipakai dan peternak disarankan menggunakan ransum komersial CP-611 M dalam pemeliharaan ayam jantan tipe medium.

1. Alumni Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung 2. Dosen Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung


(2)

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Pembangunan peternakan merupakan salah satu aspek penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan meningkatkan

kesejahteraan peternak. Masalah yang sering dihadapi dewasa ini adalah

bagaimana menghasilkan produk peternakan yang memiliki daya saing tinggi baik dalam aspek kualitas, kuantitas, ragam produk, kontinuitas, pelayanan maupun harga yang dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan pasar.

Perunggasan merupakan komoditi yang secara nyata mampu berperan dalam pembangunan nasional, sebagai penyedia protein hewani yang mutlak diperlukan dalam pembangunan kesehatan serta kecerdasan bangsa. Sumber protein hewani antara lain, daging, susu, dan telur. Salah satunya daging ayam yang dikonsumsi berasal dari daging broiler atau daging ayam kampung. Selain kedua sumber tersebut, alternatif daging ayam sebenarnya dapat pula diperoleh dari ayam jantan tipe medium. Ayam jantan tipe medium berasal dari hasil sampingan usaha penetasan ayam petelur.

Usaha pembibitan ayam petelur mempunyai peluang untuk menghasilkan ayam betina dan ayam jantan setiap kali penetasan masing-masing sebesar 50%.


(4)

Ayam betina biasa digunakan sebagai penghasil telur, sedangkan ayam jantan digunakan sebagai ternak penghasil daging. Dengan demikian, peluang anak ayam jantan tipe medium sebagai penghasil daging cukup besar (Riyanti, 1995).

Ayam jantan tipe medium mempunyai potensi untuk digunakan sebagai penghasil daging. Keuntungan dari pemeliharaan ayam jantan tipe medium jika

dibandingkan dengan broiler antara lain harga DOC-nya jauh lebih murah dan kadar lemaknya lebih rendah, sehingga dapat dijadikan pengganti broiler bila suatu saat bibit broiler sulit didapat. Ayam jantan tipe medium mempunyai bentuk tubuh dan lemak yang menyerupai ayam kampung, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang mempunyai kebiasaan lebih menyukai ayam yang kadar lemaknya seperti ayam kampung (Riyanti, 1995). Menurut Suprianto (2002), pada ayam jantan tipe medium sebagai ternak penghasil daging mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan ayam betina.

Pertumbuhan ayam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik 30% dan lingkungan 70%. Salah satu unsur dari faktor lingkungan yang memberikan pengaruh paling besar adalah ransum. Ransum merupakan hal yang paling penting, mengingat hampir lebih dari 70 % dari biaya produksi dipakai untuk biaya ransum. Menurut Anggorodi (1979), pemberian ransum dinilai baik apabila bahan makanan yang digunakan mampu membangun dan menggantikan bagian-bagian tubuh serta menghasilkan produksi yang tinggi. Oleh karena itu, perlu mencermati komposisi dan pola pemberian ransum yang tepat agar dapat meningkatkan efisiensi dan mencegah terjadinya pemborosan ransum.


(5)

Pemilihan ransum dengan komposisi sesuai dengan kebutuhan ternak mampu meningkatkan pertumbuhan ternak tersebut. Hingga saat ini belum terdapat ransum dengan komposisi khusus bagi ayam jantan tipe medium. Para peternak yang mengembangkan usaha peternakan ayam jantan tipe medium masih

menggunakan ransum komersial broiler sebagai ransum ayam jantan tipe medium. Ransum komersial broiler yang biasa digunakan adalah ransum produksi PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia dan PT. Japfa Comfeed Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa ransum komersial terhadap

pertumbuhan ayam jantan tipe medium yang menggunakan ransum komersial broiler produksi PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia, ransum komersial broiler produksi PT. Japfa Comfeed Indonesia, dan ransum komersial ayam jantan tipe medium produksi PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia.

A. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

1. mengetahui pengaruh pemberian beberapa ransum komersial terhadap penampilan ayam jantan tipe medium;

2. mengetahui pemberian ransum komersial yang terbaik terhadap penampilan ayam jantan tipe medium.


(6)

B. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, tentang pemberian ransum komersial yang terbaik terhadap konsumsi ransum, konsumsi energi, pertambahan berat tubuh, efisiensi protein, konversi ransum, Income Over Feed Cost (IOFC) ayam jantan tipe medium.

D. Kerangka Pemikiran

Ayam jantan tipe medium sebagai ternak penghasil daging mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan ayam betina. Pertumbuhan adalah suatu penambahan jumlah protein dan mineral yang tertimbun dalam tubuh. Menurut Daryanti (1982), pertumbuhan hewan

dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain spesies, individu, jenis kelamin, pemberian ransum yang cukup, dan jumlah konsumsi ransum. Proses pertumbuhan tersebut membutuhkan energi dan substansi penyusun sel atau jaringan yang diperoleh ternak melalui ransum yang dikonsumsinya

(Wahju,1992). Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa ransum memiliki pengaruh penting dalam proses pertumbuhan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pemilihan ransum yang tepat sesuai kebutuhan ayam jantan tipe medium guna meningkatkan pertumbuhan.

Budiarti (1983) menyatakan bahwa jenis ransum berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat tubuh, dan konversi ransum pada ayam pedaging. Tingkat energi dan protein dalam berbagai ransum akan memberikan


(7)

pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertambahan berat tubuh, konsumsi ransum, komposisi tubuh, dan efisiensi penggunaan ransum. Hasil penelitian Riyanti (1995) ditinjau dari pertambahan berat tubuh, bobot tubuh akhir dan aspek ekonomi, ternyata ayam jantan tipe medium lebih baik bila diberikan ransum dengan tingkat energi metabolis 3.000,00 kkal/kg dan protein 22%. Efisiensi protein bagi ayam jantan tipe medium belum banyak diteliti, sehingga nilai efisiensi protein yang optimum bagi ayam jantan tipe medium belum diketahui dengan pasti.

