yang bernama Sahat Siregar sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat.
Penggugat juga menolak pernyataan PT. Patra Supplies And Service yang menganggap PHK dan hak-hak Penggugat atas PHK
tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan pada Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan Pengadilan Indonesia, hal
yang demikian merupakan penafsiran PT. Patra Supplies And Service mengenai pemberlakuan kontrak kerja.
B. Mengenai pertimbangan dan putusan Tergugat
Tergugat telah
memberikan pendapatnya
mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Penggugat oleh PT.
PSAS. Selanjutnya, mengenai pendapat dan pertimbangan Tergugat terhadap permasalahan dimaksud dapat Penggugat sampaikan
Pertimbangan dan putusan Tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata, Tergugat hanya
mengambilalih begitu saja seluruh memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya.
Tidak ada satu kalimat pun, pertimbangan Tergugat yang bukan merupakan keterangan Penggugat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Tergugat berpendapat Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai pihak berstatus
WNA yang berdomisili di Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga, sehingga tidak berarti bahwa
perjanjian yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja
tersebut ditandatangani. Sesuai persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.005404 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh
Sdr. David J Duffi, perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura. Bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke
Pengadilan Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No. MD.005404 tahun 2004 kontrak kerja tersebut tidak
mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Tetapi, Perjanjian Kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura.
Sehingga perselisihan tersebut seharusnya diajukan kepada
Pengadilan Singapura. Pendapat Tergugat tersebut diambilalih statusnya dari
memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian memori banding yang dituliskan kembali oleh Tergugat.
Pendapat dan putusan Tergugat pada perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang Tenaga Kerja di
Indonesia: Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Berdasarkan
ketentuan tersebut
David J
DuffiPenggugat termasuk dalam pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Selanjutnya, berdasarkan angka 4, 5 dan 6 Pasal 1 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003, PT. Patra Supplies And Service telah
memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai pemberi kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan.
Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing,
dalam hubungan antara Penggugat dengan PT. Patra Supplies And Service adalah mutlak adanya.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan yang diberlakukan kepada
seluruh Pekerja baik asing maupun lokal serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk membuat perjanjian kerja atau
kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha. Akan tetapi, hak dan kewajiban tersebut
tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Oleh karenanya Pekerja maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada
undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan
dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia.
Pernyataan Tergugat bahwa kontrak kerja a quo tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, seharusnya
ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a quo
berdasarkan Undang-Undang tersebut. Sehingga, hak-hak Penggugat tetap dilindungi PT. PSAS harus memenuhi kewajibannya kepada
Penggugat sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta.
Pendapat Tergugat yang membenarkan pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan
Pengadilan Singapura adalah pendapat yang keliru. Meskipun kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura.
PT. PSAS adalah badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia.
Demikian pula dengan Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia. Karenanya, baik Penggugat maupun PT. PSAS
tunduk pada hokum. Dalam penyelesaian permasalahan PHK Penggugat, apalagi
mengenai berlakunya hukum Indonesia Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dinyatakan dengan tegas
oleh Tergugat, lebih tegas lagi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 telah mengatur mengenai masalah yang timbul dalam hubungan
kerja di Indonesia. Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana
yang disebutkan dalam kontrak kerja hanya
diberlakukan penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Penggugat dan PT. PSAS, selain hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pekerja dan
Pengusaha yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak
Penggugat atas dua bulan gaji dari PT. PSAS. Jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS atau kewajiban PT. PSAS untuk
menempatkan Penggugat pada perusahaan lain jika Penggugat di PHK.
Karena Tergugat tidak memberikan putusan sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku,
maka putusan Tergugat No. 36548383-7IXPHK3-2005 tanggal 29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah. Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D
Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Penggugat selama sembilan
bulan adalah sudah tepat. Lamanya waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidak-
tidaknya adalah sesuai dengan jangka waktu Ijin Kerja Tenaga Asing IKTA yang diberikan kepadanya.
Dalam permasalahan ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal
telah menyetujui
permohonan PT.
PSAS untuk
mempekerjakan Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun, mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT.
PSAS maupun oleh Tergugat, mengingat dokumen dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS.
Pembayaran kepada Penggugat selama sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar. Pasal 62 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana Pasal 61 ayat
1, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerjaburuh
sampai berakhirnya jangka waktu pejanjian kerja. Oleh sebab itu anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI
Jakarta layak dan adil untuk dipertahankan. Pertimbangan dan putusan
tergugat bertentangan
dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan
Yang Baik,
yakni Asas
Kecermatan dan
Keseimbangan. Tergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari
berkas perkara ini, Panitia Pusat berpendapat telah cukup data
sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini sehingga memandang tidak perlu lagi mengadakan sidang hearing untuk
menolak tambahan dataketerangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun
1957 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1957. Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas kecermatan
dan keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Tergugat. PT. PSAS telah menyampaikan keterangan secara sepihak melalui
memori bandingnya. Memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Penggugat oleh Tergugat.
Setelah tidak menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada Penggugat, Tergugat juga tidak memanggil Penggugat
untuk memberikan penjelasan. Bahkan, Tergugat langsung
mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya.
Tergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan semua fakta terkait, serta tidak pula
memperhatikan pihak pada perkara ini, yakni Penggugat. Karena putusan Tergugat a quo bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Penggugat, maka putusan Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah, dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan keputusan TUN yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada
Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat puluh ribu lima ratus US Dollar atau dengan kata lain
putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. Patra Supplies And Service.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada PT TUN Jakarta agar memberikan putusan menerima dan
mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal atau tidak sah putusan Tergugat No. 36548383-7IXPHK3-
2005 tanggal 29 Maret 2005 dan memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru yang berisi
mewajibkan Pengusaha PT. PSAS membayar kepada Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, terhitung sejak bulan
Mei 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 secara tunai dan sekaligus sebesar empat puluh ribu lima ratus US dollar.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul menurut hukum.
Terhadap gugatan tersebut, PT TUN Jakarta telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 226G2005PT.TUN.JKT. tanggal 14
Juni 2006, yang amarnya menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya
perkara sebesar dua ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus rupiah. Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat pada tanggal 21 Juli 2006 kemudian terhadapnya oleh Penggugat dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 3 Agustus 2006 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 3 Agustus 2006 sebagaimana ternyata dari akta
permohonan kasasi No. 195K2006PT.TUN.JKT. yang dibuat oleh Wakil Panitera PT TUN Jakarta, permohonan mana diikuti oleh
memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut pada
tanggal 16 Agustus 2006. Setelah itu oleh Tergugat yang pada tanggal 22 Agustus 2006
telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat dan terhadapnya tidak mengajukan jawaban memori kasasi.
Permohonan kasasi a quo beserta keberatan-keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut
formal dapat diterima. Pemohon KasasiPenggugat adalah karyawan yang bekerja
pada Pengusaha PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004, sesuai dengan penunjukan PT. PSAS No. MD.00504 tanggal 27
Januari 2004
selanjutnya disebut
sebagai Technical
AdvisorFasilities Manager atau sebagai Penasehat
Teknis, ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar lima
puluh empat ribu US Dollar, yang dibayarkan tiap bulan sebesar US 4,500.
PT. PSAS melakukan Pemutusan Hubungan Kerja PHK dengan Pemohon KasasiPenggugat tanpa mendapatkan ijin terlebih
dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas alasan Pemohon KasasiPenggugat tidak mampu melaksanakan
instruksi kerja dari Pengusaha. Keputusan PT. PSAS mengenai PHK tersebut disampaikan kepada Pemohon KasasiPenggugat pada
tanggal 7 Mei 2004 bulan keempat masa kerja Pemohon KasasiPenggugat melalui suratnya bertanggal 5 Mei 2004, akan
tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur, terhitung sejak tanggal 30 April 2004.
PT. PSAS adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan beralamat kantor di Indonesia,
serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonsia. Oleh karenanya, selain tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan, PT. PSAS juga
tunduk pada peraturan perusahaannya sendiri, serta kontrak kerja yang ditandatangani oleh Pemohon KasasiPenggguat dan PT.
PSAS. Dengan kata lain di samping peraturan perusahaan yang
diberlakukan atau perjanjian Pemohon KasasiPenggugat dengan PT. PSAS, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara
Republik Indonesia tetap berlaku dan tidak pernah dikesampingkan oleh para pihak sebagaimana yang diakui oleh PT. PSAS dan oleh
Termohon KasasiTergugat pada putusannya. Oleh karenanya, meskipun kontrak kerja a quo memilih
hukum dan Pengadilan Singapura, dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja
tersebut tidak mengesampingkan, dan tidak akan pernah dapat mengesampingkan berlakunya peraturan perusahaan, PT. PSAS
sendiri dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerja a quo.
Atas PHK yang dilakukan PT. PSAS tersebut, Pemohon KasasiPenggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Disnaker DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI Jakarta memberikan anjuran agar perusahaan PT. PSAS
membayarkan kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu ganti rugi berupa sisa upah sebesar sembilan bulan upah. David J Duffi dapat
menerima kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dalam butir satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja
memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran sebagaimana tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam waktu paling lama tujuh
hari setelah menerima anjuran ini. PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut
kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. Selanjutnya P4D Propinsi DKI Jakarta dalam putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan
hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004. Mewajibkan kepada
Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa
angsuran sebagai berikut: Uang ganti rugi empat puluh ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat.
7Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah menganjurkan PT. PSAS tetap keberatan dengan putusan tersebut
dan mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau Termohon KasasiTergugat.
Termohon KasasiTergugat
melalui putusannya
No. 36548383-7IXPHK3-2005
tanggal 29 Maret 2005 telah mengubah isi putusan P4D tersebut, sehingga Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat mengabulkan permohonan banding Pengusaha PT. PSAS; dan penyelesaian
perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi, yang dalam perkara
ini memberi kuasa kepada Yuherman Law Office, mengacu pada perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja Sdr. David J Duffi
dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari 2004 dengan menggunakan undang-undanghukum yang berlaku di Singapura.
Keputusan Termohon KasasiTergugat No. 365483- 7IXPHK3-2005 tanggal 29 Maret 2005 a quo adalah tidak
berdasar dan bertentangan dengan asas-asas peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Sehingga berdasar Pasal 53
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, keputusan Termohon
KasasiTergugat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak sah. Pembatalan keputusan Termohon KasasiTergugat tersebut
bukannya tanpa alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu Pemohon KasasiPenggugat menjelaskan
Pemohon KasasiPenggugat bekerja pada PT. PSAS, terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27
Januari 2004, kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Pemohon KasasiPenggugat di Jakarta pada hari yang sama, setelah
sebelumnya Pemohon KasasiPenggugat menyerahkan riwayat hidup Pemohon KasasiPenggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan
melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru, yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Membuktikan bahwa kontrak
kerja a quo dibuat dan ditandatangani di Indonesia dan diberlakukan dalam hubungan antara Pemohon
KasasiPenggugat dengan
Pengusaha PT. PSAS yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia. Pemohon KasasiPenggugat bekerja sebagai Tehnical
AdvisorFacilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis dan
ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji tahunan sebesar lima puluh empat ribu US Dollar yang dibayarkan tiap bulan kepada
Pemohon KasasiPenggugat sebesar US 4,500. Kontrak kerja tersebut tidak mengenal masa percobaan dan tanpa batas waktu,
akan tetapi segala perjanjian yang berkenaan dengan status Pemohon KasasiPenggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA,
RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu
tahun. Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang,
meskipun kontrak kerja tidak mengenal batas waktu, maka Pemohon KasasiPenggugat tidak akan dapat bekerja dengan sah, atau dengan
kata lain dalam permasalahan ini Pemohon KasasiPenggugat dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-
kurangnya selama satu tahun. Selama Pemohon KasasiPenggugat bekerja, Pemohon
KasasiPenggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun dari pihak Pengusaha baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara
tiba-tiba Pemohon KasasiPenggugat dipanggil ke Jakarta bertemu
dengan Mr. Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4 Mei 2004 di kantor perusahaan. Pada saat tersebut Mr. Bob Nowk
menyatakan ketidakpuasannya
dengan kinerja
Pemohon KasasiPenggugat, atas dasar itu PT. PSAS melakukan PHK
terhadap Pemohon KasasiPenggugat tanpa pembayaran apapun, karena menurut PT. PSAS, Pemohon KasasiPenggugat dalam masa
percobaan. Pemohon
KasasiPenggugat membantah
apa yang
disampaikan oleh Mr. Bob Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya maupun
mengenai masa
percobaan, karena
Pemohon KasasiPenggugat telah bekerja dengan baik sesuai dengan posisi
Pemohon KasasiPenggugat,
dan Pemohon KasasiPenggugat dipekerjakan tanpa mengenal masa percobaan sebagaimana kontrak
kerja, namun hal tersebut tidak merubah keputusannya. Pada tanggal 7 Mei 2004 bulan keempat masa kerja
Pemohon KasasiPenggugat, Pemohon KasasiPenggugat menerima surat PHK bertanggal 5 Mei 2004 dari PT. PSAS. PHK tersebut
dinyatakan berlaku mundur, yakni terhitung sejak tanggal 30 April 2004. Padahal pernyataan PHK secara lisan saja disampaikan pada
tanggal 4 Mei 2004. PHK tersebut dilakukan tanpa mendapatkan ijin
lebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. Terhadap keterangan PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker Jakarta, P4D Jakarta
ataupun dalam memori bandingnya sebagaimana yang dikutip oleh Termohon KasasiTergugat pada salinan putusannya, Termohon
KasasiTergugat ingin menegaskan. Dalil-dalil PT. PSAS yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Pemohon KasasiPenggugat tidak
mampu melaksanakan pekerjaan yang didistribusikan PT. PSAS adalah tidak benar. Dijelaskan lagi bahwa di samping tidak ada job
description dari PT. PSAS, diantara instruksi yang diberikan kepada
Pemohon KasasiPenggugat bukan merupakan bidang tugas Pemohon KasasiPenggugat, demikian pula mengenai kejadian-
kejadian sebagaimana yang didalilkan PT. PSAS, juga tidak diketahui oleh Pemohon KasasiPenggugat, sehingga hal yang
demikian haruslah ditolak. Pemohon KasasiPenggugat tidak pernah menyatakan
ataupun mengakui kepada Managing Director dan General Manager PT. PSAS bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari operasi
perusahaan adalah
kesalahan Pemohon
KasasiPenggugat. Keterangan-keterangan PT. PSAS tersebut tidak pernah dibuktikan,
bahkan Pemohon KasasiPenggugat tidak pernah diberitahukan
mengenai memori banding PT. PSAS pada saat PT. PSAS mengajukan keberatan pada Termohon KasasiTergugat. Sehingga
Pemohon KasasiPenggguat tidak dapat memberikan tanggapan pada Termohon KasasiTergugat. Keterangan PT. PSAS semakin tidak
berdasar lagi karena PT. PSAS juga menjadikan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain karyawan yang bernama Sahat Siregar
sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Pemohon KasasiPenggugat.
Pemohon KasasiPenggugat juga menolak pernyataan PT. PSAS
yang menganggap
PHK dan
hak-hak Pemohon
KasasiPenggugat atas PHK tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan
Pengadilan Indonesia. Hal yang demikian merupakan penafsiran PT. PSAS mengenai pemberlakuan kontrak kerja a quo.
Mengenai pertimbangan
dan putusan
Termohon KasasiTergugat.
Termohon KasasiTergugat telah memberikan pendapatnya mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Pemohon
KasaiPenggugat oleh PT. PSAS. Selanjutnya mengenai pendapat dan
pertimbangan Termohon
KasasiTergugat terhadap
permasalahan dimaksud Pemohon KasasiPenggugat sampaikan Pertimbangan dan putusan Termohon Kasasitergugat bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata Termohon KasasiTergugat hanya mengambilalih begitu saja seluruh
memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya. Dapat dilihat pada salinan putusannya
dan tidak ada
satu kalimatpun pertimbangan Termohon KasasiTergugat yang bukan merupakan keterangan Pemohon
KasasiPenggugat; Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Termohon
KasasiTergugat berpendapat. Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai Pekerja berstatus Warga Negara Asing yang berdomisili di
Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga, sehingga
tidak berarti bahwa perjanjian yang merupakan
kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja tersebut ditandatangani. Sesuai
dengan persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.005404 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh Sdr. David J Duffi,
perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura, dan bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke Pengadilan
Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No. MD.005404 tanggal 27 Januari 2004 kontrak kerja tersebut tidak
mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, tetapi perjanjian kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura,
sehingga perselisihan tersebut
seharusnya diajukan kepada Pengadilan Singapura.
Pendapat Termohon KasasiTergugat tersebut, diambilalih seutuhnya dari memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian
memori banding yang
dituliskan kembali oleh Termohon Kasasitergugat.
Pendapat dan putusan Termohon KasasiTergugat pada perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang
tenaga kerja di Indonesia. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, David J
DuffiPemohon KasasiPenggugat termasuk dalam
pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya
berdasarkan angka 4, 5, dan 6 Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, PT. PSAS telah memenuhi persyaratan untuk dapat
disebut sebagai Pemberi Kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan. Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan
perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing, dalam hubungan antara Pemohon KasasiPenggugat dengan PT. PSAS
adalah mutlak adanya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan
diberlakukan kepada seluruh Pekerja baik asing maupun lokal, serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk
membuat perjanjian kerja dan kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha, akan tetapi hak
dan kewajiban tersebut tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Karenanya Pekerja
maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada Undang-Undang yang berlaku. Atau
dengan kata lain perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang
berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia.
Pernyataan Pemohon KasasiPenggugat bahwa kontrak kerja a quo
tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 seharusnya ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a
quo berdasarkan undang-undang tersebut, sehingga
hak-hak Pemohon KasasiPenggugat tetap terlindungi, dan PT. PSAS harus
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon KasasiPenggugat
sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta. Pendapat Termohon KasasiTergugat yang membenarkan
pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan Pengadilan Singapura adalah pendapat
yang keliru. Meskipun, kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura. Hal ini dapat dijelaskan PT. PSAS adalah
badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia. Demikian pula dengan Pemohon
KasasiPenggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia, oleh karenanya baik Pemohon KasasiPenggugat maupun PT. PSAS
tunduk pada hukum Indonesia. Dalam penyelesaian permasalahan PHK Pemohon Kasasi Penggugat, apalagi mengenai berlakunya
hukum Indonesia ini Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dinyatakan dengan tegas oleh Termohon KasasiTergugat. Lebih
tegas mengenai masalah yang timbul dalam hubungan kerja di Indonesia.
Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana yang disebutkan dalam
kontrak kerja, hanya diberlakukan penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Pemohon KasasiPenggugat dan PT. PSAS selain hak-hak dan kewajiban-
kewajiban Pekerja dan Pengusaha yang diatur dalam Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak Pemohon KasasiPenggugat atas dua bulan
gaji dari PT. PSAS jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS, atau
kewajiban PT. PSAS untuk
mendapatkan Pemohon KasasiPenggugat
pada perusahaan
lain jika
Pemohon KasasiPenggugat di PHK.
Karena Pemohon KasasiPenggugat tidak memberikan putusan oleh undang-undang yang berlaku, maka putusan Termohon
KasasiTergugat No. 36548383-7IXPHK3-2005 tanggal 29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah.
Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan
PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Pemohon KasasiPenggugat selama sembilan bulan adalah sudah tepat, mengingat lamanya
waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidak-tidaknya adalah sesuai dengan jangka
waktu Ijin Tenaga Kerja Asing yang diberikan kepadanya. Badan Koordinasi Penanaman Modal telah menyetujui
permohonan PT.
PSAS untuk
mempekerjakan Pemohon
KasasiPenggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun. Mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT. PSAS
maupun oleh Termohon KasasiTergugat mengingat dokumen dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS.
Pembayaran kepada Pemohon KasasiPenggugat selama sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar,
karena Pasal 62 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana
Pasal 61 ayat 1, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah PekerjaBuruh sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Oleh sebab itu, anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta layak dan adil untuk diperintahkan. Pertimbangan dan
putusan Termohon KasasiTergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yakni Asas Kecermatan dan
Keseimbangan. Termohon KasasiTergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari berkas perkara ini, Panitia Pusat
berpendapat telah cukup data sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini, sehingga memandang tidak perlu lagi
mengadakan sidang
hearing untuk
mencari tambahan
dataketerangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 jo Pasal 6
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1967. Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas keseermatan
dan asas keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Termohon KasasiTergugat mengingat PT. PSAS, yang telah menyampaikan
keterangan secara sepihak melalui memori bandingnya, dimana memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Pemohon
KasasiPenggugat oleh Termohon KasasiTergugat. Setelah tidak
menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada Pemohon KasasiPenggugat, Termohon KasasiTergugat juga tidak
memanggil Pemohon
KasasiPenggugat untuk
memberikan penjelasan,
bahkan Termohon
KasasiTergugat langsung
mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya. Hal ini
memberikan bahwa Termohon KasasiTergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan
semua fakta terkait, serta tidak pula memperhatikan kepentingan pihak pada perkara ini, yakni Pemohon KasasiPenggugat.
Karena putusan Termohon KasasiTergugat a
quo bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan bertentangan
pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Pemohon KasasiPenggugat, maka putusan
Termohon KasasiTergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak sah, dan menghukum Termohon KasasiTergugat untuk
menerbitkan KTUN yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada Pemohon KasasiPenggugat sisa gaji Pemohon
KasasiPenggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat
puluh ribu lima ratus US Dollar. Dengan kata lain putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. PSAS.
Pertimbangan Termohon KasasiTergugat yang bertentangan dengan hukum danatau tidak menetapkan hukum Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 sebagaimana mestinya, hukum diambilalih dan dibenarkan oleh PT TUN Jakarta. Melalui putusannya tersebut di
atas, oleh sebab itu putusan PT TUN Jakarta juga harus dibatalkan. Alasan
dan permohonan
kasasi dari
Pemohon KasasiPenggugat pada perkara ini sesuai menurut hukum, maka
menjadi beralasan dan berdasar bagi Majelis Hakim Agung di tingkat kasasi untuk membatalkan putusan PT TUN di atas,
selanjutnya mengadili sendiri perkara ini. Oleh karena itu, Pemohon KasasiPenggugat mohon kepada
Mahkamah Agung RI untuk memperhatikan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah P4D Jakarta
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut di
atas, Mahkamah Agung berpendapat. Keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Factie telah
tepat dan benar, yaitu tidak salah dalam penerapan hukum, dengan
pertimbangan. Keberatan-keberatan tersebut hanya pengulangan kembali dari dalil-dalil gugatan yang sudah dipertimbangkan dengan
benar dan tepat oleh Judex Factie. Sesuai Pasal 12 Perjanjian Kontrak Kerja, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak
kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di Pengadilan Singapura.
Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan PT TUN Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum danatau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut harus
ditolak. Karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4
Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 5 Tahun
2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004,
dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut; danMenghukum Pemohon
KasasiPenggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah.
3.1.c. Putusan Nomor 286 KPdt.Sus-PHI2013
Perkara ini adalah perdata khusus perselisihan hubungan industrial dalam tingkat kasasi. Dalam perkara antara: PT. Siemens
Indonesia sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Tergugat, melawan Stephen Michael Young, Warga Negara
Australia, sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat.
