FAKTOR PENENTU PEMBENTUK SIKAP EMPATI SOSIAL PESERTA DIDIK KELAS VII DI SMP NEGERI 1 ABUNG BARAT LAMPUNG UTARA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(1)

FAKTOR PENENTU PEMBENTUK SIKAP EMPATI SOSIAL

PESERTA DIDIK KELAS VII DI SMP NEGERI 1

ABUNG BARAT LAMPUNG UTARA

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(Skripsi)

Oleh

VINA WIJAYA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAKS

FAKTOR PENENTU PEMBENTUKAN SIKAP EMPATI SOSIAL PESERTA DIDIK KELAS VII DI SMP NEGERI 1

ABUNG BARAT LAMPUNG UTARA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh VINA WIJAYA

Tujuan dari penelitian ini untuk mencari dan menjelaskan faktor penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, subjek yang diteliti merupakan peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Abung Barat yang pesertadidiknya berjumlah 240 orang. Sampel yang diambil 10% atau 24 peserta didik. Pengumpulan data yang digunakan adalah angket, yang ditunjang dengan wawancara dan dokumentasi. Sedangkan untuk menganalisis data menggunakan rumus persentase.

Hasil penelitian bahwa faktor intern penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013 berdasarkan perhitungan berada pada kategori sedang, faktor ekstern dari keluarga penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik berada pada kategori tinggi, faktor ekstern teman sebaya penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat tahun pelajaran 2012/2013 berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa faktor inten dan ekstern menentukan pembentukan sikap empati sosial peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013.


(3)

SOSIAL PESERTA DIDIK KELAS VII SMP NEGERI

1 ABUNG BARAT LAMPUNG UTARA

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

Vina Wijaya

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan

Pada

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDALAMPUNG

2013


(4)

MENGESAHKAN

1.

Tim Penguji

Ketua

:

Drs. Hi. Berchah Pitoewas, M.H.

………

Sekretaris

: Yunisca Nurmalisa, S. Pd,. M.Pd.

………

Penguji

: Drs. Holilulloh, M.Si.

………

2.

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si.

NIP 19600315 198503 1 003


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Vina Wijaya, dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1991 di Ogan Lima Lampung Utara, merupakan puteri pertama dari pasangan Bapak Widodo dan Ibu Mima Dewi. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu:

1. 1996 − 1997 TK Dharma Wanita Ogan Lima Lampung utara 2. 1997 − 2003 SD Negeri 2 Ulak Ata Lampung Utara

3. 2003  2006 SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara 4. 2006 – 2009 SMA Negeri 3 Kotabumi Lampung Utara

5. 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi PPKn Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur PKAB sampai dengan selesainya skripsi ini.


(7)

Persembahan

Berlandaskan rasa syukur kepada Allah SWT

kupersembahkan karya kecilku ini sebagai

Tanda bakti dan cintaku kepada :

Kedua orang tuaku tercinta “Bapak Widodo dan Ibu

Mima Dewi” yang tak pernah lelah berdo’a untukku

dalam setiap sujudnya dan harapan disetiap tetes

keringat juang demi tercapainya cita-citaku.

Adikku tercinta “Rahmad Fernando” yang dengan

cinta dan kasih sayangnya selalu mendukung,

mendoakan, dan membantuku

Seluruh keluarga besarku yang selalu menantikan dan

berdoa demi keberhasilanku.


(8)

(9)

Motto

Kehidupan akan indah ketika kita mampu berjuang,

melewati hal yang sulit, jangan berkata bahwa kita tidak

bisa sebelum kita mencobanya karena ada seribu cara

dan alasan utuk menghadapi setiap cobaan dan

permasalahn yang terbentang untuk menggapai cita-cita

dan impian. (vina)

Bukan kebahagiaan yang menjadikan kita bersyukur

tetapi bersyukur yang menjadikan kita bahagia


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari Bapak Drs. Berchah Pitoewas, M.H, selaku Pembimbing Utama dan Ibu Yunisca Nurmalisa, S.Pd, M.Pd, selaku Pembimbing Pembantu serta berbagai pihak, maka dalam hal ini penulis menghanturkan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Hi. Bujang Rahman, M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. M. Thoha B. S. Jaya, M.S, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Bapak Drs. Iskandarsyah, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.


(11)

Lampung.

6. Bapak Drs. Holilullah, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dan pembahas I yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Hermi Yanzi S.Pd, M.Pd. selaku Pembahas II, terima kasih atas masukan dan saran-saran yang telah diberikan pada seminar proposal.

8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

9. Bapak dan Ibu staf dan karyawan Universitas Lampung.

10.Bapak Bahagia S.Pd selaku kepala SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara yang telah memberi izin penelitian dan semua bantuan yang diberikan kepada penulis.

11.Bapak dan Ibu guru serta staf tata usaha SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara.

12.Bapak dan Ibu tercinta atas keikhlasan, cinta dan kasih sayangnya, doa, serta dukungan baik secara moral maupun finansial.

13.Adik ku tercinta Rahmad Fernando atas motivasi dan do’anya.

14.Keluarga besar penulis Umeh, Ugok, Mak Uwo, Ende Naf, Wak Rudi, Mang Iyong, Mang Eko, Bik Lia, Mbk Iis, Bun-bun Mia Safitri atas motivasi, doa, dan semangatnya.


(12)

15.Sahabatku Ciby-ciby, Lida, Tri, Irena, Yuni, Resti atas bantuan dan motivasi serta suka, duka, canda tawanya sehingga membuat hari-hari menjadi indah. 16.Teman-temanku di Program Studi PPKn 2009 Septilia, Gita, Ketut, Evvi,

Rindi, Reni, Rendy, Stepy, Redy, Vika, Citra, Evi, Edwin, Roma, Tri Suci, Novita, Heni, kakak tingkat, dan adik tingkat yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya terima kasih atas doa dan bantuannya.

17.Teman-teman KKN dan PPL Desa Sumber Agung Kec. Batanghari Marlia, Nurmala, Anggit, Ester, Bagus, Dani, Devia, Ani, Pitri terimakasih atas do,a dan motivasinya.

18.Sahabatku The Rhavhyc, Yesi, Clara, Hayati, Rikha, Heti dan Animah atas do’a dan motivasi serta canda tawanya yang membuat hari-hari menjadi indah. 19.Bapak, Ibu kosan, mbak Dina, Kak Iwan, Mbk, Ita, Wiyah dan Kak Ian

terimakasih atas do,a dan motivasinya.

20.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan informasi yang ada pada diri penulis sehingga dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan. Segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis,


(13)

Halaman

ABSTRAKS ... i

JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Kegunaan Penelitian ... 9

a. Kegunaan Secara Teoritis ... 9

b. Kegunaan Secara Praktis ... 9

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

1. Ruang Lingkup Ilmu ... 10

2. Ruang Lingkup Objek ... 10

3. Ruang Lingkup Subjek ... 10

4. Ruang Lingkup Wilayah ... 10

5. Ruang Lingkup Waktu ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Deskripsi teoritis ... 12

1. Tinjauan Tentang Sikap ... 12

1.1 Pembentukan Sikap ... 13

1.2 Perubahan Dan Fungsi Sikap ... 16

2. Tinjauan Tentang Empati ... 17

2.1 Pengertian Empati Dan Sikap Empati ... 17

2.2 Tahap-Tahap Pengembangan Empati ... 19

2.3 Aspek-aspek Empati ... 22

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Empati ... 23


(14)

2.6 Faktor Pendorong Pengembangan Empati ... 27

2.7 Teknik-teknik Mengasah Empati ... 28

2.8 Manfaat-manfaat Empati ... 33

3. Tinjauan Tentang Sosial ... 35

3.1 Pengertian Sosial ... 35

4. Faktor-faktor Penentu Pembentukan Sikap Empati... 37

4.1 Faktor Internal ... 37

4.2 Faktor Eksternal ... 38

a. Keluarga... 38

b. Teman sebaya ... 41

B. Kerangka Pikir ... 44

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 45

A. Metode Penelitian ... 45

B. Populasi Dan Sampel ... 45

1. Populasi ... 45

2. Sampel ... 46

C. Variabel Penelitian ... 47

D. Definisi Operasional Variabel ... 47

E. Rencana Pengukuran Variabel ... 48

F. Teknik Pengumpulan Data ... 48

1. Teknik Pokok ... 48

2. Teknik Penunjang ... 49

a. Teknik Wawancara ... 48

b. Teknik Dokumentasi ... 48

G. Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 50

1. Uji Validitas ... 50

2. Uji Reliabilitas ... 50

H. Teknik Analisis Data ... 52

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Langkah-langkah Penelitian ... 54