Kenyataan di lapangan para peternak masih sering menggunakan ransum komersial broiler sebagai ransum ayam jantan tipe medium meskipun ransum khusus bagi ayam jantan medium telah diproduksi belum lama ini. Ransum ayam petelur memiliki kandungan energi metabolis 2.900,00 kkal/kg dan protein 15%, sedangkan energi metabolis yang dimiliki oleh ransum ayam jantan tipe medium sebesar 2.850,00—2.950,00 kkal/kg dan protein 22%. Selain nutrien yang berbeda, ransum-ransum komersial tersebut mempunyai jenis, komposisi

campuran bahan pakan, dan harga ransum yang berbeda. Harga ransum komersial untuk ayam jantan lebih murah jika dibandingkan dengan ransum komersial broiler yaitu Rp. 5.150,00 untuk ransum pejantan dan Rp. 5.500,00—Rp. 5.600,00 ransum komersial broiler. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ransum ayam jantan tipe medium akan memberikan hasil yang sama dengan pemberian ransum broiler.


(8)

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. ada pengaruh pemberian ransum komersial (BR-1, HP 611, dan CP-611 M) terhadap penampilan ayam jantan tipe medium;

2. ransum CP-611 M merupakan ransum komersial terbaik pengaruhnya terhadap penampilan ayam jantan tipe medium.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam Jantan Tipe Medium

Saat ini dikenal ada tiga tipe ayam, yaitu ayam tipe ringan (diantaranya Babcock, Hyline, dan Kimber); tipe medium (diantaranya Dekalb, Kimbrown, dan Hyline B11); dan tipe berat (diantaranya Hubbard, Starbro, dan Jabro) yang didasarkan atas bobot maksimum yang dapat dicapai oleh ayam tersebut. Tipe ringan

mempunyai bobot tubuh dewasa tidak lebih dari 1.880 g; tipe medium tidak lebih dari 2.500 g; dan tipe berat tidak lebih dari 3.500 g (Wahju, 1992). Jenis bibit ayam yang beredar di pasaran, antara lain ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler) dan ayam yang mempunyai fungsi ganda (dwiguna) yaitu sebagai penghasil telur dan daging (Nataatmaja, 1982).

Ayam petelur atau disebut ayam tipe dwiguna selain sebagai ternak penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging. Ayam yang biasa digunakan sebagai ternak penghasil telur adalah ayam betina, sedangkan ayam yang digunakan sebagai penghasil daging adalah ayam jantan. Dengan demikian, kemungkinan anak ayam jantan tipe medium sebagai ternak penghasil daging cukup besar (Riyanti, 1995).


(10)

Ayam jantan tipe medium memiliki bobot tubuh yang berada di antara bobot ayam petelur ringan dan broiler. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi tidak terlihat gemuk, sehingga menghasilkan daging yang banyak (Sumadi, 1995).

Ayam jantan tipe medium mempunyai bentuk tubuh dan lemak yang menyerupai ayam kampung, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang mempunyai kebiasaan lebih menyukai ayam yang kadar lemaknya seperti ayam kampung. Menurut Riyanti (1995), ayam jantan mempunyai kandungan lemak abdominal lebih rendah jika dibandingkan dengan ayam betina. Pada ayam jantan tipe medium sebagai ternak penghasil daging mempunyai kecepatan

pertumbuhan yang lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan ayam betina. Suprianto (2002), ditinjau dari segi pertumbuhannya, ayam jantan tipe medium mempunyai pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan ayam jantan tipe ringan. Hal ini dibuktikan oleh Dwiyanto, et al. (1979) dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ayam jantan Brownick tipe medium lebih baik daripada pertumbuhan ayam jantan Kimber tipe ringan.

Menurut Anggorodi (1979), pemberian ransum dinilai baik apabila bahan makanan yang digunakan mampu membangun dan menggantikan bagian-bagian tubuh serta menghasilkan produksi yang tinggi. Oleh karena itu, perlu

mencermati komposisi dan pola pemberian ransum yang tepat agar dapat meningkatkan efisiensi dan mencegah terjadinya pemborosan ransum.


(11)

B. Ransum Ayam

Ransum adalah makanan yang disediakan bagi hewan untuk memenuhi kebutuhan selama 24 jam (Anggorodi, 1994). Lebih lanjut Rasyaf (1994) menyatakan bahwa ransum adalah campuran bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat berarti zat makanan itu tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

Fungsi ransum yang diberikan ke ayam pada prinsipnya memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup, dan membentuk sel-sel dan jaringan tubuh. Selain itu, ransum juga berguna untuk menggantikan bagian-bagian yang merupakan

zat-zat yang diperlukan ayam, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Zat-zat tersebut selanjutnya akan mengalami proses metabolisme yang kemudian

membentuk energi sebagai hasil pembakarannya (Sudaryani dan Santoso, 1995).

Rasyaf (1994) menyatakan bahwa ransum merupakan sumber utama kebutuhan nutrien ayam untuk keperluan hidup pokok dan produksinya karena tanpa ransum yang sesuai dengan yang dibutuhkan menyebabkan produksi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Suprijatna (2005), ayam mengonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya, sebelum kebutuhan energinya terpenuhi ayam akan terus makan. Jika ayam diberi makan dengan kandungan energi yang rendah maka ayam akan mengonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak. Konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan berat tubuhnya. Setiap minggunya ayam mengonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan


(12)

minggu sebelumnya (Fadilah, 2004). Rasyaf (1994) menyatakan bahwa

konsumsi ransum ayam merupakan cermin dari masuknya sejumlah unsur nutrien ke dalam tubuh ayam. Jumlah yang masuk ini harus sesuai dengan yang

dibutuhkan untuk produksi dan untuk hidupnya.

Kandungan nutrien masing-masing bahan penyusun ransum perlu diketahui sehingga tujuan penyusunan ransum dan kebutuhan nutrien untuk setiap periode pemeliharaan dapat tercapai (Wahju,1992). Penyusunan ransum ayam pedaging memerlukan informasi mengenai kandungan nutrien dari bahan-bahan penyusun sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrien dalam jumlah dan persentase yang diinginkan (Amrullah, 2003). Nutrien tersebut adalah energi, protein, serat kasar, kalsium (Ca), dan fosfor (P). Sumber energi utama yang terdapat ransum ayam pedaging adalah karbohidrat dan lemak.

Ransum dikatakan seimbang bila mengandung zat-zat nutrisi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang cukup untuk pertumbuhan, produksi, dan kesehatan ternak (Anggorodi, 1994). Menurut Siregar, et al. (1980), ransum yang efisien bagi ayam adalah ransum yang seimbang antara tingkat energi dan kandungan protein, vitamin, mineral, serta zat-zat makanan lain yang diperlukan untuk pertumbuhan ayam.

