T2 322011012 BAB III

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN

Bab ini berisikan hasil penelitian lengkap mengenai Putusan Pengadilan Indonesia. Pihak yang bersengketa di sana adalah orang asing. Putusan Pengadilan Indonesia tersebut bernomor: 1080 K/Pdt/1998; 223 K/TUN/2007; 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013; 1311 K/Pdt/2011; 1695 K/Pdt/1984; dan 641 K/Pdt/1993. Sedangkan untuk Putusan Pengadilan Skotlandia terdapat beberapa kasus, yaitu Putusan: Ertel Bieber & Co v. Rio Tinto Company, Limited; Gebruder Van Uden v. Burrell; Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland; Schaffenius v. Goldberg; Halsey and Another v. Lowenfeld;dan Daimler Company, Limited v. Continental Tyre and Rubber Company.

3.1. Kaedah Hukum Mengenai Status Orang Asing dalam Putusan Pengadilan Indonesia

3.1.a. Putusan Nomor 1080 K/Pdt/1998

Indonesia memiliki sistem hukum yang unik, namun tidak menolak tradisi civil law, karena KUHPerdata Indonesia pada dasarnya ada yang sama dengan BW Belanda (yang lama).


(2)

Praktek-praktek bisnis juga mempengaruhi perkembangan hukum nasional, terutama bidang Hukum Kontrak. Ini dapat terlihat dari putusan-putusan pengadilan Indonesia, terutama yang menyangkut sengketa kontrak. Nampak dengan jelas ada pengaruh yang dominan juga dari sistem common law. Dalam berbagai ratio decidendi putusan pengadilan terdeteksi bahwa konsep atau prinsip, juga terminologi hukum yang digunakan bersumber pada sistemcommon law. Dapat dicontohkan di antaranya kasus antara PT. Saprotan vs. Ny. R. A. Moniek Sriwidjajanti, dkk. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menyatakan persetujuan batal demi hukum (null and void) karena adanyaeconomic duress.1

Ada dua kekeliruan disini, pertama dari segi terminologi yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and void“ and “economic duress”, ada pendapat bahwa tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo. Economic duress yang merupakan satu bentuk undue influencedalamcommon lawdengan akibat kontrakvoidable. Namun demikian secara subtansial penerapan prinsip ini dapat saja dikatakan tepat.

1

Putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998, tertuang dalam Varia Peradilan, TH. XV, No. 169, Oktober 1999, hlm. 39-65. Dapat disimak dalam Sogar Simamora,Op. Cit., hlm. 28.


(3)

Putusan diatas jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum kontrak common law. Situasi seperti ini, di antaranya karena secara subtansial. hukum Perdata Indonesia terutama yang menyangkut hukum perikatan sering dianggap tidak lagi memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam lapangan perekonomian yang berkembang penuh dinamika.2 Ada pandangan KUHPerdata harus diakui telah ketinggalan jaman (out of date), instrumen hukum yang dapat dikategorikan sebagai bad law.3 Sekalipun pendapat demikian agak aneh, mana mungkin ada hokum yang bad.

3.1.b. Putusan Nomor 223 K/TUN/2007

Perkara Tata Usaha Negara selanjutnya disingkat PTUN dalam tingkat kasasi antara David J Duffi melawan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Mahkamah berpendapat dalam perkara itu bahwa Pemohon Kasasi yang dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Termohon Kasasi yang dahulu sebagai Tergugat di muka persidangan PT TUN Jakarta.

2

Moch. Isnaeni,Loc. Cit.

3


(4)

Obyek sengketa dalam perkara itu adalah putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 23 Maret 2005 tentang Pemutusan Hubungan Kerja antara PT. Patra Supplies And Service selanjutnya disebut PT. PSAS dengan David J Duffi.

Menurut Penggugat ia, telah menerima salinan putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 dengan surat pengantar bertanggal 18 April 2005 No. TAR.734/M/KP4P/IV/2005, melalui kantor Hukum Yuherman Law Office pada tanggal 11 Juli 2005.

Pengajuan gugatan dimaksud masih dalam batas waktu Sembilan puluh hari sejak diterimanya putusan Tergugat sebagaimana yang disyaratkan Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN

Putusan Tergugat tersebut merupakan KTUN, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dan telah bersifat konkrit, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat. Putusan Tergugat merupakan produk hukum Administrasi Negara yang dapat digugat di muka PTUN berdasarkan Pasal 48joPasal 51 ayat (30) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Dengan demikian, menurut penggugat


(5)

gugatannya pada perkara itu haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.

Penggugat adalah karyawan yang bekerja pada Pengusaha PT. Patra Supplies And Service terhitung sejak tanggal 1 Pebruai 2004, sesuai surat penunjukan PT. Patra Supplies And Service No. MD0054/04 tanggal 27 Januari 2004 (selanjutnya disebut dengan kontrak kerja), Penggugat bekerja sebagai Technical Advisor/Fasilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis, ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar US $ 54,000 (lima puluh empat ribu US Dollar), yang dibayarkan tiap bulan sebesar US $ 4,500. Dalam konteks penulisan tesis ini, penggugat adalah subjek hokum orang asing.

PT. Patra Supplies And Service melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan Penggugat tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas alasan Penggugat tidak mampu melaksanakan instruksi kerja dari Pengusaha. Keputusan PT. Patra Supplies And Service mengenai PHK tersebut disampaikan kepada Penggugat pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat) masa kerja Penggugat melalui suratnya


(6)

bertanggal 5 Mei 2004, akan tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur terhitung sejak tanggal 30 April 2004.

PT. Patra Supplies And Service adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan berlamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia, oleh karenanya selain tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan, PT. Patra Supplies And Service juga tunduk pada Peraturan Perusahaannya sendiri, serta Kontrak Kerja yang ditandatangani oleh Penggugat sebagai orang asing dan PT. Patra Supplies And Service.

Meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan Pengadilan Singapura dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak mengesampingkan berlakunya Peraturan Perusahaan PT. Patra Supplies And Service sendiri, dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerjaa quo.

Atas PHK yang dilakukan PT. Patra Supplies And Service tersebut, Penggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI Jakarta memberikan anjuran agar perusahaan PT. Patra Supplies


(7)

And Service, membayar kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu ganti rugi berupa sisa upah sebesar 9 (sembilan) bulan upah. PT PSAS juga dianjurkan agar Sdr. David J Duffi, menerima kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dalam butir satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut, selambat-lambatnya dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima anjuran.

PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. P4D Propinsi DKI Jakarta dalam putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan: menyatakan hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004; dan mewajibkan kepada Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa angsuran, berupa: “Uang ganti rugi : 9 x Rp. US $ 4,500 = US $ 40,500 (empat puluh ribu lima ratus dollar Amerika Serikat);

Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah menganjurkan PT. PSAS untuk melakukan pembayaran atas sembilan bulan gaji Penggugat, akan tetapi PT. PSAS tetap keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau Tergugat.


(8)

Melalui putusan No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 telah diubah isi putusan P4D tersebut, yaitu, menyatakan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat mengabulkan permohonan banding Pengusaha PT. PSAS dan Penyelesaian perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi, mengacu pada perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja Sdr. David J Duffi dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari 2004 dengan menggunakan undang-undang/hukum yang berlaku di Singapura.

Keputusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005a quoadalah tidak berdasar dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sehingga berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, Keputusan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak sah.


(9)

Pembatalan Keputusan Tergugat tersebut bukannya tanpa alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penggugat menjelaskan hal itu dalam pertimbangan mengenai:

Permasalahan atau fakta

Penggugat bekerja pada PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1 Februari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27 Januari 2004. Kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Penggugat di Jakarta pada hari yang sama, setelah sebelumnya Penggugat menyerahkan riwayat hidup Penggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru, yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Hal itu, menurut penggugat membuktikan bahwa kontrak kerjaa quo dibuat dan ditandatangani di Indonesia dan diberlakukan dalam hubungan kerja antara Penggugat sebagai orang asing dengan Pengusaha PT. PSAS yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia. Penggugat bekerja sebagai Technical Advisor/Fasilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis dan ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji tahunan sebesar US $ 54.000 (lima puluh empat ribu US Dollar) yang dibayarkan tiap bulan kepada Penggugat sebesar US $ 4,500. Kontrak kerja tersebut tidak mengenai masa percobaan dan tanpa


(10)

batas waktu. Akan tetapi, segala perjanjian yang berkenaan dengan status Penggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA, RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab PT. Patra Supplies And Service untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun.

Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang meskipun kontrak kerja tidak mengenai batas waktu, Penggugat tidak akan dapat bekerja dengan sah. Dengan kata lain, dalam permasalahan ini, Penggugat dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun.

Selanjutnya menurut Penggugat, selama ia bekerja, Penggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun dari pihak Pengusaha, baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara tiba-tiba Penggugat dipanggil ke Jakarta oleh dan bertemu dengan Mr. Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4 Mei 2004 di kantor perusahaan. Pada saat tersebut, Mr. Bob Nowk menyatakan ketidakpuasannya dengan kinerja Penggugat. Atas dasar itu PT. PSAS melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa pembayaran apapun. Karena menurut PT. PSAS, Penggugat dalam masa percobaan.


(11)

Pengggugat membantah apa yang disampaikan oleh Mr. Bob Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya maupun mengenai masa percobaan. Penggugat merasa ia telah bekerja dengan baik sesuai posisi Penggugat dan Penggugat dipekerjakan tanpa mengenal masa percobaan sebagaimana kontrak kerja, namun hal tersebut tidak merubah keputusannya.

Pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat masa kerja Penggugat), Penggugat menerima surat PHK bertanggal 5 Mei 2004 dari PT. PSAS. PHK tersebut dinyatakan berlaku mundur, yakni terhitung sejak tanggal 30 April 2004, padahal pernyataan PHK secara lisan saja disampaikan pada tanggal 4 Mei 2004;

Menurut penggugat, PHK tersebut dilakukan tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta; dan terhadap keterangan PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker Jakarta, P4D Jakarta ataupun dalam memori banding sebagaimana dikutip oleh Tergugat pada salinan putusan Tergugat ingin menegaskan beberapa hal.

Dalil-dalil PT. Patra Supplies And Service yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Penggugat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang diinstruksikan PT. Patra Supplies And


(12)

Service, adalah tidak benar. Dapat dijelaskan lagi, bahwa disamping tidak ada job description dari PT. Patra Supplies And Service, diantara instruksi yang diberikan kepada Penggugat bukan merupakan bidang tugas Penggugat. Demikian pula, menurut penggugat, mengenai kejadian-kejadian sebagaimana yang didalilkan PT. Patra Supplies And Service, juga tidak diketahui oleh Penggugat, sehingga hal yang demikian haruslah ditolak.

Penggugat tidak pernah menyatakan ataupun mengakui kepada Managing Director dan General Manager PT. Patra Supplies And Service bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari operasi perusahaan adalah kesalahan Penggugat. Keterangan-keterangan PT. Patra Supplies And Service tersebut tidak pernah dibuktikan. Bahkan Penggugat tidak pernah diberitahukan mengenai memori banding PT. Patra Supplies And Service pada saat PT. Patra Supplies And Service mengajukan keberatan pada Tergugat, sehingga Penggugat tidak dapat memberikan tanggapan pada Tergugat.

Keterangan PT. Patra Supplies And Service semakin tidak berdasar lagi, karena PT. Patra Supplies And Service juga menjadikan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (karyawan


(13)

yang bernama Sahat Siregar) sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat.

Penggugat juga menolak pernyataan PT. Patra Supplies And Service yang menganggap PHK dan hak-hak Penggugat atas PHK tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan pada Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan Pengadilan Indonesia, hal yang demikian merupakan penafsiran PT. Patra Supplies And Service mengenai pemberlakuan kontrak kerja.

B. Mengenai pertimbangan dan putusan Tergugat

Tergugat telah memberikan pendapatnya mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Penggugat oleh PT. PSAS. Selanjutnya, mengenai pendapat dan pertimbangan Tergugat terhadap permasalahan dimaksud dapat Penggugat sampaikan Pertimbangan dan putusan Tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata, Tergugat hanya mengambilalih begitu saja seluruh memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya. Tidak ada satu kalimat pun, pertimbangan Tergugat yang bukan merupakan keterangan Penggugat.


(14)

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Tergugat berpendapat Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai pihak berstatus WNA yang berdomisili di Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga, sehingga tidak berarti bahwa perjanjian yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja tersebut ditandatangani. Sesuai persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh Sdr. David J Duffi, perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura. Bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke Pengadilan Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No. MD.0054/04 tahun 2004 (kontrak kerja) tersebut tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Tetapi, Perjanjian Kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura. Sehingga perselisihan tersebut seharusnya diajukan kepada Pengadilan Singapura.

Pendapat Tergugat tersebut diambilalih statusnya dari memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian memori banding yang dituliskan kembali oleh Tergugat.


(15)

Pendapat dan putusan Tergugat pada perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang Tenaga Kerja di Indonesia: Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan ketentuan tersebut David J Duffi/Penggugat termasuk dalam pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Selanjutnya, berdasarkan angka 4, 5 dan 6 Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, PT. Patra Supplies And Service telah memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai pemberi kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan.

Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing, dalam hubungan antara Penggugat dengan PT. Patra Supplies And Service adalah mutlak adanya.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan yang diberlakukan kepada


(16)

seluruh Pekerja (baik asing maupun lokal) serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk membuat perjanjian kerja atau kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha. Akan tetapi, hak dan kewajiban tersebut tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Oleh karenanya Pekerja maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia.

Pernyataan Tergugat bahwa kontrak kerja a quo tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, seharusnya ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a quo berdasarkan Undang-Undang tersebut. Sehingga, hak-hak Penggugat tetap dilindungi PT. PSAS harus memenuhi kewajibannya kepada Penggugat sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta.


(17)

Pendapat Tergugat yang membenarkan pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan Pengadilan Singapura adalah pendapat yang keliru. Meskipun kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura.

PT. PSAS adalah badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia. Demikian pula dengan Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia. Karenanya, baik Penggugat maupun PT. PSAS tunduk pada hokum. Dalam penyelesaian permasalahan PHK Penggugat, apalagi mengenai berlakunya hukum Indonesia (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003), dinyatakan dengan tegas oleh Tergugat, lebih tegas lagi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 telah mengatur mengenai masalah yang timbul dalam hubungan kerja di Indonesia.

Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak kerja hanya diberlakukan penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Penggugat dan PT. PSAS, selain hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pekerja dan Pengusaha yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003


(18)

dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak Penggugat atas dua bulan gaji dari PT. PSAS. Jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS atau kewajiban PT. PSAS untuk menempatkan Penggugat pada perusahaan lain jika Penggugat di PHK.

Karena Tergugat tidak memberikan putusan sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku, maka putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak sah.

Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Penggugat selama sembilan bulan adalah sudah tepat. Lamanya waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidak-tidaknya adalah sesuai dengan jangka waktu Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) yang diberikan kepadanya.

Dalam permasalahan ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal telah menyetujui permohonan PT. PSAS untuk


(19)

mempekerjakan Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun, mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT. PSAS maupun oleh Tergugat, mengingat dokumen dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS.

Pembayaran kepada Penggugat selama sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar. Pasal 62 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/buruh sampai berakhirnya jangka waktu pejanjian kerja.

Oleh sebab itu anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta layak dan adil untuk dipertahankan. Pertimbangan dan putusan tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yakni Asas Kecermatan dan Keseimbangan.

Tergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari berkas perkara ini, Panitia Pusat berpendapat telah cukup data


(20)

sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini sehingga memandang tidak perlu lagi mengadakan sidang hearing untuk menolak tambahan data/keterangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957joPasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1957.

Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas kecermatan dan keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Tergugat. PT. PSAS telah menyampaikan keterangan secara sepihak melalui memori bandingnya. Memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Penggugat oleh Tergugat.