1. Persiapan Pengajuan Judul ... 54

2. Penelitian Pendahuluan ... 54

3. Pengajuan Rencana Penelitian ... 55

a. Persiapan Adminitrasi ... 55

b. Penyusunan Alat Pengumpulan Data ... 55

c. Uji Coba Soal Angket ... 55

1. Analisis Validitas Angket ... 55

2. Analisis Reliabilitas ... 56

d. Penelitian di Lapangan ... 60

B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 61

1. Sejarah Singkat SMP Negeri 1 Abung Barat ... 61

2. Situasi dan Kondisi Sekolah ... 62

3. Keadaan sekolah ... 62

1. Keadaan Tenaga Pengajar ... 62

2. Pembagian Kelas SMP Negeri 1 Abung Barat ... 62


(15)

Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik kelas

VII Kelas SMP Negeri 1 Abung Barat ... 64

2. Penyajian Data mengenai Faktor ektern Penentu Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik kelas VII Kelas SMP Negeri 1 Abung Barat ... 68

a. Faktor Keluarga ... 68

b. Faktor Teman Sebaya ... 71

D. Pembahasan ... 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Populasi Siswa Tahun 2012/2013 ... 46 Tabel 2 Jumlah Pengambilan Sampel Siswa Tahun 2012/2013... 46 Tabel 3 Distribusi Skor Hasil Uji Coba Angket Dari 10 Orang

Di Luar Responden Mengenai Faktor Penentu Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik

Tahun 2012/2013 Untuk Item Ganjil (X)...56 Tabel 4 Distribusi Skor Hasil Uji Coba Angket Dari 10 Orang

Di Luar Responden Menganai Faktor Penentu Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik

Tahun 2012/2013 Untuk Item Genap (Y) ... 57 Tabel 5 Tabel Kerja Antara Item Ganjil (X) Dengan Item

Genap (Y) Mengenai Faktor Penentu Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik Tahun 2012/2013 ... 58 Tabel 6 Distribusi Sarana Dan Prasarana SMP Negeri 1

Abung Barat Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013 ... 63 Tabel 7 Jumlah Peserta Didik SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung

Utara Tahun Pelajaran 2012/2013... 64 Tabel 8 Distribusi Skor Angket Faktor Intern Penentu Pembentukan

Sikap Empati Sosial Peserta Didik kelas VII di SMP

Negeri 1 Abung Barat TP. 2012/2013 ... 65 Tabel 9 Distribusi Frekuensi Faktor Intern Penentu Pembentukan

Sikap Empati Sosial Peserta Didik Kelas VII di SMP

Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara TP. 2012/2013 ... 66 Tabel 10 Distribusi Skor Angket Faktor keluarga Penentu

Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik kelas


(17)

Tabel 12 Distribusi Skor Angket Faktor Teman Sebaya Penentu Pembentukan Sikap Empati Sosial Peserta Didik di SMP

Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara TP. 2012/2013 ...72 Tabel 13 Distribusi Frekuensi Faktor Teman Sebaya Penentu

Pembentukan Sikap Empati Peserta Didik Kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara TP. 2012/2013 ... 74


(18)

DAFTAR GAMBAR


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia secara kodrati tercipta dengan sifat yang unik, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap individu memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial yang berkembang dengan berbagai variasi dari setiap individu berdasarkan dari dalam diri individu masing-masing ataupun faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri.

Kecendrungan yang terjadi saat ini banyak orang yang sangat mengistimewakan kecerdasan intelaktual saja dan mengabaikan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial pada diri anak. Beranjak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Goleman menyatakan bahwa setinggi-tingginya kecerdasan intelektual manyumbangkan kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan individu dalam hidup. Sedangkan 80% sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual.

Pakar Psikologi lain Howard Gardner mengemukakan kecerdasan manusia yang dimiliki manusia yaitu: kecerdasan visual / spasial, kecerdasan natural


(20)

2

(kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau kecerdasan linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), kecerdasan logika (menalar atau menghitung), kecerdasan kinestik / fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet), kecerdasan sosial yang dibagi menjadi intrapersonal dan interpersonal.

Salah satu kecerdasan yang diungkap Gardner adalah kecerdasan interpersonal atau dapat juga dikatakan kecerdasan sosial, diartikan sebagai “kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi menang-menang atau menguntungkan”.

Kecerdasan interpersonal menurut Thomas Armstrong (2004) adalah

“kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud motivasi, serta perasaan orang lain”. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak isyarat, kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal, dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu (misalnya mempengaruhi sekelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu).

Kecerdasan interpersonal juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berlangsung antar dua pribadi, mencirikan proses-proses yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu lainnya. Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain (empati). Individu cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya.


(21)

Kecerdasan intelektual memang penting dikembangkan pada diri anak, tetapi yang tidak kalah penting yang harus diperhatikan yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial atau interpersonal anak. Sebab, kecenderungan masyarakat modern, yang satu sama lain sering bersitegang dengan waktu karena adanya target atau bahkan ambisi, persaingan yang sangat ketat di segala bidang, kebutuhan terhadap pemenuhan materi sekaligus gengsi yang semakin menguat, akan membuat kehangatan hubungan sosial semakin berkurang. Empati dapat menjadi kunci menaikkan integritas dan kedalaman hubungan dengan orang lain. Empati yang merupakan kualitas utama dalam kecerdasan emosional ketiga untuk meningkatkan hubungan antarpribadi. Setiap hubungan yang merupakan akar kepedulian berasal dari penyesuaian emosionalnya dengan orang lain.

Anak-anak yang berempati dengan baik, tidak akan tega menyakiti perasaan orang lain, bahkan dia akan merasa ikut sedih jika temannya sedang mendapatkan suatu musibah. Tingginya kepekaan empati akan berpengaruh pada kecakapan sosialnya. Dimana semakin tinggi kecakapan sosialnya, maka dia akan lebih mampu membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman. Dengan demikian orang yang memiliki empati cukup tinggi akan mempunyai etika moral yang cukup tinggi pula dalam masyarakat. Dari sini jelas bahwa empati ini amat penting untuk ditanamkan pada anak sejak usia dini, guna terbentuknya pribadi yang baik dan bermoral tinggi, memiliki sopan santun dalam bersikap dan bertindak, dapat dipercaya dan dapat diandalkan.


(22)

4

Empati membuat anak menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorongnya menolong orang yang kesusahan dan kesakitan, serta menuntunnya memperlakuan orang dengan kasih sayang. Empati yang kuat mendorong anak bertindak benar karena ia bisa melihat kesusahan orang lain sehingga mencegahnya melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain. Semakin dalam rasa empati sesorang, semakin tinggi rasa hormat dan sopan satuannya kepada sesama. Biasanya orang yang memiliki sikap empati ini sangat peduli dan rela bertindak untuk memberikan bantuannya kepada siapa saja yang memang benar-benar harus dibantu.

Pada saat ini yang terjadi di masyarakat, tidak terkecuali di kalangan peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat mulai memudarnya kemampuan sikap berempati pada anak, masing-masing orang menjadi individual dalam bersosial dan mereka juga merasa semakin dibebani oleh kepentingan-kepentingan yang bagi dirinya dirasa tidak menguntungkan, kurangnya kepedulian peserta didik terhadap penderitaan orang lain dan keadaan yang ada di sekitarnya. Serta sulitnya menerima sudut pandang orang lain dan menghargai perbedaan perasaan terhadap berbagai macam hal, seperti berbeda suku.

Oleh karena itu, kemampuan berempati penting dalam pergaulan untuk memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang terhadap berbagai macam hal, menjadi pendengar dan penanya yang baik. Kemampuan-kemampuan tersebut sebagai suatu seni bekerja sama untuk menghindari konflik. Empati mengarah kepada kepedulian, mementingkan orang lain dan belas kasih, toleransi dan menerima perbedaan.


(23)

Kemampuan-kemampuan ini semakin dibutuhkan orang untuk hidup bersama dan saling menghormati (Goleman, dikutip Asri; 2004)

Ada beberapa faktor yang diduga menentukan pembentukan sikap empati sosial yang tumbuh dan dipahami secara positif oleh seseorang, terutama para pelajar yang notabene merupakan generasi yang menjadi harapan bangsa, diantaranya adalah sebagai berikut :

Faktor yang berasal dari dalam diri anak empati muncul secara alamiah dan sejak usia dini, anak-anak lahir dengan membawa sifat yang besar manfaatnya bagi perkembangan anak. Faktor genetik/keturunan merupakan faktor yang sudah ada atau karena terkait dengan syaraf-syaraf yang ada pada organ otak. Kecepatan otak mengolah atau memproses masukan yang didapat amat tergantung pada kondisi dan kematangan otak. Jika organnya dalam keadaan baik, maka proses pengolahan apapun yang di terima otak akan ditangkap dengan baik dan dijalankan sesuai perintah otak.