Keseimbangan kandungan energi dan protein ransum perlu diperhatikan karena akan menentukan kualitas ransum ayam. Wahju (1992) menyatakan bahwa imbangan energi protein dalam ransum serta zat-zat makanan lainnya yang memenuhi syarat diharapkan dapat menghasilkan pertumbuhan yang relatif cepat


(13)

sehingga dalam waktu singkat dapat dipasarkan hasilnya. Ransum yang baik harus memperhatikan imbangan nilai nutrisinya seperti kadar protein, energi, vitamin, dan mineral. Pemenuhan kebutuhan energi dan protein ayam jantan tipe medium yang dipelihara sebagai ayam pedaging pada umumnya digunakan ransum broiler, dengan periode pemberian ransum awal starter selama empat minggu. Akan tetapi, mengingat bobot awal ayam jantan tipe medium berada di antara ayam tipe ringan dan ayam tipe berat, maka kebutuhan energinya juga berada di antara ayam tipe ringan dan berat. Dengan demikian, ayam jantan tipe medium diberikan ransum ayam tipe ringan dalam jumlah yang lebih banyak (Anggorodi, 1979 ; Wahju, 1992).

Menurut Wahju (1992), bahan pakan yang biasa digunakan untuk menyusun ransum adalah jagung kuning, dedak halus, bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, bungkil kedelai, kacang merah, ikan teri, tepung darah, dan bahan lain yang terdapat di daerah tertentu. Selain itu, Sofyan dan Aboenawan (1974)

menambahkan satu golongan makanan ternak yang berfungsi sebagai makanan penguat yaitu konsentrat yang mengandung protein tinggi.

Soedarsono (1997) menyatakan bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap fungsi beberapa organ dalam tubuh seperti jantung, alat pernapasan, dan keadaan suhu tubuh. Dikemukakan pula bahwa pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum yang maksimal pada prinsipnya tidak dapat dicapai apabila unggas dipelihara di bawah atau di atas suhu lingkungan yang sesuai. Suhu yang sesuai untuk ayam yaitu 210C dengan kelembaban 40%. Pada saat suhu lingkungan tinggi terjadi peningkatan pernapasan, ayam akan banyak minum, dan konsumsi


(14)

ransum berkurang. Konsumsi ransum yang berkurang akan menyebabkan protein ransum yang masuk ke tubuh ayam juga berkurang dan akibatnya pertumbuhan terhambat.

C. Konsumsi Ransum Ayam

Ransum adalah susunan beberapa pakan unggas yang di dalamnya harus

mengandung zat nutrisi yang lain sebagai satu kesatuan, dalam jumlah, waktu, dan proporsi yang dapat mencukupi semua kebutuhan (Rasyaf, 2005). Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dihabiskan selama 24 jam yang digunakan untuk proses pertumbuhan, aktivitas, dan mempertahankan suhu tubuh (Tillman, et al., 1998). Menurut Rasyaf (2000), konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dimakan selama masa pemeliharaan. Blakely dan Blade (1998) menjelaskan bahwa tingkat konsumsi ransum akan memengaruhi laju pertumbuhan dan bobot akhir karena pembentukan bobot, bentuk, dan komposisi tubuh pada hakekatnya adalah akumulasi ransum yang dikonsumsi ke dalam tubuh ternak.

Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dimakan ayam selama masa pemeliharaan. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh bentuk ransum, ukuran ransum, penempatan ransum, dan cara pengisian tempat ransum. Menurut Aksi Agraris Kanisius (2003), kebutuhan konsumsi ransum dipengaruhi oleh strain dan lingkungan. Selain itu, konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat-zat makanan, dan kecepatan pertumbuhan (Wahju, 1992).


(15)

Menurut Priyono (2003), konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bangsa ayam, suhu lingkungan, tahap produksi, dan energi ransum. Ayam-ayam petelur tipe berat tentunya akan mengonsumsi ransum lebih banyak daripada ayam tipe ringan pada umur yang sama, karena ayam-ayam yang lebih berat membutuhkan lebih banyak energi untuk kebutuhannya. Dwiyanto, et al. (1980) menyatakan bahwa semakin bertambah umur dan besarnya ayam maka konsumsi ransum akan semakin meningkat. Kondisi ini sejalan dengan meningkatnya kebutuhan zat-zat makanan untuk hidup pokok dan pertumbuhan.

Scott, et al. (1982) menyatakan bahwa kemampuan biologis dari setiap ayam dalam mencerna dan mengabsorpsi makanan berbeda sehingga jumlah konsumsi ransum juga berbeda. Menurut Rasyaf (1994), konsumsi ransum yang berbeda akan berpengaruh terhadap kandungan protein tubuh.

Konsumsi ransum yang relatif banyak akan menyebabkan konsumsi zat-zat makanan seperti asam amino, vitamin, protein juga banyak sehingga kebutuhan ayam untuk kebutuhan hidup pokok, produksi telur, dan pertumbuhan terpenuhi. Selanjutnya, dengan terpenuhinya kebutuhan zat-zat makanan tersebut diharapkan ayam akan menghasilkan performans yang baik (Wahju, 1992).

Hasil penelitian Riyanti (1995), menunjukkan bahwa ditinjau dari pertambahan berat tubuh, bobot tubuh akhir, dan aspek ekonomi, ternyata ayam jantan tipe medium lebih baik bila diberi ransum dengan tingkat energi metabolis

3.000 kkal/kg dan protein 22%. Terdapat hubungan negatif antara energi ransum dengan konsumsi ransum yaitu semakin tinggi kandungan energi maka konsumsi


(16)

ransum akan menurun. Sebaliknya konsumsi ransum akan meningkat jika

kandungan energi dalam ransum rendah. Konsumsi ransum pada ayam jantan tipe medium yang dipelihara sampai 8 minggu dengan kepadatan kandang 10 ekor m2 dan diberi ransum secara ad libitum adalah 80,30—86,31 g. Konsumsi ransum per ekor per minggu antara 323,79 dan 394, 16 g, sedangkan konversi ransumnya adalah 3,80—4,57.