Setelah tidak menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada Penggugat, Tergugat juga tidak memanggil Penggugat untuk memberikan penjelasan. Bahkan, Tergugat langsung mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya.

Tergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan semua fakta terkait, serta tidak pula memperhatikan pihak pada perkara ini, yakni Penggugat.

Karena putusan Tergugat a quo bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-Asas


(21)

Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Penggugat, maka putusan Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak sah, dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan keputusan TUN yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat puluh ribu lima ratusUS Dollaratau dengan kata lain putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. Patra Supplies And Service.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada PT TUN Jakarta agar memberikan putusan menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal atau tidak sah putusan Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 dan memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru yang berisi mewajibkan Pengusaha PT. PSAS membayar kepada Penggugat sisa gaji Penggugat untuk waktu sembilan bulan, terhitung sejak bulan Mei 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 secara tunai dan sekaligus sebesar empat puluh ribu lima ratus US dollar. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul menurut hukum.


(22)

Terhadap gugatan tersebut, PT TUN Jakarta telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 226/G/2005/PT.TUN.JKT. tanggal 14 Juni 2006, yang amarnya menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar dua ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus rupiah.

Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat pada tanggal 21 Juli 2006 kemudian terhadapnya oleh Penggugat dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3 Agustus 2006 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 3 Agustus 2006 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No. 195/K/2006/PT.TUN.JKT. yang dibuat oleh Wakil Panitera PT TUN Jakarta, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut pada tanggal 16 Agustus 2006.

Setelah itu oleh Tergugat yang pada tanggal 22 Agustus 2006 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat dan terhadapnya tidak mengajukan jawaban memori kasasi.

Permohonan kasasi a quo beserta keberatan-keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan


(23)

dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima.

Pemohon Kasasi/Penggugat adalah karyawan yang bekerja pada Pengusaha PT. PSAS terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004, sesuai dengan penunjukan PT. PSAS No. MD.005/04 tanggal 27 Januari 2004 selanjutnya disebut sebagai Technical Advisor/Fasilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis, ditempatkan di Propinsi Riau, dengan gaji tahunan sebesar lima puluh empat ribuUS Dollar, yang dibayarkan tiap bulan sebesar US $ 4,500.

PT. PSAS melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. PHK tersebut dilakukan atas alasan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak mampu melaksanakan instruksi kerja dari Pengusaha. Keputusan PT. PSAS mengenai PHK tersebut disampaikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat pada tanggal 7 Mei 2004 bulan keempat masa kerja Pemohon Kasasi/Penggugat melalui suratnya bertanggal 5 Mei 2004, akan


(24)

tetapi PHK dinyatakan berlaku mundur, terhitung sejak tanggal 30 April 2004.

PT. PSAS adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan beralamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonsia. Oleh karenanya, selain tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan, PT. PSAS juga tunduk pada peraturan perusahaannya sendiri, serta kontrak kerja yang ditandatangani oleh Pemohon Kasasi/Penggguat dan PT. PSAS.

Dengan kata lain di samping peraturan perusahaan yang diberlakukan atau perjanjian Pemohon Kasasi/Penggugat dengan PT. PSAS, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia tetap berlaku dan tidak pernah dikesampingkan oleh para pihak sebagaimana yang diakui oleh PT. PSAS dan oleh Termohon Kasasi/Tergugat pada putusannya.

Oleh karenanya, meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan Pengadilan Singapura, dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak mengesampingkan, dan tidak akan pernah dapat mengesampingkan berlakunya peraturan perusahaan, PT. PSAS


(25)

sendiri dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerjaa quo.

Atas PHK yang dilakukan PT. PSAS tersebut, Pemohon Kasasi/Penggugat telah melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) DKI Jakarta, selanjutnya Disnaker DKI Jakarta memberikan anjuran agar perusahaan PT. PSAS membayarkan kepada Pekerja Sdr. David J Duffi, yaitu ganti rugi berupa sisa upah sebesar sembilan bulan upah. David J Duffi dapat menerima kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dalam butir satu di atas; dan agar pihak perusahaan dan Pekerja memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran sebagaimana tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima anjuran ini.

PT. PSAS mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada P4D Propinsi DKI Jakarta. Selanjutnya P4D Propinsi DKI Jakarta dalam putusannya tanggal 7 Desember 2004 memutuskan hubungan kerja antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja David J Duffi putus terhitung sejak tanggal 1 Mei 2004. Mewajibkan kepada Pengusaha membayarkan kepada Pekerja secara tunai tanpa


(26)

angsuran sebagai berikut: Uang ganti rugi empat puluh ribu lima ratusDollarAmerika Serikat.

7Baik Disnaker maupun P4D Propinsi DKI Jakarta telah menganjurkan PT. PSAS tetap keberatan dengan putusan tersebut dan mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau Termohon Kasasi/Tergugat.

Termohon Kasasi/Tergugat melalui putusannya No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 telah mengubah isi putusan P4D tersebut, sehingga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta dapat mengabulkan permohonan banding Pengusaha PT. PSAS; dan penyelesaian perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang terjalin antara Pengusaha PT. PSAS dengan Pekerja Sdr. David J Duffi, yang dalam perkara ini memberi kuasa kepada Yuherman Law Office, mengacu pada perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Pekerja Sdr. David J Duffi dengan Pengusaha PT. PSAS tanggal 27 Januari 2004 dengan menggunakan undang-undang/hukum yang berlaku di Singapura.

Keputusan Termohon Kasasi/Tergugat No. 365/483-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 a quo adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan asas-asas peraturan


(27)

perundang-undangan yang berlaku, dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Sehingga berdasar Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, keputusan Termohon Kasasi/Tergugat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak sah.

Pembatalan keputusan Termohon Kasasi/Tergugat tersebut bukannya tanpa alasan dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu Pemohon Kasasi/Penggugat menjelaskan Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja pada PT. PSAS, terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2004 sesuai dengan kontrak kerja tanggal 27 Januari 2004, kontrak kerja tersebut ditandatangani oleh Pemohon Kasasi/Penggugat di Jakarta pada hari yang sama, setelah sebelumnya Pemohon Kasasi/Penggugat menyerahkan riwayat hidup Pemohon Kasasi/Penggugat pada tanggal 12 Januari 2004 dan melakukan orientasi lapangan selama satu minggu di Pekanbaru, yakni sampai tanggal 24 Januari 2004. Membuktikan bahwa kontrak kerjaa quodibuat dan ditandatangani di Indonesia dan diberlakukan dalam hubungan antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan Pengusaha PT. PSAS yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia. Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja sebagai Tehnical


(28)

Advisor/Facilities Manager atau sebagai Penasehat Teknis dan ditempatkan di Propinsi Riau dengan gaji tahunan sebesar lima puluh empat ribu US Dollar yang dibayarkan tiap bulan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sebesar US $ 4,500. Kontrak kerja tersebut tidak mengenal masa percobaan dan tanpa batas waktu, akan tetapi segala perjanjian yang berkenaan dengan status Pemohon Kasasi/Penggugat sebagai Pekerja di Indonesia, seperti IKTA, RPTKA, dan dokumen lainnya diurus dan menjadi tanggung jawab PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun.

Bilamana perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang, meskipun kontrak kerja tidak mengenal batas waktu, maka Pemohon Kasasi/Penggugat tidak akan dapat bekerja dengan sah, atau dengan kata lain dalam permasalahan ini Pemohon Kasasi/Penggugat dipekerjakan oleh PT. PSAS untuk jangka waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun.

Selama Pemohon Kasasi/Penggugat bekerja, Pemohon Kasasi/Penggugat tidak menerima teguran atau peringatan apapun dari pihak Pengusaha baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi secara tiba-tiba Pemohon Kasasi/Penggugat dipanggil ke Jakarta bertemu


(29)

dengan Mr. Bob Nowk selaku Direktur PT. PSAS pada tanggal 4 Mei 2004 di kantor perusahaan. Pada saat tersebut Mr. Bob Nowk menyatakan ketidakpuasannya dengan kinerja Pemohon Kasasi/Penggugat, atas dasar itu PT. PSAS melakukan PHK terhadap Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa pembayaran apapun, karena menurut PT. PSAS, Pemohon Kasasi/Penggugat dalam masa percobaan.