Selain faktor genetis/keturunan, kesadaran diri yang berkembang akan membuat peserta didik mampu memahami dirinya baik keadaan internal maupun eksternal seperti menyadari emosi-emosi yang muncul (internal) atau menyadari cara berbicara dan intonasi suaranya (eksternal). Pemahaman sosial ini meliputi Kesadaran diri. Kesadaran diri adalah mampu menyadari dan menghayati totalitas keberadaannya di dunia seperti menyadari keinginan-keinginannya, cita-citanya, harapan-harapannya dan tujuan-tujuannya dimasa depan.Kesadaran diri ini sangat penting dimiliki oleh peserta didik karena kesadaran diri memiliki fungsi monitoring dan fungsi kontrol dalam diri.


(24)

6

Pengaruh lingkungan keluarga dapat diartikan sebagai daya yang timbul dari lingkungan keluarga yang ikut membentuk atau membangun sifat dan karakter anak. Bagi anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling berpengaruh. Keluarga adalah lingkungan terkecil yang dibangun oleh orang tua bersama anggota keluarga lainnya. Pembentukan sifat atau karakter anak berhubungan dengan sosialisasi atau suatu proses penanaman nilai dan aturan dari orang tua kepada anak. Keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku individu serta pembentukan vitalitas dan ketenangan dalam benak anak-anak karena melalui keluarga anak-anak mendapatkan bahasa, nilai-nilai, serta kecenderungan mereka. Kehadiran orang tua secara emosional juga sangat berpengaruh dalam pembentukan empati anak. Studi yang dilakukan John Gottman dari Universitas Washington (Borba, 2008: 17) menemukan bahwa orang tua yang bisa menumbuhkan empati dalam diri anaknya adalah mereka yang secara aktif terlibat dalam kehidupan dan kondisi emosional anaknya.

Dari sebuah penelitian yang dilakukan sebuah universitas (dikutip oleh Borba, 2007: 17) menemukan bahwa ibu-ibu masa kini yang bekerja diluar rumah melewatkan waktu rata-rata sebelas menit per hari untuk berinteraksi yang berkualitas dengan anak-anaknya selama hari kerja dan sekitar tiga puluh menit selama akhir pekan. Sementara ayah melewatkan waktu bersama anaknya hanya delapan menit pada hari kerja dan empat belas menit selama akhir pekan. Tidak jauh berbeda, ibu-ibu tidak bekerja menghabiskan tiga belas menit per hari. Kurangnya waktu untuk berinteraksi dan komunikasi antara orang tua dan anak menjadi penyebab anak tidak berempati, orang tua


(25)

yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya melewatkan hal yang penting bagi anak.

Pergaulan teman sebayanya, selain dengan lingkungan keluarga peserta didik banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Anak lebih banyak berada diluar rumah dengan teman sebaya. Teman dapat dikatakan dunia kedua setelah orang tua yang dimana kepada teman anak dapat menuangkan segala permasalahnnya bahkan tidak jarang anak menceritakan semua permasalahannya pada temannya dibandingkan dengan orang tuanya. Dapat dimengerti bahwa sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku teman sebaya besar pengaruhnya. Di dalam kelompok sebaya, anak berusaha menemukan dirinya.

Kelompok sebaya memberikan lingkungan yaitu dunia tempat anak dapat melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya. Disinilah letak berbahayanya bagi perkembangan jiwa anak, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif, akan lebih berbahaya apabila kelompok sebaya ini cenderung tertutup (closed group), dimana setiap anggota tidak dapat terlepas dari kelompok nya dan harus mengikuti nilai yang dikembangkan oleh pimpinan kelompok, sikap, pikiran, perilaku, dan gaya hidupnya merupakan perilaku dan gaya hidup kelompoknya.

Fenomena menipisnya kemampuan berempati dikalangan anak masa sekarang khususnya dikalangan peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat menjadi permasalahan yang begitu penting karena masa anak-anak mereka


(26)

8

memberikan kontribusi yang begitu menentukan bagi terbentuknya pribadi yang baik dan bermoral tinggi, memiliki sopan santun dalam bersikap dan bertindak, dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Berdasarkan hal tersebut penulis melakukan penelitian dengan melihat faktor penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Pentingnya kemampuan berempati dalam pergulan.

2. Empati kunci menaikkan integritas dan meningkatkan hubungan dengan orang lain.

3. Faktor keluarga yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap empati sosial peserta didik.

4. Faktor teman sebaya yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap empati sosial peserta didik.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah pada Faktor penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat sebagai berikut:

1. Faktor dari dalam diri anak (Faktor internal) 2. Faktor dari luar diri anak (Faktor Eksternal):

a) Keluarga


(27)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah pada penelitian ini adalah “Faktor apa sajakah penentu pembentukan

sikap empati sosial pada peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten

Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013”.

E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mencari dan menjelaskan faktor-faktor penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini secara teoritis berguna untuk mengembangkan pemahaman tentang konsep-konsep ilmu pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan pada kajian pendidikan kewarganegaraan yang membahas tentang pembentukan sikap empati sosial pada diri.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini berguna untuk: 1. Bagi Peserta Didik

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam menumbuh kembangkan sikap empati sosial di lingkungan setempat.


(28)

10

2. Bagi Guru

Penellitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan sekaligus kajian dalam rangka upaya menumbuh kembangkan sikap empati peserta didik.

3. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tempat bergaul yang positif bagi peserta didik.

F. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Ilmu

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu pendidikan kewarganegaraan dalam wilayah kajian pendidikan kewarganegaraan tentang pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik.

2. Ruang Lingkup Objek

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Faktor penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara.

3. Ruang Lingkup Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013.

4. Ruang Lingkup Wilayah

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara.


(29)

5. Ruang Lingkup Waktu

Pelaksanaan penelitian ini adalah sejak dikeluarkannya surat izin penelitian pendahuluan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung terhitung dari tanggal 14 Desember 2012 sampai dengan tanggal 27 Maret 2013.


(30)

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teoritis

1. Tinjauan Tentang Sikap

Sikap pada dasarnya adalah merupakan bagian dari tingkah laku manusia, sebagai gejala atau kepribadian yang memancar keluar. Trow memberikan kontribusi mengenai definisi sikap (dikutip Djaali: 2006) adalah “Suatu kesiapan mental dan emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi

kesiapan mental”.

Sementara All Port (dikutip Djaali: 2006) mengemukakan bahwa “Sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu terhadap semua

objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu”.

Pendapat lain disampaikan oleh Harlen (dikutip Djaali: 2006) menyatakan

bahwa “Sikap adalah kesiapan atau kecendrungan seseorang untuk bertindak

berkenaan dengan objek tertentu”.

La Pierre (Azwar, dikutip Abdulsyani: 2007) mengemukakan bahwa sikap


(31)

predisposisi untuk menyesuaikan dengan situasi sosial, atau secara sederhana

sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan”.

Pernyataan mengenai sikap yang di kemukakan oleh ketiga tokoh di atas diperjelas lagi oleh Muchielli (Green, 1980) yang menggambarkan sikap

adalah “Suatu kecenderungan mental atau perasaan yang relatif tetap terhadap

suatu kategori obyek, orang, atau situasi tertentu”.

Sikap adalah kesiapan mental dan emosional yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu untuk bertindak berkenaan dengan objek tertentu.

1.1. Pembentukan Sikap

“Seseorang yang tidak dilahirkan dengan sikap dan pandangannya, melainkan

sikap tersebut terbentuk sepanjang perkembangannya. Dimana dalam interaksi sosialnya, individu beraksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai

objek psikologis yang dihadapinya” (Anwar, dikutip Abdulsyani: 2007).

Loudon dan Bitta (Abdulsyani: 2007) menulis bahwa sumber pembentuk sikap ada empat, yakni pengalaman pribadi, interaksi dengan orang lain atau kelompok, pengaruh madia massa dan pengaruh dari figur yang dianggap penting. Swastha dan Handoko menambahkan bahwa “Tradisi, kebiasaan,

kebudayaan dan tingkat pendidikan mempengaruhi pembentukan sikap”.

Beberapa pendapat di atas, Azwar (Abdulsyani: 2007) menyimpulkan “Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting media masaa, institusi


(32)

14

atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri

seorang individu”.

a. Pengalaman pribadi

Middlebrook (Abdulsyani: 2007) mengatakan “bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis,

cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut”. Sikap

akan lebih mudah terbentuk jika yang dilami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, karena penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama membekas.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Individu pada umumnya cenderung memiliki sifat yang konformis atau searah atau searah dengansikap orang yang dianggap penting yang didoronh oleh keinginan untuk berafilasi dan keinginan untuk menghindari konflik.

c. Pengaruh kebudayaan

Burrhus Frederic Skinm, (Abdulsyani: 2007) “sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi

seseorang”. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang

menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami (Hergenhan). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengaruh sikap individu terhadap berbagai masalah.