Dari surat-surat tersebut, ternyata bahwa sekarang Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu sebagai Penggugat telah
mengajukan gugatan terhadap Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu sebagai Tergugat di depan persidangan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pokok tuntutan sebagai berikut: Pada tanggal 16 April 2012
Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan yang menangani
permohonan
pencatatan perselisihan hubungan industrial yang diajukan oleh Penggugat telah memberikan anjuran agar pekerja sekarang
Penggugat dapat menerima Pemutusan Hubungan Kerja dengan Pengusaha akibat dari berakhirnya masa Izin Menggunakan Tenaga
Kerja Asing atas nama Pekerja terhitung tanggal 24 Oktober 2011, sesuai Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI No.Kep-29167MENBIMTA2010, tanggal 18 Oktober 2010.
Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam jangka
waktu sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran ini. Penggugat tidak dapat menerima dan sangat keberatan
dengan anjuran Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan. Karena anjuran
tersebut sangat sumir, dibuat secara asal-asalan, sekedar melepas tanggung jawab memediasi laporan yang Penggugat ajukan. Setelah
anjuran diberikan, maka selesai tugas dan tanggung jawab mediator dan anjuran tersebut tidak didukung dengan argumentasi dan dasar
hukum yang kuat.
Anjuran tersebut tidak menjawab dan mempertimbangkan pokok persoalan yang Penggugat ajukan, yaitu
Penggugat bekerja pada Tergugat secara terus-menerus tanpa putus sejak tanggal 21 April 1998 sd tanggal 30 September 2011 selama
± 13 Tahun. Anjuran tersebut mentolerir pelanggaran-pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang dilakukan oleh Tergugat. Anjuran tersebut mengkaitkan hubungan kerja dengan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
IMTA, padahal hubungan kerja dan IMTA adalah dua hal yang berbeda.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02MENIII2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing IMTA, adalah izin tertulis yang diberikan oleh MenteriPejabat yang ditunjuk
kepada Pemberi Kerja. Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerjaburuh berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan pengertian IMTA dan Hubungan Kerja tersebut
di atas, maka hubungan kerja berakhir apabila perjanjian kerja berakhir, apabila perjanjian
kerja berakhir, bukan karena
berakhirnya IMTA. Apabila IMTA berakhir, hubungan kerja masih berlangsung, maka adalah kewajiban Pemberi Kerja mengajukan
permohonan perpanjangan masa berlakunya IMTA. Penggugat adalah Warga Negara Asing Australia yang
telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 21 April 1998 sd tanggal 30 September 2011. Jabatan terakhir sebagai Manager PTD Service
PTD SE , dengan gajipendapatan tetap pertahun sebesar seratus
dua puluh satu ribu delapan puluh satu Euro. Meskipun Penggugat adalah Warga Negara Asing yang
bekerja di Indonesia, Penggugat mempunyai hak dan perlindungan hukum yang sama dengan Warga Negara Indonesia sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai berikut. Menurut Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar
1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerjaburuh memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, setiap tenaga kerja mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam dan di
luar negeri. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, setiap pekerjaburuh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: Keselamatan
dan Kesehatan Kerja; Modal dan Kesusilaan; Perlakuan yang Sesuai dengan Harkat dan Martabat Manusia Serta Nilai-Nilai Agama.
Peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia
sebagaimana tersebut di atas, selalu menggunakan kata-kata setiap orangsetiap pekerja, membuktikan bahwa peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia tidak membeda-bedakanmemberikan perlakuan atau perlindungan yang berbeda antara Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing. Itu artinya, memberikan perlindungan yang sama kepada Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing yang bekerja di dalam wilayah Republik Indonesia.
Tergugat adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan dan tunduk kepada Undang-Undang Negara Republik
Indonesia. Perjanjian kerjakesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat dibuat dalam
bahasa Indonesia. Isinya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dan apabila timbul perselisihan dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Apabila
penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan tidak selesai, maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke
Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa
Penggugat dan Tergugat telah sepakat dan setuju
menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam mengadakan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan
yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Menurut Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Menurut Pasal 42 ayat 4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam
hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor PER.02MENIII2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada Pemberi Kerja TKA.
Menurut Pasal 24 ayat 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02MENIII2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, jangka waktu berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan
paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang. Menurut Pasal 28 ayat 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.02MENII2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. IMTA dapat diperpanjang sesuai
jangka waktu berlakunya RPTKA Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama
satu tahun. Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02MENIII2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, RPTKA dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 lima tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.
Meskipun setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memiliki
IMTA, akan tetapi IMTA bukan merupakan dasar terjadinya hubungan kerja. IMTA hanya merupakan izin yang diberikan oleh
MenteriPejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja. Dasar terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerjaburuh
adalah perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan.
Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerjaburuh. Menurut Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Antara Penggugat dengan Tergugat telah mengadakan hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerjakesepakatan kerja
waktu tertentu. Penggugat bekerja pada Tergugat di Indonesia pada awalnya
berdasarkan Letter Of Appointment tanggal 21 April 1998 yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Tergugat yang diwakili
Sdr. M. Hasier selaku Project Manager dan Sdr. Gunawan selaku Project Site Commercia
dengan Penggugat. Letter of Appointment tersebut pada pokoknya mengatur Jabatan Penggugat adalah sebagai
Electrical and Instrumentation Supervisor Tergugat; Masa kerja
Penggugat terhitung sejak tanggal 10 April 1998 sampai dengan tanggal 31 Maret 1999; Pendapatan Penggugat sebesar US 7.600,-
tujuh ribu enam ratus dollar Australia per bulan; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; dan Letter of
Appointment dibuat berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara
Republik Indonesia. Meskipun Letter of Appointment tersebut di atas berakhir
pada tanggal 31 Maret 1999, akan tetapi Penggugat tetap bekerja pada Tergugat sampai dengan tanggal 28 Februari 2001, menerima
gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 1999, tahun 2000, dan tahun 2001.
Pada tanggal 9 Maret 2000 seharusnya tanggal 9 Maret 2001 telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreement oleh
dan antara Tergugat yang diwakili Sdr. B. Ortmann dan Sdr. H.W. Linne dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada
pokoknya mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak
tanggal 01 Maret 2001 sampai dengan 31 Maret 2002; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Penggugat
sebagai responsible to the Departement Manager of I S2 PM; Pendapatan dasar Penggugat sebesar sebelas juta delapan ratus tujuh
puluh sembilan ribu rupiah per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
Apabila terjadi perselisihan mengenai hubungan kerja, akan diselesaikan secara kekeluargaandamai dan apabila tidak tercapai,
maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini.
Meskipun Employment Agreement tersebut di atas, berakhir pada tanggal 31 Maret 2002, akan tetapi Penggugat tetap bekerja
pada Tergugat sampai dengan tanggal 30 September 2002, menerima gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 2002.
Pada tanggal 02 Oktober 2002 telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreement oleh dan antara Tergugat
yang diwakili Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr. Frank Pedersen dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada pokoknya
mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak tanggal 01 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003; Penggugat akan
menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Pemohon sebagai responsible to the Departement Manager of I S2 PM;
Pendapatan dasar Pemohon sebesar Rp13.676.688,00 tiga belas juta enam ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus delapan puluh delapan
rupiah per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; Apabila terjadi perselisihan
mengenai hubungan
kerja, akan
diselesaikan secara
kekeluargaandamai dan apabila tidak tercapai, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara
Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam
perjanjian kerja ini. Pada tanggal 01 Oktober 2004 telah dibuat dan
ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr.
Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah
sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai
tanggal 01 Oktober 2004 sd 30 September 2005; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan
Penggugat: Head of DepartmentManager PTD Services PTD SE; Gaji kotor sebesar Rp17.000.000,- Tujuh belas juta rupiah bruto
per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja.
Apabila pekerja belumtidak memenuhi masa kerja 12 dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan
persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan
penyelesaian secara
musyawarah kekeluargaan.
Apabila penyelesaian secara
musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan
masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat diperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu
tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lain, selambat-lambatnya 2 dua bulan
sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir. Pada tanggal 1 Oktober 2006 telah dibuat dan ditandatangani
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang
diwakili Lola Irene Harahap dan Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada
pokoknya Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2006 sd
30 September 2008; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of DepartmentManager PTD
Services PTD SE ; Gaji kotor sebesar dua puluh juta tujuh ratus
empat puluh lima ribu dua ratus rupiah brutto per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak
atas cuti. Pada tanggal 1 Oktober 2008 telah dibuat dan ditandatangani
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan
Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1
Oktober 2008 sd 30 September 2009; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of
DepartemenManager PTD Services PTD SE ; Pendapatan per
tahun sebesar seratus tiga puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh
tujuh Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus delapan ribu sembilan ratus lima puluh tujuh Euro bruto, dan VIS
sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100, pekerja akan menerima seratus
empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh
Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja
belumtidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan
atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian
secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua
belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat
memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak
lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.
Pada tanggal 01 Oktober 2009 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara
Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu
tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal
01 Oktober 2009 sd 30 September 2010; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of
DepartementManager PTD Services PTD SE ; Pendapatan per
tahun sebesar seratus empat puluh dua ribu tiga ratus tiga puluh sembilan Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar
seratus dua belas ribu lima ratus lima puluh sembilan Euro bruto, dan VIS sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika
pekerja berhasil memperoleh target 100, pekerja akan menerima seratus empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu
seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan
penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belumtidak memenuhi masa kerja 12 dua belas bulan,
maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan
persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan
penyelesaian secara
musyawarah kekeluargaan.
Apabila penyelesaian secara
musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan
masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk
waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan
sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir. Pada tanggal 1 Oktober 2010 telah dibuat dan ditandatangani
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Hans Peter Haesslein dengan
Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk
mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2010 sd 30 September 2011; Tempat penerimaan dan
penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of DepartementManager PTD Service PTD SE
; Pendapatan per tahun sebesar seratus lima puluh empat ribu lima ratus tiga puluh
tiga Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus dua puluh satu ribu delapan puluh satu Euro bruto, dan VIS sebesar
tiga puluh tiga ribu empat ratus lima puluh dua Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100, pekerja akan menerima seratus
empat puluh delapan juta delapan ratus lima puluh dua ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah gross, dan dua puluh ribu lima ratus
tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila
pekerja belumtidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan
atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian
secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua
belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat
memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak
lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.
Letter of Appointment tanggal 21 April 1998, Employment
Agreement tanggal 9 Maret 2000, tanggal 2 Oktober 2002,
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu tanggal 1 Oktober 2004, tanggal 1 Oktober 2005, tanggal 1 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara
Penggugat dengan Tergugat sebagaimana diuraikan pada point 9 tersebut di atas dibuat dalam bahasa Indonesia. Berisi ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan apabila timbul perselisihan
dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah dan
kekeluargaan tidak diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja Republik
Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa Penggugat dan Tergugat telah sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara
Republik Indonesia dalam melakukan hubungan kerja dan
menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan
hubungan kerja tersebut. Menurut hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara
Republik Indonesia atau system kontrak bisnis dalam system hukum Indonesia, yaitu: Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, maka Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak selanjutnya disingkat PKWT dapat mensyaratkan
adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Menurut Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan: PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu. Yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap; PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui;
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu paling lama satu tahun; Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama tujuh hari
sebelum perjanjian
kerja waktu
tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerjaburuh
yang bersangkutan; Pembaharuan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling
lama dua tahun; PKWT yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6, maka demi hukum menjadi PKWTT. Hal-hal lain yang
belum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan selanjutnya disesuaikan dengan UU Ketenagakerjaan 2013.
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama tiga bulan. Dalam masa percobaan kerja, pengusaha dilarang membayar
upah di bawah upah minimum yang berlaku. Ternyata
PKWT antara Penggugat
dengan Tergugat
sebagaimana Penggugat uraikan di atas telah diperpanjang sebanyak 8 kali terhitung sejak tahun 2001 sampai dengan 2011 ± 11 tahun.
Khusus PKWT tahun 2004 sd kesepakatan kerja waktu tertentu
tahun 2010 diperpanjang terus menerus tanpa putus. Di dalam beberapa perjanjian kerja disyaratkanadanya masa percobaan dan
pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap, terus menerus, sehingga PKWT tersebut tidak
memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat 1, ayat 2, dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sesuai dengan Pasal 59 ayat 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PKWT yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat 1, ayat 2, dan 4 tersebut, demi hukum menjadi PKWT.
Karena perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat demi hukum menjadi PKWTT sebagaimana diuraikan di atas, maka
apabila Tergugat ingin memutuskanmengakhiri hubungan kerja dengan Penggugat, maka harus ada pemberitahuan, alasan, dan
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat 3 UU
Ketenagakerjaan 2003. Selama bekerja dengan Tergugat, Penggugat mempunyai
prestasi kerja yang baik. Terbukti, setiap tahunnya Tergugat selalu memberi bonus kepada Penggugat, tidak pernah melakukan
perbuatan tercela, tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan, sehingga tidak pernah mendapatkan teguranperingatan dan sanksi
dalam bentuk apapun juga dari Tergugat. Pada tanggal 30 September 2011 Tergugat telah melakukan
pemutusanpengakhiran hubungan kerja dengan Penggugat tanpa pemberitahuan, tanpa alasan, tanpa adanya kesalahan Penggugat,
dan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, dan sejak itu gaji Penggugat tidak lagi dibayar oleh
Tergugat. Karenanya pemutusanpengakhiran hubungan kerja
tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum. Menurut penggugat, pemutusanpengakhiran hubungan kerja
tersebut dilakukan oleh Tergugat karena Penggugat menolak untuk menandatangani draft PKWT yang baru. Pada draft kesepakatan
kerja waktu tertentu yang baru tersebut terdapat tambahan klausula. Bahwa perusahaan atau Tergugat dapat memutuskan hubungan kerja
pekerja dengan Penggugat sebelum berakhirnya jangka waktu kontrak tanpa kewajiban perusahaan untuk memberikan kepada
pekerja uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah, ganti rugi sebesar upah pekerja sampai
dengan waktu seharusnya berakhirnya perjanjian
maupun
pembayaran lainnya, dengan pemberitahuan tertulis tiga bulan sebelumnya, padahal klausula tersebut tidak ada pada PKWT
sebelumnya. Bahkan pada perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat sebelumnya terdapat klausula yang menyatakan Penggugat
berhak mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Adanya penambahan klasula dalam draft PKWT yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari tanggung jawab
untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang dilakukan
terus-menerus tanpa putus. Hal ini dapat diketahui dari hasil risalah Conference Call
yang diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili oleh Gilang Hermawan Lola Irena Harahap dengan
manajemen Tergugat di Jerman Mr.Andreas Heine dan manajemen Tergugat di Malaysia Mr.Lakhvinder Singh pada tanggal 9
Agustus 2011. Risalah berisi kesimpulan adanya risiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian
Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak kekaryawanan Tenaga Kerja Asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut
disampaikan oleh Gilang Hermawan. Stephen Michael Young
Penggugat telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia Tergugat sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk menghindarkan isu
tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young diputuskan disampaikan oleh Gilang Hermawan Lola Irene
Harahap. Setelah adanya conference call tersebut, pada tanggal 12
September 2011 Tergugat
menawarkan kompensasi kepada Penggugat sebesar 30 x 14,95 bulan upah dengan syarat kontrak
kerja Penggugat tidak diperpanjang lagi. Tawaran Tergugat tersebut Penggugat tolak karena menurut penggugat hal itu tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Meskipun pemutusanpengakhiran hubungan kerja yang telah
dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum, namun faktanya hubungan kerja tersebut
telah berakhir dan tidak mungkin lagi untuk dilanjutkan. Karena Tergugat sudah tidak lagi membayar gaji Penggugat selama delapan
bulan dan kalaupun hubungan kerja tersebut diteruskan akan menimbulkan suasana kerja yang tidak baik yang akan merugikan
Penggugat dan Tergugat. Karenanya, Penggugat bersedia dan tidak keberatan dilakukan pemutusan hubungan kerjaberakhirnya
hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat, akan tetapi pemutusan hubungan kerjaberakhirnya hubungan kerja tersebut
setelah adanya putusan pengadilan perkara ini, bukan karena kesalahan Penggugat, dan Tergugat harus membayar gaji Penggugat
yang belum dibayar terhitung sejak bulan Oktober 2011 sampai dengan adanya putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum
tetap, yang untuk sementara dihitung sampai bulan Mei 2012 selama 8 bulan membayar 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan uang pengganti hak sebesar tiga ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus dua Euro dengan rincian Gaji Penggugat yang
belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 sd saat ini: 8 bln gaji x Euro
121.081,-: 12 = Euro 80.720,- Pesangon: 2 x 9 bulan gaji x Euro
121.081,-: 12 = Euro 181.621,- Uang penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- Uang penggantian
hak: 15 x Euro 181.621,- + Euro 50.450 = Euro 34.811,- Total = Euro
347.602. Selain membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana diuraikan di atas, Tergugat juga harus membayar
kekurangan pembayaran bonus tahun 2011. Sesuai ketentuan yang
berlaku pada Tergugat, Tergugat selalu memberi bonus kepada Penggugat setiap tahunnya sesuai dengan prestasi bisnis dan prestasi
pribadipersonal yang Penggugat capai. Pada tahun 2011, prestasi bisnis Penggugat adalah sebesar
144,39, dan prestasi pribadipersonal adalah sebesar 1,25. Sesuai ketentuan yang berlaku pada Tergugat, bonus yang harus diterima
oleh Penggugat pada tahun 2011 seharusnya adalah sebesar 144,39 x 1.25 x Rp148.852.362,00 + 144,39 x 1.25 x Euro
20.530,- = Rp268.659.906,00 + Euro 37.054,-. Akan tetapi yang dibayar
oleh Tergugat kepada Penggugat hanya sebesar
Rp188.000.000,00 + Euro 25.936,-. Sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp 80.659.906,00 + Euro 11.118,-.
Penggugat tidak melihat adanya iktikad baik dari Tergugat untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga Penggugat
mempunyai kekhawatiran Tergugat tidak mau melaksanakan isi putusan Pengadilan secara sukarela, apabila nanti dihukum untuk
membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, kekurangan
pembayaran bonus kepada Penggugat. Oleh karena itu untuk menjaga agar gugatan Penggugat tidak sia-sia dan adanya
kekhawatiran Tergugat akan mengalihkan, mengasingkan, dan memindahkan harta kekayaaannya, mohon agar Pengadilan terlebih
dahulu meletakkan sita jaminan conservatoir beslag atas harta kekayaan Tergugat berupa: Tanah dan Bangunan beserta isinya
milik Tergugat, terletak di Arkadia Office Park Tower F, Level 18, Jl.TB Simatupang Kav.88, Jakarta Selatan.
Oleh karena Gugatan ini didasarkan pada bukti-bukti yang secara hukum tidak dapat dibantah kebenarannya oleh Tergugat,
mohon Pengadilan memberikan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu uit voerbaar bij voorraad, meskipun ada upaya
Kasasi, danatau upaya hukum lainnya, dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat agar memutus, mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; menyatakan Sita Jaminan yang telah diletakkan tersebut
sah dan
berharga; menyatakan
pemutusan hubungan
kerjaberakhirnya hubungan kerja yang telah dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum;
menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat
berakhirputus bukan karena kesalahan Penggugat terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap; menghukum
Tergugat untuk membayar kepada Penggugat gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak kepada Pemohon sebesar tiga ratus empat puluh tujuh enam ratus dua Euro, dengan rincian gaji Penggugat
yang belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 sd saat ini: 8 bln gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 80.720,- pesangon: 2 x 9 bulan gaji x
Euro 121.081,-: 12 = Euro 181.621,- uang penghargaan masa kerja:
5 bulan gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- uang penggantian hak: 15 x Euro 181.621,- + Euro 50.450 atau Total Euro
347.602,-. Beserta kekurangan pembayaran bonus tahun 2011 sebesar delapan puluh juta enam ratus lima puluh sembilan ribu
sembilan ratus enam rupiah + sebelas ribu seratus delapan belas Euro
. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum, yaitu Kasasi danatau upaya
hukum lainnya uit voerbaar bij voorraad. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini. Atau apabila Pengadilan tidak
sependapat dengan Penggugat dan berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa ex aequo et bono. Pada tanggal 11 Juni 2012, Penggugat telah mengajukan perbaikan surat gugatan, Posita Gugatan tertulis
adanya penambahan klausula dalam draft kesepakatan kerja waktu tertentu yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari
tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang
dilakukan terus-menerus tanpa putus. Seperti sudah dikemukakan di atas, hal ini dapat diketahui dari hasil risalah Conference Call yang
diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili Gilang Hermawan Sdri. Lola Irene Harahap dengan menejemen Tergugat
di Jerman Mr. Andreas Heine dan manajemen Tergugat di Malaysia Mr. Lakhvinder Singh pada tanggal 9 Agustus 2011 yang
adanya resiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak
kekaryawanan tenaga kerja asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut disampaikan Gilang Hermawan. Stephen Michael
Young Penggugat telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia Tergugat
sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak
Stephen M. Young diputuskan disampaikan Gilang Hermawan Lola Irene Harahap.
Seharusnya, adanya penambahan klausula dalam draft PKWT yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari
tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan PKWT yang dilakukan terus-
menerus tanpa putus dan sekaligus membuktikan bahwa Tergugat memilih dan menundukkan diri pada hukum Negara Republik
Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari Email tertanggal 16 Juni 2009 yang dikirimkan Gilang Hermawan bagian Legal Tergugat kepada
Penggugat. Berdasarkan email tersebut Gilang Hermawan telah memberitahukan kepada Penggugat bahwa peraturan tentang masa
tenggang waktu 30 hari tidak dapat dikecualikan. Pandangan Legal Tergugat tersebut berdasarkan hasil pertemuan Gilang Hermawan
dengan bagian SDM Tergugat. Pada pertemuan itu, bagian SDM Tergugat menjelaskan bahwa bagian SDM Tergugat telah berdiskusi
dengan Departemen Tenaga Kerja tentang ketentuan masa tenggang waktu 30 hari dalam perpanjangan PKWT. Hasil diskusi SDM
Tergugat dengan Departemen Tenaga Kerja tersebut menyimpulkan Kementrian Tenaga Kerja tidak membenarkan pengecualian dari
peraturan sekaligus hal tersebut sudah disebutkan dalam kontrak kekaryawanan yang bersangkutan.
Akibat dari pelanggaran peraturan tersebut karyawan yang bersangkutan akan menjadi
karyawan tetap sesuai dengan benefit. Berarti bahwa bila karyawan diberhentikan, maka perusahaan harus membayar semua uang
pesangon. Hasil risalah Conference Call yang diadakan antara
manajemen Tergugat yang diwakili Gilang Hermawan Lola Irene Harahap dengan manajemen Tergugat di Jerman Mr. Andreas
Heine dan manajemen Tergugat di Malaysia Mr. Lakhvinder Singh pada tanggal 9 Agustus 2011 menyimpulkan antara lain
adanya resiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak
kekaryawanan tenaga kerja asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut disampaikan oleh Gilang Hermawan;
Stephen Michael Young Penggugat telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia Tergugat sejak 10 tahun yang lalu, oleh karena
itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young diputuskan disampaikan oleh Gilang
Hermawan Lola Irene Harahap.
Terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan eksepsi bahwa Surat Kuasa yang diajukan oleh Penggugat harus
dibuktikan terlebih dahulu keabsahannya. Pada persidangan tanggal 4 Juni 2012, dimana Tergugat
diberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan Surat Kuasa yang diajukan oleh Kuasa Hukum Penggugat, maka kami telah
disampaikan Penggugat adalah warga negara asing yang saat ini sudah tidak bekerja lagi di Tergugat sehingga Tergugat tidak
mengetahui apakah Penggugat masih berdomisili di Indonesia atau tidak. Di dalam Surat Kuasa yang diajukan Penggugat di muka
persidangan, tertulis bahwa Penggugat menandatangani Surat Kuasa tersebut di Jakarta tanpa disertai bukti keberadaan Penggugat di
Indonesia. Tergugat telah memohon kepada Majelis Hakim yang Terhormat
untuk meminta
Penggugat melengkapi
bukti keberadaannya di Indonesia melalui photo copy paspor yang
memiliki cap imigrasi yang membuktikan keberadaan Penggugat di Indonesia pada saat menandatangani Surat Kuasa. Pernyataan yang
disampaikan Tergugat di atas didasari pada ketentuan bahwa, selain format Surat Kuasa harus memenuhi ketentuan Pasal 123 1 HIR
dan SEMA No.6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, namun
Mahkamah Agung melalui Yurisprudensi No. 3038 KPdt1981 telah memberikan persyaratan tambahan khusus untuk surat kuasa
khusus yang dibuat di luar negeri, yaitu: “Surat kuasa yang dibuat di luar negeri harus dilegalisir di KBRI setempat
.” Mengingat bahwa kesempatan untuk mengajukan Eksepsi
yang bukan bersifat eksepsi kewenangan harus diajukan bersama- sama dengan Jawaban, maka
sepanjang Penggugat belum
melengkapi Surat Kuasa dengan bukti keberadaan Penggugat di Indonesia ketika menandatangani Surat Kuasanya, Surat Kuasa
Penggugat harus dianggap tidak sah atau setidaknya tidak memenuhi ketentuan
hukum acara
sebagaimana termaksud
dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3038 KPdt1981, dan
karenanya Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima niet ontvankelijke verklaard.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan putusan
Nomor 85PHI.G2012PN.JKT.PST., tanggal 24 September 2012 yang amarnya dalam Eksepsi: Menolak Eksepsi Tergugat. Dalam
Pokok Perkara: mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat sejak tanggal 30 September 2011; menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pisah, dan biaya
pemulangan Penggugat beserta keluarganya ke negara asalnya yang seluruhnya sebesar sembilan puluh ribu delapan ratus sepuluh Euro;
menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya; dan
membebankan biaya perkara kepada Tergugat sebesar tiga ratus dua puluh dua ribu rupiah.
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut telah diucapkan
dengan hadirnya Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat pada tanggal 24 September 2012, terhadap putusan tersebut Tergugat dan
Penggugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing tanggal 1 Juni 2012 dan 27 September 2012,
mengajukan permohonan kasasi masing-masing pada tanggal 4 Oktober 2012 dan tanggal 8 Oktober 2012, sebagaimana ternyata
dari Akta
Permohonan Kasasi
masing-masing Nomor
111Srt.KASPHI2012PN.JKT.PST., dan
Nomor 113Srt.KASPHI2012PN.JKT.PST., yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan NegeriHubungan Industrial Jakarta Pusat masing-masing pada tanggal 18 Oktober 2012 dan 19
Oktober 2012. Memori kasasi dari Tergugat telah disampaikan kepada
Penggugat pada tanggal 25 Oktober 2012, kemudian Penggugat mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 November 2012.
Memori kasasi dari Penggugat telah disampaikan kepada Tergugat pada tanggal 6 November 2012, kemudian Tergugat
mengajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 20 November 2012. Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta
keberatan-keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara
yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima.
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ITergugat dan Pemohon Kasasi
IIPenggugat dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah: Keberatan-keberatan Pemohon Kasasi ITergugat.
Keberatan Pertama Judex Facti telah keliru dalam memberikan pertimbangan
hukum karena pertimbangan hukum tersebut tidak konsisten dengan pertimbangan hukum yang sudah benar dan tepat di mengenai
ketentuan hukum yang berlaku bagi Tenaga Kerja Asing TKA di Indonesia. Judex Facti telah secara benar menerapkan ketentuan
hukum ketenagakerjaan khususnya ketentuan Pasal 42 ayat 4 jo. Pasal 57 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
UU No. 132003, yang pertimbangan hukum selengkapnya menimbang,
bahwa sekalipun
Tergugat terbukti
telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10
April 1998 sd 30 September 2011 atau selama tiga belas tahun dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 sd 2001 tanpa adanya
perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak
secara otomatis dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat atau berdasarkan PKWTT dengan alasan hukum sebagai berikut:
Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13 Tahun
2003, yaitu PKWT; Ketentuan Pasal 57 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 7 UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum lex generalis tidak
dapat diterapkan dalam perkara ini. Karena ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No.
13 Tahun 2003 yang bersifat khusus lex specialis yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah lex specialis derogate legi generalis.
Walaupun Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukum dengan benar tentang penerapan ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No.
132003 bagi TKA yang bekerja di Indonesia dikutip di atas, ternyata dalam pertimbangan hukum lainnya, Judex Facti membuat
kekeliruan yang fatal. Mempertimbangkan menimbang, bahwa sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak
untuk seluruhnya, namun demikian mengingat Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57
ayat 1, yaitu mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 sd 2001, dan Tergugat terbukti pula telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat 4 dan 6, yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus
selama tiga belas tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas
berakhirnya hubungan kerjanya tersebut. Padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 sd
2011, atau selama tiga belas tahun lamanya. Pertimbangan hukum yang diberikan oleh Judex Facti di atas
jelas bertentangan dengan pertimbangan hukum putusan a quo yang juga Pemohon Kasasi telah kutip secara utuh di atas, dimana
ketentuan Pasal 57 dan 59 UU No. 132003 tidak dapat diterapkan bagi penggunaan TKA di Indonesia.
Judex Facti seharusnya konsisten dalam setiap pertimbangan
hukumnya. Pengaturan penggunaan TKA di Indonesia memang harus tunduk pada Ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 132003
yang secara tegas dan tanpa perlu penafsiran apapun telah menyatakan: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia
hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu
. Bahkan, ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 132003 di atas
telah dipertegas lagi dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Pasal 2 ayat 2 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang Kepres No. 751995 juga mengatur mengenai pembatasan waktu dalam
penggunaan tenaga kerja asing sebagai berikut: Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat
diisi oleh tenaga kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP sampai batas waktu tertentu
. Merujuk pada ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 132003
yang dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Kepres No. 751995 di atas, maka pertimbangan hukum yang diterapkan Judex
Facti sudah benar dan tepat, sehingga pertimbangan hukum Judex
Facti sudah seharusnya dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung yang
Terhormat Judex Juris agar tercipta konsistensi dalam penerapan hukum.
Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan,
halaman 798, menjelaskan mengenai putusan yang mengandung kontradiksi dalam putusan, sebagai berikut:
Begitu juga pertimbangan yang mengandung kontradiksi, pada dasarnya dianggap tidak memenuhi syarat sebagai
putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang
digariskan Pasal 178 ayat 1 HIR, Pasal 189 ayat 1 RBG, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Demikian penegasan
yang terkandung dalam Putusan MA No. 3538 KPdt1984
.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka koreksi atas pertimbangan hukum yang diberikan oleh Judex Facti juga sudah
sepatutnya dilakukan oleh Judex Juris. Sikap Mahkamah Agung yang selama ini selalu konsisten dalam penerapan ketentuan hukum
mengenai penggunaan TKA di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 595 KPDT.SUS2010 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 115 PKPDT.SUS2009 yang juga dirujuk oleh
Judex Facti Putusan a quo;
Keberatan Kedua Judex Facti keliru dalam penerapan hukum mengenai petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono. Judex
Facti ternyata malah memberikan ultra petitum partium, dengan
memberikan putusan yang mengabulkan hal-hal yang tidak pernah diminta ataupun disinggung oleh Termohon Kasasi selama proses
persidangan tingkat pertama berlangsung. Di dalam a quo. Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar
uang pisah dan biaya pemulangan Termohon Kasasi yang seluruhnya berjumlah sembilan puluh ribu delapan ratus sepuluh
Euro . Petitum ke 3 ini diberikan berdasarkan pertimbangan hukum
Judex Facti di Putusan a quo sebagai berikut:
Menimbang, bahwa sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak untuk seluruhnya, namun
demikian mengingat Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57 ayat 1, yaitu
mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 sd 2001, dan Tergugat terbukti pula telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat 4 dan 6, yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara
terus-menerus selama 13 tiga belas tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak
mendapatkan
kompensasi apapun
atas berakhirnya
hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 sd
2011 atau selama 13 tiga belas tahun lamanya .
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan dengan mempertimbangkan gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat yang
mohon putusan yang seadil-adilnya asas ex aequo et bono apabila Majelis berpendapat lain, maka Majelis akan memutus perkara ini
sesuai asas keadilan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 140 KSip1971 tanggal 12 Agustus 1972, dan Majelis
berpendirian, pertimbangan aspek ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 ayat 3 HIR.
Berdasarkan keadilan Majelis berpendapat bahwa besarnya uang kompensasi PHK yang adil dan layak yang harus dibayar oleh
Tergugat kepada Penggugat dan biaya pemulangan Penggugat adalah uang pisah sebesar 7 kali upah tetap Penggugat dan biaya
pemulangan Penggugat bersama keluarganya ke negara asalnya
sebesar 2 kali upah tetap Penggugat, yaitu secara keseluruhan sebesar 9 X Euro 121.08112 = Euro 90.810.
Kekeliruan dan ketidakkonsistenan pertimbangan Judex Facti
di atas telah Pemohon Kasasi uraikan secara terperinci dalam Keberatan Pertama di atas. Selanjutnya dibawah ini Pemohon Kasasi
menguraikan kekeliruan Judex
Facti dalam pertimbangan
hukumnya. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, menjelaskan mengenai panduan dalam
penerapan petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono. Putusan Judex Facti yang didasarkan pada petitum
subsidair yang berbentuk ex aequo et bono, dapat dibenarkan, asal
masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. Bahkan terdapat juga putusan yang lebih jauh dari itu. Putusan MA
No. 556 KSip1971 berisi kemungkinan mengabulkan gugatan yang melebihi permintaan, dengan syarat asal masih sesuai dengan
kejadian materiil. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian sangat kasuistik.
Asas lain digariskan pada Pasal 178 ayat 3 HIR, Pasal 189 ayat 3 RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan
melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum portium. Hakim yang mengabulkan melebihi
posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui batas
wewenang atau ultra
vires ,
yakni bertindak melampaui wewenangnya beyond the powers of his authority. Apabila putusan
mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat invalid, meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik good faith
maupun sesuai dengan kepentingan umum public interest. Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang
digugat, dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah illegal meskipun dilakukan dengan iktikad baik.
Oleh karena itu, menurut Harahap, hakim yang melanggar prinsip ultra petitum, sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule
of law . Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hokum. Padahal
sesuai dengan prinsip rule of law; semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum accordance with the law, kata Harahap
Tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut, nyata-nyata melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178
ayat 3 HIR kepadanya. Padahal sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas
wewenangnya. Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petitum itu
dilakukan hakim berdasarkan alasan iktikad baik, tetap tidak dapat dibenarkan atau illegal, karena melanggar prinsip the rule of law
the principal of the rule of law. Menurut Penggugat tidak dapat dibenarkan. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan MA No. 1001
KSip1972 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang diminta. Yang dapat dibenarkan
paling tidak putusan yang dijatuhkan hakim, masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan. Demikian penegasan Putusan MA
No. 140 KSip1971. Kata penggugat, Dalam pertimbangan hukum Judex Facti
di atas, terdapat dua alasan dalam menghukum Pemohon Kasasi, yaitu: adanya pelanggaran Pemohon Kasasi
terhadap ketentuan Pasal 57 dan 59 UU No. 132003. Hal ini jelas- jelas bertentangan dengan pertimbangan Judex Facti sebelumnya
sebagaimana sudah diuraikan dalam Keberatan Pertama Pemohon Kasasi di atas. Mempertimbangkan gugatan dan jawaban yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi yang meminta putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono.
Jika Judex Juris mempelajari isi Gugatan dan Jawaban serta merujuk pada pendapat dari Yahya Harahap sebagaimana diuraikan
di atas, maka, menurut penggugat, tidak ada satupun dalil maupun petitum
dari Penggugat yang meminta dibayarkannya biaya pemulangan Penggugat Termohon Kasasi bersama keluarganya ke
negara asalnya. Hal ini dikarenakan, faktanya termohon Kasasi dipekerjakan dan direkrut dari Jakarta, Indonesia, sehingga di dalam
perjanjian kerjanya memang tidak terdapat klausul biaya pemulangan Termohon Kasasi ke negara asalnya. Walaupun tidak
diwajibkan membayarkan biaya pemulangan ke negara asal, namun Pemohon Kasasi atas kebijakannya telah memberikan biaya
pemulangan Termohon Kasasi ke negaranya. Karena hal ini memang tidak pernah didalilkan ataupun
diminta di dalam petitum Termohon Kasasi, maka Pemohon Kasasi belum pernah mengajukan adanya bukti pembayaran biaya
pemulangan Termohon Kasasi ini pada persidangan tingkat pertama. Namun karena ternyata Pemohon Kasasi melalui Putusan a quo
dihukum untuk membayar biaya yang faktanya sudah pernah
dibayarkan oleh Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi, maka Pemohon Kasasi sangat keberatan dengan biaya pemulangan ini dan
dapat membuktikan bahwa biaya tersebut sudah dibayarkan. Dihukumnya Pemohon Kasasi untuk membayar biaya
pemulangan ke negara asal Termohon Kasasi walaupun didasarkan pada pertimbangan ex aequo et bono, namun pertimbangan Judex
Facti ini jelas-jelas tidak sesuai dengan inti petitum primair dari
Termohon Kasasi. Karena dalam gugatannya Termohon Kasasi tidak pernah meminta untuk diberikan pembayaran uang pisah dan biaya
pemulangan Termohon Kasasi bersama keluarganya ke negara asalnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam petitum Termohon Kasasi
yang Pemohon Kasasi kutip sebagai berikut: mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan sita jaminan yang telah
diletakkan tersebut sah dan berharga. Menyatakan pemutusan hubungan kerjaberakhirnya hubungan kerja yang telah dilakukan
Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat berakhirputus bukan
karena kesalahan Penggugat terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum
tetap. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada Pemohon sebesar tiga
ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus dua Euro, dengan rincian Gaji Penggugat yang belum dibayar sejak bulan Oktober 2011 sd
saat ini: 8 bln gaji X Euro 121.081,- : 12 = Euro 80.720,- Pesangon: 2 X 9 bulan gaji X Euro 121.081,- : 12 = Euro 181.621,- Uang
penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji X Euro 121.081,-: 12 = Euro 50.450,- Uang penggantian hak: 15 X Euro 181.621,- + Euro
50.450,- = Euro 34.811,- + Total Euro 347.602,-, dan kekurangan pembayaran bonus tahun 2011 sebesar delapan puluh juta enam
ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus enam rupiah + sebelas ribu seratus delapan belas Euro.
Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum, yaitu kasasi danatau upaya hukum
lainnya uit voerbaar bij voorraad. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka tindakan Judex Facti yang menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar uang pisah dan biaya
pemulangan Termohon Kasasi ke negara
asalnya dapat
dikualifikasikan sebagai
tindakan yang
melampaui batas
wewenangnya. Pemohon Kasasi juga memohon perhatian Judex Juris yang
terhormat bahwa Judex Facti juga keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 178 ayat 3 HIR
“ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang
digugat. Adapun penjelasan atas ayat 3 di atas adalah:
“ayat 3 melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan lebih daripada
yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali
uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar
bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga
atas uang pinjaman itu.
Berdasarkan isi dan penjelasan pasal HIR di atas, maka hakim sudah dilarang untuk memberikan atau menjatuhkan putusan
atas hal-hal yang tidak digugat walaupun atas dasar ex aequo et bono
. Penerapan prinsip ex aequo et bono harus konsisten dengan isi petitum primair
sebagaimana dijelaskan oleh Yahya Harahap di atas. Dalam hal ini Judex Facti telah melakukan kesalahan. ...Majelis
berpendirian pertimbangan aspek ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 ayat 3 HIR.”
Tindakan Judex Facti yang telah mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan atau ultra petitum
partium juga bertentangan dengan kaidah hukum yang dijalankan
oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1001KSip.1972 dan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor 77 KSip1973. Masing-masing kaidah hukum: melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta
atau melebihi dari apa-apa yang diminta. Dan putusan harus
dibatalkan, karena putusan PT mengabulkan ganti rugi yang tidak diminta dalam gugatan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Pemohon Kasasi dengan segala kerendahan hati memohon kepada Judex Juris untuk
memperbaiki kekeliruan pada sebagian pertimbangan hukum dari Judex Facti
sebagaimana telah diuraikan di atas, demi menjamin kepastian hukum dan keadilan. Keberatan-keberatan Pemohon
Kasasi IIPenggugat adalah Judex Facti
telah salah menerapkan hukum menyatakan bahwa penggugat adalah Tenaga Kerja Asing,
sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003, ketentuan Pasal 57 Ayat 2, dan
Pasal 59 ayat 7 UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum lex
generalis , tidak dapat diterapkan dalam perkara ini, karena
ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat khusus lex
specialis yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah lex
specialis derogate legi generalis .
Judex Facti juga telah memberikan pertimbangan hukum
antara lain Sekalipun Tergugat terbukti telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10 April 1998 sd 30
September 2011 atau selama tiga belas tahun dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 sd 2001 tanpa adanya perjanjian kerja,
Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak secara otomatis
dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap atau berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu PKWTT dengan
alasan hukum sebagai berikut: Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42
ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT. Ketentuan Pasal 57 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 7 UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat
umum lex generalis tidak dapat diterapkan dalam perkara ini karena ketentuan tersebut dapat diabaikan atau dihapuskan oleh
ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat khusus lex specialis yang dalam teori hukum dikenal dengan istilah
lex specialis derogate legi generalis . Judex Facti telah salah
menerapkan hukum, karena dalam Letter of Appointment tanggal 21 April 1998 terdapat klausula bahwa Letter of Appointment dibuat
berdasarkan dan tunduk kepada hukum Negara Republik Indonesia. Dalam Employment Agreement tanggal 9 Maret 2000 seharusnya
tanggal 9 Maret 2001, dalam Employment Agreement tanggal 02 Oktober 2002, PKWT tanggal 1 Oktober 2004, PKWT tanggal 1
Oktober 2005, PKWT tanggal 1 Oktober 2006, PKWT tanggal 1 Oktober 2008, PKWT tanggal 1 Oktober 2009, dan PKWT Tertentu
tanggal 1 Oktober 2010 terdapat klausula bahwa ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja bersama berlaku
sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini, dan jika terjadi perselisihan dalam hubungan kerja kedua belah pihak sepakat akan
mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat
diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir.
Selain itu baik Letter of Appointment maupun kesepakatan-
kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia dan isinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Ketenagakerjaan 2003 yang disesuaikan. Berdasarkan Letter of Appointment dan kesepakatan-
kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi
sebagaimana diuraikan tersebut di atas, antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah sepakat dan setuju menundukkan diri
dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam melakukan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam
pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Kesepakatan tersebut
mengikat Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi, sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi Pemohon Kasasi dan Termohon
Kasasi. Oleh karena kesepakatan tersebut berkaitan dengan masalah
ketenagakerjaan, maka hukum Indonesia yang telah oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah hukum ketenagakerjaan
Indonesia, yaitu Ketenagakerjaan 2003, sehingga semua ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Ketenagakerjaan 2003 berlaku dan
dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi.
Selain itu, Ketenagakerjaan 2003 selalu menggunakan kata- kata pekerjaburuh atau tenaga kerja, berarti bahwa Ketenagakerjaan
2003 tidak
membeda-bedakan dan memberi perlakuan dan perlindungan hukum yang sama, baik kepada pekerjaburuh warga
negara Indonesia maupun warga negara asing yang bekerja di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Sehingga, semua ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam Ketenagakerjaan 2003 berlaku dan dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi.
Pasal 42 ayat 4 Ketenagakerjaan 2003, Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu. Oleh karena semua ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas juga
berlaku dan dapat diterapkan terhadap Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi, maka waktu tertentu sebagaimana dimaksud
Pasal 42 ayat 4 tersebut menurut Pasal 59 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah paling lama dua tahun dan hanya
boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat 4 tersebut, maka menurut Pasal 59 ayat 7 PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT.
Pemohon Kasasi telah bekerja pada Termohon Kasasi terhitung sejak tanggal 10 April 1998 sd 30 September 2011,
selama ± 13 tahun secara terus-menerus tanpa putusjedah, dan pekerjaan yang menjadi tugas pokok Pemohon Kasasi adalah
pekerjaan tetap yang menjadi inti bisnis Termohon Kasasi. Bahkan pada tahun 1999 sd 2001 Pemohon Kasasi bekerja pada Termohon
Kasasi tanpa perjanjian kerja dan pada tahun 1998 sd 2005 Pemohon Kasasi bekerja pada Termohon Kasasi tanpa dilengkapi
dengan IMTA sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti, membuktikan bahwa Termohon Kasasi adalah perusahaan asing
nakal yang
melanggar peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon
Kasasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, yaitu dilakukan secara terus-menerus tanpa putusjedah, pekerjaan yang menjadi
tugas pokok Pemohon Kasasi adalah pekerjaan tetap yang menjadi inti bisnis Termohon Kasasi tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat
1, ayat 2, dan ayat 4 Ketenagakerjaan 2003, sehingga menurut Pasal 59 ayat 7, PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT.
Konsekuensinya, apabila Termohon Kasasi ingin mengakhiri hubungan kerja dengan Pemohon Kasasi, maka harus ada
pemberitahuan, alasan, dan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan apabila tidak
terbukti adanya kesalahan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi, Termohon Kasasi harus membayar uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan 2003.
Judex Facti telah salah menerapkan hukum, karena
pertimbangan hukumnya bertentangan satu sama lainnya. Menurut penggugat, pertimbangan hukum yang keliru itu adalah:
“Sekalipun gugatan Penggugat dalam bagian pokok perkara ditolak untuk seluruhnya, namun demikian mengingat
Tergugat juga terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 57 ayat 1 yaitu mempekerjakan
Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 sd 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat 4 dan 6, yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus
selama 13 tiga belas tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan
kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati
hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 sd 2011 atau selama 13 tiga belas tahun lamanya
.”
Kesalahan Judex Facti itu karena dalam menerapkan hukum pertimbangan hukum Judex Facti bertentangan satu sama lainnya.
Padahal, menurut Yahya Harahap dalam buku Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata, halaman 335, pertimbangan hukum Judex Facti
yang saling bertentangan selalu dikategori putusan yang salah menerapkan hukum. Mengenai ruang lingkup putusan mengandung
saling pertentangan yang dapat dikategori kesalahan penerapan hukum meliputi:
saling pertentangan antara satu pertimbangan dengan pertimbangan yang lain, saling pertentangan antara
pertimbangan dengan berita acara persidangan, atau
saling pertentangan antara pertimbangan dengan amar putusan.
Sebagaimana telah Pemohon Kasasi uraikan di atas, Judex Facti
mempertimbangkan bahwa Pasal 57 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 7 UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat umum lex generalis tidak
dapat diterapkan dalam perkara ini, dapat diabaikan atau dihapuskan oleh ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU Ketenagakerjaan 2003 yang
bersifat khusus lex specialis. Akan tetapi, Judex Facti
mempertimbangkan bahwa Tergugat telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 57 ayat 1, Mempekerjakan Penggugat tanpa
adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 sd 2001, Tergugat juga terbukti pula telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
59 ayat 4 dan 6. Telah mempekerjakan Penggugat secara terus- menerus selama tiga belas tahun lamanya. Maka menurut Majelis,
adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya hubungan kerjanya tersebut. Padahal, di
lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat dari tahun 1998 sd 2011 atau selama tiga belas tahun. Sehingga
pertimbangan hukum Judex Facti tersebut bertentangan satu sama lainnya.