Pemohon Kasasi/Penggugat membantah apa yang disampaikan oleh Mr. Bob Nowk, baik mengenai ketidakpuasannya maupun mengenai masa percobaan, karena Pemohon Kasasi/Penggugat telah bekerja dengan baik sesuai dengan posisi Pemohon Kasasi/Penggugat, dan Pemohon Kasasi/Penggugat dipekerjakan tanpa mengenal masa percobaan sebagaimana kontrak kerja, namun hal tersebut tidak merubah keputusannya.

Pada tanggal 7 Mei 2004 (bulan keempat masa kerja Pemohon Kasasi/Penggugat), Pemohon Kasasi/Penggugat menerima surat PHK bertanggal 5 Mei 2004 dari PT. PSAS. PHK tersebut dinyatakan berlaku mundur, yakni terhitung sejak tanggal 30 April 2004. Padahal pernyataan PHK secara lisan saja disampaikan pada tanggal 4 Mei 2004. PHK tersebut dilakukan tanpa mendapatkan ijin


(30)

lebih dahulu dari P4D Propinsi DKI Jakarta. Terhadap keterangan PT. PSAS pada saat pertemuan di Disnaker Jakarta, P4D Jakarta ataupun dalam memori bandingnya sebagaimana yang dikutip oleh Termohon Kasasi/Tergugat pada salinan putusannya, Termohon Kasasi/Tergugat ingin menegaskan. Dalil-dalil PT. PSAS yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Pemohon Kasasi/Penggugat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang didistribusikan PT. PSAS adalah tidak benar. Dijelaskan lagi bahwa di samping tidak ada job descriptiondari PT. PSAS, diantara instruksi yang diberikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat bukan merupakan bidang tugas Pemohon Kasasi/Penggugat, demikian pula mengenai kejadian-kejadian sebagaimana yang didalilkan PT. PSAS, juga tidak diketahui oleh Pemohon Kasasi/Penggugat, sehingga hal yang demikian haruslah ditolak.

Pemohon Kasasi/Penggugat tidak pernah menyatakan ataupun mengakui kepadaManaging DirectordanGeneral Manager PT. PSAS bahwa hal-hal yang tidak diharapkan dari operasi perusahaan adalah kesalahan Pemohon Kasasi/Penggugat. Keterangan-keterangan PT. PSAS tersebut tidak pernah dibuktikan, bahkan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak pernah diberitahukan


(31)

mengenai memori banding PT. PSAS pada saat PT. PSAS mengajukan keberatan pada Termohon Kasasi/Tergugat. Sehingga Pemohon Kasasi/Penggguat tidak dapat memberikan tanggapan pada Termohon Kasasi/Tergugat. Keterangan PT. PSAS semakin tidak berdasar lagi karena PT. PSAS juga menjadikan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (karyawan yang bernama Sahat Siregar) sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Pemohon Kasasi/Penggugat.

Pemohon Kasasi/Penggugat juga menolak pernyataan PT. PSAS yang menganggap PHK dan hak-hak Pemohon Kasasi/Penggugat atas PHK tersebut harus diselesaikan dengan hukum dan Pengadilan Singapura, bukan menurut hukum dan Pengadilan Indonesia. Hal yang demikian merupakan penafsiran PT. PSAS mengenai pemberlakuan kontrak kerjaa quo.

Mengenai pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat.

Termohon Kasasi/Tergugat telah memberikan pendapatnya mengenai permasalahan yang berkenaan dengan PHK Pemohon Kasai/Penggugat oleh PT. PSAS. Selanjutnya mengenai pendapat dan pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat terhadap


(32)

permasalahan dimaksud Pemohon Kasasi/Penggugat sampaikan Pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata Termohon Kasasi/Tergugat hanya mengambilalih begitu saja seluruh memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan sebelum memberikan pendapatnya. Dapat dilihat pada salinan putusannya dan tidak ada satu kalimatpun pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat yang bukan merupakan keterangan Pemohon Kasasi/Penggugat;

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Termohon Kasasi/Tergugat berpendapat. Oleh karena Sdr. David J Duffi sebagai Pekerja berstatus Warga Negara Asing yang berdomisili di Australia dan Perjanjian Kerja dapat ditandatangani dimanapun juga, sehingga tidak berarti bahwa perjanjian yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak harus tunduk pada undang-undang yang berlaku dimana perjanjian kerja tersebut ditandatangani. Sesuai dengan persyaratan angka 12 dari perjanjian kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 yang disetujui oleh Sdr. David J Duffi, perjanjian itu demi hukum tunduk di bawah hukum Singapura, dan bila terjadi perselisihan apapun akan diajukan ke Pengadilan


(33)

Singapura. Panitia Pusat menilai berdasarkan perjanjian kerja No. MD.0054/04 tanggal 27 Januari 2004 (kontrak kerja) tersebut tidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, tetapi perjanjian kerja tersebut tunduk di bawah hukum Singapura, sehingga perselisihan tersebut seharusnya diajukan kepada Pengadilan Singapura.

Pendapat Termohon Kasasi/Tergugat tersebut, diambilalih seutuhnya dari memori banding PT. PSAS, sebagaimana uraian memori banding yang dituliskan kembali oleh Termohon Kasasi/tergugat.

Pendapat dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat pada perkara a quo sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang tenaga kerja di Indonesia. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, David J Duffi/Pemohon Kasasi/Penggugat termasuk dalam pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya


(34)

berdasarkan angka 4, 5, dan 6 Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, PT. PSAS telah memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai Pemberi Kerja, Pengusaha, ataupun Perusahaan. Oleh sebab itu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai tenaga kerja asing, dalam hubungan antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan PT. PSAS adalah mutlak adanya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewajibkan Pengusaha untuk membuat peraturan perusahaan diberlakukan kepada seluruh Pekerja (baik asing maupun lokal), serta membuka peluang kepada Pekerja dan Pengusaha untuk membuat perjanjian kerja dan kontrak kerja yang merumuskan hak dan kewajiban lainnya dari Pekerja atau Pengusaha, akan tetapi hak dan kewajiban tersebut tidak boleh meniadakan atau bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Karenanya Pekerja maupun Pengusaha disamping tunduk pada perjanjian kerja tersebut, mereka juga tunduk pada Undang-Undang yang berlaku. Atau dengan kata lain perjanjian tersebut berlaku sebagai perjanjian tambahan, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia.


(35)

Pernyataan Pemohon Kasasi/Penggugat bahwa kontrak kerja a quotidak mengesampingkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 seharusnya ditindaklanjuti dengan memutus permasalahan PHK a quo berdasarkan undang-undang tersebut, sehingga hak-hak Pemohon Kasasi/Penggugat tetap terlindungi, dan PT. PSAS harus memenuhi kewajibannya kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sebagaimana yang telah diputuskan oleh P4D DKI Jakarta.

Pendapat Termohon Kasasi/Tergugat yang membenarkan pendapat PT. PSAS bahwa dalam permasalahan PHK a quo diberlakukan hukum dan Pengadilan Singapura adalah pendapat yang keliru. Meskipun, kontrak kerja tersebut memilih hukum dan Pengadilan Singapura. Hal ini dapat dijelaskan PT. PSAS adalah badan hukum yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia serta menjalankan aktivitas di Indonesia. Demikian pula dengan Pemohon Kasasi/Penggugat yang bekerja sebagai Tenaga Kerja di Indonesia, oleh karenanya baik Pemohon Kasasi/Penggugat maupun PT. PSAS tunduk pada hukum Indonesia. Dalam penyelesaian permasalahan PHK Pemohon Kasasi/ Penggugat, apalagi mengenai berlakunya hukum Indonesia ini (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) dinyatakan dengan tegas oleh Termohon Kasasi/Tergugat. Lebih


(36)

tegas mengenai masalah yang timbul dalam hubungan kerja di Indonesia.