(33)

d. Media massa

Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini sesorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberikan dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkut posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembga pendidikan atau


(34)

16

lembaga agama seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.

f. Faktor emosional

Suatu bentuk sikap terkadang didasar oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilaang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

1.2. Perubahan dan Fungsi Sikap

Sikap ternyata dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar, proses sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya pengalaman-pengalaman baru yang dialami individu (Davodoff, Abdulsyani: 2007). Katz (Abdulsyani: 2007) menyebutkan fungsi sikap ada empat yaitu: 1. Fungsi penyesuaian atau fungsi menafaat yang menunjukkan bahwa

individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang digunakannya dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya. Dengan demikian, maka individu akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakan akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang merugikan.

2. Fungsi pertahanan ego yang menunjukkan keinginan individu untuk menghindarkan diri serta melindungi dari hl-hal yanng mengancam egonya atau apabila ia mengetahui fakta yang tidak mengenakkan, maka sikap dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut.


(35)

3. Fungsi pernyataan nilai, menunjukkan keinginan individu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan sesuatu nilai yang dianutnya sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya.

4. Fungsi pengetahuan menunjukkan keinginan individu untuk mengekspresikan rasa ingin tahunya, mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya.

2. Tinjauan Tentang Empati

2.1. Pengertian Empati dan Sikap Empati

Empati inti emosi moral yang membantu anak memahami perasaan orang lain. Kebijakan ini membuatnya menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorong anak menolong orang yang kesusahan dan kesakitan, serta menuntunnya memperlakukan orang dengan kasih sayang.

Empati yang dikemukakan oleh Ahmad (2007) adalah “Kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dinginkan

orang lain”. Empati ini bergantung pada kesadaran dan emosional. Empati ini merupakan ketrampilan dasar bergaul orang-orang yang empatik akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

Damon (John W: 2003) mengemukakan “Empati adalah bereaksi terhadpa perasaan orang lain dengan respon emosional yang sama dengan respon orang


(36)

18

Pendapat lain dikemukakan oleh Borba (2008) yang mengatakan “Empati adalah kemampuan memahami perasaan dan kekhawatiran orang lain”.

Beranjak dari pendapat ketiga tokoh di atas, Koestener dan Franz (dikutip Sigit: 2009) mengatakan bahwa “Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain, tanpa harus terlibat

secara nyata dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut”.

Berempati tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan orang lain semata, tetapi harus dinyatakan dengan verbal dan dalam bentuk tingkah laku. Tiga tahap dalam berempati menurut Gadza (dikutip Budiningsih, 2004: 48) yaitu:

1. Tahap pertama, medengarkan dengan seksama apa yang diceritakan orang lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya.

2. Tahap kedua, menyusun kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perasaan dan situasi orang tersebut.

3. Tahap ketiga, menggunakan susunan kata tersebut untuk mengenali orang lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya.

Goleman (Asri: 2004) mengemukakan bahwa sikap empati adalah “Sikap yang terus menerus terlibat dalam pertimbangan-pertimbangan moral”. Empati merupakan kondisi yang penting untuk mengembangkan komunikasi sosial yang bermakna, sejauh mana empati seseorang kepada orang lain dalam berinteraksi sosial.

Di pihak lain, empati justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain karena


(37)

dimungkinkan seseorang itu masuk dan menjadi sama dengan orang lain. Dengan berempati, seseorang bisa benar-benar merasakan dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya (Gunarsa Singgih: 1992).

“Kemampuan pemahaman dan menarik kesimpulan dari ekspresi emosi orang

lain merupakan kemampuan yang penting bagi anak dalam lingkungan sosialnya, karena dengan memahami emosi tersebut akan membantu anak untuk berperilaku dalam lingkungan sosialnya, selain itu juga dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan dan mendiskusikan perasaannya sendiri atau perasaan orang lain serta dapat

membantu untuk mengembangkan kemampuan empati” (Hoffman, dikutip

Sigit; 2009).

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan diatas, ditarik kesimpulan empati adalah kemampuan memahami dan merasakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dinginkan orang lain tanpa harus terlibat secara nyata dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut.

2.2. Tahap-tahap Pengembangan Empati

Martin Hoffman, seorang ahli ytang terkenal dengan pengembangan moral,

meyakini bahwa “Anak-anak mengembangkan empati mereka dalam beberapa tahapan. Mulai dari tahapan egosentris, berpusat pada diri sendiri, pandangan yang selalu berpikut tentang diri sendiri sampai tahap mereka tidak hanya peduli terhadap orang lain, melainkan juga dapat merasakan dan memahami


(38)

20

1. Empati Umum (Bulan-bulan pertama kelahiran)

Seorang anak tidak dapat membedakan dengan tegas antara dirinya dan lingkungannya, sehingga ia tidak dapat memahami penderitaan orang lain karena menganggap penderitaan ini sebagai bagian dari dirinya. Bayi berusia enam bulan mendengar bayi lain menangis dan ikut menangis juga. 2. Empati Egosentris (milai usia 1 Tahun)

Reaksi seorang anak lain yang sedang menderita perlahan-lahan mulai berubah. Dia sekarang memahami ketidaknyamanannya orang lain sebagai bukan bagian dari dirinya. Anak usia dua tahun melihat ibunya menangis, lalu dia duduk di samping ibunya dan mengusap-usap tangan ibunya dengan lembut.

3. Empati emosional (Tahun-tahun pertama prasekolah)

Pada saat usia sekitar dua atau tiga tahun, seorang anak mulai mengembangkan kemampuan memerankan orang lain. Dia mengenali bahwa perasaan seseorang mungkin berbeda dari perasaannya, yang dapat dengan sangat baik mengetahui sumber-sumber penderitaan orang lain, dan menemukan cara sederhana memberikan bantuan atau menunjukkan dukungan.

4. Empati kognitif (Tahun-tahun pertama sekolah dasar mulai usia 6 tahun) Pada tahap ini seorang anak dapat memahami persoalan dari sudut pandang orang lain, sehingga ada peningkatan dalam usahanya mendukung dan membantu kebutuhan orang lain. Kemampuannya menggunakan bahasa untuk membantu orang lain juga meningkat pesat.


(39)

5. Pada usia 7-8 tahun rasa malu dan kebanggaan yang tergantung pada kesadaran terhadap akibat tindakan mereka, akan mempengaruhi pendapat mereka tentang diri mereka. Pada periode ini anak-anak lanjut akan lebih empatis dan perilaku menolong semakin berkembang, anak-anak mulai mengontrol emosi negatif Menurut Pepalia (dikutip Lusi: 2008).

6. Empati Abstrak (tahun-tahun terakhir masa kanak-kanak usia 10-12 tahun) Pada tahap ini seorang anak dapat memperluas empatinya melampaui hal-hal yang ia ketahui secara pribadi dan mengamati langsung kekelompok masyarakat yang belum pernah ia temui.

2.3. Aspek-aspek Empati

Davis (Sigit, 2009: 24) membagi konsep empati dalam empat aspek berdasarkan pendekatan yang sifatnya multidimensional, yaitu:

a. Perspective taking, untuk perilaku yang non egosentrik, yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri akan tetapi pada kepentingan orang lain. Kemampuan ini seiring pula dengan antisipasi seseorang terhadap perilaku dan reaksiemosi orang lain, sehingga dapat dibangun hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan.

b. Fantasy merupakan kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada buku0buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam permainan-permainan.

c. Empathic concern merupakan orientasi seseorang terhadap orang lain yang berupa perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang ditimpa


(40)

22

kemalangan. Aspek ini merupakan cermin dari perasaan kehangatan dan simpati erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.

d. Personal distress, merupakan orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri, dan meliputi perasaan cema dan gelisah pada situasi intepersonal. Personal distress yang tinggi berhubungan dengan rendahnya social fundtioning. Jadi tingginya personal distress menunjukkan kurangnya kemampuan dalam bersosialisasi.

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Proses Empati

Beberapa faktor, baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi proses empati sebagai berikut, antara lain:

1. Sosialisasi

Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.

2. Perkembangan kognitif

Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (berbeda).

3. Mood dan Feeling

Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain


(41)

4. Situasi dan Tempat

Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain.

5. Komunikasi

Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati.

2.5. Faktor Penghambat Terjadinya Perkembangan Empati

Borba (2008: 17-20) mengemukakan bahwa ada lima faktor yang paling berpengaruh bagi terjadinya krisis perkembangan empati, yaitu:

1. Ketidakhadiran orang tua secara emosional

Orang tua yang bisa menumbuhkan empati dalam diri anaknya adalah mereka yang secara aktif terlibat dalam kehidupan dan kondisi emosional anaknya. Kurangnya waktu untuk bersama antara anak dan orang tua selama beberapa dekade belakangan ini berpengaruh buruk, menurut hasil penelitian Gottman dari Universitas Washington.