Pertimbangan hukum Judex Facti
yang menyatakan Tergugat telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 57 ayat 1 yaitu
mempekerjakan Penggugat tanpa adanya perjanjian kerja dari tahun 1999 sd 2001, dan Tergugat terbukti pula telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat 4 dan 6, yaitu telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus selama tiga belas
tahun lamanya, maka menurut Majelis adalah tidak adil apabila Penggugat tidak mendapatkan kompensasi apapun atas berakhirnya
hubungan kerjanya tersebut, padahal di lain pihak Tergugat telah menikmati hasil kerja Penggugat tiga belas tahun lamanya, adalah
membenarkan dalil-dalil Pemohon Kasasi sebagaimana diuraikan pada butir 1 di atas, bahwa bukan hanya Pasal 42 sd Pasal 49 UU
Ketenagakerjaan 2003 saja yang dapat diterapkan dalam perkara ini, akan tetapi juga ketentuan-ketentuan lainnya yang terdapat dalam
UU dimaksud. Selain itu Judex Facti telah keliru menyatakan bahwa Pasal
42 ayat 4 UU Ketenagakerjaan 2003 bersifat khusus lex specialis dari Pasal 57 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 7 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang bersifat umum lex generalis. Mengutip Kamus Hukum yang
diterbitkan Indonesia Legal Center Publishing, tahun 2006, hal 109, penggugat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lex specialis
derogate legi
generalis adalah
undang-undang khusus
mendesakmengesampingkan yang umum, bukan ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam
undang-undang yang sama sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti.
Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian.
Judex Facti memberikan pertimbangan hukum.
“Majelis Hakim juga tidak dapat mengabulkan tuntutan Penggugat mengenai kekurangan pembayaran uang bonus
tahun 2011, karena pada kenyataannya Tergugat telah membayarkan uang bonus tahun 2011 kepada Penggugat
pada bulan Desember 2011 sesuai dengan perhitungan Tergugat yang seluruhnya sebesar Rp547.273.256,00
. Judex Facti
telah salah menerapkan hukum pembuktian, karena menurut Harahap dalam buku Kekuasaan Mahkamah Agung
Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, halaman 338, dalam praktik, banyak ditemukan kesalahan penerapan
hukum pembuktian. Bisa terjadi karena salah menerapkan syarat formal atau syarat materiil yang melekat pada alat bukti yang
bersangkutan. Menurut Pasal 1875 KUH Perdata, suatu tulisan di bawah
tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap
sebagai diakui,
memberikan terhadap
orang-orang yang
menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu
akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu.
Menurut Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan , halaman 546 sd 547, agar pada akta bawah
tangan melekat kekuatan pembuktian, harus terpenuhi lebih dahulu
syarat formil dan materiil. Dibuat secara sepihak atau berbentuk partai sekurang-kurangnya dua pihak tanpa campur tangan pejabat
yang berwenang. Ditandatangani pembuat atau para pihak yang membuatnya. Isi dan tandatangan diakui.
Ada dua faktor yang dapat mengubah dan memerosotkan nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian akta bawah tangan,
yaitu: terhadapnya diajukan bukti lawan. isi dan tanda tangan diingkari atau tidak diakui pihak lawan.
Dalam kasus yang demikian, terjadi perubahan yang sangat substansial: nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, jatuh
menjadi bukti permulaan tulisan. Batas minimalnya berubah menjadi alat bukti yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memerlukan
tambahan dari salah satu alat bukti yang lain. Bukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi, diterima dan
kemudian dipertimbangkan oleh Judex Facti adalah print out dari file
komputer Termohon Kasasi. Isinya adalah pembayaran bonus tahun 2011 sebesar Rp 547.273.256,00 kepada Pemohon Kasasi,
tanpa tanda tangan, tanpa tanda terima, dan tanpa bukti setoran bahwa uang tersebut telah diterima oleh Pemohon Kasasi, kebenaran
bukti itu telah disangkal oleh Pemohon Kasasi. Bukti tersebut tidak
memenuhi persyaratan sebagai alat bukti dan tidak membuktikan bahwa uang sebesar Rp 547.273.256,00 yang tercantum dalam bukti
tersebut telah diterima oleh Pemohon Kasasi. Selain itu, bukti tersebut bukanlah bukti penghitungan bonus
yang berlaku pada Termohon Kasasi. Sesuai ketentuan yang berlaku pada Termohon Kasasi, Termohon Kasasi selalu memberi bonus
kepada Pemohon Kasasi setiap tahunnya sesuai dengan prestasi bisnis dan prestasi pribadipersonal yang Pemohon Kasasi capai
sebagaimana termuat dalam bukti yang Pemohon Kasasi ajukan, akan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti.
Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukum dengan
demikian, maka bukti tersebut menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena bukti-bukti tersebut masih
terkait erat dengan perdebatan mengenai apakah hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dapat berubah
menjadi berdasarkan PKWTT dengan segala implikasi hukumnya, mengingat secara yuridis hubungan kerja antara
Penggugat sebagai TKA dengan Tergugat telah diatur secara khusus dalam ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13 Tahun
2003, yaitu PKWT.
Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian
karena tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang Pemohon Kasasi ajukan, yaitu kebenarannya tidak pernah dibantah oleh Termohon
Kasasi, telah memenuhi persyaratan sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1875 KUHPerdata dan pendapat Harahap
sebagaimana diuraikan tersebut di atas. Semua membuktikan bahwa Pemohon Kasasi selama bekerja pada Termohon Kasasi mempunyai
prestasi kerja yang baik, tidak pernah mendapatkan teguran atau sanksi dalam bentuk apapun juga, diakhirinya hubungan kerja antara
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi karena Pemohon Kasasi tidak mau menandatangani
draft PKWT
yang baru yang menghilangkan hak-hak Pemohon Kasasi untuk mendapatkan
pesangon dan Iain-lain apabila hubungan kerja berakhir
sebagaimana diatur dalam kesepakatan kerja waktu tertentu sebelumnya, Termohon Kasasi telah pernah berkonsultasi kepada
Departemen Tenaga Kerja RI tentang status hukum Pemohon Kasasi yang bekerja pada Termohon Kasasi selama 13 Tahun secara terus-
menerus tanpa putus, konsekuensinya menurut Departemen Tenaga Kerja RI, hubungan kerja Pemohon Kasasi dari PKWT berubah
menjadi PKWTT, dan apabila hubungan kerja diakhiridiputus, Pemohon Kasasi berhak untuk mendapatkan pesangon, uang
penghargaan, dan penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan 2003, juga membuktikan adanya
kekurangan pembayaran
bonus tahun
2011 sebesar
Rp 80.659.906,00 + Euro 11.118.
Pertimbangan hukum Judex Facti bahwa bukti tersebut menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan karena bukti-bukti
tersebut masih terkait erat dengan perdebatan mengenai apakah hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dapat berubah
menjadi berdasarkan PKWTT dengan segala implikasi hukumnya, mengingat secara yuridis hubungan kerja antara Penggugat sebagai
TKA dengan Tergugat telah diatur secara khusus dalam ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu PKWT,
menunjukkan bahwa Judex Facti tidak paham fungsinya sebagai hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini.
Perdebatan tersebut terjadi antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi, sehingga masalahperdebatan tersebut diajukan ke
pengadilan untuk dapat diperiksa dan diputus oleh Judex Facti. Kenyataannya Judex Facti bukannya memeriksa dan memutus
perdebatan tersebut, akan tetapi menganggap perdebatan tersebut terjadi antara Pemohon Kasasi, Termohon Kasasi, dan Judex Facti,
sehingga tidak ada putusan tentang itu, dan bukti yang Pemohon Kasasi ajukan dikesampingkan, tidak dipertimbangkan, dianggap
tidak relevan karena masih dalam perdebatan.
Terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat dapat dibenarkan, Karena setelah meneliti secara
saksama memori kasasi tanggal 18 Oktober 2012 dan kontra memori kasasi tanggal 5 November 2012 dihubungkan dengan pertimbangan
Judex Facti , dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum menyatakan Pemohon Kasasi ITergugat melanggar ketentuan Pasal
57 ayat 1 dan Pasal 59 ayat 4 dan 6, sehingga berakibat memperoleh uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja PHK
berupa uang pisah, dengan pertimbangan sekalipun Pemohon Kasasi IIPenggugat bekerja pada Pemohon Kasasi ITergugat ± tiga belas
tahun, namun karena Pemohon Kasasi IIPenggugat adalah TKA maka berlaku ketentuan Pasal 42 ayat 4 Ketenagakerjaan 2003,
hanya dalam PKWT. Untuk mempekerjakan TKA ditentukan persyaratan khusus.
Diantaranya, Rencana Penggunaan Tenaga kerja Asing RPTKA, Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing IMTA, dan Kartu Ijin
Tinggal Terbatas KITAS yang kesemuanya tergantung pada persetujuan pemerintah. Apabila pemerintah menyetujuinya maka
TKA dapat dipekerjakan di Indonesia.
Berdasarkan Permenakertrans Nomor Per.02MenIII2008 Pasal 24 ayat 3, jangka waktu berlakunya IMTA paling lama satu
tahun dan dapat diperpanjang,
dan Pasal 28 menentukan perpanjangan paling lama satu tahun, dan meskipun Penggugat telah
bekerja selama tiga belas tahun dengan diijinkan oleh pemerintah dengan beberapa kali penerbitan IMTA, hal tersebut tidak
menjadikan hubungan kerja demi hukum menjadi PKWTT sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU Ketenagakerjaan 2003, karena
ketentuan Pasal tersebut tidak berlaku untuk TKA. Berdasarkan Putusan Mahakamah Agung RI Nomor 595
KPdt.Sus2010 tanggal 29 Juli 2010, telah menguatkan bahwa TKA hanya dalam PKWT dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 42
ayat 4 UU Ketenagakerjaan 2003. Putusan Judex Facti yang memberi uang pisah kepada
Penggugat sebesar tujuh kali bulan upah dengan alasan keadilan karena hubungan kerja diantara Penggugat telah berlangsung tiga
belas tahun, adalah tidak dapat dibenarkan. Karena pertimbangan keadilan hanya dapat digunakan apabila ketentuan peraturan
perundang-undangan sudah usang dan tidak adil apabila diterapkan. Sementara ketentuan perundang-undangan tersebut belum usang dan
masih adil untuk diterapkan, sedangkan menyangkut kompensasi akibat berakhirnya IMTA dapat diatur dalam perjanjian kerja.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dihubungkan dengan bukti IMTA atas nama Penggugat Anjuran Mediator,
bahwa IMTA berakhir tanggal 24 Oktober 2011, maka hubungan kerja berakhir bersamaan dengan tanggal berakhirnya IMTA yang
diterbitkan Kemenakertrans RI, dan berdasarkan ketentuan Pasal 48 UU Ketenagakerjaan 2003, setelah hubungan kerjanya berakhir
Pengusaha wajib memulangkan Penggugat ke Australia sebagai negara asal yang menurut Majelis berdasarkan keadilan ex aequo et
bono ditentukan sejumlah 2 bulan upah x Euro 10.090 = Euro
20.180. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah
Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ITergugat PT. SIEMENS
INDONESIA tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
85PHI.G2012 PN.JKT.PST., tanggal 24 September 2012. Selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar
Terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi IIPenggugat ada
yang tidak dapat dibenarkan. Karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 19 Oktober 2012 dan kontra memori kasasi
tanggal 20 November 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti
, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut: TKA dapat dipekerjakan di Indonesia dalam hubungan kerja PKWT [vide Pasal 42 ayat 4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab VIII tentang Penggunaan TKA]; Tuntutan uang kompensasi
PHK berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak, dan Uang Pisah dapat diperoleh pekerja apabila
hubungan kerja dalam PKWTT tetap; dan Terkait dengan bonus tahun 2011 adalah mengenai penilaian hasil pembuktian tidak
menjadi wewenang hakim kasasi, lagi pula berdasarkan bukti sebagaimana telah dipertimbangkan dengan benar oleh Judex Facti
telah diterima oleh Pemohon Kasasi IIPenggugat. Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum danatau undang-undang, sehingga
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
IIPenggugat Stephen Michael Young tersebut harus ditolak. Karena nilai gugatan dalam perkara ini di atas seratus lima
puluh juta Rupiah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada Pemohon Kasasi IIPenggugat.
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan, Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi IIPenggugat Stephen Michael Young tersebut.
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ITergugat PT. SIEMENS INDONESIA tersebut. Membatalkan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Jakarta Pusat Nomor
85PHI.G2012PN.JKT.PST., tanggal
24 September
2012. MENGADILI SENDIRI: Dalam Eksepsi: • Menolak Eksepsi
Tergugat untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian; Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir dengan berakhirnya masa berlaku IMTA
Nomor Kep.29167MENBIMTA2010 sejak tanggal 24 Oktober 2011; Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
biaya pemulangan Penggugat beserta keluarganya ke negara asalnya sebesar dua puluh ribu seratus delapan puluh Euro; dan Menolak
gugatan Penggugat selain dan selebihnya. Menghukum Pemohon Kasasi IIPenggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar lima ratus ribu Rupiah.
3.1.d. Putusan Nomor 1311 KPdt2011
Perkara ini adalah perdata dalam tingkat kasasi.pihak berperkara adalah Sino Sandjaja, PT. Sedjati Internusa Overseas,
Pihak-pihak ini adalah pihak Pemohon Kasasi dahulu para Penggugatpara Pembanding. Pihak selanjutnya adalah Pemerintah
Republik Indonesia Cq Menteri Keuangan Republik Indonesia Cq Kepala Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara Jakarta Bupln
Kanwil Iii Cq Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Kp2ln Jakarta I, Pt. Bank Mandiri Persero Tbk Ex Pt.
Bank Bumi Daya Persero Pusat Cq. Pt. Bank Mandiri Pusat, Bumi Daya International Finance Limited BDIF, suatu badan hukum
privat yang didirikan dan berkedudukan di Hongkong, Termohon Kasasi dahulu para Tergugatpara Terbanding.
Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Penggugat telah menggugat sekarang para Termohon Kasasi dahulu sebagai para
Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penggugat I Sino Sandjaja, warga negara Indonesia adalah
Penjamin Hutang dari Penggugat II PT. Sedjati Internusa Overseas suatu badan hukum Indonesia berkedudukan di Jakarta, yang mana
pada 20 Maret 1989 Penggugat II telah mendapat fasilitas kredit dari Tergugat III Bumi Daya International Finance Llmited selanjutnya
disebut BDIF, suatu badan hukum privat asing yang didirikan menurut hukum Hongkong, berkedudukan di Hongkong, sama sekali
tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia. Fasilitas kredit diperoleh melalui
ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam akta Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang dibuat di hadapan MUDOFIR HADI, SH. Notaris di Jakarta, dengan
kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170.
Pada tanggal 03 Januari 2005, Penggugat I merasa terkejut menerima surat panggilan dari Tergugat I No. PG-002WPL.03
KP.012004. Pada hakikatnya surat panggilan tersebut berisi permintaan dari Tergugat I kepada para Penggugat untuk
mempertanggungjawabkan penyelesaian piutang negara. Hal ini oleh para penggugat dirasakan sungguh mengherankan. Karena
sesungguhnya para Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat I dan Tergugat II, apalagi mempunyai hubungan
hutang yang berkaitan dengan negara Republik Indonesia.
Sepengetahuan Penggugat I, hubungan hukum antara Penggugat I dengan Tergugat III masih dalam perkara yang sedang berproses di
pengadilan, dan sama sekali belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti, dan hal ini sudah diklarifikasikan oleh
Penggugat I yang dengan itikad baik memenuhi panggilan pertama dari pihak Tergugat I pada tanggal 18 Januari 2005 untuk
menghormati dan menjelaskan duduk permasalahannya.
Tindakan Tergugat I melakukan pemanggilan terhadap para Penggugat didasarkan oleh perbuatan Tergugat III sebagai badan
hukum asing yang tidak mempunyai domisili di wilayah Republik Indonesia pada tanggal 12 Mei 1999, dengan secara melawan hukum
dan beriktikad buruk, Tergugat III secara sepihak mengingkari isi perjanjian kredit dan berusaha menciptakan hubungan hukum baru
di dalam perkara bantahan yang sedang berjalan, dengan menarik pihak ketiga sementara hubungan hukum lama antara Penggugat I
dengan Tergugat III belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti. Dengan secara sepihak melimpahkan pengurusan hutang
tersebut kepada Tergugat II PT. BANK MANDIRI ex PT. BANK BUMI DAYA, yang kemudian atas dasar pelimpahan piutang
tersebut, pada tanggal 20 Desember 2004 oleh Tergugat II PT. BANK MANDIRI ex PT. BANK BUMI DAYA dilimpahkan lagi
secara sepihak pengurusan piutang tersebut kepada Tergugat I KEPALA KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG
NEGARA, hal inilah yang menjadi salah satu pokok permasalahan dalam gugatan yang diajukan oleh para Penggugat sekarang, di
samping mempermasalahkan mengenai keabsahan dari perjanjian kredit itu sendiri.
Para Penggugat menolak dengan keras tindakan Tergugat III secara melawan hukum melimpahkan pengurusan hutang Penggugat
II kepada Tergugat I dan Tergugat II. Pengalihan penagihan piutang tersebut cacat hukum, bertentangan dengan hukum, dan sama sekali
tidak mempunyai kekuatandasar hukum. Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Tergugat III
ketika obyek hutang piutang yang menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa yang sedang berjalan dengan
melibatkan subjek yang sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang tetap dan pasti.
Pada tanggal 20 Maret 1989 telah terjadi hubungan hukum antara Tergugat III dengan Penggugat II saja tanpa ada pihak
ketiga, yaitu Tergugat II dan Tergugat I, yang dituangkan dalam bentuk Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169.
Berdasarkan kuasa memasang Hipotik tersebut telah dibuat Grosse Akta Hipotik yaitu: Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April
1989 Nomor 23IV1989Gambir; Grosse Akta Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor : 60lX1989Grogol Petamburan; dan
Grosse Akta Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor : 23Grogol Petamburan1991.
Tanggal 18 November 1991 Penggugat I Sino Sandjaja telah mendapat Surat Panggilan Teguran dari Pengadilan Negeri
Jakarta Barat yang isinya agar Penggugat I memenuhi bunyi dari 3 ketiga Grosse Akta Hipotik tersebut di atas.
Atas Surat Panggilan Teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Penggugat I Sino Sandjaja telah mengajukan bantahan
dengan No. Register: 15PdtBth1991PN. JKT. BAR. P-3, kepada: PT. Sedjati Internusa Overseas, sebagai Terbantah I; Bumi
Daya International Finance Limited, sebagai Terbantah II; Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, sebagai Terbantah III; dan Kepala
Kantor Pertanahan Jakarta Barat, sebagai Terbantah IV. Atas bantahan tersebut, telah keluar Surat Penangguhan
Eksekusi dari Ketua
Mahkamah Agung RI dengan No.
KMA198XII1991, tertanggal 12 Desember 1991, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Isinya surat
panggilan WEksekusi adalah memerintahkan agar
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat menangguhkan eksekusi terhadap:
Grosse Akta
Hipotik tanggal
25 April
1989 Nomor:
23IV1989Gambir; Grosse Akta Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor: 60lX1989Grogol Petamburan; dan Grosse Akta
Hipotik tanggal
23 Februari
1991 Nomor:
23Grogol Petamburan1991, sampai perkara bantahan No. 15Pdt1991bth
diputus dan “in kracht van gewijsde. Hingga saat ini, hubungan hukum antara Penggugat I dengan
Tergugat III belum memiliki kejelasan hukum, karena masih mempermasalahkan legalitas kontrak kredit yang masih dalam
proses peradilan dan masih belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, sehingga
sudah sepatut dan sepantasnya
pengingkaran kesepakatan perjanjian kredit dengan mengalihkan pengurusan piutang yang dilakukan oleh Tergugat III kepada
Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I menjadi tidak memiliki dasar apapun dan menjadi batal demi hukum jo. Pasal
1340 ayat 1 KUHPerdata. Sudah menjadi asas kepatutan di dalam praktek hukum Perdata di pengadilan bahwa, adalah adil selama
proses pengadilan status quo berjalan, semua permasalahan yang menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak menjadi berhenti
menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan pasti, sehingga masing-masing pihak menjadi jelas atas hak dan
kewajibannya. Berdasarkan Pasal 1340 ayat 1 KUHPerdata jo. Pasal 1315 KUHPerdata ditegaskan, suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya saja asas kepribadian. Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan
Borgtocht No. 170. Akta itu, menurut pemohon kasasi sama sekali tidak pernah memuat klausula yang memperjanjikan Tergugat III
diperbolehkan mengalihkan hak piutangnya, baik untuk seluruh maupun sebagian pokok + bunga kepada pihak ketiga maupun
kepada pihak-pihak manapun juga. Dengan demikian, pengalihan penagihan piutang dalam
perkara tersebut oleh Tergugat III kepada Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I adalah perbuatan pengingkaran kesepakatan
perjanjian. Ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata, dan sama sekali tidak
mempunyai kekuatan hukum, karena secara tegas hubungan hukum perjanjian kredit dibuat dan disepakati hanya oleh Tergugat III
dengan Penggugat II tanpa melibatkan Tergugat II dan Tergugat I di dalamnya, sehingga hubungan hukum atau perjanjian kredit tersebut
hanya mengikat Tergugat III dan Penggugat II saja di wilayah negara Hongkong jo. Pasal 1342 KUHPerdata, asas sense clair:
Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran
. Pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II
dilakukan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hokum. Apabila pengalihan piutang dilakukan dengan cara: 1. Cessie, maka
pengalihan piutang tersebut didasarkan pada cessie yang tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 613 ayat 2 KUHPerdata, yang menentukan bahwa akta cessie baru berlaku terhadap cessus debitur, kalau terhadapnya sebelum
dialihkan piutang oleh kreditur sudah diberitahukan adanya cessie atau secara tertulis telah disetujui atau diakui olehnya, dan selama
ini Penggugat I maupun Penggugat II belum pernah diberitahukan dan menyetujui adanya pengalihan piutang tersebut.
Selain itu tidak adanya kepastian jumlah hutang Penggugat II yang harus dibayarkan kepada Tergugat III, jelas merupakan tidak
adanya transparansi dari Tergugat I dalam melakukan penagihan, oleh karenanya terhadap hutang piutang tersebut masih belum ada
kepastian hukum dan terdapat sengketa di dalamnya, sehingga
terhadap piutang tersebut tidak dapat dieksekusi melalui
BUPLNKP2LN Tergugat I, tetapi harus melalui gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri jo. Buku II, halaman 131 angka 39.5.,
dan masih dalam perkara tidak dapat dilimpahkan menurut hukum jo. Pasal 1340 dan Pasal 1315 KUHPerdata, mengenai asas
kepribadian: “suatu perjanjian hanya mengikat kepada pihak-pihak yang membuat perjanjian itu saja”.