Pemilihan hukum dan Pengadilan Singapura sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak kerja, hanya diberlakukan penyelesaian dalam pelaksanaan kontrak kerja berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh Pemohon Kasasi/Penggugat dan PT. PSAS selain hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pekerja dan Pengusaha yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah hak Pemohon Kasasi/Penggugat atas dua bulan gaji dari PT. PSAS jika yang melakukan PHK adalah PT. PSAS, atau kewajiban PT. PSAS untuk mendapatkan Pemohon Kasasi/Penggugat pada perusahaan lain jika Pemohon Kasasi/Penggugat di PHK.

Karena Pemohon Kasasi/Penggugat tidak memberikan putusan oleh undang-undang yang berlaku, maka putusan Termohon Kasasi/Tergugat No. 365/483/83-7/IX/PHK/3-2005 tanggal 29 Maret 2005 pada perkara ini haruslah dinyatakan batal atau tidak sah.


(37)

Anjuran Disnaker Propinsi DKI Jakarta dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta tanggal 7 Desember 2004 yang memerintahkan PT. PSAS untuk membayar sisa gaji Pemohon Kasasi/Penggugat selama sembilan bulan adalah sudah tepat, mengingat lamanya waktu kerja bagi Pekerja Asing di Indonesia yang kontrak kerjanya tidak ada batas waktu, setidak-tidaknya adalah sesuai dengan jangka waktu Ijin Tenaga Kerja Asing yang diberikan kepadanya.

Badan Koordinasi Penanaman Modal telah menyetujui permohonan PT. PSAS untuk mempekerjakan Pemohon Kasasi/Penggugat sekurang-kurangnya selama satu tahun. Mengenai hal ini tidak dapat dibantah kebenarannya, baik oleh PT. PSAS maupun oleh Termohon Kasasi/Tergugat mengingat dokumen dimaksud diurus sendiri oleh PT. PSAS.

Pembayaran kepada Pemohon Kasasi/Penggugat selama sembilan bulan dari gaji yang masih tersisa, juga menjadi berdasar, karena Pasal 62 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan bahwa, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan


(38)

membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/Buruh sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Oleh sebab itu, anjuran dan putusan P4D Propinsi DKI Jakarta layak dan adil untuk diperintahkan. Pertimbangan dan putusan Termohon Kasasi/Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yakni Asas Kecermatan dan Keseimbangan. Termohon Kasasi/Tergugat mengatakan setelah meneliti dan mempelajari berkas perkara ini, Panitia Pusat berpendapat telah cukup data sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini, sehingga memandang tidak perlu lagi mengadakan sidang hearing untuk mencari tambahan data/keterangan tambahan dari kedua belah pihak sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1967.

Pendapat tersebut jelas keliru dan jauh dari asas keseermatan dan asas keseimbangan yang semestinya diterapkan oleh Termohon Kasasi/Tergugat mengingat PT. PSAS, yang telah menyampaikan keterangan secara sepihak melalui memori bandingnya, dimana memori banding tersebut tidak pernah disampaikan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat oleh Termohon Kasasi/Tergugat. Setelah tidak


(39)

menyampaikan salinan memori banding, PT. PSAS kepada Pemohon Kasasi/Penggugat, Termohon Kasasi/Tergugat juga tidak memanggil Pemohon Kasasi/Penggugat untuk memberikan penjelasan, bahkan Termohon Kasasi/Tergugat langsung mengambilalih seluruh keterangan pada memori banding PT. PSAS sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan putusannya. Hal ini memberikan bahwa Termohon Kasasi/Tergugat pada waktu membuat putusan pada perkara ini, telah tidak memperhatikan semua fakta terkait, serta tidak pula memperhatikan kepentingan pihak pada perkara ini, yakni Pemohon Kasasi/Penggugat.

Karena putusan Termohon Kasasi/Tergugat a quo bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, serta sangat merugikan Pemohon Kasasi/Penggugat, maka putusan Termohon Kasasi/Tergugat a quo haruslah dinyatakan batal atau tidak sah, dan menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk menerbitkan KTUN yang baru yang menghukum PT. PSAS membayar kepada Pemohon Kasasi/Penggugat sisa gaji Pemohon Kasasi/Penggugat untuk waktu sembilan bulan, yakni sebesar empat


(40)

puluh ribu lima ratus US Dollar. Dengan kata lain putusan P4D Propinsi DKI Jakarta harus dilaksanakan oleh PT. PSAS.

Pertimbangan Termohon Kasasi/Tergugat yang bertentangan dengan hukum dan/atau tidak menetapkan hukum (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) sebagaimana mestinya, hukum diambilalih dan dibenarkan oleh PT TUN Jakarta. Melalui putusannya tersebut di atas, oleh sebab itu putusan PT TUN Jakarta juga harus dibatalkan.

Alasan dan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat pada perkara ini sesuai menurut hukum, maka menjadi beralasan dan berdasar bagi Majelis Hakim Agung di tingkat kasasi untuk membatalkan putusan PT TUN di atas, selanjutnya mengadili sendiri perkara ini.

Oleh karena itu, Pemohon Kasasi/Penggugat mohon kepada Mahkamah Agung RI untuk memperhatikan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Jakarta sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat. Keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Factie telah tepat dan benar, yaitu tidak salah dalam penerapan hukum, dengan


(41)

pertimbangan. Keberatan-keberatan tersebut hanya pengulangan kembali dari dalil-dalil gugatan yang sudah dipertimbangkan dengan benar dan tepat oleh Judex Factie. Sesuai Pasal 12 Perjanjian Kontrak Kerja, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di Pengadilan Singapura.

Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan PT TUN Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut harus ditolak. Karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 5 Tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.


(42)

Mahkamah mengadili: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: David J Duffi tersebut; danMenghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar lima ratus ribu rupiah.

3.1.c. Putusan Nomor 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013

Perkara ini adalah perdata khusus perselisihan hubungan industrial dalam tingkat kasasi. Dalam perkara antara: PT. Siemens Indonesia sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Tergugat, melawan Stephen Michael Young, Warga Negara Australia, sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat.

Dari surat-surat tersebut, ternyata bahwa sekarang Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu sebagai Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu sebagai Tergugat di depan persidangan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pokok tuntutan sebagai berikut: Pada tanggal 16 April 2012 Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan yang menangani permohonan


(43)

pencatatan perselisihan hubungan industrial yang diajukan oleh Penggugat telah memberikan anjuran agar pekerja (sekarang Penggugat) dapat menerima Pemutusan Hubungan Kerja dengan Pengusaha akibat dari berakhirnya masa Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing atas nama Pekerja terhitung tanggal 24 Oktober 2011, sesuai Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Kep-29167/MEN/B/IMTA/2010, tanggal 18 Oktober 2010.

Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut di atas, selambat-lambatnya dalam jangka waktu sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran ini.

Penggugat tidak dapat menerima dan sangat keberatan dengan anjuran Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan. Karena anjuran tersebut sangat sumir, dibuat secara asal-asalan, sekedar melepas tanggung jawab memediasi laporan yang Penggugat ajukan. Setelah anjuran diberikan, maka selesai tugas dan tanggung jawab mediator dan anjuran tersebut tidak didukung dengan argumentasi dan dasar hukum yang kuat. Anjuran tersebut tidak menjawab dan mempertimbangkan pokok persoalan yang Penggugat ajukan, yaitu


(44)

Penggugat bekerja pada Tergugat secara terus-menerus tanpa putus sejak tanggal 21 April 1998 s/d tanggal 30 September 2011 (selama ± 13 Tahun). Anjuran tersebut mentolerir pelanggaran-pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Tergugat. Anjuran tersebut mengkaitkan hubungan kerja dengan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), padahal hubungan kerja dan IMTA adalah dua hal yang berbeda.

Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing IMTA, adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk kepada Pemberi Kerja.

Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Berdasarkan pengertian IMTA dan Hubungan Kerja tersebut di atas, maka hubungan kerja berakhir apabila perjanjian kerja berakhir, apabila perjanjian kerja berakhir, bukan karena


(45)

berakhirnya IMTA. Apabila IMTA berakhir, hubungan kerja masih berlangsung, maka adalah kewajiban Pemberi Kerja mengajukan permohonan perpanjangan masa berlakunya IMTA.

Penggugat adalah Warga Negara Asing (Australia) yang telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 21 April 1998 s/d tanggal 30 September 2011. Jabatan terakhir sebagaiManager PTD Service (PTD SE), dengan gaji/pendapatan tetap pertahun sebesar seratus dua puluh satu ribu delapan puluh satuEuro.

Meskipun Penggugat adalah Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia, Penggugat mempunyai hak dan perlindungan hukum yang sama dengan Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai berikut. Menurut Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap tenaga kerja mempunyai hak dan


(46)

kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam dan di luar negeri. Menurut Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: Keselamatan dan Kesehatan Kerja; Modal dan Kesusilaan; Perlakuan yang Sesuai dengan Harkat dan Martabat Manusia Serta Nilai-Nilai Agama.

Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana tersebut di atas, selalu menggunakan kata-kata setiap orang/setiap pekerja, membuktikan bahwa peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak membeda-bedakan/memberikan perlakuan atau perlindungan yang berbeda antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Itu artinya, memberikan perlindungan yang sama kepada Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang bekerja di dalam wilayah Republik Indonesia.

Tergugat adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan dan tunduk kepada Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Perjanjian kerja/kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat dibuat dalam


(47)

bahasa Indonesia. Isinya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan apabila timbul perselisihan dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan tidak selesai, maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa Penggugat dan Tergugat telah sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam mengadakan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut.

Menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Menurut Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara


(48)

Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada Pemberi Kerja TKA.

Menurut Pasal 24 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, jangka waktu berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang. Menurut Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/II/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing) dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama satu tahun. Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, RPTKA dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.


(49)

Meskipun setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memiliki IMTA, akan tetapi IMTA bukan merupakan dasar terjadinya hubungan kerja. IMTA hanya merupakan izin yang diberikan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja. Dasar terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh adalah perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan.

Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.

Antara Penggugat dengan Tergugat telah mengadakan hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja/kesepakatan kerja waktu tertentu.

Penggugat bekerja pada Tergugat di Indonesia pada awalnya berdasarkan Letter Of Appointment tanggal 21 April 1998 yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Tergugat yang diwakili


(50)

Sdr. M. Hasier selaku Project Manager dan Sdr. Gunawan selaku Project Site Commercia dengan Penggugat. Letter of Appointment tersebut pada pokoknya mengatur Jabatan Penggugat adalah sebagai Electrical and Instrumentation Supervisor Tergugat; Masa kerja Penggugat terhitung sejak tanggal 10 April 1998 sampai dengan tanggal 31 Maret 1999; Pendapatan Penggugat sebesar U$S 7.600,-(tujuh ribu enam ratus dollar Australia) per bulan; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; dan Letter of Appointment dibuat berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia.

Meskipun Letter of Appointment tersebut di atas berakhir pada tanggal 31 Maret 1999, akan tetapi Penggugat tetap bekerja pada Tergugat sampai dengan tanggal 28 Februari 2001, menerima gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 1999, tahun 2000, dan tahun 2001.

Pada tanggal 9 Maret 2000 (seharusnya tanggal 9 Maret 2001) telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreementoleh dan antara Tergugat yang diwakili Sdr. B. Ortmann dan Sdr. H.W. Linne dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada pokoknya mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak


(51)

tanggal 01 Maret 2001 sampai dengan 31 Maret 2002; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Penggugat sebagai responsible to the Departement Manager of I & S2 PM; Pendapatan dasar Penggugat sebesar sebelas juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; Apabila terjadi perselisihan mengenai hubungan kerja, akan diselesaikan secara kekeluargaan/damai dan apabila tidak tercapai, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini.

Meskipun Employment Agreement tersebut di atas, berakhir pada tanggal 31 Maret 2002, akan tetapi Penggugat tetap bekerja pada Tergugat sampai dengan tanggal 30 September 2002, menerima gaji setiap bulannya dan menerima bonus tahun 2002.

Pada tanggal 02 Oktober 2002 telah dibuat dan ditandatangani Employment Agreement oleh dan antara Tergugat yang diwakili Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr. Frank Pedersen dengan Penggugat. Employment Agreement tersebut pada pokoknya


(52)

mengatur Penggugat akan mulai bekerja di Jakarta sejak tanggal 01 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003; Penggugat akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan; Jabatan Pemohon sebagai responsible to the Departement Manager of I & S2 PM; Pendapatan dasar Pemohon sebesar Rp13.676.688,00 (tiga belas juta enam ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus delapan puluh delapan rupiah) per bulan; Uang pesangon akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; Apabila terjadi perselisihan mengenai hubungan kerja, akan diselesaikan secara kekeluargaan/damai dan apabila tidak tercapai, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Departemen Tenaga Kerja Negara Republik Indonesia; dan Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada perjanjian kerja bersama berlaku, sepanjang tidak diatur dalam perjanjian kerja ini.

Pada tanggal 01 Oktober 2004 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Sdri. Lola Irene Harahap dan Sdr. Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai


(53)

tanggal 01 Oktober 2004 s/d 30 September 2005; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Department/Manager PTD Services (PTD SE); Gaji kotor sebesar Rp17.000.000,- (Tujuh belas juta rupiah) bruto per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja 12 (dua belas) bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat diperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lain, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.

Pada tanggal 1 Oktober 2006 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang


(54)

diwakili Lola Irene Harahap dan Juergen Marksteiner dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2006 s/d 30 September 2008; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Department/Manager PTD Services (PTD SE); Gaji kotor sebesar dua puluh juta tujuh ratus empat puluh lima ribu dua ratus rupiah brutto per bulan. Golongan level 6; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti.

Pada tanggal 1 Oktober 2008 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2008 s/d 30 September 2009; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Departemen/Manager PTD Services (PTD SE); Pendapatan per tahun sebesar seratus tiga puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh


(55)

tujuh Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus delapan ribu sembilan ratus lima puluh tujuh Euro bruto, dan VIS sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.


(56)

Pada tanggal 01 Oktober 2009 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Markus Strohmeier dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 01 Oktober 2009 s/d 30 September 2010; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Departement/Manager PTD Services (PTD SE); Pendapatan per tahun sebesar seratus empat puluh dua ribu tiga ratus tiga puluh sembilan Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus dua belas ribu lima ratus lima puluh sembilan Euro bruto, dan VIS sebesar tiga puluh ribu tujuh ratus delapan puluh Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus empat puluh satu juta tujuh ratus enam puluh empat ribu seratus lima puluh empat rupiah gross dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja 12 (dua belas) bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan


(57)

persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.

Pada tanggal 1 Oktober 2010 telah dibuat dan ditandatangani Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu oleh dan antara Tergugat yang diwakili oleh Lola Irene Harahap dan Hans Peter Haesslein dengan Penggugat. Kesepakatan kerja waktu tertentu tersebut pada pokoknya mengatur Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan kesepakatan kerja terhitung mulai sejak tanggal 1 Oktober 2010 s/d 30 September 2011; Tempat penerimaan dan penempatan Penggugat di Jakarta; Jabatan Penggugat: Head of Departement/Manager PTD Service (PTD SE); Pendapatan per tahun sebesar seratus lima puluh empat ribu lima ratus tiga puluh


(58)

tiga Euro bruto, yang terdiri dari pendapatan tetap sebesar seratus dua puluh satu ribu delapan puluh satuEurobruto, dan VIS sebesar tiga puluh tiga ribu empat ratus lima puluh dua Euro; Jika pekerja berhasil memperoleh target 100%, pekerja akan menerima seratus empat puluh delapan juta delapan ratus lima puluh dua ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah gross, dan dua puluh ribu lima ratus tiga puluh Euro bruto; Pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan penuh berhak atas cuti tahunan sebanyak 25 hari kerja. Apabila pekerja belum/tidak memenuhi masa kerja dua belas bulan, maka cuti tahunan dapat diambil secara proporsional dengan persetujuan atasannya; Jika terjadi perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja, kedua belah pihak sepakat akan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyerahkan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja sebagai langkah terakhir; dan Para pihak dapat memperpanjang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada pihak lainnya, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum kesepakatan kerja waktu tertentu ini berakhir.