2. Ketiadaan keterlibatan ayah

Ayah yang sibuk bekerja sampai tidak mengetahui perkembangan anaknya, tidak ada kesempatan untuk bermain, bercanda apalagi memanjakan anaknya, dapat menghambat perkembangan empati anak. Selaras dengan yang dikemukakan Borba bahwa penelitian


(42)

24

jangka panjang yang dimulai pada tahun 1950-an, manunjukkan anak-anak yang pengasuhan ayahnya terlibat secara positif ketika berusia lima tahun, tiga puluh tahun kemudian terlihat lebih berempati, dibandingkan dengan mereka yang ayahnya tidak terlibat. 3. Kekerasan di media

Selama dekade terakhir, anak-anak dibombardir dengan acara televisi, film, musik, video, permainan, dan internet yang menunjukkan kekerasan, kejahatan, dan kekejaman. Sangat mempengaruhi perkembangan perilaku anak-anak. Karena biasanya perilaku itu dipelajari dengan meniru apa yang diamati, sehingga semakin banyak contoh yang dilihat, semakin besar kemungkinan ditiru anak. Beberapa studi menunjukkan bahwa menonton acara televisi yang menampilkan pesan prososial meningkatkan sikap kooperatif, sensitif, dan kepedulian diantara anak, dan mereka cenderung akan meniru perilaku baik tersebut. Riset juga menunjukkan bahwa perilaku prososial seperti itu semakin meningkat jika orang tuanya menonton bersama anak-anaknya serta mendiskusikan atau memerankan perilaku tersebut sebagaimana MadelineLevins (Borba, 2008: 18) dalam bukunya See No Evils

mengungkapkan bahwa “Ada penelitian besar terhadap pengaruh kekerasan media pada anak-anak prasekolah”. Hampir tanpa terkecuali, riset menunjukkan bahwa melihat tindak kekerasan menjadikan anak lebih agresif, lebih gelisah, lebih penakut, kurang kretif dan kurang intuitif.


(43)

4. Ketabuan mengungkapkan perasaan pada anak laki-laki

Dalam urusan emosi, cara orang tua mendidik anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Orang tua lebih banyak mendikusikan perasaan serta mengungkapkan kata-kata yang berhubungan dengan emosi kepada anak perempuan untuk mengungkapkan perasaannya sementara anak laki-laki dididik agar menyembunyikan kesedihannya. Dengan melihat kenyataan bahwa faktor penentu utama yang membuat anak mampu merasakan perasaan orang lain adalah kemampuan memahami serta mengekspresikan perasaannya sendiri, jelas terlihat bahwa sikap orang tua terhadap pengungkapan perasaan anak laki-laki dapat menghambat perkembangan anak lak-laki, hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh William Pollack (Borba, 2008: 20) penulisan Red Boys, riset

menunjukkan bahwa “Anak laki-laki terlahir dengan sifat empati

alami, yang berlawanan dengan kekerasan”. Pada waktu kelas dua

SD, mereka mulai terlihat kurang memahami kesedihan dan kesusahan orang lain serta mulai terlihat kurang dapat mengekspresikan emosi dan kepeduliannya terhadap kata-kata. Kenyataannya anak laki-laki belajar bahwa mereka hanya boleh menunjukkan emosi marah, sementara perasaan lain harus ditutupi. Dengan semakin meningkatnya kemarahan itu, potensi mereka untuk berempati semakin menurun.


(44)

26

5. Kekerasan di usia balita

Kemampuan berempati anak akan berkembang jika orang tua mengembangkannya sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak serta tidak dengan tindakan kekerasan, tetapi dengan kasih sayang. Selaras dengan riset menarik yang dilakukan Bruce Perry (Borba, 2008: 20) dari Fakultas Kedokteran Baylor menemukan

bahwa “Tiga tahun pertama merupakan masa penting dalam hidup anak untuk membangun kapasitas empati, atau sebaliknya

menanamkan benih kekerasan kepada mereka”. Perry menegaskan kembali bahwa “akibat stress yang terjadi berulang-ulang selama tiga puluh enam bulan pertama kehidupan anak seperti kekerasan,

penelantaran, dan trauma”.

2.6. Faktor Pendorong Pengembangan Empati

Suzanne Denham, penulis buku Emotional Development in Young Children (Borba; 2008) menemukan sembilan faktor yang menurut para peneliti umumnya dapat meningkatkan empati.

1. Usia. Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia; jadi, anak yang lebih besar umumnya lebih dapat berempati daripada anak yang masih kecil.

2. Gender. Anak yang masih kecil cenderung labih berempati terhadap teman yang memiliki gender yang sama karena mereka merasa memiliki banyak persamaan.


(45)

3. Intelegensia. Anak yang lebih cerdas biasanya lebih dapat menenangkan orang lain karena lebih dapat memahami kebutuhan orang lain dan berusaha mencari cara untuk membantu.

4. Pemahaman emosional. Anak-anak yang secara bebas mengekspresikan emosi biasanya lebih berempati karena mereka lebih mampu memahami dengan tepat perasaan ornag lain.

5. Orang tua yang berempati. Anak-anak yang mempunyai orangtua yang berempati cenderung akan menjadi anak-anak yang berempati pula karena mencontoh perilaku orang tuanya.

6. Rasa aman secara emosional. Anak-anak yang asertif dan mudah menyesuaikan diri cenderung suka membantu orang lain.

7. Tempramen. Anak-anak yang yang ceria dan mudah bergaul biasanya lebih dapat berempati terhadap anak yang sedang stres.

8. Persamaan kondisi. Anak-anak lebih mudah berempati terhadap mereka yang mengalami kondisi atau pengalaman sama.

9. Ikatan. Anak-anak lebih dapat berempati terhadap teman daripada terhadap orang lain yang tidak terlalu dekat.

2.7. Teknik-Teknik Mengasah Empati

Empati, yang merupakan emosi utama dalam membedakan benar dan salah, sudah tumbuh sejak dini. Kapasitas berempati dapat berkembang jika dipupuk dengan baik. Jika tidak, empati tidak akan berkembang. Karena pemahaman emosi merupakan dasar bagi empati. Kemampuan empati harus selalu dilatih atau diasah sejak dini. Bahkan, meskipun usia seseorang telah beranjak


(46)

28

dewasa, harus tetap melatih empati. Kemudian ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar kemampuan empati kita terbentuk, antara lain :

1. Rekam semua emosi pribadi

Setiap orang pernah mengalami perasaan positif maupun negatif, misalnya sedih, senang, bahagia, marah, kecewa dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut apabila kita catat atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang sama saat kondisi tertentu menjumpai kita kembali. Disamping itu ketika kita mengetahui perasaan tersebut sedang dialami oleh seseorang, kita dapat memahami kondisi tersebut sehingga kita dapat memperlakukannya sesuai dengan apa yang diharapkannya.

Cara mengembangkan pemahaman anak terhadap emosi. 1. Mendengarkan anak dengan empati

2. Perhatikan perasaan anak dan dengarkan dengan empati 3. Ketahui penyebab timbulnya empati

4. Kenali perasaan anak

5. Cari pemecahan masalah untuk anak memenuhi kebutuhannya

Cara mencatat atau merekamnya dapat berupa tulisan di buku harian atau sekedar mengingat-ingat dalam alam sadar kita. Untuk menyempurnakan langkah di atas, ada baiknya memperhatikan cara lebih spesifik, sebagai berikut:

a. Membangkitkan kesadaran dan perbendaharaan ungkapan emosi.


(47)

Anak memerlukan ketrampilan untuk dapat mengenali beragam jenis emosi sehingga anak dapat memahami perasaan orang lain. (Borba, 2008: 31-35) mengemukakan bahwa ada empat cara mengembangkan perbendaharaan ungkapan emosi anak, yaitu: 1. Ajukan pertanyaan tentang perasaan

2. Ungkapan alfabet perasaan anak

3. Makan malam dengan menceritakan perasaan 4. Buatlah kartu ungkapan perasaan

b. Meningkatkan kepekaan terhadap perasaan orang lain.

Dengan meningkatkan kepekaan terhadap perasaan orang lain, maka ia akan memahami kebutuhab dan kekhawatiran mereka. (Borba, 2008: 36-37) mengemmukakan bahwa ada enam cara untuk menumbuhkan kepekaan anak, yaitu:

1. Pujilah perbuatan baik dan peka 2. Tunjukkan efek sikap peka

3. Perhatikan tanda-tanda non verbal

Borba (2008) mengemukakan cara membantu anak memahami tanda-tanda emosi nonverbal

1. Lakukan permainan “tebak perasaan” 2. Buat komik ungkapan perasaan 3. Baca dengan perasaan

4. Mengamati perasaan

4. Sering-seringlah ajukan pertanyaan 5. Gunakan rumus “perasaan dan kebutuhan”

6. Ungkapan perasaan anda dan jelaskan mengapa anda merasa demikian


(48)

30

c. Membantu memahami perspektif orang lain selain dari sudut pandangnya sendiri (Borba, Michele, 2008: 25).