Atau 2. Subrogasi, maka tindakan Tergugat II menerima pelimpahan pengurusan kredit dari Tergugat III adalah tindakan
yang bertentangan dengan jiwa dari Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. Berdasarkan
Pasal 3 ayat 1 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri ditegaskan:
Penerimaan kredit luar negeri oleh perusahaan swasta hanya dapat dibenarkan apabila tidak disertai adanya
keharusan jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik
negara, untuk pembayarannya kembali danatau tidak menimbulkan kewajiban suatu apapun bagi pemerintah
Republik Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar negeri yang bersangkutan
. Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Keputusan Presiden No. 59
Tahun 1972 ditegaskan:
Badan usaha negara dan badan usaha daerah tidak dibenarkan untuk memberikan jaminan atau bertindak
selaku penjamin dalam pembayaran kembali kredit luar negeri yang diterima oleh badan usaha negara, badan usaha
daerah, dan perusahaan swasta
. Dengan demikian, apabila Tergugat II tetap melanjutkan
penagihan kepada para penggugat, maka jelas tindakan tersebut bertentangan dengan jiwa dari Keputusan Presiden tersebut di atas,
karena Penggugat II mengadakan perjanjian kredit hanya dengan Tergugat III perusahaan yang berbadan hukum Hongkong,
sedangkan apabila Tergugat II sebagai bank milik pemerintah merasa berhak menagih, maka berarti fasilitas kredit tersebut sudah
dijamin dan sudah dilunasi pembayarannya sebagai salah satu syarat sah lahirnya subrogasi oleh Pemerintah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya apabila tindakan Tergugat II yang sangat jelas telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri, haruslah dinyatakan sebagai
perbuatan melawan hukum dan haruslah dinyatakan batal demi hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169 dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170. Akta itu mengandung kausa yang tidak halal
menurut pemohon kasasi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta
notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat hokum. Haruslah dibatalkan serta tidak mempunyai kekuatan
hokum, demikian dalil npemohon kasasi. Perjanjian Kredit dalam akta notaris tersebut bertentangan
dengan hukum negara Republik Indonesia, dan oleh karena itu haruslah dibatalkan jo. Pasal 1320 4 KUHPerdata, tidak
mengandung kausa yang halal, karena: menurut Pasal 1173 KUHPerdata, jelas-jelas menyatakan bahwa tidak bolehtidak
dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang
terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya jis. Yurisprudensi No. 1695
KPdt1984 tanggal 23 Mei 1986, yurisprudensi No. 641 KPdt1993 tanggal 27 Juni 1996 secara tegas menyatakan: Perjanjian antara
warga negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di
wilayah Indonesia
. Dengan demikian Tergugat III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan
jaminan yang melibatkan obyek-obyek yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Tergugat III adalah suatu badan hukum
swasta luar negeri yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri Hongkong, serta tidak mempunyai domisili wilayah
Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby
Letter of Credit
dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169 dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170 menjadi
batalmemuat syarat batal. Karena, Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundang-undangan Republik Indonesia, yaitu
perjanjian tersebut dibuat untuk tunduk kepada hukum yang berlaku
di negara Hongkong Pasal 17, sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, terlebih
di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Tergugat III akan yurisdiksi hukum negara Hongkong untuk
mengadakan kegiatan
pengurusan piutang tersebut dengan
penggugat II. Yaitu di dalam Pasal 6 ayat 1, Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit . Dinyatakan dalam akta itu bahwa : Pengambilan atau
penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada jam-jam
dibukakan kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada
. Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur Tergugat III
berbadan hukum asing Hongkong yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia, sehingga sudah sepatut dan
sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia dinyatakan tidak
mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik Indonesia, dan dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
terhadap setiap perbuatannya. Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku
pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden
No.3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972. Ada keharusan semua penerimaan kredit luar negeri, baik dalam hubungan penanaman
modal asing maupun dalam
hubungan lainnya, sebelum
ditandatangani oleh pihak-pihak harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia untuk dipelajari.
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Penggugat I dan Penggugat II dengan Tergugat III belum pernah
diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Sebagaimana, yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat 2 Keputusan
Presiden No. 59 Tahun 1972. Juga ditentukan dalam Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261MKIV51973
tanggal 03 Mei 1973, yang mewajibkan melaporkan semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap
perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, yang dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian
dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit berlaku.
Penerapan secara mutlak lex specials derogat legi generali terhadap Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan
Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan
No. KEP-261MKIV51973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi
ajaran hukum yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung yang sudah diterapkan
secara berulang-ulang berdasarkan
yurisprudensi No. 2958 KPdt1983 tanggal 15 April 1985 jis. yurisprudensi No. 641 KPdt1993 tanggal 27 Juni 1996, dan
yurisprudensi No. 1750KSip1976 tanggal 10 Desember 1981. Di dalam Yurisprudensi itu ditegaskan:
Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran
hukum, sehingga perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah
tersebut adalah
perjanjian yang
tidak mempunyai kekuatan hukum apapun
. Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak
lex specials derogat legi generali di atas, sebagai kaidah hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan
nyata kewajiban tersebut oleh Tergugat III sebagai badan hukum swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya
lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No.
15PdtBth1991PN.JKT.BAR.
Duplik tanggal 01 Desember 1992 poin 6, didalamnya dikatakan: ... ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa
perjanjian ini tunduk kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di Hongkong, tidak ada
ketentuan untuk melaporkan... ; dan
b Kesimpulan tanggal 08 April 1993 poin 7, yang menyatakan: Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di
Hongkong, tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke Bank Indonesia.
Adalah jelas
merupakan suatu
penghinaan dan
kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga dengan demikian
sudah sepatut dan sepantasnya terhadap Tergugat III yang sama sekali tidak mau
mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, akan tetapi mau membuat hubungan hukum
dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia, oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara
bertimbal balik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua
perjanjian accesoirnya, karena Tergugat III secara tegas telah
membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik Indonesia di
bawah hukum yang berlaku di Hongkong. Tidak dipenuhinya syarat di atas, maka sebagai konsekuensi
yuridis di mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum: Pasal 1320 ayat 4
KUHPerdata: suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang diperbolehkansebab yang halal; Pasal 1335 KUHPerdata: perjanjian
yang tujuansebab tidak diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum; Pasal 1337 KUHPerdata: suatu sebab adalah terlarang,
apabila persetujuan itu melanggar undang-undang atau bertentangan kesusilaan dan ketertiban umum jo. Pasal 23 AB; dan Pasal 1339
KUHPerdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Pemohon kasasi mmengemukakan agar Majelis Hakim Kasasi menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum
apapun juga Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit dengan kuasa untuk
memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170. Karena perjanjian tersebut mengandung kausa
yang terlarang, yaitu dalam hal ini perjanjian tersebut tidak mempunyai tujuan yang diperbolehkan
oleh undang-undang melawan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Oleh karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang dibuat antara Tergugat III dengan Penggugat II adalah
perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum
karena mengandung kausasebab yang terlarang, dibuat sebagai perikatan
pokok, dengan segala akibat hukumnya tunduk kepada domisili dan yurisdiksi
hukum negara
Hongkong dengan
sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik
Indonesia, Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata, maka secara otomatis dengan sendirinya tidak
mungkin terdapat suatu perjanjian pemberian jaminan yang bersifat accesoir
yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata, yang menentukan: tidak mungkin ada pemberian jaminan, jika
tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah. Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila
Penggugat I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali haknya
berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan oleh Tergugat III dengan Penggugat II. Penggugat II sudah sepatutnya
pula terbebas menurut hukum atas hutang-hutang tersebut. karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan
dengan hukumkepentingan nasional Republik Indonesia melawan hukum. Bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui dan
dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan jis. yurisprudensi No. 641
KPdt1993 tanggal 27 Juni 1996, yurisprudensi No. 2958KPdt1983 tanggal 15 April 1985, dan
yurisprudensi No. 1750KSip1976 tanggal 10 Desember 1981. Oleh karena Tergugat III, secara sengaja, dan sepihak, telah
melakukan perbuatan
melawan hokum,
dengan mengingkari terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama
yang dituangkan dalam Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit
dengan tanpa diperjanjikan sebelumnya, secara sepihak dan sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada
pihak ketiga Tergugat II dan Tergugat I, sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih diproses dalam perkara yang
hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan
pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Tergugat adalah perbuatan
yang telah beritikad buruk yang bertentangan dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Ditegaskan:
Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya pacta sunt
servanda, dan bagi pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh
para pihak
. Dengan adanya perbuatan: Tergugat III yang dengan telah
sengaja dan sepihak mengalihkan pengurusan piutangnya kepada pihak ketiga Tergugat II dan Tergugat I, dan Tergugat II dan
Tergugat I dengan telah sengaja mencampuri isi perjanjian yang dibuat antara Tergugat III dengan Penggugat II, maka jelaslah
Tergugat III telah beritikad buruk melakukan perbuatan
pengingkaran terhadap kesepakatan isi perjanjian Pasal 1338 ayat 1 jo. Pasal 1342 KUHPerdata yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak sudah sepatutnya. Sepantasnya terhadap perbuatan yang batal demi hukum tersebut, oleh Majelis Hakim dinyatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan kaidah hukum positif di Republik Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Tergugat III bersama-sama Tergugat II dan Tergugat I terbukti adalah pihak yang
telah beritikad buruk dengan: a Semena-mena dengan secara melawan hukum sengaja
mengingkari perjanjian dengan mengalihkan pengurusan piutang kepada pihak ketiga Tergugat II dan Tergugat I, sementara
hubungan hukum yang lama masih belum memperoleh putusan pengadilan
yang tetap
dan pasti.
Berusaha melakukan
konspirasipersengkongkolan dengan menunjuk debt collector, yaitu Tergugat II dan Tergugat I I, hal ini merupakan perbuatan
pidana: premanisme
di wilayah
Indonesia. Melakukan
penyelundupan hukum dengan seolah-olah memiliki kewenangan hukum, dengan tujuan akhir untuk menjarah harta-harta Indonesia.
Maka kami mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini agar segala tindakan hukum yang
dilakukan oleh para Tergugat yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum dan berdasarkan Pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata, sudah sepatut dan sepantasnya setiap tindakan pengingkaran perjanjian Tergugat III yang tidak berdasarkan itikad
baik, dengan secara semena-mena dan sepihak mengalihkan
pengurusan piutangnya kepada Tergugat II dan Tergugat II kepada Tergugat I, sementara kejelasan hubungan hutang piutang masih
dalam proses perkara yang masih berjalan, haruslah dinyatakan batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridis yang harus ditanggung
oleh para Tergugat sendiri. Terlebih tindakan pengalihan piutang tersebut tidak pernah diperjanjikan antara kedua belah pihak, dan
tindakan pengalihan pengurusan piutang tersebut sangatlah
bertentangan dengan itikad baik, kepatutan, kebiasaan, dan peraturan undang-undang yang berlaku di negara Republik Indonesia Pasal 23
AB, Pasal 1320 ayat 4, Pasal 1335, 1337, dan 1339 KUHPerdata. Oleh karena pada awalnya Penggugat II melakukan
perjanjian kredit dengan Tergugat III BDIF suatu badan hukum swastaprivat asing yang didirikan menurut undang-undang negara
Hongkong, dan perjanjian kredit tersebut tunduk kepada yurisdiksi hukum Hongkong, bukan kepada Bank Mandiri Tergugat II
apalagi negara Republik Indonesia. Karenanya, hutang Penggugat II bukan merupakan piutang negara yang penagihannya tidak
dikeluarkan menurut
hukum dan
kewenangan melalui
BUPLNKP2LN Tergugat I, terlebih pengalihan piutang dalam perkara tersebut sangat bertentangan hukum dengan syarat cessie
dan jiwa dari Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri seperti yang sudah dijelaskan pada
poin 4 huruf c sebelumnya di atas. Sejak awal pengurusan piutang tidak sah menurut hukum
kepada Tergugat I Kepala Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara dari Tergugat II PT. Bank Mandiri Ex Pt. Bank Bumi
Daya, dan tidak didasarkan pada Surat Pernyataan Bersama, baik antara Penggugat I maupun Penggugat II dengan Tergugat I Kepala
Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara sebagai pihak yang diberi tugas untuk mengurus penagihan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 49Prp. Tahun 1960, cara penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang
Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan: Memuat jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti
menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara Pasal 4 ayat 2
Undang-Undang No. 49Prp. Tahun 1960;
dan Mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat dan
ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPNBUPLN. Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan kewajiban debitur
untuk menyelesaikan hutang kepada negara.
Maka dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini, legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarannya telah tetap
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam
sengketa, PUPNBUPLN sama sekali belum pernah membuat Surat Pernyataan Bersama, baik kepada Penggugat I maupun kepada
Penggugat II, maka sudah sepantasnya dan sepatutnya Panitia Urusan Piutang Negara demi hukum dinyatakan tidak berwenang
terhadap penagihan piutang tersebut, karena tindakan penagihan tersebut bersumber dari tindakan pengalihan pengurusan piutang
dari Tergugat III kepada Tergugat II, dan Tergugat II kepada Tergugat I yang tidak sah dan batal demi hukum.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya pengingkaran perjanjian
oleh Tergugat III, yaitu dengan mengalihkan pengurusan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat
II sebagaimana diuraikan di atas masih dalam perkara dialihkan, tidak pernah diperjanjikan piutang dialihkan secara sepihak, piutang
dialihkan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hukum dialihkan dengan cessiesubrogasi yang tidak memenuhi syarat
hukum piutang ditagih berdasarkan atas kausa yang tidak halal,
adalah merupakan suatu perbuatan pengingkaran perjanjian yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan
pemerkosaan terhadap
kepastian hukum di Republik Indonesia, dan patut dinyatakan perbuatan melawan hukum yang batal demi hukum dengan segala
akibat hukumnya sebagai konsekuensi yuridis yang harus
ditanggung oleh para Tergugat. Oleh karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari
Tergugat III kepada Tergugat II bertentangan dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia dan terdapatnya cacat hukum, maka
penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Tergugat II kepada Tergugat I juga mengandung cacat hokum. Tidak memiliki kekuatan
hokum. Karena tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 49Prp Tahun 1960 khususnya, dan ketentuan
serta praktek hukum di negara Republik Indonesia umumnya. Maka perbuatan Tergugat I yang telah membuat surat panggilan kepada
Penggugat I dan Penggugat II haruslah dinyatakan melawan hukum, tidak sah, dan batal demi hukum.
Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III adalah perbuatan
sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan
Penggugat I dan Penggugat II, maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum onrechtmatige daad
dengan segala akibat hukum dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Oleh karena Penggugat I adalah sebagai pribadi dan Penggugat II adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas
yang baik di mata masyarakat umum, maka dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I,
Tergugat II, dan Tergugat III, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya, dan tenaga bagi Penggugat I dan Penggugat II, oleh karena itu
adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum overheasdaad jo. Pasal 1365 KUHPerdata.
Hubungan hukum antara Penggugat I dan Penggugat II terhadap Tergugat III sesuai hukum perjanjian sangat melekat dan
tidak dapat dialihkan diingkari begitu saja ke Tergugat I dan Tergugat II. Pula, obyek dalam perkara ini merupakan hutang badan
hukum swastaprivate asing bukan Negara. Pula masih terdapatnya kasus atau sengketa yang belum terselesaikan antara Penggugat I
dengan Penggugat II dan Tergugat III di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Maka dimohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
memutus perkara agar bijaksana dalam memeriksa dan memutus perkara dengan jangan terjebak dalam kegiatan konspirasi pihak
asing yang berusaha menguasai aset-aset Indonesia, dan kami mohon kepada majelis hakim yang terhormat agar mengedepankan
perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenang-wenang dirampasnya
harta-harta nasional Republik Indonesia di kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha melakukan
penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia sendiri.
Karena gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti yang original
yang tidak terbantah kebenarannya, maka sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan
terlebih dahulu uitvoorbaar bij voorraad. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan dalam Provisi untuk melarang Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat
III untuk melakukan segala bentuk tindakan hukum terhadap Penggugat I dan Penggugat II. Maupun terhadap piutang selama
keputusan perkara ini belum memperoleh kekuatan hukum yang
tetap. Juga, demi menghormati proses sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang
saat ini terdaftar dalam perkara No:
15PdtBth1991PN.JKT,.BAR tanggal 02 Desember 1991, dengan ancaman hukuman apabila Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III
melanggar larangan ini maka Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III dihukum secara tanggung renteng untuk membayar kepada
Penggugat I dan Penggugat II uang paksa sebesar satu miliar rupiah yang harus dibayar sekaligus dan kontan atas kelalaian para
Tergugat melaksanakan isi putusan ini. Memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II Kepala Kantor
Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara dan PT. Bank Mandiri Persero Tbk untuk tidak mencampuri hubungan hutang piutang
antara Penggugat II dengan Tergugat III, yaitu dengan menghentikan segala pemanggilan dan penagihan. Tergugat I dan Tergugat II tidak
ada hubungan hukum sebagai pihak-pihak di dalam perjanjian kredit yang dibuat antara Penggugat II dengan Tergugat III; dan Tindakan
pengalihan piutang dari Tergugat III kepada Tergugat II dilakukan dengan cara yang tidak sah dan tidak berdasar hukum, yaitu
didasarkan pada cessie yang tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 613 ayat 2
KUHPerdatasubrogasi yang bertentangan dengan jiwa dari Pasal 3 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit
Luar Negeri. Dalam Pokok Perkara: mengabulkan gugatan dari Penggugat
I dan Penggugat II untuk seluruhnya; menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan
hukum onrechtmatigedaad kepada Penggugat I dan Penggugat II, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata; menyatakan menurut hukum batal demi hukum pengalihan piutang
dari Tergugat III kepada Tergugat II dan dari Tergugat II kepada Tergugat I; menyatakan menurut hukum batal demi hukum
pengurusan piutang yang dilakukan Tergugat II dan Tergugat I terhadap para Penggugat.
Memerintahkan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III untuk menghentikan segala upaya dan usaha yang baik secara langsung
maupun tidak langsung bertujuan untuk menagih
terhadap Penggugat I dan Penggugat II berdasarkan Akta Notaris Mudofir
Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit
, tanggal 20 Maret 1989. Menyatakan bataltidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166:
Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, tanggal 20 Maret 1989 dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan
Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170, karena mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat 4
KUHPerdata, yaitu bertentangan dengan hukumkepentingan
nasional Republik Indonesia. Selanjutnya, menyatakan bataltidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum perjanjian pemberian
jaminan dan lain-lain jaminan yang telah diberikan Penggugat I kepada Tergugat III sebagaimana tercantum dan terkait di dalam
Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit
, tanggal 20 Maret 1989. Menyatakan batal, tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum Grosse Akta
Hipotik tanggal 25 April 1989 No. 23IV1989Gambir; Hipotik tanggal 30 September 1989 Nomor : 60IX1989 Grogol
Petamburan; dan Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor: 23Grogol Petamburan1991.
Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III dan siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengembalikan
dan menyerahkan kepada Penggugat I seluruh surat-surat jaminan yang telah diagunkan berupa sertifikat-sertifikat
asli yang
dituangkan dalam bentuk Grosse Akta Hipotik tanggal 25 April 1989 No. 23IV1989Gambir; Hipotik tanggal 30 September 1989
Nomor: 60lX1989Grogol Petamburan; dan Hipotik tanggal 23 Februari 1991 Nomor: 23Grogol
Tamburan1991. Dengan ketentuan untuk setiap hari keterlambatankelalaian menyerahkan
seluruh sertifikat-sertifikat tersebut kepada Penggugat I, para Tergugat dan siapa saja yang memperoleh hak dari padanya,
dihukum secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa dwangsom sebesar sepuluh juta rupiah per harinya yang harus
dibayar sekaligus dan kontan jika tidak memenuhi isi putusan ini. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk
mematuhi dan melaksanakan seluruh isi putusan ini tanpa syarat. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu
sekalipun ada upaya hukum berupa bantahan, banding, danatau kasasi uitvoerbaar bij voorraad. Menghukum Tergugat I, Tergugat
II, dan Tergugat III untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng. Atau, apabila Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutus perkara ini berpendapat lain, mohon untuk diputus berdasarkan rasa
keadilan ex aequo et bono.
Terhadap gugatan tersebut para Tergugat mengajukan Eksepsi Tergugat I, mengenai Kompetensi Absolut. Tergugat I
adalah instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan kewajiban mengurus piutang negara macet sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara beserta peraturan pelaksanaannya. Kewenangan memeriksa
dan mengadili gugatan para Penggugat I terhadap Tergugat I untuk membatalkan KPTUN mengenai pengurusan piutang negara yang
dilakukan Tergugat I adalah wewenang PTUN. Eksepsi Error In Persona, Eksepsi Diskualifikasi. Gugatan
para Penggugat mohon dinyatakan mengandung cacat error in persona
dan dinyatakan tidak dapat diterima. Karena Penggugat I bertindak sebagai orang yang tidak berhak mengajukan gugatan.
Direksi perseroan yang seharusnya bertindak berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bukan
Penggugat I secara pribadi atau sebagai penjamin hutang. Dengan demikian Penggugat I tidak memiliki kapasitas untuk menggugat.
Eksepsi Persona Standi In Yudicio. Gugatan para Penggugat terhadap Tergugat I dimohonkan dinyatakan kurang sempurna dan
dinyatakan tidak dapat diterima. Karena Penggugat dalam
menyebutkan persoon Tergugat I sangat keliru dan kurang sempurna.
Dalam penyebutan Identitas Tergugat I sebagaimana dikemukakan oleh Penggugat dalam surat gugatannya adalah keliru
karena menyebutkan suatu Badan Hukum yang sudah tidak ada lagi dan tidak mengkaitkan dengan Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara DJPLN cq. Kanwil III Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang merupakan Badan Hukum Induk dari
Tergugat I, seharusnya Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara cq. Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara KP2LN Jakarta I.
Melaksanakan tugas dan wewenangnya, Tergugat I harus bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah III DJPLN yang
kemudian bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, yang kemudian bertanggungjawab kepada Menteri
Keuangan Republik Indonesia dan seterusnya, sehingga dalam hal terjadi gugatan terhadap Tergugat I harus dikaitkan dengan
atasannya tersebut.
Tergugat II, eksepsi Vexatious Litigation Eksepsi atas gugatan yang mengada-ada dan didasarkan atas iktikad buruk. Para
Penggugat dalam gugatannya mempermasalahkan keabsahan
perjanjian kredit beserta turunannya antara Penggugat II dengan Tergugat III dan Pengalihan fasilitas kreditnya dari Tergugat III
kepada Tergugat II dan mendalilkan perbuatan melawan hukum. Dalil para Penggugat tersebut tidak berdasar hukum dan mengada-
ada serta menunjukkan itikad buruk para Penggugat karena. Kedudukan Penggugat II adalah subyek dalam perjanjian tersebut,
yang pada saat menerima prestasi berupa dana dari pencairan fasilitas kredit yang diberikan
oleh Tergugat III tidak
mempermasalahkan sah dan tidaknya perjanjian. Setelah menerima dan menikmati dana dari fasilitas kredit dan tiba saatnya untuk
membayar kembali, dengan mudah Penggugat I mendalilkan perjanjian kredit yang dibuatnya tidak sah. Penggugat II sama sekali
tidak menyampaikan di dalam persidangan telah melalaikan kewajiban membayar hutangnya yang telah jatuh tempo selama 15
tahun dan akan mengingkari kewajiban tersebut. Penggugat II juga tidak menyampaikan di dalam persidangan bahwa sebagai akibat
tidak membayar hutangnya, fasilitas kredit Penggugat II
digolongkan sebagai kredit macet dan berakibat pada pengalihan pengelolaan kredit.