(59)

Letter of Appointment tanggal 21 April 1998, Employment Agreement tanggal 9 Maret 2000, tanggal 2 Oktober 2002, Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu tanggal 1 Oktober 2004, tanggal 1 Oktober 2005, tanggal 1 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat sebagaimana diuraikan pada point 9 tersebut di atas dibuat dalam bahasa Indonesia. Berisi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan apabila timbul perselisihan dalam hubungan kerja tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Apabila penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan tidak diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalahnya ke Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa Penggugat dan Tergugat telah sepakat dan setuju menundukkan diri dan memilih hukum Negara Republik Indonesia dalam melakukan hubungan kerja dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut.

Menurut hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Republik Indonesia atau system kontrak bisnis dalam system hukum Indonesia, yaitu: Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


(60)

tentang Ketenagakerjaan, maka Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak (selanjutnya disingkat PKWT) dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Menurut Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap; PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui; PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun; Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama tujuh hari


(61)

sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan; Pembaharuan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun; PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), maka demi hukum menjadi PKWTT. Hal-hal lain yang belum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disesuaikan dengan UU Ketenagakerjaan 2013).

PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama tiga bulan. Dalam masa percobaan kerja, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Ternyata PKWT antara Penggugat dengan Tergugat sebagaimana Penggugat uraikan di atas telah diperpanjang sebanyak 8 kali terhitung sejak tahun 2001 sampai dengan 2011 (± 11 tahun). Khusus PKWT tahun 2004 s/d kesepakatan kerja waktu tertentu


(62)

tahun 2010 diperpanjang terus menerus tanpa putus. Di dalam beberapa perjanjian kerja disyaratkan/adanya masa percobaan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap, terus menerus, sehingga PKWT tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan (4) tersebut, demi hukum menjadi PKWT.

Karena perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat demi hukum menjadi PKWTT sebagaimana diuraikan di atas, maka apabila Tergugat ingin memutuskan/mengakhiri hubungan kerja dengan Penggugat, maka harus ada pemberitahuan, alasan, dan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 2003.

Selama bekerja dengan Tergugat, Penggugat mempunyai prestasi kerja yang baik. Terbukti, setiap tahunnya Tergugat selalu memberi bonus kepada Penggugat, tidak pernah melakukan


(63)

perbuatan tercela, tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan, sehingga tidak pernah mendapatkan teguran/peringatan dan sanksi dalam bentuk apapun juga dari Tergugat.

Pada tanggal 30 September 2011 Tergugat telah melakukan pemutusan/pengakhiran hubungan kerja dengan Penggugat tanpa pemberitahuan, tanpa alasan, tanpa adanya kesalahan Penggugat, dan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, dan sejak itu gaji Penggugat tidak lagi dibayar oleh Tergugat. Karenanya pemutusan/pengakhiran hubungan kerja tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum.

Menurut penggugat, pemutusan/pengakhiran hubungan kerja tersebut dilakukan oleh Tergugat karena Penggugat menolak untuk menandatangani draft PKWT yang baru. Pada draft kesepakatan kerja waktu tertentu yang baru tersebut terdapat tambahan klausula. Bahwa perusahaan atau Tergugat dapat memutuskan hubungan kerja pekerja dengan Penggugat sebelum berakhirnya jangka waktu kontrak tanpa kewajiban perusahaan untuk memberikan kepada pekerja uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah, ganti rugi sebesar upah pekerja sampai dengan waktu seharusnya berakhirnya perjanjian maupun


(64)

pembayaran lainnya, dengan pemberitahuan tertulis tiga bulan sebelumnya, padahal klausula tersebut tidak ada pada PKWT sebelumnya. Bahkan pada perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat sebelumnya terdapat klausula yang menyatakan Penggugat berhak mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Adanya penambahan klasula dalam draft PKWT yang baru tersebut karena Tergugat ingin menghindar dari tanggung jawab untuk membayar pesangon kepada Penggugat akibat konsekuensi dari perpanjangan kontrak kerja waktu tertentu yang dilakukan terus-menerus tanpa putus. Hal ini dapat diketahui dari hasil risalah Conference Call yang diadakan antara manajemen Tergugat yang diwakili oleh Gilang Hermawan & Lola Irena Harahap dengan manajemen Tergugat di Jerman (Mr.Andreas Heine) dan manajemen Tergugat di Malaysia (Mr.Lakhvinder Singh) pada tanggal 9 Agustus 2011. Risalah berisi kesimpulan adanya risiko hukum seperti pembayaran uang pesangon dan audit dari Kementerian Tenaga Kerja dalam memperpanjang kontrak kekaryawanan Tenaga Kerja Asing di Indonesia lebih dari 5 tahun berturut-turut (disampaikan oleh Gilang Hermawan). Stephen Michael Young


(65)

(Penggugat) telah bekerja untuk PT. Siemens Indonesia (Tergugat) sejak 10 tahun yang lalu. Karena itu, untuk menghindarkan isu tersebut di atas direkomendasikan agar kontrak Stephen M. Young diputuskan (disampaikan oleh Gilang Hermawan & Lola Irene Harahap).

Setelah adanya conference call tersebut, pada tanggal 12 September 2011 Tergugat menawarkan kompensasi kepada Penggugat sebesar 30% x 14,95 bulan upah dengan syarat kontrak kerja Penggugat tidak diperpanjang lagi. Tawaran Tergugat tersebut Penggugat tolak karena menurut penggugat hal itu tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Meskipun pemutusan/pengakhiran hubungan kerja yang telah dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum, namun faktanya hubungan kerja tersebut telah berakhir dan tidak mungkin lagi untuk dilanjutkan. Karena Tergugat sudah tidak lagi membayar gaji Penggugat selama delapan bulan dan kalaupun hubungan kerja tersebut diteruskan akan menimbulkan suasana kerja yang tidak baik yang akan merugikan Penggugat dan Tergugat. Karenanya, Penggugat bersedia dan tidak keberatan dilakukan pemutusan hubungan kerja/berakhirnya


(66)

hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat, akan tetapi pemutusan hubungan kerja/berakhirnya hubungan kerja tersebut setelah adanya putusan pengadilan perkara ini, bukan karena kesalahan Penggugat, dan Tergugat harus membayar gaji Penggugat yang belum dibayar terhitung sejak bulan Oktober 2011 sampai dengan adanya putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, yang untuk sementara dihitung sampai bulan Mei 2012 selama 8 bulan membayar 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak sebesar tiga ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus dua Euro dengan rincian Gaji Penggugat yang belum dibayar sejak Bulan Oktober 2011 s/d saat ini: 8 bln gaji x Euro 121.081,-: 12 = Euro 80.720,- Pesangon: 2 x 9 bulan gaji x Euro121.081,-: 12 =Euro181.621,- Uang penghargaan masa kerja: 5 bulan gaji xEuro121.081,-: 12 =Euro50.450,- Uang penggantian hak: 15% x (Euro181.621,- +Euro50.450) =Euro34.811,- Total = Euro347.602.

Selain membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana diuraikan di atas, Tergugat juga harus membayar kekurangan pembayaran bonus tahun 2011. Sesuai ketentuan yang


(67)

berlaku pada Tergugat, Tergugat selalu memberi bonus kepada Penggugat setiap tahunnya sesuai dengan prestasi bisnis dan prestasi pribadi/personal yang Penggugat capai.

Pada tahun 2011, prestasi bisnis Penggugat adalah sebesar 144,39%, dan prestasi pribadi/personal adalah sebesar 1,25. Sesuai ketentuan yang berlaku pada Tergugat, bonus yang harus diterima oleh Penggugat pada tahun 2011 seharusnya adalah sebesar (144,39% x 1.25 x Rp148.852.362,00) + (144,39% x 1.25 x Euro 20.530,-) = Rp268.659.906,00 + Euro 37.054,-. Akan tetapi yang dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat hanya sebesar Rp188.000.000,00 + Euro 25.936,-. Sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp 80.659.906,00 +Euro11.118,-.