Borba (2008: 45-47) mengemukakan bahwa ada tiga cara meningkatkan kemampuan anak untuk memahami orang lain, yaitu:

1. Bertukar peran agar ,merasakan apa yang dirasakan orang lain

2. Cobalah berada di posisiku 3. Bayangkan perasaan orang lain

Ketiga langkah tersebut dapat meningkatkan kapasitas anak untuk berempati di dunia yang penuh dengan ketidakpedulian, kekejaman, kekakuan, dan keegoisan (Borba, 2007: 25)

2. Perhatikan lingkungan luar (orang lain)

Memperhatikan lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak informasi tentang kondisi orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk dijadikan panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga dapat dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi, sehingga kita dapat mengatahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Memperhatikan orang lain merupakan ketrampilan tersendiri yang tidak semua orang menyukainya. Memperhatikan tidak sekedar melihat orang per orang tetapi juga mencoba menghilangkan perasaan-perasaan subyektif kita saat memperhatikan, sehingga akan muncul keinginan untuk mendalami perasaan orang yang sedang kita lihat tersebut.


(49)

3. Dengarkan curhat orang lain

Untuk memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap permasalahan yang sedang dihadapi orang lain. Kemampuan mendengarkan juga harus latih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi sosial kita. Syarat yang dibutuhkan untuk dapat mendengarkan adalah menghilangkan atau meminimalkan perasaan negatif atau prasangka terhadap obyek yang menjadi sasaran dengar. Disamping itu juga perlu adanya kemauan untuk membuka diri kita untuk orang lain, khususnya dengan memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara yang dia inginkan tanpa kita potong sebelum selesai pembicaraannya. Mendengar keluh kesah atau cerita gembira orang lain akan mampu memberikan pengalaman lain dalam suasana hati kita. Mendengarkan cerita sedih akan mampu membawa kita kedalam suasana hati orang lain yang sedang bersedih dan dapat membangkitkan keinginan untuk memahami masalah atau perasaan orang tersebut. Begitu pula perasaan yang lain. Semakin banyak cerita, masalah dan ungkapan perasaan yang kita dengarkan akan membuat kita semakin kaya dengan pengalaman tersebut dan pada akhirnya semakin mengetahui bagaimana cara memahami orang lain atau perasaannya.

4. Bayangkan apa yang sedang dirasakan orang lain dan akibatnya untuk diri kita.

Membayangkan sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri kita ke dalam sebuah situasi yang hampir sama dengan yang


(50)

32

dialami orang tersebut. Refleksi keadaan orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialami orang tersebut dan mampu membangkitkan suasana emosional. Membayangkan sebuah kondisi tersebut dapat lebih mudah manakala kita pernah mengalami perasaan atau kondisi yang sama. Seseorang yang sering membayangkan apa yang dialami atau dirasakan orang lain dan akibat yang akan ditimbulkan manakala hal tersebut terjadi pada diri kita saat kejadian atau setelah kejadian akan memudahkan kita merasakan suasana emosi seseorang manakala melihat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan situasi penuh dengan emosi-emosi tertentu.

5. Lakukan bantuan secepatnya.

Memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan dapat membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat terhadap situasi di lingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih kemampuan kita untuk empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama tetapi kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita saat melihat atau menyaksikan orang-orang yang membutuhkan. Pertolongan yang kita berikan akan menstimulus keadaan emosi kita untuk melihat lebih jauh perasaan orang yang kita beri pertolongan dan semakin sering kita memberikan respon dengan cepat akan semakin mudah kita mengembangkan kemampuan empati kepada orang lain.


(51)

2.8. Manfaat-manfaat Empati

Ada beberapa manfaat yang dapat kita temukan dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala kita mempunyai kemampuan berempati, diantaranya:

1. Menghilangkan sikap egois

Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Ketika kita dapat merasakan apa yang sedang dialami orang lain, memasuki pola pikir orang lain dan memahami perilaku orang tersebut, maka kita tidak akan berbicara dan berperilaku hanya untuk kepentingan diri kita tetapi kita akan berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan kepada orang lain. Kita akan berhati-hati dalam mengembangkan sikap dan perilaku kita sehari-hari, khususnya jika berada pada kondisi yang membutuhkan pertolongan kita.

2. Menghilangkan kesombongan

Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita. Manakala kita membayangkan kondisi ini maka kita akan terhindar dari kesombongan atau tinggi hati karena apapun akan bisa terjadi pada diri kita jika Tuhan berkehendak. Kita tidak akan merendahkan orang lain karena kita telah mengetahui perasaan dan memahami apa yang sebenarnya terjadi, sehingga orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung memiliki jiwa rendah hati dan senantiasa memahami kehidupan ini dengan baik.


(52)

34

3. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri

Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari bagaimana kita akan merefleksikan keadaan tersebut dalam diri kita. Jika kita telah mempunyai kemampuan ini maka kita telah dapat mengembangkan kemampuan evaluasi diri yang baik dan akhirnya kita dapat melakukan kontrol diri yang baik artinya kita akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan perbuatan atau memahami lingkungan sekitar kita.

Eisenberg (2002) juga menyatakan empati penting bagi individu, karena dengan empati seseorang dapat:

1. Menyesuaikan diri. Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa empati yang baik, maka penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis, fleksibel.

2. Mempercepat hubungan dengan orang lain. Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu merasa diterima dan dipahami.

3. Meningkatkan harga diri. Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang. Dimulai dari peran empati dalam hubungan sosial. Hubungan sosial merupakan media berkreasai dan menyatakan identitas diri. Adanya empati mampu untuk menempatkan diri pada pikiran dan perasaan orang lain menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang.

4. Meningkatkan pemahaman diri. Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkannya dalam gerakan cara berkomunikasi tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk pemahaman diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.


(53)

3. Tinjauan Tentang Sosial 3.1. Pengertian Sosial

Manusia merupakan mahluk sosial karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia yang lain bahkan untuk urusan sekecil apapun kita tetap membutuhkan orang lain untuk membantu kita.

Bandura mengemukakan bahwa sosial adalah “Interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak yang ditemukannya disekelilingnya dalam

menjalankan kehidupan individunya”. Dalam kehidupan sehari-hari sosial membantu tiap anak untuk merasa diterima di dalam kelompok, membantu anak belajar berkomunikasi dalam bergaul dengan orang lain, mendorong empati dan saling menghargai terhadap anak-anak maupuan orang dewasa.

Pendapat lain dikemukakan Lena Dominelli sosial adalah “Bagian yang tidak utuh dari sebuah hubungan manusia sehingga membutuhkan pemakluman atas hal-hal yang bersifat rapuh di dalamnya”.

Beranjak dari kedua pendapat diatas Peter Herman mengatakan bahwa sosial adalah “sesuatu yang dipahami sebagai suatu perbedaan namun tetap

merupakan sebagai satu kesatuan”. Dari ketiga pendapat yang dikemukakan

Engin Fahri. I menambahakan bahwa sosial adalah “Sebuah inti dari bagaimana para individu berhubungan walaupun masih juga diperdebatkan tentang pola berhubungan para individu tersebut”.

Berdasarkan pendapat di atas dapa ditarik kesimpulan bahwa sosial merupakan interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak


(54)

36

sebagai suatu perbedaan yang membutuhkan pemakluman atas hal-hal yang bersifat rapuh di dalamnya namun tetap merupakan sebagai satu kesatuan

4. Faktor – Faktor penentu Pembentukan Sikap Empati 4.1 Faktor Internal (Dari dalam diri)

Individu berasal dari kata individum (latin), yaitu satuan kecil yang tidakdapat dibagi lagi. Individu menurut konsep sosiologis artinya manusia yang hidup berdiri sendiri tidak mempunyai kawan (sendiri).

Salah satu Tokoh Soediman Kartohadiprojo (Abdulsyani: 2007) menamakan individu sebagai mahluk hidup Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya dilengkapi oleh kelengkapan hidup yang meliputi raga, ras, rasio, dan rukun.