Berdasarkan hal-hal tersebut, sudah sepatutnya gugatan para Penggugat yang mengada-ada dan didasarkan itikad buruk ditolak
atau dinyatakan tidak diterima. Eksepsi
Diskualifikatur. Subyek yang dapat menjadi
Penggugat baik menurut doktrin hukum ataupun hukum perdata adalah subyek yang secara nyata dirugikan atau terbukti memiliki
bukti-bukti bahwa ia dirugikan. Penggugat II tidak mempunyai kapasitas sebagai Penggugat karena Penggugat II adalah debitur
yang justru berhutang kepada Tergugat II dan telah menggunakan fasilitas hutang tersebut. Setelah fasilitas dinikmati selama bertahun-
tahun yaitu sejak tahun 1989 tanpa pembayaran pokok dan bunga seperti layaknya dalam perjanjian yang telah ditandatangani
Penggugat, tiba-tiba adanya teguransomasi atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, Penggugat mengajukan gugatan dan menuntut
semua perjanjian yang telah ditandatangani batal demi hukum dan uang yang telah dinikmati sebesar paling tidak USD 896.000.00
hilang lenyap tanpa menyinggung kewajiban untuk mengembalikan. Di sini jelas bahwa Tergugat II dan Tergugat III hak-haknya
dirugikan oleh Penggugat II yang telah menikmati fasilitas kredit dan terhalang haknya dengan adanya gugatan ini. Oleh karenanya
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sepatutnya menolak gugatan Penggugat.
Eksepsi Gugatan Kabur. Sebagaimana disampaikan di atas, para Penggugat mendalilkan perjanjian kredit dan perjanjian
pengikatan jaminan antara para Penggugat dengan Tergugat III adalah perbuatan melawan hukum. Padahal para Penggugat adalah
subyek hukum atau pelaku perjanjian tersebut dan bertindak untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian dalil yang disampaikan oleh
para Penggugat telah berbalik pada diri para Penggugat, yaitu ikut serta dalam perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengakibatkan
konstruksi gugatan para Penggugat menjadi kacau dan tidak jelaskabur, sehingga gugatan para Penggugat patut dinyatakan tidak
dapat diterima. Eksepsi Gugatan Gugur Karena Telah Lewat Waktu.
Penggugat dalam gugatannya telah menuntut pembatalan perjanjian kredit beserta perjanjian turutannya dengan alasan seolah-olah ada
penyesatan sebagaimana didalilkan dalam
posita. Gugatan
penggugat atas dasar hal tersebut harus dinyatakan gugur dan tidak dapat diterima karena telah lewat waktu.
Sesuai Pasal 1454 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi: Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak
dibatasi oleh suatu ketentuan khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah 5 lima tahun
. Dengan ketentuan tersebut di atas, maka perjanjian kredit beserta turutannva yang
dibuat atas kehendak dan untuk memenuhi keinginan Penggugat II sendiri serta tidak ada itikad Tergugat II dan Tergugat III untuk
melakukan penyesatan tidak dapat dituntut pembatalannya. Karena, berdasarkan tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya perjanjian,
maka waktu untuk meminta pembatalan setidak-tidaknya telah diajukan ke pengadilan pada tanggal 02 Maret 1996, sementara
gugatan Penggugat baru diajukan tanggal 08 April 2005, oleh karenanya telah melampaui waktu yang ditetapkan undang-undang.
Penggugat hingga tanggal gugatan ini tidak pernah mempermasalahkan adanya penyesatan melainkan tetap menerima
dan menikmati dana dari pencairan fasilitas kredit, dan belakangan mengangkat permasalahkan setelah ada upaya penagihan oleh
Tergugat I.
Di samping itu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1456 KUHPerdata yang berbunyi: “Tuntutan untuk pernyataan batalnya
suatu perikatan, gugur jika itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam.
isi pasal adalah perjanjian kredit dan perjanjian turutannya yang sudah ditandatangani para pihak, pencairan fasilitas
kredit telah dilakukan dan diterima oleh Penggugat II, jaminan telah diserahkan dan diterima oleh Tergugat II dan Tergugat III, telah
dilaksanakan oleh para pihaknya, artinya secara diam-diam perikatan telah dipatuhi sehingga mengikat para pihaknya. Oleh
karenanya sepatutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus putusan No. 110PDT.G2005PN-JKT. PST. tanggal 12
Desember 2005. Amarnya sebagai berikut. Dalam Eksepsi menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II untuk seluruhnya. Sedanghkan
dalam Provisi menolak tuntutan provisi yang diajukan para Penggugat. Mengenai pokok perkara menolak gugatan Penggugat
untuk seluruhnya; dan menghukum Penggugat I dan Penggugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini sebesar dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah.
Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 371PDT2006PT. DKI. tanggal 26 Februari 2007. Sesudah putusan terakhir
diberitahukan kepada Penggugat IPembanding I pada tanggal 16 Februari 2009, kemudian terhadapnya oleh Penggugat IPembanding
I diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 27 Februari 2009 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No.
27SRT. PDT.KAS2009PN. JKT. PST.
jo No. 110PDT.
G2005PN. JKT. PST., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang
memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 12 Maret 2009.
Sesudah putusan terakhir diberitahukan kepada Penggugat IIPembanding II pada tanggal 16 Februari 2009, terhadapnya oleh
Penggugat IIPembanding II diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 27 Februari 2009 sebagaimana ternyata dari akta
permohonan kasasi No. 26SRT. PDT.KAS2009PN. JKT. PST. jo No. 110PDT. G2005 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang
memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 12 Maret 2009.
Tergugat ITerbanding I 29 September 2009 telah diberitahu tentang memori kasasi dari para Penggugatpara Pembanding,
diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Oktober 2009.
Setelah itu Tergugat IITerbanding II, pada 21 Oktober 2009 telah diberitahu tentang memori kasasi dari para Penggugatpara
Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 03
November 2009. Permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-
undang. Karena itu, permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima.
Alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasipara Penggugat dalam memori kasasinya ialah:
Memori Kasasi Pemohon Kasasi I, mengenai Penerapan Hukum Acara.
Terhadap seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi, hingga saat ini sama sekali tidak pernah dihadiri
meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut, dibantah dan disangkal seluruh dalil-dalil para Pemohon Kasasi ajukan selama
proses persidanganberacara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta oleh Termohon Kasasi III selaku kreditur
asing yang memiliki hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi dalam perjanjian kredit yang melawan hukum
Republik Indonesia
termasuk dalam pengalihannya. Dengan perkataan lain telah
terbukti Termohon Kasasi III telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Oleh karena Termohon Kasasi II telah menggunakan Surat Kuasa Khusus fiktif No. 057SK.CHC2005 yang tidak pernah
didaftarkan dan diperlihatkan di muka sidang yang terbuka untuk umum berdasarkan pengakuannya sendiri di hadapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat lewat Dupliknya tertanggal 26 September 2005. Secara tegas dalam duplik dinyatakan ... untuk beracara di
pengadilan tidak mengatur keharusan suatu Surat Kuasa Khusus untuk beracara didaftarkan
. Juga, memuat SEMA No.
31P169M1959 tidak disyaratkan adanya keharusan untuk
mendaftarkan surat kuasa. SEMA yang didalilkan Termohon Kasasi II demi hokum, sudah dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku lagi
oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1971. Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan
persidangan berdasarkan Pasal 174
HIR jo. Pasal 1925 KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat.
Jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan yang dibuat, ditandatangani dan diajukan oleh kuasa hukum Termohon Kasasi II
bersumber dari kewenangan hukumlegal standing yang fiktif. Karena secara materiil tidak mungkin suatu badan hukum seperti
PT. Bank Mandiri Persero Tbk dapat tampil beracara di pengadilan tanpa diwakilidiwakili dengan Surat Kuasa Khusus fiktif dan untuk
dapat diwakili oleh kuasanya yang sah seharusnya terlebih dahulu dibuat, didaftarkan, dan diperlihatkan Surat Kuasa Khusus di
hadapan pengadilan agar sah berdasarkan Pasal 123 ayat 1 HIR jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat
Kuasa Khusus dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No. 296 KSip1970 tanggal 09 Desember 1970.
Oleh karena Termohon Kasasi II dianggap tidak mengajukan menggunakan haknya berdasarkan Surat Kuasa Khusus fiktif di
pengadilan, dan tidak hadir secara sah untuk membantah dan menyangkal gugatan yang diajukan para Pemohon Kasasi, sehingga
dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi II telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang
diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk
dikabulkan seluruhnya. Oleh karena Termohon Kasasi I juga melepaskan haknya
dalam mengajukan Kontra Memori Banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai keberatannya terhadap hal-hal yang diajukan
para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi I telah membenarkan dan mengakui
seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, sehingga dengan demikian patut dan
wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Penerapan Teknis Yuridis. Judex Facti
telah salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku. Pemohon
Kasasi I s.o.r
keberatan terhadap amar putusan Nomor 371PDT2006PT.
DKI yang
menguatkan pertimbangan-
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 110PdtG2005PN. Jkt. Pst. Karena secara nyata Judex Facti
putusan Nomor 110PdtG2005PN. Jkt. Pst dalam pertimbangan- pertimbangan hukumnya tidak menggunakan satupun dasar hukum
positif apapun yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana sudah dan pernah diterapkan berulang-ulang sehingga
menjadi yurisprudensi tetap dalam memeriksa dan memutus perkara a quo
. Dengan demikian terhadap putusan Judex Facti hanya berdasarkan spekulasi logika sepihak dengan tanpa didukung adanya
dasar legalitas yuridis dan bukti otentik dalam menjawab permasalahan hukum dalam pokok perkara yang diajukan Pemohon
Kasasi I ajukan: Pengalihan, melawan hokum, pengurusan piutang tanpa akta
apapun antar badansubyek hukum yang berbeda dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II
kepada Termohon Kasasi I; Keabsahan perjanjian kredit itu sendiri
yang sudah diakui oleh Termohon kasasi III sebagai kreditur berbadan hukum privat asing di hadapan Pengadilan, sebagai
perjanjian yang melawan hukum di wilayah Republik Indonesia, sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum seluruh pertimbangan
hukum di dalam putusan tersebut dibatalkan. Judex Facti
dalam putusannya telah salah menerapkan hukum dan melampaui kewenangannya dalam mempertimbangkan
sesuatu hal yang pokok tanpa didasari atau didukung oleh sesuatu alat bukti, karena di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 110Pdt.G2005PN.Jkt.Pst diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, mengkonstantir kewenangan pengalihan
pengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II menjadi sah sesuai hukum, hanya didasarkan, Surat kuasa
dari Termohon Kasasi III kepada Muda Siregar Siagian Kepala Urusan Luar Negeri ex Bank Bumi Daya sekarang menjadi
Termohon Kasasi II, terbatas hanya pada saat itu untuk mengadakan perjanjian kredit saja, telah dipahami berwenang dalam
arti seluas-luasnya mengambilalih perjanjian kredit tanpa batas waktu. Bukti berupa foto copy yang tanpa ditunjukkan dokumen
aslinya dan bukti surat di
bawah tangan yang kekuatan
pembuktiannya bebas yang tidak dapat disangkal. Isi akta otentik, para pihak di dalam perjanjian kredit melawan hukum hanyalah para
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi III saja sebagaimana telah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi II; dan
Dalil kepemilikan saham Termohon Kasasi III oleh Termohon Kasasi II, di mana tidak pernah terbukti di persidangan
satupun saham modal kekayaan Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta murni private yang tunduk pada Chapter 32
Companies Ordinance Hongkong, berasal dari Termohon Kasasi II
apalagi berasal dari negarabank Indonesia. Berdasarkan hukum positif Pasal 613 ayat 1 KUHPerdata,
setiap pengalihan piutang antar dua subyek hukum yang berbeda haruslah dilakukan dengan akta cessie, sedangkan berdasarkan
pengakuan berulang-ulang Termohon Kasasi II sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pengurusan kredit melawan hukum
milik Termohon Kasasi yang dilakukannya, pengalihannya hanyalah berasal dari penarikan repatriasi secara sepihak saja tanpa adanya
persetujuan pihak debitur sebagai para pihak di dalam perjanjian tersebut sebelumnya.
Jawaban tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara: ...PT Bank Bumi Daya Persero selaku pemilik Tergugat III
mengambil langkah-Iangkah pengamanan dan penyelamatan antara lain menarikmengambil alih piutang
. Duplik tanggal 26 September 2005, Poin 4 huruf a dalam eksepsi: ... repatriasi kredit Penggugat
II oleh Tergugat III kepada Tergugat II .... Poin 4 dalam pokok
perkara: ... kedudukan Tergugat III demi hukum telah digantikan oleh Tergugat II yaitu dengan adanya repatriasi kredit dan
.... Kontra Memori Banding tanggal 31 Agustus 2006 poin 7: ... maka
piutang tersebut ditarik ke Bank Bumi Daya. .. .
Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan persidangan
berdasarkan Pasal 174 HIR jo. Pasal 1925
KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan
bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi III yang dilakukannya, hanyalah berasal dari penarikan repatriasi
secara sepihak saja tanpa didukungdibuktikan adanya. Akta pengalihan pergantian posisi kreditur dari Termohon
Kasasi III selaku pemilik kredit melawan hukum mempunyai hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi. Dokumen
asli dalam pembuktian, tentang terjadinya repatriasi kredit yang diajukan oleh Termohon Kasasi II sebagai bukti hanyalah dokumen
fax yang difoto copy yang tidak terbaca samar-samar dan tidak secara sah dilengkapisesuai dengan dokumen aslinya maupun kertas
faxnya sendiri, sehingga dengan demikian sudah sepatut dan sewajarnya demi hukum majelis hakim menolak tidak mempercayai
bukti dan dalil-dalil repatriasi tersebut, karena hanya didukung berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah dan tidak memiliki kekuatan
pembuktian berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata jo. putusan Mahkamah Agung RI No. 701 KISip1974 tanggal 14 April 1976
yang berbunyi: Kekuatan pembuktian suatu tulisan terletak pada akta aslinya
, sehingga sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum terhadap tindakan debt collector yang seolah-olah mempunyai
kewenangan hukum sepihak dengan melakukan penyelundupan hukum tersebut dengan demikian tidak perlu
memperoleh perlindungan hukum.
Selain secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik
Termohon Kasasi III yang dilakukannya hanyalah berasal dari penarikan repatriasi secara sepihak saja, Termohon Kasasi II
dalam Pembuktiannya tanggal 24 Oktober 2005, secara a contrario dan berulang-ulang juga telah mengakui sendiri di hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahwa hubungan hukum yang mengikat dalam perjanjian kredit hanyalah berlaku antara para
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja.
Bukti Penggugat II dan Tergugat III adalah subyek hukum dalam Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby LC
. Bukti: Sesuai akta tersebut Sino Sandjaja Penggugat I dengan persetujuan Linda
Effendi istrinya telah mengikatkan dirinya sendiri untuk menjamin pengembalian fasilitas kredit Penggugat II yang diterima dari
Tergugat III . Pengakuan tertulis berulang-ulang dari Termohon
Kasasi II di hadapan pengadilan berdasarkan Pasal 174 HIR jo. Pasal 1925 KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hokum. Karena selain mengabaikan legalitas yuridis syarat sah pengalihan pengurusan piutang dengan formalitas suatu akta, Judex
Facti dalam pertimbangan hukumnya juga telah menutup mata
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di dalam proses pengalihanpengurusan piutang dari Termohon Kasasi
III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II ketika obyek hutang piutang yang
menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa yang sedang berjalan status quo dengan melibatkan subjek yang
sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang tetap dan pasti di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan rool
perkara No:
15PdtBth1991PN.JKT.BAR. Ditangguhkan
eksekusinya dengan surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua Mahkamah Agung RI dengan No. KMA198XII1991, tertanggal 12
Desember 1991: sampai perkara bantahan No. 15Pdt1991bth diputus dan in kracht van gewijsde.
Adalah rancu terhadap suatu perkara yang legalitasnya masih berproses status quo diciptakan
hubungan hukum baru. Melanggar asas kepribadian berdasarkan Pasal 1340 ayat 1
KUHPerdata jo. Pasal 1315 KUHPerdata. Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja, yaitu dalam hal
ini Termohon Kasasi III dengan para Pemohon Kasasi saja. Dengan demikian pengalihan penagihan piutang dalam
perkara tersebut oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I adalah
perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian, yang dengan ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum Pasal 1320
ayat 1 KUHPerdata, tidak mempunyai konsekuensi yuridis dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak sebelumnya;
Piutang yang dialihkan adalah perjanjian kredit dan accesoir
nya yang tidak halal dan melanggar hukum negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat 4
KUHPerdata. Yaitu melanggar Pasal 1173 KUHPerdata, Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Pasal 2 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972, Pasal 5 ayat 2 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261MKIV51973 tanggal 03 Mei 1973, KUHPerdata Pasal: 1320 ayat 4, 1335, 1337,
dan 1339. Terdapat bukti palsu dalam proses pengalihan pengurusan
kredit dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Hal ini, didasarkan fakta dan realita hukum terhadap satu piutang terdapat
dua surat penyerahan pengurusan piutang yang berbeda dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Bukti, bahwa Termohon Kasasi I telah mengakui dalam suratnya bahwa: ... PT. Bank Mandiri Persero Credit Recovery
Group dengan surat No. CRYDept.l2782004 tanggal 20 Desember
2004 telah menyerahkan pengurusan piutang.., akan tetapi di
dalam bukti lainnya, Termohon Kasasi I menyatakan: Surat Penyerahan PT. Bank Mandiri Persero Ex PT. Bank Bumi Daya
Persero Nomor: CRYDept.IV2782004 tanggal 13 Desember 2004.”
Terhadap bukti yang berbeda nomor dan tanggalnya tersebut sama sekali tidak diajukan bukti pendukung apapun dari Termohon
Kasasi II selaku pihak yang menyerahkan piutang kepada Termohon Kasasi I, sehingga dengan demikian sesungguhnya secara yuridis
prosedural sejak semula tidak pernah terjadi penyerahan piutang dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hokum. Dengan memandang tidak perlu lagi mempertimbangkan sah tidaknya perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi II dengan
Termohon Kasasi III di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No. 110Pdt.G2005PN.Jkt. Pst telah diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta. Secara legalistik yuridis
gugatan para Pemohon Kasasi tidak pernah dibantahdisangkal dan bahkan telah diakui sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat oleh Termohon Kasasi III sebagai kreditur asing yang
mempunyai hubungan hukum langsung dan terlibat dalam perjanjian kredit bahwa Akta Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit Nomor: 166 tanggal 20 Maret 1989, yang dibuat di hadapan
Mudofir Hadi Notaris di Jakarta, dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170,
adalah perjanjian-perjanjian yang mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat 4
KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi perjanjian yang cacat hukum
dan haruslah dibatalkan, serta tidak
mempunyai kekuatan hukummelawan hukum di Republik Indonesia.
Terdapat dua Akta Borgtocht yang tidak secara jelas dan tegas mencampuradukkan penerapan dua akta perjanjian accesoir
terhadap satu perjanjian pokok, sehingga telah menimbulkan kekacauan hukum perjanjian accesoir yang mana yang mengikat.
Adapun kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata tersebut adalah dalam Pasal
1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan bahwa tidak bolehtidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu
negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang
terletak di wilayah Indonesia. Kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya jis yurisprudensi No. 1695
KPdt1984 tanggal 23 Mei 1986, dan yurisprudensi No. 641 KPdt1993 tanggal 27 Juni 1996. Secara tegas dinyatakan:
Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang
obyeknya berada di wilayah Indonesia, . Dengan demikian,
Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek
yang berada di wilayah Republik Indonesia. Terlebih Termohon Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus
private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri
Hongkong, serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir
Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit
dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170 menjadi batalmemuat
syarat batal. Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundang-
undangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk
tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong Pasal 17. Sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat
di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum
negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat 1,
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, yang menyatakan:
Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada
jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada
; Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur Termohon
Kasasi III berbadan hukum asing Hongkong yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyaidomisili hukum di wilayah Republik
Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik
Indonesia, dan
dinyatakan tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya:
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi
III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik
Indonesia. Sebagaimana, yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972. Kedua ketentuan itu mengharuskan semua penerimaan kredit luar negeri baik dalam
hubungan penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya sebelum ditandatangani oleh pihak-pihak, harus dilaporkan terlebih
dahulu kepada Bank Indonesia untuk dipelajari. Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat 2 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261MKIV51973 tanggal 03 Mei 1973. Kedua ketentuan itu mewajibkan melaporkan
semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia. Dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit
berlaku. Penerapan secara mutlak lex specials derogat legi generali
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-
261MKIV51973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum
yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung. Sudah diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No.
2958 KPdt1983 tanggal 15 April 1985 jis. yurisprudensi No. 641 KPdt1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750
KSip1976 tanggal 10 Desember 1981, ditegaskan: Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan
merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah perjanjian yang
tidak mempunyai kekuatan hukum apapun. Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak
lex specials derogat legi generali, di atas, sebagai kaidah hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan
nyata kewajiban tersebut oleh Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan
penerapannya lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus
perkara No. 15PdtBth1991PN. JKT. BAR. Duplik tanggal 01 Desember 1992 poin 6, yang menyatakan: ... ketentuan Pasal 17
yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di
Hongkong tidak ada ketentuan untuk melaporkan ...;
dan Kesimpulan tanggal 08 April 1993 poin 7, yang menyatakan:
Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di Hongkong tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke Bank Indonesia.
Jelas, ada suatu penghinaan dan kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga,
dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya terhadap Termohon Kasasi III yang sama sekali tidak mau mengakui eksistensi hukum
positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia akan tetapi mau membuat hubungan hukum dengan melibatkan subyek dan obyek di
dalam wilayah Indonesia, oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus
perkara secara
bertimbalbalik haruslah
ikut
dikesampingkan juga segala eksistensi keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua perjanjian accesoirnya, karena
Termohon Kasasi III secara tegas telah membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum
yang berlaku di Republik Indonesia di bawah hukum yang berlaku di Hongkong.
Tidak dipenuhinya syarat dalam poin 7, poin 8, dan poin 9 di atas, maka sebagai konsekuensi yuridis, dimohon kepada majelis
hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum: Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata: “Suatu perjanjian harus
mempunyai tujuan yang diperbolehkansebab yang halal”; Pasal 1335 KUHPerdata: “Perjanjian yang tujuansebab tidak
diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum”; Pasal 1337 KUHPerdata: “Suatu sebab adalah terlarang apabila persetujuan itu
melanggar undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum” jo. Pasal 23; dan Pasal 1339 KUHPerdata:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang, menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun juga.“
Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit dengan kuasa untuk memasang
Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170, mengandung kausa yang terlarang. Dalam hal ini perjanjian
tersebut tidak mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang- undang melawan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang dibuat antara Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II
adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena mengandung kausasebab yang terlarang, dibuat sebagai perikatan
pokok yang dengan segala akibat hokum tunduk kepada domisili dan yurisdiksi
hukum negara
Hongkong, dengan
sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah hukum positif di wilayah Republik
Indonesia Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata, maka secara otomatis, tidak terdapat suatu perjanjian
pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata. Tidak mungkin ada pemberian
jaminan jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah. Berdasarkan
bukti yang ada telah terjadi kekacauan hukum tidak diketahui perjanjian accesoirnya yang mengikat. Dengan demikian sudah
sepatut dan sepantasnya apabila Pemohon Kasasi I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali haknya berupa seluruh agunan dari
perjanjian kredit yang dilakukan oleh Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II, dan Pemohon Kasasi II sudah sepatutnya
terbebas menurut hukum atas hutang-hutang tersebut karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian kredit yang bertentangan
dengan hukumkepentingan nasional Republik Indonesia melawan hukum, dan bahkan perjanjian kredit tersebut tidak pernah disetujui
dan dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan jis yurisprudensi No. 641 KPdt1983 tanggal 27 Juni 1996,
yurisprudensi No. 2958 KPdt1983 tanggal 11 April 1985, dan yurisprudensi No. 1750 KSip1976 tanggal 10 Desember 1981.