Penggugat tidak melihat adanya iktikad baik dari Tergugat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga Penggugat mempunyai kekhawatiran Tergugat tidak mau melaksanakan isi putusan Pengadilan secara sukarela, apabila nanti dihukum untuk membayar gaji yang belum dibayar, 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, kekurangan pembayaran bonus kepada Penggugat. Oleh karena itu untuk menjaga agar gugatan Penggugat tidak sia-sia dan adanya


(1)

berkontrak dengan seorang pemilik kapal di Glasgow yang bernama Burrell. Jika Penggugat merupakan pengusaha yang menjalankan usahanya di Duisberg, Jerman, kemudian mereka melakukan usaha di negara musuh, dalam arti mereka harus tunduk padathe Trading with the Enemy Act and Royal Proclamation Skotlandia. Maka, mereka tidak punya hak untuk meminta bantuan Pengadilan di Skotlandia untuk menegakkan hak-hak sipil mereka. Karena mereka musuh asing, proses tersebut harus selesai sampai akhir perang.17

Terdapat satu contoh lagi mengenai perbedaan dengan putusan No. 1311 K/Pdt/2011 Indonesia. Yaitu dalam Putusan Schulze. Gow & Co. v. Bank of Scotland. Dalam kasus ini, yang terjadi sebelum pecahnya perang, mitra yang masih hidup satu-satunya perusahaan yang menggugat pembela untuk akuntansi mereka dengan dana dari perusahaan, dimana keseimbangan yang benar karena perusahaan mungkin dipastikan. Para pembela memohon, antara lain, tidak ada alasan untuk menuntut, karena subyek hukum kontrak seperti itu adalah dapat dikategorikan sebagai musuh asing.

17

Gebruder van Uden v Burrell, First division, 1916, 1 S.L.T. 117. Court of Session, Scotland, hlm. 254-256.


(2)

Lord Hunter mengatakan bahwa dia tidak bisa memberi putusan dalam permohonan ini. Meskipun penggugat itu subjek Jerman, ia telah lama tinggal dan melakukan usaha perdagangan di Skotlandia, dan telah sepatutnya memenuhi ketentuan Undang-Undang Pembatasan Orang Asing 1914, dan Penjelasan yang dibuat di bawahnya. Dalam Janson v. Driefontein Consolidated Mines, Limited, [1902] AC, di p. 505, Lord Lindley mengatakan; "Ketika mempertimbangkan pertanyaan yang timbul dengan musuh asing, itu bukan kebangsaan seseorang, tapi tempat usahanya selama perang, yang penting, bukan klausul dalam kontrak." Doktrin ini juga diterapkan dalam Kasus Princess Thurn and Taxis v. Moffitt, [1914] WN 379, danSchaffenius v. Goldberg.

Perbedaan berikutnya terletak pada bahwa Indonesia tidak mempunyai suatu undang-undang khusus mengenai transaksi bisnis dengan orang asing (khususnya pada saat perang atau dalam keadaan damai), sedangkan Skotlandia sudah mempunyai undang-undang tersebut. Hal ini dapat dimaklumi bahwa mengingat Indonesia baru merdeka pada tahun 1945, dan itupun diperoleh bukan dari kemenangan atas perang, tetapi karena penjajahan.


(3)

Penerapan prinsip hukum yang keliru juga dipakai oleh sistem hukum di Indonesia. Dapat dicontohkan, kasus antara PT. Saprotan vs. Ny. R. A. Moniek Sriwidjajanti, dkk., dalam putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menyatakan persetujuan batal demi hukum (null and void) karena adanyaeconomic duress.18

Ada dua kekeliruan disini, pertama dari segi terminologi yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and void“ and “economic duress” tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo.

Kedua, economic duress merupakan salah satu bentuk undue influence dalam common law dengan akibat kontrak voidable. Dengan demikian secara subtansial penerapan prinsip ini tidak tepat. Putusan ini jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum kontrak common law. Situasi seperti ini di antaranya karena secara subtansial Hukum Perdata kita terutama yang menyangkut Hukum Perikatan tidak lagi memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam lapangan perekonomian yang berkembang penuh dinamika.19 BW kita harus diakui telah ketinggalan jaman (out of date) dan bagi salah satu ahli Hukum

18

Putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998,Loc. Cit.

19


(4)

Kontrak terkemuka, instrumen hukum yang demikian ini dapat dikategorikan sebagaibad law.20

Perlu dikemukakan juga dalam kasus antara PT. Patra Supplies And Service dengan David J. Duffi dalam putusan No. 223 K/TUN/2007. PT. Patra Supplies And Service adalah perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia, berdomisili dan berlamat kantor di Indonesia, serta menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia, oleh karenanya selain tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, PT. Patra Supplies And Service juga tunduk pada Peraturan Perusahaannya sendiri, serta Kontrak Kerja yang ditandatangani oleh Penggugat dan PT. Patra Supplies And Service.

Meskipun kontrak kerja a quo memilih hukum dan Pengadilan Singapura dalam penyelesaian permasalahan yang diatur dalam kontrak kerja tersebut, namun kontrak kerja tersebut tidak mengesampingkan berlakunya Peraturan Perusahaan PT. Patra Supplies And Service sendiri, dan hukum Indonesia yang lebih tinggi kedudukannya dari kontrak kerjaa quo.

Akan tetapi, hakim dalam putusan tersebut mendalilkan bahwa sesuai Pasal 12 Perjanjian Kontrak Kerja yang ditandatangani, dinyatakan apabila terjadi sengketa dalam kontrak

20


(5)

kerja tersebut akan diselesaikan menurut Hukum Singapura di Pengadilan Singapura, bukan Indonesia.

Selain perbedaan, terdapat pula persamaan prinsip yang dipakai di antara kedua negara (Indonesia dan Skotlandia). Prinsip yang dimaksud adalah prinsip hukum bahwa seorang warga negara asing tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atas kedaulatan wilayah negara dan segala keuntungan yang dapat diperoleh atas itu. Prinsip tersebut dapat ditemukan dalam Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld. Pengadilan Tinggi menegaskan keputusan Ridley, J., dan menolak banding tersebut, dengan biaya.

Lord Reading. CJ, mengatakan bahwa pertanyaan dalam kasus ini adalah apakah penggugat selama perang bisa menuntut musuh asing dalam sewa yang diberikan sebelum perang. Itu berpendapat atas nama terdakwa yang pada saat pecahnya perang semua hubungan, komersial atau sebaliknya, antara orang-orang penduduk di sini dan musuh asing menjadi ilegal, dan akibatnya bahwa sewa yang diberikan sebelum perang kepada orang yang kemudian menjadi musuh (orang asing) itu baik ditangguhkan atau diakhiri oleh perang, dan bahwa tidak ada tindakan yang bisa dibawa


(6)

selama perang untuk memulihkan pembayaran di bawah perjanjian sewa dari musuh asing.

Putusan Halsey and Another v. Lowenfeld tersebut di atas sama dengan putusan No. 286 K/Pdt.Sus-PHI/2013 dalam kasus antara PT. SIEMENS INDONESIA sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Tergugat, melawan STEPHEN MICHAEL YOUNG, Warga Negara Australia, sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat. Pertimbangan hakim mengatakan: “Sekalipun Tergugat terbukti telah mempekerjakan Penggugat secara terus-menerus dari tanggal 10 April 1998 s/d 30 September 2011 atau selama 13 (tiga belas) tahun dan mempekerjakan Penggugat dari tahun 1999 s/d 2001 tanpa adanya perjanjian kerja, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat sebagai tenaga kerja asing dengan Tergugat tidak secara otomatis dapat berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat atau berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) dengan alasan hukum: Penggugat adalah tenaga kerja asing, sehingga hubungan kerjanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu Hubungan Kerja Waktu Tertentu (PKWT).”