Setiap anak memiliki potensi untuk mengembangkan sikap empatinya. Sikap empatinya berkembang secara bervariasi dan perkembangannya dipengaruhi atas kesadaran diri. Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain sebagai dasar untuk membangun hubungan interpersonal yang sehat. Bila kesadaran diri terfokus pada pengenalan emosi sendiri, dalam empati perhatiannya diraihkan pada pengenalan emosi orang lain. Seseorang semakin mengetahui emosi sendiri, maka ia akan semakin terampil membaca emosi orang. Dengan demikian, empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif orang lain. “Bila kita tidak dapat mengerti diri sendiri, kita akan terhambat pula untuk mengerti


(55)

Demikian pula, orang yang sedang mengalami suasana hati yang gembira akan lebih suka menolong, sedangkan dalam suasana hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan pertolongan, sebab suasana hati atau mood dapat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk membantu orang lain (William, dikutip Sigit: 2009).

4.2 Faktor (eksternal)

Adapun faktor eksternal yang dapat mempengaruhi terbentuknyasikap empati anak dalah faktor keluarga dan faktor teman sebaya.

4.2.1 Faktor Keluarga

Keluarga adalah lingkungan pertama yang dijumpai anak, Cooley (dikutip, sigit, 2009: 21) “Menyebutkan bahwa institusi keluarga merupakan agen sosialisasi awal yang sangat penting dalam

membentuk karakter pribadi anak”. Sisi terpenting dari keberadaan

institusi keluarga ini yaitu: akan membuat anak mempunyai pengalaman sosial awal, sehingga ketika anak dihadapkan dengan lingkungan ia tidak akan mengalami banyak hambatan.

Menurut Fuad Ihsan fungsi lembaga pendidikan keluarga

“Keluarga merupakan pengalaman pertama bagi anak-anak, pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga akan tumbuh sikap tolong menolong, tenggang rasa sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera, keluarga berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial”. (Fuad Ihsan, 2001 : 18).


(56)

38

a. Peran Keluarga

Berbagai peranan yang terdapat didalam keluarga menurut Nasrul Effendy (1998) adalah sebagai berikut:

1. Peran ayah: Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah,pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

2. Peran ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

3. Peran anak: Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

Tidak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial. Melalui keluargalah anak belajar berespons terhadap masyarakatnya yang lebih luas kelak. Melalui proses interaksi dalam keluarga, seorang anak secara


(57)

bertahap belajar mengembangkan kemampuan kognitif anak dalam menghadapi kehidupan pada tahapan-tahapan perkembangan berikutnya. Perhatian mereka terhadap hal-hal yang ada sekelilingnya banyak dipegaruhi oleh nilai-nilai yang mereka anut, dan keluarglah yang menanamkan nilai-nilai tersebut. Adapun cara pendekatan yang dilakukan orang tua terhadap anak adalah perilaku yang mudah diobservasi oleh anak dan hal yang dapat diteliti ini dengan mudah pula direkam di dalam ingatan anak. Hal-hal yang direkam di dalam ingatan kelak membentuk pola pikir dalam tatanan pemetaan penalaran tertentu yang dikenal sebagai skems yang merupakan rancangan gambar bagi perilaku anak.

Sikap dan tingkah laku anak merupakan cerminan sikap dan tingkah laku orang tua. Jika sikap dan tingkah laku orang tua baik, maka anak akan cenderung memiliki sikap dan tingkah laku yang baik pula. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Dari hasil penelitian longitudinal (Sigit; 2009) menyatakan

“Bahwa hubungan antara cara orang tua mendidik dengan perkembangan empati, pemahaman dan tingkah laku sosial pada anak, dimana para ibu yang mendidik balita mereka secara responsif, hangat, tidak suka memberikan hubungan yang keras, dan tidak otoriter, akan menumbuhkan dan membentuk seorang anak yang mempunyai tingkah laku empati efektif dan kognitif


(58)

40

4.2.2 Faktor Interaksi Teman Sepermainan a. Pengertian Teman Sebaya

Tidak diragukan lagi bahwa keluarga merupakan salah satu konteks sosial yang penting bagi perkembangan individu. Meskipun demikian perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam konteks sosial yang lain seperti relasi dengan teman sebaya. Laursen (2005) menandaskan bahwa

“Teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja”. Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa (2004: 74) “Teman sebaya atau sahabat yang baik akan menunjang motivasi dan

keberhasilan anak dalam proses belajar”. Karena dengan adanya

hubungan pertemanan tersebut akan terjadi peroses saling mengisi yang mmungkin membentuk persaingan yang sehat.

Santock berpendapat “Bahwa yang merupakan teman sebaya (peers) adalah anak – anak atau remaja dengan tingkatan usia atau

tingkat kedewasaan yang sama”. Kelompok teman sebaya adalah


(59)

bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya (Mapiere).

b. Fungsi kelompok Teman sebaya

Pengaruh kuat teman bermain dalam kelompok merupakan hal yang sangat penting yang tidak dapat diremehkan dalam masa-masa remaja. Kenyataan memperlihatkan bahwa di antara para remaja terdapat jalinan ikatan perasaan yang sangat kuat. Pada teman kelompok sebaya itu untuk pertama kalinya remaja mulai menyesuaikan diri karena ada keberadaan orang lain dan saling menyadari dan membutuhkan.

Havinghurt mengemukakan tiga macam fungsi daripada kelompok sebaya, yakni:

1. Mengajarkan kebudayaan.

Dalam suatu kelompok sebaya terdiri atas individu-inividu yang berbeda budayanya dengan akulturasi budaya asimilasi terjadi dalam kelompok yang harus dipatuhi bersama.

2. Mengajarkan mobilitas sosial. Mobilitas sosial adalah gerak individu dari satu posisi ke posisi lain dalam suatu struktur sosial dalam kelompok satu ke kelompok lain.

3. Membantu peranan baru. Dalam kelompok, individu

mendapatkan status peran tertentu sabagai anak dapat mengisi peranan-peranan sosial.

Lingkup yang luas, lingkungan kerja sangat berperan dalam memberi pengaruh pada pembentukan pribadi seseorang.

Menurut Soerjono Soekanto (2004: 75) peranan positif dari teman sebaya adalah:

a) Rasa aman dan rasa dianggap penting dari keanggotaan kelompok teman sepermainan


(60)

42

b) Didalam kelompok tersebut seorang remaja dapat menyalurkan rasa kecewanya, rasa takut, rasa gembira, dan lain sebagainya. c) Didalam kelompok tersebut remaja mengembangkan kemampuan

dalam keteampilan – keterampilan social, sehhingga dia lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaanya.

d) Pada umumnya dalam kelompok tersebut mempunyai pola perilaku dan kaidah – kaidah tertentu yang mendorong remaja untuk bersikap dan bertindak secara dewasa.

Namun dibalik peranan – peranan positif tersebut timbul peranan yang bersigfat negatif. Hal – hal yang negatif tersebut antara lain : a) Teman sepermainan mendorong anggotanya untuk bersikap

diskriminatif terhadap anggota lainnya,

b) Teman sebaya mendorong terjadinya individualisme

c) Terkadang timbul rasa iri hati dari anggota – anggota teman yang berasal dari kalangan keluarga kurang mampu, terhadap mereka yang berasal dari keluarga yang lebih mampu.

d) Kesetian terhadap kelompok pertemanan mengaibatkan terjadinya pertentangan dengan orang tua.

Memperhatikan pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang mendukung perkembangan emosional anak. Budaya teman sebaya memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji keefektifan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka miliki. Pergaulan dengan teman sebaya dapat mempengaruhi mempengaruhi terbentuknya sikap empati anak.


(61)

B. Kerangka Pikir

Kemampuan empati atau kemampuan pemahaman dan menarik kesimpulan dari ekspresi emosi dari orang. Empati dapat menjadi kunci menaikkan integritas dan kedalaman hubungan dengan orang lain. Setiap hubungan yang merupakan akar kepedulian berasal dari penyesuaian emosionalnya dengan orang lain. Kemampuan berempati menjadi permasalahan yang begitu penting karena masa anak-anak mereka memberikan kontribusi yang begitu menentukan bagi terbentuknya pribadi yang baik dan bermoral tinggi, memiliki sopan santun dalam bersikap dan bertindak, dapat dipercaya dan dapat diandalkan.

Pengaruh lingkungan sosial peserta didik di dalam keluarga dan pergaulan dengan teman sebaya diduga menentukan pembentukan dan perubahan sikap empati sosial peserta didik. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan variable seperti dalam diagram kerangka pikir berikut ini :

Bagan Kerangka Pikir

Gambar 2.1: Bagan Kerangka Pikir Faktor Penentu Pembentukan

Sikap Empati ( X )

1. Faktor dari dalam diri anak (faktor Internal)

2. Faktor dari luar diri anak (Faktor Eksternal) a. Keluarga b. Teman Sebaya

Sikap Empati (Y)

1. Merasakan yang dirasakan oleh orang lain

2. Menempatkan dan

memahami perasaan orang lain.