Ayam pada fase grower (umur 8—12 minggu) membutuhkan ransum dengan kandungan energi metabolis sebesar 2.900,00 kkal/kg dengan protein 15% (Suprijatna, 2005). Menurut Ramayanti (2009), rata-rata konsumsi ransum ayam jantan tipe medium yang dipelihara selama 8 minggu dengan kepadatan kandang 10 ekor m2 berkisar antara 172,97 dan 250,72 g/ekor/minggu. Konsumsi ransum untuk ayam jantan tipe medium umur 8—12 minggu belum diketahui karena belum ada penelitian tentang konsumsi ransum ayam jantan petelur umur 8—12 minggu.

D. Performans Ayam

Menurut Soedarsono (1997), performans adalah prestasi atau segala aktivitas yang menimbulkan sebab akibat dan tingkah laku yang dapat dipelajari atau diamati. Pertumbuhan adalah kenaikan massa dari setiap jenis ternak yang berbeda dalam selang waktu tertentu. Menurut Daryanti (1982), pertumbuhan hewan

dipengaruhi oleh banyak faktor antra lain spesies, individu, jenis kelamin, pemberian ransum yang cukup, dan jumlah konsumsi ransum.


(17)

Pertumbuhan dipengaruhi oleh hormon estrogen. Hormon ini bekerja secara otomatis dan menjaga agar fungsi dari alat tubuh dan jaringan seimbang. Penambahan hormon estrogen menyebabkan pertumbuhan berbeda antara galur terutama pada umur 8 minggu (Daryanti, 1982).

Pertumbuhan merupakan perwujudan dari perubahan-perubahan dalam unit pertumbuhan terkecil yaitu sel mengalami pertambahan jumlah (hiperplasia) dan perbesaran ukuran (hipertropi) pada interval waktu tertentu (Anggorodi, 1994).

Pertumbuhan ayam berkembang sejak anak ayam menetas sampai umur 8

minggu, setelah itu pertumbuhan menurun (Card, 1982). Selanjutnya, dinyatakan bahwa pertumbuhan yang dicapai oleh suatu individu akan tergantung dari

kemampuan tubuh yang diwarisi oleh individu tersebut, jumlah dan kandungan zat makanan yang dikonsumsi, serta beberapa faktor lingkungan, seperti suhu, ventilasi, serta pelindungan terhadap parasit dan penyakit.

Menurut Wahju (1992), penurunan dan pertambahan berat tubuh dipengaruhi pula oleh tingkat energi dan protein dalam ransum. Bila kandungan energi dan protein dalam ransum meningkat, bobot tubuh akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Pertumbuhan maksimal akan dicapai oleh jumlah dan jenis protein dalam ransum sesuai dan seimbang energi, vitamin, dan mineral juga harus terpenuhi dalam jumlah yang cukup dan seimbang (Card, 1982).

Hasil penelitian Sahrial (1995), rata-rata bobot tubuh ayam ras petelur jantan Lohmann umur 8 minggu mencapai 580,67 g/ekor, sedangkan ayam kampung pada umur yang sama umumnya rata-rata bobot tubuh lebih rendah yaitu


(18)

309,12 g/ekor pada betina dan 320,18 g/ekor pada jantan (Mansjoer, 1985). Data standar performans ayam jantan tipe medium dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar performans produksi ayam jantan tipe medium per ekor Umur (minggu) Ransum (g/minggu) Bobot tubuh (g) Feed intake (g/hari)

FCR Air minum (liter/minggu)

I 70 72 10,00 0,97 0,03

II 90 145 12,86 1,10 0,04

III 140 230 20,00 1,30 0,07

IV 200 335 28,57 1,49 0,08

V 290 480 41,43 1,65 0,10

VI 350 650 50,00 1,75 0,11

VII 425 750 60,71 2,09 0,12

VIII 600 850 85,71 2,55 0,13

IX 700 950 100,00 3,02 0,15

Sumber : Rama Jaya, (2009)

E. Pertambahan Berat Tubuh

Menurut Rasyaf (2005), pertambahan berat tubuh adalah selisih antara bobot tubuh saat tertentu dengan bobot tubuh semula. Pertumbuhan merupakan perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan tubuh suatu individu. Selain itu, pertambahan berat tubuh dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan ternak.

Pertambahan berat tubuh merupakan salah satu indikator keberhasilan

pemeliharaan ayam pedaging. Pertambahan berat tubuh dipengaruhi oleh faktor genetik dan nongenetik yang meliputi kandungan zat makanan yang dikonsumsi, suhu lingkungan, keadaan udara dalam kandang, dan kesehatan ayam itu sendiri. Kecepatan pertumbuhan ayam tidak hanya tergantung dari sifat genetik yang diwarisi dari induknya (Rasyaf, 2005).


(19)

Menurut Rasyaf (1994), pertumbuhan murni, ditinjau dari sudut kimiawi adalah suatu pertambahan jumlah protein dan zat mineral yang tertimbun dalam tubuh, sedangkan lemak dan air bukanlah pertumbuhan. Pertumbuhan murni termasuk dalam bentuk dan berat dari jaringan seperti urat daging, tulang, jantung, otak, dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak).

Selama fase pertumbuhan ayam jantan, penggunaan energi menyebabkan penimbunan lemak tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam betina, sehingga untuk mengimbangi kebutuhan energi yang cukup, maka ayam jantan mengonsumsi ransum lebih banyak dari betina (Gumanti, 1993).

Menurut hasil penelitian Ramayanti (2009), rata-rata pertambahan berat tubuh ayam jantan tipe medium yang dipelihara selama 8 minggu dengan kepadatan kandang 10 ekor m2 berkisar antara 99,57 dan 117, 78 g/ekor/minggu lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertambahan berat tubuh hasil penelitian Gumanti (1993), yaitu 532,63 g/ekor/8 minggu atau 66,58 g/ekor/minggu. Hal ini

disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi kandang yang digunakan dan jumlah konsumsi ransum selama penelitian tersebut.

F. Konversi Ransum Ayam

Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat tubuh. Semakin rendah nilai konversi ransum maka penggunaan ransum semakin efisien, dan semakin tinggi nilai konversi ransum berarti ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan berat tubuh


(20)

persatuan bobot semakin banyak atau dengan kata lain efisiensi penggunaan ransum semakin menurun (Rasyaf, 1994). Menurut Rasyaf (2005), jumlah ransum yang dikonsumsi ayam mampu menunjang pertumbuhan yang cepat yang mencerminkan efisiensi penggunaan ransum yang baik. Konversi ransum bernilai 1, artinya untuk menghasilkan 1 kg daging diperlukan ransum sebanyak 1 kg (Rasyaf, 2005). Apabila konversi ransum kecil sebaiknya digunakan sebagai pegangan berproduksi karena sekaligus melibatkan bobot tubuh dan konsumsi ransum.

Faktor-faktor yang memengaruhi konversi ransum adalah strain atau bangsa ayam, mutu ransum, keadaan kandang, dan jenis kelamin (Kanisius, 2003). Menurut North dan Bell (1990), konversi ransum juga dipengaruhi oleh tipe litter, panjang dan intensitas cahaya, luas lantai per ekor, uap amonia dalam kandang, penyakit, dan bangsa ayam yang dipelihara. Selain kualitas ransum, angka konversi banyak dipengaruhi oleh teknik pemberian ransum. Teknik pemberian ransum yang baik dapat menekan angka konversi ransum sehingga keuntungan akan banyak bertambah (Amrullah, 2003). Konversi ransum pada ayam jantan tipe medium yang dipelihara sampai 8 minggu dengan kepadatan kandang 10 ekor m2 per ekor per minggu antara 3,80—4,57.

G. Income Over Feed Cost (IOFC)

Kebutuhan ransum ayam jantan tipe medium erat kaitannya dengan aspek ekonomis. Income over feed cost merupakan perpaduan antara segi teknis dan ekonomis. Apabila dikaitkan dalam hal produksi dilihat dari segi teknis semakin


(21)

efisien ayam yang mengubah makanan menjadi daging maka semakin baik pula nilai IOFC. Nilai ekonomis dihitung berdasarkan IOFC, yaitu perbandingan rata-rata antara jumlah penerimaan dari hasil penjualan ayam dan biaya untuk pengeluaran ransum (Rasyaf, 2005).

Dalam suatu usaha peternakan biaya ransum memegang peranan penting karena merupakan biaya terbesar dari total biaya usaha. Oleh karena itu, penggunaan ransum yang berkualitas baik dan harga yang relatif murah merupakan suatu tuntutan ekonomis untuk mencapai tingkat efisiensi tertentu (Yahya, 2003).

Nilai IOFC sangat dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum. Semakin meningkatnya jumlah konsumsi ransum menyebabkan biaya yang diperlukan untuk berproduksi juga semakin meningkat. Rasyaf (2005) menyatakan bahwa nilai IOFC akan meningkat apabila nilai konversi ransum menurun dan apabila nilai konversi ransum meningkat maka IOFC akan menurun.

Menurut Rasyaf (2005), semakin tinggi nilai IOFC akan semakin baik, karena tingginya IOFC berarti penerimaan yang didapat dari hasil penjualan ayam juga tinggi. Dari hasil penelitian Ramayanti (2009), nilai IOFC ayam jantan tipe medium yang dipelihara selama 8 minggu dengan kepadatan kandang 10 ekor m2 pada perlakuan pemberian ransum 70% standar perusahaan sebesar 1,75, berarti bahwa untuk setiap pengeluaran biaya ransum sebesar Rp. 1, 00 menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 0,75. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2005), bahwa besarnya IOFC yang baik untuk usaha peternakan adalah lebih dari satu.


(22)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang ayam Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Kegiatan penelitian berlangsung pada 18 Februari—18 Maret 2011.

B. Bahan dan Alat Penelitian

a. Ayam penelitian

Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam jantan tipe medium strain MB-502 yang diperoleh dari PT. MBAI Lampung umur 8 minggu sebanyak 108 ekor dengan rata-rata bobot tubuh 1.003,19 ± 69,89 g/ekor, dan koefisien keragaman 14,35 % yang dipelihara secara komersial pada petak kandang sistem litter. Kepadatan kandang sebesar 6 ekor/0,75 m2 (0,13m2/ekor).

b. Ransum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial broiler BR-1 di produksi oleh PT. Japfa Comfeed, ransum komersial broiler HP 611 di produksi oleh PT. Charoen Pokphand, dan ransum ayam jantan tipe medium


(23)

CP-611M di produksi PT. Charoen Pokphand. Komposisi bahan pakan masing-masing ransum komersial tersebut di atas disajikan pada Tabel 2, sedangkan kandungan zat nutrien dapat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi bahan pakan pada ransum perlakuan

No. Bahan pakan BR-1* HP 611** CP-611 M**

1 Jagung   

2 Bungkil kedelai   

3 Bungkil kelapa -  

4 Bungkil kacang tanah -  

5 Pecahan gandum   

6 Dedak -  

7 Tepung daging   

8 Tepung tulang   

9 Tepung ikan -  -

10 Tepung daun -  

11 Minyak kelapa  - -

12 Canola -  

13 Poultry by product  - - 14 Dryed distiller grain in solables  - -

15 Garam  - -

16 Lisin  - -

17 Metionin  - -

18 Trionin  - -

19 Vitamin -  

20 Trace mineral -  

21 Antioksidan - - 

22 CaCO3  - -

23 Ca -  

24 P -  

Sumber : * PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk (2010) ** PT. Charoen Pokphand Indonesia (2010)


(24)

Tabel 3. Analisis ransum perlakuan

No. Nutrien Ransum

BR-1 HP 611 CP-611 M

1 Kadar air (%) 8,19 9,49 9,68

2 Kadar abu (%) 4,36 6,72 5,50

3 Kadar protein (%) 23,57 22,22 19,20

4 Kadar lemak (%) 6,36 8,04 9,35

5 Kadar serat kasar (%) 2,98 5,79 5,47

6 Kadar BETN (%) 54,54 47,71 50,79

7 Energi metabolis (kkal/kg) 3.356,53* 3.100** 2.900**

8 IEP 142,41 139,51 151,04

Sumber : Hasil analisis di laboratorium Peternakan Polinela (2010) Keterangan :

BETN : Bahan ekstrak tanpa nitrogen IEP : Imbahan energi-protein

* : Hasil analisis PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk (2010) ** : Hasil analisis PT. Charoen Pokphand Indonesia (2010)

c. Alat penelitian

Petak kandang menggunakan bambu dengan ukuran 0,75 x 1,00 m2, setiap petak terdiri dari 6 ekor ayam. Pemberian ransum dan air minum pada ayam umur 8—12 minggu secara ad libitum menggunakan tempat ransum dan air minum gantung sebanyak 18 buah. Pada setiap petak terdapat satu tempat ransum dan air minum gantung. Penimbangan ayam dan ransum menggunakan timbangan kapasitas 10 kg dengan ketelitian 0,10 g, sedangkan untuk menimbang vitamin menggunakan timbangan kapasitas 2 kg dengan ketelitian 0,01 g. Lampu yang digunakan yaitu lampu pijar 25 watt untuk penerang berjumlah 18 buah pada setiap petak terdapat satu lampu pijar. Pengukuran suhu dan kelembaban


(25)

menggunakan thermohigrometer sebanyak 1 buah, sedangkan untuk sanitasi menggunakan hand sprayer sebanyak 2 buah.

C. Rancangan Perlakuan

Penelitian ini terdiri atas tiga perlakuan pemberian ransum yaitu ransum komersial BR-1, HP 611, dan CP-611 M.

D. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 6 satuan percobaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis kovarian pada taraf nyata 5% dan atau 1% dan jika ada peubah yang nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan.

E. Pelaksanaan Penelitian

Sebanyak 108 ekor ayam umur 8 minggu diletakkan pada 18 petak, dan setiap petak terdiri dari 6 ekor ayam. Ayam jantan tipe medium umur 8 minggu terlebih dahulu ditimbang bobot tubuhnya. Ransum perlakuan dan air minum diberikan secara ad libitum. Pemberian ransum dan air minum dilakukan pada pukul 07.00 dan pukul 16.00 WIB. Pengukuran konsumsi ransum dilakukan seminggu sekali, sedangkan konsumsi air minum dilakukan setiap hari. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial broiler BR-1 produksi PT. Japfa


(26)

Comfeed dan HP 611 produksi PT. Charoen Pokphand, dan ransum ayam jantan CP-611 M produksi PT. Charoen Pokphand.

Penimbangan bobot tubuh dilakukan seminggu sekali untuk mendapatkan pertambahan berat tubuh mingguan. Mengukur suhu dan kelembaban kandang setiap hari, yaitu pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB. Suhu (0C) dan kelembaban (%) lingkungan kandang diukur menggunakan thermohigrometer yang diletakkan pada bagian tengah kandang yang digantung sejajar dengan tinggi petak-petak kandang.

F. Peubah yang Diukur

a. Konsumsi ransum (g/ekor/minggu)

Konsumsi ransum diukur setiap minggu berdasarkan selisih antara jumlah ransum yang diberikan pada awal minggu (g) dengan sisa ransum pada akhir minggu berikutnya (Rasyaf, 2005).

b. Konsumsi energi (kkal/ekor/hari)

Konsumsi energi diukur dari kadar energi ransum dikali dengan konsumsi ransum selama seminggu. (Rasyaf, 2005).


(27)

c. Pertambahan berat tubuh (g/ekor/minggu)

Menurut Rasyaf (2005), pertambahan berat tubuh diukur setiap minggu

berdasarkan selisih bobot akhir minggu dengan bobot tubuh minggu sebelumnya (g).

d. Efisiensi protein

Efisiensi protein dihitung berdasarkan pertambahan berat tubuh dibagi dengan konsumsi protein (Wahju, 1992).

e. Konversi ransum

Konversi ransum dihitung berdasarkan jumlah ransum yang dikonsumsi selama seminggu dibagi dengan pertambahan berat tubuh pada minggu yang sama (Rasyaf, 2005).

f. Income over feed cost (IOFC)

Income over feed cost dihitung berdasarkan perbandingan antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan ayam dan biaya ransum selama pemeliharaan (Rasyaf, 2005).


(28)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Pemberian ransum komersial BR-1, HP 611, dan CP-611 M pada ayam jantan tipe medium umur 8—12 minggu memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah konsumsi ransum, konsumsi energi, pertambahan berat tubuh, efisiensi protein, konversi ransum, dan income over feed cost (IOFC).

2. Tidak ada ransum komersial terbaik yang berpengaruh terhadap penampilan ayam jantan tipe medium umur 8—12 minggu.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, peternak dapat memakai salah satu dari ketiga ransum komersial dalam pemeliharaan ayam jantan tipe medium namun peternak perlu mempertimbangkan ketiga ransum tersebut dari segi ketersediaan di

pasaran. Selain itu, peternak dianjurkan untuk menggunakan ransum komersial CP-611 M dalam pemeliharaan ayam jantan tipe medium. Hal ini disebabkan oleh ransum tersebut mempunyai nilai ekonomis (IOFC) yang lebih baik dengan harga ransumnya lebih murah jika dibandingkan dengan ransum komersial BR-1 dan HP 611.


(29)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(30)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

I. PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang dan Masalah ……… 1

B. Tujuan Penelitian ………. 3

C. Kegunaan Penelitian ……… 4

D. Kerangka Pemikiran ……… 4

E. Hipotesis ………. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 7

A. Ayam Jantan Tipe Medium ……… 7

B. Ransum Ayam ... 9

C. Konsumsi Ransum Ayam ……… 12

D. Performans Ayam ... 14

E. Pertambahan Berat Tubuh ……….. 16

F. Konversi Ransum Ayam ………... 17

G. Icome Over Feed Cost (IOFC) ………... 18

III. BAHAN DAN METODE ………. 20

A. Tempat dan Waktu Penelitian ………... 20


(31)

b. Ransum ………. 20

c. Alat penelitian ... 22

C. Rancangan Perlakuan...………... 23

D. Rancangan Percobaan... 23

E. Pelaksanaan Penelitian ………... 23

F. Peubah yang Diukur ………... 24

a. Konsumsi ransum ……… 24

b. Konsumsi energi ... 24

c. Pertambahan berat tubuh ……… 25

d. Efisiensi protein ... 25

e. Konversi ransum ……….. 25

f. Income Over Feed Cost (IOFC) ……….. 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Konsumsi Ransum ... 26

B. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Konsumsi Energi ... . 29

C. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Pertambahan Berat Tubuh ... 31

D. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Efisiensi Protein ... 36

E. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Konversi Ransum ... 38

F. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Income Over Feed Cost (IOFC) ... 40

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Simpulan ... 43


(32)

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius (AAK). 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan keenam. Kanisius. Jakarta.

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Pertama. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Unggas. PT. Gramedia. Jakarta. ---. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-5. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh: B. Srigandono).

Budiarti, D. S. 1983. “Pengaruh Berbagai Tingkat ransum Komersial terhadap Performan Ayam Pedaging Strain Arbor Acres CP-707 pada Pemeliharaan di Atas Lantai Kawat”. Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Card, L. E. 1982. Poultry Production. 11th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Daryanti. 1982. “Perbandingan Komposisi Tubuh antara Ayam Jantan Petelur Dekalb dan Harco dengan Ayam Jantan Broiler”. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dwiyanto, K dan H. Resnawati. 1979. Performans Ayam Jantan dari Ketiga Strain Final Stock Tipe Petelur Ringan. Lembaran Penelitian Peternakan. Jakarta.

---. , M. Sabrani, dan P. Sitorus. 1980. Performans dari 6 strain ayam pedaging. Buletin LPP Bogor No 25 : 9—7.

Fadilah, R. 2004. Kunci Sukses Beternak Ayam Broiler di Daerah Tropis. Agromedia Media Pustaka. Jakarta.

Gumanti, F. 1993. “Pengaruh Pemberian Tepung dan Ekstrak Limbah Udang terhadap Performans Ayam Jantan Petelur dan Buras jantan”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(34)

Gurnadi, K. dan Sugandi, D. 1988. Pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum terhadap performans dua galur petelur tipe medium. Media Peternakan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Hawlider, M.A.R. and S.P. Rose. 1992. “The response of growing male and famale broiler chickens kept at different temperature to dietary energy

concentration feed form”. Animal Feed Sci. And technol. 39 : 71—78. Mansjoer, S. S. 1985. “Pengkajian Sifat-sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangannya dengan Ayam Rhode Island Red”. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Maryanti, S. 1990. “Pengaruh Strain dan Imbangan Energi Protein Ransum terhadap Pertumbuhan Bobot Badan Ayam Pedaging”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro. Semarang.

Nataatmaja, M.D. 1982. “Perbandingan Pemanfaatan Strain Ayam Jantan Tipe Dwiguna dengan Strain Ayam Broiler Ditinjau dari Aspek Produksi pada Peternak Ayam Backyard”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Bandung.

North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed, Publishing by Chapman and Hall One. New York.

Piliang, W.G. dan S. D. Al Haj. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume 1. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Polinela. 2010. Data Hasil Analisis Proksimat dan Kalori. Laboratorium Analisis. Politeknik Negeri Lampung. Lampung.

Priyono, D. 2003. “Performans Ayam Ras Petelur Tipe Medium Periode Tiga Bulan Pertama Bertelur yang Diberi Ransum dengan Kandungan Metionin pada Berbagai Level”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. 2010. Kandungan Nutrisi Ransum. Label Ransum. PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. Lampung.

PT. Japfa Comfeed Indonesia. 2010. Analisis Kandungan Nutrisi Ransum. Laboratorium PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Lampung.

Rama Jaya. 2009. Standar Performan Produksi Ayam Jantan Tipe Petelur per 1000 Ekor. Bandar Lampung.

Ramayanti, P. 2009. “Pengaruh Pembatasan Pemberian Ransum Broiler terhadap Pertumbuhan Ayam Jantan Tipe Medium”. Skripsi. Fakultas Pertanian.


(35)

Rasyaf, M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. ---. 2000. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.

---. 2005. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-10. Penebar Swadaya. Jakarta.

Riyanti. 1995. Pengaruh berbagai imbangan energi protein ransum terhadap peforman ayam petelur jantan tipe medium”. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Ciawi. Bogor.

Sahrial, J. 1995. “Pengaruh Berbagai Tingkat Pemberian Ransum terhadap Penampilan Ayam Ras Jantan Petelur Tipe Medium (0—8 minggu)”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Halaman 32—61 Santosa, U. 2008. “Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertambahan Berat Tubuh Unggas”. http://uripsantosa.wordpress.com/2008/06/29/faktor-faktor yang memengaruhi pertambahan berat badan pada unggas/. Diakses tanggal 13 Februari 2009.

Scott, M. L., M.C. Nesheim, dan R. J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens. 3rd Ed. Ithaca, N. Y.

Siregar, A. P., M. Sabrani, dan P. Suroprawiro. 1980. Teknik Beternak Ayam Ras di Indonesia. Margie Group. Jakarta.

Siregar, H. 1987. “Pengaruh Pemberian Tiga Macam Ransum Komersial terhadap Performans Dua Macam Strain Ayam Broiler”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soedarsono. 1997. “Respon Broiler terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan”. Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung.

Sofyan dan Aboenawan. 1974. “Pengaruh Lama Penyimpanan Bahan Makanan Ternak Dalam Beberapa Macam Pembungkus terhadap Derajat Ketengikan dan Kandungan Aflatoksin”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 halaman. Sudaryani, T. dan H. Santosa. 1995. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta

Sugono, M., K. Yooshida, M. Hashimoto, K. Enomoto and S. Hirano. 1992. “Hypocholesterolemic activity of partially hydrolyzed chitosans in rats”. In Advances in Chikin and Chitosan. Elsevier applied Science, London and New York.


(36)

Sumadi. 1995. “Pengaruh Penggunaan Berbagai Tingkat Tetes dalam Ransum terhadap Bobot dan Persentase Daging, Darah, Tulang serta Organ Dalam Ayam Ras Petelur Jantan Tipe Medium”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Suprianto. 2002. “Pengaruh Pemberian Berbagai Bakteri dalam Air Minum terhadap Pertumbuhan Ayam Jantan Tipe Medium”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Suprijatna, E., A. Umiyati, dan K. Ruhyat. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta

Tillman, A. D., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosekejo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yahya, A. 2003. “Pengaruh Saccaromyces cereviciae dalam Ransum terhadap Pertumbuhan Broiler”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(1)

a. Ayam penelitian ……… 20

b. Ransum ………. 20

c. Alat penelitian ... 22

C. Rancangan Perlakuan...………... 23

D. Rancangan Percobaan... 23

E. Pelaksanaan Penelitian ………... 23

F. Peubah yang Diukur ………... 24

a. Konsumsi ransum ……… 24

b. Konsumsi energi ... 24

c. Pertambahan berat tubuh ……… 25

d. Efisiensi protein ... 25

e. Konversi ransum ……….. 25

f. Income Over Feed Cost (IOFC) ……….. 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Konsumsi Ransum ... 26

B. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Konsumsi Energi ... . 29

C. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Pertambahan Berat Tubuh ... 31

D. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Efisiensi Protein ... 36

E. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Konversi Ransum ... 38

F. Pengaruh Pemberian Ransum Komersial terhadap Income Over Feed Cost (IOFC) ... 40

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Simpulan ... 43


(2)

(3)

44

DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius (AAK). 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan keenam. Kanisius. Jakarta.

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Pertama. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Unggas. PT. Gramedia. Jakarta. ---. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-5. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh: B. Srigandono).

Budiarti, D. S. 1983. “Pengaruh Berbagai Tingkat ransum Komersial terhadap Performan Ayam Pedaging Strain Arbor Acres CP-707 pada Pemeliharaan di Atas Lantai Kawat”. Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Card, L. E. 1982. Poultry Production. 11th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Daryanti. 1982. “Perbandingan Komposisi Tubuh antara Ayam Jantan Petelur Dekalb dan Harco dengan Ayam Jantan Broiler”. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dwiyanto, K dan H. Resnawati. 1979. Performans Ayam Jantan dari Ketiga Strain Final Stock Tipe Petelur Ringan. Lembaran Penelitian Peternakan. Jakarta.

---. , M. Sabrani, dan P. Sitorus. 1980. Performans dari 6 strain ayam pedaging. Buletin LPP Bogor No 25 : 9—7.

Fadilah, R. 2004. Kunci Sukses Beternak Ayam Broiler di Daerah Tropis. Agromedia Media Pustaka. Jakarta.

Gumanti, F. 1993. “Pengaruh Pemberian Tepung dan Ekstrak Limbah Udang terhadap Performans Ayam Jantan Petelur dan Buras jantan”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(4)

Gurnadi, K. dan Sugandi, D. 1988. Pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum terhadap performans dua galur petelur tipe medium. Media Peternakan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Hawlider, M.A.R. and S.P. Rose. 1992. “The response of growing male and famale broiler chickens kept at different temperature to dietary energy

concentration feed form”. Animal Feed Sci. And technol. 39 : 71—78.

Mansjoer, S. S. 1985. “Pengkajian Sifat-sifat Produksi Ayam Kampung serta

Persilangannya dengan Ayam Rhode Island Red”. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Maryanti, S. 1990. “Pengaruh Strain dan Imbangan Energi Protein Ransum

terhadap Pertumbuhan Bobot Badan Ayam Pedaging”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro. Semarang.

Nataatmaja, M.D. 1982. “Perbandingan Pemanfaatan Strain Ayam Jantan Tipe Dwiguna dengan Strain Ayam Broiler Ditinjau dari Aspek Produksi pada Peternak Ayam Backyard”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Bandung.

North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed, Publishing by Chapman and Hall One. New York.

Piliang, W.G. dan S. D. Al Haj. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume 1. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Polinela. 2010. Data Hasil Analisis Proksimat dan Kalori. Laboratorium Analisis. Politeknik Negeri Lampung. Lampung.

Priyono, D. 2003. “Performans Ayam Ras Petelur Tipe Medium Periode Tiga Bulan Pertama Bertelur yang Diberi Ransum dengan Kandungan Metionin pada Berbagai Level”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. 2010. Kandungan Nutrisi Ransum. Label Ransum. PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. Lampung.

PT. Japfa Comfeed Indonesia. 2010. Analisis Kandungan Nutrisi Ransum. Laboratorium PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Lampung.

Rama Jaya. 2009. Standar Performan Produksi Ayam Jantan Tipe Petelur per 1000 Ekor. Bandar Lampung.

Ramayanti, P. 2009. “Pengaruh Pembatasan Pemberian Ransum Broiler terhadap Pertumbuhan Ayam Jantan Tipe Medium”. Skripsi. Fakultas Pertanian.


(5)

46 Rasyaf, M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. ---. 2000. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.

---. 2005. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-10. Penebar Swadaya. Jakarta.

Riyanti. 1995. Pengaruh berbagai imbangan energi protein ransum terhadap peforman ayam petelur jantan tipe medium”. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Ciawi. Bogor.

Sahrial, J. 1995. “Pengaruh Berbagai Tingkat Pemberian Ransum terhadap Penampilan Ayam Ras Jantan Petelur Tipe Medium (0—8 minggu)”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Halaman 32—61

Santosa, U. 2008. “Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertambahan Berat Tubuh

Unggas”. http://uripsantosa.wordpress.com/2008/06/29/faktor-faktor yang memengaruhi pertambahan berat badan pada unggas/. Diakses tanggal 13 Februari 2009.

Scott, M. L., M.C. Nesheim, dan R. J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens. 3rd Ed. Ithaca, N. Y.

Siregar, A. P., M. Sabrani, dan P. Suroprawiro. 1980. Teknik Beternak Ayam Ras di Indonesia. Margie Group. Jakarta.

Siregar, H. 1987. “Pengaruh Pemberian Tiga Macam Ransum Komersial terhadap Performans Dua Macam Strain Ayam Broiler”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soedarsono. 1997. “Respon Broiler terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan”. Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung.

Sofyan dan Aboenawan. 1974. “Pengaruh Lama Penyimpanan Bahan Makanan Ternak Dalam Beberapa Macam Pembungkus terhadap Derajat Ketengikan dan Kandungan Aflatoksin”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 halaman. Sudaryani, T. dan H. Santosa. 1995. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta

Sugono, M., K. Yooshida, M. Hashimoto, K. Enomoto and S. Hirano. 1992.

“Hypocholesterolemic activity of partially hydrolyzed chitosans in rats”. In

Advances in Chikin and Chitosan. Elsevier applied Science, London and New York.


(6)

Sumadi. 1995. “Pengaruh Penggunaan Berbagai Tingkat Tetes dalam Ransum terhadap Bobot dan Persentase Daging, Darah, Tulang serta Organ Dalam Ayam Ras Petelur Jantan Tipe Medium”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Suprianto. 2002. “Pengaruh Pemberian Berbagai Bakteri dalam Air Minum terhadap Pertumbuhan Ayam Jantan Tipe Medium”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Suprijatna, E., A. Umiyati, dan K. Ruhyat. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta

Tillman, A. D., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosekejo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yahya, A. 2003. “Pengaruh Saccaromyces cereviciae dalam Ransum terhadap Pertumbuhan Broiler”. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.