Karena Termohon Kasasi III secara sengaja dan sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengingkari isi
perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama dalam Akta No. 166 Notaris Mudafir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan
Fasilitas Standby Letter of Credit, tanpa diperjanjikan sebelumnya secara sepihak dan sewenang-wenang mengalihkan pengurusan
piutangnya kepada pihak ketiga Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi I, sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih
diproses dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari
sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Termohon Kasasi adalah perbuatan yang telah beritikad buruk.
Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya pacta sunt servanda dan bagi pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah
ditetapkan oleh para pihak. Karena sesungguhnya hubungan hukum dalam perjanjian
kredit yang melawan hukum hanya melibatkan para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja di Hongkong Pasal 17 dan
Pasal 6 ayat 1 Akta No. 166, dan Termohon Kasasi II maupun Termohon Kasasi I sama sekali tidak dapat membuktikan telah
memperoleh hak pengalihan pengurusan piutang, apalagi menagih berdasarkan atas dasar hukum dan bukti-bukti yang sah, dan terlebih
perjanjian kredit beserta accesoirnya telah terbukti adalah perjanjian yang bertentangan dengan hukum positif dan praktek hukum di
Republik Indonesia Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat 4, Pasal 1335, 1337, dan 1339 KUHPerdata. Secara tegas sudah dikesampingkan
oleh Termohon Kasasi III hukum positif tersebut lewat
pengakuannya di hadapan pengadilan. Di mohon kepada Majelis Hakim mengedepankan perlindungan hukum terhadap kepentingan
nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenang- wenang dirampasnya harta-harta nasional Republik Indonesia, di
kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha melakukan penyelundupan hukum di wilayah negara Republik
Indonesia sendiri dengan melibatkan keburukan moral oknum aparat-aparat negara sendiri untuk berkonspirasi membantu
kepentingan keuangan pihak swastaprivate asing dengan
menyelundupkan hukum mencampuri perjanjian utang piutang off shore loan
antar badan hukum swasta diartikan sebagai piutang negara, di dalam wilayah Republik Indonesia untuk menjarah
rakyatnya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 49Prp. Tahun 1960, cara
penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan memuat
jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti
menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara Pasal 4 ayat 2; dan mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat
dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPNBUPLN. Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan
kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara. Dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini
legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarnya telah tetap berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa PUPNBUPLN
sama sekali belum pernah membuat Surat Pernyataan Bersama, terlebih berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, secara tegas pengertian bentuk usaha-usaha negara berbentuk perusahaan
sehingga menjadi kewenangan Termohon Kasasi I berdasarkan Undang-Undang No. 49Prp Tahun 1960, hanya dibedakan terbatas
hanya dalam tiga bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan Perjan, Perusahaan Umum Perum, dan Perusahaan Perseroan Persero,
namun berdasarkan pengakuan tertulis Termohon Kasasi II sendiri dalam Jawabannya tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara
secara tegas menyatakan dan mengakui bahwa Termohon Kasasi III
sama sekali adalah badan hukum privateswasta asing yang ...didirikan dan tunduk pada ketentuan hukum Hongkong,
berdomisili di Hongkong... bukan sebagai subyek hukum
Indonesia, apalagi dikelompokkan sebagai lembagaperusahaan negara. Sehingga dengan demikian sejak awal pengurusan piutang
oleh Termohon Kasasi I tidak lagi memiliki relevansi dengan tugas dan wewenang Termohon Kasasi I sebagai badan publik untuk
melakukan pengurusan, terlebih hubungan hukum antara para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi III adalah hubungan
hukum antar badan hukum privat dalam negeri dan badan hukum privat luar negeri. Tidak dapat dicampuri begitu saja dengan
melakukan penyelundupan hukum di dalam wilayah Republik Indonesia dengan melibatkan Negara Indonesia sendiri untuk
bertindak menguasai aset-aset rakyat dalam negerinya sendiri debt collector
bagi kepentingan keuangan kreditur swasta luar negeri yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik
Indonesia. Oleh karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari
Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II bertentangan dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia, dan terdapatnya
cacat hukum, maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I secara mutatis
mutandis juga mengandung cacat hukum dan tidak memiliki
kekuatan hukum, terlebih berdasarkan bukti yang ada penyerahan piutang tersebut dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I
diragukan secara yuridis dan faktual pernah terjadi. Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
para Termohon Kasasi adalah perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Pemohon Kasasi I,
maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum onrechtmatige daad dengan segala akibat hukum
dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Karena Pemohon Kasasi I adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka
dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya,
dan tenaga bagi Pemohon Kasasi I, oleh karena itu adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan
hukum overheasdaad jo Pasal 1365 KUHPerdata.
Putusan Judex Facti memuat alasan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan onvoldoende gemotiveerd, sehingga
demi hukum patutlah untuk dibatalkan. Judex Facti s.o.r dalam menyidangkan perkara ini secara nyata telah lalai memenuhi syarat-
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan. Sesuai
Pasal 30 huruf c Undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Majelis Hakim yang memutus perkara ini di tingkat Pengadilan Negeri yang kemudian
diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam pertimbangan- pertimbangannya sama sekali tidak menyebutkan pasal-pasal
maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penolakan gugatan Pemohon Kasasi I secara tegas dan jelas Vide.
SEMA No. 3 Tahun 1974, sebagaimana
terlihat dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110Pdt.
G2005PN. Jkt. Pst halaman 49 yang selengkapnya berbunyi: Menimbang, bahwa memperhatikan segala peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perkara ini .
Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangannya, seharusnya, secara tegas mencatumkan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum putusan tersebut memuat segala alasan hukum yang menyebabkan putusan mempunyai nilai
obyektif dan selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 51 KSip1972 tanggal 25 Maret 1972: Tiap bagian dari pada
putusan pengadilan harus didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan hukum yang bersangkutan
. Dengan tidak disebutkan peraturan perundang-undangan yang pasti dalam keputusannya,
maka Majelis Hakim dianggap telah lalai memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 184 HIR jis. Pasal 178 ayat 1 HIR,
Pasal 50 Rv tentang sistematika surat putusan, dengan ancaman batalnya putusan yang bersangkutan.
Pemohon Kasasi I s.o.r keberatan terhadap Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja menyetujui dan
mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertimbangan hukum dan amar putusannya dalam memeriksa dan
mengadili perkara ini Tingkat banding. Atas pertimbangan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar, tanpa
memeriksa kembali keseluruhan bukti-bukti dan fakta-fakta
persidangan, baik fakta kejadian feitelijke maupun fakta hukum rechtelijke, dan tanpa mempertimbangkan memori banding secara
keseluruhan dengan benar, melainkan hanya dengan dasar
pertimbangan seadanya saja dan bersifat umum, sebagaimana terlihat
di dalam
pertimbangan hukum
putusan Nomor
371PDT2006 PT.DKI, Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi mencermati dengan seksama berkas perkara, salinan resmi
putusan Pengadilan
Negeri Jakarta
Pusat No.
110Pdt.G2005PN.JKT.PST..., Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tingkat pertama
dalam memutus perkara in casu, karenanya pertimbangan- pertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambilalih
sebagai pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara in casu di tingkat banding, Menimbang, bahwa memori
banding yang diajukan para pembanding ternyata tidak ada hal-hal yang baru yang dapat melemahkan putusan hakim tingkat pertama,.
Jelas, pertimbangan hokum itu keliru, sehingga demi hukum patutlah untuk dibatalkan karena tidak sejalan dan sangat
bertentangan dengan: Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1043 KSip1972 tanggal 30 November 1972, yang menyatakan: Dengan
diajukan permohonan banding oleh pemohon, maka perkara demi hukum harus diperiksa dalam keseluruhan
; Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 672 KSip1972 tanggal 18 Oktober 1972 yang menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan
karena kurang cukup pertimbangan ; dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No. 492 KSip1970 tanggal 16 Februari 1970 yang menyatakan: Pertimbangan Pengadilan Tinggi hanya mengenai
soal mengenyampingkan keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori banding dan selanjutnya dengan tidak memeriksa baik
mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal penerapan hukumnya terus saja menguatkan putusan Pengadilan Negeri begitu
saja, hal mana menurut pendapat Mahkamah Agung selain kurang tepat juga kurang cukup memberi dasar onvoldoende gemotiveerd
untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri .
Karena Memori Kasasi ini diajukan berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang otentik yang tidak terbantah kebenarannya karena
sudah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi Ill dan Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan sehingga memenuhi Pasal 180 HIR dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000.
Karena adanya
kekhawatiran selama
perkara ini
berlangsung,Termohon Kasasi I atas permintaan Termohon Kasasi II beritikad buruk akan melakukan eksekusi dan menguasai atas aset-
aset milik Pemohon Kasasi I sehubungan dengan Perjanjian Hutang Piutang antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III,
padahal dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI No.
KMA198XII1991 tanggal 12 Desember 1991 telah menangguhkan eksekusi atas aset-aset para Pemohon Kasasi tersebut, maka
sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu uitvoorbaar bij voorraad. Pemohon
Kasasi I untuk selebihnya tetap pada dalil-dalil semula dan menolak seluruh dalil-dalil para Termohon Kasasi kecuali yang secara tegas
diakui kebenarannya. Memori Kasasi Pemohon Kasasi II, mengenai Penerapan
Hukum Acara. Terhadap seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi, hingga saat ini sama sekali tidak pernah
dihadiri meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut, dibantah dan disangkal seluruh dalil-dalil para Pemohon Kasasi ajukan
selama proses persidanganberacara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta oleh Termohon Kasasi III
selaku kreditur asing yang memiliki hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi dalam perjanjian kredit yang melawan
hukum Republik Indonesia termasuk dalam pengalihannya, atau dengan perkataan lain telah terbukti Termohon Kasasi III telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Karena Termohon Kasasi II telah menggunakan Surat Kuasa Khusus fiktif No. 057SK.CHC2005 yang tidak pernah didaftarkan
dan diperlihatkan di muka sidang yang terbuka untuk umum berdasarkan pengakuannya sendiri di hadapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat lewat Dupliknya tertanggal 26 September 2005 dengan secara tegas menyatakan sendiri dalam eksepsinya: ... untuk
beracara di pengadilan tidak mengatur keharusan suatu Surat Kuasa Khusus untuk beracara didaftarkan
.; dan SEMA No. 31P169M1959 tidak mensyaratkan adanya keharusan untuk
mendaftarkan surat kuasa. Di mana sesungguhnya SEMA yang didalilkan Termohon Kasasi II ini demi hukum sudah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1971.
Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan persidangan
berdasarkan Pasal 174 HIR jo. Pasal 1925
KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Jawaban, duplik, pembuktian, dan kesimpulan yang dibuat,
ditandatangani dan diajukan oleh kuasa hukum Termohon Kasasi II bersumber dari kewenangan hukumlegal standing yang fiktif,
Secara materiil tidak mungkin suatu badan hukum seperti PT. Bank Mandiri Persero Tbk dapat tampil beracara di pengadilan tanpa
diwakilidiwakili dengan Surat Kuasa Khusus fiktif dan untuk dapat diwakili oleh kuasanya yang sah seharusnya terlebih dahulu dibuat,
didaftarkan, dan diperlihatkan Surat Kuasa Khusus di hadapan pengadilan agar sah berdasarkan Pasal 123 ayat 1 HIR jo. Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No. 296
KSip1970 tanggal 09 Desember 1970. Oleh karena Termohon Kasasi II dianggap tidak mengajukan
I menggunakan haknya berdasarkan Surat Kuasa Khusus fiktif di pengadilan dan tidak hadir secara sah untuk membantah dan
menyangkal gugatan yang diajukan para Pemohon Kasasi, sehingga dengan demikian telah terbukti Termohon Kasasi II telah
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi dalam seluruh gugatannya,
sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Karena Termohon Kasasi I juga melepaskan haknya dalam mengajukan Kontra Memori Banding kepada Pengadilan Tinggi
Jakarta sebagai keberatannya terhadap hal-hal yang diajukan para Pemohon Kasasi dalam Memori Bandingnya, dengan demikian telah
terbukti Termohon Kasasi I telah membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi
dalam Memori Bandingnya, sehingga dengan demikian patut dan wajarlah demi hukum untuk dikabulkan seluruhnya.
Penerapan Teknis Yuridis. Judex Facti
telah salah menerapkan hukum atau melanggar hukum berlaku. Pemohon
Kasasi II s.o.r
keberatan terhadap amar putusan Nomor 371PDT2006PT. DKI tersebut yang menguatkan pertimbangan-
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 110PdtG2005PN. Jkt. Pst, karena secara nyata Judex Facti
putusan Nomor 110PdtG2005PN. Jkt. Pst dalam pertimbangan- pertimbangan hukumnya tidak menggunakan satupun dasar hukum
positif apapun yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana sudah dan pernah diterapkan berulang-ulang sehingga
menjadi yurisprudensi tetap dalam memeriksa dan memutus perkara a quo
. Dengan demikian terhadap putusan Judex Facti yang hanya berdasarkan spekulasi logika sepihak dengan tanpa didukung adanya
dasar legalitas yuridis dan bukti otentik dalam menjawab permasalahan hukum dalam pokok perkara yang diajukan Pemohon
Kasasi I ajukan. Pengalihan secara melawan hukum pengurusan piutang tanpa akta apapun antar badansubyek hukum yang berbeda
dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I.
Keabsahan perjanjian kredit itu sendiri yang sudah diakui oleh Termohon kasasi III sebagai kreditur berbadan hukum privat
asing di hadapan Pengadilan, sebagai perjanjian yang melawan hukum di wilayah Republik Indonesia, sudah sepatut dan
sepantasnya demi hukum seluruh pertimbangan hukum di dalam putusan tersebut dibatalkan.
Judex Facti dalam putusannya telah salah menerapkan
hukum dan melampaui kewenangannya dalam mempertimbangkan sesuatu hal yang pokok tanpa didasari atau didukung oleh sesuatu
alat bukti, Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110Pdt.G2005PN.Jkt.Pst halaman 47 alinea 3
dan halaman 48 alinea 1 yang telah diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, mengkonstantir kewenangan pengalihan pengurusan piutang
dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II menjadi sah sesuai hukum, hanya didasarkan, Surat kuasa dari Termohon Kasasi
III kepada Muda Siregar Siagian Kepala Urusan Luar Negeri ex Bank Bumi Daya, sekarang menjadi Termohon Kasasi II, terbatas
hanya pada saat itu untuk mengadakan perjanjian kredit saja, telah dipahami berwenang dalam arti seluas-Iuasnya mengambilalih
perjanjian kredit tanpa batas waktu. Bukti berupa foto copy yang tanpa ditunjukkan dokumen
aslinya dan bukti surat di
bawah tangan yang kekuatan
pembuktiannya bebas yang tidak dapat menyangkal. Isi akta otentik bahwa para pihak di dalam perjanjian kredit melawan hukum
tersebut hanyalah para Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi III
saja sebagaimana telah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi II dalam Akta Bukti.
Dalil kepemilikan saham Termohon Kasasi III oleh Termohon Kasasi II, di mana tidak pernah terbukti di persidangan
satupun saham modal kekayaan Termohon Kasasi III sebagai badan hukum swasta murni private yang tunduk pada Chapter 32
Companies Ordinance Hongkong, berasal dari Termuhon Kasasi II
apalagi berasal dari negarabank Indonesia. Berdasarkan hukum positif Pasal 613 ayat 1 KUHPerdata,
setiap pengalihan piutang antar dua subyek hukum yang berbeda haruslah dilakukan dengan akta cessie, sedangkan berdasarkan
pengakuan berulang-ulang Termohon Kasasi II sendiri di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pengurusan kredit melawan hukum
milik Termohon Kasasi yang dilakukannya pengalihannya hanyalah berasal dari penarikan I repatriasi secara sepihak saja tanpa adanya
persetujuan pihak debitur sebagai para pihak di dalam perjanjian tersebut sebelumnya:
Jawaban tanggal 22 Agustus 2005 dalam pokok perkara: ...PT Bank Bumi Daya Persero selaku pemilik Tergugat III
mengambil langkah-Iangkah pengamanan dan penyelamatan antara
lain menarikmengambilalih piutang ; dan Duplik tanggal 26
September 2005: dalam eksepsi: ... repatriasi kredit Penggugat II oleh Tergugat III kepada Tergugat II
...; dalam pokok perkara: ... kedudukan Tergugat III demi hukum telah digantikan oleh Tergugat
II yaitu dengan adanya repatriasi kredit dan ...; Kontra Memori
Banding tanggal 31 Agustus 2006. ... maka piutang tersebut ditarik ke Bank Bumi Daya. .
.. Pengakuan tertulis Termohon Kasasi II di hadapan
persidangan berdasarkan Pasal
174 HIR jo. Pasal 1925
KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, bahwa secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan
pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik Termohon Kasasi III yang dilakukannya, hanyalah berasal dari
penarikan repatriasi secara sepihak saja tanpa didukungdibuktikan adanya. Akta pengalihan pergantian posisi kreditur dari Termohon
Kasasi III selaku pemilik kredit melawan hukum yang mempunyai hubungan hukum langsung dengan para Pemohon Kasasi. Dokumen
asli dalam pembuktian, tentang terjadinya repatriasi kredit yang diajukan oleh Termohon Kasasi II sebagai bukti hanyalah dokumen
fax yang difoto copy yang tidak terbaca samar-samar dan tidak
secara sah dilengkapisesuai dengan dokumen aslinya maupun kertas faxnya sendiri, sehingga dengan demikian sudah sepatut dan
sewajarnya demi hukum majelis hakim menolak tidak mempercayai bukti dan dalil-dalil repatriasi tersebut, karena hanya didukung
berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata jo. putusan
Mahkamah Agung RI No. 701 KISip1974 tanggal 14 April 1976. Kekuatan pembuktian suatu tulisan terletak pada akta aslinya.
Sehingga sudah sepatut dan sepantasnya demi hukum terhadap tindakan debt collector yang seolah-olah mempunyai kewenangan
hukum sepihak dengan melakukan penyelundupan hukum tersebut dengan demikian tidak perlu memperoleh perlindungan hukum.
Selain secara tegas Termohon Kasasi II mengakui di hadapan pengadilan bahwa pengurusan kredit melawan hukum milik
Termohon Kasasi III yang dilakukannya hanyalah berasal dari penarikan repatriasi secara sepihak saja, Termohon Kasasi II dalam
Pembuktiannya tanggal 24 Oktober 2005, secara a contrario dan berulang-ulang juga telah mengakui sendiri di hadapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat bahwa hubungan hukum yang mengikat dalam perjanjian kredit hanyalah berlaku antara para Pemohon Kasasi
dengan Termohon Kasasi III saja, yaitu: Bukti: Penggugat II dan Tergugat III adalah subyek hukum dalam Perjanjian Kredit dan
Fasilitas Standby LC .; Bukti: Sesuai akta tersebut Sdr. Sino
Sandjaja Penggugat I dengan persetujuan Ny. Linda Effendi istrinya telah mengikatkan dirinya sendiri untuk menjamin
pengembalian fasilitas kredit Penggugat II yang diterima dari Tergugat III
. Pengakuan tertulis berulang-ulang dari Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan berdasarkan Pasal 174 HIR jo.
Pasal 1925 KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna. Judex Facti
dalam putusannya telah salah menerapkan hukum, karena selain mengabaikan legalitas yuridis syarat sah
pengalihan pengurusan piutang dengan formalitas suatu akta, Judex Facti
dalam pertimbangan hukumnya juga telah menutup mata terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di
dalam proses pengalihanpengurusan piutang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II, dan dari Termohon Kasasi II kepada
Termohon Kasasi I. Pengalihan piutang tersebut dilakukan oleh Termohon Kasasi
III kepada Termohon Kasasi II ketika obyek hutang piutang yang menjadi pokok persengketaan sedang masih dalam proses sengketa
yang sedang berjalan status quo dengan melibatkan subjek yang sama dan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum yang
tetap dan pasti di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan rool perkara No: 15PdtBth1991PN.JKT.BAR, dan telah ditangguhkan
eksekusinya dengan surat Penangguhan Eksekusi dari Ketua Mahkamah Agung RI dengan No. KMA198XII1991, tertanggal 12
Desember 1991, sampai perkara bantahan No. 15Pdt1991bth diputus dan in kracht van gewijsde. Adalah rancu terhadap suatu
perkara yang legalitasnya masih berproses status quo diciptakan hubungan hukum baru.
Melanggar asas kepribadian berdasarkan Pasal 1340 ayat 1 KUHPerdata jo. Pasal 1315 KUHPerdata, ditegaskan suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya saja, yaitu dalam hal ini Termohon Kasasi III dengan para Pemohon
Kasasi saja. Dengan demikian pengalihan penagihan piutang dalam
perkara tersebut oleh Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I adalah
perbuatan pengingkaran kesepakatan perjanjian, yang dengan ancaman perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum Pasal 1320
ayat 1 KUHPerdata, dan tidak mempunyai konsekuensi yuridis dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak sebelumnya.
Piutang yang dialihkan adalah perjanjian kredit dan accesoir
nya yang tidak halal dan melanggar hukum negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat 4
KUHPerdata. Melanggar Pasal 1173 KUH Perdata, Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Pasal 2 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972, Pasal 5 ayat 2 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, dan Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261MKIV51973 tanggal 03 Mei 1973, KUHPerdata Pasal: 1320 ayat 4, 1335, 1337,
dan 1339; Terdapat bukti palsu dalam proses pengalihan pengurusan
kredit dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, hal ini didasarkan fakta dan realita hukum terhadap 1 satu piutang
terdapat 2 dua surat penyerahan pengurusan piutang yang berbeda dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I, yaitu:
Bukti bahwa Termohon Kasasi I telah mengakui dalam suratnya bahwa: ... PT. Bank Mandiri Persero Credit Recovery
Group dengan surat No. CRYDept.l2782004 tanggal 20 Desember 2004 telah menyerahkan pengurusan piutang..
, akan tetapi di dalam bukti lainnya bahwa Termohon Kasasi I menyatakan: Surat
Penyerahan PT. Bank Mandiri Persero Ex PT. Bank Bumi Daya Persero Nomor: CRYDept.IV2782004 tanggal 13 Desember
2004.” Terhadap bukti yang berbeda nomor dan tanggalnya tersebut
sama sekali tidak diajukan bukti pendukung apapun dari Termohon Kasasi II selaku pihak yang menyerahkan piutang kepada Termohon
Kasasi I, sehingga dengan demikian sesungguhnya secara yuridis prosedural sejak semula tidak pernah terjadi penyerahan piutang dari
Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I. Judex Facti
dalam putusannya telah salah menerapkan hukum, dengan pandangan tidak perlu lagi mempertimbangkan sah
tidaknya perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III di dalam pertimbangan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 110Pdt.G2005PN.Jkt. Pst yang telah diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, karena secara legalistik
yuridis gugatan
para Pemohon
Kasasi tidak
pernah dibantahdisangkal dan bahkan telah diakui sendiri di hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat oleh Termohon Kasasi III sebagai kreditur asing yang mempunyai hubungan hukum langsung dan
terlibat dalam perjanjian kredit bahwa Akta Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit Nomor: 166 tanggal 20 Maret
1989, yang dibuat di hadapan Mudofir Hadi, SH. Notaris di Jakarta, dengan kuasa memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian
Jaminan Borgtocht No. 170, adalah perjanjian-perjanjian yang. Mengandung kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan
didalam Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata, dengan demikian sudah seharusnya akta notaris tersebut beserta hipotiknya menjadi
perjanjian yang cacat hukum dan haruslah dibatalkan serta tidak mempunyai kekuatan hukummelawan
hukum di Republik Indonesia; dan terdapat dua Akta Borgtocht yang tidak secara jelas
dan tegas mencampuradukkan penerapan dua akta perjanjian accesoir
terhadap satu
perjanjian pokok
sehingga telah
menimbulkan kekacauan hukum perjanjian accesoir yang mana yang mengikat.
Adapun kausa yang tidak halal sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata tersebut adalah sebagai
berikut. Dalam Pasal 1173 KUHPerdata jelas-jelas menyatakan bahwa tidak bolehtidak dibenarkan berdasarkan suatu persetujuan
yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di
dalam sesuatu traktat telah ditentukan sebaliknya jis yurisprudensi No. 1695 KPdt1984 tanggal 23 Mei 1986, yurisprudensi No. 641
KPdt1993 Tanggal 27 Juni 1996, secara tegas dinyatakan: Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang Asing
tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah
Indonesia, dengan demikian
Termohon Kasasi III sebagai pihak asing tidak berhak melakukan suatu hubungan hukum dengan jaminan melibatkan obyek-obyek
yang berada di wilayah Republik Indonesia, terlebih Termohon Kasasi III adalah suatu badan hukum swasta luar negeri berstatus
private yang didirikan dan berkedudukan hukum di luar negeri
Hongkong, serta tidak mempunyai domisili wilayah Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Akta No. 166 Notaris Mudofir
Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of
Credit dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169,
dan Pemberian Jaminan Borgtocht No. 170 menjadi batalmemuat syarat batal.
Perjanjian kredit tersebut bertentangan dengan perundang- undangan Republik Indonesia, yaitu perjanjian tersebut dibuat untuk
tunduk kepada hukum yang berlaku di negara Hongkong Pasal 17, sehingga dapat dipersamakan dengan suatu persetujuan yang dibuat
di suatu negeri asing, terlebih di dalam perjanjian kredit itu sendiri terdapat pengakuan dari Termohon Kasasi III akan yurisdiksi hukum
negara Hongkong untuk mengadakan kegiatan pengurusan piutang tersebut dengan Pemohon Kasasi II, yaitu di dalam Pasal 6 ayat 1,
Akta No. 166 Notaris Mudofir Hadi berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, yang menyatakan:
Pengambilan atau penyetoran uang dapat dilakukan oleh debitur di kantor kreditur, yaitu di Hongkong, pada tiap-tiap hari kerja pada
jam-jam dibukanya kas dari kreditur itu untuk umum atau dengan cara lain sesuai dengan kebiasaan yang ada
; Perjanjian kredit tersebut dibuat oleh Kreditur Termohon
Kasasi III berbadan hukum asing Hongkong yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia,
sehingga sudah sepatut dan sepantasnya setiap badan hukum asing yang tidak mempunyaidomisili hukum di wilayah Republik
Indonesia dinyatakan tidak mempunyai legitimasi hukum di wilayah Republik
Indonesia, dan
dinyatakan tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap setiap perbuatannya:
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi
III belum pernah diberitahukan dan didaftarkan kepada Bank Indonesia selaku pengawas otoritas moneter tertinggi di Republik
Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 59 tanggal 23 Juni 1972, yang mengharuskan semua penerimaan kredit luar negeri baik dalam hubungan
penanaman modal asing maupun dalam hubungan lainnya sebelum ditandatangani oleh pihak-pihak harus dilaporkan terlebih dahulu
kepada Bank Indonesia untuk dipelajari; Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dibuat antara
Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III belum pernah diberitahukan kepada Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat
2 Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972 dan Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. KEP-261MKIV51973
tanggal 03 Mei 1973, yang mewajibkan melaporkan semua penerimaan dan pelaksanaan kredit luar negeri dari setiap
perusahaan swasta kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, yang dimulai dari tanggal efektif berlakunya perjanjian
dan setiap tiga bulan sekali sejak tanggal efektifnya perjanjian kredit berlaku.
Penerapan secara mutlak lex specials derogat legi generali Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59
Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP- 261MKIV51973, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 59 tanggal 23 Juni 1972, telah diterima menjadi ajaran hukum yang tetap oleh beberapa putusan Mahkamah Agung yang sudah
diterapkan secara berulang-ulang berdasarkan yurisprudensi No. 2958 KPdt1983 tanggal 15 April 1985 jis. yurisprudensi No. 641
KPdt1993 tanggal 27 Juni 1996, dan yurisprudensi No. 1750 KSip1976 tanggal 10 Desember 1981, yang menegaskan:
Dengan tidak dipenuhinya laporan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan merupakan suatu pelanggaran hukum, sehingga
perjanjian yang melanggar peraturan pemerintah tersebut adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum apapun.
Pemenuhan kewajiban penerapan pelaporan secara mutlak lex specials derogat legi generali sebagai kaidah hukum positif
yang berlaku di wilayah Republik Indonesia, secara tegas dan nyata kewajiban tersebut oleh Termohon Kasasi III sebagai badan hukum
swasta asing telah disangkal dan dikesampingkan penerapannya lewat dua kali pengakuan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan memutus perkara No. 15PdtBth1991PN.JKT.BAR.
Duplik tanggal 01 Desember 1992 menyatakan: ... ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa perjanjian ini tunduk
kepada hukum yang belaku di Hongkong. Sedangkan menurut ketentuan hukum di Hongkong tidak ada ketentuan untuk
melaporkan ...; dan kesimpulan tanggal 08 April 1993, yang
menyatakan: Sementara itu, menurut hukum yang berlaku di Hongkong tidak ada kewajiban untuk melapor seperti itu, i.c. ke
Bank Indonesia. Adalah
jelas merupakan
suatu penghinaan
dan kesewenangan terhadap kaidah hukum yang berlaku di Republik
Indonesia. Sehingga dengan demikian sudah sepatut dan
sepantasnya terhadap Termohon Kasasi III yang sama sekali tidak mau mengakui eksistensi hukum positif yang berlaku di wilayah
Republik Indonesia akan tetapi mau membuat hubungan hukum dengan melibatkan subyek dan obyek di dalam wilayah Indonesia,
oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara secara bertimbalbalik haruslah ikut dikesampingkan juga segala eksistensi
keabsahan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan semua perjanjian accesoirnya, karena Termohon Kasasi III secara tegas
telah membuat perjanjian kredit yang cacat hukum, yaitu dengan sengaja tidak menghormati hukum yang berlaku di Republik
Indonesia di bawah hukum yang berlaku di Hongkong. Berdasarkan dengan tidak dipenuhinya syarat, maka sebagai
konsekuensi yuridis kami mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara berdasarkan ketentuan umum:
Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata: “Suatu perjanjian harus mempunyai tujuan yang diperbolehkansebab yang halal”
; Pasal 1335
KUHPerdata: “Perjanjian
yang tujuansebab
tidak diperbolehkan tidak mempunyai kekuatan hukum”
; Pasal 1337 KUHPerdata: ”Suatu sebab adalah terlarang apabila persetujuan
itu melanggar undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”
; dan Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang,”menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun juga Akta Notaris Mudofir Hadi No. 166: Perjanjian
Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit dengan kuasa untuk memasang Hipotik No. 167, 168, 169, dan Pemberian Jaminan
Borgtocht No. 170, karena perjanjian tersebut mengandung kausa yang terlarang, yaitu dalam hal ini perjanjian tersebut tidak
mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang melawan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Karena sudah jelas perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang dibuat antara Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II
adalah perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena mengandung kausasebab yang terlarang karena perjanjian kredit
tersebut yang dibuat sebagai perikatan pokok yang dengan segala akibat hukumnya tunduk kepada domisili dan yurisdiksi hukum
negara Hongkong dengan sengaja mengesampingkan kaidah-kaidah
hukum positif di wilayah Republik Indonesia Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata jo. Pasal 1173 KUHPerdata, maka secara otomatis
dengan sendirinya tidak mungkin terdapat suatu perjanjian
pemberian jaminan yang bersifat accesoir yang sah berdasarkan Pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata, yang menentukan: Tidak mungkin
ada pemberian jaminan jika tidak ada suatu perjanjian pokok yang sah
, apalagi sesungguhnya berdasarkan bukti yang ada telah terjadi kekacauan hukum tidak diketahui perjanjian accesoirnya yang
mengikat. Dengan demikian sudah sepatut dan sepantasnya apabila Pemohon Kasasi I sebagai penjamin hutang mendapatkan kembali
haknya berupa seluruh agunan dari perjanjian kredit yang dilakukan oleh Termohon Kasasi III dengan Pemohon Kasasi II, dan Pemohon
Kasasi II sudah sepatutnya terbebas menurut hukum atas hutang- hutang tersebut karena hutang tersebut dibuat atas dasar perjanjian
kredit yang bertentangan dengan hukumkepentingan nasional Republik Indonesia melawan hukum, dan bahkan perjanjian kredit
tersebut tidak pernah disetujui dan dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Menteri Keuangan jis yurisprudensi No. 641
KPdt1983 tanggal 27 Juni 1996, yurisprudensi No. 2958
KPdt1983 tanggal 11 April 1985, dan yurisprudensi No. 1750 KSip1976 tanggal 10 Desember 1981.
Karena Termohon Kasasi III secara sengaja dan sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengingkari
terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama yang dituangkan dalam Akta No. 166 Notaris Mudafir Hadi
berbentuk Perjanjian Kredit dan Fasilitas Standby Letter of Credit, dengan tanpa diperjanjikan sebelumnya secara sepihak dan
sewenang-wenang mengalihkan pengurusan piutangnya kepada pihak ketiga Termohon Kasasi II dan Termohon Kasasi I,
sementara kejelasan mengenai piutangnya sendiri masih diproses dalam perkara yang hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum
yang tetap dan pasti, maka jelaslah dipandang dari sisi kaca mata hukum yang berlaku di Indonesia, perbuatan para Termohon Kasasi
adalah perbuatan yang telah beritikad buruk yang bertentangan dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, di mana ditegaskan:
Suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya pacta sunt servanda dan bagi
pihak ketiga harus menghormati dan tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak.”
Karena sesungguhnya hubungan hukum dalam perjanjian kredit yang melawan hukum hanya melibatkan para Pemohon
Kasasi dengan Termohon Kasasi III saja di Hongkong Pasal 17 dan Pasal 6 ayat 1 Akta No. 166, dan Termohon Kasasi II maupun
Termohon Kasasi I sama sekali tidak dapat membuktikan telah memperoleh hak pengalihan pengurusan piutang apalagi menagih
berdasarkan atas dasar hukum dan bukti-bukti yang sah, dan terlebih perjanjian kredit beserta accesoirnya telah terbukti adalah perjanjian
yang bertentangan dengan hukum positif dan praktek hukum di Republik Indonesia Pasal 23 AB, Pasal 1320 ayat 4, Pasal 1335,
1337, dan 1339 KUHPerdata, dan di mana secara tegas sudah dikesampingkan oleh Termohon Kasasi III hukum positif tersebut
lewat pengakuannya di hadapan pengadilan, maka kami mohon kepada majelis Hakim yang terhormat agar mengedepankan
perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Republik Indonesia demi mencegah dengan sewenang-wenang dirampasnya
harta-harta nasional Republik Indonesia di kemudian hari oleh bangsa asing manapun juga dengan berusaha
melakukan penyelundupan hukum di wilayah negara Republik Indonesia sendiri
dengan melibatkan keburukan moral oknum aparat-aparat negara
sendiri untuk berkonspirasi membantu kepentingan keuangan pihak swastaprivate asing dengan menyelundupkan hukum mencampuri
perjanjian utang-piutang off shore loan antar badan hukum swasta diartikan sebagai piutang negara, di dalam wilayah Republik
Indonesia untuk menjarah rakyatnya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 49Prp. Tahun 1960 cara
penyelesaian piutang negara menurut Undang-Undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara harus dilakukan dengan: Memuat
jumlah hutang dan kewajiban debitur yang besarannya telah pasti menurut hukum untuk menyelesaikan hutang kepada negara Pasal 4
ayat 2; dan Mengadakan Surat Pernyataan Bersama yang dibuat dan ditandatangani oleh Debitur dan Ketua PUPNBUPLN.
Pernyataan Bersama ini memuat jumlah hutang debitur dan kewajiban debitur untuk menyelesaikan hutang kepada negara Pasal
10. Dengan belum diperolehnya kepastian hingga saat ini
legalitas jumlah dan kewajiban debitur yang besarnya telah tetap berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan pasti, dan dalam penagihan piutang yang saat ini dalam sengketa PUPNBUPLN
sama sekali belum pernah membuat Surat
Pernyataan Bersama, terlebih berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, secara
tegas pengertian bentuk usaha-usaha negara berbentuk perusahaan, sehingga menjadi kewenangan Termohon Kasasi I berdasarkan
Undang-Undang No. 49Prp Tahun 1960, hanya dibedakan terbatas hanya dalam 3 tiga bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan Perjan,
Perusahaan Umum Perum, dan Perusahaan Perseroan Persero, namun berdasarkan pengakuan tertulis Termohon Kasasi II sendiri
dalam Jawabannya tanggal 22 Agustus 2005, secara tegas
menyatakan dan mengakui bahwa Termohon Kasasi III sama sekali adalah badan hukum privateswasta asing yang ...didirikan dan
tunduk pada ketentuan hukum Hongkong, berdomisili di Hongkong
... bukan sebagai subyek hukum Indonesia, apalagi dikelompokkan sebagai lembagaperusahaan negara, sehingga
dengan demikian sejak awal pengurusan piutang oleh Termohon Kasasi I tidak lagi memiliki relevansi dengan tugas dan wewenang
Termohon Kasasi I sebagai badan publik untuk melakukan pengurusan, terlebih hubungan hukum antara para Pemohon Kasasi
dengan Termohon Kasasi III adalah hubungan hukum antar badan hukum privat dalam negeri dan badan hukum privat luar negeri,
yang tidak dapat dicampuri begitu saja dengan melakukan penyelundupan hukum di dalam wilayah Republik Indonesia dengan
melibatkan Negara Indonesia sendiri untuk bertindak menguasai aset-aset rakyat dalam negerinya sendiri debt collector bagi
kepentingan keuangan kreditur swasta luar negeri yang tidak mempunyai domisili hukum di wilayah Republik Indonesia.
Karena pengalihan piutang sewenang-wenang dari Termohon Kasasi III kepada Termohon Kasasi II bertentangan dengan hukum
yang berlaku di Republik Indonesia dan terdapatnya cacat hukum, maka penyerahan pengurusan penagihan piutang dari Termohon
Kasasi II kepada Termohon Kasasi I secara mutatis mutandis juga mengandung cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum,
terlebih berdasarkan bukti yang ada penyerahan piutang tersebut dari Termohon Kasasi II kepada Termohon Kasasi I diragukan secara
yuridis dan faktual pernah terjadi. Jelas dan tegas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
para Termohon Kasasi adalah perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasar hukum dan sangat merugikan Pemohon Kasasi II,
maka perbuatan mereka jelas dan nyata sebagai perbuatan yang melawan hukum onrechtmatige daad dengan segala akibat hukum
dari padanya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Oleh karena Pemohon Kasasi II adalah Badan Hukum yang memerlukan kredibilitas yang baik di mata masyarakat umum, maka
dalam menanggapi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi, telah mengakibatkan kerugian waktu, biaya,
dan tenaga bagi Pemohon Kasasi I, oleh karena itu adalah wajar apabila terhadap perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan
hukum overheasdaad jo Pasal 1365 KUHPerdata. Putusan Judex Facti memuat alasan yang tidak lengkap atau
kurang cukup pertimbangan onvoldoende gemotiveerd, sehingga demi hukum patutlah untuk dibatalkan. Judex Facti s.o.r dalam
menyidangkan perkara ini secara nyata telah lalai memenuhi syarat- syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan, sesuai dengan bunyi Pasal 30 huruf c Undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan perubahannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung karena Majelis Hakim yang memutus perkara ini di tingkat Pengadilan
Negeri yang kemudian diambilalih Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam
pertimbangan-pertimbangannya sama sekali tidak menyebutkan pasal-pasal maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum penolakan gugatan Pemohon Kasasi II secara tegas dan jelas Vide. SEMA No. 3 Tahun 1974, sebagaimana terlihat dalam
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110Pdt. G2005PN. Jkt. Pst. Menimbang, bahwa memperhatikan segala
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini
. Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangannya
seharusnya secara tegas mencantumkan peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum putusan tersebut memuat
segala alasan hukum yang menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif dan selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
51 KSip1972 tanggal 25 Maret 1972: Tiap bagian dari pada putusan pengadilan harus didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan hukum yang bersangkutan . Dengan tidak disebutkan
peraturan perundang-undangan yang pasti dalam keputusannya, maka Majelis Hakim dianggap telah lalai memenuhi syarat-syarat
yang tercantum dalam Pasal 184 HIR jis. Pasal 178 ayat 1 HIR,
Pasal 50 Rv tentang sistematika surat putusan, dengan ancaman batalnya putusan yang bersangkutan.
Pemohon Kasasi II s.o.r keberatan terhadap Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta yang begitu saja menyetujui dan
mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagai pertimbangan
hukum dan amar putusannya dalam memeriksa dan mengadili perkara ini Tingkat banding, atas dasar
pertimbangan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar, tanpa memeriksa kembali keseluruhan bukti-bukti dan
fakta-fakta persidangan, baik fakta kejadian feitelijke maupun fakta hukum rechtelijke, dan tanpa mempertimbangkan memori banding
secara keseluruhan dengan benar, melainkan hanya dengan dasar pertimbangan seadanya saja dan bersifat umum, sebagaimana
terlihat di
dalam pertimbangan
hukum putusan
Nomor 371PDT2006 PT.DKI. Menimbang, bahwa setelah Pengadilan
Tinggi mencermati dengan seksama berkas perkara, salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 110Pdt. G2005PN.
JKT. PST., Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan- pertimbangan hukum hakim tingkat pertama dalam memutus perkara
in casu, karenanya pertimbangan- pertimbangan hukum hakim
tingkat pertama tersebut diambilalih sebagai pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara in casu di tingkat
banding. Menimbang, bahwa memori banding yang diajukan para pembanding ternyata tidak ada hal-hal yang baru yang dapat
melemahkan putusan hakim tingkat pertama. Adalah jelas pertimbangan hukum yang keliru, sehingga
demi hukum patutlah untuk dibatalkan karena tidak sejalan dan sangat bertentangan dengan. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No. 1043 KSip1972 tanggal 30 November 1972, yang menyatakan: Dengan diajukan permohonan banding oleh pemohon, maka
perkara demi hukum harus diperiksa dalam keseluruhan.
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 672 KSip1972 tanggal 18 Oktober 1972 yang menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi harus
dibatalkan karena kurang cukup pertimbangan .
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 492 KSip1970 tanggal 16 Februari 1970
yang menyatakan: Pertimbangan Pengadilan Tinggi hanya
mengenai soal mengenyampingkan keberatan-keberatan yang
diajukan dalam memori banding dan selanjutnya dengan tidak memeriksa baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal
penerapan hukumnya terus saja menguatkan putusan Pengadilan
Negeri begitu saja, hal mana menurut pendapat Mahkamah Agung selain kurang tepat juga kurang cukup memberi dasar onvoldoende
gemotiveerd untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri .
Karena Memori Kasasi ini diajukan berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang otentik yang tidak terbantah kebenarannya karena
sudah diakui sendiri oleh Termohon Kasasi Ill dan Termohon Kasasi II di hadapan pengadilan sehingga memenuhi Pasal 180 HIR dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000. Karena adanya kekhawatiran selama perkara ini berlangsung
Termohon Kasasi I atas permintaan Termohon Kasasi II beritikad buruk akan melakukan eksekusi dan menguasai atas aset-aset milik
Pemohon Kasasi I sehubungan dengan Perjanjian Hutang Piutang antara Pemohon Kasasi II dengan Termohon Kasasi III, padahal
dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA198XII1991 tanggal 12 Desember 1991 telah menangguhkan eksekusi atas aset-
aset para Pemohon Kasasi tersebut, maka sangatlah beralasan hukum putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
uitvoorbaar bij voorraad.
Pemohon Kasasi II untuk selebihnya bertetap pada dalil-dalil semula dan menolak seluruh dalil-dalil para Termohon Kasasi
kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya. Terhadap
alasan-alasan tersebut
Mahkamah Agung
berpendapat: Alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti
tidak salah menerapkan hukum. Menurut MA pengalihan piutang dari Tergugat III ke Tergugat II kemudian
dialihkan ke Tergugat I tidak menyalahi ketentuan yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 karenanya
pada Tergugat I, II, dan III tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu,
kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan, dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum danatau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Sino Sandjaya dan kawan tersebut harus ditolak.
Karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi ditolak, maka para Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang- undangan lain yang bersangkutan. Mengadili: Menolak permohonan
kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. Sino Sandjaja dan 2. PT. Sedjati Internusa Overseas, tersebut; dan menghukum para Pemohon
Kasasipara Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah.
3.1.e. Putusan Nomor 1695 KPdt1984
Kasus dalam putusan ini terjadi antara Wilopo Tjakradinata v Th. J. Korzaan warga negara Belanda. Kaedah dalam putusan ini
secara tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan
bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.”
3.1.f. Putusan Nomor 641 KPdt1993
Kaedah dalam putusan ini secara tegas menyatakan bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing
tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.”
Dalam Putusan MA RI No. 641.KPdt1993 tanggal 27 Juni 1993, MA RI memutuskan bahwa grosse akte hipotek dengan irah-
irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, tentang eksekusinya tidak selalu dengan sendirinya harus dikabulkan oleh pengadilan, apalagi kalau masalah
kreditnya masih merupakan kredit bermasalah, sebab secara bersamaan debitur mengajukan gugatan terhadap kreditur untuk
membatalkan credit agreement yang pernah dibuat. Eksekusi grosse akte hipotek ditundaditangguhkan sampai adanya putusan
berkekuatan hukum tetap atas gugatan perdata tentang sah tidaknya credit agreement
, karena hipotek yang dipasang adalah accessoir terhadap credit agreement tersebut.
Dalam putusannya No. 641.KPdt1993 tanggal 27 Juni 1993, MA RI membuat keputusan yang cukup kontroversial
mengenai eksekusi grosse akte hipotek yang diajukan oleh sebuah bank asing kreditur. MA RI memutuskan bahwa permohonan
eksekusi grosse akte hipotek yang diajukan kreditur harus ditunda dulu dikarenakan pihak debitur pada saat yang bersamaan
mengajukan gugatan perdata biasa kepada kreditur untuk
membatalkan “credit agreement”. Penetapan eksekusi hipotek harus ditunda sampai ada putusan yang berkekuatan pasti atas gugatan
perdata mengenai sah tidaknya credit agreement yang diajukan oleh debitur. Keputusan ini sempat memicu wacana ketidakpastian
hukum di Indonesia dan menyebabkan bank-bank asing enggan untuk mengucurkan dananya kepada investor dalam negeri, karena
ketiadaan jaminan untuk mendapatkan uangnya kembali. Dengan keputusan MA RI ini kita dapat berasumsi bahwa untuk mencegah
eksekusi grosse akte cukup dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata terhadap kreditur dengan dalil bahwa perjanjian kredit tidak
sah meskipun uang pinjaman sudah diterima.
4
3.2. Kaedah Hukum Status Orang Asing dalam Putusan Pengadilan Skotlandia