3. Menghargai perbedaan perasaan orang terhadap berbagai macam hal.


(62)

44

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif ini penulis ingin memaparkan data-data dan menganalisis data secara objektif serta menggambarkan faktor penentu pembentukan sikap empati sosial pada peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013.

B. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Suharsimi Arikunto (1986: 115) “Populasi adalah keseluruhan

subjek penelitian.

Berdasarkan pendapat diatas, maka populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 240 orang.


(63)

Tabel 1 : Jumlah Populasi Siswa Tahun 2012/2013

No Kelas Jenis Kelamin Jumlah

Laki-Laki Perempuan

1 VII a 18 22 40

2 VII b 18 22 40

3 VII c 19 21 40

4 VII d 19 21 40

5 VII e 19 21 40

6 VII f 19 21 40

Jumlah 112 128 240

Sumber: Tata Usaha SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara

2. Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto (1986: 117) “sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti”. Dalam penelitian ini berpedoman kepada pendapat Suharsimi Arikunto (1986: 120) yaitu bila “subjeknya

kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika subjeknya besar atau lebih dari 100, maka sampelnya dapat diambil antara 10-15 persen atau 20-25 persen”. Berdasarkan teori diatas, maka sampel diambil 20% dari populasi sehingga dengan demikian 10% dari 240 peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Abung Barat Kabupaten Lampung Utara adalah 24, jadi sampel pada penelitian ini adalah 24 peserta didik.

Tabel 2 : Jumlah Pengambilan Sampel Siswa Tahun 2012/2013

No Kelas Jumlah pengambilan sampel

1 VII 4

2 VII 4

3 VII 4

4 VII 4

5 VII 4


(64)

46

Jumlah 24

C. Variabel Penelitian 1) Variabel bebasnya

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Faktor penentu pembentukan sikap empati sosial (X).

2) Variabel terikatnya

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pembentukan sikap empati sosial peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat (Y)

D. Definisi Operasional Variabel

Untuk memahami objek permasalahan dalam penelitian ini secara jelas maka diperlukan pendefinisian varibel secara operasional:

1. Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap empati peserta didik, adalah beberapa aspek atau unsur yang berpengaruh pada tumbuh kembangnyapribadi yang baik dan bermoral tinggi, memiliki sopan santun dalam bersikap dan bertindak, dapat dipercaya dan diandalkan. Faktor yang diduga berpengaruh tersebut adalah faktor intern, yang dipengaruhi atas kesadaran diri. Faktor ekstrn berupa interaksi sosial, baik di dalam keluarga dan teman sebaya.

2. Sikap empati sosial peserta didik adalah memahami dan merasakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dinginkan orang lain tanpa harus terlibat secara nyata dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut. Indikator dari variable ini adalah merasakan yang dirasakan oleh orang lain,


(1)

52

N = Jumlah perkalian seluruh item dengan responden (Muhammad Ali, 1984:184)

Suharsimi Arikunto mengatakan bahwa untuk menafsirkan banyaknya presentase yang di peroleh di gunakan kriteria sebagai berikut :

76% - 100% = Baik 56% - 75% = Cukup 40% - 55% = Kurang Baik 0% - 39% = Tidak Baik

Dilakukan setelah data terkumpul dengan mengidentifikasi dan menyeleksi data kemudian mengklasifikasikan data dan setelah itu dilakukan penyusunan data.

Menentukan klasifikasi skor menggunakan rumus interval, yaitu :

K NR NT

I  

Keterangan :

I : Interval NT : Nilai tertinggi NR : Nilai terendah K : Kategori (Sutrisno Hadi, 1986 : 12)


(2)

78

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang peneliti lakukan tentang faktor penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik kelas VII di SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013, maka peneliti dapat simpulkan sebagai berikut:

1. Faktor intern penentu pembentukan sikap empati peserta didik cenderung sedang, hal tersebut dari adanya kesadaran diri peserta didik terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, merasakan yang dirasakan oleh orang lain, menempatkan dan memahami perasaan orang lain, menghargai perbedaan perasaan orang terhadap berbagai macam hal secara inklusif terhadap lingkungan sekitar dan teman. 2. Faktor ekstern penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik:

a. Faktor keluarga penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik tergolong kategori tinggi hal tersebut karena peserta didik merasa perlu membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman, akan tetapi mereka enggan atau tidak bersedia menolong orang yang tidak ingin menerima bantuan darinya.


(3)

79

b. Faktor teman sebaya/teman bermain penentu pembentukan sikap empati sosial peserta didik tergolong kategori tinggi Hal ini karena peserta didik merasa peduli terhadap teman, terlihat dari tidak tega menyakiti perasaan teman.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian, menganalisis, dan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, maka penulis dapat mengajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi Siswa

Pada peserta didik SMP Negeri 1 Abung Barat Lampung Utara dan pada peserta didik sekolah lainnya hendaknya selalu memupuk rasa empati, kepedulian dan tolong menolong sesama peserta didik, teman dan lingkungan karena dengan empati, kepedulian dan tolong menolong akan tercipta hubungan yang harmonis dan kehidupan yang tentram. 2. Bagi Orang Tua

a. Hendaknya orang tua lebih memberikan pengawasan, perhatian serta bimbingan kepada anaknya sehingga pembentukan sikap empati yang tumbuh dan berkembang dalam diri anak dapat terkontrol dengan baik.

b. Orang tua selalu memberikan nasehat dan arahan kepada anaknya dalam bergaul, sehingga anak tidak terlibat dalam hal-hal yang dapat merugikan diri anak.


(4)

80

c. Orang tua memberikan contoh yang baik dalam bersikap dan mengajarkan kepada anak untuk peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

3. Bagi Guru

Guru memberikan pengawasan dan arahan bagi peserta didik dalam menumbuh kembangkan sikap empati peserta didik.

4. Bagi Sekolah SMP Negeri 1 Abung Barat

Sekolah memberikan pengarahan kepada peserta didiknya baik di dalam kelas maupun di luar kelas untuk menanamkan sikap empati (kepekaan) sosial terhadap teman dan lingkungan masyarakat. Dengan cara mengadakan kegiatan ekstrakulikuler yang dapat memupuk rasa empati peserta didik yang bersifat positif.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2007. Sosiologi Skematika, Teori Terapan. PT. Bumi Aksara. Jakarta Ajiopa.2012. Eisenberg, N. (2002) Empati berhubungan dengan tanggapan

emosional, altruisme, dan sosialisasi mereka Dalam RJ Davidson & A. Harrington (eds.).Visi kasih sayang: ilmuwan Barat dan Buddha Tibet memeriksa sifat manusia (hal. 131-164).London: Oxford University Press. http://ajiopa.blogspot.com. 2013/02/20

Ali, Muhammad. 1984. Penelitian Prosedur dan Strategi. Angkasa. Bandung Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis.

Rineka Cipta. Jakarta

Borba, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Budiningsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Rieka Cipta. Jakarta Carapedia. 2012. Definisi Sosial Menurut Para Ahli. http://carapedia.com.

/2013/02/20

Djaali. 2006. Psikologi Pendidikan. PT. Bumi Aksara. Jakarta

Faud, Ihsan. 2001. Dasar-dasar Kependidikan. Rineka Cipta. Jakarta

Gunarsa, Singgih. 1992. Konseling dan Psikoterapi. BPK Gunung Mulia. Jakarta Hadi, Sutrisno. 1986. Metodologi Research. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta Keepursmila. 2011. Simpati dan Empati. http://keepursmile.wordpress.com


(6)

Kusmono, Hadi. 2004. Sosiologi Suatu Pendekatan Baru SMA Kelas X. Piranti Darma Kalokatama. Jakarta

Magdalena. 2012. Pengaruh Empati Terhadap Perilaku Menolong Pengendara Sepeda Motor.pdf. http://magdalena.blog.esaunggul.ac.id. 2013/02/20

Muryono, Sigit. 2009. Empati, Penalaran moral dan Pola asuh, telaah bimbingan Konseling. Gala Ilmu Semesta. Yogyakarta

Nasution, Zainudin. www. Google. Com. 2005. Dampak Positif dan Negatif Pergaulan Teman Sebaya

Nia. 2011. jenis jenis intelegensi menuru thoward. http://www.psychologymania.com. 2013/03/04

Nurihsin, Achmad Juntika. 2007. Strategi Bimbingan dan Konseling. PT. Refika Aditama. Bandung

Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi anak, PT. Indeks. Jakarta

Santrock, John W. 2003. Adolesence Perkembangan Remaja. Erlangga. Jakarta Shapiro, E. Lawrence. 2003. Mengajarkan Emotional Intelligence pada anak. PT.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Shohib, Muhammad. 2012. Empati dan Perilaku Prososial. http://shohibmoe. wordpress.com. 2013/02/20

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta